Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG With Benefits.

Status
Please reply by conversation.
- The Truth -

********​
(Bayu's POV)

"........"

Aku terbangun dari lelapku, dan aku langsung merasakan sakit di sekujur tubuhku. Kepalaku rasanya berputar begitu kencang, dan untuk mengangkat kepalaku saja rasanya sudah tidak mungkin bisa dengan mudah.

Kini aku sudah berada di rumah, dan entah siapa yang membawaku kesini. Ketika aku menoleh ke sekelilingku, aku langsung menemukan Adi, Rama, serta Caca dan Mamah sedang berada di dalam kamarku.

"Loh... Pada ngapain di dalem?" Tanyaku lirih selagi berusaha bangkit.

"Sadar, bego Bay! Lu lupa lu abis kenapa?" Tanya Adi.

======
(Earlier...)

Setelah perseteruan dengan Dika, pikiranku kembali mengawang kemana-mana, dan fokusku mulai teralihkan. Aku sadar bila aku tetap disini situasi akan makin keruh, jadi aku memutuskan untuk beranjak pulang supaya konflik yang tak perlu dapat dihindari.

Dengan cepat aku berlari menuju tasku, dan aku langsung beranjak pergi dari tongkrongan. Motorku kuparkir di lapangan futsal di dekat sekolahku, dan aku harus melewati kebun kosong yang berada tak jauh dari sekolahku. Perasaanku masih berkecamuk, dan pikiranku terus berputar mengitari entah apa yang seharusnya tidak kupikirkan.

Hingga aku berada di dekat kebun, aku melihat segerombolan anak SMA yang sedang merokok di pinggir kebun tersebut. Awalnya kuacuh karena mungkin mereka semua adik kelasku yang belum pulang. Namun, ketika kami saling bertatap, tatapan mereka menuju kepadaku begitu tajam dan semakin aku mendekat, aku melihat badge mereka yang berbeda dengan milik SMA-ku.

Aku kembali acuh, dan selagi aku melewati mereka, semuanya serentak berdiri dan berjalan menghampiriku. Seseorang berlari dan tiba-tiba ia merangkulku selagi menarikku menuju ke kebun kosong. Entah siapa mereka, namun bila mereka ingin berkelahi, siapa takut?

Memasuki kebun kosong, aku langsung mendorong orang itu kedepan hingga ia tersungkur, dan aku langsung melompat memberikannya tendangan ke perut selagi ia berusaha bangkit.

Perlahan, aku mulai mengenali siapa mereka. Wajah mereka terlihat begitu familiar, dan perlahan, aku bisa mengenali mereka yang menjadi lawan kami di semifinal kemarin.

"Kemana ae lu baru dateng sekarang?!" Teriakku kearah wajahnya sebelum aku kembali melancarkan pukulan selagi aku melompat.

Pukulanku mengenai kepalanya dengan tepat dan kencang. Ia kembali bangkit dan memberikanku perlawanan, dan kawan-kawannya segera mengerumuniku untuk membantu temannya yang sedang bergulat denganku.

Tentu saja, tidak mungkin aku bisa menangani orang sebanyak ini sendirian. Mereka terus berusaha menahanku selagi yang lain terus memukuliku. Aku tetap berusaha melawan dengan menendangi orang yang berada di depanku ketika mereka menahan kedua tanganku, namun perlahan aku sudah tidak mungkin melawan mereka semua. Begitu banyak orang menahan tubuhku, dan orang yang baru kupukuli dengan membabi-buta memukuliku, dengan orang disampingnya menendangiku dengan lutut mereka, membuat kakiku menjadi lemas.

Perlahan aku mulai terjatuh, dan mereka langsung menghajarku yang tak bisa memberikan perlawanan lagi. Aku ingat salah satu dari mereka menginjak ankle kiriku yang sudah kurasakan sakit semenjak pagi tadi.

"AKHAKHHHH!!"

Setelah mereka puas, mereka kembali berkumpul dan meninggalkanku meski tak meninggalkan lokasi ini. Pandanganku mulai samar, dan kesadaranku perlahan mulai menghilang. Namun, aku masih dapat mendengarkan pembicaraan mereka meski tak terdengar dengan jelas.

"Anjirr.... Mukulin satu orang aja ampe serepot ini... Sakit banget rahang gua..." Ucap salah seorang dari mereka.

"Iyalah, anjir. Lu pikir ae coba kenapa si Rafael-Rafael itu ngasih cuannya gede sama peringatin kite? Udah lah, yang penting cabut kita dari sini sekarang."

Rafael......

Mendengar namanya saja, amarahku kembali meningkat, dan andrenalinku makin terpicu. Aku sudah melupakan segalanya. Rasa sakit yang kurasakan, keselamatan diriku, rasa hormatku kepada Rafael sebagai teman, bahkan sebagai lelaki jantan, semua hal itu telah meninggalkan pikiranku.

Perlahan aku mulai bangkit dengan emosi yang sudah sangat meluap. Persetan bila aku mati disini, aku akan menghabiskan mereka semua.

"Jadi... Rafael yang nyuruh kalian?..." Ucapku lirih membuat mereka semua terkejut melihatku yang sudah kembali berdiri.

"HAH?! ANJING!!"

"You should've kill me when you had the chance." Ucapku dingin, dan aku langsung berlari menghampiri mereka.

Aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Yang kumau hanyalah melihat mereka semua jatuh di tanganku. Mereka tidak kabur, dan mereka ingin menyelesaikan pekerjaannya. Namun, emosiku yang sudah menuju titik tertingginya membuat andrenalinku makin terpicu.

Aku terus menyerang mereka membabi-buta, dan tak ada yang kubiarkan menahanku dengan begitu mudah. Semua bagian vital kukenai dan seluruh kepala sudah terkena semua seranganku hingga banyak yang tumbang dan tak bisa bangkit.

Aku tidak ingat apa-apa, namun aku teringat pandanganku sebelum aku jatuh pingsan adalah aku menendang kepala orang terakhir yang tingginya tak beda jauh dariku menggunakan kaki kanan. Tendanganku membuatnya langsung terkapar, dan setelah itu, kaki kiriku sudah tak kuat menahan beban dan kesadaranku perlahan menghilang.

(..... End of Flashback)
======

"Oh, iya." Ucapku polos.

"Kok cuma 'oh, iya'?! Lo udah gila ya, Bay?!" Teriak Caca yang sepertinya sangat marah denganku.

"Ya abis mau gimana lagi?" Balik tanyaku datar membuatnya makin terheran.

Aku mencoba mengangkat kaki kiriku, namun aku merasakan ada sesuatu yang menyelimutinya dan terasa keras. Aku menoleh kebawah, dan terlihat ada sebuah gips yang membalut sekitar ankle-ku.

"Kaki lu patah, Bay. Untung tadi pas kita mau nganterin lu balik nyokap lu langsung nyuruh bawa lu ke rumah sakit pas kita telpon." Jelas Rama tanpa aku bertanya.

"Gua pingsan lama, dong?" Tanyaku kaget.

"Iya, kak. Pasti badan kamu juga kecapean. Gimana nggak? Kamu ngelawan satu geng sendiri, dan menang lagi. Mamah juga sampe bingung harus ngomong apa." Jawab Mamah.

Aku hanya bisa terdiam tak tahu harus menjawab apa, dan selagi kami diam membisu, Caca yang berada di sampingku terus menggenggam tanganku dan mengelusnya dengan lembut menggunakan ibu jarinya.

"Yaudah, kalo gitu Mamah mau ambil hape sebentar ya, kak. Mamah mau mesenin makan buat kalian sama yang ada di bawah."

"Eeeeh, tante, udahh nggak usah repot-repot, tan." Jawab Adi dan Rama serentak.

"Udah, lahh. Toh kalian semua juga yang ngebantuin Bayu, lagian kaya kalian baru pertama kali main kesini aja." Balas Mamah, dan Mamah meninggalkan kamarku.

"Di bawah rame, coy?" Tanyaku setelah Mamah keluar.

"Mayan, lah. Oli, Dewa, Aini, sama ada berapa anak lagi." Jawab Adi.

"Dika?"

"Dika langsung gerak nyari Rafael." Jawab Caca spontan, dan ucapan Caca langsung membuat kami terdiam.

"Gua kebawah dulu dah, gaenak sama bocah." Sambung Adi yang beranjak menuju ke pintu kamarku dan disusul Rama.

Kini hanya ada aku berdua dengan Caca di dalam kamarku. Kami hanya saling bertatap, dan Caca terus mengelus-elus lenganku. Kami sama sekali tidak berbicara, dan kesunyian ini perlahan mulai membuat kami larut kedalamnya.

Sebagai lelaki yang sudah 18 tahun dan tak pernah memiliki hubungan romansa, tentu aku merasa canggung dengan situasi ini. Namun, perlahan aku mulai nyaman dengan Caca yang terus mengelus-elus tanganku. Apakah ini yang dirasakan oleh orang-orang ketika berpacaran?

Caca pun juga terlihat larut dengan ketenangan dan kenyamanan kami, dan perlahan Caca mulai mendekat ke tubuhku. Aku juga tidak bisa kemana-mana, dan Caca semakin mendekat kearahku.

Lagi-lagi, Caca memanfaatkan momen ini ketika aku bahkan sama sekali tidak bisa bergerak, dan Caca mulai mengelus-elus pipiku lembut. Aku juga tidak bisa melakukan apa-apa selain menikmatinya, meskipun Caca terkadang mengelusi luka gores yang sedikit perih.

Perlahan, Caca mulai memajukan kepalanya, dan bibirnya mulai menyongsong bibirku. Dalam dua hari berturut-turut, kami kembali berciuman.

*Ccupphhh... Ccupphhh...*

Caca memagut bibirku dengan lembut, dan pikiranku sudah terlalu berat untuk memikirkan hal ini semua, dan perlahan aku mulai membalas pagutannya.

*Ccupphhh... Ccupphhh... Ccupphhh...*

Kami makin terlarut dengan suasana, dan perlahan aku ikut mengangkat tanganku untuk mengelus-elus wajahnya selagi kami berciuman, dan kami mulai memanas dalam saling membalas pagutan kami.

*Ccupphhh... Cccupphh... Ccupphhh...*

Bila tidak memperdulikan situasi, kami pasti akan terus terjatuh dalam pada panasnya suasana kami. Namun dengan sigap aku langsung menarik kepalaku, takut bila ada yang akan melihat kami kembali berciuman. Apalagi anak-anak dari tongkronganku, topik ini tak akan pernah ada matinya bila mereka melihat.

Caca pun ikut menarik kembali tubuhnya, dan kami kembali ke posisi semula. Kami kembali terdiam, dan Caca kembali mengelus-elus tanganku. Aku bingung harus mengeluarkan perkataan apa, dan tak lama kemudian, Caca mulai angkat bicara.

"Bay," mulainya. "Kita, tuh sebenernya apa, sih?"

"Ca, tolong ini pikiran gua udah mumet banget. At least gua mau nenangin kepala dulu." Jawabku yang diterima dengan baik oleh Caca.

Caca kembali terdiam sesaat, dan melihatku yang tak bisa berkata apa-apa, Caca kembali membuka suara.

"Ini semua salah Evelynn, harusnya dia nggak usah sama sekali terlibat sama hubungan kita semua."

Ucapan Caca membuatku berpikir. Ini bukanlah momen yang tepat untuk menunjukkan jari kita. Sekalipun iya, Evelynn bukan orang yang sepatutnya disalahkan. Evelynn tidak bersalah, dan justru malah kami bertiga yang membuat kesalahan, meski untuk tujuan yang baik.

Caca salah dengan menjauh dari Rafael dan mendekat kepadaku meski ia tahu kalau Rafael bukanlah orang yang tepat baginya. Rafael pun juga salah melakukan semua hal yang ia lakukan meski niatannya untuk memperjuangkan cintanya. Sedangkan aku juga bersalah karena awalnya aku acuh dengan semua hal itu, meski tujuanku adalah untuk tidak mengganggu hubungan mereka.

Meski Evelynn menggunakan cara yang salah, Evelynn memiliki tujuan yang baik untuk mempertahankan hubungan Caca dan Rafael, serta menjauhkanku dari drama yang seharusnya dapat dihindari.

"Ca, lu kepikiran gak, sih kalo Evelynn malah bukan orang yang salah?" Ucapku membuat Caca terkejut dan kembali menoleh kearahku.

"Kita semua salah, Ca. Lu nggak seharusnya mendekat ke gua, Rafael nggak seharusnya ngelakuin semua ini, dan gua nggak seharusnya berada di tengah-tengah kalian. Meski emang cara Evelynn salah juga, Evelynn ngelakuin hal yang bener dengan berusaha ngejaga hubungan kalian dan narik gua dari tengah-tengah hubungan kalian." Lanjutku.

Mendengar jawabanku, Caca malah tersenyum. Aku makin kebingungan dengan situasi ini karena aku tak menyangka ini reaksi yang akan Caca berikan ketika mendengar penjelasanku.

Caca mengangkat tangannya yang ia gunakan untuk mengelus tanganku, dan tangan itu ia tempatkan kembali ke wajahku yang penuh dengan luka.

"Bay, there are so many things that you need to know," ucapnya selagi mengelus pipiku. "Ketika lo tau apa alesan Evelynn ngelakuin ini semua, lo akan paham kenapa Evelynn juga jadi salah satu alesan kenapa semua ini bisa kejadian."

Mendengar perkataannya, aku kembali terdiam. Caca terus mengelus-elus pipiku dan aku perlahan mengangkat tanganku untuk menggenggam pergelangannya tanpa membuat Caca berhenti mengelus pipiku.

Selagi kami terdiam, aku mulai memikirkan tentang apa yang Caca ucapkan tadi. Hubungan kami ini sebenarnya hubungan apa?

Jujur, aku masih belum siap untuk berkomitmen dengan hubungan percintaan. Namun, kami sudah sejauh ini. Lagipula, aku tidak bisa bohong kalau aku sangat menyayangi Caca meski aku tidak tahu sayang ini mengarah kemana.

Kemudian, dengan semua yang Caca berikan kepadaku, semua afeksi dan kepuasan yang ia beri, membuatku kembali berpikir. Terlebih dengan omongan Adi di tongkrongan tadi tentang perasaan Caca, aku juga sudah harus memikirkan ini karena ini juga tidak baik untuk Caca.

"Ca, tentang pertanyaan lu tadi," ucapku selagi Caca terus mengelus pipiku. "Gua boleh minta space diantara kita dulu, nggak? Jujur, gua pun juga bingung tentang apa hubungan kita sebenernya. I need some time to think about it."

"Jadi... Lo udah mulai mikirin kearah sana?" Balasnya selagi tersenyum kecil mendengar pertanyaanku.

"Yah, kurleb begitu. I mean, kita udah sejauh ini, loh. It's kinda fucked up if we're just ended up being friends, even though I'm still thinking that I'm not ready for a relationship." Jawabku lagi, dan Caca makin tersenyum dan meningkatkan elusannya di pipiku.

"It's okay, gue paham kok. Take as many time as you need. I'll be waiting for you." Ucapnya lembut, dan ia kembali mendekatkan wajahnya kepadaku meski kini tak terlihat adanya niatan dari Caca untuk mencium bibirku.

"Get well soon, my number 41." Ucapnya begitu lembut, dan ia sambung dengan kecupan di keningku.

Setelah itu, Caca beranjak dari duduknya di sisi ranjang. Kemudian, Caca beranjak menjauh dariku menuju ke pintu.

"I guess I'll have to go, see you later, Bay." Ucapnya pamit, dan setelah itu Caca beranjak pergi dari kamarku meninggalkanku sendirian.

=====
(A few days later...)

Sudah tiga hari aku hanya bisa terdiam di rumah. Cedera di kakiku juga sangat menghambat pergerakanku, dan membuatku bingung harus melakukan apa.

Aku hanya bisa berdiam di dalam kamar melakukan hal-hal yang kubisa. Sudah tiga hari ini aku menghabiskan waktu dengan bermain game dan belajar di dalam kamarku, dan isolasi ini lama-lama membuatku menggila karena aku ingin segera keluar dari rumah.

Namun, Mamah masih melarangku untuk beraktivitas keluar sendirian. Bukan hanya karena kondisiku yang tak memungkinkan, tetapi juga karena Mamah begitu takut dengan apa yang bisa saja terjadi. Mungkin masih ada yang menaruh dendam kepadaku dan membuatku kembali dalam bahaya, meski tubuhku masih sangat rentan. Tak jarang juga Bella menemaniku tidur di kamarku supaya ia bisa menjagaku bila terjadi sesuatu ketika aku sedang tertidur.

Hari sudah menjelang sore, dan kini aku sedang berada di fase bingung ingin melakukan apa. Bahkan ketika biasanya di momen seperti ini aku bisa memuaskan diri dengan coli, tak ada sama sekali niatan dariku untuk melakukannya. Padahal, ada begitu banyak bahan yang bisa kugunakan untuk memuaskan diriku seperti foto-foto yang pernah Caca berikan. Dan juga, aku malas untuk melakukan mandi wajib di tengah kondisiku yang seperti ini.

Tak lama kemudian, aku mendengar pintuku diketuk, dan setelah itu orang yangberada di balik pintu membukanya.

"Loh, udah pulang, dek?" Tanyaku ketika mengetahui Bella lah yang membuka pintu.

"Iya, kak. Kata Mamah aku disuruh langsung pulang biar nemenin kakak." Jawabnya.

"Ooooh." Balasku singkat.

"Sama Mamah kan tadi ke Rumah sakit naik ojol, Mamah bilang kalo kakak mau keluar pake aja mobilnya, nanti aku yang temenin." Sambungnya lagi.

"Eh, ini kakak beneran boleh keluar?!?" Ucapku kegirangan.

"Iyaaa, yaudah yuk, keluar. Aku ganti baju dulu sebentar tapi." Jawabnya.

Bella pun beranjak ke kamarnya, dan setelah mengganti seragamnya dengan setelan kasual dan hijabnya, Bella membantuku bersiap diri dan setelah itu kami memutuskan untuk pergi ke salah satu Mall yang berada di pusat kota.

=====

Di jalan, kami juga memutuskan untuk tidak langsung pergi ke Mall. Bella yang baru bisa menyetir mobil juga ingin jalan-jalan di sekitar kota kecil kami sebelum kami berhenti di Mall tujuan kami.

Di jalan pun, kami terus mengobrol tentang apa yang kulewatkan selama aku tidak ke sekolah. Bella bercerita bahwa begitu banyak orang-orang dari angkatan dan tongkronganku yang masih belum memasuki sekolah dan guru-guru mulai mencari keberadaan mereka.

Akupun termasuk ke salah satunya, namun Bella menjelaskan ke guru kami bahwa aku baru saja terlibat dalam pengeroyokan, dan ktika pihak sekolah menawarkan diri untuk membantuku ke jalan hukum, Mamah tetap melindungiku dengan meyakinkan guru-guru bahwa masalah ini sudah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan.

Evelynn pun juga masih belum memasuki sekolah, dan sebagian lebah suruhannya yang memasuki lingkungan sekolah juga menarik diri begitu jauh untuk mengamankan diri mereka ketika ratunya sedang pergi.

"Terus udah ada yang kena bully belom mereka?" Tanyaku.

"Udah, sih kak beberapa. Cuma mereka mainnya ngumpul mulu, sama kalo lagi jam kosong mereka pasti ke masjid. Kan gamungkin cowok-cowok masuk ke bagian cewe, dan dari yang aku liat, sih yang cewek-cewek juga bodoamatan gitu." Jelas Bella.

"By the way, kak,"

"Apa?"

"Aku... Mau ngaku, deh..."

"Apaan?"

"Tapi... Janji kakak nggak marah, ya?" Tanyanya memastikan.

"Emang apaan, sih dek??" Jawabku tak sabar.

"Aku... Kemaren ngeliat kakak.... Ciuman sama kak Caca..."

Ah, sial.

"Alah, anjir! Padahal kakak udah mulai tenang nggak ada temen kakak yang ngeliat, taunya malah adek sendiri!" Ucapku spontan membuat Bella tertawa.

"Hahahahahaha! Lagian ciuman di rumah, dikira tinggal sendiri, apa?" Jawabnya mentertawaiku.

"Jangan bilang ke Mamah sama Ayah loh, dek." Balasku menodong Bella.

"Iyaa, lagian juga itu kan urusan kakak." Jawabnya membuatku lega, karena aku berhasil mendidik adikku dengar benar.

"Tapi kak," sambungnya. "Kakak udah pacaran sama kak Caca?"

"Belom, dek. Kakak juga masih perlu waktu buat mikir-mikir." Jawabku singkat.

"Awas aja loh, kak. Kak Caca udah sebegitu care nya sama kakak, terus udah sejauh itu hubungan kakak sama dia. Kalo kakak cuma nganggep dia kayak temen biasa, apalagi kalo kakak manfaatin kak Caca dari segi care sama begituannya, aku nggak mau ngakuin kakak sebagai kakak aku sendiri." Ingatnya kepadaku.

"Ya ampun emang kamu pikir kakak apaan?? Lagian juga ini alesan kenapa kakak nggak mau pacaran, ngeri kalo hal-hal kayak gini kejadian." Balasku.

"Ya, kali aja kan, kak. Cuma aku seneng banget kalo kalian pacaran, deh. Kalian berdua cute banget." Jawabnya yang tak kubalas, dan setelah itu kami mulai menuju ke Mall setelah Bella puas berputar mengelilingi kota.

Sesampainya di Mall, Bella langsung mengarahkan mobil menuju ke pintu masuk lobi yang terdapat loket parkir valet. Bella pun memberikan kunci mobilnya ke pegawainya karena Bella masih belum lancar dalam memarkirkan mobil di parkiran yang dipenuhi oleh mobil, dan supaya aku tidak harus berjalan jauh.

Dengan sigap Bella pun membantuku untuk turun dari mobil dan menyediakan tongkat untuk membantuku berjalan. Selagi Bella memberikan kunci mobilnya pun, aku memerhatikan sekitarku.

Begitu banyak orang yang mendatangi Mall ini, dan aku memerhatikan orang-orang yang memasuki Mall ini. Namun, selagi aku melihat-lihat, mataku terpaku ke seseorang yang kulihat sangat familiar. Mataku terus tertuju kepada perempuan itu yang sedang bersama lelaki paruh baya yang sedang merangkulnya. Mereka berjalan, namun bukan menuju ke dalam Mall, melainkan ke pintu masuk hotel yang berada disampingnya.

Apa mungkin.... Pekerjaan yang ia lakukan selama ini....

Dengan cepat, aku langsung merogoh hape yang berada di kantung celanaku, dan aku langsung mengabadikan momen itu karena ini merupakan berita yang sangat besar, dan ini bisa kugunakan sebagai senjata bila ia berani macam-macam denganku, Adi, Rama, Bella dan Caca.

Bella langsung menghampiriku setelah ia mengurusi mobil kami, dan ia terlihat heran ketika menyaksikan perbuatanku.

"Kak, lagi ngapain? Ayo masuk." Ucap Bella, namun aku tidak membalasnya.

Bella pun ikut penasaran dengan apa yang sedang kulihat, dan tentu saja, Bella sangat terkejut melihat hal yang sedang kuperhatikan saat ini.

"KAK!! ITU KAN..."

"Iya... Evelynn..."

- To be Continued -
 
Terakhir diubah:
Halo suhu-suhu semua! Maaf banget ane baru bisa up karena kesibukan di RL yang nggak bisa di tolerir dan ane makin susah nyari waktu buat nulis. But nevertheless, enjoy the latest update!

Oh iya, minal aidin wal faizin buat suhu-suhu semua! Mohon maaf kalo pada bete nungguin up-an terbaru yang bisa lamaaa banget :beer:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd