EPISODE 18 : Finale
Jent Zeinal Widoyo
Saiyuna Wijaya
Ferawati
Abby Entron Salim
Pesawat yang kami naiki ini tiba-tiba terkena turbulensi yang sangat parah. Saking parahnya, aku dan Fera langsung terlempar dan membentur dinding kabin pesawat, mengakhiri ciuman yang tadi kami lakukan. Aku segera melompat dari satu titik ke titik lain untuk menangkap Fera. Pesawat ini terguncang sangat parah, sehingga hampir tidak memungkinkan bagi kami untuk mendapatkan pijakan yang stabil. Fera melepaskan diri dariku, sambil mengangguk. Ia mengisyaratkan kepadaku bahwa ia akan baik-baik saja. Aku pun mengangguk kearahnya. Aku berpindah-pindah dari tempat pijakanku yang sekarang, menuju tempat pijakan lain yang menurutku cukup stabil. Fera pun mengikutiku. Setelah melompat-lompat berkali-kali, akhirnya kami sampai didepan pintu kokpit. Aku pun membuka pintu kokpit, dan mendapati Yuna sedang mengemudikan pesawat dengan susah payah. Sedangkan Abby sedang melakukan sesuatu di laptopnya. Dari layar laptopnya, aku bisa melihat bahwa ia sedang sibuk mengidentifikasi problem yang terjadi. Tidak kusangka bom yang dibuat oleh Abby meledak sampai segitunya.
"Gimana cara lo buat bom yang bisa meledak kaya gitu pake bahan dan waktu yang terbatas gini." Tanyaku kepada Abby.
"Waktu mah banyak bos, masa lo ga tau gua sih bos? Bahan ada kok. Disebelah ada pesawat, tinggal ambil avtur dan komponen mesin jetnya aja." Kata Abby dengan santainya.
Kampret. Udah sombong sekali, tukang pretelin pula. Dasar kanibal. Tapi gitu-gitu, dia salah satu orang yang paling bisa kuandalkan, terutama dalam hal teknologi, retas-meretas, dan teknik.
"Sialan." Kata Abby.
"Gawat." Kata Yuna.
Eh, kenapa tiba-tiba mereka menggunakan kata-kata umpatan dalam waktu yang bersamaan?
"Kenapa nih?" Tanyaku.
"Ini adalah pesawat yang sistem kendali dan navigasinya mirip dengan Airbus. Tapi, letak mesinnya tidak seperti pesawat zaman sekarang. Pesawat ini letak mesin dan komponen-komponennya masih dibelakang. Sangat rentan terhadap serangan dari belakang." Kata Yuna.
"Sistem pertahanan militer fasilitas utama sudah lumpuh. Aman harusnya?" Tanyaku.
"Emang udah lumpuh bos. Tapi masalahnya belum selesai. Ternyata bom nya kuat banget, lebih kuat dari dugaan gua. Yuna udah berusaha yang terbaik, tapi tetep, komponen belakang pesawat ga selamat dari ledakan. Kena dikit doang sih, tapi akibatnya fatal. Engine failure (kegagalan mesin) ini. Sorry bos, kalo aja gua lebih ngitung masalah kekuatan bom nya" Kata Abby.
"Udah gak papa By. Lo juga udah berusaha yang terbaik. Lebih baik kita fokus buat mecahin gimana caranya kita keluar dari masalah ini. Coba laporin kerusakannya." Kataku.
"Mesin satu, dua, dan empat overheat. Sensor aviasi dan radar masih berfungsi." Kata Yuna.
"Hmmm, kontainer avtur berlubang bos akibat panas." Kata Abby.
Sial. Itu masalah paling penting. Tanpa adanya avtur, tidak mungkin pesawat ini bisa terus melaju. Hmmm, pikir Jent... pikir Jent... Ayolah, aku yakin kita bisa selamat dengan perencanaan dan strategi yang mantap. Tapi bagaimana caranya mendapatkan strategi yang mantap itu? Bom yang kita gunakan untuk meledakan musuh, malah berbalik kepada kita. Eh tunggu, bom... Seandainya ada bom yang kekuatannya tidak terlalu besar, mungkin bisa mendorong pesawat ini. Kalau tidak salah, pesawat ini dilengkapi dengan baling-baling disayapnya. Ya betul. Jika pesawat ini bisa mendapatkan gaya dorong yang cukup, mungkin kita bisa mendarat disuatu pulau.
"Sayang, pulau apa yang paling dekat dengan posisi kita sekarang?" Tanyaku.
"Kita cukup dekat dengan pulau utama Jepang, sayang." Kata Yuna.
Pulau utama Jepang? Cukup beruntung sih kita. Jika melihat kondisi kita ini, mungkin saja kita bisa mendapatkan pertolongan dari orang Jepang. Tapi tunggu, apa yang harus kita jelaskan nanti pada mereka kalau kita mendarat disana? Kita adalah orang yang menjadi korban dari organisasi yang memiliki robot-robot seperti transformer, terminator, dan juga memiliki binatang hasil rekayasa genetika seperti dinosaurus dan hewan purba? Yang ada kita akan dimasukkan ke penjara karena dipikir terlalu banyak nonton film. Cih, tapi kalau mau selamat, satu-satunya jalan adalah mendarat di pulau utama Jepang.
"Abby, bisa buat bom yang kekuatannya kira-kira bisa menghancurkan ekor pesawat ini?" Tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Abby berpikir sejenak. Ia langsung menoleh kearahku. Sepertinya ia paham apa maksudku.
"Gua kekurangan bahan aja sih bos." Kata Abby.
"Bahan apa yang lo kurang?" Tanyaku.
"Avtur doang. Persediaan RDX masih ada sisa dari dua bom tadi. Untung belom gua buang." Kata Abby.
Avtur. Tidak mungkin mengambil avtur dari kontainer avtur pesawat ini. Sekuat apapun tenaga ki-ku, jika aku masuk ke ruang pembakaran, tubuhku pasti melebur tanpa sisa.
"Ada alternatif lain By?" Tanyaku.
"Hmmm... Seandainya ada sedikit kromium, mungkin gua bisa usahain, bos." Kata Abby.
"Hah? Kenapa kromium?" Tanyaku.
"Ada salah satu kandungan kromium yang kalo bisa gua pecah, gua mungkin bisa bikin bom berkekuatan kecil. Udahlah ga usah gua jelasin panjang-panjang bos. Lu pasti ga ngerti." Kata Abby.
Sialan. Orang-orang tech mania ini ya, memang pinternya minta ampun. Tapi kalo udah ngomong, sakitnya tuh disini... Tapi yah bener juga sih apa kata-katanya. Aku paling-paling hanya mengerti kimia seputar tabel golongan dan kimia dasar saja. Kalaupun dia menjelaskan kenapa kromium itu bisa menjadi bom, aku juga mungkin tidak akan mengerti. Kromium... Dimana ya aku bisa mendapatkannya? Tiba-tiba aku teringat dimana aku bisa mendapatkan kromium. Benda yang sangat dekat denganku. Ya, pedang nodachi-ku. Tapi berarti artinya aku akan kehilangan pedang nodachi-ku untuk selama-lamanya ya. Tapi kurasa tidak apa-apa. Jika pedang nodachi-ku punya nyawa, aku yakin dia lebih memilih untuk lebih bisa berguna, dibandingkan menjadi kenang-kenangan, tapi membuat semua orang disini tidak bisa selamat. Aku segera mengeluarkan pedang nodachi-ku, dan memberikannya kepada Abby. Abby dan Yuna tampak terkejut melihat pedang kesayanganku itu patah.
"Patah waktu bertarung dengan temanmu, Yuna." Kataku.
"Kemampuannya sudah berkembang jauh rupanya." Kata Yuna.
Abby segera mengambil pedang itu dariku. Ia pun mengeluarkan peralatan-peralatan yang tidak kukenali, namun aku menduga itu merupakan peralatan untuk membuat bom. Pedang nodachi-ku dimasukkan ke dalam suatu kontainer, dan dialiri oleh suatu cairan berwarna biru. Tidak lama kemudian, pedang nodachi-ku langsung melebur. Selamat tinggal, pedangku tersayang. Aku tidak akan melupakan perjuangan kita bersama. Hasil leburannya itu ia masukkan ke dalam saringan yang berisi beberapa botol. Dalam sekejap, semua botol itu langsung terisi. Ada yang terisi dengan cairan, ada yang terisi dengan bubuk. Yang terisi dengan bubuk itu adalah kromium, begitulah yang kuduga. Betul saja, Abby langsung mengambil botol yang berisi bubuk itu. Setelah itu, ia mengotak-atik semua peralatannya itu dengan sangat cepat. Setelah itu, ia menyatukan semua komponen-komponen yang telah ia buat, dan jadilah suatu benda berbentuk seperti kertas yang diacak-acak.
"Nih, udah jadi bomnya." Kata Abby.
"Itu bom? Kok kaya kertas diacak-acak?" Tanyaku.
"Apa kita punya waktu untuk bikin bom yang bagus? Heran gua ama lu bos. Otak jalan terus, tapi kadang otak lu berhenti." Kata Abby.
Haish, nancep!
"Yuna, siap?" Tanyaku.
"Siap. Begitu bom nya meledak dan meledakkan mesin pesawatnya, aku akan memanuver pesawat ini agar bisa emergency landing di pulau Jepang." Kata Yuna.
"Good. See you in few minutes, honey. (Bagus, sampai berjumpa beberapa menit lagi, sayang.)" Kataku sambil mencium bibir Yuna.
"Iya, sayang. Hati-hati." Kata Yuna sambil tersenyum manis.
Senyumnya sungguh sangat manis. Rasanya saking gemasnya, ingin sekali aku memeluknya erat-erat. Tapi itu sepertinya harus tertunda. Aku segera beralih kebelakang untuk meletakkan bom di area ruang mesin. Aku sempat melihat wajah Fera yang sepertinya agak... apa ya? Cemburu mungkin.
"Kenapa, sayang?" Tanyaku.
"Oh, gak... gak-apa kok sayang." Kata Fera.
Aku pun mencium bibir Fera.
"Ga usah khawatir. Aku juga sayang sama kamu, sama seperti aku sayang sama Yuna." Kataku.
Mendengar kata-kataku, Fera langsung tersenyum dengan ceria. Gggghh, Fera ini pun juga tidak kalah manisnya. Tahan, tahan Jent. Nanti dulu ya. Kita ga punya banyak waktu nih.
"Ketika kita udah berhasil mendarat dengan selamat di Pulau Jepang, aku pingin meluk kalian berdua sekaligus." Kataku.
Mendengar hal itu, Yuna dan Fera langsung mengangguk sambil tersenyum. Ah, aku tidak sabar lagi. Padahal, ini sebetulnya momen-momen yang menentukan hidup matinya kita. Tetapi, aku ingin waktu berjalan dengan cepat, agar aku bisa memeluk mereka berdua sekaligus.
"Enaknya lu bos. Suka ama dua cewe, dan disukai dua cewe juga. Mana itu dua cewe juga saling menerima cewe yang lainnya pula. Kurang enak apa coba?" Kata Abby.
"Makanya, jangan pacaran ama komputer melulu." Kata Fera.
Mampus lo By, mampus lo!
"Eits, kalo gua ga pacaran ama komputer, lu semua udah ga ada di dunia ini. Jangan lupa, lu semua bisa sampe kesini berkat gua dan komputer gua. Kalo Cuma lu-lu doang, yaah... Udahlah. Otak sekecil gitu doang, bisa apa?" Kata Abby.
Kita bertiga langsung terdiam mendengar perkataannya. Emang dia ini... betul-betul jago membuat hati kita panas. Tapi aku sebetulnya tidak masalah dengan sifatnya itu. Itu adalah salah satu trademark Abby. Kalo ga begitu, namanya bukan Abby. Aku segera pergi keluar dari kokpit. Sesampainya di kabin, aku melihat bahwa di dinding kabin, ada jendela yang bisa digunakan untuk bisa melihat keluar. Aku berhenti sejenak, dan menggunakan jendela itu untuk melihat kebawah. Aku bisa melihat pulau tempat fasilitas utama itu berada.
Aku melihat kearah salah satu tebing pinggir pulau. Diana, maaf aku harus meninggalkan kamu disana. Maaf aku harus membiarkanmu terombang-ambing oleh laut yang dalam dan dingin. Aku ingat, kita sudah melalui banyak hal bersama. Dari awal aku bertemu denganmu, aku memang sudah merasakan ada sesuatu yang aneh mengalir dalam diriku. Tapi karena aku sudah beristri, demi kebaikan kita berdua, aku berusaha untuk tidak mengeksplor lebih jauh perihal sesuatu yang aneh itu. Sejalan dengan terjadinya banyak hal, kita selalu kompak dalam mengerjakan sesuatu bersama-sama. Bekerja dalam suatu proyek IT, melakukan riset bersama-sama, membangun desain rancangan perangkat lunak bersama, latihan tarung sparring bersama, dan bahkan memperdalam ilmu bela diri bersama-sama. Mungkin waktu itu, kamu pun selalu dingin dan jaim kepadaku, karena aku sudah beristri. Pada saat kita terdampar di pulau ini bersama-sama, akhirnya perasaan yang selama ini kita pendam di hati kita masing-masing, keluar meluap dengan begitu saja. Ketika kehilangan dirimu, aku begitu sedih, begitu marah pada diriku sendiri karena tidak mampu melindungimu, begitu marah pada takdir yang telah memberiku nasib seperti ini. Tapi, orang yang telah mengkhianatiku, dan kemudian mengorbankan dirinya demi aku, dialah yang mengingatkanku pada pengorbananmu. Berkat dia, aku bisa tetap maju tanpa menyia-nyiakan pengorbananmu. Walaupun aku terluka, aku harus tetap maju demi dirimu. Aku tidak akan melupakanmu, Diana. Kamu akan selalu mendapatkan tempat yang spesial di hatiku. Selamat tinggal, orang yang sangat kusayangi, Diana Silvia.
Aku melihat kearah tengah pulau tempat tadinya fasilitas utama berdiri dengan kokoh. Walaupun tidak bisa melihat dengan jelas, tapi aku bisa melihat bagian tengah pulau itu sudah seperti puing-puing yang dikelilingi oleh hutan. Erna, beristirahatlah dengan tenang. Memang pada awalnya hidup pernikahan kita mungkin kurang harmonis. Memang kita sering tertawa bersama, tetapi kita pun sering bertengkar, tanpa ada ucapan maaf. Sampai akhirnya, kamu pun main serong dengan laki-laki lain. Disitu, aku sangat marah kepadamu. Walaupun kamu bukan istri idamanku, tetapi kamu tetap saja istri yang kubanggakan dan orang yang akan menjalani hidup bersama selamanya denganku. Role model seperti dirimu pun bahkan tega untuk mengkhianati suami sendiri. Karena itulah, aku mulai kehilangan sifatku yang sangat family-oriented. Aku tadinya bertekad untuk membalas dendam. Disitulah aku dikenalkan dengan berbagai macam orang dan keadaan. Aku menjadi dekat dengan Bu Novi, Yuna, Fera, dan Diana. Aku tidak bermaksud menggunakan mereka sebagai alat balas dendamku. Tapi, aku pun akhirnya selingkuh juga dengan mereka. Entah bagaimana, semua itu terjadi begitu saja. Saat bersetubuh dengan mereka, tidak ada sedikitpun hal tentang balas dendam yang terlintas di pikiranku. Aku hanya dikuasai oleh rasa cinta dan nafsu yang begitu besar. Merekalah yang mengingatkanku akan perkataan orang yang sangat kuhormati. Sekuat apapun kebencian dan sumber kebencian yang terjadi disekitarku dan menimpaku, pastilah tetap ada orang-orang yang mencintaiku dengan sepenuh hati. Yuna, Fera, dan Diana telah membuatku melupakan rasa amarah dan dendamku terhadapmu. Mereka telah mengisi dan membersihkan hatiku dengan rasa cinta yang mereka berikan kepadaku. Yang tidak kusangka adalah, pada akhirnya kamu mengorbankan dirimu sendiri untuk kami semua. Bahkan, kamu rela untuk melepaskanku dan mempercayakan diriku kepada wanita lain yang kamu percayai. Kamu pun juga berkorban untuk para wanita yang kamu percayai itu. Terima kasih, Erna. Disaat terakhir, kamu gugur dengan sangat terhormat. Apa yang kamu korbankan itu jauh melebihi semua kesalahanmu di masa lalu. Kamu tidak usah khawatir. Sama halnya dengan Diana, kamu pun akan tetap tinggal di tempat yang spesial di hatiku. Selamat tinggal, istriku tersayang, Erna Viola Widoyo.
Setelah bermelankolis dengan diriku sendiri, aku menegakkan badanku, dan berjalan dengan langkah yakin menuju ruang mesin yang terletak di ekor pesawat. Pesawat-pesawat model gini, biasanya memiliki ruangan yang sangat kecil yang memisahkan antara kabin dan ruang mesin, sehingga aku masih harus membuka dua pintu lagi. Aku membuka pintu yang pertama dan masuk ke ruangan kecil itu.
Lalu, aku menutup pintu menuju kabin, dan membuka pintu menuju ekor pesawat. Saat kubuka pintu itu, angin yang sangat kuat langsung menyedot diriku. Aku sangat terkejut dengan hal itu, dan langsung memantapkan pijakanku, sementara tanganku berpegang pada sesuatu yang bisa kupegang dan kebetulan tertempel kuat di dinding. Ukh, kuat sekali angin yang menyedotku ini. Rupanya bagian ekor pesawat itu telah lepas, sehingga kini aku terekspos dengan udara luar. Cih, gawat sekalli. Jika aku meletakkan bom disini, percuma saja, karena bom nya akan langsung tersedot keluar. Sial, aku tidak bisa berpikir sambil menahan diriku dari sedotan udara luar. Aku harus kembali ke ruangan kecil itu untuk berpikir sejenak. Aku berusaha keras untuk kembali ke ruangan kecil itu. Untungnya, dari tempat ekor pesawat, pintu itu dibuka kedalam, sehingga paling tidak aku tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk menarik dan menahan pintunya.
Setelah membuka pintunya, aku masuk ke ruangan kecil itu dengan perlahan, sambil menahan diriku dari sedotan udara luar. Setelah sampai didalam ruangan kecil itu, aku langsung menutup pintunya sekuat tenaga. Kini, aku aman dari sedotan udara luar. Nah, tinggal memikirkan bagaimana caranya aku memasang bom di balik pintu ini, sehingga begitu bom nya meledak, pesawat ini akan mendapatkan tenaga dorong yang cukup agar Yuna bisa memanuver pesawat ini dan mendarat di Pulau Jepang. Bagaimana caranya ya? Aku melihat ke seluruh ruangan ini. Ruangan ini betul-betul kosong. Kalaupun ada sesuatu, paling-paling hanya tali dan potongan besi yang sepertinya tidak terpakai. Eits, tunggu. Mungkin kedua benda inilah yang bisa menyelamatkan kami semua sekarang. Aku harus berpikir keras bagaimana cara memanfaatkan kedua benda ini. Aku memutar otakku dengan keras. Waktuku tidak banyak. Lama-kelamaan, pesawat ini akan menjadi semakin tidak terkendali.
Dalam kira-kira dua menit, aku menemukan satu rencana. Aku berusaha memanfaatkan kira-kira semenit atau dua menit lagi untuk membuat rencana cadangan. Cih, tapi memang tidak ketemu caranya. Baiklah, memang harus kulakukan sepertinya, tidak ada jalan lain lagi. Aku mengambil waktu kira-kira satu menit untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon keberhasilan rencanaku dan keselamatan. Setelah selesai berdoa, aku mengambil intercom yang ada diruang kecil ini. Kutekan nomor extension menuju ruang pilot, dan langsung diangkat oleh Yuna.
"Udah dipasang, sayang?" Tanya Yuna.
"Belum." Kataku.
"Oh oke. Akan kami tunggu." Kata Yuna.
"Ga, sayang. Kamu ga perlu nunggu aku. Siap-siap aja untuk memanuver pesawat yang akan mendapat tenaga tambahan dari bom yang akan meledak." Kataku.
"Hah? Maksudnya apa, sayang?" Tanya Yuna.
"Ruang mesin ekor pesawat sudah terekspos ke udara luar dengan cukup besar. Aku ga bisa naro bomnya disitu, karena kalo kutaro begitu aja, bomnya akan tersedot keluar." Kataku.
"Hah? Hmmm-" Kata Yuna.
Belum selesai Yuna bicara, aku langsung memotongnya.
"Aku akan megangin bomnya disini, biar bomnya ga lari kemana-mana. Kamu siap-siap aja ya." Kataku.
"Tunggu, sayang. Kalo kamu ngelakuin itu, kamu akan..." Kata Yuna.
"Aku udah siap untuk itu, sayang. Kalo dengan aku mati, tapi kamu bertiga selamat, aku akan dengan senang hati memberikan nyawaku untuk keselamatan kalian bertiga." Kataku.
"Tunggu, sayang. Aku aja yang megangin bom nya." Kata Yuna.
"Gak. Cuma aku yang bisa ngelakuin ini. Abby dibutuhin untuk kontrol radar navigasi pesawat dan proses landing nanti. Sedangkan kamu atau Fera, jika terjadi apa-apa sama kalian, aku ga akan pernah maafin diriku sendiri." Kataku.
"Tapi, kalo terjadi apa-apa sama kamu..." Kata Yuna.
"Ada apa?" Aku mendengar suara Fera samar-samar di telpon.
"Yuna, ga perlu..." Kataku.
"Ruang mesin di ekor pesawat bolong, Pak Jent mau ngorbanin dirinya sendiri." Kata Yuna kepada yang lain.
Aduh, membuat keributan saja dia ini. Aku mendengar suara pintu pilot terbanting. Tidak lama kemudian, aku mendengar seseorang mencoba membuka pintu ke tempat ruanganku ini berada. Tapi percuma saja, pintu ini sudah kukunci dengan kuat.
"Sayaangg, pleaasseee.. Aku aja yang pegangin bomnya. Kamu masuk aja, pleaaseee!" Suara Fera terdengar dari balik pintu ini.
"Sayang, apa kamu cinta sama aku?" Tanyaku.
"Iya, sayang." Kata Fera.
"Sedalam apa?" Tanyaku.
"Aku ngga peduli sedalam apa. Yang aku tahu, hanyalah aku cinta ama kamu, dan aku bener-bener cinta ama kamu." Kata Fera, sambil mulai menangis.
"Begitu juga dengan aku, Fer. Karena itulah, aku ga akan pernah maafin diriku sendiri jika terjadi apa-apa sama kamu." Kataku.
Aku mendengar isakan tangis Fera yang semakin keras.
"Kalo gitu, biarin aku mati sama kamu juga, sayang." Kata Fera.
"Sayang, kalo satu mati, kita semua mati. Aku sama Abby udah sepakat." Kata Yuna melalui intercom.
"Bos, lu ga bisa mati sendirian gitu aja dong bos. Lu ada dua cewe nih yang nungguin lo disini, cantik-cantik pula. Terus mao lu tinggal gitu aja?" Kata Abby melalui intercom.
"Tugas lu jagain mereka, By. Gua mohon." Kataku.
"Guys, bomnya tinggal satu menit lagi meledak. Ada yang mau disampein?" Tanyaku.
"If you die, we're all going with you. (Jika kamu mati, kita semua akan ikut bersamamu.)" Kata Yuna.
"Yuna, apakah kamu cinta sama aku?" Tanyaku.
"Iya. Aku sangat mencintai kamu, sayang." Kata Yuna. Aku bisa membayangkan senyumnya yang manis itu.
"Kalo gitu, please do me a favor (Aku minta satu hal dari kamu). Aku sangat mencintai kamu dan Fera. Tolong, kalian berdua harus tetap hidup, dan hidup bahagia. Ga usah terlalu berkecinampung dalam kesedihan yang mendalam." Kataku.
"Gimana caranya kita bisa hidup, tanpa kamu?" Tanya Fera.
"Kamu pasti bisa, Fera." Kataku.
"Kalo gitu, kamu aja yang coba hidup tanpa kita, sayang." Kata Fera.
Degg... Disinilah aku merasa bahwa aku begitu egois. Aku begitu takut kehilangan mereka, tapi aku tidak memikirkan perasaan mereka yang juga takut kehilanganku. Disini aku begitu terharu. Sempat aku tergoda untuk membuka pintu ini, dan memeluk Fera. Untunglah, aku berhasil menahan godaan itu.
"Fera, Yuna. Aku minta maaf. Sepertinya aku ga bisa meluk kalian pas udah mendarat di Pulau Jepang. Dan maaf, aku ga bisa memberikan masa depan yang cerah untuk kalian. Maaf, kalian harus menggapai sendiri masa depan kalian yang cerah. Mungkin, aku ga akan selamat dari ini. Tapi aku mohon kepada kalian berdua. Ini aku, orang yang sangat mencintai kalian berdua, memohon. Tetaplah hidup, jangan sia-siakan apa yang udah aku lakuin dan aku tinggalin. Dari alam sana, aku akan selalu ngedoain kalian, untuk kebahagiaan kalian." Kataku.
"Yuna, terima kasih udah selalu ngejagain dan cinta sama aku dengan setulus hati kamu. Andai kita bisa bertemu lebih cepat lagi, aku pasti akan lebih senang. Sorry, aku ga lagi bisa bikin kamu bahagia. Aku cinta kamu, sayang." Kataku.
Aku tidak mendengar jawaban apapun dari Yuna di intercom.
"Aku juga cinta kamu, sayang. Kamu ngga usah khawatir di dunia sana. Aku akan kuat menghadapin ini. Yang aku seselin adalah, aku ngga bisa ngebuat kamu lebih bahagia dari sekarang ini." Kata Yuna, dari balik pintu ini.
Terima kasih, Yuna. Cinta kamu begitu dalam kepadaku. Aku begitu sedih harus meninggalkanmu disini. Air mataku pun mulai mengalir.
"Terima kasih sayang udah ngertiin aku. Aku akan selalu kangen ama kamu. Disana mungkin sepi, karena ga ada kamu dan Fera. Tapi, aku akan selalu nungguin kamu." Kataku.
"Walaupun kamu nanti sudah tidak cinta lagi sama aku, aku akan tetap cinta sama kamu sampai kapanpun juga." Kataku, dengan mengutip perkataan dua orang yang begitu kucintai.
"Walaupun kamu nanti sudah tidak cinta lagi sama aku, aku akan tetap cinta sama kamu, sampai kapanpun juga." Balas Yuna. Aku dengar di pintu belakangku, terdengar suara kecupan bibir. Maka, aku pun juga membalas mengecup pintu dibelakangku. Aku merasa seolah-olah bibirku dan Yuna saling terhubung, dan aku merasa kami betul-betul berciuman.
"Fera, terima kasih buat semuanya. Terima kasih udah cinta sama aku setelah apapun yang telah terjadi. Aku sangat cinta sama kamu, sayang." Kataku.
"Aku ngga butuh terima kasih kamu, aku ngga butuh perkataan cinta kamu. Yang aku butuhin adalah, aku pengen sama-sama kamu disana." Kata Fera sambil menangis.
"Ga usah khawatir, Fera. Ingatlah, bahwa aku akan selalu bersama-sama kamu. Aku akan selalu hidup di kenangan dan hati kamu. Begitu juga kamu, yang akan selalu hidup di hati dan kenangan aku." Kataku.
Fera terdiam sejenak, masih sambil terisak-isak menangis.
"Hiduplah bahagia, Fera. Aku ga akan melupakan semua hal indah yang telah terjadi pada kita. Walaupun kamu nanti sudah tidak cinta lagi sama aku, aku akan tetap cinta sama kamu, sampai kapanpun juga." Kataku.
Fera hanya diam saja, masih sambil terisak-isak menangis.
"Abby, gua mohon. Pastikan pesawat ini bisa landing dengan selamat di Jepang. Bantu si Yuna dengan bantuan apapun yang dia butuh." Kataku.
"Lu bener-bener bakal pergi bos?" Tanya Abby.
"Iya By. Positif." Kataku.
"Lu tau bos? Selama hidup gua, lu tuh bos dan guru yang paling berharga buat gua." Kata Abby.
"Halah, sejak kapan lu jadi melankolis gini, By?" Tanyaku.
"Yaudah, bos. Lu baik-baik ya disana. Jangan nambah cewe lagi. Inget, disini udah ada dua." Kata Abby.
"Santai By." Kataku.
"Guys, bom nya tinggal belasan detik lagi meledak. Yuna, tolong bawa Fera ke ruang pilot. Disitu ga aman. Cepet, udah ga ada waktu lagi." Kataku.
"Yuun, tunggu! Sayang, aku akan tetep cinta sama kamu, walaupun kamu udah lupa atau ga cinta lagi sama aku!" Kata Fera yang semakin suaranya menjauh.
"Got it, sayang!" Teriakku.
Sungguh, aku sama sekali tidak takut mati. Setelah tahu bahwa mereka begitu mencintaiku, aku senang sekali rasanya. Waktu bom meledak tinggal enam detik lagi. Aku harus menciptakan momen yang pas agar bom itu tepat meledak di tengah-tengah ruangan mesin agar bisa menciptakan tenaga dorong yang maksimum untuk pesawat ini. 4...Aku menghembuskan napasku sekuatnya. 2... kemudian aku membuka pintu menuju ruang mesin pesawat. 1... Tubuhku mulai tersedot ke udara luar... Harusnya momennya pas. Erna, Diana, aku sepertinya akan menyusul kalian. Aku sudah tidak sabar ingin melihat kalian. 0.... BUUUMMMM!
Saat bom yang kubawa itu meledak, di ruang pilot terlihat tangisan Fera semakin meledak. Yuna pun ikut menangis. Abby menutup laptopnya, dan memberi penghormatan. Untungnya, Yuna tidak terbawa oleh emosinya. Ia masih sanggup memanfaatkan momen yang kuciptakan itu untuk memanuver pesawatnya. Ia mengambil posisi yang pas, kemudian ia menghubungi ATC bandara Narita. Yuna memberitahu ATC bahwa mereka adalah pilot pesawat pribadi dari Shanghai.
Mereka memiliki izin untuk mendarat di Shanghai karena waktu itu mereka ikut dengan Bu Novi. Selanjutnya, tinggal mengatakan bahwa karena adanya ledakan disuatu pulau dekat Jepang, mereka ikut terjebak dalam ledakan itu sehingga pesawat yang mereka tumpangi terpaksa harus mendarat darurat di Jepang. Ditambah dengan kondisi Fera yang sebetulnya masih membutuhkan pertolongan, mereka terus bernegosiasi dengan sangat kuat. Akhirnya, setelah permohonan dan negosiasi yang sangat sulit, pemerintah Jepang memberi izin bagi mereka untuk tinggal beberapa hari di Jepang. Mereka langsung membawa Fera ke rumah sakit terdekat. Ditambah dengan daya tahan Fera yang cukup kuat, proses penyembuhannya pun tidak berlangsung lama. Hanya dalam setengah hari saja, Fera sudah boleh pulang. Setelah keluar dari rumah sakit, mereka berjalan kaki bersama. Dalam kira-kira setengah jam, mereka sudah sampai di suatu perempatan pusat keramaian Ginza. Disitu, mereka meletakkan batu nisan yang bertuliskan namaku. Setelah berdoa singkat, mereka pergi dari tempat itu. Kini, mereka telah sampai di sebuah perempatan kecil di pinggiran kota.
"Gimana sekarang?" Tanya Abby.
"Rasanya sih disini ya?" Kata Yuna.
"Huum." Kata Fera sambil mengangguk.
Kemudian, mereka saling bersalaman satu sama lain. Setelah itu, mereka berpencar menuju jalan mereka masing-masing. Abby mengambil jalan yang lurus, Yuna mengambil jalan ke kiri, sedangkan Fera mengambil jalan ke kanan. Mereka kembali menjalani hidup mereka masing-masing. Ada yang memulai kehidupan baru, ada yang menjalani rutinitas lama seperti biasa.
***