Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG With Benefits.

Status
Please reply by conversation.
- Pour the Gasoline on the Bonfire -

=======

Caca


Aini


Evelynn


=======

Seperti rutinitas biasanya, aku bangun pagi, melaksanakan ibadah pagiku, sarapan, dan bersama Bella kami berangkat menuju ke sekolah. Rasanya aku mulai bosan dengan rutinitasku yang hanya seperti ini nyaris setiap harinya.

Namun, hari ini berbeda. Sore nanti kami akan memainkan pertandingan semi-final melawan SMA yang baru saja memenangkan pertandingan dengan skor 8-2. Selain itu, sekarang harusnya saatnya Caca kembali dari Rumah Sakit setelah diopname beberapa hari belakangan. Meski aku memang sering menjenguknya bersama dengan yang lain, kami tetap merindukan keberadaannya di kelas kami karena dialah orang yang sering meramaikan kelas.

--------

"Woy! Bengong bae, lu!" Teriak Adi mengagetkanku yang sedang menyantap bakwan.

"UHUK!! UHUK!! ANJING, GUA LAGI NGUNYAH!!" balasku kesal karena tersedak.

"Ya lagian! Lagi di kantin mah ngobrol, lu malah bengong aja!" Jawabnya sembari menyeruput teh hangat.

"Ngantuk, tai, masih jam berapa ini lu liat coba" ucapku menyuruhnya melihat jam.

"Halah, lu udah dua hari ini nggak kaya semangat gitu, Bay" seling Rama yang tiba-tiba menepuk kepalaku pelan.

"Tau nih, gara-gara belahan jiwa lu udah nggak masuk berapa hari, ya?" Sambung Adi meledekku.

"Apaan si tai, gajelas" jawabku asal dan aku langsung membuka hapeku.

Yah, ucapan mereka ada benarnya juga. Meski aku masih bisa menggila bersama Adi, Rama, dan Dewa, aku merasakan masih ada sesuatu yang kosong di sekolah bagiku. Tak adanya Caca benar-benar berpengaruh kepadaku, ya?

Tapi, ya sudah lah, pasti orang-orang juga merasakan hal yang sama.

Kami lanjut menyantap sarapan kami di kantin, dan ketika kami sedang makan, tiba-tiba seseorang mendekati kami, dan tanpa seizin kami, dia langsung menduduki kursi panjang tepat disamping Adi yang sedang duduk sendirian.

"Hey, guys" ucapnya mengejutkan kami sembari menaruh tas tentengnya di meja, dan setelah itu, Evelynn mengeluarkan beberapa alat rias dari tasnya.

Kami yang terkejut pun langsung menoleh kearahnya, dan kami langsung menyadari kalau Evelynn lah yang duduk disamping Adi.

"Loh, Lynn, tumben lu dateng gak telat" ledek Rama.

"Hih, banyak bacot lo, gue sengaja hari ini dateng pagi" jawabnya sembari merias wajahnya.

"Ngapain?" Tanyaku singkat.

"Ada yang pengen gue omongin sama lo, terus gue takut gak sempet kalo nanti siang" jelasnya menatapku.

"Kenapa?"

"Rafael sama Claudia berantem" ucapnya pelan.

"HAH?!" teriakku, Adi, dan Rama bersamaan.

Oh, tidak. Aku merasakan ada sesuatu yang buruk terjadi antara mereka berdua, namun, yang membuatku merasa resah berat karena aku teringat dengan ucapan Evelynn hari senin lalu saat kami sedang makan.

"Berantem kenapa?" Tanyaku lagi.

"Yah, biasa lah Claudia, dia marah-marah pas Rafael marah kenapa dia nggak ngabarin kalo dia di RS," jelasnya detil.

"Terus ujung-ujungnya sampe sekarang masih diem-dieman, cuma Rafael kalo ada apa-apa minta tolongnya ke gue kalo nggak ke anak-anak"

"Kejadiannya kapan?" Tanyaku.

"Senin kemaren"

*DEGGGG...*

"Bay, lo inget kan apa yang gue omongin kemaren?" Tanya Evelynn.

"Iya, emang Caca bawa-bawa gua?" Balik tanyaku memastikan.

"Nggak, malah Rafael yang bawa-bawa lo duluan, tapi Claudia langsung ngebales 'liat, Bayu yang bukan siapa-siapa aku bisa sampe kaya gitu, kamu kemana?!', gitu deh" jelas Evelynn.

"Ya masuk akal si, lagian juga kenapa coba Rafael marah-marah pas kondisinya Claudia lagi sakit?" Ucap Rama yang sangat logis.

"Tapi nggak usah pentingin itu dulu, Bay, lo pikirin kata gue baik-baik: masih ada waktu bagi lo buat benerin hubungan mereka, dan gue yakin lo paham apa maksud gue" balas Evelynn, dan seketika Evelynn langsung pergi membawa tasnya.

Akupun terdiam memikirkan perkataan Evelynn, dan pikiranku kembali berputar saat Adi dan Rama kebingungan dengan sikap Evelynn.

Apa mungkin aku sudah terlalu jauh dalam menjadi sahabat Caca? Apa sebaiknya aku mundur saja? Tapi bagaimana caranya? Aku sudah menyelam cukup jauh dan akan sangat sulit bagiku untuk bisa kembali ke permukaan.

"Udah, lah, Bay, nggak usah banyak dipikirin, masih ada semifinal nanti sore" ingat Adi kepadaku, dan setelah itu, Rama mengajak kami untuk kembali ke kelas.

Sepanjang perjalanan kami pun, lagi-lagi aku memikirkan perkataan Evelynn. Jujur, aku masih sangat kebingungan. Apa yang menyebabkan perkelahiannya hingga bisa se-wah itu?

Aku tahu ini memang disebabkan oleh keberadaanku yang sepertinya dapat mengganggu hubungan mereka, namun kini aku berada di fase kebingungan akan siapa yang menjadi dampak utama dari kejadian sebelumnya. Apakah Rafael karena tidak diberi kabar? Atau Caca yang mempertanyakan posisi Rafael? Atau bahkan....

"EH! BAYU!" teriak seseorang dengan nada yang sangat familiar.

Suara manis itu, suara yang sudah hilang dari kelas kami selama beberapa hari belakangan.

"CACA?!" teriakku yang langsung menoleh kearahnya.

Aku langsung melihat Caca yang sudah berada di depan kelas mengenakan pakaian hari Jumatnya, serta menenteng sebuah tas totebag serta jaket yang ia taruh di bahunya. Ia sudah terlihat begitu segar dan ceria, tidak seperti beberapa hari sebelumnya.

Melihat kami yang masih berada di kejauhan pun Caca langsung berlari menghampiri kami, dan setelah itu, Caca mengajak kami tos ketika dia sudah berada di depan kami.

"Asikk, udah seger banget, nihh" ucap Rama selagi mengajaknya tos.

"Hahaha, iya lahh, gue jenuh banget di RS berapa hari anjir" jawabnya.

"Tapi lu udah mendingan, kan? Masih lemes, nggak?" sambungku.

"Udah nggak, kokk, nih liat" jawabnya, dan untuk membuktikannya, Caca meloncat beberapa kali di depan kami.

"Weshh, udah siap ngultras dong nih berarti?" Ucap Adi.

"Udahh lahh, mau nontonin si nomor 41 guee" jawabnya meledekku, karena aku bercerita kepadanya tentang apa yang terjadi di quarter-final kemarin.

Adi dan Rama tertawa mendengarnya, namun, kondisiku yang masih memikirkan ucapan Evelynn tadi benar-benar mengganggu pikiranku.

Entah kenapa, aku menjadi merasa sangat canggung, dan selagi aku merasa canggung, rasa bersalah dari apa yang terjadi dengannya dan Rafael mulai memasuki pikiranku.

"Udah, udah, balik kelas, yok" ajakku mematahkan pembicaraan mereka.

Kami pun kembali ke kelas, dan tentu saja, kelas menjadi sangat ramai ketika Caca memasuki kelas berkat keaktifan Caca.

Aku, Rama, dan Adi pun langsung beranjak menuju kursi kami, dan Caca langsung beranjak menuju ke Aini untuk mengobrol sejenak.

Selagi aku duduk sendiri, pikiranku kembali mengawang. Aku bingung harus melakukan apa. Rasanya posisiku sekarang benar-benar rumit dimana aku tidak bisa membuat keputusan benar.

"Bay, lu kenapa murung banget, si? Nervous lu semifinal?" Ucap Rama menanyakanku.

"Hah? Oh, nggak, ga ngapa-ngapa si" jelasku kaget ketika Rama memanggilku.

"Lu jangan keliatan murung banget gitu tapi, Bay, kayak nggak ngehormatin Claudia lu jadinya, dia baru keluar dari RS harusnya lu happy dong" balas Rama lagi.

"Kagak, Ram, gua baek-baek aja, kok" bantahku lagi, dan setelah itu, Caca kembali duduk disampingku dan menaruh tasnya di meja.

Caca menaruh hapenya di meja, dan setelah itu, Caca merangkul tanganku dan menyandarkan kepalanya di lengan atasku membuatku merasa sangat tidak nyaman berhubung pikiranku masih kacau.

"Kangen banget gue ama bestie gue" ucapnya selagi merangkulku.

"Tai, kan gua sering jenguk masa masih ae kangen?" Jawabku asal.

"Uuuu, ada yang kangen banget, yaaa?" Ledek Rama yang tak kugubris.

Kami pun mengobrol cukup lama, dengan posisi Caca yang masih belum berubah. Kami mengobrol hingga pelajaran pertama dimulai, dan setelah itu barulah Caca melepaskan rangkulannya.

=====
(Siang)

Berhubung hari ini adalah hari Jum'at, kami mendapatkan jam istirahat lama. Tentu saja, aku memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat setelah melakukan ibadah Jum'at. Aku memutuskan untuk tidur di lantai menyandarkan punggungku ke tembok, dan Adi tertidur dengan membentangkan tubuhnya pada dua kursi. Sedangkan Rama sedang bermain basket bersama teman-temannya di lapangan.

Kelas terasa sangat sepi, karena memang sebagian besar anak kelas kami merupakan anak yang ambisius dan terlihat beberapa orang sedang mempelajari materi untuk SBMPTN dari jauh-jauh hari.

Namun, keheningan dan ketenangan itu perlahan pudar bagiku, karena setelah itu Caca kembali ke kelas. Melihat kelas yang sedang tenang juga, Caca ikut sunyi, namun melihatku yang sedang tertidur di lantai, Caca langsung menghampiriku tanpa ku melihat.

"Bay, numpang pundak, ya" ucapnya mengejutkanku, dan tanpa persetujuanku, Caca sudah menyandar di bahuku.

Aku hanya terdiam tak menjawab, dan aku kembali memejamkan mataku. Tapi ketika aku hendak kembali tertidur, Caca menaruh tangannya di paha kananku selagi Caca memainkan hapenya. Tapi, rasanya kini begitu beda dengan sebelumnya.

Aku hanya terdiam melihat kedepanku, sementara Caca terus memainkan hapenya. Pikiranku kembali berkecamuk dengan apa yang terjadi, dan posisi Caca yang berada disampingku benar-benar tidak membantu.

Aku begitu murung memikirkan itu semua, dan akhirnya Caca pun menyadari kegelisahanku.

"Bay, what's wrong?" Tanyanya masih memegang hapenya.

"Nothing"

"Come on, Bay, gue merhatiin lo dari pagi lo kayak murung gitu, kenapa?" Tanyanya lagi.

"Yah gitu deh, lagi ada yang gua pikirin, Ca" jelasku.

"Are you nervous for the next match?" Tanyanya lagi menebak kegelisahanku.

"Well, technically" jawabku.

Tak kusangka, aku harus berbohong.

"Kenapa?"

"Pertandingan sebelumnya mereka menang 8-2, and it really gets on my nerves" bohongku lagi, karena jujur, aku tidak takut untuk menghadapi mereka.

"It's okay, wajar lo nervous, tapi jangan biarin itu ngendaliin pikiran lo, oke? Gue percaya kok, as long as you do your best, lo bisa ngelawan apa aja, oke?" Ucapnya menyemangatiku, dan kemudian Caca mengelus-elus lengan atasku.

"Jeez, thanks, Ca" jawabku berterimakasih, dan setelah itu entah apa yang mendorongku kini kepalaku tersandar di kepala Caca.

Kami tak berbicara banyak lagi, dan kemudian, seseorang membuka pintu, dan terlihat Aini berjalan menghampiri kami ke belakang.

"Guys, udah dulu nge-date nya, ya" ucap Aini meledek kami.

"Kenapa, Ni?" Tanya Caca yang masih belum pindah.

"Bantuin gue nganter buku ke ruang guru dong, kalian" pintanya, dan segera, aku langsung berdiri.

"Ayo"

Setelah itu, bersama Aini, aku beranjak menuju ke ruang guru untuk mengumpulkan buku tulis yang baru saja kami kerjakan sebelum istirahat.

Selagi di ruang guru juga, kami mengobrol sejenak dengan guru matematika kami. Beliau menyemangatiku untuk semi-final nanti, dan Aini dan aku juga melakukan sedikit konsultasi untuk pemilihan jurusan di SNMPTN nanti.

Kami pun beranjak pergi kembali ke kelas setelah cukup lama kami berada di ruang guru, dan kemudian Aini bertanya padaku selagi kami jalan.

"Bay, lo mau langsung kelas apa kemana dulu?" Tanyanya selagi aku melamun.

Oh iya, apa aku tanya saja kepada Aini, ya?

"Nggak tau sih, Ni, lu?" Balik tanyaku.

"Gatau, tapi males juga kalo di kelas doang" jawabnya melihat kearahku.

"Mau ikut gua ke sekre ekskul sebentar, nggak?" Ajakku.

"Jangan lama-lama ya, tapi, mumpung abis ini free-class mau nonton film gue" jawabnya setuju.

Akhirnya setelah itu kami beranjak ke ruang ekskul sembari mengobrol tentang pemilihan jurusan tadi, dan ketika kami sampai, aku membuka gembok yang mengunci pintu sekre ini.

"Bay, gue nunggu diluar aja, ya" ucapnya.

"Masuk ae dulu"

Tanpa ada perlawanan, Aini beranjak memasuki ruangan sekre dan duduk di kursi yang berada di pinggir, dan setelah itu, aku menutup pintunya.

Tindakanku benar-benar sketchy, dan seketika aku menutup pintuku, Aini terlihat gelisah takut dengan apa yang akan terjadi.

"Bay, kok ditutup pintunya?" Tanyanya gelisah.

"Gapapa"

"Bay, lo nggak mau apa-apain gue, kan?" Tanyanya makin gelisah dan terlihat wajahnya mulai memerah panik.

"Heh, bego, sekalinya gua mau apa-apain lu ya nggak mungkin gua ngelakuinnya di sekolah" jawabku yang membuatnya tertawa lega.

"Terus kenapa, dong?? Lo bikin panik aja, dah" tanyanya lagi, dan aku mulai bercerita.

"Ni, WHAT THE FUCK SHOULD I DO?!" Tanyaku yang kini panik dan bingung.

"Hah, kenapa?!?" Balik tanyanya yang mulai khawatir.

"Jadi tadi pagi Evelynn cerita ke gua, Caca sama Rafael berantem, dan berantem mereka malah makin parah gara-gara Rafael bawa-bawa gua," mulai ceritaku.

"Gua harus gimana, anjir?!"

Mendengar ceritaku, Aini juga sama terkejutnya. Aini juga menjadi salah satu tempat Caca bercerita, dan dilihat dari reaksinya, sepertinya dia belum tahu juga.

"Hah?! Terus mereka putus sekarang?!"

"Belom, belom, tapi mereka udah di fase diem-dieman sekarang, Ni! Kalo nggak ngelakuin sesuatu pasti dalem waktu deket mereka bakal!" jelasku.

"Aduh, anjir, tapi hubungan lo sama Rafaelnya masih baik-baik aja, kan?!" Kembali tanya Aini.

"Fuck knows, Ni! Gua jarang banget ngobrol sama Rafael, it could go either way but I'm too stressed out to think about it" jelasku.

Aini tidak menjawab apa-apa, dan aku juga bingung harus menjelaskan apa lagi. selagi Aini terdiam, aku beranjak duduk di kursi di sampingnya.

Kami terdiam sebentar setelah penjelasanku. Aku dan Aini memikirkan apa yang harus dilakukan selagi kami terdiam, dan kulihat raut panik dan kebingungan di wajah Aini memudar. Sepertinya dia sudah menemukan jawaban.

"Terus lo maunya gimana, Bay?" Tanya Aini.

"Jujur gua nggak tau, gua jaga jarak sama Caca gaenak sama dianya, tapi kalo gua stay, presence gua bisa ngerusak hubungan mereka, serba salah jadinya" jelasku.

"Jadi intinya lo mau gimana aja bakal ada konsekuensinya, kan?" Tanya Aini dan kujawab dengan anggukan.

"Kalo gitu, semuanya ada di tangan lu, lu yang harus putusin mana yang terbaik untuk bersama," jelas Aini yang tiba-tiba menepuk pundakku.

"Tapi, kalo saran dari gue, kalo lo udah kena basah, mendingan lo sekalian ceburin diri lo biar basah semua, kan?"

"Jadi lu nyuruh gua pepet Caca selagi situasinya kayak gini?" Tanyaku, dan tak kusangka, Aini menjawabnya dengan anggukan.

"Ni, now's not the time to talk about this" ucapku mengingatkan kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat.

"Bay, kalo lo emang nggak punya rasa sama Claudia, you could just easily walk away, lo paham kan maksud gue?" Ucap Aini berusaha meyakinkanku.

Jujur, aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan. Ucapan Aini sangat menusuk ragaku dan membuatku terdiam.

Ucapan Aini ada benarnya. Bila aku tidak memiliki rasa, harusnya mudah bagiku untuk mengambil langkah mundur untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi entah kenapa, aku merasa sangat berat untuk melakukan itu.

Kemudian, rasa ini, bahkan aku tidak tahu rasa apa yang kumiliki terhadap Caca. Dia sahabatku, dan bila aku harus menjauh dari sahabatku sendiri, rasanya sangat berat bagiku. Meskipun logikaku tahu kalau menjauh darinya adalah hal yang benar, aku masih merasa tidak bisa untuk menjauh begitu saja.

"Hmm?" Kembali ucap Aini.

"Ni, sekalipun gua punya rasa sama Caca, bukan begini caranya buat dapetin dia, dia masih punya cowok, cowoknya temen gua juga, that's not right"

Hanya itu jawaban yang bisa kusampaikan kepadanya, dan jawabanku membuatnya tertawa.

"Hahahahahaha"

"Kenapa?"

"Lo lucu deh, Bay, lo kalo solving things diluar hal ini lo jagonya, tapi kalo udah urusan cinta lo bego banget" jawabnya.

"Ya mohon maaf nih, ya, gua belom pernah pacaran soalnya" jelasku yang kembali membuatnya tertawa.

Setelah itu, kami kembali mengobrol sejenak, dan selagi kami mengobrol, kami mulai mendengar suara gaduh dari luar yang menarik perhatian kami.

"Diluar lagi rame kenapa, deh?" Tanyanya.

Akupun langsung beranjak dari dudukku, dan setelah itu aku berjalan menuju ke jendela yang menghubungkan ruang sekre ini dengan koridor kelas kami.

Aku melihat keluar, dan aku melihat beberapa teman satu geng-ku, beberapa anak-anak lainnya, adik kelas dan teman seangkatan, serta aku melihat seorang perempuan dewasa bersama salah satu guru kami sefang berbicara dengan mereka.

"Eh itu kenapa?" Tanya Aini dari belakang.

Aku tak menjawab pertanyaannya, dan aku mulai menguping apa yang sedang mereka bahas. Suaranya terdengar samar, namun aku bisa menelaah pembicaraan mereka.

"Terus Candranya baik-baik aja, tante?" Tanya salah satu temanku.

"Candra udah dibawa ke Rumah Sakit, dan udah siuman juga" jawab perempuan itu yang kutebak adalah ibunya.

Hah? Candra kenapa?

"Tapi ini beneran bukan ulah kalian, kan? Emang Candra abis ngulah apa sampe dia bisa dipukulin, pas mau berangkat sekolah, loh" kembali ucapnya.

"HAH?!?" Teriakku sangat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Candra dipukuli hingga masuk ke rumah sakit? Bagaimana bisa terjadi? Kenapa harus sekarang? Kami harus bermain di semi-final nanti sore. Candra juga menjadi pemain kunci bagi kami, absennya akan membuat kami memiliki beberapa kesulitan.

"Kenapa, Bay!?" Tanya Aini.

"Adek kelas ada yang dipukulin pas berangkat ke sekolah, Ni" jelasku membuatnya sangat terkejut.

"ANJIR?! PAGI-PAGI SIAPA YANG MAU MUKULIN?!" tanyanya yang tak kujawab.

Selagi aku menguping pembicaraan merekapun, aku baru sadar sedari tadi hapeku terus bergetar. Aku mengeluarkan hapeku dari kantung celana dan aku melihat begitu banyak notifikasi L*ne yang masuk ke hapeku.

Dengan cepat akupun langsung membuka hapeku, dan notifikasi tersebut berasal dari grup geng-ku yang sedang begitu ramai.

Begitu banyak pesan yang masuk membuatku harus membaca keseluruhan dari keributan ini dari awal, dan aku langsung melihat seseorang mengirim foto Candra yang sedang berbaring di ranjang Rumah Sakit.

Namun, aku tak bisa membaca seluruh isi teks tersebut, Karena tiba-tiba Rama mendatangi kami ke ruang sekre ekskul.

"BAY! BAY!" teriaknya selagi membuka pintu ruang sekre.

"Kenapa?!?" Tanyaku terkejut.

"DIKA SAMA JIGONG BERANGKAT KE SMA YANG LU KALAHIN KEMAREN!!" teriaknya menjelaskan.

"HAH, BERDUA DOANG?!" tanya Aini sama terkejutnya denganku, dan dibalas dengan anggukan oleh Rama.

"JADI MEREKA YANG PUKULIN CANDRA?!"

"Belom tau! Tapi kemungkinan besar mereka!"

Sial. Tak hanya Dika dan Jigong berangkat ke SMA kemarin hanya berdua, mereka juga berniat untuk memulai permasalahan dengan tersangka yang belum dipastikan kebenarannya?

"ADUH, BEGO!! YAUDAH AYO KITA SUSUL SEKARANG!! BILANGIN KE YANG LAIN JUGA, JANGAN SAMPE TUH DUA BOCAH MALAH SALAH TARGET!!" ucapku mengambil keputusan untuk menahan mereka berdua.

Rama pun dengan sigap langsung membuka hape dan menghubungi Adi, dan selagi Rama menghubungi Adi, aku bersama Aini langsung berlari kembali ke kelas.

Setelah kami sampai di kelas pun, aku melihat Adi yang sudah terbangun sedang mengemas barang-barangnya dengan cepat, dan ketika Caca melihatku di depan kelas, Caca langsung berlari menghampiriku.

"BAY, LO BENERAN MAU NYETOPIN MEREKA?!" tanyanya khawatir.

"Kalo bukan kita siapa lagi, Ca?! Bahaya ini kalo mereka salah target soalnya!" Jelasku.

"Tapi kan nanti lo ada match, Bay!! Kalo lo kenapa-napa gimana?!?" Ucapnya berusaha meyakinkanku untuk tetap disini.

"Kalo gua nggak kesana, nasib Dika gimana?! Kita nggak tau apa yang bakal kejadian, jadi yang paling penting sekarang jangan sampe ada kejadian yang nggak-nggak dulu, Ca!!" Jelasku meyakinkan Caca kalau ini adalah keputusan terbaik yang bisa kita ambil.

Caca pun tidak bisa membalas perkataanku, dan terlihat kalau Caca juga tidak bisa kembali meyakinkanku untuk tetap di sekolah. Caca pun kembali melihat kearah wajahku, dan tiba-tiba, Caca beranjak memelukku erat membuatku merasa canggung.

"You be careful, okay? Jangan sampe lo kenapa-napa" ucapnya selagi memelukku, dan akhirnya aku yang kebingungan pun membalas pelukannya pula.

"I'll be fine, don't you worry about me" jawabku.

Perlahan, Caca mulai melepas pelukannya, dan aku juga ikut melepas pelukanku. Selagi aku melepas pelukanku, aku melihat Caca yang tersenyum kearahku, dan Caca menganggukkan kepalanya.

Setelah itu, aku langsung beranjak mengemas barang-barangku, dan aku menitipkan sebagian barang yang tak bisa kubawa sekarang ke Caca. Kami sudah siap, dan setelah kembali berpamitan dengan Caca, kami beranjak keluar memanjat tembok sekolah.

=====

Di jalan, pikiranku kembali tercampur aduk. Begitu banyak masalah yang datang bersamaan, dan sangat sulit bagiku untuk bisa menyelesaikannya secara satu persatu. Permasalahan ini seolah menggumpal menjadi satu peluru meriam dan ditembak mengenai badanku.

Namun, hal ini harus diprioritaskan. Kami sudah kehilangan satu pemain penting, dan kami tidak bisa kehilangan dua pemain penting lainnya. Bila Dika dan Jigong tidak bisa bermain, matilah kita.

Permasalahan berikutnya pun datang. Ketika kami menghampiri Dika dan Jigong ke markas geng kami, mereka berdua sudah tidak ada yang menandakan kalau mereka berdua pasti sudah benar-benar pergi. Selain itu, Dika merupakan seorang pengendara gila, dan bila sedang dikendalikan emosi seperti ini, who knows how fast he could be?

Di tongkrongan kami pun juga terdapat beberapa orang. Ada Tommy dan Oli teman seangkatanku, serta ada beberapa adik kelasku yang sedang membicarakan tentang kejadian Candra.

"Bay! Lu ikut kesana juga?" Teriak Oli memanggilku.

"Iya, Li! Ngeri gua Dika sama Jigong berduaan doang" jawabku sembari memasukkan kunci motorku ke lubangnya.

"Eh, udah, Bay! Tadi kita juga mau ikut sama Dika dibentak mau jalan sendirian ae dia!" Himbau Tommy yang kemudian beranjak mendekatiku.

"Yeh, bego! Temen lu berduaan doang ke tongkrongan orang lu pada malah ngedokem disini?! Solid banget lu pada emang!" Teriakku sarkas.

Mendengar teriakanku pun, Tommy dan Oli terlihat bimbang, dan selagi aku menyalakan motorku, akhirnya mereka berdua ikut bersamaku, Rama, dan Adi menuju ke tongkrongan mereka.

=====

Menggunakan aplikasi Z*nly, aku bisa melacak dimana posisi Dika saat ini. Sekolahnya berada cukup jauh di pinggiran kota, dan Dika sudah sampai lebih dulu selagi kami masih setengah jalan.

Tentu saja, pasti Dika dan Jigong juga perlu mencari tahu dulu dimana markas dari geng SMA itu, dan waktu itu cukup berarti bagi kami untuk menyusul mereka.

Posisi Dika terlihat selalu maju mundur dan berjalan mengitari lingkungan dari SMA tersebut, dan sampai satu ketika, Dika berjalan menuju salah satu tempat di dekat sekolah itu dan dia terdiam cukup lama disitu.

"Ram, Ram! Keknya udah nemu tongkrongannya nih si Dika!" Teriakku dari posisi penumpang.

"Oke, oke! Pegangan, Bay!"

Rama pun menancap gas motorku kencang-kencang, dan dengan lihai Rama bisa melewati berbagai kendaraan yang menghalangi kami. Tetapi, Adi, Tommy dan Oli tidak bisa mengejar kami, sehingga kami sudah berada jauh di depan mereka.

Akhirnya, kami sampai di lokasi. Tempatnya benar-benar tertutup, dan meski berada di dekat lokasi SMA mereka, posisinya benar-benar berada di blind-spot nya, membuat apapun yang mereka lakukan tidak akan begitu terlihat.

Tentu saja, aku dan Rama sudah sampai lebih dulu, dan Adi dan yang lainnya hanya bisa bergantung dengan Z*nly untuk melacak posisi kami.

"Tunggu mereka dulu aja, ngga?" Tanya Rama.

"Nope, kita perlu cepet-cepet mastiin keadaan dulu, Ram" jelasku, dan kemudian aku langsung beranjak menuju ke posisi Dika dan Jigong.

Aku mulai berlari pelan yang disusul pula oleh Rama, dan selagi kami memasuki lingkungan tersebut, aku sudah bisa melihat Dika sedang berbicara dengan seseorang.

Selain itu, aku juga melihat ada seseorang yang sedang tersungkur dan dikelilingi oleh temannya. Dika berarti sudah mulai perkelahian selagi kami berjalan kesini.

"YA LU JUGA MAKSUDNYA APE TIBA-TIBA ANAKAN GUA LU PUKULIN GITU, BANGSAT?!" teriak Dika yang bisa kudengar dengan jelas.

"LU NGOMONG APA SI, TAI?! MENANG UDAH MODAL HOKI KEMAREN MASIH AJA MAU NGEBACOT DISINI!!" balas orang yang berada didepannya.

Tak disangka, situasi begitu memanas dengan cepat, dan berada di situasi ini, apapun bisa terjadi, baik dalam waktu dekat atau jauh.

Melihat situasi inipun, dengan secepat yang kubisa aku berlari menuju Dika meninggalkan Rama, dan selagi aku berlari, Dika dengan kuat mendorong orang itu hingga dia terpental dan tersungkur ke tanah.

*BRUKKK...*

Setelah Dika mendorong orang itu, kicruh kembali tercipta, dan makin terdengar teriakan dan sumpah serapah yang dikeluarkan oleh anak geng tersebut. Selagi aku berlari pun, aku juga mulai menghitung kira-kira ada berapa orang yang berada di sini.

".... 12, 13, fuck me, we won't get out of here alive"

Akhirnya, akupun berada di dekat Dika, dan menggantikan Jigong yang hanya terdiam tak melakukan apa-apa dan mulai bersiap untuk berkelahi disini, aku langsung menghampirinya tepat ketika Dika mulai mengambil langkah maju.

"DIK! UDAH, DIK!" teriakku selagi menarik Dika.

"LAH, BAY, KOK LU DISINI?!" balas Dika begitu terkejut aku ada disini.

Akupun dengan cepat menghalangi jalan Dika supaya Dika tidak bisa mengambil langkah, dan aku menahan dadanya dan berusaha menenangkannya.

"YA IYALAH GUA KESINI! GILA LU DIK LANGSUNG NYAMPERIN GENG LAIN GITU AJA SENDIRIAN!!" ucapku mengingatkannya.

"YA, YAUDAH! MEREKA MUKULIN CANDRA TERUS LU MAU DIEM AE?!" balas Dika yang sudah begitu dikendalikan emosi.

"YA EMANG UDAH BENERAN MEREKA?! MASIH ADA BANYAK WAKTU BUAT KITA OMONGIN INI DULU, KITA MAIN DIK NANTI SORE!! KITA UDAH GAADA CANDRA KALO GAADA LU JUGA MAMPUS "ONE LAST DANCE" KITA!!" ingatku ke Dika, dan mulai terlihat kesadaran dalam dirinya.

Namun, tak disangka, ketika aku berusaha menghentikan perkelahian sebelum semuanya makin keruh, seseorang melancarkan pukulannya dari belakangku dan Dika dengan jelas bisa melihatnya.

"BAY, AWAS!!"

Dengan cepat, Dika menarikku, namun, sudah terlambat. Pukulan orang itu mengenai belakang kepalaku, dan aku langsung terlempar ke tubuh Dika.

*BUUGGGG....*

Aku terjatuh, dan kini, situasi sudah terlanjur keruh. Sudah tidak mungkin kita bisa kabur dari kejadian ini, dan aku yang sejak kecil sudah ditanamkan 'lu jual, gua beli', andrenalinku ikut terpancing.

Meski aku terjatuh, dengan cepat aku bisa kembali bangkit. Dengan cepat juga aku berbalik, dan gerakanku yang begitu cepat mengejutkan orang itu, dan sekuat tenaga aku membalas pukulannya mengenai pipinya.

*BUUGGG...*

Pukulanku pun tertanam di pipinya, dan hanya dengan sekali pukulan, orang itu langsung tersungkur kesamping, dan tepat dengan pukulanku, Rama sudah ada bersama Jigong, dan Adi serta Tommy dan Oli sudah sampai di lokasi.

Kini, sudah tidak ada jalan untuk berlari, dan kami harus menghadapi apa yang ada di depan kami. 7 orang melawan 13 orang, angka yang sangat miring, tapi kami tidak merasa takut sedikitpun.

And so, the fight is on.

"WOY MAJU LU SINI, ANJING!" teriak Dika memancing mereka, dan serentak, kami semua berlari mendekati satu sama lain.

Perkelahian dimulai, dan Dika mulai mengambil langkah maju meladeni siapapun yang mendatanginya. Tommy yang baru datang pun juga langsung berlari dan menaiki salah satu meja untuk melompat dan melancarkan drop-kick kearah lawan yang berada di depannya.

*BUUGGHH... BUUUGGH....*

Akupun juga ikut turun tangan, namun aku lebih kearah menunggu orang yang mendatangiku untuk berduel. Salah satu dari mereka yang memiliki postur cukup besar mendatangiku, dan dengan cepat dia melancarkan pukulannya mengenai bagian atas alisku.

*BUUGGG...*

Tentu saja aku terhuyung-huyung terkena pukulannya, namun dengan cepat, aku memanfaatkan momentum pergerakan tubuhku, dan aku langsung melancarkan tendangan kencang menyapu kakinya dari pijakan.

*BUUGGG...*

Tendanganku begitu kencang, dan kaki orang itu terangkat membuatnya kehilangan keseimbangan. Aku tidak mengambil waktu lama untuk kembali melancarkan pukulan selagi dia terjatuh, karena aku bisa mati kalau harus melawan dia begitu lama.

Setelah aku menyapu kaki kanannya, aku kembali mengayunkan pukulan tangan kananku mengenai kepalanya membuatnya terjatuh makin cepat.

*BUUUGGG...*

*BRUKKK...*

Tentu saja, aku terus menyerang orang besar ini. Aku menendangi tubuhnya selagi dia masih terbaring di tanah tanpa mengenai bagian-bagian vitalnya, dan disisi lain, aku melihat teman-temanku kewalahan melawan mereka yang jauh lebih banyak dari kami.

Bahkan kulihat Dika melawan 3 orang sekaligus, dan dia masih bisa menangani mereka dengan nyaman tidak seperti yang lain. Aku juga melihat Tommy yang barusan meloncat kini tersungkur di tanah dikeroyok oleh 3 orang.

*BUGGG... BUGGG... BUGGGG....*

Puas meladeni orang ini yang sudah tak melawan, aku langsung berlari menuju Tommy, dan kemudian Adi juga ikut menyusulku. Aku langsung berlari menuju ke salah satu orang dan aku mendorongnya begitu kuat hingga ia terpental dan terbentur kencang mengenai pilar yang berada di depannya.

*BRUKKK...*

Adi juga melancarkan serangan. Adi menendang perut lawan begitu kencang hingga dia tersungkur, dan aku langsung menghajar satu orang lainnya.

*BUUGGG... BUUGGG... BUUGGG...*

Dengan cepat, kami terus menghajar mereka tanpa memberi mereka sedikitpun celah untuk menghindar, apalagi melancarkan serangan balik. Alhasil, aku dan Adi berhasil menangani tiga orang ini, dan kami langsung mengangkat Tommi dan membopongnya yang sudah begitu babak belur dipenuhi luka.

Meski pada awalnya kami semua kewalahan melawan mereka yang berjumlah dua kali lipat dari kami, kami bisa memberikan perlawanan yang signifikan, terlebih Dika dan Jigong yang berhasil menangani 2-3 orang sendirian. Waktu terus berjalan, dan tak disangka, kami berhasil meratakan mereka.

Sejauh mata memandang, aku hanya melihat lawan yang tak bisa kembali melawan. Banyak yang terbaring kesakitan, ada yang hanya bisa duduk menyandar apapun yang ada disampingnya, dan beberapa dari mereka ada yang masih kuat berdiri menyandar tembok, namun mereka sudah tidak kuat melawan.

*Urrghh.... Akhhh... Mmmhhh...*

"YAELAH!! UDAH GINI DOANG?!?" teriak Jigong begitu arogan yang kemudian disambung dengan meludahi lawan yang berada tak jauh darinya.

Kemudian, masih dikendalikan emosi, Dika berlari menghampiri salah satu orang yang sedang menyandar di tembok, dan dia kembali menekan orang itu ke tembok.

"LU DENGER YE, ANJING! LU BERANI MACEM-MACEM SAMA KITA LAGI, KITA GAAKAN TAKUT BUAT NGERATAIN KALIAN KEK GINI LAGI! KITA MASIH BERTUJUH HARI INI, JANGAN SAMPE KITA BAWA SATU SKUAD!!" teriak Dika yang benar-benar menusuk jiwanya hingga ia gemetar.

"Hhhh... Hhhh... Iya bang... Paham bang..." Jawabnya tak berdaya, dan kemudian Dika kembali menghempaskan tubuh orang itu ke tembok selagi kami beranjak pergi dari sini.

Dika pun langsung beranjak pergi, dan Dika langsung menghampiri Rama untuk membopongnya melihat kondisi Rama yang juga cukup buruk meski tidak separah Tommy.

"Kuat lu, Ram?" Tanya Dika selagi membantu Rama.

"Kuat kok, gua, cuma sepanjang tangan gua sakit banget, anjing" jawabnya sembari memegangi tangannya.

"Kuat ngultras kan lu nanti tapi?" Sambung Jigong ke Rama.

"Aman gua, mah, biar gua rebahan dulu aja"

Selagi kami beranjak pergi pula, aku juga memerhatikan kondisi kami, dan ternyata, benar dugaanku, kita tidak akan bisa pulang dengan kondisi prima.

Aku melihat Adi yang terlihat kelelahan, dan wajahnya dipenuhi berbagai luka memar dan beberapa luka goresan. Belum lagi terlihat dia memegangi perutnya selagi berjalan menandakan terdapat beberapa luka di bagian torsonya.

Rama pun terlihat tak beda jauh, namun dia tidak perlu memikirkan pertandingan nanti. Tommy terlihat sangat mengkhawatirkan, dan Jigong masih terlihat segar meski terdapat beberapa luka gores di wajahnya. Dan sejauh yang kulihat, hanya Dika sang Orang Gila yang terlihat baik-baik saja.

"Bangsat, ini kita kondisi begini semua main di semi nanti bakal nyusul Tommy kita" keluhku sembari meledek Tommy yang setengah sadar.

"Hhhh... Hhhh... Ngentot lu, Bay...." Balasnya membuat kami tertawa.

"Hahahahah, udah, Bay, yang penting kita masih bisa berdiri, tengkyu Bay lu udah nyamper kesini bawa orang" sambung Dika.

"Tapi lu pake otak apa, Dik, anjing! Jangan kayak gini lagi lu! Kagak nyadar apa lu bisa kenapa-napa, mana ini belom ketauan juga beneran mereka yang mukulin Candra atau bukan, dibawa ke pidana mampus kita!" Balas Adi kesal yang masih rasional.

"Udah, udah, bahas ini nanti dulu, yang penting kita cabut dulu sekarang" ingatku untuk segera pergi dari sini untuk menghindari pengetahuan masyarakat sekitar.

Kami pun beranjak menuju ke motor kami, dan kami langsung menyadari bahwa Oli sedari tadi berada di motor menunggu kami.

"Lah, Li, kok lu disini?" Tanya Rama kebingungan.

"Jagain motor gua, sekalian mantau situasi" jawabnya yang langsung kami ketahui kalau itu hanyalah bualan.

"Halah, kalo takut mah bilang aja, bangsat" ledekku membuat semuanya tertawa, dan setelah itu, kami beranjak menaiki motor kami dan kami lekas pergi dari sini.

=====

Berhubung kondisi Tommy yang sudah babak belur, kami tidak bisa meninggalkannya begitu saja di markas kami. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengantarnya pulang kerumahnya dan beristirahat disana. Orangtuanya pun terkejut melihat kondisi Tommy, namun aku dan Adi berhasil meyakinkan bahwa Tommy baik-baik saja dan kejadian ini merupakan kesepakatan bersama.

Yah, tentu saja Tommy kena marah, namun bagaimanapun juga sebagai orangtua, Tommy masih tetap ditangani dengan lemah lembut.

Kami pun beristirahat sejenak, namun pikiranku kembali terganggu oleh situasi dan kondisi kami saat ini. Kami sedang berada di kondisi yang tidak prima. Bagaimana caranya kami bisa mengalahkan lawan kami nanti? Kehilangan Candra sudah cukup mengganggu, dan kini kami harus membawa rasa sakit ini untuk melawan mereka yang sangat tangguh.

Tapi kemudian, beban ini kembali ditambah dari sisi lain ketika seseorang meneleponku.

"Halo, Raf?" Ucapku setelah aku mengangkat telepon dari Rafael ketika aku terdiam.

"Woy, Bay, gimana nih, udah ready main di semi?" Sapanya basa-basi.

"Yah, jiper dikit, si, cuma ya hantem ae lah udah" balasku bercanda.

"Hahahaha iya dahh, eh BTW Bay, gua bisa minta tolong, nggak?"

"Minta tolong apaan?"

"Jadi, sebenernya gua sama Claudia abis berantem, dan sampe sekarang gua sama dia masih diem-dieman, Bay" jelasnya yang jelas sudah kuketahui dari Evelynn sebelumnya.

"Hah, ribut kenape?" Tanyaku pura-pura kaget.

"Ada lah, tapi gua mau minta tolong nih, ajak atau bujuk Claudia dong buat nonton gua di semi nanti" pintanya.

Inilah hal yang sangat tidak disukai Oleh Caca terhadap Rafael. Rafael terlihat seperti tidak pernah berusaha untuk mengejar Caca sendiri, dan dia selalu mengandalkan orang yang berada di sekitar Caca untuk membantunya alih-alih turun sendiri.

Terkadang, meminta bantuan orang disekitar memanglah bukan hal yang begitu buruk, namun, cinta yang murni akan selalu mencari jalan bagi kita untuk berkorban untuk orang yang kita cintai.

"For fuck's sake, Raf, lu yang ngomong sendiri ae, si" tolakku kesal dengan tindakannya.

"Ya lu kan tau, Bay, situasi lagi keruh disini" bela Rafael untuk meyakinkanku.

"Things are not going so well in here either, Raf, nggak cuma lu doang yang lagi kusut, kita juga lagi berantakan dan gua masih pusing mikirin ini, jadi sorry, gua gak bisa bantu lu" kembali tolakku untuk meyakinkan Rafael bahwa dia harus melakukannya sendiri untuk menyentuh hati Caca, dan aku langsung mematikan teleponnya.

"Fucking hell.... Masalah hidup banyak banget, si" ucapku setelah menaruh hape.

"Udah lahh, dibawa santai aja, frenn" jawab Jigong yang masih memainkan hapenya.

Kami kembali terdiam melakukan kesibukan masing-masing atau beristirahat, dan aku kembali membuka hapeku untuk membuka sosial media. Meski hari sudah menjelang sore, matahari masih menyinari bumi begitu terik dan aku mulai berkeringat dan kepalaku mulai basah oleh keringat.

Namun, tiba-tiba keheningan itu kembali sirna ketika Adi berteriak kepadaku.

"Bay! Bay! Kepala lu!" Teriak Adi mengejutkan kami semua.

"Eh, Bay?! Kok itu kepala lu berdarah-darah?!" Sambung Dika begitu khawatir.

Akupun jujur tidak menyadarinya, dan dengan cepat aku langsung membuka kamera depan hapeku. Betapa terkejutnya aku melihat bagian kanan kepalaku terdapat darah yang mengalir dan darah tersebut berasal dari luka di atas alisku.

Ternyata pukulan pria besar tadi menggores kepalaku cukup keras hingga membuat luka yang cukup dalam.

"Hah, gua nggak ngerasa apa-apa padahal, anjir!" Balasku terkejut juga, dan dengan cepat Adi dan Jigong beranjak mendekatiku.

"Udah, sini bersihin dulu, Bay!" Ucap Jigong, dan Adi dan Jigong langsung beranjak membersihkan lukaku.

Awalnya memang terasa sedikitperih, namun aku masih bisa menahannya, dan setelah selesai, Jigong membasahkan handuknya yang kemudian digunakan untuk mengompres kepalaku.

"Bocor?" Tanyaku menanyakan kondisi luka.

"Nggak, kok, tapi tutup dulu aja takut infeksi" jawabnya.

Alhasil, aku mengenakan handuk ini selama kami beristirahat dirumah Tommy, dan menjelang sore hari kami berangkat menuju ke tempat perlombaan.

=====

Tempat perlombaan ternyata sudah dipenuhi oleh banyak orang. Euforia semi-finalnya benar-benar terasa dengan begitu banyaknya ultras yang dibawa oleh tim-tim yang berkompetisi.

SMA kami pun tak mau kalah. Kami mendatangi tempat ini membawa begitu banyak orang dan instrumen untuk digunakan, serta kami juga membawa tifo dan banner SMA kami yang sudah melegenda dari tahun ke tahun.

Kami para pemain juga masih perlu menunggu persiapan lapangan, karena kami mendapat giliran bermain pertama hari ini. Oleh karena itu, kami beranjak ke tribun untuk menunggu bersama para ultras. Disitu pula, aku melihat Caca sedang menunggu mengenakan celana jogger hitam, dan kaus hitam dengan rambut dikuncir cepol seperti biasa.

Selagi kami berjalan juga, Caca langsung melihat keberadaanku dan dia tersenyum manis selagi melambaikan tangannya ke kami, dan tak butuh waktu lama bagi Caca untuk melihat luka di kepalaku, dan kemudian Caca berdiri dan berlari kearahku.

"Bay, lo kenapa?!" Tanyanya setelah sampai di depanku.

"Biasa, ribut" jawabku singkat.

"Ih, kan gue udah bilang jangan aneh-aneh!! Kok lo masih aja, sih?!" Balasnya kesal.

"Ya mau gimana?? Udah keburu keruh tadi, yaudah hadepin aja" jawabku menjelaskan.

"Astagaa, yaudah lo duduk dulu, yaa, sebentar" ujar Caca menyuruhku duduk.

Akupun duduk di tribun, dan setelah itu Caca berlari menuju kearah lapangan dan menghampiri tim medis. Kemudian, Caca kembali kepadaku membawa beberapa kapas, B*tadine dan plaster.

"Udah, sini, gue obatin dulu yaa, bahaya lo main kondisinya begini, bisa infeksi juga kena debu sama pasir nanti" jelasnya, dan kemudian, Caca kembali membasahi luka yang ada di kepalaku.

Caca menuangkan Betad*ne tersebut di kapas yang baru saja dia ambil, dan dia mulai menotol-notolkan kapas itu di sekujur lukaku.

"Bay, lo udah kelas 12, dikit lagi lulus, lo jangan aneh-aneh kayak gini terus dong, lo kenapa-napa bahaya, lo di-DO, lo gabakal bisa ikut SNM nanti" ucap Caca lembut mengingatkanku.

"Iyaa, Ca, I'm fine, kok" jawabku meyakinkan Caca.

"Yeah, you sure are" jawabnya dengan nada sarkas.

Tak butuh waktu lama bagi Caca untuk mengobatiku, dan setelah itu, Caca menempelkan plaster tersbut di kapas untuk menutupi lukaku.

"There, done now" ucap Caca yang kemudian langsung duduk disampingku.

Aku dan Caca tidak mengobrol, dan aku mulai memperhatikan sekitarku. Tim lawan kami sudah datang, dan mereka terlihat begitu mengancam dengan jumlah ultras yang mereka bawa dan beberapa diantaranya terlihat sangat bengis. Bila sesuatu terjadi di lapangan nanti, aku yakin mereka takkan sungkan untuk memulai aksi.

Selain itu, aku juga melihat kearah samping mereka yang berada di seberang kami. Disitu, aku melihat Rafael sedang berbicara bersama seseorang yang mengenakan pakaian begitu rapi, dan dari sekian banyak perempuan yang bisa dia bawa, aku melihat dia bersama Evelynn.

"Itu Rafael ngapain disana? Kok ada Evelynn?" Tanyaku ke Caca.

"I don't know, I barely talked to him for these past few days" jelas Caca.

"Yeah, tadi Rafael ngomong ke gua juga katanya kalian lagi kusut, terus tadi dia minta tolong gua buat nyuruh lu kesini" balasku dan dibalas dengan tawa kecil olehnya.

"Typical" jawabnya singkat membuatku tertawa.

"By the way, Bay, lo tau nggak orang itu siapa?" Tanya Caca menunjuk kearah orang berpakaian rapi tersebut.

"Nggak, lu tau?" Tanyaku balik.

"Yep, kalo gak salah Rafa cerita kemaren di RS katanya bakal ada yang mantau dia di match nanti dan final kalo lolos, katanya dia orang dari klub bola entah namanya apa gue lupa" jawabnya menjelaskan.

"Wow, dia mau ditarik sama tim profesional?" Tanyaku lagi.

"Kayaknya, tapi keputusan bakal diambil abis turnamen ini" jelasnya lagi.

Tak lama setelah itu, aku melihat Rafael menatap kami dari jauh, dan perlahan, raut wajah bahagianya terlihat mulai memudar ketika melihatku dan Caca sedang bersebelahan.

Namun, aku tidak dapat kesempatan untuk memikirkan itu, karena tak lama setelah itu pengumuman untuk kedua tim diberikan, dan kami sudah bisa memasuki lapangan untuk bertanding.

"Gua ganti baju dulu, ya" ucapku selagi beranjak menuju ke ruang ganti.

"Okay, hati-hati ya, Bay" jawabnya.

Aku berjalan menyusuri pinggir lapangan, dan ketika aku berada di bagian kiri lapangan, aku berjalan melewati ultras dari sekolah yang akan menjadi lawan kami yang berada di seberang lapangan dariku.

Aku melihat kearah mereka, dan aku melihat mereka semua ikut menatapku dengan tatapan yang tajam selagi aku berjalan menuju ke ruang ganti, namun, aku hanya mengacuhkan mereka, dan aku memasuki ruang ganti.

Di dalam, aku langsung beranjak menuju ke wastafel. Aku mulai mencuci mukaku dan aku mengeluarkan beberapa benda yang aku perlukan untuk pertandingan. Aku mulai membuka seragamku, dan perkelahian tadi memberi efek kepada tubuhku yang terkadang membuatku meringis ketika aku menggerakan tubuhku.

Setelah itu, aku mulai mengenakan jersey-ku, dan aku memakai headband yang selalu kusiapkan just in case aku mendapatkan cedera di kepala.

Awalnya, aku hanya sendirian disini, namun, tiba-tiba beberapa orang terdengar memasuki ruang ganti meski mereka tidak mengeluarkan suara dari mulutnya. Awalnya aku tidak memikirkan ini, namun, aku mulai sadar ketika mereka tidak membawa tas ataupun kantung yang membuatku berpikir kalau mereka tidak kemari untuk mengganti setelan. Akupun melihat ke cermin, dan aku langsung sadar kalau mereka adalah lawan kami di pertandingan nanti, terlihat dari beberapa diantara mereka sudah mengenakan jersey-nya.

Akupun mulai curiga dengan situasi ini, dan aku menaruh hapeku diatas wastafel sebelum aku mulai berbicara.

"Bro, ruang ganti masih ada space, gausah nunggu gua kalo lu pada mau ganti baju" ucapku memulai pembicaraan dengan mereka.

"Siapa bilang kita disini mau ganti baju?" Jawab salah satu diantara mereka dengan nada mengintimidasi.

"Kalo lu emang nungguin gua disini, then go ahead, gua gabakal kemana-mana, kok" balasku sembari menyuci tangan, dan ketika aku berbalik, mereka semua beranjak mengepungku, dan salah satu diantara mereka berjalan mendekatiku.

"Ga nyangka gua, pinter juga lu, gua kira lu jago main doang" ucap mereka memuji sekaligus menghinaku.

"Pirlo pernah bilang, sepakbola dimainkan menggunakan otak dan kaki hanyalah sebuah alat untuk menyalurkannya, and apparently, that's what you guys are lacking of" balasku balik menghina mereka bahwa mereka tidak punya otak.

Ucapanku pun menyulut emosi mereka, dan temtu saja, melihat reaksi mereka, aku ikut kembali panas, karena hanya dengan tindakan mereka, aku tahu sebuah kebenaran telah terungkap.

"Terus sekarang lu mau ngapain? Mukulin gua disini sama kayak lu mukulin adek kelas gua tadi pagi?" Tanyaku kembali menyulut emosi mereka karena aku berhasil membongkar semua ini, dan orang yang berada di depanku pun langsung beranjak menarik kausku.

"Woy! Lu dengerin gua! Gua akuin, lu pinter, lu jago, dan lu bener tentang apa yang udah kita lakuin semua, tapi kali ini, kita semua masih mau baik sama lu, dengan lu nggak ikut main nanti, lu bakal keluar dari sini dengan selamet!" Teriak orang itu di depanku menarik jersey-ku makin kencang.

"Let me guess, lu udah ngelakuin semua ini dari ronde awal? Jadi lu bisa masuk ke semi pake modal sampah kayak gini?" Balasku kembali menghina mereka, dan kini, ia menekan tubuhku ke tembok yang berada di belakangku.

"Heh, kita ga main-main disini! Apa yang ngebuat lu mikir kalo kita takut ngapa-ngapain lu disini, hah?!" Teriak orang itu lagi selagi menekanku ke tembok.

"Dan apa yang ngebuat lu mikir kalo gua takut sama kalian? You ain't fucking tough, kalian cuma bocah lembek yang ngumpet dibalik badan-badan gede kalian" kembali balasku dengan tenang, membuat mereka makin bernafsu untuk menghabisiku disini.

Orang ini pun makin terbakar oleh emosi, dan aku melihat dia sudah mengepalkan tangannya untuk memukulku. Namun, aku mendengar derap-derapan kaki yang mengarah menuju ke kami.

Pintu pun kemudian didobrak, dan kulihat begitu banyak orang yang beranjak memasuki ruang ganti, salah satunya adalah Caca, Dika, serta Rafael. Aku juga melihat teedapat beberapa anak ultras yang tak hanya berasal dari SMA-ku juga kini sudah berada di dalam. Kini terdapat begitu banyak orang dari empat SMA berada di salam satu ruangan kecil.

"Eh, kenapa, ini?!" Teriak Dika terkejut melihatku di situasi ini.

"Kita salah target, bego, ini yang mukulin Candra" jawabku singkat, dan lagi-lagi, Dika yang tempramen begitu marah mengetahui kebenaran ini.

"OOOOH JADI ELU PELAKUNYA?!?" Teriak Dika begitu emosi dan ingin mendekati kami untuk memulai perkelahian.

Namun, orang disekitarnya pun paham, dan dengan cepat, Rafael bersama yang lainnya serentak menahan Dika untuk tidak melakukan hal yang bodoh.

"Dik, Dik! Tahan, Dik! Lu masih bisa ketemu dia di lapangan nanti! Jangan disini!" Ucap Rafael sembari menahan Dika.

Selagi Dika berusaha untuk lepas dari belenggu, aku juga melihat orang lawan dari SMA-ku mulai bimbang, dan perlahan, muncul keresahan diantara mereka.

Selagi mereka resah, perlahan meja kembali diputar dan kini kami semua yang beranjak mengepung mereka, meski orang ini masih menekanku ke tembok.

"Dan apa perlu gua kasihtau ke mereka kalo begini cara kalian bisa tembus ke semifinal?" lanjutku membuat kicruh di dalam ruang ganti.

Mereka hanya terdiam bisu, dan selagi mereka terdiam, aku meraih hapeku yang tak berada jauh dariku. Setelah itu, aku menyalakan hapeku dan menunjukkan apa yang kulakukan dengan hapeku semenjak mereka datang.

"Barang buktinya ada, loh" lanjutku, dan aku mengangkat hapeku tinggi supaya seisi ruangan bisa melihat kalau aku sudah merekam semua ini.

Tentu saja, mereka begitu terkejut mengetahui aku sudah selangkah lebih maju dari mereka. Kemudian, Setelah ucapanku pun, ia kembali tersulut, dan ia makin mengencangkan dorongannya di tubuhku.

Kemudian, di saat yang sama, terlihat seluruh orang yang berada di belakang kami juga ikut tersulut, dan mereka juga ingin memulai perkelahian dengan lawan SMA kami, tak hanya SMA-ku, tetapi dua SMA lainnya.

Namun, Caca dengan sigap langsung memasang badan, dan Caca langsung menghalangi jalan mereka.

"GUYS, GUYS, PLEASE! JANGAN RIBUT DISINI!" teriak Caca menahan mereka, dan tentu saja mereka akhirnya menurut setelah diingatkan oleh orang secantik Caca.

Selain itu, disisiku pun, orang yang menekanku ke tembok makin terbakar emosi, dan ia menaruh kepalannya tepat di depan wajahku.

"HEH, ANJING! LU BERANI MACEM-MACEM SAMA VN ITU, KITA BISA NGEBUAT LU JAUH LEBIH PARAH DARI ADEK KELAS LU!" teriaknya di depan wajahku.

"Then go ahead, beat the shit out of me here, tapi lu liat di belakang lu, udah ada 3 SMA yang udah siap ngabisin kalian saat ini juga," jawabku, dan ucapanku membuat dia menoleh kebelakang, dan makin terlihat keresahan di wajahnya melihat kini merekalah yang tersuduti. "Dan setelah VN ini kesebar, akan ada 12 SMA lainnya yang juga siap buat ngeburu kepala kalian, so, what's your choice?"

Perlahan, makin terlihat keresahan dan kebimbangan di wajahnya, dan aku bisa langsung paham kalau mulai muncul rasa takut di dalam diri mereka. Mereka mulai goyah, dan selagi mereka goyah, orang-orang yang berada di belakang mereka memperketat kepungannya hingga mereka makin tersedut.

Orang ini pun akhirnya melepaskan tarikannya di jersey-ku, dan perlahan, ia mundur. Namun, aku ikut maju dan menyudutkan mereka hingga mereka tidak ada celah untuk kabur.

"Once again, gua nggak takut sama lu, semua tindakan yang lu lakuin selama ini sebaliknya malah ngunjukkin kalo kalian takut sama kita sampe lu harus nyari cara se-tai ini buat ngelegain kalian" ucapku kembali menggoyahkan mereka.

Mereka mulai terlihat panik, dan setelah ucapanku itu, beberapa dari mereka sudah terlalu takut untuk berada di dalam sini dan mereka memutuskan untuk keluar.

Tentu saja, selagi mereka keluar, jalan langsung dibuka lebar, dan ketika berjalan keluar, aku melihat Dika, Rafael, dan beberapa orang lainnya beranjak menepak-nepakkan kepala orang-orang itu, dan suara sorakan mengiringi kepergian mereka.

Orang yang berada di depanku pun makin terlihat tak berdaya, dan aku tersenyum sebelum akhirnya aku mendekatkan tubuhku kepadanya.

"Gua masih baik sama lu dengan ngasih lu kesempatan buat buktiin ini semua di lapangan nanti, so see you on the pitch" ucapku menatap tajam matanya selagi tersenyum, dan akhirnya ia benar-benar patah semangat dan beranjak keluar dari sini.

Setelah mereka semua keluar, orang-orang pun menyusuli kepergian mereka. Namun, Dika, Caca, dan Rafael masih berada di dalam sini.

Aku tidak berpindah dari posisiku, dan tiba-tiba, Caca berlari kearahku dan memelukku di depan Rafael dan Dika, dan mereka berdua memiliki reaksi yang begitu kontras dimana Dika tersenyum sedangkan Rafael terlihat sangat canggung. Yah, Dika juga memang kurang suka dengan Rafael karena meski dia tadinya adalah kakak kelas kami, Rafael tetap menjadi bagian dari SMA yang sudah menjadi rival kami yang sesungguhnya.

"Bay, lo gak kenapa-napa, kan????" Tanya Caca begitu khawatir.

"Aman, kok, mereka nggak apa-apain gua" jawabku selagi Caca melepaskan pelukannya.

"Tapi lu gaasik ah, Bay, harusnya kita open-fight aja disini, cuma jujur, keren juga cara lu ngebuat mereka takut setengah mati kaya tadi" sambung Dika memuji seperti itu.

Mau bagaimanapun juga, sekeras apapun kalian berusaha menunjukkan kekuatan dan kekuasaan kalian menggunakan otot, perlu diingat bahwa otaklah yang memprogramkan dan mengendalikan otot itu sendiri.

"Serang pusatnya, matiin cabangnya," jawabku singkat membuat Caca, Dika, dan Rafael tersenyum. "Lagian juga bestie gua tadi ngomong katanya jangan aneh-aneh"

Ucapanku tentu membuat Caca dan Dika tertawa. Namun, Rafael terlihat begitu tidak nyaman mendengar ucapanku.

"Bisa aja sih, lo, yaudah gue balik ke yang lain, yah, good luck for the match" balas Caca pamit, dan Caca menjulurkan jari kelingkingnya kepadaku.

Aku pun langsung paham dengan maunya, dan aku ikut menjulurkan kelingkingku dan kami bersalaman kelingking. "Thank you, Ca"

Setelah itu, Caca beranjak keluar, dan kemudian, Dika ikut beranjak keluar untuk menuju ke lapangan.

"Buruan, Bay, yang lain udah pada di lapangan" ucap Dika selagi beranjak keluar.

Kini, tersisa aku dan Rafael di dalam ruang ganti, dan tentu saja, sebuah kesalahan besar bila aku berpikir masalah di dalam ruang ganti sudah selesai.

Dengan Rafael masih berada disini, membuatku paham bahwa Rafael masih ada mau denganku saat ini.

"Terus lu mau ngomong apa, Raf?" Tanyaku membuatnya tertawa.

"Kok lu pinter banget, si? Anjir" jawabnya tertawa.

"Hahahahah, kalem wae, ada apaan?" Kembali tanyaku, dan setelah itu, wajah Rafael berubah menjadi serius.

"Evelynn udah cerita semuanya" ucapnya.

"Tentang?"

"Dream-couple"

DEGGG...

"Bay, kok lu nggak pernah cerita ke gua tentang ini, si? Kenapa gua harus denger cerita ini dari orang lain?" Tanyanya lagi.

Sial. Sedari pagi aku benar-benar tidak mendapatkan kesempatan untuk beristirahat. Semuanya begitu kacau. Kenapa Evelynn malah menceritakan tentang ini ke Rafael padahal dia yang berusaha untuk menjaga hubungan Caca dan Rafael?

"Ya mana gua tau, lagian gua juga bingung kenapa Caca malah nggak pernah cerita ke lu tentang ini?" Jawabku.

"Ya jujur gua juga nggak tau, Bay, tapi gua bener-bener kecewa sama lu berdua yang notaben deket sama gua malah kalian yang nggak cerita" jelasnya lagi.

"Terus sekarang setelah lu tau, lu mau apa?" Kembali tanyaku.

"Jelas, kan? Tolong, Bay, jangan sedeket itu sama Claudia, bahkan gua aja nggak punya panggilan sayang ke dia dan lu dengan entengnya bisa manggil dia Caca" pintanya.

"Kenapa lu mau gua ngejauh dari Claudia kalo gitu?" Tanyaku lagi.

"Bay, lu itu orang yang paling respectful diantara yang lain, tapi keberadaan lu disamping Caca udah nggak nge-respect in hubungan gua sama dia," jelasnya.

Semua perkataan Rafael ini pun akhirnya mulai menjawab semua pertanyaanku. Rafael memiliki rasa cemburu dan khawatir dengan adanya keberadaanku.

Meski pada awalnya dia yang menitipkan Caca kepadaku, kini dia menjadi orang yang paling menentang hubunganku dengan Caca. Bagaimana tidak? Semua orang pun pasti akan marah bila pacarnya memiliki hubungan yang begitu dekat dengan sahabatnya daripada dirinya sendiri.

"Dan Bay, gua tau lu gimana, dan gua bukan takut kalo lu yang bakal jatuh hati sama Claudia, tapi Claudia yang jatuh hati sama lu"

DEGGG....

Kenapa... Ucapan Rafael rasanya benar-benar memukulku begitu keras?

Rasanya suasana kembali menjadi aneh, dan aku merasakan hawa yang begitu tidak enak. Perlahan, aku juga mulai sadar bahwa posisiku dari awal sudah salah.

Namun, bukan berarti ada sebuah kesalahan maka kesalahan itu tidak bisa diperbaiki. Namun, urusan masalah yang didasarkan oleh perasaan tidak semudah itu dapat diselesaikan. Apalagi posisi kami semua sudah berada terlalu jauh dan dalam.

Akupun mulai kembali menenangkan diri, dan aku menjawab seluruh perkataan Rafael.

"Raf, gua selalu ngehargain hubungan kalian, tapi tolong, lu juga perlu hargain hubungan lu sama Claudia," balasku yang membuat Rafael kebingungan karena tidak mengerti dengan perkataanku. "Terus, pikirin omongan gua yang ini baik-baik, oke? Kalo lu emang takut Caca bakal jatuh hati sama orang lain, berusahalah buat ngebikin Caca tetap jatuh hati sama lu, dan bukan kayak gini caranya"

Ucapanku pun lagi-lagi membuat Rafael terdiam, dan berhubung dikejar waktu, aku sudah harus bergegas ke lapangan untuk bertanding.

"Dah, Raf, gua main dulu ya, good luck for the match" ucapku pamit selagi aku beranjak keluar melewatinya.

Akupun langsung berlari menuju ke lapangan, dan aku melihat sebagian tim-ku sudah melakukan pemanasan.

"Bay, buruan pemanasan! Ngapain sih lu lama amat di ruang ganti? Ngewe sama Rafael?" Teriak bang Irfan dari kejauhan.

Aku tidak membalas perkataannya, dan aku segera melakukan pemanasan sebelum bermain.

=====
*PRITTTT!!...*

Pertandingan pun dimulai. Kami memulai permainan dari kick-off, dan kini posisiku berubah menjadi sayap kiri berhubung Candra absen, dan kami merubah formasi dari 4-4-2 menjadi 3-4-3 untuk memberikan keamanan dalam bertahan.

Kami mulai mengoperasikan umpan-umpan pendek, dan ketika ada celah yang terbuka, di saat itulah kami akan menusuk celah itu.

Seperti yang kuduga, mereka semua benar-benar megincarku. Aku yang dapat menghidupkan permainan harus dijaga begitu ketat supaya permainan kami dapat dimatikan dan mereka bisa bermain dengan lebih nyaman.

Dengan posisiku yang dimatikan ini, bola tidak pernah mengarah kepadaku. Kami menjadi bermain dengan begitu kaku. Alhasil, terjadi sebuah blunder ketika Dika mengoper bola ke pemain lini tengah kami. Mereka berhasil merebut bola dan mereka langsung melancarkan serangan cepat.

Tentu kami kewalahan menghadapi mereka, dan formasi kami menjadi terbuka begitu lebar. Mereka berhasil menembus kotak pinalti, namun Adi yang kini bermain sebagai sweeper bisa menghadang mereka dengan menyundul bola. Bola melayang, namun kembali mengarah kepada striker lawan. Jigong pun dengan sigap bisa mengambil bola, namun dari pergerakan kami, terlihat bahwa kami tidak berada di kondisi prima dari Adi dan Jigong yang sering meringis kesakitan.

Akupun sama. Aku mendapatkan kesempatan menggiring bola, namun tubuhku yang masih terasa kaku ini menghalangiku untuk bisa menunjukkan kemampuanku. Tubuhku dengan mudah terhempas ketika mereka mendorongku, dan bola terbuang keluar sisi lapangan.

"Arghhh... Fuck" ucapku meringis kesakitan, dan aku melihat para pemain lawan tertawa melihat situasi ini.

Gestur mereka seolah menunjukkan kalau rencana mereka berjalan dengan lancar, dan pasti mereka juga tahu tentang perkelahian kami siang tadi.

Tentu saja, andrenalinku kembali terpancing, namun aku meluapkan segalanya dalam permainanku kali ini.

Dengan cepat aku kembali berdiri dan mengambil bola untuk melakukan throw-in, dan setelah aku melempar bola ke orang yang berada di dekatku, aku kembali meminta bola.

Ketika aku mendapatkan bola, tentu saja mereka semua bersigap menjagaku begitu ketat. Namun, aku tidak takut, dan aku menggiring bola ini mengarah ke mereka. Mereka mulai berupaya untuk menghadang bola, namun, dengan mudah aku bisa melewati mereka semua meski aku harus menahan rasa sakit di sekujur tubuhku.

Alhasil, aku berhasil melewati mereka semua, dan aku menyongsong bola menuju ke kotak pinalti. Kiper lawan pun terpaksa harus menekanku, namun dengan cermat aku menyongkel bola melewati kepala kiper yang berada di luar posisinya dan memasuki gawang.

1-0.

Permainan pun kembali dimulai melalui kick-off. Mereka mulai memainkan umpan-umpan pendek hingga masuk ke daerah kami, namun, setiap mereka memegang bola, seisi tribun kecuali ultras mereka menyoraki mereka begitu lantang hingga mereka mulai terlihat goyah.

"BOOOOOO!!!! BOOOOOO!!"

Mereka mulai goyah, dan mereka yang terlalu lama menahan bola membuat Dika dapat merebut bola dan bola kembali diarahkan kepadaku.

Posisi mereka benar-benar terbuka lebar, dan lagi-lagi aku menggiring bola menyongsong gawang mereka. Meski para pemain bertahan berada pada posisinya, lagi-lagi aku berhasil melewati mereka semua. Namun kini, Dika ikut berlari menuju ke kotak pinalti, dan ketika kiper mengira aku akan menembak, aku mengoper bola menuju ke Dika yang tak dijaga, dan Dika berhasil mencetak gol kedua.

2-0.

Kamipun merayakan gol kami bersama di depan ultras kami, dan setelah puas berselebrasi, aku tidak langsung kembali ke posisi dan mengajak teman se-tim ku untuk melakukan huddle sejenak.

"Guys, udah keliatan mereka udah pada goyah mentalnya, sama defence nya mereka ternyata bobrok makanya mereka ngincer gua sama Candra, bisa kita ini menang banyak, LET'S GO!!" Ucapku selagi kami huddle.

Setelah itu, permainan bagi kami terasa sangat mudah. Bantuan dari para ultras juga sangat memberi efek kepada mental mereka. Dengan mudah kami menguasai pertandingan, dan baru babak pertama, kami berhasil mencetak 4 gol ke gawang mereka tanpa balas.

Aku menjadi pencetak gol keempat, dan setelah kami puas berselebrasi, aku berjalan melewati salah satu pemain yang tadi berada di kejadian ruang ganti tadi.

"Pantes lu pada make cara sampah gitu, lembek kalian semua ternyata" ucapku menghina mereka, dan tentu saja mereka tersulut oleh hinaanku.

Ia pun langsung mendorongku, namun setelah itu, aku kembali menghadapnya dan memberikan gestur telepon dengan jariku, menunjukkan kalau aku bisa menghancurkan mereka hanya dengan hapeku.

Selain itu, ultras pun kembali menyoraki, dan kini ultras tim mereka tidak dapat berkutik untuk membela tim mereka yang baru saja dipermalukan.

Babak pertama pun diakhiri, dan aku, Adi, dan Jigong langsung beranjak menuju ke tim medis untuk meminta es batu karena kami harus menahan sakit sepanjang pertandingan.

Kami sama sekali tidak membahas taktik saat beristirahat, dan kami bisa saja menambah skor hingga 9-0, namun kami tidak begitu memikirkannya, mentalitas tim lawan sudah jatuh begitu dalam dan kami masih bisa mengendalikan permainan.

Namun, selagi kami beristirahat, kami mendengar suara gemuruh tawaan dari ultras di belakang kami.

"Eh anjir, ada apaan?" Ucap Adi yang terkejut.

Kami semua menoleh ke belakang, dan kami melihat ultras kami tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk ke ultras dari lawan kami yang sudah membubarkan diri, dan tentu kami semua juga ikut tertawa melihatnya sampai-sampai kami semua menyanyikan lagu 'Sayonara' untuk mereka.

"SAYONARA, SAYONARA, SAMPAI BERJUMPA PULANGG!!!"

Namun, tak sampai disitu, ketika kami menoleh ke samping, kami juga melihat tim lawan kami sudah merapikan bench mereka, dan mereka juga berniat untuk pergi dari sini tanpa melanjutkan pertandingan.

Mereka pergi membawa kekalahan, namun betapa lucunya melihat mereka pergi membawa kekalahan yang sangat tidak terhormat.

"Udah, gini doang kita ke final?" Ucapku bercanda membuat seluruh tim makin tertawa.

Semudah ini?

Pihak panitia pun mengeluarkan pengumuman kalau tim lawan kami memutuskan untuk menerima kekalahan walk-out, dan tentu saja, kami semua tertawa selagi merayakan kelolosan kami ke final. Pada akhirnya, setelah sekian lama, kami bisa kembali merasakan final.

Kami pun kembali menuju ke tribun, dan kami tidak langsung pulang, karena pertandingan berikutnya adalah pertandingan yang akan menentukan apakah kami akan menghadapi rival kami di final nanti.

Aku dan Adi langsung beranjak menuju ke Caca dan Rama, dan setelah itu Caca kembali memelukku selagi Rama ber-tos dengan Adi.

"Ihh, emang deh yang nomer 41 itu jago banget" pujinya kepadaku.

"Hahahahaha, thanks, Ca, udah-udah, sakit badan gua" balasku berterimakasih.

Kami pun duduk di kursi tribun, dan Adi kembali memberikanku es batu untuk kami oleskan di sekujur tubuh kami.

"Fuck lah, nyeri semua badan gua" ucapku meringis kesakitan.

"Iya anjir, keknya gua mau berendem di bak pake es batu dah balik nanti" jawab Adi juga mengeluh kesakitan.

"Hahahaha, struggles of being an athlete, ya?" Sambung Caca meledek kami.

"Bacot" jawabku dan Adi bersamaan yang membuatnya makin tertawa.

Kami tak lama menunggu, dan kini, pertandingan kedua akan segera dimulai.

=====

Pada awalnya, kami mengira bahwa ini akan menjadi easy win bagi SMA Rafael. Namun, ternyata tidak. Pertandingan berjalan dengan sengit.

Tim Rafael yang biasanya bermain dengan tekanan yang tinggi kini berubah. Mereka menjadi lebih sering diserang dan bermain di posisi yang tidak nyaman.

Namun, tentu saja, Rafael mengeluarkan performa terbaiknya. Berkali-kali Rafael melancarkan tackle dan clearance krusial yang memberikan mereka harapan untuk memenangkan pertandingan. Aku melihat kearah sang pengamat pun, terlihat juga respon positif dari raut wajahnya melihat performa Rafael.

Babak pertama berakhir dengan skor 0-0 meski pertandingan berjalan dengan sangat sengit. Jujur, sangat sulit bagi kami untuk memprediksi siapa yang akan lolos ke final melawan kami. Tim lawan Rafael bisa mematikan gaya permainan mereka yang begitu menyerang, namun, serangan balik mereka dapat diatasi oleh Rafael seorang diri. Meski mereka berusaha untuk menghindari Rafael, Rafael akan terus mengejar mereka hingga bola berhasil direbut.

Babak kedua kembali dimulai. Aku terus memerhatikan semua pergerakan Rafael, dan aku selalu melakukan cross-check dengan melihat respon dari sang pengamat, apakah Rafael bisa mendapatkan kontraknya.

Sejauh ini, respons dari sang pengamat masih terlihat positif. Performa Rafael ini mengingatkanku dengan performa Roy Keane pada semi-final Champions League pada tahun 1999 ketika Manchester United harus menghadap Juventus pada putaran leg kedua.

Babak kedua menunjukkan adanya perubahan taktik. Rafael kini bermain lebih maju kedepan mengejutkan tim lawan. Kini, mereka benar-benar kewalahan menangani Rafael. Rafael bermain dengan sangat semangat. Begitu banyak interception yang dia lakukan hingga serangan tim lawannya begitu mati.

Gol pun tercipta pada akhirnya. Rafael berhasil merebut bola di luar kotak pinalti, dan setelah itu, Rafael langsung menggiring bola dan melancarkan tembakan jarak jauh yang berhasil masuk ke gawang lawan, dan gol indahnya membuat kami begitu terkesima dan memberikan tepuk tangan ke Rafael.

Pertandingan terus berlanjut hingga ke menit akhir, dan kemudian, peluit panjang ditiup dan SMA Rafael lolos ke babak final.

Mereka pun terlihat begitu senang, dan aku melihat Rafael meloncat-loncat penuh semangat di tengah lapangan mengetahui dia berhasil lolos ke final dan pertandingan ini adalah performa terbaiknya. Aku langsung melihat kearah sang pengamat dan ia terlihat senyum mengangguk melihat ke arah Rafael sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari tempat perlombaan.

Mereka terlihat begitu semangat dan bahagia, dan kami pun juga merasakan hal yang sama. Kami sudah menanti pertandingan ini begitu lama karena meski kami dan mereka adalah rival, kami tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu di final dan occasion di final nanti akan sangat pecah.

Barcelona melawan Real Madrid, West Ham melawan Milwall, Saint-Etienne melawan Lyon, Pangeran Biru melawan Macan Kemayoran, seperti itulah euforia yang kami rasakan ketika kami berhadapan melawan mereka.

Namun, semuanya mulai berbalik arah kearah yang sangat buruk.

Setelah Rafael puas berselebrasi dengan ultrasnya, Rafael berlari menuju kedepan ultras kami. Awalnya kami kebingungan, namun tiba-tiba, Rafael menaruh kedua tangannya di telinganya seolah menantang kami, dan setelah dia berada di depan kami, Rafael membuka jersey-nya dan melemparnya tinggi-tinggi ke langit.

Kami pun terbakar oleh emosi. Rafael seharusnya berada disini merayakan kelolosan kami sebagai bagian dari kami. Namun, Rafael malah berpindah ke sisi rival dan hal itu saja sudah membuat kami begitu naik pitam.

Para ultras yang tadinya terdiam pun akhirnya mulai tak tahan, dan mereka semua beranjak mendekati pembatas untuk menghina-hina Rafael sang pengkhianat.

"WOY, ANJING LO!!"

"MAJU LO SINI, BANGSAT!!"

Rafael yang tadinya sendiri pun akhirnya didatangi oleh teman-temannya, dan tak disangka, ultras SMA Rafael juga turun ke lapangan dan berlari menuju ke depan kami.

Melihat situasi ini, aku yakin bahwa akan terjadi perkelahian di tempat ini, dan aku tidak mungkin bisa melindungi Caca dari situasi ini ketika sudah begitu keruh.

"Ca, Ca, lu cabut sekarang, Ca! Ini bisa pada ribut lagi disini, takutnya lu juga malah kenapa-napa" ucapku ke Caca.

"Are you sure you guys will be okay?" Tanya Caca kepadaku, Adi, dan Rama.

"Udah, lu gausah mikirin kita dulu, yang penting lu nya aman gak kenapa-napa!" jawab Rama.

Caca awalnya terlihat bimbang, namun, aku langsung menggenggam kedua bahu Caca dan kembali meyakinkannya.

"Ca, plis, gua nggak mau kalo lu bisa kenapa-napa disini" ucapku ke Caca.

"Bay, please promise me that you won't do anything stupid, okay?" Balas Caca, dan ia kembali menjulurkan kelingkingnya kepadaku.

"I will, now get out of here, okay?" Jawabku selagi membalas kelingkingnya, dan setelah itu, Caca memelukku sejenak sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari sini.

Akupun kembali menghadap kedepan, dan aku begitu terkejut melihat Rafael yang menatapku. Rafael sedari tadi memerhatikanku, dan dia pasti melihat semua yang kulakukan dengan Caca. Akupun tidak membalas apa-apa, dan di sisi yang sama, aku melihat beberapa dari kami sudah beranjak menaiki pembatas.

"DI! RAM! KALEMIN YANG LAIN DULU!" teriakku ke Adi dan Rama, dan mereka langsung beranjak ke dekat pembatas untuk menenangkan mereka.

"GUYS! TAHAN EMOSINYA! KITA MASIH BISA KETEMU MEREKA MINGGU NANTI, TAHAN DULU SAMPE BESOK!!" teriakku, namun mereka tidak mendengarkan dan upaya Adi dan Rama juga kulihat sia-sia.

Aku kembali melihat ke Rafael, dan Rafael juga masih menatap tajam kearahku. Aku hanya terus balas menatapnya, dan kemudian, Rafael melihat ada botol yang baru saja dilempar oleh ultras kami. Rafael pun mengambil botol itu, dan kemudian, Rafael melemparkan botol itu kearahku.

Aku yang begitu terkejut masih bisa menghindari botol itu. Namun, seluruh ultras kami begitu terkejut melihat perlakuan Rafael, karena mereka tahu aku masih menjalani hubungan dengan baik dengannya, dan kini, sudah tidak ada jalan mundur dari ini.

"WOY, ANJING!!" teriak salah satu ultras kami yang sudah menaiki pembatas, dan setelah itu ia meloncat kebawah untuk memulai perkelahian.

Perlakuannya menjadi pembuka pagar bagi ultras kami untuk melakukan hal yang sama. Makin banyak orang-orang yang ikut turun untuk berkelahi. Aku, Adi, dan Rama saling menatap bingung harus melakukan apa. Namun, tiba-tiba kami mendengar Rafael berteriak.

"MAJU LO SEMUA SINI, NGENTOT!" teriak Rafael ke kami.

Alhasil, kami bertiga saling paham bahwa suasana sudah begitu keruh dan sudah tidak bisa untuk dinetralisir. Kemudian, bersama dengan yang lain, kami beranjak meloncati pembatas untuk melibatkan diri ke dalam perkelahian.

And so, the war is on.

- To be Continued -​
 
Bimabet
makasih updatenya.

ternyata yang disni yang diupdate. padahal ane nunggu yang sebelah hahaha.

ane sedikit notice aja, dicerita sebelumnya Bayu itu dalam percintaan sedikit posesif dan egois. kalau disni entah kenapa Bayu serasa orang bodoh kalau dalam percintaan hahaha, mungkin baru pertama kali atau emang masih polos Bayunya.

ditunggu kelanjutannya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd