Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG With Benefits.

Status
Please reply by conversation.
Taruh jejak biar bisa gercep kalau ada update. Btw ceritanya walau tanpa adegan aneh2. 👍👍👍👍👍
 
- The Fall of the Two Towers -

=====

Hari ini, aku sudah memutuskan untuk pergi ke sekolah. Mamah masih melarangku untuk tidak dalam waktu dekat ini, namun dengan bantuan dari Bella serta setelah begitu banyak celah yang kucari untuk bisa mendapatkan izin dari Mamah, Mamah hanya bisa pasrah.

Jujur, perasaanku masih tidak tenang. Lukaku masih belum sepenuhnya pulih, yang jelas akan menyorot perhatian satu sekolah terlebih dengan kondisiku yang harus berjalan menggunakan tongkat. Tapi, aku sudah tertidur begitu lama, dan aku sudah terbangun membawa bekal yang bisa kugunakan bila Evelynn masih berani bermacam-macam.

=====

"Di sekolah udah rame, Di?" Tanyaku lewat telefon disamping Bella yang sedang menyetir mobil menuju sekolah kami.

"Yah, kurang lebih. Anak tongkrongan juga udah banyak yang masuk gegara dicariin sama guru." Jawabnya dibalik telefon.

"Caca?"

"Dia udah dateng. Dia pengen ikut ngejemput lu di depan. Lagian kok tiba-tiba banget lu mau masuk? Emang emak lu udah ngasih izin?" Balasnya bertanya kepadaku.

"Ada yang harus gua pantau, Di. Sama ada yang perlu gua lakuin kalo 'dia' berani macem-macem." Jawabku.

"Hah? 'dia' siape? Lu mau ngapain?" Tanyanya lagi.

"Udeh, lu juga bakal tau nanti." Balasku singkat, dan setelah itu, aku berpamit dengannya dan kembali memerhatikan jalan.

=====

Sesampainya di sekolah, Adi dan Caca sudah terlihat berada di depan pagar sesuai dengan perkataannya. Dengan cepat pun mereka langsung menghampiri mobil kami yang berhenti di sekitaran parkiran luar, dan ketika Bella dan Adi mempersiapkan tongkat, Caca langsung beranjak menujuku untuk membantuku.

"Ah, ribet ini kalo harus nuntun lu juga, Bay. Gua ambilin kursi roda aja, yak." Ucap Adi membercandaiku, namun ketika aku baru mau tertawa dan ingin membalas candaannya, Caca langsung menyuruh Adi untuk diam.

"Di, udah jangan bercanda dulu." Jawab Caca dengan serius.

Yah, Caca memang terlihat agak kaku hari ini, namun ketika kami bertatapan, Caca selalu menyempatkan untuk tersenyum kepadaku, meski aku tahu kalau saat ini ada yang sedang ia pikirkan.

Dengan sigap Caca membantuku keluar dari mobil, dan setelah tongkatku siap, kami langsung berjalan menuju ke kelas kami dan Bella langsung beranjak ke kelasnya.

Sesampainya kami di kelas. Tentu suasana pagi yang tidak terkontrol meramaikan seisi kelas. Namun ketika aku membuka pintu, seluruh mata tertuju kepadaku dan Caca yang selalu menuntunku sepanjang perjalanan.

Selain itu, berita tentang berakhirnya hubungan Caca dan Rafael juga sudah diketahui oleh seiring kelas, dan semua orang memanfaatkan momen ini untuk mengolok-olok kami berdua.

"WAAAAHH!! CIEEE, CIEEEE!!"

"ASIK BENTAR LAGI ADA YANG PACARAN, NIH!! YUHUUUU!!"

"MINTA PU-NYA DONG, KALIANN!!!"

Jujur, aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Perjalanan menggunakan tongkat ini sudah membuatku lelah dan ketiakku rasanya juga sudah mati rasa. Aku sudah ingin cepat-cepat duduk di kursi dan kembali tidur. Namun, tanpa aku, Adi, dan aku yakin seluruh anak di kelas juga duga, dengan ketus Caca berteriak di depan kelas.

"GUYS, PLEASE SHUT THE FUCK UP!!! LO PIKIR INI WAKTU YANG TEPAT BUAT BERCANDA KAYAK GINI?!? HAH?!?" teriak Caca yang sangat membuat kami terkejut.

Tidak biasanya Caca seperti ini. Caca sudah menjadi orang yang sering meramaikan suasana kelas dengan sifatnya yang periang, dan bahkan bila konteks bercandaannya menuju kearahku dan Caca, ia selalu membalas candaan itu. Namun, kali ini situasinya berbalik 180 derajat. Caca berubah menjadi sosok yang kaku dan tegas untuk sementara ini.

Akhirnya, satu kelas hanya bisa termenung karena kaget dengan perubahan sifat Caca, dan selagi kelas terdiam, Caca kembali menuntunku menuju ke meja kami yang berada di pojok kelas.

Dengan sigap lagi Caca membantuku untuk duduk, dan setelah itu Caca menaruh tongkat yang kugunakan tepat di belakang kami sebelum beranjak duduk disampingku.

Setelah Caca duduk pun, kami kembali dikejutkan dengan Caca. Tiba-tiba, Caca menangis dan kami semua mulai kebingungan, meski aku tahu apa yang sedang ia rasakan. Aku yakin, tindakan Caca tadi dan tangisan ini berkaitan dengan perasaannya. Ia memang sangat mendambakanku, tetapi ia begitu menghargai keputusanku untuk memikirkan hal ini terlebih dahulu, meski menurutku ada alasan lain yang membuat Caca seperti ini.

Melihat Caca yang masih menangis, aku juga harus bertindak. Aku langsung merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya berusaha untuk menenangkan dirinya. Dan aku juga menanyakan beberapa hal tentang apa yang kulewatkan.

"Gua ketinggalan apa, coy?" Tanyaku ke Adi dan Rama.

"Banyak, Bay. Geng-gengnya Evelynn beberapa ada yang kena bully dari kemaren. Dianya nggak tau kemana. Terus guru-guru juga rencananya mau nonaktifin ekskul Bola gara-gara kejadian ini." Jelas Adi.

"Wah, anjing. Bawa piala masih mau dinonaktifin juga kita?" Tanyaku.

"Bukan masalah pialanya, bego. Lu liat gara-gara turnamen ini kaki lu jadi begitu, anak-anak pada bonyok, musuh jadi makin banyak." Balas Rama.

"Tapi kan itu diluar konteks bola, Ram. Terus, beberapa hari ini kalian sama Caca aman-aman aja, kan?" Kembali tanyaku.

"Sebenernya... Caca kena juga sama bocah-bocah, sama kemaren aja ampe ada bocah ngelewatin kelas kita sambil ngata-ngatain Caca pas dia lagi di kelas sendirian." Jawab Rama.

"Lah kan dia ada di bench kita kemaren. Kok malah dia kena juga?" Tanyaku heran.

"Biasa, Bay. Main pukul rata. Cuma udah kita-kita amanin kok, jadi semuanya lari ke arah Evelynn sama geng-nya jadinya." Jawab Adi.

Tak kuduga, bahkan Caca juga terkena imbasnya dari semua aksi Evelynn yang berusaha untuk mendekatkan Caca kembali ke Rafael. Aku yakin, semua hal ini pasti berat bagi Caca, dan ditambah dengan olok-olokan dari teman sekelas kami, Caca pasti makin merasa terbebani dengan semua ini, terlihat jelas dari tangisannya yang masih belum berhenti.

"There, there, it's okay." Ucapku berusaha menenangkan Caca yang masih menangis tersedu-sedu.

"Hikss... Hiksss... I'm tired of all this, Bay... I know... I did wrong... Hiksss... Hiksss... I caused all of this to happened... And they're still not over it... They're still mocking me for the things that I wasn't even doing... Hiksss... Hiksss... Even the jokes are starting to get through me...." Balas Caca terisak.

"Iyaa... It's okay... Gua paham, kok... It's okay..." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Hiksss... Hiksss... Sekarang juga semua anak-anak geng Evelynn nyalahin gue karena... Hikss... Hiksss... Gue yang ngebikin mereka di anjing-anjing in sama.... Hiksss... Hiksss... Satu sekolah.... Hiksss... Apa salah gue??... Itu keputusan mereka buat ngikutin Evelynn... And now it's all my fault???... Hiksss.. Hiksss..." Lanjutnya lagi terisak, dan kini aku mulai mengelus-elus punggungnya.

"Iyaa, gua paham kok, Ca. It's okay, it's okay." Jawabku seadanya.

Perlahan, tangisan Caca mulai menghilang, dan Caca merogoh tasnya untuk mengambil tisu yang ia gunakan untuk mengusap air matanya yang berlinang di pipinya.

"Hiksss... Hiksss... Thanks, Bay.... Pokoknya... Kalo lo perlu apa-apa... Lo tinggal ngomong aja ke gue, ya...." Ucapnya yang masih sesenggukan menghadap kepadaku setelah mengusap air matanya.

"Udahh, gausah mikirin gua dulu. Yang penting sekarang lu udah ada gua, kalo mereka masih ada yang berani macem-macem, apalagi Evelynn, ada gua yang bisa nge-back up. Tapi lu jangan macem-macem juga, oke?" Jawabku yang membuatnya kembali tersenyum.

"Iya. Makasih banyak, ya Bay. Thanks for being by my side." Jawabnya tersenyum.

Setelah Caca berkata seperti itupun, tiba-tiba Rama berdiri dari duduknya dan mengeluarkan sebuah pengumuman kepada seluruh anak kelas.

"Guys, tolong banget, yak. Gausah becandain hal yang nggak pantes buat dibecandain buat saat ini. Situasinya lagi keruh banget buat semua orang yang terlibat sama kejadian kemaren. Tolong banget, yak." Ucap Rama memohon kepada teman-teman sekelasku.

Tentu saja, melihat begitu banyak orang yang bisa membela Caca membuatnya begitu tenang, karena kali ini, ia tak akan sendirian. Perlahan pun, Caca kembali tersenyum, dan melihatnya saja sudah membuat kami lega, terutama Adi dan Rama yang sudah menyaksikan apa yang tertinggal untukku selama beberapa waktu.

"Ohiya, speaking of Evelynn," ucap Caca, dan ia langsung membuka hapenya sebelum mengoper hapenya kepadaku. "Liat Evelynn ngomong apa."

Dari asumsiku, Caca dikeluarkan dari groupchat yang berisikan Evelynn dan kawan-kawannya karena Caca menunjukkan sebuah screenshot yang dikirim oleh salah satu temannya dari kelompok tersebut.

"Oh bayu masuk? Yaudah gue masuk deh" isi pesan Evelynn yang ditangkap layar.


"By the looks of it, she's trying to do something." Ucap Caca.

"Ke gua?"

"Nope."

"Terus kenapa dia bawa-bawa gua?" Tanyaku kebingungan.

"You'll find out sooner." Jawabnya membuatku makin bingung, dan tiba-tiba ia menggenggam tanganku.

"Bay, something has to be done, and I hope you you'll see it when it happens." Sambungnya selagi menggenggam tanganku.

Belum aku menjawab, tiba-tiba guru memasuki ruangan kelas dan kami serentak memperbaiki posisi untuk mempelajari materi.

=====
(Break)

Istirahat siang setelah ibadah Jum'at selalu menyediakan waktu kosong yang sangat berlimpah, namun sedihnya bagiku, aku tidak bisa menikmatinya di luar dengan kondisiku yang seperti ini. Aku rindu bisa bermain bola ketika jam istirahat, menguasai meja kantin, atau sekedar jalan-jalan mengelilingi sekolah.

Alhasil, aku hanya bisa terduduk di kelas. Untungnya, Adi membawa laptop yang berisikan game sepakbola, dan kami bersama Rama dan Dewa menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas yang sepi.

Kini sedang giliranku dan Rama yang bermain. Kami tak banyak berbicara, namun tiba-tiba, Rama mulai membuka mulutnya.

"Bay, lu iri nggak, sih sama Rashford?" Tanya Rama kepadaku, yang sedang menggunakan tim Manchester United ketika melawan Rama.

"Lah, iri ngape?"

"Ya gatau, kali aja lu iri gitu."

"Ya konteks iri nya apaan, tai?" Tanyaku kebingungan.

"Ya kali aja gitu, misal lu iri soalnya sekarang dia bisa nendang bola, nggak kayak lu." Jawab Rama yang ternyata daritadi sedang membangun sebuah build-up untuk bercandaannya yang agak 'gelap'.

Mendengar ucapan Rama, tentu saja aku tertawa meski sedikit kesal. Selain itu, Dewa dan Adi yang tak menyangka Rama berkata seperti itu langsung tertawa terbahak-bahak hingga terguling-guling di lantai.

"HAHAHAHAHAHA!! RAMA BANGSATTTT!!!" teriak mereka berdua selagi aku masih tertawa, dan aku juga membalas ucapan Rama dengan memukul lengannya kencang.

"Hahahahahaha!! Anjingg gaada kasiannya sama temen, bangsat!!" Ucapku selagi memukulnya.

Namun, bercandaannya tak berhenti sampai disitu. Setelah puas tertawa, Adi langsung mengambil bola milik anak geng yang disimpan di kelas kami, dan bersama Dewa, mereka bermain oper-operan tepat di depanku yang tentu saja tidak mungkin menendang bola dengan kondisi seperti ini.

"Bay, Bay! Liat, nih!" Teriak Dewa yang sedang mengoper bola menggunakan kakinya ke Adi.

"Tekkerz! Tekkerz!" Sambung Adi ketika ia melakukan step-over dengan bola yang berada di genggaman kakinya.

Kami tertawa begitu keras dengan bercandaan kami yang bisa dibilang 'gelap' ini. Tentu saja aku sama sekali tidak marah, karena ya bagaimana juga itu hanya sebuah candaan.

Lagipula, inilah yang sangat kurindukan. Setelah nyaris empat hari aku tidak bisa menikmati momen ini di dalam kelas, aku merasa sangat lega.

But of course, Joy and Happiness can't last forever.

*BRAAAKKK...*

"WOY!! CLAUDIA SAMA EVELYNN LAGI RIBUT DI KANTIN!!!" teriak Aini yang terengah-engah dengan wajah yang memerah menyelimuti kulitnya yang putih mulus.

"HAH?!"

Dengan cepat pun, aku langsung mengambil tongkat penopangku, dan Adi, Rama, dan Dewa pun juga ikut beranjak meninggalkan semua kegiatannya.

Secepat yang kubisa, aku langsung 'berlari' menuju kearah kantin, dan aku melihat begitu banyak teman seangkatanku beranjak menuju ke kantin pula. Bagaimana tidak? Dua dari sekian banyak wanita terpopuler yang ada di sekolah kami sedang berkelahi, momen yang sangat langka.

Selain itu, aku juga teringat dengan perkataan Caca tadi. Meski aku tahu dalam suatu waktu Caca akan berhadapan dengan Evelynn, aku tidak tahu dalam konteks apa hal yang membuat mereka berkelahi. Dan juga, perkataan Caca tentang aku harus melihat kejadian ini membuatku makin terdorong untuk mendatangi mereka berdua.

Akhirnya aku tiba di kantin, dan meski terhalang oleh kerumunan, aku bisa melihat mereka berdua yang sedang berseteru dengan postur tubuhku yang tinggi. Aku juga bisa mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.

"LO TUH NGGAK NYADAR DIRI, YE CLAUD!! LO LUPA KARENA SIAPA LO BISA FAMOUS KAYAK GINI SEKARANG?! KARENA RAFAEL!!" teriak Evelynn.

"LIKE I CARE ABOUT BEING FAMOUS!!! LO PIKIR GUE SAMA KAYAK LO YANG SELALU MIKIRIN 'GIMANA CARANYA BIAR GUE BISA TERUS FAMOUS PUNYA FOLLOWER RIBUAN DI IG'?!?" balas teriak Caca.

"TERUS LO NGELUPAIN SEMUA KEBAIKAN RAFAEL KE LO, HAH?! SAMPE LU NGEDIEMIN RAFAEL YANG UDAH BABAK BELUR, NYARIS GILA, GARA-GARA KELAKUAN TEMEN SUGAR DADDY LO?!" Kembali balas Evelynn, meng-refer ku sebagai Sugar Daddy-nya Caca.

"DAN LO NGELUPAIN SIAPA YANG NGEBUAT SAHABAT GUE SENDIRI SAMPE HARUS DIKEROYOK?! DAN LO NGE-EXPECT GUE BISA MAAFIN DIA?! HE GETS WHAT HE FUCKING DESERVES!!" jawab Caca makin meninggikan suaranya.

"HAH?! BISA-BISANYA LO NGOMONG KAYAK GITU?! ANJING!! PERCUMA GUE CAPE-CAPE BERUSAHA BUAT MERTAHANIN HUBUNGAN KALIAN YANG SEBELUMNYA LANCAR-LANCAR, TERNYATA KELAKUAN LO SENDIRI MALAH KAYAK LONTE GINI!!" teriak Evelynn makin menjadi-jadi.

Tensi pun makin memanas. Sebisaku aku langsung menyelip-nyelip celah yang berada di depanku untuk mendekat ke Caca dan Evelynn.

Selagi aku mendekat ke mereka, Caca juga ikut mendekatkan diri ke Evelynn dan kini jarak diantara wajah mereka hanya berjarak sekitar beberapa centimeter saja.

"Lynn, lo pikir gue nggak tau, kalo satu-satunya alesan lo buat mertahanin hubungan gue sama Rafa cuma karena lo nggak suka ngeliat gue deket sama cowok yang selama ini lo idamin?" Ucap Caca begitu dingin dengan tatapan yang sangat tajam penuh amarah tepat di depan wajah Evelynn. "Sampe lo harus heat things up dengan nyeritain tentang dream-couple yang sebelumnya kita sepakat buat nggak ceritain karena lo udah nggak tau gimana caranya buat misahin gue dari Bayu, bahkan sampe manfaatin kebaikannya Bayu buat bikin dia mikir untuk ngejauh dari gue, and all leads to another sampe situasinya jadi sekeruh ini."

*DEGG....*

Jadi... Maksudnya... Selama ini Evelynn....????

Perlahan, wajah Evelynn pun makin memerah. Dan melihat situasi Evelynn, Caca tersenyum sangat puas karena kini satu ungkapan besar akan tersebar ke seluruh sekolah. Itupun belum termasuk dengan berita besar yang kumiliki.

Mungkin inilah saatnya dimana sang Ratu Lebah akan kehilangan sarang dan singgahsananya.

"Oh, the irony. You called me a bitch, and all these things happened because of your bitchy shits." Lanjut Caca, dan tiba-tiba....

*PLAAAAKK!!!!....*

Evelynn menampar Caca sangat keras.

Situasi makin menegang, dan makin terdengar keras sorak-sorakan dari teman satu sekolahku selagi aku berusaha melewati mereka semua. Setelah aku berhasil masuk kedalam pusat perhatian pun, aku melihat Evelynn kembali akan melakukan aksi klasiknya, menuangkan air dingin ke kepala lawannya.

"GILA LO, CLAUD!! MAKIN KAYAK LONTE, YA LO!!" Teriak Evelynn selagi Caca masih menutup wajahnya dengan tangannya.

Namun, ketika Evelynn mulai ingin menuangkan airnya, aku tepat waku untuk bisa menahan botol tersebut dan langsung kurebut dari tangan kotornya.

"UDAH!! ENOUGH!! E-FUCKING-NOUGH!!" teriakku kencang dihadapan mereka berdua.

Mengetahui keberadaanku yang sudah ada di depan mereka, Evelynn terlihat sangat terkejut, namun kulihat Caca tersenyum kearahku.

"BAY, KOK LO DISINI?! LO KENAPA MALAH MASUK SEKOLAH?!" teriak Evelynn terkejut.

"Loh, kan lu udah tau kalo gua mau masuk, kenapa malah jadi pura-pura lupa?" tanyaku dengan tatapan meledek.

Melihat perlakuanku, Evelynn makin terbata-bata dan terlihat linglung kebingungan. Ia menjadi salah tingkah, dan setelah aku bertanya, hanya suara gibberish yang bisa keluar dari mulutnya.

"Eeee.... Eeeee..."

"Kok lu malah grogi? Kaget ya ada lover boy lu didepan lu denger semua yang kalian omongin?" Tanyaku lagi membuatnya makin terbata-bata, dan wajahnya makin memerah.

"Aduhh, Bay, jangan malah nyakitin diri lo, dong. Udah, lo duduk aja duduk sini. Nanti malah makin parah." Jawabnya asal, namun kuhiraukan karena kini aku sudah menghadap kearah Caca.

"Ca, lu nggak kenapa-napa, kan?" Tanyaku ke Caca sembari mengelus-elus bahunya.

"I'm fine. thanks a lot, Bay." Jawabnya yang ikut mengelus-elus tanganku.

Melihat apa yang kami lakukan di hadapannya, Evelynn makin salah tingkah. Wajahnya makin memerah dan emosinya makin membara. Dan aku yakin, ini semua karena ia tidak terima dengan lelaki kesayangannya sedang meng-support musuhnya saat ini.

"BAY!! KOK LO MASIH BISA PERHATIAN SAMA LONTE INI, SIH?! LO LUPA, SEMUA KEJADIAN INI, LO BONYOK KAYAK GINI, ITU SEMUA KARENA SI LONTE INI YANG GATELAN MALAH DEKET-DEKET KE TEMEN COWONYA SENDIRI!!" teriak Evelynn yang tidak terima, dan dengan cepat aku langsung berbalik menghadap Evelynn dan berteriak di depannya.

"LYNN, DIEM AJA BISA NGGAK?! LU PIKIR DIA DOANG YANG SALAH?! KITA SEMUA SALAH!! LU SALAH KETIKA LU TERLALU IKUT CAMPUR SAMA HUBUNGAN MEREKA CUMA GEGARA GUA, GUA UDAH SALAH KARENA NGGAK NGAMBIL JARAK, CACA MERJUANGIN YANG TERBAIK BUAT DIA MESKI PAKE CARA YANG SALAH, DAN RAFAEL JUGA NGAMBIL LANGKAH YANG SALAH DALEM MERJUANGIN CACA!!" teriakku di depan wajahnya, membuat Evelynn sangat terkejut dan linglung.

Selagi Evelynn terdiam kaku, aku merogoh hapeku dan aku langsung membuka galeriku untuk menunjukkan sesuatu yang bisa membungkamnya dalam-dalam.

"DAN LU NGGAK MAU NGACA?! DARITADI LU NGATAIN CACA 'LONTE', PADAHAL INI KELAKUAN LU DI LUAR SEKOLAH?!" kembali teriakku sembari menunjukkan video yang kurekam kemarin.

Melihat video itu, Evelynn sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Harga dirinya telah hancur diporakporandakan di depan nyaris tiga angkatan. Evelynn terlihat sangat terkejut, dan wajahnya makin memerah, malu dengan pekerjaannya yang sudah diabadikan.

Namun, tak sampai situ saja, aku langsung mengoper hapeku kepada orang yang ada di belakangku supaya mereka bisa melihat apa yang selama ini sang Ratu lakukan di luar.

"Puter aja hape gua ke semua anak. Lu liat tuh video baik-baik." Ucapku selagi mengoper hapeku.

Tentu saja, insting Evelynn langsung terangsang. Dengan cepat ia langsung berusaha untuk mengambil hapeku, karena bila satu sekolah mengetahui apa yang selama ini ia lakukan, reputasinya akan tamat.

"BAYU!!"

Namun, dengan cepat aku langsung berbalik kearahnya, dan kini saatnya aku mewakilkan seluruh korban tindasannya dengan melakukan hal yang sama. Menggunakan botol air yang kurebut tadi, aku langsung menyemprot Evelynn yang berusaha menggapai hapeku, dan aku menumpahkan semua air yang ada kepadanya membuat Evelynn menjadi basah kuyup.

"AKKKHHHH!!"

Namun tak sampai disitu. Ketika Evelynn tersentak mundur kebelakang, Caca langsung mengambil piring plastik yang dipenuhi dengan bumbu siomay, dan ia langsung menambahkan serangan dengan menanamkan piring tersebut ke wajahnya. Kemudian ia melanjutkan aksinya dengan mengusap-usapkan piring itu ke bagian tubuhnya.

"AAAAKKHHHH!!! AKKKKHHHH!!!" teriak Evelynn setelah Caca menanamkan piring itu ke wajahnya.

Setelah itu, Evelynn berteriak-teriak histeris. Kini, semua keburukannya sudah terkuak dan sudah tak ada tempat baginya untuk bersembunyi. Evelynn kalah telak. Semua aksinya hanya berhasilkan sebuah kegagalan. Meski memang mungkin ini terlalu jauh, Evelynn sudah tidak dapat menghindar dan bersembunyi lagi, dan ia pantas menerimanya.

Selagi Evelynn teriak histeris pun, suara gemuruh terkejut setelah melihat video itu menyelimuti teriakannya yang tak bermakna. Tekanan mulai mengenai jiwa Evelynn, dan sudah tak ada opsi lain baginya selain berlari.

"AKKKKHHH!!! AAAKKHHH!!!" teriaknya histeris selagi melarikan diri dari tempat kejadian.

Setelah Evelynn kabur pun, para lebah suruannya hanya bisa terdiam kaku. Evelynn melarikan diri meninggalkan teman-temannya sendiri, dan dengan ratunya yang sudah tidak ada, mereka tidak tahu harus melakukan apa.

Kulihat mereka semua saling menatap satu sama lain. Mereka terlihat kebingungan, dan yang pasti, mereka kini mulai ketakutan ketika seluruh mata menuju kearah mereka. Tiba-tiba pula, Oli yang selama ini menyaksikan langsung berteriak.

"NAH, INI PENTOLANNYA UDAH NGGAK ADA, ENAKNYA BABUNYA KITA APAIN, NIH?!" teriak Oli.

Hanya dengan sekali gertakan, mereka langsung panik dan ikut berlarian meninggalkan lokasi. Mereka terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus pergi kemana, dan akhirnya mereka berlarian seperti kalangan burung yang terbang tanpa arah ketika pemburu berhasil menembak jatuh salah satu dari bagiannya.

Beberapa ada yang berusaha untuk mengejar mereka. Namun, anak-anak tongkrongan langsung menahan mereka karena mereka tahu kalau Oli hanya berteriak seperti itu untuk memberikan gertakan. Selagi mereka kabur pun, aku dan Caca kembali bertatapan, dan Caca tersenyum puas melihat kearahku.

"Sekarang lo tau, kan, kenapa Evelynn bisa sampe segigih itu buat mertahanin hubungan gue dan ngejauhin lo dari gue?" Tanya Caca retoris, dan belum aku sempat membalas, tiba-tiba Jigong datang dan langsung membubarkan keramaian di kantin.

"WOY, BUBAR!! ANGGEP KEJADIAN INI NGGAK PERNAH ADA!! KALO SAMPE KEJADIAN INI BOCOR KE GURU, GUA PASTIIN KALIAN KENA YANG SETIMPAL KAYAK EVELYNN!! PAHAM?! BUBAR SEMUANYA!!" Teriak Jigong yang datang tiba-tiba.

Aksi Jigong pun sudah cukup untuk menyebarkan ketakutan bagi seluruh orang yang menonton. Setelah itu, mereka semua langsung berlarian menuju ke kelasnya masing-masing.

Setelah mereka semua bubar, Jigong langsung berlari menghampiriku yang kini sudah dikelilingi oleh teman-teman satu gengku yang menonton kejadian ini.

"Bay, ikut gua sekarang." Ucap Jigong.

"Kemana?"

"Dika dipanggil ke Kepsek."

"HAH, KENAPA?!"

"Udah, gua jelasin nanti, yang penting lu ikut gua sekarang."

Mendengar berita itupun, aku menjadi panik, dan segera aku bersama Caca, Adi, Jigong, Rama, dan Oli berlari menuju ke depan ruang kepala sekolah. Apa mungkin, inilah akhir bagi Dika di sekolah ini?

======

"KENAPA NGGAK ADA YANG CERITA MASALAH RAFAEL JADI GILA GARA-GARA SEMUA INI, ANJING?!" Teriakku tanpa ada yang menjawab.

Ternyata, setelah upaya terakhir Rafael untuk membungkamku gagal, Rafael makin frustasi dan hal itu berefek kepada kondisi psikologisnya. Selain itu, Dika yang sudah sangat marah dengan segala tindakan Rafael langsung memburunya. Dika pun langsung menghajar Rafael habis-habisan, dan semua itu makin mempengaruhi psikisnya hingga ia menjadi seperti orang gila.

Pihak keluarga Rafael pun tidak terima. Setelah mengetahui siapa dalang dari kejadian ini, tanpa sepengetahuan kami orangtua Rafael langsung mendatangi pihak sekolah untuk menyelesaikan kejadian ini dengan jalur hukum. Namun, tak mungkin pihak sekolah akan merusak reputasi sekolah ini dengan ada salah seorang murid yang bisa saja dipenjarakan.

Meski memang kami tahu Dika akan aman dari segi hukum, kami tahu, bahwa ini bisa menjadi akhir dari kisah Dika di sekolah ini.

"Alah, bego! Terus masalah kita sama sekolah lain ketauan juga?!" Lanjutku yang mulai frustasi.

"Masalah itu udah aman, kok Bay. Nggak ada yang kesebar. Semua kejadian sebelumnya ketutup rapet. Yang sekolah tau cuma kejadian lu dipukulin, sama kejadian Dika ini. Itu juga karena ada pihak keluarga yang ngelapor." Jelas Jigong.

Akupun mulai frustasi. Semua ini tak seharusnya terjadi kepada mereka yang tak terlibat. Masalah ini hanya antara aku, Caca, dan Rafael. Namun, masalah personal ini membuat begitu banyak pihak yang dirugikan.

Geng dari SMA lain sudah terbungkam. Evelynn yang seharusnya tak perlu ikut campur juga terkena imbasnya. Dan kini, Dika juga ikut terseret dengan kejadian ini.

Semakin muncul rasa bersalah dalam diriku. Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi bila aku langsung mengambil jarak dengan Caca. Meskipun semua ini bisa terjadi karena banyak orang yang ikut campur, seharusnya aku bisa mencabut akar permasalahan ini dengan tidak berdekatan dengan Caca.

Selagi aku dipenuhi dengan rasa bersalah pun, Caca langsung menggenggam tanganku erat dan berusaha untuk menenangkanku.

"Bay, it's okay. It already happened. And now all we can do is just to be strong whatever the outcome is, okay?" Ucap Caca berusaha menenangkanku.

Tak lama setelah itu, dari kejauhan terlihat pintu ruangan kepala sekolah dibuka. Kemudian, terlihat sesosok orang yang sudah mengenakan tas ranselnya dan memegang sebuah kertas di tangannya. Ia juga didampingi oleh seorang lelaki paruh baya tanpa atribut guru, yang langsung tertebak bila lelaki itu adalah ayahnya.

Kini sudah tak bisa dipungkiri, Dika dikeluarkan dari sekolah.

Melihat Dika yang terlihat sangat murung, kami semua langsung berlari menuju ke arahnya. Tentu kami sedih melihat salah satu teman baik kami akan pergi. Setelah segala suka dan duka yang kami lalui bersama, kini Dika sudah akan pergi. Bahkan aku melihat Jigong, teman terbaik Dika, yang sudah tak kuasa menahan tangisnya selagi kami berlari.

"DIKAAA!!!"

Dengan cepat, Jigong langsung melompat memeluk Dika selagi aku yang menggunakan tongkat untuk membantuku berjalan masih berusaha mengejar mereka.

"Apaan, si lu Gong, tai? Lembek amat segala nangis." Jawab Dika meledek Jigong meski kondisinya saat ini sedang sangat terpuruk.

"Hiksss... Hiksss... Dik... Lu bakal tetep sering main ke kita, kan??... Lu nggak bakal ngelupain kita-kita, kan???..." Ucap Jigong terisak.

"Gong, kan gua pernah cerita. Kalo gua di-DO, gua bakal dibalikin ke rumah kakek gua di Sumatera. Terus setelah kejadian ini, udah nggak mungkin bagi gua buat bisa balik kesini. Bokap gua gabakal ngasih izin." Jawab Dika selagi membalas pelukan Jigong.

Jigong terus menangis di dalam pelukan Dika. Dan selagi mereka berpelukan, aku bisa mengejar mereka. Tongkat ini, bahkan patah kaki ini bisa membuatku gila ditambah dengan situasi yang sangat hancur seperti ini.

Setelah Jigong melihatku yang sudah berada di depan mereka, Jigong pun langsung melepas pelukan Dika untuk membiarkanku berbicara dengannya.

"Dika, ayo pulang." Ucap Ayahnya.

"Bentar, pah. Aku juga mau ngobrol sama yang lain dulu buat terakhir kalinya." Jawab Dika yang dibalas dengan anggukan.

Kini, aku dan Dika sudah saling berhadapan. Melihatku yang sudah berada di depannya, Dika malah tersenyum lebar. Di kondisi seperti ini, bahkan Dika masih bisa tersenyum.

Situasi ini membuatku terdiam tak tahu harus bagaimana. Tubuhku terasa sangat kaku, mulutku terasa sangat berat untuk berbicara. Tanganku serasa sangat berat untuk diangkat. Ini adalah momen terakhir dimana aku bisa bertemu dengan Dika, dan aku malah tak tahu harus berbuat apa.

Melihatku yang terdiam kaku, Dika pun langsung beranjak menepuk-nepuk pundakku tanpa mengurangi senyumannya.

"Bay, udah. Semuanya udah kelar. Kita menang." Ucap Dika, dan setelah Dika berucap, barulah aku bisa membuka mulutku.

"But at what cost, Dik?... Lu bahkan harus di-DO cuma karena gua... Lu mau sekolah dimana sekarang?..." Tanyaku terbata-bata yang sangat tak berdaya.

"Yah, gitu dah. Gua bakal dimasukin ke pondok di Sumatera. Entah, mungkin disana gua bisa belajar biar jadi bisa kayak lu di sisi gua." Jawabnya, dan jawabannya bahkan membuatku bingung harus mengatakan apa.

"Dik... Kenapa lu bisa sampe sejauh ini cuma buat ngebales masalah yang seharusnya lu nggak perlu ikut campur?..." Balasku lirih.

"Yah, itu tugas gua kan buat ngelindungin semua anak-anakan di bawah gua?" Jawabnya lagi membuatku kembali terdiam. "Lagipula, lu inget kan, apa kata senior kita kalo kita sebagai dua menara bakal ancur kalo kita berdua nggak berdampingan?"


.......

======
(Flashback)
[Third's POV]

Sore itu, sudah jamnya bagi murid-murid untuk pulang. Namun, di tengah kesunyian yang diselimuti oleh lembutnya matahari senja, terdapat dua anak tahun pertama yang sedang saling membalas pukulan di lapangan samping warung yang dijadikan sebuah tongkrongan untuk geng di SMA orang-orang itu.

Di sisi lapangan, seluruh senior dan teman seangkatannya sedang menyaksikan perkelahian yang sengit ini. Kedua orang itu tidak memiliki sebuah masalah, namun perkelahian ini sudah diatur oleh para senior untuk melihat siapa yang terkuat diantara para anak baru.

"Anjir, si Bayu bisa bonyok kalo gini caranya. Si Dika nyerangnya nggak ada cape-capenya." Ucap salah seorang senior.

"Iya, anjir. Si Bayu kerjaannya juga cuma bisa ngindar. Sekali mukul langsung ngindar-ngindar lagi juga." Sambung temannya.

Namun, salah satu senior yang memimpin geng mereka pada tahun terakhirnya hanya menghiraukan perkataan mereka, dan ia terus memerhatikan perkelahian yang sengit ini.

Dika memang memiliki kekuatan yang sangat brutal. Segala pukulan yang ia lontarkan selalu menghasilkan bunyi yang memanjakan telinga. Selain itu, Dika juga terlihat tak ada rasa lelah, dan siapapun yang melawannya pasti akan kalah.

Namun, Bayu juga terlihat tidak mengecewakan. Meski Bayu lebih sering menghindar, hal itu menunjukkan kejelian Bayu dalam memprediksi serangan Dika yang brutal, dan ketika ada celah, Bayu langsung melancarkan pukulan yang cukup kuat pula. Berbeda dengan Dika yang hanya mengandalkan kekuatannya meski Bayu dan Dika memiliki kekuatan yang berbeda.

Kini, hari sudah menjelang petang, dan meski keduanya sudah cukup babak belur, belum ada tanda-tanda bila mereka ingin menghentikan perkelahian ini. Alhasil, pemimpin geng itupun harus menghentikan perkelahian yang berlangsung cukup lama ini.

"Udah, udah! Stop!" Teriak sang pemimpin, membuat Bayu dan Dika terkejut.

"Lah kok diberentiin?!" Tanya Bayu.

"Lah, belom ada yang menang ini, bang!" Sambung Dika.

"Udah, udah! Bisa sampe maghrib kita nunggu siapa yang menang!" Jawabnya.

Setelah itu, Bayu dan Dika yang sedang bergelut di tanah pula langsung beranjak berdiri, dan Dika yang sudah berdiri lebih dulu langsung membantu Bayu untuk berdiri.

"Terus gimana, bang? Masa seri?" Tanya Dika selagi Bayu merapihkan pakaiannya yang dipenuhi noda.

"Iya, seri." Jawabnya.

"Yah, not bad, lah." Balas Bayu dan Dika bersamaan.

Sang pemimpin hanya bisa tersenyum melihat kedua juniornya ini. Ia tahu, bahwa untuk dua tahun kedepan, gengnya akan dipimpin oleh dua orang yang sangat kuat, dari segi otak dan otot.

"Woy, anak baru! denger semuanya! Di angkatan kalian, dua orang inilah yang bakal mimpin kalian nanti!" Teriaknya membuat seisi lapangan terkejut, bahkan termasuk Bayu dan Dika.

Kedua anak baru itupun saling menatap dengan penuh kebingungan, dan setelah itu, mereka langsung menatap kepada sang pemimpin yang berada di tengah mereka berdua.

Sang pemimpin pun kembali tersenyum, dan setelah itu, ia menjelaskan mengapa ia memilih kedua orang tersebut.

"Dik, lu rekor pernah kalahin berapa orang dalem sekali ribut?" Tanya sang Senior.

"Berapa, ya? Pernah si gua ratain 7 orang, bang. Mereka juga gak bisa ngelawan." Jawabnya asal.

"Oke. kalo Bayu, NEM sama IQ lu berapa?"

"Terakhir gua tes IQ, sih 150-an, bang. Kalo NEM gua kemaren 36.5-an."

Mendengar jawaban kedua anak baru tersebut, ia hanya bisa tersenyum. Menurutnya, kedua orang ini memiliki kualitas tinggi pada kaliber yang berbeda.

"Dika, gua akuin, lu kuat banget, dan gaada di angkatan lu yang bisa sepadan setelah gua perhatiin. Dan Bayu, meski lu nggak sekuat Dika, gua yakin lu tuh, Pinter. Gua liat pergerakan lu daritadi, lu pasti udah merhitungin semua serangan Dika." Jelas sang pemimpin membuat seluruh tongkrongan terdiam.

Setelah itu, sang pemimpin langsung menaruh kedua tangannya pada kedua bahu dua anak baru yang kini sudah menghadap kearahnya.

"Dika, Bayu, kalian harus jadi dua menara yang bisa ngelindungin temen-temen kalian nanti. Dika, lu harus ngeluarin semua yang lu punya kalo lu lagi ribut, dan Bayu, lu harus selalu ada di samping Dika kalo lagi ada masalah. Kalian berdua juga harus nyatu untuk nge-back up satu sama lain dengan Dika jadi otot dan Bayu jadi otaknya. Kalo sampe pas ngehadepin masalah dan kalian berdua nggak saling nge-back up, kalian pasti bakal kena masalah. Paham?" Jelas sang pemimpin kepada Bayu dan Dika.

"Paham, bang!" Jawab mereka spontan.

Setelah itu, Bayu dan Dika kembali berhadapan, dan mereka berdua langsung berjabat tangan.

"Partner gua, nih!" Ucap Dika.

"Mohon kerjasamanya ya, Dik!" Balas Bayu, yang kemudian disambung dengan tepuk tangan dari seluruh tongkrongan.

(End of Flashback)
=====
[Bayu's POV]

"Bay, gua nggak kayak lu. Cuma tangan gua doang yang bisa andelin buat ngelindungin semua temen gua, termasuk elu yang udah banyak ngebantu kita selama kita masih jadi dua menara." Sambung Dika membuatku terdiam tak tahu harus membalas apa.

"Dik..."

"Bay, cuma ini yang bisa lakuin buat ngebales apa yang si bangsat itu lakuin sampe lu bisa jadi kayak gini."

Mendengar ucapan Dika, aku bahkan juga tak kuat untuk menahan tangisku. Meski sebelumnya kami berseteru, Dika masih mau menyerahkan semuanya untuk membalas perbuatan mereka kepadaku, bahkan meskipun Dika harus dikeluarkan dari sekolah karenanya.

Kini aku sudah mengeluarkan seluruh air mataku, dan aku langsung membuang kedua tongkat sialan ini untuk memeluk Dika yang langsung dibalas olehnya.

"Hiksss... Hiksss... Dik... Makasih banyak buat semuanya... Bahkan sampe lu harus di-DO cuma karena gua... Makasih banyak, Dik..." Ucapku terisak di dalam pelukannya.

"Udah... Gapapa, Bay... Mungkin cuma ini bales budi yang bisa gua kasih ke lu setelah berapa kali lu nyelametin gua dari bahaya... Gapapa udah... Lagian juga kan ini pilihan gua buat ngebales mereka... Bukan salah lu, kok ini..." Jawab Dika sembari menepuk-nepuk punggungku.

Perlahan, tangisanku mulai memudar, dan setelah aku sepenuhnya berhenti menangis, aku melepas pelukanku dan Caca langsung membantuku untuk menggenggam kedua tongkat yang sebelumnya kulempar.

Kami kembali berhadapan, dan kini, kami berdua sudah saling membalas senyuman. Selagi kami bersenyum, Dika langsung menjulurkan tangannya untuk mengajakku bersalaman, dan tentu langsung kubalas.

"Gua titip tongkrongan ke lu, ya, partner." Ucap Dika.

"Makasih buat semua kerjasamanya ya, Dik." Balasku, dan entah siapa yang memulai, kami kembali berpelukan.

Selagi kami berdua berpelukan pun, mereka yang berada di sekitar kami pun ikut memeluk kami dan satu sama lain, dengan aku dan Dika berada di tengah-tengah.

Inilah akhir dari kisah dua menara.

Setelah kami puas, Dika bersama ayahnya pun beranjak pergi. Kami sebagai teman-temannya pula ikut mengantar Dika sampai ke pintu gerbang, dan kami melihat Dika pergi dari sekolah untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kami semua.

Perlahan, seluruh anak tongkrongan beranjak pergi termasuk Adi dan Rama. Namun, aku masih terdiam di depan gerbang ini dengan Caca yang selalu berada disampingku.

Kini, Dika sudah pergi. Sekarang hanya aku yang berperan sebagai menara untuk melindungi teman-temanku dari marabahaya setelah kepergian Dika yang berusaha untuk membalas seluruh perbuatan Rafael kepadaku.

Tetapi, meski Dika berhasil membalasnya, bukan berarti bahwa masalah ini telah selesai. Aku harus berbicara dengannya.

"Ca," mulaiku ketika kami berdua sedang terdiam. "This isn't over yet."

"What do you mean?" Tanyanya.

"Kita harus ngomong ke Rafael."

"Hah, apaan sih?" Balas Caca dengan nada kesal.

"Iya, kita belom ngomongin ini secara personal ke Rafaelnya. Kita harus nyabut masalah sampe ke akar-akarnya." Jelasku yang membuat Caca makin kesal.

"Apaan, sih?! Kan lo udah denger sendiri Dika ngomong masalahnya udah selesai!" Balas Caca meninggikan suaranya.

Melihat Caca yang masih emosi, aku berbalik menghadapnya, dan dengan menggunakan tongkat sebagai topangan, aku menaruh kedua tanganku di bahunya.

"Ca, kalo kita lari dari masalah itu, bukan berarti kalo masalahnya udah selesai. Please, gua harap lu ngerti maksud gua." Ucapku halus selagi menggenggam kedua bahunya.

Mendengar ucapanku yang halus, akhirnya Caca luluh. Ia menyetujui ajakanku dan setelah itu, kami berdua kembali ke kelas.

=====

Setelah mendapatkan informasi dari Rama tentang keberadaan Rafael, aku bersama Caca langsung beranjak menuju ke rumah Rafael. Kami membawa mobilku dan Bella yang memiliki jadwal latihan basket hari ini akan diantar oleh Rama nanti.

Sepanjang perjalanan pun, Caca yang menyetir mobilku juga selalu terdiam murung. Bahkan selama kami di sekolah Caca selalu seperti ini.

Entah apa yang sedang dia rasakan saat ini. Ketakutan, kegelisahan, atau bahkan kekesalan karena adanya paksaan, serta kesedihan. Namun satu hal yang pasti, ada yang sedang Caca pikirkan saat ini.

Selagi Caca menyetir mobil dengan keadaan seperti ini pula, aku berusaha untuk menenangkannya dengan menggenggam tangan kiri Caca yang tidak banyak diperlukan karena mobilku bukan mobil manual, dan kuelus-elus lembut. Meski tidak berefek banyak, setidaknya muncul sedikit senyuman dari Caca hingga kami sampai di tujuan.

Sesampainya di rumah Rafael, kami berdua langsung berjalan menuju pintu rumahnya yang sangat megah, dan aku langsung mengetuk pintu rumahnya beberapa kali.

Jujur, meski aku tidak menunjukkannya kepada Caca, aku juga memiliki rasa ketakutan. Aku juga cukup dekat dengan keluarga Rafael karena aku sering bermain ke rumahnya saat kami masih berada di sekolah yang sama. Setelah mengetahui kejadian ini, apakah mereka akan menerimaku?

Tak lama setelah itu, pintu dibuka. Orang yang membukakan pintu, ibunya, malah tersenyum kepadaku membuatku makin ketakutan.

"Astaga, Bayu! Kamu kok kesini?" Tanyanya yang malah terlihat senang melihat keberadaanku dari nada bicaranya.

"Tante, sebelumnya aku mau minta maaf sebesar-besarnya buat semua kejadian ini, dan aku kesini cuma mau ngobrol sama Rafael sama mau ngeliat kondisinya sekarang." Jelasku selagi menyalimi tangannya.

"Yah, tante juga mau marah sama kamu dan Rafael, tapi bagaimana? Toh kalian masih remaja, dan semua tindakan Rafael dan kamu juga itu di luar kendali tante." Jawab ibu Rafael. "Lagian, ini berdua bukan salah kalian, kok."

Baru mendengar ucapan dari ibu Rafael saja, aku sudah terkejut. Entah karena kemuliaannya atau bagaimana, ada sesuatu yang aneh. Selain itu, mendengar pesan terakhirnya, aku tahu, bahwa ibu Rafael menitikberatkan semua kesalahan kepada satu orang.

Dugaanku pun benar. Ketika ibu Rafael melangkahkan kaki keluar dari rumahnya dan melihat Caca yang sedang berada di bawah teras, raut wajahnya langsung berubah 180 derajat.

"KAMU NGAPAIN KESINI?! MASIH BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH SAYA?!" teriaknya memaki Caca setelah melihat keberadaannya.

Dengan cepat pun Caca langsung berlari dan berusaha untuk melutut tepat di hadapan kaki ibu Rafael, namun dengan cepat ibu Rafael langsung menangkis Caca.

"Tante, maafin aku tantee..." Ucap Caca lirih selagi berusaha untuk bersujud.

"SETELAH APA YANG KAMU LAKUKAN KE ANAK SAYA, HINGGA ANAK SAYA JADI SEPERTI INI, KAMU PIKIR SAYA AKAN MAAFIN KAMU?!" Kembali teriak ibu Rafael, dan aku langsung menengahkan mereka berdua.

"Tante, udah tenang, tan. Dia kesini sama aku. Claudia juga dateng buat minta maaf ke tante sama Rafael." Ucapku selagi menengahkan mereka berdua.

"KAMU NGAPAIN BAWA DIA KESINI?! KAMU JUGA KENAPA MALAH MEMBELA DIA?! KAMU JUGA UDAH KETIPU SAMA KECANTIKAN DIA?!" teriak ibu Rafael di depanku dan Caca yang masih bersujud.

"Tante, udah, tan. Kalo tante juga mau nyalahin Claudia, tante juga harus salahin aku. Kita semua udah salah, dan tujuan kita kesini juga ingin ngobrol sama Rafael buat nyelesain semua masalah. Tolong tan, mungkin ini yang terbaik buat Rafael juga."

Meski perlu beberapa kali mencoba, akhirnya ibu Rafael bisa kembali tenang. Setelah kembali tenang, aku langsung menjauhkan diri dari Caca serta ibu Rafael dan memberikan mereka momen untuk berbicara sejenak.

"Kamu, berdiri." Ucap ibu Rafael menyuruh Caca untuk berdiri, dan Caca pun langsung bangkit dengan mata yang sudah berair dan tangisan membasuhi wajahnya. "Setelah ini, jangan pernah berani menunjukkan wajah kamu di depan saya dan anak saya, paham?"

"Tante... Mohon maaf, tante..."

"Sudah! Sudah capek saya mendengar permintaan maaf kamu!"

Setelah itu, Caca kembali terdiam. Kemudian, ibu Rafael mengajak kami masuk dan menyusuri tangga menuju ke kamar Rafael yang sangat besar.

Di perjalanan pula, aku melihat adik Rafael, Romeo, yang sedang terduduk di depan pintu kamar Rafael yang dibiarkan terbuka. Ia terlihat sangat sedih, dan matanya juga sangat merah seperti baru saja menangis.

"Dia sudah seperti itu semenjak Rafael dibawa pulang. Dia sayang sekali sama kakaknya." Ucap ibu Rafael dengan sangat pelan.

Awalnya kami tidak ingin menyapanya, namun setelah mendengar langkah kaki kami, ia menoleh kearah kami dan menatapku dengan penuh kebencian.

Tentu saja, aku merasa canggung, dan dengan tetap berusaha tenang aku langsung menyapanya.

"Halo, Rom." Sapaku, namun Romeo tidak terlihat ingin membalas keramahanku.

"Gua benci lu! Gua benci lu!" Teriaknya sebelum berlari ke kamarnya membiarkan kami bertiga terdiam.

Setelah Romeo memasuki kamarnya, ibu Rafael kembali menuntun kami memasuki kamar Rafael, dan ternyata kondisi Rafael jauh lebih buruk dari yang kuduga.

Kamar Rafael terlihat sangat berantakan dengan beberapa perabotan yang sudah hancur binasa. Selain itu, aku melihat tubuh Rafael yang dipenuhi dengan balutan perban sedang terbaring di kasurnya. Separah apa Dika menyiksa Rafael hingga kondisinya seperti ini.

Selain itu, aku juga sangat terkejut melihat kedua pergelangan tangan Rafael yang diikat dengan kain panjang kepada kedua ujung kasurnya, dan kakinya juga terlihat sama. Rafael benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

"Kami terpaksa mengikat tangan dan kakinya. Kalau tidak, dia akan terus berusaha merusak barang-barang di kamarnya." Jelas ibu Rafael sebelum aku bisa bertanya.

"Ca, gua duluan, ya." Ucapku untuk berbicara dengan Rafael lebih dulu.

Setelah mendapat anggukan, aku langsung beranjak mendekati Rafael yang sedang berbaring tak berdaya. Ia saat ini sedang tertidur, dan ketika sudah berada di kursi di samping kasurnya, aku membangunkan Rafael dengan lemah lembut.

"Raf." Ucapku berusaha membangunkannya sembari menepuk lengannya pelan.

Rafael pun langsung terbangun, dan melihatku yang sedang berada di sampingnya, raut wajahnya langsung berubah dan ia langsung berusaha bangkit untuk meraihku dan melancarkan pukulan.

Namun, semuanya sia-sia. Kedua tangan dan kaki Rafael terikat, dan ia sama sekali tak bisa menggapaiku. Selain itu, semua aksi Rafael juga akan membuat kondisinya makin parah dan pemulihannya akan semakin terhambat.

"BAY!! MATI LU, BAY!! GUA SIKSA LU, BAY!!" teriaknya kencang selagi berusaha meraihku.

"Gua gak kemana-mana, kok. Tapi lu liat, kondisi lu lagi kayak gini. Apapun yang mau lu lakuin ke gua, malah jadi lu nyiksa diri lu sendiri. Udah, Raf. Jangan maksain diri lu." Jawabku tenang.

Mendengar jawabanku dan melihat kondisi dirinya pula, ia paham kalau ia sudah tak berdaya. Perlahan rontaannya pun berhenti, dan perlahan pula ia mulai menangis di hadapanku.

"Hiksss.... Hikssss... Bayy... Kenapa harus lu yang jadi orangnya, Bay??... KENAPA HARUS ELU?!?!" ucapnya selagi menangis.

"Iya, Raf. Gua paham kok perasaan lu. Gua udah salah. Harusnya gua dengerin omongan lu sama Evelynn. Tapi bukan berarti lu juga bener, Raf." Jawabku yang hanya dibalas dengan tangisannya.

"Raf, satu-satunya hal yang Caca minta ke lu cuman buktiin semua cinta lu ke dia dengan upaya lu sendiri. Caca nggak mau bukti itu lewat Evelynn, atau lewat gua. Caca nggak minta itu lewat orang lain, Caca mau itu semua dateng dari lu. Meski lu sayang sama dia, dia nggak bisa ngeliat itu, Raf." Jelasku lagi.

"Hiksss... Hiksss.. Bay... Gua sayang banget sama dia, Bay...." Ucapnya terisak.

"Iyaa, gua paham, kok. Tapi ada momennya dimana ketika lu sayang sama orang, lu harus ngerelain dia untuk yang terbaik buat dia." Jawabku lagi yang hanya dibalas dengan tangisan sampai pada akhirnya ia kembali berbicara.

"Hiksss... Hiksss... Bay... Tolong... Jagain Claudia... Dan tolong... Jangan pernah muncul di kehidupan gua lagi... Gua udah nggak bisa mandang lu kayak dulu lagi..."

"It's okay, take your time. Mungkin ini juga jadi pelajaran buat kita semua." Jawabku selagi mengelus-elus lengannya.

Rafael kembali menangis meski tak bersuara, dan aku terus berusaha untuk menenangkannya, dan melihat kondisinya yang masih belum tenang, mungkin ini saatnya bagiku untuk pergi.

"By the way, Raf, ada yang mau ngomong sama lu juga." Ucapku sebelum beranjak pergi ke Caca dan ibu Rafael.

"Bay, what should I do?" Tanya Caca yang masih terlihat kebingungan.

"Just tell him how you feel." Jawabku dan aku menepuk bahunya pelan.

"Gausah lama-lama. Saya sudah muak lihat kamu disini." Sambung ibu Rafael, dan akhirnya Caca juga pasrah dan berjalan menuju ke Rafael.

Caca pergi meninggalkan kami, dan dari kejauhan Rafael bisa melihat orang yang sangat ia sayangi berjalan mendekatinya. Tangisannya perlahan menghilang, dan kulihat mereka berdua saling tersenyum meski terdapat sedikit kesedihan di wajahnya.

Caca menduduki kursi yang berada di samping ranjang, dan keduanya hanya saling menatap tanpa berbicara sama sekali. Caca mulai mengelus-elus lengan Rafael, dan keduanya saling membalas senyum.

Namun, senyuman itu perlahan memudar setelah Caca akhirnya tak kuasa menahan tangisnya dan Rafael terlihat berusaha untuk menahan tangisnya selagi Caca menangis di hadapannya.

Mungkin memang terdengar aneh, tetapi pasti Caca masih memiliki rasa sayang kepada Rafael. Lagipula, dua tahun merupakan waktu yang cukup panjang dalam sebuah hubungan.

Begitu banyak kenangan manis yang sudah mereka lalui, seluruh cinta yang mereka berikan. Namun sayangnya, kisah mereka harus berakhir disini.

Bahkan, aku juga tak kuat untuk melihatnya. Situasi ini terasa sangat mellow membuatku ingin membalikkan badan, dan bahkan ibu Rafael juga terlihat menangis meski ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Perlahan Caca mulai menahan tangisnya, dan setelah Caca berhasil menenangkan diri, Caca kembali tersenyum di hadapan Rafael sembari menggenggam tangannya.

"I hope someday you would understand, Raf. Get well soon and take care." Ucap Caca sebagai ucapan perpisahan bagi mereka berdua.

Setelah itu, Caca melepas genggamannya, dan Caca beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Rafael menuju kearahku dan ibu Rafael yang berusaha menyembunyikannya tangisnya.

"Bay, let's go." Ucapnya singkat.

Setelah itu, aku langsung pamit dengan ibu Rafael dan aku langsung menyalimi tangannya.

"Tante aku pulang, ya." Pamitku, dan ia hanya membalas dengan mengelus-elus rambutku.

Kemudian, aku beranjak keluar dari kamarnya meninggalkan Caca dengan ibu Rafael yang masih berada di depan pintu. Keduanya saling menatap, dan kali ini mereka saling membalas senyum.

Namun pada akhirnya Caca kembali tak bisa menahan tangisnya, dan ia langsung beranjak memeluk ibu Rafael yang tak kuduga juga dibalas.

Caca menangis cukup lama di dalam pelukannya, namun ibu Rafael masih tetap berusaha menahan tangisnya selagi mengelus-elus rambut Caca yang masih diikat cepol.

Mereka terus berpelukan tanpa saling berkata apa-apa, dan akhirnya ibu Rafael melepas pelukannya dan Caca juga ikut mengangkat kepalanya. Kedua kembali saling bertatap dengan senyuman di wajahnya sebelum Caca akhirnya ikut pamit pula.

"Makasih banyak buat semuanya, ya tan." Ucap Caca pamit.

"Iya, sudah kamu pulang sana." Jawab ibu Rafael tetap tersenyum.

Setelah itu, Caca beranjak kepadaku dan menuntunku untuk menuruni tangga sebelum kami beranjak pergi dari rumah Rafael.

=====

Setelah pergi dari rumah Rafael, kami tidak langsung pergi menuju ke rumahku. Hari sudah menjelang malam, dan kami masih mengendarai mobil ini mengelilingi kota.

Berbeda dengan saat berangkat tadi, raut wajah Caca sudah berubah. Ia terlihat menjadi lebih tenang, dan sudah tidak ada kesan tak enak di wajahnya.

Aku tidak tahu jelas apa yang Caca rasakan. Mungkin senang, atau mungkin ada hal lain. Tapi yang kutahu pasti, terlihat adanya kelegaan dari raut ekspresinya Caca.

Sebelum pulang pula, kami memutuskan untuk pergi ke salah satu restoran cepat saji yang searah dengan rumahku. Kami tidak turun dari mobil untuk makan di tempat, namun kami pergi melewati drive-thru untuk memesan makanan dan menyantapnya di mobil setelah Caca memarkirkannya di tempat yang agak sepi.

Setelah makan pun, kami tak banyak berbicara. Caca yang kini sudah mengganti pakaiannya dengan membuka seragam dan roknya, menyisakan tanktop yang tertutupi oleh crewneck dan celana legging-nya, menyandar kepada bahuku. Akupun juga refleks langsung mengelus-elus kepalanya.

Rasanya sangat nyaman saat kita berada di posisi ini. Perlahan Caca juga memelukku selagi kepalanya menyandar di bahuku. Hubungan kami sudah begitu jauh, namun, sampai kapan kita akan terus seperti ini?

"Ca"

"Iya, Bay?"

"Tentang pertanyaan lu kemaren,"

"Kenapa, Bay?" Tanya Caca yang tiba-tiba memperbaiki posisinya dan melepas sandarannya.

"I still think that I'm not ready for a relationship." Jawabku.

"And then?"

"Gua cuma mau ngomong, kayaknya nggak fair buat lu juga kalo lu harus selalu nunggu gua buat siap." Jelasku lagi.

Caca tersenyum mendengar jawabanku, dan tiba-tiba, Caca langsung menggenggam kedua tanganku.

"Bay, it's okay. For whatever reasons out there, I can accept that. It's okay, I'll wait for you until you're ready." Jelasnya.

"Kalo ternyata gua nggak siap-siap gimana?" Tanyaku lagi.

"Well, it's fine. Gue paham kok kenapa lo nggak mau pacaran, dan gue akan berusaha buat ngehargain keputusan lo."

Setelah itu, Caca kembali menarik kedua tanganku menuju ke kedua pipinya, dan Caca kembali berbicara ditengah posisi kami seperti ini.

"Bay, I get it now. Gue paham yang lo mau. Lo mikirnya kita bisa tetep deket tanpa harus pacaran, kan? It's okay, gue terima kok. Gue bakal nunggu lo sampe lo siap, dan kalo nggak, we can still be friends."

"With benefits?"

Mendengar ucapanku yang asal, Caca malah tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak tanpa melepas kedua tangannya dan menjauhkan kedua tanganku dari wajahnya.

"Hahahahahahaha, Bayy, Bay." Tawa Caca setelah mendengar ucapanku.

"Iya, with benefits."

Setelah itu, kami berdua kembali tersenyum saling menatap. Namun entah kenapa, Caca terlihat lebih cantik dari biasanya, dan kemanisannya yang sedang berada di kedua tanganku membuatku tak tahan.

Alhasil, kini roda kembali berputar, dan berbeda dengan sebelumnya, kini aku yang berusaha untuk menyosor bibirnya.

*Cccuupphhh...*

Tentu saja Caca terkejut dengan aksiku. Namun, perlahan Caca memejamkan matanya dan Caca mulai membalas ciumanku.

*Ccuppphhh... Cccupphhh...*

Kami terus berciuman, dan berbeda dengan sebelumnya, ciuman kami mulai memanas dengan bibir kami yang terus mengadu. Kini pula hanya satu tanganku yang berada di pipinya karena aku merangkulnya, dan Caca ikut menaruh tangannya di pipiku.

*Cccuupphhh... Ccupphhh... Ccupphh...*

Ciuman kami terus memanas. Sembari berciuman, aku berusaha untuk membuka hoodie-ku dan hanya menyisakan kaus dan celana yang belum kuganti.

*Cccuupphhh... Ccupphhh... Ccuppphhh...*

Perlahan Caca pun mulai tak nyaman dengan posisinya, dan tanpa melepas ciumannya, Caca beranjak dari kursinya dan menduduki kedua pahaku, dan kini kedua tangannya kembali berada di kepalaku selagi kami saling melumat.

*Ccupphhh... Ccupphhh... Ccupphhh...*

Tanganku pun kupindahkan, dan kini aku memegang bagian pinggangnya selagi kami terus berciuman.

*Ccupphhh... Ccupphhh... Ccupphhh...*

Aksi kami semakin memanas. Kontolku terasa makin tegang, terlebih ketika Caca mendudukiku. Caca pun makin bwrgairah, dan ciumannya semakin meliar. Selain itu, Caca juga membuka crewneck-nya selagi berada di pangkuanku dan kini hanya ada sebuah tanktop yang menutupi tubuh atasnya.

*Ccupphhh... Ccupphhh... Cccuupphhh...*

Aku membuka mataku sejenak, dan aku begitu terkejut melihat tubuh seksi Caca yang kini hanya ditutupi oleh tanktop ketat serta celana legging yang tak kalah ketat pula. Kedua payudaranya yang berada di depanku terlihat begitu menggoda, dan aku berusaha untuk memegangnya.

Namun, baru ketika aku menyentuh sebagian kecil dari payudaranya, Caca langsung membuka matanya dan menarik kedua tanganku jauh dari payudaranya, dan Caca juga melepas ciumannya.

"Hey, hey, easy there. Just because you ever saw it doesn't mean you can touch it." Ucap Caca dengan nada meledek.

Namun, aku tak tinggal diam. Aku yang semakin kehilangan akal sehat pun kembali mengisengi Caca dengan menaruh kedua tanganku di pantatnya yang kencang.

"Berarti kalo disini boleh, dong? Kan gua belom pernah liat." Balasku membercandainya.

"Hahahahaha. Iyaa deh. As you wish."

"Terus kalo gua nggak boleh megang berarti gua boleh liat, kan?" Kembali ledekku.

"Hih, baru dikasih izin aja udah banyak request lo." Jawabnya ikut membercandaiku.

Namun, alih-alih menutupi kedua payudaranya, Caca malah membuka tanktop-nya dan kini hanya tersisa BH yang menutupinya.

"There. You like it?"

Jujur, aku begitu takjub melihat pemandangan yang disuguhkan di depanku. Aku memang pernah melihat payudaranya, namun ketika aku melihatnya secara langsung, aku begitu terpana dengan keindahannya.

Melihatku yang terdiam kaku, Caca hanya tersenyum. Selain itu, Caca ikut menggodaku dan mengelus kontolku dari luar celana membuatku langsung tersentak kaget.

"Someone's getting really hard." Ledek Caca kepadaku.

Aku hanya tertawa membalas ucapannya, dan setelah itu kami kembali berciuman dengan kedua tanganku di pantatnya dan kuremas-remas pelan.

*Ccupphhh... Ccupphhh... Ccupphhh...*

Pada akhirnya, kami terus berciuman dan bermanjaan nyaris sepanjang seperenam malam, sebelum akhirnya Caca memutuskan untuk mengantarku pulang.

Kini, aku dan Caca sudah memasuki fase baru dalam hubungan kami. Namun, masih ada satu pertanyaan yang belum bisa terjawab:

Hubungan kita, tuh sebenernya apa, sih?

- End of Chapter 1 -
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd