“Hahaha, dimana-mana memang seperti itu ya. Kalian selalu menurut jika diancam dengan sandera seperti ini. Asal tahu saja, rasanya sayang sekali jika harus membunuh kedua wanita cantik ini, tubuh mereka masih begitu enak untuk dinikmati, hahaha.”
Arjuna tertawa puas melihat lawannya yang tak punya pilihan lain. Setelah ini tinggal memaksanya membuka pakaian anti peluru itu dan menembakinya hingga mati. Dia tak menyangka akan semudah ini melumpuhkan salah satu anggota dari pasukan rahasia yang katanya jauh lebih hebat dari pasukan elit manapun di negeri ini.
Namun karena saking puasnya membuat Arjuna tak menyadari ada yang berubah dari tatapan
Shadow. Pria itu memang sudah meletakkan kedua pistolnya di lantai, namun kini tatapannya tajam ke arah Fitri. Wanita itu seperti menyadari sesuatu, dan merespon dengan sedikit menganggukkan kepala tanpa membuat Arjuna curiga.
Shadow kemudian menggeser kedua pistol itu kearah senapan yang berada beberapa langkah di depannya. Dia bergerak seperti akan berdiri kembali, namun dengan gerakan yang sangat cepat tangan kanannya mengambil sebuah pistol kecil yang terselip di sepatunya dan langsung menembakkannya ke arah Arjuna.
DOOOORRRR
“Aaaarrrgghhhh...”
Sebuah tembakan tepat mengenai kening Arjuna. Arjuna yang tak menyangka hal itu tak bisa berbuat apa-apa, terlebih lagi tiba-tiba Fitri yang entah mendapat tenaga dari mana langsung bergerak meringkus tangannya sekaligus membebaskan Mila dan merebut pistol dari tangan Arjuna.
Arjuna yang kehilangan keseimbangan langsung terjatuh di ranjang di belakangnya. Tubuhnya langsung ditindih oleh Fitri, dan kemudian Fitri menembak kepala Arjuna berkali-kali dari jarak dekat dengan pistol yang berhasil dirampasnya hingga peluru di pistol itu habis. Arjuna meregang nyawa, bersimbah darah dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Shadow menarik nafas lega. Perjudian yang dilakukannya berhasil. Pistol yang dia pakai tadi adalah sebuah pistol kecil yang hanya berisi satu buah peluru. Jika tembakannya meleset sedikit saja, bisa gagal semuanya. Apalagi jika dibandingkan dengan anggota yang lain, kemampuannya menembak termasuk yang paling buruk, namun dia bersyukur bisa dengan tepat mengenai Arjuna.
“
Shadow done. The hostages saved.”
Segera
Shadow menghampiri Sakti untuk melepas ikatannya. Begitu terlepas langsung saja Sakti menghampiri dan memeluk istrinya yang terduduk lemas. Shadow juga membebaskan Wijaya dan Aini. Mereka berdua berpelukan erat. Merasa begitu lega.
Pada saat yang bersamaan,
Queen yang menggendong Ardi dan Tika masuk ke dalam kamar itu. Melihat kedua cucunya langsung saja Wijaya dan Aini menghambur ke arah
Queen. Wijaya menggendong Ardi dan Aini menggendong Tika. Mereka terlihat semakin lega melihat cucu-cucunya selamat.
“Mana Ara?” tanya
Queen sambil menuju ke arah
Shadow yang sedang mengambil senjata-senjatanya. Dia hanya menjawab dengan gelengan kepala.
”Queen, tolong carikan apapun untuk menutupi tubuh mereka. Aku akan periksa dulu ruangan yang lainnya. Tunggu aku kembali, nanti kita keluar sama-sama.”
“Baiklah.”
Shadow pun keluar dari kamar itu untuk memeriksa ruangan-ruangan lain di villa ini, masih ada Ara dan Fuadi, serta wanita-wanita lain yang harus segera ia temukan. Sementara itu
Queen mengambilkan pakaian untuk Mila dan Fitri. Dia memberikan salah satu pakaian itu kepada Sakti agar dipakaikan ke Mila, kemudian menghampiri Fitri yang masih menduduki tubuh tak bernyawa Arjuna.
“Mbak Fit, pakai ini dulu. Nanti kita keluar sama-sama, suamimu sudah menunggu disana,” Fitri terkejut dan menatap
Queen, namun dengan segera dia menguasai dirinya. Dia segera memakai pakaian yang diberikan.
“Nona, hmm... Maaf, siapapun anda, bagaimana dengan Ara?” tanya Wijaya yang masih menggendong Ardi.
“Teman saya sedang mencarinya, kita tunggu dulu disini. Nanti kalau dia sudah kembali kita keluar bersama-sama. Kondisi di luar sangat kacau, para penjahat itu menembak ke sembarang arah, jadi kami harus memastikan kalian semua bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.”
Mereka semua hanya mengangguk. Memang jika mendengar dari kamar ini, baku tembak yang terjadi di luar villa sepertinya sangat berbahaya. Akan menjadi sebuah hal yang konyol jika mereka keluar begitu saja. Meskipun jika diperhatikan suara-suara tembakan yang terdengar sudah tidak sebanyak sebelumnya, namun tetap saja mereka tak mau ambil resiko. Setelah beberapa saat menunggu,
Shadow kembali ke kamar itu dan hanya menggelengkan kepalanya.
“Mungkin Ara ada di tempat lain. Sebaiknya kita keluar dulu dari sini.”
“Tapi bagaimana dengan Ara? Kita harus mencarinya dulu,” ujar Wijaya dengan panik mengetahui anaknya tidak ada di villa itu.
“Kami akan mencari dan menyelamatkannya Pak, tapi yang terpenting sekarang adalah kalian keluar dulu dari villa ini ke tempat yang lebih aman.”
“Mereka benar Yah, sebaiknya kita keluar dulu, dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk mencari Ara,” ujar Sakti ikut menambahi.
“Baiklah, tapi tolong temukan anak saya.”
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin Pak.”
Mereka semua pun akhirnya keluar dari kamar. Terlihat hari sudah mulai terang, namun baku tembak belum berhenti. Meskipun suaranya sudah tidak sebanyak sebelumnya, namun sepertinya terlalu riskan untuk keluar dari pintu depan villa ini.
”Venom, bagaimana kondisi di luar? Kami akan membawa sandera keluar,”
Shadow menghubungi Budi melalui alat komunikasinya. Sengaja dia memanggilnya
Venom agar tidak membuat Wijaya dan keluarganya semakin cemas.
“
Lawan tinggal sedikit, paling sekitar 20an orang. Tapi sebaiknya kalian lewat samping, dari depan terlalu beresiko. ”
“Oke, kami cari jalan lain.”
Shadow dan
Queen segera mengarahkan Wijaya dan keluarganya untuk menuju ke arah lain. Tidak ada pintu di bagian samping, jadi terpaksa mereka harus lewat jendela. Mereka bedua memeriksa keadaan terlebih dahulu, nampak beberapa mayat penjahat tergeletak bersimbah darah. Setelah memastikan kondisi aman, mereka pun menghancurkan jendela itu.
Shadow keluar terlebih dahulu untuk berjaga-jaga, kemudian diikuti oleh satu persatu dari mereka. Setelah semua keluar mereka pun melangkah dengan berhati-hati. Mila langsung merasa mual dan hampir muntah ketiga melihat mayat-mayat penjahat yang bergelimpangan itu. Belum pernah sekalipun dia menyaksikan pemandangan seperti ini secara langsung.
“Kami sudah di luar dan akan menuju gerbang, tolong lindungi kami,” ujar
Shadow melalui alat komunikasinya.
“Tunggu sebentar, kami isi ulang amunisi dulu. Nanti kalau aku kasih kode, kalian langsung bergerak,” terdengar jawaban dari Budi.
Shadow memberitahukan hal itu kepada mereka semua. Dia sedikit khawatir dengan Mila dan Aini, apakah dengan kondisi seperti ini bisa bergerak dengan cepat. Karena itu dia meminta Aini untuk menyerahkan Tika kepada Queen. Nantinya Fitri akan membantu Aini agar bisa bergerak lebih cepat, sedangkan Mila akan dibantu oleh suaminya.
“
Oke Shadow, move now!”
Bersamaan dengan isyarat dari Budi, terdengar suara tembakan yang membabi buta.
Shadow pun langsung meminta mereka bergerak, sambil dirinya melindungi dengan mengarahkan senapannya ke arah para penjahat itu. Tembakan membabi buta dari Budi dan rekan-rekannya membuat para penjahat kalang kabut dan kembali bersembunyi, sehingga pelarian para sandera itu berjalan dengan aman. Namun ternyata Steve yang bersembunyi bersama dengan Bastian dan David melihat itu, sayangnya sudah terlambat untuk bertindak karena para sandera sudah berhasil keluar dari gerbang.
“Boss...”
“Kenapa Steve?”
“Mereka berhasil membebaskan para sandera, termasuk kedua anak kecil itu.”
“
What??? Fuck... Fuck... Fuck...!”
Bastian tahu, jika kedua anak kecil yang diculiknya berhasil dibebaskan, itu berarti sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Martha. Dia mengutuk dirinya sendiri. Harusnya dia membawa Martha ke tempat yang lebih dekat dengannya, sehingga bisa melindunginya. Tapi kini sudah terlambat. Penyesalan dan kemarahannya memuncak.
“Berapa anak buah kita yang tersisa?”
“Nggak banyak boss, kalau ditambah kita berlima, mungkin tinggal 20an.”
Kembali Bastian terdiam. Dia tak menyangka rencana yang sudah sedemikian rapi dia susun selama bertahun-tahun menjadi seberantakan ini. Rencana itu sudah dia bukan dengan sangat detail. Setiap hal-hal kecil yang berhubungan secara langsung maupun tak langsung sudah dipikirkan matang-matang. Semuanya berjalan dengan sangat lancar sampai beberapa jam yang lalu. Namun kini semuanya kacau.
Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi otaknya sedang tak bisa berpikir jernih untuk menemukan inti permasalahan itu. Pikirannya terganggu oleh hal buruk yang terjadi pada Martha, lagipula sekarang mereka sedang berperang, tak ada gunanya juga kalaupun akhirnya bisa menemukan kesalahan pada rencananya itu. Sekarang mereka harus bertindak, atau akan semakin terdesak dan mendapatkan kekalahan yang konyol.
“Ton, perintahkan anak buahmu untuk menyerang!” ujar Bastian pada Tono yang berada tak jauh dari tempatnya.
“Tapi boss...”
“Sekarang atau nanti sama saja. Bersembunyi seperti ini akan membuat mereka lebih mudah mengalahkan kita. Cepat serang, dan bunuh mereka semua!”
Sebenarnya Tono ragu untuk melakukan perintah dari Bastian. Dia tahu amunisi yang dimiliki anak sudah semakin menipis. Memerintahkan untuk menyerang seperti itu sama saja dengan menyuruh mereka bunuh diri. Tono juga yakin anak buahnya mulai kehilangan kepercayaan diri karena melihat begitu banyak teman-temannya yang mati, sama halnya dengan dirinya. Namun dia tahu perintah Bastian bukan sesuatu yang bisa ditolak. Dia pun menghela nafas dalam-dalam, kemudian tiba-tiba berdiri dan berlari ke arah lawannya.
“Semuanya, ayo kita habisi mereka!”
Tono tahu, hanya dengan perkataan saja tak akan cukup untuk membuat anak buahnya bergerak, karena itulah dia nekat keluar dari tempat perlindungannya dan menyerang secara frontal. Melihat apa yang dilakukan Tono membuat anak buahnya pun bergerak mengikutinya. Mereka seperti sudah tak peduli lagi dengan nyawanya, toh pada akhirnya mereka akan mati juga.
Bastian, Steve, David dan Rio terkejut melihat aksi nekat Tono itu. Mereka segera membidikkan senjatanya ke arah Budi dan rekan-rekannya untuk melindungi Tono. Hal itu cukup mengejutkan bagi Budi dan rekan-rekannya, sehingga mereka yang tak siap memilih untuk kembali tiarap di tempat perlindungannya. Melihat hal itu tentu saja Tono dan para anak buahnya semakin semangat untuk terus mendekat dan menyerang lawannya.
Namun kemudian justru tembakan datang dari arah gerbang.
Shadow, Queen, Marto dan Ichi yang berada disana segera memuntahkan peluru ke arah penjahat-penjahat nekat itu. Satu persatu dari mereka bertumbangan dengan kepala tertembus timah panas, hingga hanya tersisa Tono seorang. Itupun tidak lama, karena posisinya yang cukup dekat dengan Budi dan rekan-rekannya membuat badannya yang besar itu diberondong oleh senapan serbu milik
Hurricane.
“Bangsat kalian semuaaaa!”
Bastian yang melihat itu semakin kalap. Dia menembakkan senjatanya dengan membabi buta, diikuti oleh Steve, David dan juga Rio. Namun baru beberapa saat menembakkan senjatanya, Rio dikejutkan oleh sebuah peluru yang persis mengenai senapannya, membuat senapan itu hampir terlepas dari tangannya. Belum hilang rasa terkejutnya, sebuah peluru kembali mengenai salah satu bagian dari senapannya lagi, yang kali ini berhasil membuatnya terlepas bahkan rusak, tak bisa digunakan lagi.
“Anjing, si
sniper!”
Rio kemudian mengeluarkan pistolnya, namun baru dua kali menembak hal yang sama terulang lagi. Pistolnya dibuat hancur oleh peluru yang entah darimana datangnya. Dia kembali mengeluarkan pistol cadangan lagi yang merupakan senjata terakhirnya, namun kembali bernasib sama dengan yang sebelumnya. Hal itu membuatnya murka dan menyumpah serapah tak karuan.
Hal yang sama selanjutnya terjadi kepada Bastian, Steve dan David. Mereka yang memaksakan untuk menyerang membuat posisinya justru masuk ke dalam jangkaun Jaka. Namun Jaka yang mengetahui jika lawannya hanya tinggal mereka berempat memang sengaja tak langsung membunuhnya, dia ingin memberi kesengangan kepada rekan-rekannya.
“
Venom, Assassin, Insane, kurasa kalian akan lebih puas jika menghabisi mereka dengan duel satu lawan satu bukan?” terdengar suara Jaka dari alat komunikasi di telinga mereka.
“Loh, gue kok nggak disebut?”
Hurricane protes karena namanya tak disebut.
“
Untuk yang ini kamu cukup lihat aja.”
“Lha kan masih ada 1 orang Jak?”
“
No no no. Kurasa Rio itu adalah jatahnya Marto, bukan begitu?”
“Aah kampret, giliran kayak gini aja dikasih ke orang lain, giliran yang ribet-ribet gue yang disuruh maju. Tahu gitu dari tadi gue hancurin aja tempat ini pakai jet,” jawab
Hurricane mendengus kesal.
“Kan ada sandera yang harus diselametin nyet, kalau lu pakai jet ya modar semua lah,” ujar
Insane menimpali.
“Udah-udah nggak usah ribut. Mending kita hadapi mereka, semakin cepat semakin baik. Inget, Fuadi dan istriku belum ketemu. Istrinya Ichi juga,” Budi menengahi keributan diantara rekan-rekannya itu.
“
Shadow, kasih tahu Mas Marto!”
“
Udah Bud, dia juga udah siap.”
Budi melirik ke belakang, dan memang terlihat Marto sudah bersiap dan mulai berjalan maju mendekati mereka. Budi,
Assassin dan
Insane pun segera berdiri. Bersama dengan Marto mereka melangkah ke depan dengan santai. Mereka berempat bahkan terlihat menaruh senapan serbu yang sedari tadi dipakainya. Mereka cukup yakin melakukan itu karena jika tiba-tiba ada yang menyerang dengan menggunakan senjata api, masih ada Jaka,
Hurricane, Shadow, Queen dan juga Ichi yang melindungnya. Apalagi Marto juga tahu bahwa Fadli, Paidi, Fauzi dan Nickolai juga sudah sampai di tempat itu dan sekarang bergabung dengan Ichi.
Bastian, Rio, Steve dan David melihat itu semua sebagai tantangan untuk berduel. Mendapat tantangan seperti itu tentu saja harga diri mereka terusik. Apalagi mereka pun kini sudah tak lagi memegang senjata api, jadi satu-satunya jalan untuk meneruskan pertempuran ini adalah dengan duel satu lawan satu. Mereka sudah tak lagi nantinya akan seperti apa, karena kalaupun menang dari Budi dan ketiga orang itu, masih ada rekan-rekannya yang lain, yang siap menembakkan senjata mereka kapanpun.
Serentak mereka berempat berdiri, kemudian berjalan ke arah Budi dan rekan-rekannya. Ekspresi wajah dari kedua pihak ini jauh berbeda. Bastian dan rekan-rekannya terlihat begitu emosi karena anak buah mereka yang sudah dipersiapkan berhasil dibunuh seluruhnya, dan rencana yang mereka susun sejak bertahun-tahun yang lalu itu hancur berantakan hari ini. Sedangkan Budi dan rekan-rekannya nampak lebih tenang, mungkin hanya Marto yang sedikit terlihat emosi saat menatap Rio.
Kini mereka sudah saling berhadap-hadapan. Marto menghadapi Rio,
Insane menghadapi David,
Assassin menghadapi Steve, dan Budi menghadapi Bastian. Budi bahkan kemudian melepas topengnya, namun tidak dengan kedua rekannya.
“Well, rupanya ini
Vanquish yang sesungguhnya. Harus diakui, aku terlalu meremehkan kalian. Aku benar-benar salah memperhitungkan sampai dimana kemampuan kalian sehingga semua yang telah kami lakukan berantakan seperti ini.”
“Kalian tak perlu repot mengira-ngira Bas, apa yang terjadi pagi ini bahkan belum ada separuhnya dari kemampuan kami yang sebenarnya. Persiapanmu sudah lumayan, tapi kalian berurusan dengan orang yang salah.”
“Tinggi juga omonganmu Bud, bahkan dimana istrimu saja kamu belum tahu kan. Mungkin sekarang dia sedang asyik bercinta dengan ayahku.”
“Setelah membunuhmu, aku akan menemukan mereka, dan akan mengirim Fuadi untuk menemanimu di neraka.”
Bastian sedikit heran dengan reaksi Budi yang tidak terkejut dengan perkataannya. Dia melirik yang lainnya, dan sepertinya mereka juga tidak terlalu peduli dengan kata-katanya barusan.
“Tak perlu bingung, kami sudah mengetahui hubunganmu dengan Fuadi, Baskara!” Kini justru Bastian yang terkejut karena ternyata Budi sudah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.
“Wah wah, sampai disitu rupanya yang kalian ketahui. Memang tak salah jika disebut sebagai pasukan terbaik di negeri ini. Sepertinya aku tak perlu repot-repot lagi untuk memberi tahu siapa kami sebenarnya dan apa tujuan kami melakukan ini semua bukan?”
“Ya, kau benar Bas, kami sudah tahu semuanya. Dan rasanya Rory akan senang sekali jika kedua anaknya menyusul dan menemaninya di neraka,” celetuk
Insane menyahuti omongan Bastian.
“
Fuck off you!”
Perkataan
Insane rupanya menyulut kemarahan David sehingga langsung menerjang ke arahnya. Begitu pula dengan Steve yang langsung menyerang
Assassin. Bastian dan Rio pun demikian, langsung menyerang lawannya masing-masing. David dan Steve yang merupakan mantan anggota satuan khusus Inggris tentu saja memiliki dasar beladiri yang mumpuni, namun bukannya membuat
Insane dan
Assassin gentar, mereka justru semakin bersemangat.
Budi yang sedikit terkejut dengan kemampuan Bastian, dia tak menyangka rupanya pria ini cukup hebat beladirinya. Sedangkan Marto merasa kemampuan Rio sebenarnya tidak seberapa hebat, tapi kemarahan dan kenekatan membuatnya sedikit sulit untuk dilawan. Meskipun begitu baik Budi maupun Marto masih merasa yakin mereka mampu mengalahkan lawannya masing-masing.
Marto vs Rio
Rio menyerang Marto secara membabi buta. Baik pukulan maupun tendangan bergantian dia layangkan, namun tak satupun mengenai bagian tubuh Marto. Dengan cukup gesit Marto mudah saja menghindar karena gerakan-gerakan Rio cukup mudah untuk dia tebak. Belum terlihat ada keinginan dari Marto untuk membalas, karena dia memang ingin menguras tenaga lawannya itu dulu.
Tersadar bahwa semua gerakannya hanya sia-sia, Rio menghentikan serangannya. Dia masih memasang kuda-kuda sembari mengatur nafas dan berpikir bagaimana caranya bisa mengalahkan Marto. Dia mulai menyadari bahwa dirinya yang dikuasai emosi akan sangat merugikan, sehingga mencoba mendinginkan kepalanya.
Marto menyadari hal itu langsung bergerak menyerang Rio. Dia tak mau memberi kesempatan lawannya untuk menenangkan diri karena bisa berbahaya baginya, mengingat Rio ini orangnya sangat licik. Rio yang terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Marto tak mampu sepenuhnya menghindar sehingga beberapa pukulan mendarat di wajahnya. Meski pukulan-pukulan itu tak begitu telak namun tak ayal membuatnya yang tadi sudah cukup tenang kembali emosi dan lagi-lagi menyerang dengan asal.
Tindakan Rio ini justru membuat pertahanannya terbuka dan tentu saja hal itu dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Marto. beberapa kali
jab dari Marto mendarat di dada maupun wajah Rio. Pada awalnya Rio tak terlalu mempedulikan dan terus menyerang, namun lama kelamaan dia mulai merasa kesakitan karena pukulan-pukulan itu.
Buuugghhh...
“Aaarrgghh bangsat!”
Sebuah
hook telak mendarat di dagu Rio membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan. Namun Marto tak langsung memberikan serangan susulan. Dia seperti masih ingin bermain-main dengan Rio, dan hal itu benar-benar membuat emosi Rio memuncak. Kembali dia mengarahkan pukulannya kepada Marto, dan sekali lagi dengan mudah dihindari, bahkan tanpa diduga Marto memberikan sebuah pukulan telak di ulu hati Rio.
“Uuuggghhhh.”
Rio sampai harus mundur beberapa langkah dan membungkukkan badannya menahan sakit. Dia meringis namun tetap menatap Marto dengan sangat tajam. Sementara Marto masih kelihatan begitu tenang. Dia tersenyum lebar melihat Rio yang kesakitan, bahkan nafasnya masih normal, menandakan ini bukan pertarungan yang cukup berat baginya.
Budi vs Bastian
Sementara itu pertarungan antara Bastian dan Budi masih terlihat berimbang karena sedari tadi Budi lebih banyak menghindar. Dia ingin lebih tahu dulu sampai mana kemampuan Bastian yang sebenarnya. Keduanya sama sekali belum terkena pukulan satupun, nafasnya pun juga masih terjaga dengan baik. Terlihat bahwa Bastian memiliki stamina yang cukup bagus.
Bisa terlihat diantara teman-temannya yang lain, Bastian jauh lebih tenang dan tidak gegabah. Entah dulunya mendapatkan darimana, tapi Budi mulai meningkatkan kewaspadaan menghadapinya. Kemampuan beladiri yang cukup bagus ditambah dengan otak yang super licik membuat Budi harus berhati-hati dengan segala kemungkinan.
Bastian pun sama, setelah beberapa kali melancarkan serangan kepada Budi, dia tahu kalau lawannya ini memiliki kemampuan diatas rata-rata. Dia juga harus berhati-hati dengan segala kemungkinan yang bisa dilakukan oleh Budi. Keduanya saling tatap dengan tajam. Sejurus kemudian mereka sudah saling menyerang.
Kali ini Budi tak hanya menghindar, namun juga balas menyerang. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa memperkirakan sejauh mana kemampuan Bastian. Jual beli pukulan dan tendangan dari keduanya masih belum menemui sasaran karena berhasil ditangkis dengan baik. Kedua pria inipun masih terlihat begitu berhati-hati dan selalu menjaga jarak. Benar-benar akan alot dan menguji kesabaran keduanya.
Insane vs David
Di tempat lain pertarungan yang lebih seru terjadi antara
Insane dan David. Dengan teknik beladiri tingkat tinggi yang mereka kuasai, dan juga cara bertarung yang hampir sama membuat keduanya sudah sama-sama berhasil membuat wajah lawannya terluka.
Insane adalah tipe petarung yang tidak mempedulikan pertahanan dan terus menyerang. Dia tak masalah wajahnya babak belur asal lawannya menderita luka yang lebih parah.
David juga memiliki karakter yang hampir sama, namun dalam keadaan normal dia masih memiliki pertahanan yang cukup baik. Akan tetapi perkataan
Insane yang menyinggung soal ayahnya tadi membuatnya emosi dan kalap. Dia menyerang
Insane habis-habisan meskipun wajah dan tubuhnya juga penuh dengan luka lebam.
Sebuah
hook dilancarkan oleh David tetapi berhasil ditangkis dan justru dibalas dengan
uppercut oleh
Insane yang mendarat telak di dagu David membuatnya sedikit sempoyongan. Namun secepat kilat David membalasnya dengan sebuah tendangan yang mendarat di perut
Insane. Mereka sama-sama terdesak mundur beberapa langkah, namun langsung maju menyerang kembali.
Keduanya kembali mengepalkan tangan untuk memberikan pukulan kepada lawannya, dan kembali sama-sama mengenai sasaran. Baik
Insane maupun David seperti sedang adu ketahanan siapa yang lebih kuat menerima serangan dari lawannya. Mereka masih nampak tegap berdiri meskipun nafasnya sudah mulai memburu. Namun hal itu masih belum menghentikan keduanya untuk kembali asyik jual beli pukulan.
Assassin vs Steve
Tepat di samping mereka, nampak
Assassin yang sedang melawan Steve. Perbedaan yang cukup jauh terlihat dari keduanya. Wajah Steve sudah begitu babak belur sedangkan Assassin sama sekali belum tersentuh. Steve tak habis pikir karena dia sebenarnya memiliki kemampuan beladiri yang boleh dibilang sangat baik, namun sama sekali tak bisa melukai lawannya sedikitpun. Dia benar-benar tak menduga ada orang yang memiliki kemampuan setinggi
Assassin.
Meskipun begitu sudah terlambat untuk mundur, dan tak mungkin dia menyerah. Kembali Steve mencoba mengatur strategi bagaimana agar pukulan ataupun tendangannya bisa mengenai lawannya itu. Sikap
Assassin yang cenderung santai tentu membuatnya tersinggung, namun dia tak mau gegabah lagi. Dia sudah merasakan bagaimana pukulan-pukulan pria bertopeng itu sukses membuat pelipis kanannya robek.
Steve memasang kuda-kuda, mengepalkan tangannya kuat-kuat, mengumpulkan tenaga yang sudah lumayan terkuras. Kemudian dengan cepat dia menyerang
Assassin. Sebuah pukulan dengan tangan kiri dia layangkan ke wajah pria itu, namun dengan gesit mampu dihindari. Steve sudah bisa menebak kemana lawannya akan bergerak langsung mengarahkan tangan kanannya. Kali ini pukulannya mampu mengenai wajah
Assassin meskipun tidak terlalu telak.
Steve menjadi semakin bersemangat, dia kembali menyerang dan sekali lagi bisa mengenai meskipun tak sampai membuat lawannya terluka parah. Setelah dua pukulannya berturut-turut mampu mengenai
Assassin membuat semangatnya kian bertambah. Namun sayangnya dia tak sadar bahwa semua ini hanyalah pancingan dari lawan agar pertahanannya menjadi terbuka.
Terlalu asyik menyerang membuat Steve lengah. Sebuah pukulan darinya dengan mudah dihindari dan tanpa diduga sebuah pukulan balasan dilayangkan oleh
Assassin dan itu tepat mengenai pelipis kirinya hingga robek. Belum sempat hilang rasa sakitnya sebuah pukulan susulan kembali mendarat di pipinya. Steve langsung berusaha melindungi wajah dengan kedua tangannya namun kemudian sebuah tendangan masuk telak mengenai perutnya dan harus membuatnya jatuh tersungkur.
“
Uhukh uhukh, shit, fool, he let me strike to make a chance to hit me.” (Sialan, bodoh, dia membiarkanku menyerang untuk membuat peluang agar bisa memukulku.)
Steve kembali mencoba untuk bangkit. Sekali lagi sikap lawannya yang santai dan seperti meremehkan membuatnya semakin marah. Namun dia masih menahan diri untuk menyerang, selain karena tadi sudah terpancing, efek dari pukulan
Assassin kini membuat kedua pelipisnya robek. Darah yang mengalir sangat mengganggu pengelihatannya. Dia hanya menyeka sekedarnya saja, sambil mengerjapkan kedua matanya yang terasa perih.
Kini Steve kembali bersiap untuk menyerang. Dia tak lagi memikirkan strategi, karena sedari tadi dengan mudah dipatahkan bahkan diserang balik bertubi-tubi oleh lawannya. Satu sisi dalam dirinya merasa bahwa dia akan kalah dalam duel ini, namun harga dirinya menolak untuk menyerah. Lebih baik mati dalam pertarungan, daripada lari sebagai pecundang, kata-kata itulah yang kini ada di kepalanya.
Steve berlari menerjang ke arah
Assassin yang sudah menunggunya. Gerakan yang begitu frontal dari Steve dengan sangat mudah mampu dihindari oleh
Assassin, bahkan beberapa kali pukulan balasannya mengenai badan Steve. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang dideritanya, Steve terus menyerang dengan membabi buta. Namun darah yang mengalir dari kedua pelipisnya yang terluka membuat pandangannya semakin kabur, sehingga semua serangan yang dia layangkan tak satupun menemui sasaran.
Berbanding terbalik dengan
Assassin. Dia merasa sudah cukup bermain-main dan sekarang adalah waktu untuk menghabisi lawannya. Sebuah pukulan dari Steve berhasil dihindari dengan mudah, kemudian dia membalas dengan pukulan keras yang telak mengenai perut lawannya. Saat Steve sedikit merunduk menahan sakit,
Assassin langsung menambah penderitaan lawannya dengan sebuah
uppercut yang lagi-lagi sukses membuat Steve hampir terjengkang ke belakang, namun kemudian tangannya ditangkap oleh Assassin, ditarik dan diberikan sebuah pukulan keras yang bersarang di wajahnya.
Buuuuggghhhh.
“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”
Teriakan panjang terdengar dari Steve ketika pukulan dari
Assassin berhasil mematahkan tulang hidungnya. Belum cukup sampai disitu, kembali
Assassin menarik tangan Steve yang hampir terjatuh dan mengulangi pukulan itu sampai dua kali membuat darah segar mengalir dari sekujur wajah Steve. Masih belum puas, kembali
Assassin memberikan sebuah pukulan yang sangat keras di dada Steve hingga membuat salah satu tulang rusuknya patah dan menembus jantungnya.
Steve memuntahkan darah dari mulutnya. Dia jatuh terduduk. Ajalnya sudah di depan mata. Tanpa menunggu lebih lama,
Assassin mengarahkan kakinya yang memakai sepatu komando itu untuk melakukan tendangan memutar sekuat tenaga yang bersarang telak di rahang Steve, membuat pria itu terlempar ke belakang, tersungkur di tanah, dan tak bergerak lagi. Steve telah kehilangan nyawanya dengan penuh luka dan wajah bersimbah darah.
“Steveeeeeeeeeee...!”
Terdengar teriakan dari David yang melihat bagaimana saudaranya itu telah tewas di tangan lawannya.
“
Fuck off you asshole!”
“Hey bro, lawanmu disini, ayo selesaikan pertarungan kita,” ucap
Insane yang semakin memanas-manasi David.
“
I’m gonna kill you! I’m gonna kill all of you!”
“
Try, if you can,” jawaban dari
Insane membuat David kalap.
David segera menerjang lawannya dan memberikan serangan yang bertubi-tubi. Kemarahan akibat kematian Steve tepat di depan matanya itu membuatnya benar-benar hilang akal. Bunuh! Bunuh! Bunuh! Hanya itu yang kini ada di kepalanya.
Kondisinya sendiripun sebenarnya sudah cukup banyak luka baik di bagian wajah maupun badannya. Namun kini dia semakin tak peduli, dia ingin segera menuntaskan duel dengan
Insane untuk selanjutnya menantang
Assassin yang telah membunuh saudaranya.
Dikuasai oleh emosi yang luar biasa benar-benar membuat David lepas kendali. Semua serangan balik dari
Insane yang mengenainya sama sekali tak dipedulikan. Dia menyerang dan terus menyerang. Hal ini justru membuat
Insane semakin senang, karena saat-saat kemenangannya akan datang sebentar lagi. Itulah yang diketahui
Insane dari pengalamannya bertarung selama ini.
Hampir sama dengan
Assassin, Insane adalah tipe petarung yang senang bermain dengan lawan-lawannya, dalam artian membuat lawannya menderita terlebih dahulu sebelum kemudian dihabisi. Bedanya adalah, jika Assassin tak mau terlalu banyak terluka, Insane justru memberikan wajah dan tubuhnya sebagai samsak bagi lawan-lawannya. Namun dengan tubuh yang sangat kuat, hal itu tak pernah menjadi masalah buatnya, bahkan selalu menjadi pancingan yang selalu sukses mengelabuhi semua lawannya.
Insane pun kini merasa bahwa sudah waktunya menghabisi David, namun dia ingin melakukannya dengan cara yang lebih kejam daripada yang dilakukan oleh
Assassin kepada Steve.
Kembali David menyerang dengan membabi buta. Pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi dia lancarkan kini tak satupun mampu mengenai lawannya. Pada sebuah kesempatan, saat pukulan David berhasil ditahan,
Insane memutar tubuhnya hingga kini berada di belakang David, merentangkan tangan kanan yang tadi ditangkapnya, dan sebuah gerakan dari sikunya bersarang dengan keras di siku David.
KRAAAAAAKKK...
“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”
Suara melengking David terdengar saat tangan kanannya patah. Dia segera memutar tubuhnya untuk menyerang Insane dengan menggunakan tangan kirinya. Namun sayangnya serangan itu percuma saja, bahkan
Insane melakukan hal yang sama dengan menangkap tangan itu, memutar tubuhnya ke belakang David, dan dengan gerakan cepat sikunya kembali menghantam siku David dengan sangat keras.
KRAAAAAAKKK...
“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”
Lagi-lagi tangan David berhasil dipatahkan oleh Insane. Tak berhenti disitu,
Insane segera merubah posisinya. Kini dia berhadap-hadapan dengan David.
Insane melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan
Assassin kepada Steve, memukuli wajah David hingga tulang hidungnya patah dan wajahnya semakin mengeluarkan banyak darah segar.
Tanpa kedua tangan yang bisa digunakan, David sama sekali tak mampu berbuat apa-apa saat
Insane menghujani tubuhnya dengan beberapa pukulan keras. Dadanya serasa remuk, beberapa tulang rusuknya patah dan melukai jantungnya. Darah segar mengalir dari mulut dan hidung David. Saat tubuhnya hendak terjatuh,
Insane segera mengangkapnya. Dia memutar tubuh David hingga menghadap ke Steve yang telah tewas.
“Lihat itu saudaramu. Sampaikan salamku padanya yaa, selamat berkumpul dengan ayah kalian di neraka!”
KRAAAAAAKKK...
Tanpa ampun
Insane memutar kepala David meremukkan tulang-tulang di lehernya. Seketika itu pula David tewas, menyusul Steve yang terbunuh beberapa saat yang lalu. Kondisinya bahkan lebih mengenaskan ketimbang Steve. Luka-lukanya lebih parah, matanya terbuka lebar menyiratkan penderitaannya sebelum terpisah antara nyawa dan badan. Kini kedua kakak beradik yang mengusung misi membalas dendam atas kematian ayahnya itu harus merelakan kegagalan misinya dan bahkan menyusul ayahnya ke alam baka.
Di lain tempat, satu lagi pertarungan tak seimbang terjadi antara Marto dan Rio. Wajah Rio sudah babak belur dihajar oleh Marto, sedangkan Marto sendiri hanya terkena beberapa pukulan ringan dari Rio yang bahkan tak membuatnya lebam. Marto menyadari bahwa kemampuan Rio yang sedang dihadapinya kini jauh dengan Rio yang sebenarnya. Dulu, selama perlatihan menjadi pasukan khusus kepolisian, hanya Rio yang aslilah yang bisa mengimbanginya dalam duel satu lawan satu, meskipun tak pernah menang atas dirinya. Dan kini, Rio yang dihadapi kemampuannya jauh di bawah itu.
“Uhukh uhukh, tak kusangka, kau hebat juga Marto!”
“Penipu rendahan sepertimu bukanlah tandingan bagiku. Bahkan kamu masih nggak ada apa-apanya dibandingkan Rio yang sebenarnya!”
“Haha, masih saja kamu sebut-sebut dia. Buktinya dia sudah lama mati.”
“Itu semua karena akal bulus kalian saja. Kalau dalam pertarungan yang
fair, tak mungkin dia kalah dari kalian!”
“Tidak pernah ada kata
fair dalam kamus kami untuk memperoleh apa yang kami inginkan. Termasuk, bagaimana aku berhasil menikmati kedua istrimu, sungguh, benar-benar nikmat, haha.”
“Bajingan! Sudah mau mati masih banyak omong, kuhabisi kau!”
Marto tersulut emosinya mendengar perkataan dari Rio dan langsung kembali menyerangnya. Serangan yang sama sekali tak mampu ditahan oleh Rio. Berkali-bali baik itu pukulan maupun tendangan dari Marto bersarang telak di badannya. Hingga akhirnya sebuah pukulan mengenai wajah dan membuatnya jatuh tersungkur. Rio merangkak mundur menjauhi Marto. Dia menemukan sebuah batu seukuran kepalan tangan, mengambil lalu melemparkannya kepada Marto, namun dapat dihindari dengan mudah.
Kembali Rio bangkit dan saat itu pula Marto langsung menerjangnya dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan yang tak satupun mampu ditahan atau ditangkis oleh Rio. Kembali Rio jatuh tersungkur dengan luka yang semakin banyak dan badan yang semakin terasa sakit. Dalam hati Rio mengumpat dan sudah merasa bahwa dirinya bakal kalah. Tiba-tiba dia melihat sebuah senapan yang berada beberapa meter di belakangnya. Rio berusaha bangkit dan berlari menuju senapan itu untuk mengambilnya.
SZLEEEEBBB...
“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”
Baru saja tangan Rio berhasil meraih senapan itu dan memutar badan, sebuah pisau komando menghunus tepat di dadanya hingga menembus jantung. Terlihat olehnya Marto yang tadi melempar pisau itu masih memegang satu buah pisau komando lagi sambil berjalan ke arahnya. Tak mau menyerah begitu saja, dengan sisa tenaganya Rio mencoba mengangkat senapan itu dan mengarahkannya ke Marto, namun belum sempat berbuat lebih jauh kembali Marto melemparkan pisau yang dipegangnya dan tepat menancap di leher Rio, membuatnya roboh seketika. Rio tewas dengan darah yang mengalir dari leher dan dadanya yang tertancap oleh pisau komando.
Hanya tinggal menyisakan satu pertarungan lagi yaitu antara Budi melawan Bastian. Pemandangan yang tersaji hampir sama dengan sebelumnya, dimana terlihat jelas kini Budi sudah bisa mendominasi Bastian. Kemeja putih yang dipakai oleh Bastian telah ternoda oleh banyaknya bercak darah. Pertarungan sudah semakin tidak seimbang lantaran stamina yang dimiliki oleh Bastian ternyata masih kalah jauh dibandingkan Budi.
Budi sendiri sebenarnya juga sudah beberapa kali terkena pukulan dari Bastian hingga wajahnya sedikit lebam dan dari sela-sela bibirnya mengeluarkan darah. Namun tentu saja luka itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang diderita oleh Bastian.
Duel antara mereka masih berlangsung dengan saling menyerang lawan masing-masing. Stamina Bastian yang mulai melemah membuat pukulannya tak lagi bertenaga seperti sebelumnya. Bahkan untuk menangkis serangan dari Budi pun dia mulai kesusahan, hingga akhirnya sebuah pukulan telak menghantam wajah dan membuatnya tersungkur ke tanah.
Sebelum sempat bangkit dia melihat kondisi di sekitarnya. Dia cukup terkejut melihat ketiga temannya sudah berhasil dikalahkan oleh lawan mereka masing-masing. Bahkan kini ketiganya sudah tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Melihat itu semua justru Bastian tersenyum lebar, bahkan kemudian tawa keras terdengar darinya.
“Hahahahahaha...”
“Hebat
Vanquish, kalian memang benar-benar hebat. Tak kusangka kami bisa dikalahkan dengan semudah ini,” ujar Bastian yang belum juga bangkit.
“Luar biasa, benar-benar hebat. Lebih dari 150 orang disini sudah kalian habisi. 150 orang lagi ditambah keempat Mata Angin yang harusnya menyusul dari bawah sudah kalian habisi juga dengan bantuan dari polisi.”
Semua orang masih terdiam mendengar perkataan dari Bastian. Terutama Budi, dia masih menunggu lawannya itu untuk bangkit dan meneruskan pertarungan mereka. Namun Bastian tak juga bangkit, dan masih menertawai kondisinya yang sekarang sudah berada di ambang kekalahan.
“Rencana yang sudah kami susun bertahun-tahun, uang yang sudah begitu banyak kami keluarkan, semuanya hancur berantakan hanya dalam semalam. Kalian benar-benar hebat, aku terlalu meremehkan kalian, hahahaha.”
“Tapi sayangnya, target utama kalian tidak akan terpenuhi,” Bastian menatap ke arah Budi dengan senyum penuh misteri.
“Kalian, terutama kamu Budi, datang kesini untuk menyelamatkan Tiara, dan juga menangkap ayahku Fuadi, tapi sampai sekarang kalian belum mengetahui dimana keberadaan mereka bukan? Aku nggak akan membiarkan kamu menang semudah itu Bud, nggak akan, hahaha.”
Tiba-tiba Bastian meraih sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil berbentuk kotak berwarna hitam yang diatasnya ada sebuah tombol berwarna merah. Bastian tersenyum saat mengeluarkan benda itu namun tidak dengan Budi dan rekan-rekannya. Firasat mereka mendadak menjadi sangat buruk, nampaknya Bastian mempunyai sebuah rencana yang tidak mereka perkirakan sebelumnya.
“Kalian tentu tahu, benda apa ini? Ya, ini adalah detonator. Sekali aku pencet tombol merah ini, maka lokasi istrimu berada sekarang akan langsung meledak, dan tentu saja, istrimu hanya tinggal sebuah nama, hahaha.”
Meskipun sudah memperkirakannya, namun perkataan Bastian barusan tetap saja membuat mereka semua terkejut. Masalahnya adalah, Budi dan rekan-rekannya belum tahu dimana posisi Ara sekarang. Bahkan Shadow yang biasanya tak pernah kesulitan mencari informasi pun juga tak tahu keberadaan Ara. Hal ini membuat mereka harus berhati-hati, memaksa Bastian mengatakan dimana tempat Ara adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
“Aku tahu, kalian semua pasti bertanya-tanya dimana posisi Ara. Yang jelas, dia sekarang bersama dengan ayahku dan beberapa orang wanita lainnya. Yah, memang jika tombol merah ini aku pencet, ayahku pun juga akan ikut tewas, tapi itu semua sudah menjadi resiko kami, karena kami tahu, saat kalian menemukannya dalam keadaan hidup pun, kamu pasti akan tetap membunuhnya, bukan begitu Bud?”
“Kalian mau membunuhku, merebut detonator ini lalu melacak keberadaan Ara? Percuma saja, saat ada satu saja peluru menembus tubuhku, tanganku otomatis akan segera memencet tombol merah ini, hahaha.”
Kembali Budi dan rekan-rekannya terdiam, memikirkan bagaimana caranya merebut alat pemicu ledakan itu dari tangan Bastian tanpa dia sempat memencetnya. Memang benar yang dikatakan oleh Bastian, tindakan yang gegabah akan membuatnya memencet tombol itu. Saat itu mereka akan tahu dimana keberadaan Ara, namun tentu saja sudah sangat terlambat untuk menyelamatkannya.
“Berikan benda itu padaku Bas, dan katakan dimana Ara! Mungkin dengan begitu kami tidak akan membunuhmu,” ujar Budi mencoba bernegosiasi.
“Hahaha, kamu pikir aku bodoh? Setelah aku menyerahkan benda ini, aku yakin nyawaku pun akan melayang. Tidak Bud, aku tidak sebodoh itu.”
“Sudahlah Bas, apalagi yang mau kamu lakukan? Semua anak buahmu sudah mati, hanya tinggal kamu dan ayahmu saja. Lebih baik kalian menyerah.”
“Menyerah? Lalu diproses hukum yang ujung-ujungnya dihukum mati? No no no, aku lebih memilih mati karena kau bunuh daripada harus mati karena diadili Bud.”
“Kalau kamu serahkan benda itu dan memberitahu dimana keberadaan Ara, aku nggak akan membunuhmu.”
“Oh ya? Bukankah kamu tadi bilang akan membunuhku untuk kemudian mencari istrimu? Sudah kubilang, aku lebih memilih mati di tanganmu daripada harus dibunuh oleh orang lain. Dan aku akan melakukan sesuatu, agar kamu mau membunuhmu, hahaha.”
“Mau apa kamu Bas? Jangan macam-macam!”
“Semua yang terjadi ini berawal dari dendam Bud. Dendam ayahku pada mertuamu, juga dendam David dan Steve kepada kalian yang telah membunuh ayahnya dulu. Jadi, kupikir semua ini harus diakhiri dengan membalas dendam juga, dan yang akan mengakhiri ini semua adalah kamu, Budi.”
“Apa maksud perkataanmu?!” perasaan Budi semakin tak enak, terlebih saat dilihatnya Bastian tersenyum sambil mengacungkan alat pemicu ledakan itu kepadanya.
“Aku akan membunuh istrimu dengan alat ini, dan setelah itu, bunuhlah aku, hahaha.”
“Jangan lakukan itu Bas, ada ayahmu juga disana.”
“Aku tak peduli, ayahku pun tak peduli. Jika semua ini gagal, maka dia ingin aku yang membunuhnya. Kamu lihat ini, kalian telah berhasil menggagalkan semuanya, dan saatnya bagiku untuk membunuh ayahku, berikut pula istrimu dan para wanita itu, hahaha.”
Budi terdiam, begitu juga dengan rekan-rekannya. Mereka bingung harus berbuat apa, karena sepertinya tindakan apapun tak akan mampu menghentikan Bastian dari keinginannya meledakan tempat Ara berada. Dia sendiri seperti sudah mengakui kekalahannya dan ingin segera mati. Kemudian senyum Bastian terlihat mengembang, ibu jarinya sudah berada di tombol berwarna merah itu.
“Daripada kalian nanti kebingungan, aku akan beritahu dimana mereka berada. Mereka berada di salah satu ruangan yang penuh dengan bom. Saat bom itu meledak, efeknya akan terasa sejauh beberapa meter. Dan ruangan itu tak lain adalah, ruangan paling ujung dari bangunan yang ada di hadapan kalian.”
Seketika mereka semua terkejut, karena ternyata Ara dan Fuadi, juga beberapa wanita lain masih berada disini, di wilayah villa ini. Mereka sudah akan bergerak untuk menuju kesana namun tertahan saat Bastian mengangkat tangannya dan berteriak dengan sangat keras.
“Budi, ucapkan selamat tinggal pada istrimu!”
BLAAAAAAAAAAAARRRRRR
“Tidaaaaaaaaaaaakkkkk! Arraaaaaaaaaaaaa!”
Sebuah ledakan yang sangat besar berasal dari ruangan yang tadi disebutkan oleh Bastian. Ledakan itu benar-benar menghancurkan ruangan itu, namun beruntung posisi mereka terlindungi oleh pepohonan sehingga serpihan dari ledakan itu tak sampai mengenai mereka.
“Hahahaha, kamu lihat itu Bud? Ayo sekarang balaskan dendam istrimu padaku! Bunuh aku Bud, hahahaha.”
“Bajingan kau Bas, kubunuh kau!”
Budi langsung menerjang kearah Bastian. Dia menduduki tubuh itu dan kedua tangannya langsung menghujani wajah Bastian dengan pukulan-pukulan yang sangat keras. Bastian sama sekali tak melawan bahkan terus tertawa hingga Budi berhasil mematahkan hidungnya, baru dia terdiam. Budi masih terus menghajar Bastian dengan penuh emosi hingga tubuh Bastian tak bergerak lagi, namun masih terlihat ada nafasnya walaupun lemah.
“Bud sudah Bud, dia udah mati Bud.”
Hurricane datang untuk menenangkan dan menarik tubuh Budi yang masih terus memukuli Bastian yang sudah tak berdaya itu. Namun ketika tubuhnya berhasil ditarik, Budi justru merebut senapan serbu dan mendorong
Hurricane hingga terjerembab. Budi dengan senapan serbu itu kembali mendatangi Bastian. Tanpa ampun tubuh yang sudah tidak berdaya itu ditembaki oleh Budi.
“Anjiiing kamu Bas, bangsaaat! Kubunuh kau! Kubunuuuuhh!”
Tak ada yang berani menghentikan aksi Budi itu. Terus saja dia menembakan senapan yang pelurunya masih cukup banyak itu, hingga kini tubuh Bastian tak karuan lagi bentuknya. Kepalanya hancur, otaknya berhamburan keluar. Tubuh Bastian pun sudah hancur tak berbentuk, bahkan organ dalamnya juga hancur terkoyak oleh peluru itu. Sampai peluru habis Budi masih terus menarik pelatuk senapan itu. Dia tak henti mencaci dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
Saat itulah
Queen mendatanginya. Dia menarik senapan yang dipegang Budi lalu melemparkannya jauh-jauh. Langsung saja
Queen memeluk Budi yang masih terisak.
“Hei kalian, cepat periksa kondisi disana! Padamkan api dan identifikasi kondisinya, termasuk jumlah korban!” perintah
Queen kepada rekan-rekannya.
Serempak
Assassin, Insane, Shadow, dan
Hurricane yang dibantu oleh Marto, Ichi, Paidi, Fauzi dan Nickolai menuju ke arah sumber ledakan itu. Sedangkan Fadli masih berada di gerbang mencoba menenangkan Wijaya, Sakti berusaha menenangkan Mila istrinya dan Fitri menenangkan Aini yang histeris saat terjadi ledakan tadi. Sementara itu
Queen sendiri masih memeluk dan menenangkan Budi yang masih menangis.
“Udah, jangan kayak gini. Disana ada Ardi lho, jangan sampai dia lihat kamu kayak gini.”
“Hiks, tapi Ara, hiks Ara, aku nggak bisa nyelametin dia.”
“Udah, biar dilihat dan dipastiin sama temen-temen dulu.”
Beberapa saat kemudian setelah berusaha keras memadamkan api, terlihat
Shadow kembali menuju ke arah mereka.
Queen dan Budi melihatnya bersamaan, dan
Shadow hanya menggelengkan kepalanya. Mereka tahu apa artinya itu. Dan semakin pecahlah tangis Budi, begitu juga orang-orang yang menunggu kepastian dari gerbang.
“Araaaa. Aku nggak bisa nyelametin Araa,” Budi memeluk
Queen dengan erat melampiaskan perasaannya. Rasa sedih, menyesal dan putus asa.
Queen tak bisa berkata apa-apa dan hanya membalas pelukan Budi dengan semakin erat, karena kini matanya pun mulai berair.
“Ara Ndah, Ara udah nggak ada, aku nggak bisa nyelametin dia, hiks,” Budi masih terus menangis dalam pelukan
Queen.
“Iya Mas, Indah tahu. Relain Mbak Ara, dia tahu kok Mas Budi udah berusaha sekuat tenaga buat dia. Mas Budi harus kuat, inget masih ada Ardi.”
*****
.....?????