Linz, Austria
Alexander mengintip dari sudut bangunan empat tingkat berarsitektur khas Eropa Tengah, mengawasi laki-laki berkulit pucat yang memeluk seorang gadis muda berambut pirang terurai di tengah sebuah gang sempit di antara dua bangunan besar. Bau aspal basah tersiram rintik hujan bercampur dengan dinginnya malam. Tangan Alexander terangkat mengarahkan sebuah crossbow, membidik punggung sebelah kiri laki-laki yang diawasinya. Alexander menunggu dan mengatur nafasnya selambat mungkin. Malam yang dingin membuat jalanan kota kecil Linz sepi dari manusia. Alexander yang jaketnya basah terkena air hujan, kembali mengintip mangsanya. Dilihatnya laki-laki di tengah gang mencium leher pasangannya. Gadis itu mendesah dan memiringkan kepalanya kekanan, memudahkan laki-laki itu menjalankan aksinya. Tanpa gadis itu menyadari, mulut pasangannya terbuka lebar, gigi taringnya memanjang dan matanya berubah warna menjadi oranye gelap. Laki-laki itu bersiap menancapkan kedua gigi taringnya pada gadis yang malang itu. Alexander muncul dari balik persembunyiannya.
"Wuss! Cep!" sebuah anak panah menancap di leher laki-laki bertaring.
"Aaaaaaaaaaaahhhh!" gadis muda berambut hitam berteriak melihat leher pasangannya tertembus panah. Gadis itu mundur ketakutan, menyangka pasangannya akan mati. Laki-laki itu mematahkan panah di lehernya dan mencabutnya dengan satu gerakan. Anehnya, tak setetes darah pun mengalir dari leher laki-laki itu, malahan l lubang dilehernya perlahan menutup.
"Wusss!" sebuah anak panah melesat dari seorang laki-laki bertopi lebar dan jaket kulit panjang yang berlari ke arah kedua pasangan, yang tak lain adalah Alexander. Laki-laki bermuka pucat, menangkap anak panah tepat beberapa sentimeter sebelum mengenai dadanya. Dilemparnya anak panah itu melesat kembali menuju pemiliknya. Alexander tetap berlari dan memiringkan badannya menghindari anak panah.
"Berhenti disana Adolfo! Sekaranglah kematianmu!" teriak Alexander. Laki-laki yang dipanggil Adolfo mendesis memamerkan gigi-giginya. Urat-urat hitam muncul menghiasi wajahnya yang pucat. Gadis berambut pirang yang tadi dipeluk Adolfo berjongkok ketakutan memeluk lututnya sendiri. Seluruh tubuhnya gemetaran, tenggorokannya tercekat. Dia terjebak dalam pertarungan di malam itu.
"Wuss wuss wuss!" tiba-tiba tiga buah pisau melesat dari belakang dan mengenai punggung Adolfo. Seorang laki-laki berambut putih muncul dari belakang Adolfo. Ternyata Alexander tidak sendirian, ayah angkatnya menyusul Alexander keluar dari persembunyian. Adolfo kini dikeroyok dua pemburu vampir. Adolfo yang terkepung dari dua sisi, tak merasa gentar. Kedua tangannya diangkat terbuka di depan wajahnya, kuku-kuku hitam panjang muncul dari jari-jarinya. Adolfo berlari secepat kilat menuju Alexander. Alexander bergegas membuang crossbow di tangannya dan menangkap kedua pergelangan tangan Adolfo, sebelum kuku tajam vampir itu mencabik tubuhnya.
"Sekarang papa!" Alexander berteriak pada ayah angkatnya. Alexander senior melempar sebuah botol bening berisi air suci dan menembaknya tepat di atas kepala Adolfo, "DORR!" Percikan Air suci menyebar dan menyiram tubuh Adolfo si vampir. Baju dan rambut Adolfo berasap bagai tersiram air keras.
"Aaaaargghhhh!" Adolfo berteriak kesakitan. Alexander senior berlari mendekat, membawa paku pasak di tangan kanannya. Melihat ayahnya bersiap menikam Adolfo, Alexander mempererat genggamannya pada pergelangan tangan Adolfo. Adolfo menoleh ke belakang, sudut matanya melihat orang tua berambut putih mengangkat pasak, siap menikam. Adolfo bertumpu pada tangannya yang dipegang Alexander dan menendang ke belakang dengan kedua kakinya. Sol sepatu kulit hitam mengkilap telak mengenai dada ayah angkat Alexander yang tidak menyangka lawannya akan menyerang. Tubuh tua Alexander senior terpental ke belakang dan berguling. Darah segar keluar dari mulutnya.
"Hmppppphhh!" gadis berambut pirang menutup mulutnya melihat Alexander senior terjatuh. Air matanya menetes dari matanya yang mendelik namun tubuhnya terlalu takut untuk bergerak menolong. Begitu kakinya mendarat, Adolfo menggerakkan tangannya ke samping, membuat tubuh Alexander terbang dan terhempas menghantam tembok. "Hahahahha.. aku bukan yang dulu lagi.. air suci macam itu tak mempan padaku," kata Adolfo pada Alexander yang tersungkur di depannya. Adolfo membungkuk, menghujamkan kuku tajamnya pada Alexander. Kuku jari Adolfo meleset menancap aspal jalan karena Alexander telah berguling menghindar.
"TAR!" sebuah pecut melesat dari belakang Adolfo dan melilit lehernya. Alexander senior menarik pecutnya sekuat tenaga, tapi Adolfo tak bergeming. Tangan kanan Adolfo menggapai pecut di belakang lehernya. Begitu tangannya menggenggam pecut, Adolfo mengayunkan tangannya ke depan. Badan Alexander senior tertarik terbang ke depan bersama pecutnya, lewat di atas kepala Adolfo dan mendarat dengan kepala menyentuh aspal. Darah mengucur dari kepala ayah angkat Alexander yang tak bangun lagi. Alexander marah melihat ayahnya terlempar dan bangun menyerang Adolfo dengan membabi buta. Tinju tangan kanan Alexander yang kalap menghantam wajah Adolfo sekuat tenaga. Alexander lupa siapa Adolfo. Lawannya yang terkena pukulan telak bukannya kesakitan tapi malah tersenyum. Adolfo mengangkat tangannya dan menyerang kepala Alexander dengan kukunya yang tajam. Alexander menghindar ke samping, kuku lawannya hanya merobek tipis pipinya. Alexander menarik pedang di punggungnya dan menyabet leher Adolfo. Tangan kiri Adolfo menahan serangan Alexander, tangan kanannya meluncur ingin merobek perut lawannya.
"Hentikan!" Kedua laki-laki yang bertarung menoleh ke arah suara. Gadis berambut pirang yang ketakutan melihat pertarungan antara vampir dan pemburunya, tiba-tiba berubah menjadi laki-laki tampan berambut lurus mengenakan kemeja putih dengan tiga kancing terbuka. Matanya merah menyala, aura mengerikan menyebar dari sekujur tubuhnya.
"Cukup Adolfo.. sekarang kau pergi dari sini.." kata laki-laki itu.
"Tapi Lou?" Adolfo membantahnya.
"Adolfo!" laki-laki itu membentak Adolfo. Adolfo mendorong pedang yang digenggamnya dan mundur dengan enggan. Setelah membungkuk pada laki-laki yang bernama Lou, Adolfo menghilang dalam kepulan asap. Lou mendekati Alexander.
"Kau siapa?" Alexander bertanya pada laki-laki di depannya.
"Aku memiliki banyak nama dan panggilan.. kau boleh memanggilku Lou," jawab Lou.
"Lou? Namamu sungguh aneh.. tapi terimakasih kau telah menyelamatkanku," kata Alexander.
"Jangan berterimakasih padaku.." Lou menggeleng, tangannya menunjuk ke depan, "berterimakasihlah pada orang itu.. dia membuat perjanjian denganku, aku harus menyelamatkanmu dari tangan Adolfo.. dia menawarkan jiwanya."
Alexander tiba-tiba mengingat nama Lou adalah panggilan untuk Lucifer, penguasa kegelapan. Kengerian melanda dirinya, memikirkan jiwa ayah angkatnya akan dibawa ke neraka oleh Lucifer.
"Kau tidak boleh membawanya.. bawa saja aku," kata Alexander menawarkan diri. Lou menggeleng sambil berjalan melewati alexander, "siapa yang membuat perjanjian, dialah yang harus melunasinya.. tidak ada yang bisa lari dariku."
"Aku mohon.. bawa aku saja..."
"Tetap tidak bisa.. bahkan aku sendiri harus mengikuti perjanjian yang kubuat."
Alexander bingung dan takut. Diangkatnya pedang ditangannya dan meloncat untuk menikam mantan malaikat itu. Lou menjentikkan jarinya, tiba-tiba gerakan Alexander terhenti, tubuhnya kaku di udara. Lou berjalan dengan santai ke arah tubuh Alexander senior. Mulutnya bersiul-siul gembira seakan anak kecil yang mendapat mainan baru.
"Lou! Aku lebih muda.. aku lebih kuat menjadi pelayanmu!" Alexander yang tubuhnya kaku di udara berteriak. Lou berjalan mengacuhkan Alexander.
"Lou! Jangan bawa dia! hanya dia yang aku punya! bawa saja aku!" kembali Alexander berteriak. Lou mengambil tangan tua Alexander senior dan menyeret tubuhnya ke ujung gang. "Lou! Aku mohon! Jangan bawa dia Lou!" Alexander berteriak lebih keras. Lou tetap berjalan sambil bersiul menyeret tubuh tua dengan sebelah tangan. Kaki Alexander jatuh ke tanah saat Lou berbelok di ujung gang. Alexander berlari secepat mungkin mengejar Lou yang menyeret tubuh ayah angkatnya. Begitu sampai di ujung gang, Alexander berbelok ke kanan mengikuti arah pergi Lou. Alexander menemukan tak seorangpun ada di jalan. Jalanan itu sepi, hanya beberapa mobil terparkir di pinggir jalan.
******AVH******
Trier, Jerman Dua belas bulan yang lalu...
Seorang laki-laki di depan tiga buah nisan di dalam halaman sebuah rumah besar mirip kastil dengan empat buah menara tinggi. Laki-laki itu membawa tiga kuntum bunga lili di tangannya. Rumah besar itu milik keluarga Van Hellsing dan yang berdiri di halamannya adalah keturunan terakhir keluarga itu, yang bernama Alexander Van Hellsing II. Alexander menaruh satu kuntum bunga pada masing-masing makam di depannya. Makam yang paling kanan berukir nama : Alexander Van Hellsing, sebuah makam simbolis tanpa jasad. Makam yang di tengah berukir nama Abraham Van Hellsing III yang merupakan adik kembar dari Alexander Van Hellsing. Dan makam paling kiri berukir nama Caroline van Hellsing. Ketiga makam itu adalah milik orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan Alexander. Makam paman sekaligus mentor dan ayah angkatnya serta makam ayah dan ibunya berjejer di depannya. Alexander berlutut di depan tiga nisan keluarganya. Kepalanya menunduk memandang topi lebar yang dipegang di dadanya. Rasa sedih bercampur dengan dendam dan amarah beraduk dalam hatinya.
"Aku berjanji..." Alexander membuka suara, "kematian kalian pasti akan ku balas."
******AVH******
Edinburgh, Skotlandia Dua bulan yang lalu...
Alexander membelokkan langkahnya menuju sebuah cafe bercat merah cerah dengan dinding kaca besar memamerkan keramaian pengunjung yang mampir untuk menghindari hujan hari itu.
Langkah Alexander terhenti melihat sebuah tulisan pada sudut bawah kaca depan kafe itu. "The elephant House Birthplace of Harry Potter Now selling draugh beer" Alexander tersenyum mengingat novel fiksi tentang penyihir muda yang menghadapi takdir harus melawan penyihir paling ditakuti oleh penyihir lainnya.
Bugh! seseorang menabrak bahu Alexander dari belakang.
"Maaf tuan.. saya tidak sengaja.." kata seorang gadis berkulit putih berwajah Asia mengenakan seragam sekolah putih berpadu dengan rok dan dasi bercorak hitam bergaris putih kepada Alexander.
"Tidak masalah.. saya yang menghalangi jalan," jawab Alexander yang menyadari tempatnya berdiri.
"Saya kok yang salah.. saya terlalu terburu-buru," gadis itu menggaruk kepalanya dan menunduk.
Alexander hanya tersenyum melihat tingkah lucu gadis didepannya. Mereka berdua memasuki kafe, Alexander duduk di meja kosong dekat dinding kaca, sementara gadis itu tampak berbicara dengan barista. Suasana kafe yang ramai tidak mengurangi kenyamanan Alexander yang bersandar di kursi memandang panorama kastil Edinburgh.
"Umm.. maaf.. boleh saya ikut duduk disini? Umm.. tidak ada meja yang kosong jadi.." gadis berseragam tadi membuyarkan lamunan Alexander
"Oh.. boleh saja.. silahkan." Alexander tersenyum pada gadis itu.
Gadis itu menggeser kursi dan duduk di depan Alexander dan mengeluarkan smartphone layar sentuh dari dalam tas dan meletakannya di atas meja.
"Saya lagi nungguin temen.. janjinya datang jam tiga .. sampe jam segini belum keliatan juga.. payah.." gadis itu berbicara panjang lebar.
Alexander tersenyum dan mengulurkan tangannya, "Saya Alexander.. Alexander Van Hellsing".
"Oh iya.. maaf.. saya Fiona Pratiwi," gadis itu menyambut tangan Alexander.
"Pratiwi?"
"Iya.. saya dari Indonesia.. ayah saya bekerja di kedutaan Indonesia di London."
"Kamu tinggal di asrama?" Alexander menunjuk pakaian Fiona.
"Iya... saya sekolah di asrama Edinburgh.." jawab Fiona menunjuk logo "Edinburgh Highschool" di kantong bajunya.
Seorang pelayan wanita berseragam hitam menyela pembicaraan mereka, "selamat sore, ada yang bisa dibantu?".
"Saya pesan Cafetière of Coffee yang javanese ya.. sama Hot Fudge Brownie," Fiona memesan kopi hitam jawa dan brownies dengan eskrim dan saus coklat.
"Saya Café au Lait satu," jawab Alexander singkat.
"Baik tuan dan nona.. harap menunggu sebentar" kata si pelayan dengan ramah.
"Eh, bap.. um.. om.. um.. tuan Alexander kesini untuk berlibur?"
"Alex.. panggil saja aku Alex.. bagaimana kau tahu aku bukan orang Inggris?"
"Logatmu terdengar seperti orang Jerman atau Belgia" Alex tersenyum, "aku kemari untuk urusan bisnis."
"Ohh ya? tapi tampangmu mirip pembunuh bayaran.. hahhaha.." kata Fiona yang melihat Alex mengenakan mantel kulit hingga selutut, kalung salib dari besi, sepatu boot coklat dan berambut gondrong.
"Bisnisku memang berkaitan dengan orang mati."
"Kamu serius?! Keren!" mata Fiona berbinar.
"Aku menjual peti mati."
"Owwh... aku kira kau memang pembunuh bayaran atau pemburu vampir.."
Seorang wanita berambut pirang terikat yang mengenakan sweeter hitam mengetuk dinding kaca dari luar. Fiona tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Gadis itu pun masuk ke dalam cafe. "Pacarmu? Keren juga.." tanya gadis itu pada Fiona.
"Bukan kok.. bukan.." Fiona tersenyum namun wajahnya bersemu merah.
"Hahahhaha.. carilah pacar Fii.. kau tidak mau jadi perawan tua kan?"
"Haha," Fiona tertawa hambar. Alexander tersenyum melihat dua gadis remaja berbeda ras di depannya.
"Alex, ini Nathalie.. Nath, ini Alex.." Fiona memperkenalkan kedua kawannya.
"Halo.. nama saya Nathalie Crutchlow.."
"Alex.. Alexander Van Hellsing," jawab Alex menyalami Nathalie.
"Van Hellsing? apa kau.. "
"Bukan.. hanya namanya saja yang sama.."
"Owwhh.. jadi kalian.. sudah berapa lama?" kata Nath menunjuk Alex dan Fiona bergantian. Fiona mendelik pada kawannya, "Nath!"
"Bukan.. kami baru berkenalan beberapa menit yang lalu.." jawab Alex tersenyum.
Pelayan cafe datang membawakan pesanan Alex dan Fiona. Dia menaruh secangkir kopi dengan krim di depan Alex dan kopi hitam bersama brownies di depan Fiona.
"Nath? Kamu ga mau minum?" Fiona menawarkan pada temannya.
"Ga usah, aku buru-buru.. ada janji sama George," jawab Nath mencari sesuatu dalam tasnya.
"Ok.. tapi besok temani aku ke London," kata Fiona.
"Iya.. nih aku kembalikan," Nath menyerahkan sebuah flashdisk putih pada Fiona, "Aku pergi dulu, George sudah menungguku di halte... senang bertemu dengan mu Alex.. kapan-kapan kita mengobrol...". Nathalie pergi meninggalkan mereka berdua.
Suasana canggung menyelimuti Alex dan Fiona. Alex menyeruput kopinya dan mulai bertanya pada Fiona. "Jadi.. apa rencanamu? Tampaknya hujan sudah mereda."
"Um.." bibir Fiona meruncing, "aku tidak tahu.."
"Bagaimana jika kau menemaniku berkeliling Edinburgh? Aku baru sampai disini kemarin.. itupun jika kau tidak keberatan.
"Um.. boleh.. kita mau kemana?" kaki Fiona berayun-ayun di bawah meja.
"Hahahha.. aku tidak pernah kemari sebelumnya..."
"Oh.. maaf.. maaf.." Fiona menggaruk kepalanya ,"um.. bagaimana kalau kita ke kastil Edinburgh? Kau sudah pernah kesana?"
"Belum.." Alex menggeleng, "baiklah ayo kita kesana."
"Sekarang? Tapi aku belum menghabiskan makananku.." Alex tertawa mendengar alasan Fiona yang lugu, "baiklah.. nikmati makananmu.. aku menunggu."
******AVH******
Edinburgh, Skotlandia sebulan yang lalu...
Alexander dan Fiona berciuman di lorong hotel. Kedua pasangan dimabuk cinta seolah tak perduli mereka berciuman panas di tempat umum. Alex mendorong Fiona menempel di pintu kamar hotel, sementara tangannya sibuk menggesekkan sebuah kartu yang mirip atm pada gagang pintu.
Cklek, tangan Alex berhasil membuka gagang pintu.
Fiona yang mengenakan rok sekolah meloncat mengaitkan kakinya pada pinggang Alex. Tubuh Fiona di bawa Alex sambil berciuman menuju ranjang. Alex menidurkan Fiona di atas ranjang. Kaki Fiona mengangkang pada Alex yang berdiri di pinggir ranjang. Kedua tangann Alex memegang lengan Fiona dan tiba-tiba Alex berbisik berulang-ulang dalam bahasa yang tidak dimengerti Fiona.
"Lucifer venit
Habeo promissum
Lucifer venit
Habeo promissum..."
Tiba-tiba pakaian Alex yang mengenakan jas hitam berubah menjadi seorang berwajah tampan yang mengenakan kemeja putih dengan tiga kancing terbuka. Matanya hitam dan berurat. Senyum menyeringai pada Fiona.
K-kau si-siap-siapa? kata Fiona yang mundur ketakutan.
Haallooo... Namaku Lou, bisik Lucifer.
AAAAARRGGGGGHHH! Fiona berteriak ketakutan.
Berisik! Lou menjentikkan jarinya.
Seketika Fiona berhenti berteriak, matanya menatap kosong ke depan.
Thats better, kata Lou menyeringai dan kembali menjetikan jarinya.
Fiona bergerak menggeliat bagai orang kesurupan. Desahan orang kepanasan keluar dari mulutnya. Tangannya bergerak membuka baju kaosnya. Dada Fiona yang bulat kini terlihat, membuat senyum Lou semakin lebar.
Perlahan Lou merangkak mendekati tubuh Fiona yang bertelanjang dada. Tangan Lou mendekatkan wajah Fiona pada wajahnya. Lou mulai mencium Fiona yang telah dipengaruhinya. Fiona menyambut ciuman Lou dengan bernafsu. Lidah mereka saling menyapu rongga mulut lawannya. Ciuman panas antara Fiona dan Lucifer ini memanaskan suasana kamar hotel.
Alexander yang tubuhnya dikuasai Lou, hanya dapat melihat tubuhnya bergerak sendiri. Otaknya kelhilangan daya kontrol pada tubuhnya, hanya matanya yang masih melihat kejadian di depannya.
Alexander merasa kasihan pada Fiona. Sungguh dia tak ingin kejadian ini menimpa gadis tak bersalah itu. Namun hanya ini satu-satunya cara agar dia dapat membalas dendam pada Adolfo.
******AVH******
Alexander terbangun dari tidurnya karena matahari masuk menyilaukan matanya. Bayangan samar sesosok tubuh duduk di pinggir ranjang mulai jelas setelah Alex mengerjapkan mata beberapa kali untuk mencari fokus pandangan.
"Kau sudah bangun Alexander?"
"Fiona?!" Alex terkejut melihat Fiona yang duduk mengenakan jeans dan tanktop hitam sedang menggosok pistol berwarna hitam berhiaskan ukiran berwarna emas dengan secarik kain putih.
"Aku sudah tahu apa yang kau alami... Lou menyuruhku membantumu," kata Fiona tanpa memandang Alex yang masih keheranan.
"Tapi kau..." suara Alex terhenti begitu telunjuk Fiona menempel di bibirnya.
"Lou... dia membuatku memiliki kemampuan setara denganmu, kini aku juga bisa memburu
nosferatu."
"Tapi ini urusanku, kau tak udah ikut campur," kata Alex.
"Kau mengadakan perjanjian dengan Lou dan aku adalah solusi yang dia berikan... kalau kau ingin membunuh Adolfo, kau harus menerima bantuanku... itu terserah kau saja," Fiona tersenyum pada Alexander. Alexander sekilas melihat senyum Fiona berubah. Bukan senyum gadis remaja polos yang dia temui beberapa waku lalu. Dengan eye shadow hitam menghias garis matanya, ditambah lipstik hitam terpoles di bibirnya, senyuman Fiona sekarang lebih mirip dengan senyuman Lou.
******AVH******