Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN XVIII (TAMAT)

***

Alexa yang menemukan Bu Maya yang sedang dalam keadaan linglung di jalanan, membawa ibunya Sobari itu ke apartemennya. Merawatnya dengan penuh kasih sayang, walau pun perempuan itu lebih banyak melamun.

Alexa, gadis keturunan yang cantik jelita itu telah mengetahui bahwa Ridwan sekarang menjadi buronan polisi setelah kabur dari kamar tahanan, dalam hati kecilnya ia berharap bahwa pemuda itu dalam keadaan selamat dan mereka bisa kembali lagi bertemu. Entah kenapa, ia mempunyai rasa bahagia yang tak bisa ditolaknya ketika berdekatan dengan Ridwan yang notabene adalah karyawan bengkel ayahnya. Ridwan, pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya dari perbuatan cabul Sobari, ketika Sobari diminta ayahnya untuk menjemput dirinya di apartemen karena mobilnya saat itu sedang diservis.

Alexa sebenarnya enggan untuk dijemput Sobari, ia sudah tahu akan perselingkuhan kotor dari pemuda itu dengan ibunya. Oleh karena itu ia selalu memperlihatkan wajah sinis ketika melihat Sobari, hanya karena rasa sayangnya kepada mamanya itu ia tidak mau membongkar perbuatan mereka kepada papanya.

Dia dibawa Sobari ke hutan kecil dan hampir diperkosa oleh penjahat itu kalau saja tidak datang Ridwan yang datang sebagai pahlawannya. Dari Ridwan pula ia mendengar bahwa dirinya telah diserahkan mamanya kepada Sobari untuk diperawani, hampir saja ia tidak mempercayai pendengarannya dan menyangka Ridwan beromong besar. Namun ternyata Ridwan berhasil meyakinkan bahwa semua ittu dia ketahui ketika secara tidak sengaja menguping percakapan rahasia dari Si Enci dengan Sobari, istri dari bosnya itu di bawah ancaman Sobari yang mengancam menyebarkan video rekaman mesum mereka ke orang-orang, agar merestui Sobari yang tergila-gila kepada dirinya bisa bebas merayunya.

Dari situlah awal mula kedekatan mereka berdua, Ridwan yang jujur dan sopan telah mampu merebut simpati dari perempuan jelita keturunan itu. Ridwan memang tidak setampan Steven, teman kuliahnya jugga mantan pacarnya yang mata keranjang itu. Namun ada satu hal dari sifat Ridwan yang membuatnya merasa nyaman berada di dekat pemuda itu, yang jarang dipunyai setiap lelaki.

Begitulah selanjutnya, Alexa yang sudah sangat jarang pulang ke rumahnya, lebih suka berada di apartemennya yang kini ditemani Bu Maya, ibunya Ridwan, tanpa sedikit pun mengetahui hubungan abnormal dari ibu dan anak itu.

Kita tinggalkan sejenak Alexa dan Bu Maya di apartemen gadis itu.

Kita menuju ke sebuah petak hutan kecil di pinggiran timur Jakarta yang menjadi setting vital berbagai peristiwa di kisah ini.

Dalam keremangan menjelang malam, Ridwan Sang Buronan yang kabur dari tahanan demi ibunya itu, telah tinggal selama sehari semalam dalam keadaan menderita lahir batin, bukan sekali dua kali dia harus menghindari beberapa orang yang mencurigakan yang berkeliaran di hutan kecil itu, yang menurut kecurigaannya adalah intel yang disebar polisi demi menangkapnya kembali, dengan main kucing-kucingan bersembunyi di semak belukar hutan yang rumit dan tinggi. Untunglah, dia dinaungi keberuntungan dengan cuaca yang tidak bersahabat. hujan sepanjang hari seakan menghambat pencarian polisi untuk menemukan Sang Buronan.

Dalam keadaan kelaparan, tanpa berani keluar hutan, Ridwan bersandar di sebatang pohon besar dibalik rimbunnya semak belukar di belakang sebuah saung-saungan kecil tempat dulu dia menyelamatkan Soraya dari percobaan perkosaan Anto. Di saat dia sedang berpikir ke mana dia akan kabur selanjutnya, tiba-tiba dia mendengar suara orang bertengkar tak jauh dari tempatnya bersandar.

Dengan hati berdebar cemas, Ridwan hampir saja kabur kalau saja dia tidak mendengar jeritan seorang perempuan disertai makian tinggi dari suara seorang lelaki yang sangat dikenalnya, suara Sobari!

Dengan hati sangat penasaran, Ridwan menyibakan sedikit semak belukar rimbun tersebut untuk mendapat pemandangan yang agak jelas. Matanya yang sudah terbiasa dengan kegelapan, dapat melihat apa yang terjadi di saung-saungan tersebut yang kini biliknya bagian belakang telah terlepas. Ada empat sosok tengah berdiri, dua orang perempuan yang dikenalnya yaitu Bu Jaenab, ibu Sobari, serta Lastri, istri dari Sobari, Sobari sendiri tengah berdiri bertolak pinggang membelakangi pandangan Ridwan, sementara sosok lain yang bukan lain adalah Pak Nadi, ayahnya Sobari sedang berdiri di samping Lastri.

“Dasar pelacur sundal!” maki Sobari dengan nada tinggi.

“Aku sudah tidak ada hubungan dengan kalian lagi. Biarkan aku pergi!” jerit Lastri dengan suara melengking.

“Pergi sana! Jual tubuh sundal elu ek saban laki. Dasar lonte!” ejek Sobari.

“Terserah kau mau ngomong apa. Lepaskan aku!” balas Lastri sambil menoleh kepada Pak Nadi yang ternyata sedang menggenggam erat pergelangan tangannya.

“Jangan pergi, Las. Kamu sedang mengandung anakku, ikutlah denganku, Las,” bujuk Pak Nadi, yang membuat Ridwan melengak. Keluarga cabul yang gila! Kutuk pemuda itu dalam hatinya. Diam-diam dia menjadi sangat khawatir dengan ibunya, kenapa Sobari jadi ada di hutan ini? Bisik dalam hati dengan penuh kecemasan.

“Lepaskan! Bukankah aku sudah diusir dari rumah kalian? Aku masih punya harga diri untuk tidak memohon-mohon berhubungan dengan kalian kembali. Ada orang lain yang mau menerima aku apa adanya. Lepaskan!” seru Lastri meronta-ronta.

“Lonte murahan!”

“Plak!”

Tiba-tiba saja Sobari melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Lastri dilanjutkan sebuah tendangan sepenuh tenaga ke perut Lastri yang sedang hamil muda itu.

Tubuh mungil Lastri terlempar jatuh ke tanah becek diiringi jeritan kesakitan yang menyayat hati.

“Anak geblek! Si Lastri sedang mengandung anak gue, Setan!” raung Pak Nadi murka, menubruk tubuh Sobari yang berdiri kaget menyadari akibat dari perbuatannya tersebut.

Dan ke dua tubuh tinggi besar bapak dan anak itu pun berguling-guling, bergulat saling hantam sambil berkaok-kaok memaki-maki.

Bu Jaenab yang sejak tadi diam saja kini berseru-seru, mencoba melerai suami dan anaknya yang sedang berkelahi itu, tarik sana tarik sini dengan panik, sebelum sebuah tendangan telak menghantam ulu hatinya, entah tendangan dari siapa, yang jelas Bu Jaenab terdorong jatuh, dan naasnya, punggung perempuan itu terjatuh tepat ke sebatang bambu tajam dari siku-siku penahan tiang saung yang telah terlepas.

“Bresh! Pletok!”

Tubuh montok tinggi besar itu menggelepar-gelepar sejenak dengan dada tertembus potongan bambu, sebelum akhirnya tubuhnya tak bergerak sama sekali.

Pak Nadi dan Sobari yang tengah bergulat tidak menyadari yang terjadi kepada Bu Jaenab, karena mereka sibuk sedang saling cekik, hanya Ridwan lah yang melotot ngeri dari balik semak belukar melihat semua itu terjadi tanpa sempat berbuat apa-apa.

Lalu beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan serak disertai bunyi tusukan berkali-kali.

Ridwan menajamkan matanya, melihat sosok Sobari berdiri terhuyung-huyung dengan tangan menggenggam sebilah belati!

Di atas tanah, terkapar tak berdaya tubuh Pak Nadi memegang dadanya.

“Terkutuklahh..., kk-kkau...,” seru Pak Nadi dengan suara sember mengorok, tenggorokannya seperti dipenuhi cairan kental. Lalu hening mencekam sejenak, sebelum terdengar rintihan lemah dari sosok lain yang bukan lain adalah Lastri.

Ridwan mengertakkan giginya, dia harus berbuat sesuatu, Sobari kemungkinan sudah menjadi sinting dengan kejadian tersebut. Dia cemas ketika melihat tubuh limbung Sobari melangkah perlahan ke arah tubuh Lastri yang tergolek lemah di atas tanah.

“Kau bajingan terkutuk Sobari!” teriak Ridwan menyerbu dari balik semak belukar, tangannya sudah menggenggam sepotong akar pohon.

Sobari membalikan tubuhnya dengan cepat ke arah datangnya suara tersebut, namun terlambat.

“Bleduk!”

Sisi kiri kepalanya dihantam potongan kayu Ridwan dengan tenaga penuh. Sobari sontak berseru ngeri, tubuhnya tumbang ke atas tanah.

“Jeduk!”

Sisi kepalanya yang lain menghantam batu tumpul yang menonjol di atas tanah. Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut Sobari, entah mati atau pingsan.

Ridwan membuang potongan kayu dengan hati ngeri, melihat empat sosok bersimbah darah tergeletak di atas tanah.

“Ehhkkk..., masss...,” terdengar rintihan lirih dari salah satu sosok itu, yang bukan lain adalah Lastri.

Ridwan segera memburu dan berlutut di samping tubuh itu, memangku kepalanya perempuan itu dipahanya.

“Mbak? Mbak sadarlah!” kata Ridwan sambil mengguncang-guncangkan bahu perempuan itu.

“Mmmas Banuuu...! hhhh, sakiiiit sekaliii,” lirih sekali suara Lastri, persis suara orang mengigau.

“Banu?” Ridwan melengak heran. Apa hubungan Si Banu dengan perempuan ini? Hatinya bertanya-tanya.

“Iyyyaaa..., Mas Banuuu! Sakiiiittt perutku..., ohhhh!”

“Mari saya bantu untuk ke rumah sakit, Mbak!” kata Ridwan sambil mencoba mengangkat tubuh mungil itu. Namun Lastri segera menjerit kesakitan,

“Akkhhh! Sakiiiit..., kaki..., kakiku, aku..., aku tidak dapat merasakan kakiku!” jerit Lastri kesakitan.

Ridwan jelas menjadi kebingungan sekali, di saat dia sedang dalam keadaan serba susah, mendadak terdengar suara terbahak-bahak dari belakangnya.

“Mampussss! Mampusss lu semuaaa...., hwua-ha-ha!”

Ridwan segera berbalik waspada. Dalam kegelapan, samar-samar dia melihat Sobari tengah duduk, meracau dan tertawa-tawa sendiri.

Entah pemuda itu menjadi gila atau sedang kesurupan, Ridwan sudah tidak mau perduli lagi, sambil menggigit bibirnya, dia segera bangkit membopong tubuh mungil Lastri dengan maksud membawanya pergi ke jalan raya. Di saat dia memangku bagian paha perempuan itu, terasa tangannya basah dan lengket, entah itu lumpur tanah atau cairan apa, yang jelas pemuda itu segera berlaru setengah berlari menuju jalan raya. Untunglah tubuh Lastri yang mungil itu tidak terlalu membebani langkahnya.

Sebentar saja dia sudah berada di jalan raya, menghampiri sebuah kios roko di mana ada beberapa orang sedang berkumpul.

“Bang! Tolong, tolong bawa perempuan ini ke rumah sakit sekarang juga, di sana, di dekat saung ada orang berkelahi!” seru Ridwan dengan napas terengah-engah. Dia menunduk dan berseru tertahan melihat paha Lastri penuh dengan darah.

Karuan, beberapa orang tersebut langsung ramai dan panik. Salah seorang dari mereka memanggil supir taksi yang kebetulan sedang mangkal tak jauh dari situ.

“Mau di bawa ke rumah sakit mana, Mas?” tanya salah seorang dari mereka.

“Terserah, Bang! Yang paling dekat aja. Tolonglah, di sana ada orang berkelahi juga, saya mau kembali ke sana, semoga tidak terjadi apa-apa!” kata Ridwan setelah memasukkan tubuh Lastri ke dalam taksi.

“Di mana, Mas?” tanya seorang yang lain.

“Di saung-saungan sana, kalau bisa seseorang menghubungi polisi juga, karena salah seorang dari mereka membawa senjata tajam,” jelas Ridwan dengan suara tertahan. teringat dirinya adalah seorang buronan, tentu bukan hal yang baik kalau polisi datang dan dia masih bertahan di situ.

Tempat itu menjadi sibuk luar biasa, beberapa orang yang lain berlarian menuju petak hutan tadi sambil membawa senter atau juga menggunakan aplikasi senter dari handphonenya masing-masing.

Dalam keadaan ramai seperti itulah, Ridwan diam-diam menyelinap pergi. Ia yakin, Lastri akan cepat terselamatkan, ia segera pergi secepat mungkin dari tempat tersebut, dengan menelusuri gang-gang sempit entah menuju ke mana.

*

“Ridwan?”

Banu membelalak tak percaya ketika melihat sesosok tubuh dengan baju berdarah-darah muncul dari lobang atap rumahnya.

“Ssst! Tolong gue, Nu!” bisik Ridwan dengan wajah lelah.

“Gila lu! Udah dua kali gue didatengin polisi yang nyari-nyari elu. Kenapa lu bisa kabur? Edan!”

Ridwan bukannya menjawab, dia mengambil gelas lalu minum dengan tergesa-gesa. Selesai minum, dia masuk ke kamar mandi di bawah tatapan tercengang dari Banu.

Beberapa saat kemudian, dia sudah kembali keluar kamar mandi dengan mengenakan baju Banu yang ditemukannya dari tempat cucian.

“Gue laper! Ntar gue jelasin semuanya!” kata Ridwan sambil menyerbu dapur, mengambil piring nasi serta lauk yang masih tersedia.

Sambil menunggu Ridwan menyelesaikan makannya, Banu memperhatikan diam-diam sekujur tubuh sahabatnya itu.

Setelah menghabiskan satu setengah piring nasi serta segelas besar air putih, Ridwan duduk berhadapan dengan Banu di dapur.

“Oke, sebelum gue jelasin, gue mau tanya dulu. Ada hubungan apa lu dengan Lastri, bininya Si Sobari?”

Mendapat pertanyaan yang tidak diduganya, Banu berubah merah padam wajahnya.

“A-apa maksud lu?”

Ridwan menghela napas dalam, sekilas dia melihat kilatan aneh di mata Banu ketika dirinya menyebut nama Lastri, kilatan orang yang sedang jatuh cinta. Jelaslah sudah semuanya, dia mengerti hubungan aneh antara sahabatnya itu dengan Lastri.

“Oke, gue jelasin semuanya,” kata Ridwan kemudian.

Dan Ridwan pun menjelaskan semuanya dengan terperinci, semua kejadian yang dialaminya, dan juga kenapa dia sampai nekad melarikan diri dari tahanan polisi.

Berkali-kali Banu berseru heran mendengar cerita Ridwan, namun dia segera mencengkram tangan pemuda itu ketika sampai kepada cerita Lastri yang pingsan berlumuran darah.

“D-di-dimana ia sekarang?” seru Banu dengan wajah pucat penuh kekhawatiran.

Ridwan menatap tajam wajah sahabatnya itu.

“Lu bisa datang ke kios di depan hutan kecil itu, Nu. Semoga tidak terjadi apa-apa terhadap Lastri. Tapi kalo gue boleh menyarankan, seusai Lastri sembuh, lu sebaiknya pergi dari sini, pindah ke mana aja, asal kaga di wilayah gila ini. Bawa keluarga lu semuanya! Jangan tunda-tunda lagi! Satu yang gue mohon, titip ibu gue, Nu. Kapan-kapan tentu gue bakal datang menengok!” ujar Ridwan penuh permohonan.

“Dan elu mau ke mana?”

Ridwan terdiam sejenak.

“Gue tidak tau. Mungkin gue mo pergi jauh, entah ke mana. Jadi, kalo boleh, gue mo pinjem duit sama elu buat ongkos gue!” jawab Ridwan dengan helaan napas berat.

Akhirnya dua sahabat itu berpelukan untuk yang terakhir kalinya.

“Lo pergi dari rumah gue udah lewat tengah malam aja, Wan. Gue khawatir masih ada intel yang mengawasi rumah ini, kunci pintu ntar lu taruh di bawah pot aja, oke,” pesan Banu sebelum pergi untuk mencari kabar Lastri.

“Mak Leha ke mana, Nu?” tanya Ridwan ketika menyadari di rumah itu ternyata tidak ada Bu Leha, ibunya Ridwan.

“Emak gue baru semalem ini jadi bini mudanya Bang Togar, sopir kopaja yang ngontraknya deket bengkel itu, Wan. Ga apa-apa lah, yang penting emak gue bisa senang!” sahut Banu sambil nyengir.

“Oh, yaudah. Hati-hati, kawan!” kata Ridwan sambil memeluk Banu sekali lagi. Setelah mereka berdua saling memberikan kata-kata saling menyemangati, ke duanya pun segera berpisah.

Ridwan menunggu sampai lewat tengah malam tiba, dengan hati berdebar-debar, dia melalui jalan yang sama saat dia masuk ke rumah Banu pertama. Dengan hati-hati, Ridwan turun dari atap rumah Banu ke sela antara dua rumah yang hanya cukup untuk tubuh seseorang dengan posisi miring. Setelah dengan susah payah berjuang membebaskan dirinya dari celah di antara dua rumah tersebut. Dalam bayangan gelap rumah-rumah yang berdiri berdempetan, Ridwan berdiri dengan waspada mengawasi setiap sudut gang tersebut, mencari tahu barangkali ada gerakan-gerakan yang mencurigakan.

Setelah memastikan bahwa keadaan tempat tersebut aman, dia segera melangkah pergi dengan tetap berlindung pada sisi gelap bayangan-bayangan rumah di sepanjang gang tersebut. Topi kepunyaan Banu yang dipinjamnya, hampir menyembunyikan setengah dari wajahnya.

Ketika dia sudah tiba di jalan raya, keadaan sudah sangat sepi sekali, bahkan gerombolan abege tanggung yang sering mengadakan balapan liar pun tak ada seorang pun yang nongkrong. Ridwan berusaha santai menyusuri trotoar sambil tetap berlindung di sisi gelap bayangan-bayangan toko yang berderet di pinggir jalan.

Dia berharap ada angkutan yang bisa dicegatnya untuk membawa ke mana saja dirinya menjauhi wilayah tersebut. Namun anehnya, angkutan yang biasanya bersliweran dua puluh empat jam penuh, kini tak ada satu pun yang melintas. Ridwan terus berjalan membelah kesepian yang kini merasuk ke dalam hatinya, tanpa sadar tubuhnya menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan oleh sesuatu yang membuatnya hampir merasa sedang mengalami mimpi buruk yang panjang sekali. Kejadian demi kejadian membayang dalam benaknya, menemani kesendiriannya dalam menyusuri jalan raya yang lengang.

Entah berapa lama dia berjalan, hingga akhirnya dia berhenti saat menyadari tempat di mana sekarang dia berada.

Dengan tetap berlindung di gelapnya bayangan sebuah toko elektronik, Ridwan baru menyadari bahwa dirinya hampir berada di bengkel tempatnya berada selama bertahun-tahun. Di sebrang sana tampak rumah mewah berlantai dua milik Koh Ahong, Sang Pemilik bengkel. Ada bayangan sekilas yang melintas di benaknya, bayangan seraut wajah jelita bermata sedikit sipit, Alexa!

Alexa yang ramah dan baik hati, tidak seperti gadis-gadis keturunan yang sombong dan tinggi hati. Alexa sangat berbeda dengan kebanyakan gadis kaya lainnya. Ada kedekatan yang lain dari biasanya ketika dia pernah menyelamatkan gadis itu dari perbuatan cabul Si Sobari. Mereka begitu dekat, sedekat dengan Mbak Soraya yang pernah memberi kehangatan kepada dirinya. Dua perempuan itu begitu sering memberinya semangat ketika dia sedang berada di tahanan. Ahhh, apa kabar mereka sekarang? Bisik hati Ridwan yang tiba-tiba merasa rindu.

Dasar lu kaga tau diri! Siapa elu siapa mereka? Bentak hatinya. Betul, dia sekarang hanya seorang buronan polisi, baik Alexa mau pun Soraya adalah dua orang perempuan terhormat yang sangat tidak layak untuk dirindukan pemuda kere seperti dirinya.

Setelah menghela napas panjang, Ridwan hampir melanjutkan langkah kakinya ketika melihat sebuah mobil mewah yang dikenalnya sebagai kendaraan Koh Ahong berdecit masuk ke pintu gerbang rumahnya yang ternyata terbuka lebar. Baru disadari itu adalah hal yang aneh buat Ridwan, mengingat betapa berbahayanya jaman sekarang membiarkan pintu terbuka seperti itu malam-malam.

Ridwan mengurungkan niatnya untuk pergi, mengawasi ke halaman rumah Koh Ahong ketika mobil tersebut berhenti. Dan betapa kaget hatinya ketika melihat Koh Ahong keluar dari mobil memutar dan menyeret seorang perempuan tinggi semampai dari dalam mobil.

“Ampuuun, Pah... Jangaaan!” terdegnar jeritan dari si perempuan itu, yang dikenal dengan sangat jelas sebagai Alexa!

Ada apa pula ini? Tanya Ridwan dalam hatinya sambil terus mengawasi dari kegelapan.

Namun dia akhirnya tidak mengetahui apa-apa ketika Koh Ahong dan Alexa sudah masuk ke dalam rumah dengan pintu yang dibanting keras. Yang membuat Ridwan makin curiga adalah dengan sangat jelas dia mendengar jeritan melengking gadis itu dari dalam rumah. Sesaat Ridwan mencoba melihat situasi, adakah orang lain atau tetangga rumah tersebut yang mencari tahu. Beberapa saat kemudian tetap saja keadaan hening.

Setelah menetapkan hati, Ridwan dengan hati-hati menyebrang menuju ke rumah tersebut untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi.

Di dalam rumah mewah tersebut, ternyata ada hal mengerikan yang terjadi.

Si Enci, istri Koh Ahong, tergeletak di lantai ruang tengah dengan tubuh bersimbah darah dari luka-luka besar di sekujur tubuhnya. Hal itulah yang membuat Alexa menjerit hampir semaput. Namun tanpa perduli, Koh Ahong terus menyeret tubuh Alexa yang tengah lemas akibat shock melihat mamanya terkapar, entah sudah meninggal atau hidup.

Sampailah ke kamar utama, yaitu kamar Koh Ahong sendiri, dengan tenaga besar, dilemparkannya tubuh Alexa ke atas tempat tidur.

“Papahhh! Sadar pah!” jerit gadis itu ketakutan, melihat papanya mendengus-dengus dengan muka merah, membuka pakaiannya tak sabaran.

Di saat Alexa hendak meloncat dari tempat tidur, Koh Ahong segera menerjang, meraih pinggang ramping anaknya itu yang segera kembali menjerit ketakutan.

“Papaaah!”

“Plak!”

Satu tamparan keras dari papahnya menghentikan jeritan Alexa karena kaget. Seumur-umur ia belum pernah ditampar papanya, jangankan menampar, membentak pun sangat jarang. Entah keranjingan setan mana papanya saat itu.

“Diam anak jadah!” bentak Koh Ahong dengan mata menyala-nyala. Perut buncitnya berguncang-guncang penuh amarah.

“Papah...,” seru Alexa dengan bahu terguncang-guncang menahan tangis.

“Kamu tau punya mama hah?” telunjuk Koh Ahong teracung.

“Mama kenapa, Papah? Papah tega...,” jerit Alexa lagi ketika teringat tubuh mamanya yang bersimbah darah di bawah sana.

“Kamu punya mama lebih tega sama papa, kamu punya mama selingkuhin papah. Lebih baik dia mati sekalian!” bergetar suara Koh Ahong ketika mengucapkan kata-kata tersebut.

“Papah tau darimana?”

“Dari hapenya yang papah pinjam buat nelepon kamu orang. Dia punya vidio layaknya pelacur dengan si anjing Sobari, dasar lonte kamu punya mama!”

“Se-sekarang papa mau apa? Mei mau pulang aja ke apartemen mei!” kata Alexa sambil berusaha meronta. Namun dengan sekali tarik, tubuhnya terbanting kembali ke kasur.

“Bret! Bret!”

“Papaaahhh, ampuuun...!”

Koh Ahong seperti mendadak gila. Baju Alexa robek besar oleh tenaga iblis yang menguasai otaknya.

Gadis itu berusaha melindungi segenap miliknya yang paling berharga. Namun tenaga iblis Koh Ahong telah berhasil mengalahkan tenaga lemah anak gadisnya itu.

Ke dua tangan Alexa tertahan oleh tangan Koh Ahong yang berusaha menciumi dada putih mulus anaknya yang bajunya telah terbuka lebar. Sepasang payudara montok yang belum terjamah oleh tangan lelaki, tampak begitu putih licin dengan besar proporsional, bulat padat dengan puting kecil dengan lingkar areola yang kemerah-merahan.

Ke dua mata bening gadis itu telah bersimbah air mata, isak tangisnya tak mampu meluruhkan hati papanya yang telah dikuasai sepenuhnya oleh iblis.

“Papah ampuuuun..., papahhh sadarlaah... sakiiiit paaahhh,” rintih Alexa, disela-sela tangisnya, ketika merasakan gigitan keras di puting payudaranya. Gadis itu lebih memilih pingsan daripada ia harus terus dalam keadaan sadar dengan perbuatan sesat dari ayahnya itu.

Dengan dengusan-dengusan kasar, Koh Ahong berusaha membuka pertahanan Alexa yang sekuat tenaga melindungi diri, namun;

“Buk!”

“Zhu...!” seru Koh Ahong kesakitan dalam bahasa ibunya. Badannya terguling terkena hantaman dari kepalan keras seseorang yang lain. Yang berdiri di samping ranjang dengan muka kelam. Sosok itu bukan lain adalah Ridwan yang memang sudah curiga sebelumnya.

“Keparat kamu penjahat!” bentak Koh Ahong begitu melihat siapa yang baru datang itu.

“Mas Ridwaaan,” seru Alexa saat terbebas dari tindihan papanya, meloncat dan merangkul Ridwan, tangisannya segera pecah begitu dirinya berada di pelukan pemuda itu.

“Awas!” Ridwan berseru, melempar tubuh Alexa kembali ke pembaringan ketika melihat bosnya menerjang kembali kepada dirinya.

“Beg!”

Ridwan memekik ngeri. Dia terlambat menghindar ketika sebuah tendangan menghantam telak dadanya. Tubuhnya terhuyung mundur, berusaha menghindar dari tendangan susulan tubuh gemuk yang ternyata mempunyai kelincahan yang mengagumkan.

Dua tendangan susul menyusul, menghantam perutnya. Tanpa ayal lagi, tubuh pemuda itu terjungkal menimpa meja kecil di sudut ruangan kamar tersebut.

“Mampus kau! Mampus kau! ..., hhyaaaaa,” bentakan Koh Ahong menjadi jeritan pilu ketika tajam gunting menembus punggungnya. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil berbalik penuh amarah, namun sebuah gunting yang lain segera menusuk ulu hatinya.

Alexa menjerit ngeri ketika melihat mata papanya melotot merah darah, selangkah demi selangkah, Koh Ahong mendekati pembaringan di mana Alexa terduduk tanpa bisa bergerak saking takutnya dengan keadaan papanya saat itu.

Alexa memang yang mempunyai pekerjaan, ketika melihat Ridwan terjatuh, tanpa pinggir panjang, ia meraih apa yang bisa diambilnya, dua gunting sekaligus digenggamnya, demi menolong Ridwan yang tengah tergeletak tak berdaya.

“Anak jj-aaadaaahhh...,” seru Koh Ahong dengan suara mengorok. Tubuh setengah telanjangnya telah bersimbah darah dari dua buah gunting yang menancap di tubuhnya. Dan tubuh gemuk itu pun ambruk begitu sampai di tepi pembaringan. Kemudian terjungkal di lantai dengan mata merah darahnya melotot menyeramkan.

Tinggalah gadis itu di atas pembaringan, meringkuk dengan tangisan tersedu-sedu.

“Neng!” terdengar suara panggilan seorang pria.

Alexa segera menghambur ke pelukan Ridwan dengan tangis sesenggukan.

Ridwan balas memeluk, dia mengelus-ngelus penuh kasih sayang. Merasakan halusnya kulit seputih susu yang hampir tanpa baju itu, begitu hangat dan lembut.

“Ssshh, sudah lah, sekarang bagaimana baiknya ini?” tanya Ridwan sesaat kemudian dengan hati bingung.

“Aku pembunuh papahku sendiri, Mas...,” isak Alexa tanpa mau melepaskan pelukannya.

“Jangan takut, ada saya di sini, Neng. Biar saya yang akan mengaku membunuh papah Eneng, nggak usah khawatir,” hibur Ridwan setelah berpikir sejenak.

“Mana bisa? Nggak boleeeh,” seru Alexa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Saya buronan polisi, Neng. Nggak ada bedanya mengaku kembali sebuah pembunuhan yang lain,” kata Ridwan lagi tersenyum pahit.

“Nggak boleh! Nggak boleh! Mas di penjara, aku akan ikut mas masuk penjara juga!” wajah jelita berurai air mata itu menengadah, bibir tipis kemerah-merahan itu sedikit terbuka.

“Mana boleh begitu!” kata Ridwan, senym pahitnya tak lepas.

“Kalau begitu kita kabur. Kita kabur jauh, ke mana mas, bawa aku tidak akan menolak!”

“Tidak! Neng tidak bisa..., hmfh!”

Mata Ridwan membelalak, ucapannya terhenti oleh sebuah ciuman hangat dari bibir tipis itu. Betapa jelitanya seorang gadis yang matanya berurai air mata namun ada senyum simpul dengan pipi merona kemerahan.

“A-apa ini?” gagap Ridwan bertanya.

“Masih belum cukup buktikah?” wajah yang merona merah itu menunduk.

“Namun ke mana kita akan pergi?” tanya Ridwan seolah bertanya kepada dirinya sendiri.

“Ke mana aja mas mau bawa pergi, aku ikut!” jawab Alexa dengan suara tegas.

“Lalu itu?” tunjuk Ridwan kepada tubuh Koh Ahong yang terbujur kaku.

Diingatkan akan papanya, tangis Alexa kembali pecah, “Papah telah membunuh mamaku, Mas! Entah apa yang terjadi, kenapa papah jadi gila kaya gitu!”

Setelah dihibur beberapa kali, akhirnya ke duanya sepakat, lebih jelasnya Alexa lah yang memaksa, mereka harus cepat-cepat pergi dari situ, meninggalkan jenazah papa dan mamanya di rumah itu. Mereka harus pergi secepatnya dari Jakarta sebelum polisi mengetahui orang tua dari gadis itu telah menjadi mayat.

Dalam diam, mobil meluncur menuju apartemen Alexa, Ridwan lah yang membawa mobil karena Alexa masih dalam keadaan terguncang jiwanya.

Menghindari kecurigaan petugas keamanan karena Ridwan adalah seorang buronan, Alexa menggunakan lift pribadi yang akan langsung menuju ke kamarnya dari basement.

“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan sama Mas Ridwan,” kata Alexa, sedikit senyum misterius tersungging di bibir tipisnya.

“Apa itu?” tanya Ridwan penasaran.

“Lihat aja nanti!” jawab gadis itu sambil mengedipkan mata beningnya.

Begitu Alexa menggesekan kartu id cardnya, pintu apartemen itu langsung terbuka.

“Masuklah, ada kejutan buat Mas,” kata Alexa sambil menggandeng pinggang Ridwan agar ikut masuk ke dalam.

Di dalam sana ada sesosok lain yang menyambut kedatangan mereka. Ke duanya terbelalak kaget.

“Ridwan?!”

“I-bu?!”

“Ibu sama Mas Ridwan silahkan mengobrol dahulu, aku mau mengurus sesuatu sebentar,” kata Alexa sedikit bingung, melihat pertemuan antara dua orang ibu dan anak itu seperti sangat kaku. Apa dikarenakan ada dirinya, sehingga mereka tidak bisa bebas melepas rindu? Ya sudahlah, ia akan keluar apartemennya sambil mengurus segala keperluan saat mereka melakukan pelariannya.

Sepeninggal Alexa, Ridwan mementang matanya, menatap menyelidik wajah ibunya yang segera menunduk.

“Wan, ibu mohon maaf...,” kata Maya setengah berbisik.

“Maaf?..., hhh!”

“Aihhh..., a..., apa-apaan kamu!” Maya menjerit lirih ketika tiba-tiba Ridwan menghambur, mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas tempat tidur. Ridwan seolah berubah menjadi binatang liar yang buas.

“Sakiiit, Waaan,” keluh Maya tak berdaya. Saat Ridwan dengan liar menggigiti hampir semua bagian tubuhnya ketika baju yang dikenakannya terlucuti dengan cepat.

“Sakit? Sakit kamu bilang? ..., siapa yang menyakiti hatiku, Bu? Siapa? hrrrr,” geram Ridwan disela-sela kegiatannya. Segala amarah, cemburu, ditumpahkannya semua saat itu.

Maya terdiam, ia hanya merintih dan mengerang pasrah oleh cumbuan-cumbuan kasar Ridwan. Sepasang payudaranya habis digigit dan dihisap mulut anaknya yang diam-diam selalu dirindukannya itu. Sebentar saja, birahinya terbangkitkan dengan cepat.

“Jangan, Wan. Ini di rumah orang,” keluh Maya ketika Ridwan menarik paksa pahanya agar terbuka penuh untuk kemudian dia bisa membenamkan wajahnya di bukit rimbun yang membusung gemuk itu.

“Owhhh, Waaan... syakhhiiittt,” rintih Maya sambil menggelinjang, ketika tanpa ampun Ridwan menggigit-gigit klitorisnya. Seluruh buku-buku jarinya seakan membeku oleh rangsangan hebat dari pemuda itu.

“Waaannn, amphuuunnn....,” erang Maya dengan pantatnya yang bergerak-gerak mengimbangi rangsangan dari lidah Ridwan.

Dua tubuh itu dengan cepat berkeringat, Ridwan tidak sedikit pun memberi kesempatan kepada ibunya untuk sekedar beristirahat. Tusukan-tusukan penis penuh rasa marah, mengoyak-ngoyak vagina Maya dengan ritme yang sangat cepat. Mengingat vagina ibunya itu pernah dimasuki oleh penis Sobari, makin sakitlah hati pemuda itu, yang mengakibatkan tubuh Maya seperti sebuah adonan martabak telor yang dibanting-banting.

Ridwan menumpahkan seluruh napsu amarahnya dengan menjadi pejantan yang memegang kendali penuh atas betinanya yang dilarang mengeluh dan melawan.

Maya sampai empat kali orgasme oleh rangsangan liar anaknya itu. Vaginanya terasa seperti lecet oleh amukan penis besar Ridwan yang masih juga perkasa belum menyemburkan lahar panasnya. Berbagai posisi yang menunjukkan dominasi seorang pria, ditunjukkan pemuda itu. Hingga posisi terakhir di mana tubuh Maya didesak rapat menempel ke dinding, di atas ranjang apartemen Alexa tersebut, Ridwan mendesakkan penisnya dari arah belakang, menusuk vagina ibunya yang telah sangat licin oleh cairan orgasme berkali-kali tadi.

Ridwan menggeram-geram panas, giginya menggigit pundak ibunya yang sudah sangat pasrah dan lemas sekali itu. Satu tusukan tajam sampai terasa ke ulu hati, Maya merasakan vaginanya tersembur oleh cairan panas yang banyak luar biasa.

“Rasakan! Rasakan!” begitu geraman Ridwan setiap kali menusukan penisnya dalam-dalam dari arah belakang ke vagina ibunya sambil menyemburkan berkali-kali spermanya.

Lalu tubuh ke duanya pun ambruk saling berdampingan di atas ranjang empuk milik Alexa.

“Kamu menyakiti ibu, Wan...,” keluh Maya sedikit terisak.

“Sakit? Siapa sebenarnya yang disakiti?” geram Ridwan di sela dengus napasnya yang terengah-engah.

“Ibu minta maaf, Wan....”

“Maaf? Cuma minta maaf? Kamu mengandung anak Si Bajingan Sobari. Kamu tidak tau rasa sakit yang kurasakan saat ini!”

“Ibu tidak mengandung anak Sobari, Wan. Ibu..., ibu mengandung anakmu!”

Ridwan sampai terlonjak bangun mendengar ucapan ibunya itu. Dia memegang bahu ibunya sambil digoncangkannya keras-keras.

“A-apa? Tapi kamu bilang saat itu...” Ridwan terlihat bingung.

Maya ikut duduk, tersenyum lembut sambil mengelus pipi anaknya.

“Saat itu ibu tidak ada pilihan, Wan..., coba kamu bayangkan, apa ibu akan kuat menerima hinaan dari warga sekitar, kalau ibu mengaku sedang mengandung anakmu? Kebetulan saat itu Sobari datang, ibu mohon maaf karena telah terbujuk rayuannya, saat kamu datang ibu memutuskan untuk memilih Sobari, demi kita, Wan. Demi anakmu yang sedang kukandung ini. Tapi ternyata nasib berkata lain, Sobari menunjukan belangnya, untunglah ada nak Alexa yang menyelamatkan ibu yang hampir gila!”

“Benarkah? Benarkah ini anakku?” tanya Ridwan seolah masih tidak percaya, menatap perut ibunya.

“Iini memang anakmu, Wan. Sudah dua bulan usia kehamilannya, sementara bersama Sobari, ibu kurang sebulan, ibu tidak sama siapa-siapa lagi di dua bulan itu selain denganmu, Wan,” kata Maya menundukkan wajahnya.

Ridwan meraih dagu ibunya, menatap mata yang berkaca-kaca itu, lalu mengecup bibir hangat dan empuk itu dengan penuh kelembutan.

“Maafkan aku, sayang. Sungguh aku sangat cemburu, saat itu aku sangat ingin mati saja daripada hidup tanpa kamu,” bisiknya di telinga Maya. Lalu dia segera merengkuh tubuh telanjang ibunya ke dalam pelukannya. Ciuman demi ciuman mulai merangsang lagi.

“Jangan, Wan. Apa kata Nak Alexa melihat kita seperti ini,” erang Maya ketika Ridwan iseng mencumbunya lagi.

“Aku ingin menengok lagi anakku, Bu,” rengek Ridwan manja.

“Jangan di sini, malu. Takut ketauan, kan bisa nanti-nanti, ibu kan sudah jelas milik kamu,” jawab Maya pelan dengan wajah merona merah.

Ridwan hampir saja lepas kembali untuk mencumbu ibunya, kalau saja tidak terdengar suara dering telepon dari meja sebelah ranjang.

Dengan bingung, Ridwan segera mengangkatnya.

“Mas,” terdengar suara di telepon tersebut.

“N-neng Alexa?” jawab Ridwan ragu-ragu.

“Iya..., aku akan datang sebentar lagi, aku baru selesai mengurus untuk keperluan pelarian kita. Ibu Maya tentu kita bawa kan, Mas?” tanya Alexa.

“Tt-tentu...,” jawab Ridwan cepat.

“Oxe, kalau begitu Mas dan Ibu cepat berkemas, lima belas menit lagi akan aku jemput ya!”

“Iya..., Cuma, Neng...,” Ridwan tak meneruskan perkataannya ketika mendengar nada panjang dari pesawat telepon tersebut, yang artinya Alexa telah memutus sambungan.

“Alexa, Wan?” tanya Maya begitu melihat Ridwan seperti kebingungan.

Setelah menarik napas dalam, Ridwan segera menceritakan semua kejadian yang terjadi, sesekali Maya berseru sambil menutup mulutnya saking kagetnya mendengar cerita Ridwan tersebut.

“Ll-lalu bagaimana sekarang?” tanya Maya dengan panik.

“Terpaksa menjalankan rencana bersama Alexa, ibu tentu ikut bersama kami. Mana bisa aku meninggalkan ibu dan anakku begitu saja!” jawab Ridwan sambil mengecup bibir ibunya.

“Ya sudah, ayo kita berkemas-kemas!” ajak Maya, ia buru-buru ke kamar mandi bermaksud membersihkan diri dari persetubuhan mereka barusan.

Sesuai yang dikatakan Alexa di telepon, lima belas menit kemudian gadis itu datang ke apartemen, lalu tanpa banyak bicara segera memberi isyarat kepada ibu dan anak itu agar mengikuti dirinya dengan membawa barang masing-masing.

Lima belas menit kemudian, sebuah sedan berisi tiga sosok tubuh, meluncur di jalan tol menuju arah Bandung.

THE END

***

AKAN ADA BONUS DALAM EPILOG

TUNGGU DI MALAM MINGGU...!!!

SEKALIAN PROMOSI CERBUNG BARU BERJUDUL ‘BADAI NAFSU’

:Peace:

:ampun: :ampun: :ampun:
 
Puas tidak puas, hanya ini yang sanggup saya persembahkan untuk Para Agan dan Para Suhu sekalian.
Rasa terima kasih tak terhingga untuk kesetiaan, kesabaran, ancaman, serta apresiasi dari Para Agan-Suhu. Terutama suhu @Sanji_Vinsmoke yang telah mensupport dari awal mula, brader @Messier45 yang telah memberi petunjuk yang sangat berguna dalam memberi indeks (walaupun masih berantakan gara-gara gaptek akut :D )
dan semua apresiator yang tak mungkin saya sebut satu per satu, namun akan saya ingat selalu semua kebaikan beliau-beliau sebagai penyemangat untuk berkarya lebih baik.
Untuk @Papa Zola jangan khawatir, reqwestnya akan hadir dalam scene bonus malam minggu, oxe.... ;)
salam santun salam sejahtera..., damai selalu untuk kita semua....
:beer: :beer: :beer:
 
Akhir tamat...
Nunggu aja epilog nya
Makasih suhu :ampun::mantap:
Moga Anto & Sobari dapat balasan :(
Maya mengandung anak Ridwan?
Kehidupan Alexa juga ngak pasti....
Alexa & Ridwan juga belum.... :tegang:
Moga Happy Ending ya suhu :adek:
 
Wow mantap akhirnya tamat, wkwkw sobari mati pasti udah puas tuh merasakan meki nya maya ibu nya Ridwan. Tinggal Ridwan dapat bekas teman2nya. Pasti jadi kenangan indah tuh bagi Ridwan, ibunya pernah dipakai mereka.. kenangan ga bakalan terlupa. Hidup ga sempurna lagi:adek::coli::nenen: :Peace:
 
Alexa yang menemukan Bu Maya yang sedang dalam keadaan linglung di jalanan, membawa ibunya Sobari itu ke apartemennya. Merawatnya dengan penuh kasih sayang, walau pun perempuan itu lebih banyak melamun
Maaf hu typo sedikit di awal sempet gak yakin baca sampai akhir, tpi selebihnya memang mantap. Makasih hu atas karyanya. Dah bikin saya trhibur slama ini. Sungguh karya yg memuaskan. Patut ditunggu karya2 slanjutnya.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd