Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT True Love and True Lust. Loyalty and Betrayal (by : meguriaufutari)

Bimabet
sekarang rebo apa kamis sih..? lupa2 inget nih...
maklum gak sabar rasanya nunggu update an.
 
:mancing: menunggu update
begitu sampe cina yuna langsung di exe ja jent jgn kasih ampun :pandajahat:
 
EPISODE 5 : Flight

"Oh, temen kamu ada yang liat? Iya semalem aku nginep di Amaris Hotel. Aku capek, jadi sendirian aja deh nginep di hotel, mumpung deket. Ke rumah kejauhan." Sms si Erna bangsat itu masuk. "Lha, emang sendirian kan? Emang mao sama siapa lagi??" Balas SMS-ku, pura-pura bodoh.

Setelah itu, aku memakan sarapan yang sudah disediakan Bu Novi di meja makan. Roti dengan selai stroberi dan teh yang sama seperti kemarin malam. Roti dan selai stroberinya pun terasa lebih enak daripada roti biasanya. Aku berusaha menemukan roti tawar dan selai stroberi yang disuguhkan itu di rak-rak makan, tetapi aku tidak bisa menemukannya. Enggak rumah, enggak pemiliknya, sama-sama misterius. Setelah selesai makan dan mandi, aku keluar dari rumah Bu Novi, dan tidak lupa mengunci pintunya dengan kunci serep yang diberikan padaku. Setelah itu, aku menelpon Yuna.

"Selamat pagi, pak." Jawab Yuna di telpon.

"Selamat pagi, Yuna. Aku hari ini cuti. Tolong kamu catat laporan harian dari Lina, Diana, Fera, dan Abby. Cukup kamu catat, dan tinggal kamu masukkan di excel tempat laporan harian untuk hari ini. Setelah itu, tolong kamu update untuk status setiap project di X-Ray ya. Setelah itu, kamu boleh pulang, dan siap-siap untuk Flight nanti malam." Kataku di telpon.

"Baik pak." Jawab Yuna.

"Oke. Terima kasih banyak ya, Yuna." Kataku.

"S... sama-sama pak." Jawab Yuna. Hmmm? Kok terlihat ada nada terkejut di ucapannya? Ah, tidak tahu ah, tidak peduli.

Kemudian, aku segera memanggil taksi dan menuju ke rumah. Aku sampai di rumah dalam waktu satu jam 25 menit, ya karena ikut arus macet orang berangkat kantor. "Oh, ga kok. Maksudnya Cuma ngasihtau aja kalo aku sendirian. Nanti kamunya kepikiran lagi." Balas Erna bangsat di sms. Ya, ya... Memang sendirian... Si Adi bangsat itu emang bukan manusia, makanya kamu anggap sendirian, wong manusianya cuma kamu. Aku langsung menelpon si Erna bangsat.

"Halo." Jawab si Erna bangsat di telpon.

"Aku ada tugas dinas ke Cina hari ini. Berangkat besok jam 00.20. Belum tahu kapan pulang." Kataku di telpon.

"Oh oke-oke. Kamu sekarang dimana?" Tanya Erna bangsat.

"Rumah. Lagi packing." Jawabku singkat.

"Oke. Nanti kalo kita nggak ketemu, hati-hati ya di jalan. Sama siapa kamu ke Cina nanti?" Tanya Erna bangsat.

"Sama sekretarisku." Jawabku.

"Hah? Berduaan doang sama sekretaris kamu?" Tanya Erna bangsat.

"Iya. Aku butuh penerjemah. Kebetulan sekretarisku bisa bahasa mandarin. Ato kamu bersedia ngegantiin?" Tanyaku kepada Erna bangsat yang aku tahu tidak bisa bahasa Mandarin.

"Aku nggak bisa bahasa Mandarin." Kata Erna bangsat.

"Yaudah." Kataku.

"Kamu jangan macem-macem ya." Kata Erna bangsat.

"Macem-macem apa?" Tanyaku.

"Jangan macem-macem sama sekretaris kamu." Kata Erna bangsat.

"Aku sih pasti ga akan macem-macem. Kecuali kalo kamu nya udah pernah macem-macem, mungkin aku juga akan tergoda untuk macem-macem." Kataku.

"..." Tidak ada jawaban dari Erna bangsat.

"Yaudah deh, aku sibuk. Kamu kerjain urusan kantor kamu aja dulu. Aku mao packing, smartphone-ku lowbatt, aku mungkin mao ngecharge sambil dimatiin. Udah ya." Kataku.

"Eh sayang, tungg-" Kata Erna bangsat, yang langsung kumatikan telponnya tanpa menunggu dia selesai bicara.

Setelah itu, aku mematikan smartphone-ku dan menge-charge nya. Aku segera menyalakan smartphone-ku yang satu lagi, dan menghubungi Yuna.

"Selamat pagi, pak." Kata Yuna di telpon.

"Selamat pagi, Yuna. Yuna, untuk sementara kalau ada yang darurat, hubungi aku di nomor ini aja ya. HP-ku yang satu lagi tidak aktif." Kataku.

"Baik, pak." Kata Yuna.

"Oke thank you Yuna. Have a nice day (Semoga harimu menyenangkan)." Kataku.

"Ha... have a nice day... as well, sir (Semoga harimu juga menyenangkan, pak)." Kata Yuna. Hmmm, lagi-lagi tergagap? Ada apa sih?

Setelah menutup telponnya, aku segera packing. Aku membawa koper yang cukup besar, dikarenakan aku membawa pedang nodachi kesayanganku. Aku bukan tipe orang yang berlama-lama jika packing, sehingga dalam dua puluh menit pun aku sudah selesai packing. Kusiapkan juga dress code yang harus kugunakan untuk nanti malam. Kemeja merah, dasi hitam, jas hitam, celana bahan hitam. Tidak lupa juga kupersiapkan passport dan kutempel visa milikku di passportku. Sampai sekarang aku masih takjub dengan bagaimana suatu visa bisa didapat dalam waktu kurang dari sehari. Tring. Ada sms masuk di smartphone-ku.

"Laporan harian sudah diupdate, pak. X-Ray juga sudah." SMS dari Yuna.

"Good. Kamu boleh pulang sekarang." Balasku di SMS.

Kemudian, aku menekan suatu nomor di smartphone-ku.

"Alan speaking here." Kata Peter di telpon.

"There is no blue bushes, only green ones." Kataku di telpon. Kami memang sudah memiliki serangkaian sandi-sandi, sehingga sandi yang kami ucapkan tidak pernah sama, sekalipun untuk keperluan yang sama.

"Your new number, Mr. Jent? (nomor barumu, Pak Jent?)" Kata Peter di telpon.

"Just a temporary number. How're things going? (Hanya nomor sementara. Bagaimana status lapangan?)" Kataku.

"Well, she and her gigolo checked out this morning, maybe around 7. Then, they separated to go to their respective office. (Yah, dia dan gigolo nya check out dari hotel pagi ini, mungkin sekitar jam 7. Lalu, mereka berpisah untuk pergi ke kantornya masing-masing.)" Kata Peter.

"Without stopping by anywhere? (Tanpa berhenti dimanapun?)" Tanyaku.

"Yes. Straight to their office. (Ya. Langsung menuju kantor mereka masing-masing)" Kata Peter.

"Did they carry a handbag? (Apakah mereka membawa tas?)" Tanyaku.

"They did. A sport bag. (Ya. Tas olahraga.)" Kata Peter.

"A job well done. Keep up the good work, mate. (Pekerjaanmu bagus. Teruskan, teman)" Kataku.

Dia langsung menutup telpon, tanpa berkata apapun. Ya sudahlah, itu pekerjaan dia. Ternyata memang pertemuan mereka di hotel sudah direncanakan. Terbukti dari mereka tidak mampir kemanapun setelah dari hotel. Baju-baju mereka untuk kerja hari ini sudah dibawa dalam tas olahraga tersebut. Selain itu, tas olahraga itu berfungsi untuk menyamarkan tujuan mereka, seolah-olah mereka hendak ke tempat fitness, walaupun aku tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan hal itu.

Tidak terasa, matahari pun sudah terbenam. Sudah jam 18.20, melewati Azhar. Tinggal satu jam empat puluh menit sebelum keberangkatanku dari rumah. Aku gunakan waktuku untuk bersemedi, hingga jam 19.30. Setelah itu, aku segera keluar menaiki taksi yang kupesan. Aku mengambil smartphone utama yang sudah kunyalakan kembali, dan menekan nomor Yuna.

"Selamat malam, pak." Jawab Yuna di telpon.

"Malam, Yuna. Kamu sudah berangkat?" Tanyaku.

"Belum pak, mungkin 10 menit lagi." Kata Yuna.

"Oke. Tunggu saja kamu di tempat, aku jemput." Kataku.

"Oh, tidak perlu merepotkan pak. Saya jalan sendiri aja." Kata Yuna.

"Gak usah seformal itu, kita udah diluar jam kantor. Lagian apa repotnya, aku juga lebih senang kalo ada temen." Kataku.

"Oh, kalo bapak emang pengennya seperti itu, baiklah." Kata Yuna.

"Oke, aku udah jalan dari rumah. Kamu tunggu aja ya." Kataku.

"Baik pak." Kata Yuna.

Dalam 10 menit saja, aku sudah sampai di rumah Yuna. Bagus juga rumahnya. Yuna pun keluar dari rumahnya, memakai baju terusan merah sampai lutut tanpa lengan. Cantik sekali dia, cocok dia memakai baju itu.

"Permisi pak." Kata Yuna sambil mengangguk kearahku, kemudian kearah supir taksi.

"Naik Yun. Kita makan dulu. Lagi kepengen makan apa kamu?" Tanyaku.

"Ah, apa aja pak." Kata Yuna.

"Yaudah, aku mao makan suki. Kamu makan rumput aja." Candaku.

"Yaudah, nanti aku makan rumput." Kata Yuna sambil tersenyum.

Aku segera meminta supir taksi untuk mengantarku ke sebuah restoran di kawasan Jenderal Sudirman. Kami sampai dalam 30 menit. Aku meminta supir taksi itu untuk parkir dulu, dan kemudian bergabung makan bersama kami. Awalnya, supir taksi itu menolak. Tapi setelah kupaksa dan kugoda dengan makanan enak, akhirnya dia mau juga. Aku memasuki gedung, tapi Yuna tidak mengikutiku, melainkan dia hanya di halaman melihat-lihat tanaman.

"Ngapain kamu Yun?" Tanyaku.

"Cari rumput pak. Katanya tadi disuruh makan rumput." Kata Yuna dengan polosnya.

"Ya ampun Yunaaaa. Masa kusuruh makan rumput, kamu beneran mao makan rumput sih. Aku juga tahu bahwa kamu sekretarisku, tapi ga sampe sebegitu juga kalii." Kataku.

"Aku tahu kalo aku sekretaris bapak. Tapi aku juga nggak sebego itu sampai mao makan rumput." Jawab Yuna sambil tersenyum manis, dan berjalan mendahuluiku menuju restoran.

Aku betul-betul tidak bisa berkata apa-apa. Baru kali ini aku dikadali seperti itu. Sialan kamu Yuna hahaha. Tidak lama kemudian, supir taksi itu datang dan bergabung dengan kami. Aku dan Yuna makan dengan lahapnya, sementara si supir taksi itu masih malu-malu.

"Udah makan pak. Mubazir nanti. Buang-buang makanan itu dosa, mau dosa pak?" Tanyaku.

"Waduh, betul juga sih. Maaf nih pak, saya makan ya." Kata supir taksi itu, akhirnya mau ikut makan juga.

Setelah selesai makan, Yuna mau membayar bill makanan kami. Tapi kucegah, kukatakan bahwa malam ini aku yang traktir. Setelah berdebat tidak penting masalah siapa yang harus membayar, akhirnya dia mengalah juga. Kami bertiga kembali ke kendaraan, dan terus melaju ke Bandara Soekarno-Hatta. Sepanjang perjalanan, kami bertiga terus saja mengobrol.

"Ibu beruntung lho, dapet calon suami sebaik bapak." Kata supir taksi itu.

Calon suami? Aku dan Yuna saling bertatapan, kemudian tersenyum mesem-mesem sendiri.

"Tahu darimana pak calon suami? Siapa tau udah jadi suami beneran." Kataku, diikuti dengan tawa cekikikan Yuna.

"Kelihatan lah pak. Suami-istri mah lagak nya tidak seperti itu." Kata pak supir.

"Namanya beruntung atau tidak, itu kita pak yang memutuskan. Mungkin saya pembawa keberuntungan bagi seseorang, tapi ya dilihat dari sisi pandang lain, mungkin saja saya ini pembawa musibah bagi orang lain." Kataku.

"Walaupun bapak pembawa musibah bagi banyak orang, saya tetap menganggap bahwa bapak ini pembawa berkat bagi saya." Kata pak supir.

"Kenapa begitu pak?" Tanyaku.

"Seumur-umur, baru kali ini saya makan seenak makanan tadi pak, membuat saya mensyukuri suatu karunia hidup. Tapi yang lebih indah lagi dan jauh lebih indah dibanding semua itu pak, bapak tadi mengajak saya makan. Saya kagum, di tengah situasi sulit begini, ada saja bunga yang mekar diantara padang gurun yang gersang." Kata pak supir.

"Ah sudahlah pak, gak usah dibesar-besarkan. Cuma begitu doang." Kata pak supir.

"Yah mungkin buat bapak, hal ini tidak berarti sama sekali. Tapi buat kami, itu sangat berarti pak. Saya yakin, jika suatu saat nanti bapak menjadi pemimpin, orang-orang yang dipimpin bapak pasti sangat menyayangi bapak." Kata pak supir.

"Setuju pak. Sudah terjadi kok." Kata Yuna.

"Ah, kamu ikut-ikutan lebay Yun. Kenapa? Kenyang bego kamu?" Candaku.

"Iya nih pak." Kata Yuna.

"Baru makan segitu aja udah kenyang bego." Kataku.

"Paling nggak bapak lebih kenyang bego sih. Pak supir ama aku aja nyadar, masa bapak bisa ga nyadar." Kata Yuna sambil senyum manis.

"Yun. Sejak kapan kamu belajar ngecengin saya? Siapa yang ngajarin?" Tanyaku.

"Ci Diana, pak." Kata Yuna dengan polos.

"Diana?? Tuh orang diem-diem tukang ngadalin orang juga. Kapan?" Tanyaku.

"Tadi pak. Hehehe" Jawab Yuna sambil tertawa cekikikan.

Saking gemasnya, aku ingin menusuk perut kirinya, titik tempat dimana orang biasanya geli jika ditusuk, tapi ia langsung menangkap pergelangan tanganku, dan membuangnya kearahku. Tiba-tiba, smartphone-ku berdering. Aku melihat siapa yang menelpon, ternyata si Erna bangsat.

"Kamu udah dimana, sayang?" Tanya si Erna bangsat di telpon.

"Menuju bandara." Kataku singkat.

"Oke. Maaf gak sempat pulang, aku lagi sibuk banget soalnya." Kata Erna bangsat.

"Gak-papa. Yaudah beresin kerjaan kamu aja." Kataku.

"Oke. Dadaah." Kata Erna bangsat.

Aku tidak membalasnya dan langsung menutup telponnya. Tidak lama kemudian, telponku kembali berdering, kali ini video call dari Peter. Aku mengangkatnya dan... Ya ampun... Si Erna bangsat itu sedang bergerak naik turun diatas tubuh seseorang yang kulihat adalah si Adi bangsat itu. Perasaanku bercampur aduk antara marah dan bingung. Marah karena si Erna bangsat itu berani-raninya menelponku selagi dia sedang bergumul dengan si Adi bangsat itu. Bingung karena aku heran bagaimana si Peter bisa mendapatkan posisi kamera sebagus itu. Aku langsung menutup telponnya. Setelah itu, aku diam saja sepanjang perjalanan. Yuna pun sepertinya menyadari perubahan suasana hatiku, dan ikut diam. Sementara pak supir terus saja berbicara.

Akhirnya, kami sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.07. Setelah menurunkan koper kami berdua dari bagasi, aku mengucapkan terima kasih kepada pak supir taksi, sambil membayarnya dengan nominal dua kali lipat dari argonya.

"Wah pak, terima kasih banyak ya pak. Terima kasiih pak." Ucapnya sambil menyalim tanganku.

"Sudah... sudah pak. Tidak perlu berterima kasih." Kataku.

"Saya doakan bapak dan ibu selamat selalu di jalan, sampai kembali kesini ya pak, bu." Kata pak supir.

"Terima kasih pak sudah mendoakan kami. Bapak juga selamat sampai di rumah ya." Kataku.

"Terima kasih banyak pak." Kata Yuna sambil membungkuk.

Pak supir itu kembali ke kendaraannya. Membuka kaca belakang, dan melambaikan tangan kepada kami. Aku dan Yuna segera masuk untuk check-in bagasi. Setelah selesai check-in bagasi, kami menuju imigrasi. Disinilah jantungku berdebar-debar setengah mati. Aku tidak yakin dengan visa yang sehari jadi ini. Jangan-jangan ini ilegal, dan nanti ketahuan di imigrasi. Kalau sampai begitu, bisa-bisa aku berurusan dengan negara. Sehebat apapun ilmu bela diriku, kalau menghadapi negara sih hanya satu persen kemungkinan aku selamat. Aku dan Yuna menuju konter imigrasi yang terpisah. Aku melihat petugas imigrasiku dan Yuna mengecek visa kami, setelah itu mereka mempersilakan kami lewat. Huff, aku menjadi kembali tenang. Kami menunggu di ruang boarding selama satu jam, sebelum akhirnya kami naik ke pesawat. Begitu masuk, kami diarahkan menuju ke paling depan, dekat dengan ruangan pilot. Ya ampun, tidak tanggung-tanggung, aku dibelikan seat first class. Yuna pun juga dibelikan seat first class, dan duduk disebelahku. Aku memang suka naik business class dalam penerbangan, apalagi penerbangan yang jauh-jauh. Tapi naik first class, aku baru pertama kali ini. Dalam waktu 40 menit sejak kami naik ke pesawat, pesawat sudah mengudara. Beda sekali rasanya seat first class dan business class. Dalam dua jam, aku belum juga bosan. Menu makanan yang ditawarkan pun enak-enak. Minuman alkohol pun ada. Film lebih update. Fasilitas wi-fi pun tersedia. Dua jam setengah setelah pesawat mengudara, aku mulai berpikir tentang apa yang akan kami hadapi di Shanghai.

"Yun, tegang?" Kataku.

"Lumayan, pak." Kata Yuna.

"Pertama kalinya?" Tanyaku.

"Begitulah, pak." Kata Yuna.

"Kamu takut kalo gak bisa balik?" Tanyaku.

"Gak seberapa takut sih pak." Kata Yuna.

"Jadi, apa yang bikin kamu tegang?" Tanyaku.

"Takut nggak bisa ngelindungin bapak." Kata Yuna.

"Precisely Yun, sejujurnya aku lebih takut gak bisa ngelindungin kamu daripada gak bisa ngelindungin diri sendiri." Kataku.

"Aku mah nggak perlu dilindungin pak. Aku ini kan bertugas untuk ngelindungin bapak." Kata Yuna.

"Gak bisa gitu Yun. Kamu ikut sama aku untuk nemenin aku, kamu juga jadi prioritas utamaku yang harus aku lindungin. Kalo seorang pemimpin gagal melindungi apa yang harus dia lindungi, dia harus mundur sebagai pemimpin. Begitulah kata seseorang." Kataku.

"Kalau begitu pak, aku mohon. Jangan sekali-kali bapak berkorban demi aku. Bukan aku yang harus bapak lindungi, tapi keinginanku lah yang harus bapak lindungin. Keinginanku adalah agar bapak bisa sampai dengan selamat kembali ke rumah." Kata Yuna.

"Kenapa kamu begitu pengen ngelindungin aku, Yun?" Tanyaku.

"Itu adalah pekerjaan aku." Kata Yuna.

"Itu aja?" Tanyaku.

Yuna tidak menjawab. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya sambil menghela napas. Ia memencet tombol pramugari, dan dalam waktu beberapa detik saja, pramugari sudah mendatanginya.

"Can I have two glasses of red wine, please? (Bolehkah aku meminta dua gelas wine merah?)" Kata Yuna.

Pramugari itu tersenyum. Ia segera meninggalkan kami, dan kembali lagi dalam waktu beberapa saat membawa dua gelas wine merah. Yuna mengambil gelas yang pertama, dan memberikannya kepadaku, kemudian gelas yang kedua dia ambil untuk dirinya.

"For you. (Untuk dirimu)" Kata Yuna sambil mengulurkan gelasnya kearahku untuk mengajak toast.

"For you. (Untuk dirimu)" Kataku sambil mengetukkan gelasku ke gelasnya, dan kemudian kami saling meminum wine merah itu.

Setelah itu, Yuna mengambil selimutku, dan memakaikannya padaku. Ia juga mengatur posisi tempat dudukku agar nyaman untuk tidur.

"Untuk sekarang ini, bapak tidur aja. Takutnya nanti kita butuh banyak tenaga." Kata Yuna.

"Kamu juga, Yun." Kataku.

"Aku gampang. Aku lagi susah tidur." Kata Yuna.

"Oh gitu. Ya udah aku temenin kamu deh." Kataku.

"Lho? Kok bapak nemenin aku? Bapak mah harus tidur. Aku gak-apa apa kok." Kata Yuna.

"Kamu mungkin gak-papa. Tapi berdua lebih baik kan daripada sendiri." Kataku.

"Gini aja. Kamu pengen tidur, ato pengen terjaga?" Tanyaku.

"Pengennya sih tidur." Kata Yuna.

Aku segera mengatur posisi dudukku dengan lebih tegak, sementara aku menarik pundak Yuna agar kepalanya bisa bersandar di pundaku. Lalu aku mengelus-elus rambut di sekitar dahinya.

"Tar lama-lama juga tidur." Kataku sambil tetap mengelus-elus rambutnya.

"Bapak bisa aja. Makasih ya pak." Kata Yuna, sambil mulai memejamkan matanya.

Dalam 10 menit saja, aku rasakan ia sudah tertidur pulas. Hahaha hebat juga aku ini bisa membuat wanita yang ngakunya susah tidur jadi pulas beneran, pikirku dengan sombong. Aku melihat navigasi peta pesawat di layar yang ada di kursiku. Tinggal dua jam 43 menit sebelum mendarat. Lebih baik aku tidur saja, sambil menanti apa yang akan menantiku di Shanghai nanti.

Aku dan Yuna dibangunkan dengan suara pilot, yang mengatakan bahwa kami akan mendarat dalam kurang lebih tiga puluh menit. Aku membuka kaca pesawat, dan kulihat matahari sudah terbit. Jam waktu setempat menunjukkan pukul 06.37. Masih ada tiga puluh menit, kugunakan saja untuk meditasi. Aku meditasi selama dua puluh menit, dan tujuh menit setelahnya, pesawat pun mendarat. Aku melihat sekeliling area bandara Shanghai melalui kaca pesawat. Hmmm... Sepertinya kota dimana aku akan bertemu dengan client perusahaanku ini boleh juga. Aku sudah menduga bahwa pertemuanku dengan client perusahaanku tidak akan berjalan dengan mulus. Tapi yang tidak kuduga adalah, bahwa di tempat ini, aku akan kehilangan hal-hal yang sangat berarti bagiku.

BERSAMBUNG KE EPISODE-6
 
EPISODE 6 : Orkestra

Kami telah melewati imigrasi negara Cina di bandara Shanghai. Yah untungnya cukup mudah prosesnya, aku sempat takut dengan visa kami sih. Setelah melewati imigrasi, kami melewati bagian klaim bagasi. Karena duduk di first class, bagasi kami keluar dalam jajaran bagasi-bagasi pertama. Wah, menyenangkan sekali pokoknya duduk di first class ini. Setelah keluar ke area penjemputan, aku melihat banyak orang yang memegang papan bertuliskan nama, ada yang menggunakan huruf alfabet, dan ada yang menggunakan hanzhi. Aku dan Yuna berjalan kearah luar. Sesampainya diluar, ada orang berambut keriting memakai jas abu-abu dan kacamata hitam mendatangi kami.

"Did you come from Indonesia? (Apakah kalian datang dari Indonesia?)" Tanya orang itu.

Aku tidak langsung menjawab, melainkan mengingat-ingat email yang diberikan oleh Bu Novi setelah kami makan siang bersama kemarin lusa.

"Yes. But our origin remains dark in the depth of the mystery." Jawabku.

Orang itu langsung mempersilakan kami untuk mengikutinya. Rupanya menuju kendaraan yang tidak jauh terparkir dari tempat kami berbicara tadi. Mobilnya model sedan, hanya saja aku tidak tahu model apa itu karena tidak pernah kulihat di Indonesia. Pria itu membukakan pintu belakang untuk aku dan Yuna masuk. Setelah kami berdua masuk, pria itu menutup pintu belakang tempat kami duduk, kemudian masuk ke area kemudi. Ia menyalakan mobilnya, dan langsung jalan keluar dari bandara. Sepanjang perjalanan, kulihat Shanghai ini kota yang cukup modern, seperti Jakarta, hanya saja sepertinya lebih metropolitan. Banyak gedung tinggi dimana-mana. Karena masih dalam jam kantor, jalanan sedikit macet. Aku melihat ke arah Yuna, disamping kanan tempatku duduk. Matanya fokus ke depan, tidak terpancar ketegangan sama sekali, namun ia tidak lengah. Aku mencolek kakinya agar ia melihat ke wajahku.

"(Bawa senjata?)" Tanyaku tanpa mengeluarkan suara.

Yuna mengangkat baju bagian bawahnya, dan terlihat bahwa ada pistol dan pisau yang diikatkan di pahanya.

"(Bapak?)" Tanya Yuna tanpa mengeluarkan suara.

Aku hanya menggeleng saja sambil tersenyum. Yuna pun ikut tersenyum sambil menganggukan kepalanya. Mobil yang kami kendarai terus menembus kemacetan. Dalam waktu yang tidak kuketahui karena aku tidak melihat jam sama sekali, kami sampai juga di Park Hyatt Shanghai. Kami pun turun dari mobil, begitu juga dengan pria yang mengendarai mobil. Ia hendak membantu Yuna menurunkan kopernya, tapi langsung dicegah olehnya. Bagus Yuna, jangan membiarkan orang lain menyentuh kopermu. Kita berurusan dengan underground business, bukan bisnis biasa. Sebisa mungkin cegahlah interaksi dengan orang asing, apalagi di negara orang. Setelah koper kami turun semua, pria itu berpamitan dengan kami, kemudian masuk ke mobil dan pergi. Aku dan Yuna masuk ke hotel, langsung menuju resepsionis.

"Good morning, sir. May I help you? (Selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?)" Tanya wanita di resepsionis berkulit putih dan bermata sipit.

"Well, I have a reservation here. Check in today. I wonder if I can get an early check in? (Saya punya pemesananan di hotel ini. Cek in hari ini. Bisakah saya dapat cek in lebih awal?)" Tanyaku sambil memperlihatkan smartphone-ku.

Wanita itu mengambil smartphone-ku, kemudian mengecek layar komputernya sambil tetap melihat smartphone-ku. Setelah ia sepertinya menemukan reservasiku, ia terlihat kagum.

"(bla bla bla bla bla)..." Kata wanita itu dalam bahasa Mandarin, yang sepertinya terlihat sangat girang.

"(cang cing cung ceng cong)..." Kata Yuna yang juga berbicara dengan bahasa Mandarin.

"(cong wing cong wing)..." Kata wanita itu sambil menunjukkan telapak tangannya, mengisyaratkan untuk menunggu. Kemudian wanita itu kembali mengecek komputernya.

"Dia bilang, apakah kita juga ikut dalam acara orkestra nanti malam. Kemudian aku jawab, iya kita sudah memesan tiketnya juga untuk orkestra nanti malam. Terus dia minta kita untuk tunggu sebentar, mau dibuatkan kunci kamarnya." Kata Yuna.

"Wah, berarti kita boleh early check in dong?" Tanyaku.

"(wang wong wing weng)..." Kata Yuna kepada wanita resepsionis itu dalam bahasa Mandarin.

"(seeh seeh)..." Kata wanita resepsionis itu.

Kemudian Yuna mengangguk kepadaku sambil tersenyum. Lumayan deh, paling tidak di kamar mendingan. Disini soalnya aku bingung mau kemana.

"(bong bing bung bong beng)..." Kata wanita resepsionis itu.

"Mao bed yang twin ato double, pak?" Kata Yuna.

"Double aja, biar tidur bisa goler-goler." Kataku.

"(cong cong)..." Kata Yuna kepada wanita resepsionis itu.

Tidak lama kemudian, wanita resepsionis itu memberikan kunci kartu kamar kepadaku. Aku melihat angka 8701 tertera di tempat pembungkus kartu itu, lantai 87 ya. Aku dan Yuna segera naik ke lift untuk ke lantai 87.

"Kamu lantai berapa Yun?" Tanyaku.

"Lantai 87 sama kaya bapak." Kata Yuna.

"Oke lah." Kataku.

Dalam sekejap, kami sudah sampai di lantai 87. Hotelnya ini unik juga. Jadi kami berada di sebuah gedung yang sangat tinggi. Hotelnya itu sendiri berada di gedung lantai 79 – 93 kalau tidak salah, aku tidak begitu memperhatikan. Sesampainya di lantai 87, aku dan Yuna keluar dari lift dan menuju kamarku. Aku mengikuti papan petunjuk hingga sampai di kamarku.

"Nah, ini kamarku Yun. Kamar kamu dimana?" Tanyaku.

Yuna hanya menjawab dengan menunjuk jari telunjuknya kearah kamarku.

"Maksudnya?" Tanyaku heran.

"Aku juga tidur disini pak." Kata Yuna.

"Hah? Seriusan?" Tanyaku lebih heran lagi.

Yuna hanya mengangguk. Yang benar saja, masa aku tidur satu kamar dengan wanita yang bukan istriku. Mana tadi aku minta kasurnya double bed, bukan twin bed. Tahu begini sih aku minta twin bed saja.

"Ingat dong pak? Aku disini bukan sekretaris biasa. Aku juga merangkap sebagai pelindung bapak. Tugas melindungi lebih mudah dijalankan jika kita selalu deket." Kata Yuna.

Yaah, emang betul aku agak lega sih mendengar ucapannya. Aku juga merasa lebih mudah melindungi Yuna jika kita dekat satu sama lain. Tapi harus sekamar dengan wanita yang bukan istriku itu loh. Ah, ya sudah lah, toh istriku juga main belakang, tidak perlu repot-repot menjaga perasaannya.

"Oke lah Yun. Yuk masuk." Kataku sambil mempersilakan dia masuk duluan.

Sesampainya di kamar, aku dan Yuna meletakkan koperku di tempat koper. Aku langsung membuka dasi, jas, dan sepatuku. Yuna pun ikut melepaskan sepatunya, dan setelahnya ia mengitari seluruh ruangan sambil mengecek-ngecek setiap spot di tembok dan di perabotan dengan sangat detail. Kemudian dia juga mengeluarkan smartphone-nya, dan mengarahkan ke seluruh sisi ruangan.

"Aman Yun?" Tanyaku.

"Kayaknya sih aman pak." Jawab Yuna.

Kamarnya sih bagus sekali. Model suite room. Ranjang double bed ukuran king yang terletak di tengah ruangan menghadap ke jendela yang sangat besar dengan gorden dan vitras yang besar juga. Di sisi kanan kamar, terdapat sofa bed ukuran besar yang sangat nyaman, menghadap kearah ranjang. Disebelah sofa bed terdapat meja kerja dan kursi yang nyaman. Disebelah meja kerja, terdapat lemari pakaian yang besar. Antara ranjang dan tempat tidur dipisahkan oleh sebuah sekat, dimana dibalik sekat tersebut terdapat ruang gerak yang cukup untuk tiga orang. Dibelakang ruang gerak adalah kamar mandi yang terbagi menjadi tiga sekat, yaitu toilet, bathtube yang sudah mendukung jacuzzi, dan shower. Dan... ruang kamar mandinya bening semua, which means kalau aku lagi mandi, Yuna bisa melihatku dengan jelas, begitu juga sebaliknya. Kamar yang sangat nyaman, jauh lebih nyaman dari kamarku tentunya. Jam sudah menunjukkan pukul 09.45 waktu Shanghai. Aku segera merebahkan diriku di sofa bed yang nyaman itu. Waktu aku merebahkan diri, aku melihat Yuna sempat berjalan kearah sofa bed ini, dan tiba-tiba berhenti saat aku menyandarkan diri.

"Kenapa Yun?" Tanyaku.

"Oh, nggak. Nggak kenapa-kenapa pak." Jawab Yuna.

Kemudian, dia duduk di kursi meja kerja yang ada disamping sofa bed tempatku tiduran. Aku baru menyadari, rupanya dia mau tiduran di sofa bed ini, tapi melihat aku tiduran disini, dia jadi menghentikan langkahnya.

"Kalo mao tiduran, tuh di ranjang aja Yun." Kataku.

"Ah, nggak lah pak. Masa aku tidur di ranjang. Itu kan ranjang untuk bapak." Kata Yuna.

"Santai aja lagi. Lagian kamu aja yang tidur di ranjang, aku tidur di sofa bed aja." Kataku.

"Lho, kenapa gitu pak?" Tanya Yuna dengan heran.

"Lho, kenapa ga gitu Yun?" Tanyaku balik.

"Ya, bapak kan sudah sepantesnya dapet yang nyaman. Aku mah udah kebiasa pak tidur di lantai. Malah tidur di kursi meja ini udah enak banget pak." Kata Yuna.

"Yaudah, kalo gitu kesempatan kamu nih buat tidur di tempat yang nyaman." Kataku.

"Gak lah pak. Aku ini cuma sekretaris, gak pantes dapet yang lebih nyaman dari bapak." Kata Yuna.

Aku sedang tidak mau berdebat. Sehingga aku langsung berdiri dari sofa bed ini, kemudian menarik Yuna dari kursi tempat ia duduk, dan mengangkat tubuhnya, lalu membaringkan dia di ranjang. Yuna terlihat amat kaget dengan perlakuanku itu.

"Kalo gak ada kamu, mungkin aku sudah mati bosan selama perjalanan dari rumah kemarin hingga sampai sini. Kalo gak ada kamu, aku kemarin gak mungkin bisa cuti dengan tenang karena gak ada yang ngurusin rapat harian dan Project Management di X-Ray. Kalo gak ada kamu, aku gak akan se-rileks ini memikirkan apa yang akan aku hadapi di Shanghai ini. Jadi, jangan kamu ngerendahin diri kamu dengan bilang kamu cuma sekretaris aku. Aku memang wakil direktur, dan kamu sekretaris aku, maaf sekretaris elit. Tapi, aku ga pernah nganggep kamu lebih rendah dari aku, begitu juga dengan orang lain, siapapun itu baik bawahanku maupun orang lain. Teteplah sebagai manusia, kita sederajat. Paham gak?" Tanyaku dengan tegas.

"Aku udah tau pak, bapak memang seperti itu. Selalu menganggap kita-kita yang ada dibawah ini sederajat dengan bapak, padahal bapak ini wakil direktur, yang posisinya amat tinggi di perusahaan. Tapi tetep aja pak, sekretaris elit itu harus selalu ada dibawah pemimpinnya. Kita ini bisa dibilang cuma robot pak, yang udah punya satu set instruksi yang harus kita jalanin." Kata Yuna.

"Kalo gitu, selama kamu kerja sama saya, jadilah manusia, dan jadilah sederajat dengan pemimpinmu." Kataku sambil kembali berbaring di sofa bed.

Yuna tidak menjawab. Aku melihat dia hanya menatap ke langit-langit, entah apa yang dipikirkannya. Aku segera menyalakan TV yang letaknya ada di arah jam sebelas dari ranjang. Aih, seperti yang kutakutkan, bahasa mandarin semua programnya. Pada akhirnya, aku menemukan channel yang sepertinya menayangkan film action buatan Cina. Ya nonton tembak-tembakan dan berantem-beranteman saja, walau tidak mengerti alur ceritanya. Yuna sesekali tersenyum melihat suatu adegan di film. Dia sih enak, mengerti bahasa Mandarin. Sesekali pun ia tertawa kecil. Aku sangat ingin bertanya apa sebetulnya yang terjadi dalam film itu. Tapi aku tidak enak, pasti dia harus menjelaskan dari awal jika aku bertanya. Aku melihat undangan untuk acara orkestra di hotel ini, tertera jam 17.30. Yaah masih lama sekali.

Kami menghabiskan waktu di kamar hotel. Nonton, makan siang, tidur siang cukup lama karena aku dan Yuna kurang tidur. Kami terbangun pukul 16.00 waktu Shanghai. Yuna pun bangun dari tempat tidurnya, dan membuka lemari pakaian. Yuna seolah-olah melihat sesuatu didalamnya, dan berpikir selama beberapa detik. Kemudian, ia mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam lemari itu. Dua buah gantungan baju lengkap dengan satu set baju yang tergantung. Dia memberikan satu gantungan baju kepadaku. Hmmm, kemeja lengan panjang hitam, jas biru metalik, dasi emas, dan celana bahan biru metalik. Haah, bukan gayaku sekali ini sih. Aku suka biru, tapi serba biru metalik begini sih membuatku merasa seperti penghibur panggung. Sementara satu gantungan baju yang masih dipegang oleh Yuna adalah baju terusan model cina berwarna biru metalik.

"Bapak mandi duluan aja." Kata Yuna.

"Kamu makeup ga?" Tanyaku.

"Tidak pak." Kata Yuna.

Wuih, aku cukup kaget dia tidak makeup. Memang sih semenjak berangkat dari rumah kemarin pada saat kujemput sampai sekarang, ia tidak makeup sama sekali, dan wajahnya masih sama seperti biasanya. Tidak makeup saja sudah membuat wajahnya identik seperti penyanyi Korea yang pernah disebutkan oleh Yuna itu. Entah dia ini beruntung atau memang dia menjalani perawatan lain yang bukan makeup.

"Kalau begitu aku saja yang mandi duluan. Make peralatan cowok lebih lama, ini peralatannya lengkap banget abisnya. Jadinya setelah aku mandi, kamu bisa mandi selagi aku memakai perlengkapan yang banyak ini. Paling tidak save waktu satu-dua menitan lumayan lah. Gimana?" Kataku.

"Oke pak." Kata Yuna.

Aku segera menuju kamar mandi. Sampai kamar mandi, aku mengambil handuk yang telah disediakan, dan langsung menuju ruang shower. Ah, lumayan segar juga. Aku mandi air hangat agar otot-ototku lebih rileks, disusul dengan air dingin untuk mendinginkan kulitku yang tadi terkena air hangat. Menurut yang kubaca, air dingin memang bisa membuat otak lebih rileks. Aku pun merasakan hal itu, entah itu memang betul atau hanya sugesti saja. Setelah mandi, aku membungkus tubuhku dengan handuk, dan keluar dari kamar mandi. Aku kurang suka memakai parfum, jadinya aku tidak memakai wewangian apapun. Aku mengambil kaos dalam dan celana dalam dari dalam koperku dan memakainya. Saat aku hendak mengambil satu stel pakaian yang sudah disediakan, ternyata Yuna sudah menungguku. Ia sedang membuka kemeja lengan panjang hitam untukku itu dengan cepat, dan langsung memakaikannya padaku. Setelah itu, ia langsung berdiri di depanku dengan sigap dan mengancing seluruh kemeja hitam yang kini kukenakan. Lalu, ia memakaikan dasi emas itu. Handal sekali ia membuat simpul dasi, dan hasilnya pun rapi, jauh lebih rapi daripada simpul buatan si Erna bangsat itu. Kemudian, ia membuka seleting celana bahan biru metalik, dan langsung berjongkok di hadapanku, dan memakaikan celana biru metalik itu ke kakiku. Saat ia berjongkok, aku melihat baju terusan merah yang masih ia kenakan dari kemarin itu sedikit terbuka, sehingga aku bisa melihat buah dada dan BH nya. Ajiibb, putih banget, dan buah dadanya terlihat cukup bulat dari atas. Bagian tengah dan bawahnya masih ditutupi oleh BH merahnya. Haishh, ini bukan waktunya memikirkan itu. Setelah selesai memakaikan celana bahan biru metalik itu kepadaku, ia langsung mengikatkan ikat pinggang ke celana bahan yang kukenakan itu. Gila, mungkin tidak sampai satu menit dia memakaikan semuanya padaku. Kemudian ia dengan rapi melipat jas biru metalik yang sudah disediakan itu, dan meletakannya di ranjang.

"Aku mandi dulu ya pak." Kata Yuna seraya menuju kamar mandi.

Sambil menunggu Yuna mandi, aku melihat-lihat menu mini bar di kamar. Tanpa sengaja, aku melihat kearah kanan, dan tampaklah pemandangan indah. Yuna sedang membuka baju terusan merah yang ia kenakan dari kemarin itu, hanya saja ia sedang membelakangiku. Tampaklah punggungnya dan perut bagian belakangnya yang cukup ramping, dan juga pantatnya yang bulat. Kemudian ia berjalan kesamping untuk menuju ruang shower. Dari tampak samping, aku bisa melihat buah dada kanannya yang bulat, padat, dan kencang. Putingnya pun sedikit terlihat, berwarna merah muda, tidak terlalu kecil namun tidak terlalu besar. Sepertinya kemaluannya ditumbuhi oleh rambut-rambut, tapi aku tidak tahu seberapa lebatnya, karena dari samping hanya terlihat sekilas. Aku langsung mengalihkan pandanganku.

"Istiqfar istiqfar..." Kataku sambil mengucapkan kata-kata yang sebetulnya bukan dari keyakinanku. Aku tidak terlalu peduli dengan tata cara dari keyakinan yang berbeda, selama artinya ditujukan berdasarkan Ketuhanan yang agamaku percayai, kenapa tidak boleh dilakukan?

Selang beberapa menit, aku mendengar pintu kamar mandi dibuka, dan suara langkah kaki pun keluar dari kamar mandi. Aku yakin saat ini Yuna hanya memakai handuk saja, dan mungkin malah tidak memakai apapun. Aku sengaja menguatkan diriku untuk tidak menoleh kebelakang. Sraagg sreegg sraagg srreeegg... Aku mendengar suara seperti seleting yang terbuka dan suara pakaian yang dilepaskan ataupun dipakai.

"Kita mao nunggu ato turun duluan pak?" Tanya Yuna.

"Tunggu sebentar dulu. Jam lima lebih kita baru turun Yun. Jangan sampai kita datang paling pertama, jaga-jaga saja. Kalaupun ada yang berniat mencelakakan kita, paling tidak ia akan sedikit kesulitan jika banyak orang." Kataku.

"Oke pak." Kata Yuna.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya jam menunjukkan pukul 17.06 waktu Shanghai. Aku segera berdiri dari sofa bed yang tadinya kududuki, dan mengambil jas biru metalik yang sudah dilipat dengan rapi oleh Yuna di ranjang. Yuna pun sudah siap menunggu dihadapanku. Wajahnya masih seperti biasa, rambutnya sedikit lebih rapi karena sudah disisir, dan baju terusan biru metalik ala Cina yang melekat ditubuhnya tampak cocok sekali dengannya. Yah aku akui, Yuna pada dasarnya memang cantik, tampak identik sekali dengan penyanyi Korea yang bernama... aku sudah lupa namanya. Nama orang Korea itu susah-susah semua. Aku pun berjalan kearah pintu, dan membuka pintunya. Yuna segera menyusulku setelah mengambil kartu kunci kamar. Kami berdua segera menuruni lift untuk menuju tempat yang sudah dituliskan di undangan itu.

"Ready yourself, Yuna. (Persiapkan dirimu, Yuna)" Kataku.

Yuna hanya mengangguk pelan.

"Stay close to me. (Jangan jauh-jauh dariku.)" Kata Yuna.

"You too. Don't take a reckless action. (Kamu juga. Jangan mengambil tindakan yang gegabah.)" Kataku.

Lift pun terbuka, dan kami sudah ada di lobby tempat kami lapor check-in di resepsionis tadi pagi. Yuna pun bertanya pada resepsionis mengenai arahan untuk ke tempat yang dituliskan di undangan. Setelah selesai, Yuna kembali kearahku, dan ia memimpinku untuk jalan ke tempat yang dituliskan di undangan. Setelah jalan berliku-liku, naik-turun tangga, belok kanan dan kiri, akhirnya kami sampai pada suatu pintu yang sangat besar dan sudah terbuka. Aku bisa mendengar, didalam ruangan dibalik pintu besar itu sudah sangat ramai dengan khalayak orang banyak. Aku melihat ke Yuna, dan menganggukan kepalaku. Yuna pun menganggukan kepalanya juga, dan kami berdua masuk ke dalam ruangan itu. Sesaat setelah kami melewati pintu besar itu, aku langsung merasakan aura membunuh yang sangat besar. Hanya saja, karena tercampur dengan aura banyak orang, aku tidak tahu apakah aura membunuh itu ditujukan kepada kami, ataukah kepada yang lain. Aku dan Yuna langsung saling bertatapan, menandakan Yuna pun menyadari pancaran aura membunuh yang besar itu. Aku melihat nomor kursiku dan Yuna yang tertera di undangan itu. T-16 dan T-17, cukup jauh dari kursi C-4 yang dikatakan oleh Bu Novi. Ruangan ini dibentuk seperti ruangan untuk pertunjukan orkestra opera. Ada dua tingkat, dengan panggung diujung depan bagian tengah, sementara kursi penonton mengelilingi panggung tersebut dari tiga sisi. Kursi kami berada di tingkat dua, dan berhadapan langsung dengan panggung. Tidak lama kemudian, ruangan ini pun sudah sangat penuh dengan orang. Mungkin jumlahnya ribuan. Kurasakan aura membunuh yang tadi belum juga hilang, hanya tercampur dengan aura orang lain, sehingga semakin sulit untuk dirasakan. Lima menit kemudian, lampu-lampu ruangan dimatikan, menyisakan lampu di panggung saja. Seorang presenter muncul dari balik panggung.

"(Wong cing cung ceeng cong)..." Kata presenter itu.

"Selamat sore semuanya. Terima kasih sudah jauh-jauh datang untuk menikmati acara pertunjukan ini. Dalam hitungan detik, acara akan segera dimulai. Selamat menikmati." Kata Yuna, menerjemahkan presenter itu.

Setelah presenter itu mundur ke balik panggung, segerombolan orang yang membawa alat musik muncul dari balik panggung. Aku tidak mengerti alat musik secara detail, tapi kulihat seperti ada saxophone, biola, dan beberapa alat musik yang tidak kukenali bentuknya. Lalu, seorang yang sepertinya bertindak sebagai dirigen maju, dan semuanya membungkukkan badan kearah penonton. Kemudian dirigen itu berbalik badan, dan mulai menggerakan kedua tangannya yang memegang stik untuk dirigen (aku tidak tahu apa nama stik itu). Dalam sekejap, musik opera pun dimulai.

Satu jam telah berlalu, dan musik opera itu belum juga selesai. Aku tidak terlalu menikmati pertunjukkan musik sebetulnya. Aku lihat Yuna tetap fokus menonton pertunjukkan ini, entah dia memang menikmati atau sedang mencermati sesuatu. Aku tidak mengerti kenapa Bu Novi menyuruhku menonton pertunjukkan ini. Dalam sekejap aku mendapatkan jawabannya, agar aku mendapatkan tiket pertunjukkan ini, dan aku bisa masuk ke dalam ruangan ini setelah orang bubar, tanpa dicurigai karena aku membawa tiket yang sudah dicap tanda masuk. Aura membunuh yang tadi kurasakan sudah hilang. Entah orang yang memancarkannya sudah keluar dari ruangan, atau ia terpana dengan pertunjukkan musik ini. Sepertinya memang terpana dengan pertunjukkan musik ini, karena benar-benar hilang tanpa jejak. Harusnya jika memang sudah keluar dari ruangan, jejak aura nya tetap ada. Karena aku memang orangnya tidak suka kesenian, aku tidak tahu sih bagaimana caranya menikmati pertunjukkan ini. Akhirnya yang kutunggu-tunggu selesai. Musik berhenti, dan seluruh personel membungkukkan badan kearah penonton. Setelah seluruh personel itu menghilang di balik panggung, presenter yang sama seperti yang tadi kembali muncul dari balik panggung.

"(Wuceng shang shingg shung sheng shoongg)..." Kata presenter itu.

"Terima kasih telah menyaksikan acara pertunjukkan ini. Acara pertunjukkan sudah selesai. Sekarang kami mempersilakan para tamu untuk keluar menuju ruangan baihu untuk menikmati hidangan yang telah disediakan." Kata Yuna.

Tepuk tangan penonton meledak di seluruh ruangan ini. Beberapa penonton pun mulai berdiri untuk meninggalkan kursinya, diikuti dengan penonton yang lainnya. Aku lihat jam, jam sudah menunjukkan pukul 19.11 waktu Shanghai. Aku dan Yuna tetap duduk ditempat, menunggu setiap orang keluar. Aku melihat sekeliling. Pintu darurat berada di belakang kami, ujung kiri dan kanan kami.

"Yun." Kataku sambil berdiri dari tempat duduk, diikuti Yuna yang juga ikut berdiri.

Kami berbaur dengan orang-orang yang mengantri tangga turun ke tingkat satu untuk keluar dari ruangan. Tangga turun itu berada di dekat pintu darurat. Setelah dekat dengan pintu darurat, dan memastikan dibelakang tidak ada orang yang melihat, aku langsung masuk dengan cepat ke pintu darurat itu, disusul oleh Yuna yang menutup pintu darurat itu dengan cekatan sehingga tidak timbul suara. Di tangga darurat ini untungnya tidak ada siapa-siapa, sehingga kami tidak akan dicurigai. Aku menunggu, kira-kira satu jam lamanya. Aku membuka pintu darurat kembali menuju ruang pertunjukkan tadi, dan melihat bahwa ruangan sudah gelap, tidak ada orang. Aku dan Yuna berjalan menyusuri ruangan ini, untuk menemukan kursi yang dicari, yaitu C-4. Aku yang sudah dilatih survival oleh perusahaan, dimana pelatihan ini termasuk dari program kantor, langsung bisa membiasakan mataku dengan kegelapan ini. Aku lihat Yuna pun tidak ada masalah dengan kegelapan ini. Aku berjalan dengan pelan, menuruni tangga menuju tingkat satu. Sesampainya di tingkat satu, kami berjalan menyusuri tingkat satu, dan telah sampai di blok kursi C, tinggal menemukan kursi C-4. Tidak sampai sepuluh detik, aku sudah menemukannya. Yuna langsung mencari-cari kursi tersebut, sementara aku berjaga. Beberapa detik kemudian, Yuna mencolek kakiku, dan menggelengkan kepalanya, tanda tidak menemukan apapun. Hmmm, aneh. Apa mereka sudah menemukan istruksi nya terlebih dahulu? Aku mencoba duduk untuk berpikir. Saat duduk, aku mendengar bunyi yang aneh. Klek. Hmm? Aku kemudian berdiri lagi, dan duduk. Klek. Suara itu berasal dari arah kanan belakang kursi ini. Kemudian aku melongok ke kolong kursi mencari-cari penyebab suara itu. Jika aku duduk, suara itu timbul, pastilah berasal dari kaki kursi. Seluruh lantai ruangan ini dilapisi dengan karpet. Aku mengangkat memindahkan kursi itu sedikit ke kiri, dan Yuna pun langsung merobek karpet yang tadinya ditindih oleh kaki kursi kanan belakang. Hmmm, apa yang ada dibawah segmen karpet yang kecil ini... sebuah cermin yang menempel di lantai. Aku berpikir sejenak. Entah kenapa aku merasa cermin kecil ini bertanya kepadaku darimanakah aku berasal. Aku merasa pernah ditanya ini sebelumnya, dimana ya? Aku berpikir lagi, dan akhirnya aku ingat. Email Bu Novi yang berisikan kode yang harus kusampaikan kepada penjemput kami di Shanghai.

"Did you come from Indonesia?

Yes. But our origin remains dark in the depth of the mystery."

Begitulah email itu bertuliskan. Aku sejenak berpikir. Our origin remains dark in the depth of the mystery (Asal muasal kita tetap tidak jelas didalam misteri). Misteri apakah yang dimaksud disini? Misteri terdalam dalam hidup kita adalah otak kita, menurutku. Otak.. otak... otak... Tunggu. Aku tiba-tiba teringat pernah melihat gambar otak dalam waktu dekat ini, ya... kemarin di taksi! Kemarin aku melihat gambar otak disuatu tempat. Dimana ya? Aku mulai mengingat-ingat kapan aku melihat gambar otak tersebut. Hmm, sesaat sebelum aku melihat rekaman live perselingkuhan Erna bangsat itu. Di smartphone-ku kah? Aku membuka smartphone-ku, dan memang di page paling terakhir, aku melihat ada aplikasi yang terinstall di-smartphone-ku, dengan gambar icon otak. Waktu itu aku berpikir bahwa itu adalah aplikasi game yang diinstall oleh Erna bangsat itu. Aku melihat detail dari aplikasi itu, dan aku mendapatkan bahwa aplikasi tersebut diinstall kemarin jam 04.23 dengan account Bu Novi. Rupanya dia mengambil smartphone-ku dan menginstall aplikasi tersebut dengan account miliknya. Aku buka aplikasi tersebut, namun aplikasi itu hanya memutar campuran spektrum warna-warna yang tidak beraturan. Kucoba kuhadapkan pada cermin itu, sehingga aku bisa melihat bayangan layar smartphone-ku di cermin itu. Spektrum-spektrum warna di layar smartphone-ku mulai bergerak, gerakannya sangat teratur, hingga akhirnya membentuk tulisan "20481 33096 11451". Teka-teki lagi kah? Hmmm, kumpulan tiga angka, sebuah ruangan berbentuk persegi yang besar. Familiar sekali rasanya. Aku ingat Lina pernah meng-handle proyek untuk satuan khusus operasi rahasia dari Rusia. Aplikasi sederhana untuk merekam bentuk ruangan, dan menjadikannya area tertutup, sehingga bisa mendapatkan koordinat dari posisi kita berdiri. Aha, itu dia, tiga angka itu adalah koordinat. Untungnya aplikasi tersebut pun ter-install di smartphone-ku. Aku menyalakan aplikasi tersebut, merekam ruangan ini, dan mendapati bahwa aku berada di koordinat yang sangat dekat dengan tiga angka yang ditunjukkan. Hmmm, untuk menyembunyikan sesuatu, sembunyikanlah di tempat yang paling terlihat oleh mata penonton, karena penonton pasti akan selalu berusaha melihat ke tempat yang tersembunyi.... kutipan dari pesulap yang kutonton waktu kecil. Akhirnya, aku dan Yuna sampai di koordinat yang ditunjukkan tersebut, dan dihadapanku adalah sebuah kursi penonton, D-1. Aku mengamati kursi tersebut, dan aku mendapati cermin yang sama seperti tadi tertempel diatap kursi bagian bawah. Kubuka kembali aplikasi otak tadi, dan kudekatkan pada cermin itu. Kali ini, cermin tersebut jatuh ke lantai bersama dengan suatu kotak. Haah, untuk mendapatkan instruksi ini saja, sulit sekali rasanya. Aku membuka kotak tersebut, dan menemukan satu kotak lagi serta sebuah memo bertuliskan,

"The next meeting place is hidden inside the inner box. Don't lose it! (Tempat pertemuan selanjutnya tersembunyi di kotak dalam. Jangan sampai hilang!)"

Aku segera menyimpan kotak itu didalam saku jasku. Tiba-tiba, aku merasakan aura membunuh yang amat besar, arahnya dari belakangku. Aku langsung menarik kursi D-2 dan memposisikannya sebagai barikade untukku dan Yuna. Clep...clep... Aku mendengar sesuatu dari balik kursi yang kujadikan barikade tersebut. Aku dan Yuna segera menunduk dan menarik kursi yang kujadikan barikade tersebut. Dua buah jarum melekat pada kursi tersebut. Yuna mencabut jarum itu, mencium bau di ujung jarum.

"Isofluran." Bisik Yuna.

Isofluran, kalau tidak salah obat bius anestesi untuk bius total. Hmmm, mau membius kami ya? Kemudian, Yuna mengambil sesuatu dari balik baju bagian bawahnya. Tiga buah pisau kecil. Lalu ia segera berlari kearah depanku sambil tetap merunduk, kemudian meloncat ke kursi yang ada di depannya, dan meloncat salto ke udara kerahku. Di udara, ia melemparkan tiga pisau itu kearah tembakan jarum tadi berasal. Yuna mendarat didepanku. Wuss wuss, tedengar sesuatu melesat diatasku.

"Lima orang, tinggal dua." Bisik Yuna.

Hmmm, berlari sambil merunduk agar lawan tidak bisa mengetahui posisinya. Sengaja lompat ke kursi dulu agar perhatian lawan tertuju kepada arah bunyi yang ditimbulkan oleh pendaratan kakinya di kursi, sehingga bidikan otomatis menjadi kurang akurat. Loncat salto ke udara, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang berapa jumlah musuh dan posisi mereka. Memanfaatkan kelengahan sementara musuh karena sibuk merubah bidikan karena tiba-tiba, untuk menutupi kekurangan susahnya bergerak di udara, untuk melemparkan pisau. Segaja lompat kearahku, agar membuat bidikan lawan semakin susah untuk mengenai dirinya, dan juga agar langsung bisa melapor situasi kepadaku. Boleh juga kemampuannya.

"Dua lagi dimana?" Bisikku.

"Arah jam dua belas dan jam dua." Kata Yuna.

Aku segera mengambil pistol yang disembunyikan oleh Yuna di paha kirinya, langsung berdiri dengan tegak dan memasang pandangan tajam. Ada gerakan di arah jam dua-ku, langsung saja kutembak kearah itu, dan tembakanku persis mengenai kepala orang itu. Hmm, memakai baju seragam lengkap seperti tentara, dan juga night vision, serta senapan yang sepertinya bisa menembakkan jarum. Kemudian, aku juga melihat gerakan yang tergesa-gesa diarah jam sebelas-ku. Langsung saja kutembak arah itu tanpa melihat.

"Yun, gimana?" Tanyaku.

Yuna langsung mengerti maksudku, dan mengeluarkan smartphone miliknya untuk mengecek sesuatu.

"Ada saluran yang nyambung pak." Kata Yuna.

"Oke, saatnya kita kabur dari hotel ini." Kataku, sambil berlari kearah pintu darurat di belakangku, diikuti oleh Yuna.

"Nekat sekali pak tadi." Kata Yuna.

"Ada perbedaan yang tipis, antara nekat dan yakin." Kataku.

"Yang mana bapak tadi?" Tanya Yuna.

"Menurutmu?" Tanyaku balik.

Yuna hanya tersenyum manis. Dalam kurang dari lima menit, kami sudah keluar dari Park Hyatt Shanghai. Kami tetap berlari, menyusuri gang-gang, sambil mengandalkan intuisi untuk hotel yang bisa kami jadikan tempat persembunyian sementara.

BERSAMBUNG KE EPISODE-7
 
“(cang cing cung ceng cong)...” Kata Yuna yang juga berbicara dengan bahasa Mandarin.
“(cong wing cong wing)...” asli ngakak baca ini suhu!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd