[PART 20]
”kenapa sih maksa sekali ketemu?” tanyaku.
”kenapa sekarang mau?” balasnya.
”ga mau sebenarnya. Cuma Gw keberatan dengan foto-foto itu”
“itu hak Gw untuk foto siapapun”
”Mau sampai kapan?”
”belum tahu”
”kamu tahu ujungnya toh Saya tidak mau denganmu”
”kamu bukan Tuhan”
”Tuhan sekalipun tidak bisa memaksa perasaanku”
”wajar, kita baru kenal. Beri aku waktu untuk dekat denganmu”
”Pergilah Helen. Kau hanya akan jadi satu dari sekian wanitaku kalau kamu nekad maju terus.”
”sekian wanitamu? Kamu koleksi?”
”bukan koleksi, tapi aku tidak bisa berkomitmen dengan satu orang”
”Oh, baguslah kamu mengakui kamu seorang player.”
”terserah, tapi Saya sudah peringatkan”
”Aku sudah pernah mengalaminya. Sakitnya luar biasa. Jadi kalau sekarang satu lagi player mengancamku seperti ini, aku tidak takut.”
”saya tidak mengancammu. Saya tidak mau kamu buang-buang waktu.”
”itu waktuku, terserah aku mau kupakai untuk apa!”
”cabe sepuluh.”
”hahaha.. ” Helen tergelak.
”Pernah jadi korban player?” tanyaku. Helen mengangguk.
”Kamu bilang kamu masih virgin.” tanyaku.
”vaginaku virgin..” kata Helen sambil tersenyum.
”lalu?”
”tapi semua tubuhku sudah pernah dijamah. Aku pernah melakukan semuanya, termasuk anal seks. Aku tidak selugu itu, kau bodoh Kevin.”
”bohong!” Gw tentu saja terkejut.
”mau coba?” tantang Helen.
”anal?” tanyaku.
”Apalagi? Jepitannya lebih enak dari vagina.” Helen tersenyum.
”payudaraku kencang, kamu boleh meremasnya sekuat tenagamu, aku menikmati rasa sakit dari payudara yang diremas kencang..” bisiknya.
”kamu serius? Saya akan meninggalkanmu setelah semuanya terjadi.”
”Silakan pergi kalau aku tidak bisa membuatmu ketagihan. Tapi kalau sampai ketagihan dengan permainanku, aku yang akan mencampakkanmu.”
”mencampakkanku?” Gw seperti ingin tertawa. Gw tidak pernah main hati.
”Belum pernah satu penis yang sama memasuki analku dok. Mereka semua mengemis ingin mendapatkanku.”
Gadis ini terlalu percaya diri. Tetapi bahasa tubuhnya, cahaya matanya, ketegasan nada katanya, dia tahu yang dia katakan.
Gw belum pernah anal seks. Itu yang membuat tiba-tiba permainan berubah arah.
Gw tiba-tiba berada diposisi yang sangat menginginkan Helen, untuk semua imajinasi yang diciptakannya lewat kata-kata tajamnya.
”You wanna play, doct?” tanya Helen ketika Gw diam membisu.
**
Gw sungguh penasaran dengan iming-iming Helen. Berani betul dia bilang dia bisa mencampakkanku jika ternyata Gw yang ketagihan dengan permainannya. Vaginanya masih virgin, dan dia malah menikmati anal seks. Gadis yang aneh.. hmm.. bukan. Lebih dari itu, agak menyeramkan bagiku, walaupun Gw bukan pria penakut.
Menyeramkan karena HIV menular paling mudah melalui anal seks. Gw ga tahu siapa Helen dan apakah dia sehat.
“Lama benar jawabnya?” tanya Helen memecahkan es di pikiranku.
”
Not tonight Helen. Tapi saya tidak terlalu tertarik dengan anal seks.” kataku berbohong. Penisku mengeras tanda protes, dia tentu penasaran rasanya masuk lobang sesempit itu.
Aku tidak bisa berpikir jernih disituasi seperti ini. Cara terbaik adalah pergi dan biarkan otak warasku kembali bekerja.
“Oke Doct. Sudah kuduga itu jawabanmu.”
“omong kosong. Prediksi tidak boleh disebutkan setelah terjadi.” Sanggahku.
“beritahu aku kapan kamu mau.
I promise you, i am healthy.” Kata Helen seolah bisa membaca pikiranku. ”Mau tes darah dulu?” tantang Helen. Gadis ini maju beberapa langkah ke depan. Kegigihannya membuatku sedikit tersanjung.
”Saya akan WA kamu Helen.”
”hmm ok.. Aku akan tetap bersamamu,
dont worry.” Jawab Helen.
“
paparazi wont get anything” kataku dijawab dengan senyum dinginnya. Memang dia ingin mematai-mataiku, silakan.
**
Setelah beberapa hari berlalu, Gw mulai muncul ke permukaan air. Kaki Gw mulai terlepas dari ikatan jurnal,
doctors meeting, conference, seminar dan pasien yang silih berganti menuntut perhatianku.
Setiap pagi kerjaan Gw memeriksa WA.
Angelica : Dok, kangen.. kapan ketemu?
Kevin : Ntar malam deh.
Melody : Kak.. kapan ke apartemen lagi?
Kevin : Ntar malam deh.
+65xxx : Maaf baru balas. Aku sudah sehat.
Kevin : Good!
Helen : Bangun, segera ke klinik. Paparazi sudah mengintaimu.
Kevin : terserah.
dr.Nira : Apa kabar Kevin?
Kevin : baik doc.
Katrin : Saya di Jakarta, ada waktu ketemu?
Kevin : Ntar malam deh.
Mika : Dok Kevin, apa kabar? Lu kapan bisa ke rumah tolongin mama aku?
Kevin : Ntar sore deh.
+62821 : Dok, ini nomor baru Winda. Save ya.
Kevin : Winda siapa? Nurse Winda atau Ibu Winda?
Gw buru-buru balas semuanya dengan cepat. Ok ntar malam Gw bisa ketemu Angelica, Melody dan Katrin. Semoga bisa diatur. Mamanya Mika juga harus ditolong.
** Bu Winda **
”Wah pagi sekali datangnya Dok?” tanya nurse Rosi ketika Gw masuk ruangan praktek Gw. Rosi sedang membereskan dokumen.
”jam 10 sudah tidur. Jam 5 sudah bangun.” jawabku. Pintu terbuka dan Bu Winda masuk sambil membawa sapu. Sudah beberapa hari tidak bertemu dengan Ibu satu ini. Gw jadi teringat keusilannya ngerjain Gw.
”lho tumben sudah tiba dok?” tanya Bu Winda ketika Rosi melangkah keluar dari ruang praktek.
”kayaknya ga ada celana dalam ketinggalan lagi deh dok..” kata Bu Winda sambil tersenyum. Mau cari gara-gara ni Ibu rupanya.
”Itu celana dalam siapa Bu?” tanya Gw sopan.
Bu Winda sambil menundukkan badan ketika tubuhnya bergerak menghadap kearahku. Gw langsung sadar kancing baju di bagian dadanya yang terlihat besar telah terbuka. Belahan dadanya terpampang jelas dan buat Gw ini sebuah godaan dari seorang ibu-ibu pegawai klinik ini!
”masa celana dalam saya sih dok?” tanya Bu Winda. Badannya malah makin menunduk dan dia sama sekali tidak berusaha menutupi payudaranya yang makin jelas terlihat, terbungkus bra berwarna pink!
Pink lagi warnanya. Sama dengan warna celana dalam waktu itu!
”lah kok nanya saya. Kan ibu yang tahu itu cd siapa?” tanyaku dengan sabar menanti apa maunya. Gw ikutin aja lah obrolannya sambil menikmati pertunjukkan yang dia suguhkan.
”iya bener cd saya sih dok. Saya salah ambil, maaf ya dok. Nanti saya ambilkan yang hitam punya si mbak bule..” kata Bu Winda.
”oke Bu.” jawabku santai, lalu menyalakan laptop.
”dok.. mau susu?” tanya bu Winda.
“eh, susu?” Gw kaget salah fokus. Bu Winda berdiri persis di depanku dengan sedikit keringat muncul di wajahnya. Mata Gw mau tidak mau mengarah ke payudaranya yang tampak tebal.
“ih dokter matanya. Bukan susu ini dok. Susu hangat, susu sapi murni.” Kata Bu Winda sambil tersenyum dan memegang payudaranya dengan kedua tangannya, memperagakan perkataannya.
“Oh, engga Bu. Susu sapi cuma bagus buat anak sapi..” kataku setengah menahan nafas melihat kelakuannya.
”wah? Gitu ya dok? Kalau manusia bagusnya ASI ya dok?”
”iyalah Bu..” jawabku.
”dokter minum ASI nya siapa hayo?” tanya Bu Winda dengan
wajah itu lagi.
”ya kalau sudah dewasa minum sari kedelai saja Ibu.. atau minuman sehat lainnya.” jawabku berusaha menghindari masuk ke frekuensi yang diinginkannya. Gw berusaha sekuat titit Gw untuk bersikap
cool.
Mata kami bertatapan beberapa kali dan Gw yang kalah, karena dia tidak berkedip memandangku. Otak Gw dengan cepat memindainya.
Tinggi sekitar 160cm.
Susu tebal, 36c.
Kulit bersih coklat muda.
Usia sekitar 45.
Bibir cenderung penuh.
“iya deh dok. Dulu bapaknya anak-anak suka sekali minum susu..” kata bu Winda. Ada kata
dulu yang berarti
tidak sekarang.
“susu sapi Bu?” tanyaku kehilangan orientasi. Entah kenapa Gw nanya seperti itu. Bu Winda menganggukkan kepala.
”ya masa ASI dok! Bisa deh becandanya! Hahaha..” tiba-tiba Bu Winda tertawa.
”kok
dulu Bu? Sekarang engga?” Gw akhirnya menanyakan pertanyaan yang sepertinya ditunggunya.
”udah pisah Dok, lama sudah 5 tahun.” kata Bu Winda sambil menggigit bibirnya.
Hmm.. fakta baru, dia janda 5 tahun.
”Oh, Ga menikah lagi Bu Winda? Kan masih muda..” tanyaku.
”belum ketemu yang cocok Dok. Yang mau sih banyak. ” jawabnya.
”Semoga segera dapat ya Bu..” kata Gw bermaksud menyelesaikan obrolan ga penting ini. Gw sudah mulai ingin fokus ke pekerjaan.
”Dokter juga kok belum kawin juga? Sudah punya pacar Dok?” tanya Bu Winda.
Waduh, ini lanjut nih ngobrolnya?
”Jodohnya belum ketemu juga si Bu.. doakan juga ya.” jawab Gw diplomatis. Gw malas bicarain topik ’pacar’.
”doa saya gak manjur dok. Hahaha. Kalau bikin jamu saya bisa. Bisa kuat berkali-kali Dok..” kata Bu Winda dengan kode di kerling matanya. Gw cuma tersenyum tanpa menanggapi. Dia gagal memahami telepati Gw sepertinya. Obrolannya malah makin menjurus.
”saya pernah pacaran sama anak muda seusia dokter lho.. dua tahun yang lalu.” katanya. Gw diam saja, membiarkannya lanjut bercerita. Laptop Gw sudah menyala, dan Gw mulai membuka dokumen. Sialnya Gw malah membayangkan Bu Winda kira-kira lagi ngapain dengan pacar mudanya?
”saya kasih jamu buatan saya Dok. Wih, dia minta jatah terus. Hahaha..” Bu Winda makin berani.
”Tapi sudah putus dok. Itu karena..” ceritanya terputus. Pintu terbuka dan Nurse Rosi masuk. Perasaan Gw sedikit bingung. Satu sisi penasaran kenapa Bu Winda putus, satu sisi Gw rasa ga penting juga dengar ceritanya.
”Terima kasih Bu Winda sudah dibersihkan ruangan ini.” kataku memilih mengusirnya.
Bu Winda tersenyum. ”Sama-sama dok. Kalau mau coba jamunya kabarin ya dok..” kata Bu Winda diikuti reaksi terkejut dari wajah nurse Rosi.
”Jamu apa ya dok?” tanya nurse Rosi ketika Bu Winda keluar dari ruangan.
”oh dia tanya apa jamunya bisa dipatenkan. Entah isinya apa saya juga belum tahu.” Jawabku asal.
“oh gitu. Eh iya, tadi dicariin dokter Eoliani. Katanya mau ajak lunch dok.” kata Nurse Rosi.
”ok thank Rosi.” kataku. Gw memang belum periksa HP, mungkin ada WA nya.
** Eoliani **
“Ikut mobilku aja deh dok..” kata Eoliani ketika kami di parkiran mau lunch.
”wow, rapi bersih wangi..” kataku ketika masuk di mobilnya.
”kok kaget gitu ekspresinya? Ga rela Aku rapi bersih dan wangi?” tanya Eoliani.
”hehehe.. seperti bukan kamu. Kesan pertama kita berjumpa masih teringat.” jawabku.
”jeans sobek, rokok, jaket hitam?” tanya Eoliani lalu terkekeh.
”lalu tiba-tiba pakai jilbab dan mobil yang.. sehat” kataku. Tawa Eoliani meledak.
”aku suka pilihan katamu dok. Sehat adalah rapi, bersih dan wangi.” Komen Eoliani.
“kamu tuh semacam.. keindahan yang kacau, kekacauan yang indah.” Kataku sambil meliriknya. Mata kami bertemu.
“itu apa ya namanya dok.. kontradiksi?” tanya Eoliani.
“bukan.. ada satu istilah yang seharusnya kamu tahu untuk kalimat semacam itu..”
”Oh ya? Paradoks?”
”bukan juga..”
”lalu?’
”PR yah buat kamu..” kataku sambil nyengir.
”tai ah..” Eoliani cemberut sesaat. Gue tahu dia sebal tapi tidak marah.
“hahaha.. mau makan apa nih?” tanya Gw. ”Aduhhh” teriak Gw ketika tangan Gw dicubitnya keras sekali.
“kamu tuh.. nyebelin!” kata Eoliani.
“lagi dong. Uda lama ga dicubit mesra” ledekku.
”Mesra! Okeh.. ” tangan Eoliani melayang dan mencubit pipiku dengan keras!
”Aduhh...” benar-benar sakit!
”udah mesra belum sayang?” tanya Eoliani sambil tetap menarik kulit pipiku.
”makasih sayang cubitannya..” kataku pelan sambil menyentuh tangannya lalu mengusapnya perlahan. Gw bisa merasakan keterkejutan Eoliani. Tangannya berusaha kembali ke asalnya tapi kutahan dan ku elus dengan lembut.
”ada yang ngelaba..” kata Eoliani pelan.
”iya, kamu. Dua kali, pakai alasan nyubit.” kataku.
”loh? Kok jadi aku?” protes Eoliani.
”kalimatmu barusan, protes yang setuju..” kataku sambil nyengir lagi. Tangan kami terlepas dan Eoliani tersenyum. Bahasa tubuhnya, mimiknya dan cahaya matanya kembali muncul dengan pola yang sama.
”Kekacauan yang indah, protes yang setuju..” Eoliani mengulang kalimatku.
”aku tanya Melody deh. Dia pasti tahu yang beginian.” kata Eoliani sontak melemparkanku pada ratusan jam yang telah berlalu, di apartemen mereka, duduk disamping Melody, merasakan getaran suaranya.
”Melody sangat berbakat..” kataku.
”kalian bisa jadi pasangan yang sempurna” kata Eoliani. Gw reflek menggelengkan kepala.
Melody bahkan tidak pernah ada dalam hatiku. Justru Eoliani yang membuatku merasakan sedikit getaran yang bisa kusebut, rasa suka.
”kok bengong?” tanya Eoliani. Gw menoleh dan mata kami beradu pandang. Bibirnya yang mungil, caranya mengedipkan mata dan bahasa tubuhnya yang terlihat lemah, rapuh, tetapi dibungkus dengan penampilan yang cerdas.
Tanpa sengaja aku membuka pintu hatiku dan..
Cahaya mata itu melompat masuk ke hatiku yang gelap.