satria73
Calon Suhu Semprot
- Daftar
- 12 Nov 2017
- Post
- 2.563
- Like diterima
- 6.747
Chapter 3
"Pertarungan sudah tidak bisa dihindari lagi, pergilah kamu membantu pamanmu..!" kata Bi Narsih. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia menggigit bibirnya.
"Pergilah, A. Semoga ini menjadi pertarungan terahir." kata Lilis, wajahnya terlihat ragu
"Semoga saja..!" gumamku.
Aku keluar dengan memakai baju pangsi yang bisa mempermudah gerakanku saat bertarung nanti. Di luar ternyata sudah berkumpul dua puluh orang yang akan ikut aku melakukan pertarungan. Pasti Lilis yang mengumpulkan mereka dalam waktu singkat. Wanita yang mengerikan, pikirku.
"Ayo kita berangkat, Jang." ajak Bi Narsih.
"Bi Narsih mau ikut?" tanyaku kaget. Dengan kehamilannya yang memasuki bulan ke delapan keberadaannya justru akan membuat repot. Aku tidak akan mengijinkan Bi Narsih ikut, utu sangat berbahaya.
"Bibi harus ikut, hanya Bi Narsih yang bisa menyelesaikan semuanya." kata Bi Narsih membuatku ragu untuk melarangnya ikut. Aku melihat ke arah Lilis untuk memastikan apa yang harus kulakukan. Biasanya dia tahu. Sebuah anggukan kecil dari Lilis sudah cukup.
"Baiklah, Bi." kataku, walau rasa sas wasku tidak mau hilang, bagaimana kalau terjadi apa apa dengan Bi Narsih? Aku orang yang paling menyesal.
Perjalanan ke tempat pertempuran Mang Karta dan Japra menghabiskan waktu hampir satu jam. Aku benar benar gelisah, takut semuanya sudah terlambat. Aku berharap Mang Karta bisa memenangkan pertarungan yang entah siapa yang memulai.
"Bi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku ke bi Narsih yang terlihat tegang. Bahkan Asep mobil tidak berpengaruh padanya, keringat dingin mengalir deras pada wajahnya yang terlihat tegang. Semoga semuanya belum terlambat.
"Mamangmu tahu orang yang membunuh ayahmu adalah Japra, dja ingin menuntut balas. " kata Bi Narsih singkat.
Aku percaya apa yang diucapkan Bi Natsih karena Japra hampir saja membunuhku. Itu mungkin yang menjadi alasan Japra berusaha membunuhku, agar tidak ada yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Padahal siapapun orang yang sudah membunuh ayahku, aku tidak berniat menuntut balas. Karena di mata kami, ayahku sudah mati puluhan tahun yang lalu.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, sebuah bangunan bertingkat yang yang terbengkalai dan mulai ditumbuhi ilalang. Sebuah bangunan yang belum jadi dan ditinggalkan begitu saja. Tempat ini dipagari seng yang mulai berkarat. Kami segera masuk, tapi ternyata tidak ada pertempuran sama sekali.
"Coba kalian selidiki tempat ini, cari sisa sisa pertempuran.?" kataku memerintahkan semua orang untuk menggeledah tempat ini.
"Bi Narsih gak salah, di sini tempatnya?" tanyaku heran sambil menatap Bi Narsih yang sedang mengandung anakku.
"Benar, ini tempatnya." kata Bi Narsih heran. Tiba tiba wajahnya menjadi pucat.
"Ini jebakan, cepat panggil anak buahmu..!" kata Bi Narsih dengan suara bergetar.
Terlambat, aku mendengar teriakan bersahutan dari dalam gedung yang terbengkalai. Belum sempat aku bergerak dari tempatku, ada enam orang yang mengurungku dengan membawa berbagai macam senjata. Dari penampilannya sudah jelas mereka mau mencelakai kami. Posisiku sekarang berada diujung tanduk, aku harus melindungi Bi Narsih agar tidak celaka.
Tanpa pikir panjang aku menyerang prang terdekat denganku, sebuah pukulan mematikan ke arah rahangnya. Pukulan yang akan mampu memecahkan tembok tebal. Serentak orang yang yang mengepungku ikut menyerang ke arahku. Inilah yang aku inginkan, dengan menyerangku secara serentak mau tidak mau tubuh mereka akan saling bersentuhan untuk bisa mencapai diriku. Itu artinya aku bisa melumpuhkan mereka dengan cepat sebelum Bi Narsih.
Pukulanku tepat menghantam orang itu hingga rahangnya patah tanpa bisa dihindarinya dan aku langsung berbalik ke arah orang orang yang berebutan menyerangku. Secepat kilat aku kembali melancarkan pukulan ke arah bagian vital mereka tanpa sempat mereka hindari karena posisi mereka yang saling berdesakan. Sementara aku dengan leluasa menangkis dan menghindar pada posisi yang tepat karena ruang gerakku lebih terbuka. Dalam sekejam aku bisa mematahkan tulang rusuk seorang yang terdekat dan seorang lagi kutendan kantong semarnya.
Tinggal tiga orang yang masih berdiri dan inilah pertarungan yang sesungguhnya. Mereka adalah jago pilihan yang dikirim untuk mencelakaiku berarti kemampuan mereka sangatlah hebat. Dengan tersisanya tiga orang, maka ruang gerak mereka menjadi lebih luas. Kemampuan mereka akan keluar dengan maksimal.
Belum sempat aku mengambil nafas, sebuah tusukan dari arah samping kiri mengarah leherku dengan cepat. Aku menghindari pisau itu dengan cara melayangkan pukulan ke arah lawan yang berada tepat di depanku. Kali ini pukulanku bisa ditangkis dan lawan yang berada di depanku membalas dengan pukulan yang mengarah rahangku. Seperti tadi aku menghindar dengan melayangkan pukulan ke arah lawan yang berada di samping kananku. Sebuah pukulan tipuan mengarah ke wajahnya dan saat orang itu menghindar aku sudah berbali ke arah pria yang memegang pisau. Bertepatan dengan pria itu menusukkan pisaunya ke arah perutku, dengan sedikit gerakan menghindar ke samping kiri, lalu aku menarik tangannya dan pada saat yang sama temannya menusukkan pisaunya ke arahku. Aku meloncat ke samping. Fatal akibatnya, dua buah pisau saling menusuk. Tusukan pertama mengenai perut lawan yang menyerangku dari belakang dan tusukan orang yang menyerangku dari belakang tepat mengenai leher orang yang kutarik tangannya.
"Berhenti, atau wanita ini akan mati..!" sebuah teriakan mengagetkanku. Aku menoleh je asal suara orang yang berteriak, wajahku langsung pucat melihat seseorang memeluk Bi Narsih dari belakang dengan pisau belati mengarah tepat pada lehernya yang jenjang. Aku terpaku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Salah bertindak, nyawa Bi Narsih melayang.
"Lepaskan dia!" bentakku dengan kemarahan yang terasa menyesakkan dada. Aku hanya bisa berdiri mematung tanpa bisa melakukan apapun.
Disaat aku diam mematung, pria yang mengancam Bi Narsih berteriak nyaring dan ambruk ke tanah membawa tubuh Bi Narsih jatuh menimpa tubuhnya sambil memegang pergelangan tangan orang yang memegang pisau. Ternyata yang membokong orang itu dari belakang adalah Mang Karta.
"Mang...!"/seruku lega melihat Mang Karta berdiri dihadapanku dengan gagah. Mang Karta hanya tersenyum sekilas dan segera membantu Bi Narsih bangun.
"Sudah Akang bilang, kamu gak perlu ikut ke sini. Kenapa kamu malah ikut." kata Mang Karta memarahi Bi Narsih yang susah payah bangun dari atas tubuh orang yang mungkin pinsan karena tengkuknya kena tonjokan Mang Karta.
"Maaf, Narsih sangat hawatir dengan kesalamatan Kang Karta. " kata Bi Narsih langsung memeluk Mang Karta walau perutnya yang sudah membuncit menghalanginya.
Mang Karta bersiul nyaring, dari luar berhamburan anak buahnya yang berjumlah sepuluh orang. Mereka semua bersiap melakukan serangan mencari anak buah Japra yang mungkin masih bersembunyi di dalam gedung yang terbengkalai. Belum lagi anak buah Mang Karta masuk ke dalam bangunan terbengkalai, orang orang yang kubawa keluar beriringan. Ada 6 orang diantara mereka terluka cukup serius sehingga harus dipapah dan digotong oleh teman temannya yang lain.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Mang?" tanyaku penasaran dengan kejadian yang sebenarnya.
"Mamang curiga ini jebakan. Makanya Mamang gak masuk tapi mengintai dari kuar. Ech gak tahunya malah kalian yang kena jebak. Sekarang kita harus segera pergi dari tempat ini sebelum polisi datang." kata Mang Karta.
*******
Keesokan harinya aku berniat ke kios untuk melihat keadaan kios setelah ditinggalkan Lastri begitu saja. Ada perasaan jengkel karen apa yang aku rintis hilang begitu saja. Kerugian yang cukup besar bahkan menurut ukuranku sangat besar.
Saat aku sedang memeriksa stock barang, datang Heny menemuiku. Aku menyambut kedatangannya dengan perasaan curiga setelah mengetahui dia adalah seorang polisi yang sedang menyamar.
"Ada apa?" tanyaku dingin menyambut kedatangan Heny.
"Kamu tahu ke mana Lastri pergi?" tanya Heny terlihat tenang dengan sambutanku yang tidak ramah.
"Aku tidak tahu, kamu pasti lebih tahu ke mana dia pergi. Asal kamu tahu dia membawa lari uang kiosku." kataku berbalik membelakangi Heny meneruskan pekerjaanku.
"Aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu..!" kata Heny.
"Aku lagi sibuk." jawabku enggan menanggapi ajakannya. Aku sudah tidak perduli lagi dengan dunia hitam. Selama ini aku terjebak bukan karena keinginanku.
"Ayolah, ini tentang kematian ayahmu." kata Heny membuat tubuhku berbalik ke arahnya dengan perasaan mulai tertarik.
"Kita bicara di tempat tertutup." kata Heny tersenyum senang karena mendapatkan respon dariku.
"Mang, tolong dicatat apa yang gak ada. Besok aku lihat apa saja yang gak ada." kataku pada pegawaiku yang biasa membantu Lastri. Lalu aku berpamitan kepadanya.
Aku dan Heny meninggalkan pasar dengan motorku. Aku tidak tahu ke mana tujuan Heny, jadi aku mengikuti instruksi Heny hingga ahirnya kami sampai di sebuah penginapan yang cukup nyaman.
"Kita mau membicarakan masalah apa?" tanyaku setelah berada di dalam kamar yang cukup luas dengan kasur spring bed empuk bersprei putih.
"Nanti kita bicaranya sesudah kamu entot aku samapi puas." kata Heny yang segera membuka seluruh pakaiannya hingga bugil.
"Kita ke sini untuk membicarakan hal psnting." kataku hengkel dengan kelakuan Heny.
"Tentu saja ini juga gak malah pentingnya.!" kata Heny sambil meremas payudar mungilnya dan juga menggesek gesek memeknya yang berbulu kebat. Bahkan saking lebatnya mebutupi memeknya.
"Aku pulang kalau tidak ada yang dibicarakan." kataku semakin jengkel dengan gidaanya yang zudah bdrlebihan.
Belum sempat aku berdiri, Heny mengambil tas dan mengeluarkan sepucuk pistol yang langsung ditodongkan ke arahku.
"Buka bajumu...!" ancam Heny membuatku semakin marah. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena aku masih belum mau kehilangan ngawaku sebelum anak anakku lahir.
Dengan perasaan jengkel, aku membuka seluruh pakaianku hingga tidak ada yang tersisa. Kontolku masih tertidur dengan nyenhak, nenggantung du selagkangan.
"Kontol kamu belum bangun aja sudah sebesar ini, hebat. Kontol yang bikin aku ketagihan." kata Heny berjongkok dihadapanku. Tangannya membelai kontolku dengan lembut.
Heny menjilati batang kontolku yang masih kemas. Ternyata kontolku tidak pernah mampu menahan godaan. Perlahan mulai bereaksi, menggeliat dari tudurnya. Apa lagi kemampuan Heny menyepong harus kuakui di atas rata rata bahkan bisa dikatakan sangat ahli seperti bintang porno profesional.
"Ennnnak banget seponganmu, Mbak..!" kataku sambil menjambak rambutnya yang pendek. Menekan kepalanya hingga kontolku masuk senakin dalam ke mulutnya yang mungil.
Heny nengulum kontolku disertai hisapan yang kuat sehingga kontolku semakin keras. Wanita yang binal sejak pertama kali ngentot dengannya, dialah yang selalu memulainya lebih dahulu..
"Udah, nanti aku keburu kellluar...!" kataku menyerah. Aku tidak begitu suka mengeluarkan pejuh di mulut. Rasanya tidak senikmat mengeluarkannya di memek.
Heny bangkit dan mendorongku jatuh terlentang ke spring bed empuk. Tanpa bicara Heny berjongkok diwajahku dan menjejalkan memeknya ke mulutku. Bau memek Heny sangat keras dibandingkan dengan semua wanita yang pernag ngentot denganku, namun hal itu tidak pernah mengganggu kesenanganku menjilati memek. Rasanya sangat nikmat dan asin.
"Iya, terus jilatin memekku...!" kata Heny menjambak rambutku sehingga wajahku semakin terbenam di memeknya yang panjang lebih panjang dari biasanya. Bibir memeknya lebih tebal.
Aku semakin bersemangat menjilati memeknya dan menghisap lobang memeknya hingga cairannya tertelan olehku. Kadang aku menggigit utilnya yang menonjol keluar dan menariknya pelan membuat Heny mengerang nikmat.
"Jang.... Akkkku kelllluar...!" Heny menjerit kecil, aroma memknya semakin menyengat keras. Aku semakin keras menghisap memeknya hingga tubuh Heny lemas tidak bertenaga.
"Gila, gila kamu benar benar pejantan tangguh...!" kata Heny beringsut mundur hingga mencapai kontolku yang langsung diarahkannya ke lobang memeknya. Heny memang selalu begitu, tidak pernah puas puas dengan orgasme yang sudah diraihnya. Swlama kontolku masih berdiri tegak, dia akan terus mengocok kontolku dan menguras pejuhku hingga tidak ada yang tersisa.
Heny langsung menurunkan pinggulnya sehingga memeknya menelan seluruh kontolku, tanpa menunggu lagi Heny menggerakkan pinggulnya dengan cepat memompa kontolku dengan liar sehingga kontolku serasa mau patah karena gerakannya yang cepat dan memutar. Untung aku sudah terbiasa dengan gerakkannya sehingga tidak perlu terlalu menderita.
"Kontol kamu benar benar luar biasa...akku kelllluar...!" Heny menjerit mebyambut orgasme ke duanya yang tidak kalah dahsyat dengan orgasme pertamanya...
Aku tunggu Heny diam dan aku balikkan tubuhku sehingga Heny berada di bawahku. Kedua kakinya kutaruh di pundak dan kontolku menghujam memeknya dengan keras. Tanpa memberinya waktu aku memompa memeknya dengan kasar sehingga tubuh kami ikut berguncang keras.
"Terus entot aku yang kenceng...!" Heny malah kesenangan nenerima hujaman kontolku yang kasar. Dan hal itu membuatnya tidak bertahan lama, Heny kembali meraih orgasme ke tiganya dalam waktu yang cepat.
Aku semakin bersemangat memompa memek Heny agar bisa orgasme secepatnya. Jeritan dan teriakan Heny menjadi simfony musik yang harmonis dan mempercepat orgasmeku.
"Aku kelllluar....!" teriakku sambil menghujamkan kontolku sedalam yang aku bisa dan menembakkan pejuhku.
"Aaaaaaku juga kelllluar...!" Heny kembali menerang nenyambut irgasmenya yang tidak kalah dahsyatnya. Kami terdiam dalam posisi masing masing hingga badai kenikmatan berlalu. Aku menggulingkan tubuhku ke samping.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku setelah pulih dari badai orgasme yang dahsyat.
Sebuah kerja sama..!" kata Heny tengkurap, sehingga kami bisa beradu pandang.
"Kerja sama apa?" tanyaku heran.
"Kerja sama untuk membongkar jaringan Si Kupu Kupu..!" kata Heny membuatku heran karena belum pernah mendengar nama si Kupu Kupu.
"Aku tidak kenal denga si Kupu Kupu. Lalu apa untungnya buat terlibat dalam operasimu?" tanyaku heran.
"Si Kupu Kupu adalah tangan kanan mediang Pak Budi, dia juga bekas tangan kanan Gobang. Kupu Kupu adalah nama julukannya. Namanya adalah Dhea...!" kata Heny.
"Dhea adalah si Kupu Kupu?" tanyaku heran.
"Ya, si Kupu Kupu yang berhasil melenyapkan tokoh tokoh penting. Dan kemungkinanya dia pula otak pembunuhan ayahmu. Kamj dan keluargamu adalah target selanjutnya untuk dilenyapkan." kata Heny membuaku terkejut.
"Baiklah, aku bersedia." kataku setelah berpikir keraa. Mungkin benar target selanjutnya adalah aku.
"Pakailah bajumu, sebentar lagi akan datang seseorang, dia akan menjadi penghubung kita." kata Heny setelah melihat jam tangannya. Kami segera berpakaian dan menunggu orang yang akan jadi penghubung kami.
Tok tok tok, ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Heny langsung membuka pintu dan masuklah seseorang yang tidak akan pernah aku lupakan. Dia orang yang pernah menusukku hingga koma selama beberapa hari.
Bersambung
"Pertarungan sudah tidak bisa dihindari lagi, pergilah kamu membantu pamanmu..!" kata Bi Narsih. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia menggigit bibirnya.
"Pergilah, A. Semoga ini menjadi pertarungan terahir." kata Lilis, wajahnya terlihat ragu
"Semoga saja..!" gumamku.
Aku keluar dengan memakai baju pangsi yang bisa mempermudah gerakanku saat bertarung nanti. Di luar ternyata sudah berkumpul dua puluh orang yang akan ikut aku melakukan pertarungan. Pasti Lilis yang mengumpulkan mereka dalam waktu singkat. Wanita yang mengerikan, pikirku.
"Ayo kita berangkat, Jang." ajak Bi Narsih.
"Bi Narsih mau ikut?" tanyaku kaget. Dengan kehamilannya yang memasuki bulan ke delapan keberadaannya justru akan membuat repot. Aku tidak akan mengijinkan Bi Narsih ikut, utu sangat berbahaya.
"Bibi harus ikut, hanya Bi Narsih yang bisa menyelesaikan semuanya." kata Bi Narsih membuatku ragu untuk melarangnya ikut. Aku melihat ke arah Lilis untuk memastikan apa yang harus kulakukan. Biasanya dia tahu. Sebuah anggukan kecil dari Lilis sudah cukup.
"Baiklah, Bi." kataku, walau rasa sas wasku tidak mau hilang, bagaimana kalau terjadi apa apa dengan Bi Narsih? Aku orang yang paling menyesal.
Perjalanan ke tempat pertempuran Mang Karta dan Japra menghabiskan waktu hampir satu jam. Aku benar benar gelisah, takut semuanya sudah terlambat. Aku berharap Mang Karta bisa memenangkan pertarungan yang entah siapa yang memulai.
"Bi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku ke bi Narsih yang terlihat tegang. Bahkan Asep mobil tidak berpengaruh padanya, keringat dingin mengalir deras pada wajahnya yang terlihat tegang. Semoga semuanya belum terlambat.
"Mamangmu tahu orang yang membunuh ayahmu adalah Japra, dja ingin menuntut balas. " kata Bi Narsih singkat.
Aku percaya apa yang diucapkan Bi Natsih karena Japra hampir saja membunuhku. Itu mungkin yang menjadi alasan Japra berusaha membunuhku, agar tidak ada yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Padahal siapapun orang yang sudah membunuh ayahku, aku tidak berniat menuntut balas. Karena di mata kami, ayahku sudah mati puluhan tahun yang lalu.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, sebuah bangunan bertingkat yang yang terbengkalai dan mulai ditumbuhi ilalang. Sebuah bangunan yang belum jadi dan ditinggalkan begitu saja. Tempat ini dipagari seng yang mulai berkarat. Kami segera masuk, tapi ternyata tidak ada pertempuran sama sekali.
"Coba kalian selidiki tempat ini, cari sisa sisa pertempuran.?" kataku memerintahkan semua orang untuk menggeledah tempat ini.
"Bi Narsih gak salah, di sini tempatnya?" tanyaku heran sambil menatap Bi Narsih yang sedang mengandung anakku.
"Benar, ini tempatnya." kata Bi Narsih heran. Tiba tiba wajahnya menjadi pucat.
"Ini jebakan, cepat panggil anak buahmu..!" kata Bi Narsih dengan suara bergetar.
Terlambat, aku mendengar teriakan bersahutan dari dalam gedung yang terbengkalai. Belum sempat aku bergerak dari tempatku, ada enam orang yang mengurungku dengan membawa berbagai macam senjata. Dari penampilannya sudah jelas mereka mau mencelakai kami. Posisiku sekarang berada diujung tanduk, aku harus melindungi Bi Narsih agar tidak celaka.
Tanpa pikir panjang aku menyerang prang terdekat denganku, sebuah pukulan mematikan ke arah rahangnya. Pukulan yang akan mampu memecahkan tembok tebal. Serentak orang yang yang mengepungku ikut menyerang ke arahku. Inilah yang aku inginkan, dengan menyerangku secara serentak mau tidak mau tubuh mereka akan saling bersentuhan untuk bisa mencapai diriku. Itu artinya aku bisa melumpuhkan mereka dengan cepat sebelum Bi Narsih.
Pukulanku tepat menghantam orang itu hingga rahangnya patah tanpa bisa dihindarinya dan aku langsung berbalik ke arah orang orang yang berebutan menyerangku. Secepat kilat aku kembali melancarkan pukulan ke arah bagian vital mereka tanpa sempat mereka hindari karena posisi mereka yang saling berdesakan. Sementara aku dengan leluasa menangkis dan menghindar pada posisi yang tepat karena ruang gerakku lebih terbuka. Dalam sekejam aku bisa mematahkan tulang rusuk seorang yang terdekat dan seorang lagi kutendan kantong semarnya.
Tinggal tiga orang yang masih berdiri dan inilah pertarungan yang sesungguhnya. Mereka adalah jago pilihan yang dikirim untuk mencelakaiku berarti kemampuan mereka sangatlah hebat. Dengan tersisanya tiga orang, maka ruang gerak mereka menjadi lebih luas. Kemampuan mereka akan keluar dengan maksimal.
Belum sempat aku mengambil nafas, sebuah tusukan dari arah samping kiri mengarah leherku dengan cepat. Aku menghindari pisau itu dengan cara melayangkan pukulan ke arah lawan yang berada tepat di depanku. Kali ini pukulanku bisa ditangkis dan lawan yang berada di depanku membalas dengan pukulan yang mengarah rahangku. Seperti tadi aku menghindar dengan melayangkan pukulan ke arah lawan yang berada di samping kananku. Sebuah pukulan tipuan mengarah ke wajahnya dan saat orang itu menghindar aku sudah berbali ke arah pria yang memegang pisau. Bertepatan dengan pria itu menusukkan pisaunya ke arah perutku, dengan sedikit gerakan menghindar ke samping kiri, lalu aku menarik tangannya dan pada saat yang sama temannya menusukkan pisaunya ke arahku. Aku meloncat ke samping. Fatal akibatnya, dua buah pisau saling menusuk. Tusukan pertama mengenai perut lawan yang menyerangku dari belakang dan tusukan orang yang menyerangku dari belakang tepat mengenai leher orang yang kutarik tangannya.
"Berhenti, atau wanita ini akan mati..!" sebuah teriakan mengagetkanku. Aku menoleh je asal suara orang yang berteriak, wajahku langsung pucat melihat seseorang memeluk Bi Narsih dari belakang dengan pisau belati mengarah tepat pada lehernya yang jenjang. Aku terpaku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Salah bertindak, nyawa Bi Narsih melayang.
"Lepaskan dia!" bentakku dengan kemarahan yang terasa menyesakkan dada. Aku hanya bisa berdiri mematung tanpa bisa melakukan apapun.
Disaat aku diam mematung, pria yang mengancam Bi Narsih berteriak nyaring dan ambruk ke tanah membawa tubuh Bi Narsih jatuh menimpa tubuhnya sambil memegang pergelangan tangan orang yang memegang pisau. Ternyata yang membokong orang itu dari belakang adalah Mang Karta.
"Mang...!"/seruku lega melihat Mang Karta berdiri dihadapanku dengan gagah. Mang Karta hanya tersenyum sekilas dan segera membantu Bi Narsih bangun.
"Sudah Akang bilang, kamu gak perlu ikut ke sini. Kenapa kamu malah ikut." kata Mang Karta memarahi Bi Narsih yang susah payah bangun dari atas tubuh orang yang mungkin pinsan karena tengkuknya kena tonjokan Mang Karta.
"Maaf, Narsih sangat hawatir dengan kesalamatan Kang Karta. " kata Bi Narsih langsung memeluk Mang Karta walau perutnya yang sudah membuncit menghalanginya.
Mang Karta bersiul nyaring, dari luar berhamburan anak buahnya yang berjumlah sepuluh orang. Mereka semua bersiap melakukan serangan mencari anak buah Japra yang mungkin masih bersembunyi di dalam gedung yang terbengkalai. Belum lagi anak buah Mang Karta masuk ke dalam bangunan terbengkalai, orang orang yang kubawa keluar beriringan. Ada 6 orang diantara mereka terluka cukup serius sehingga harus dipapah dan digotong oleh teman temannya yang lain.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Mang?" tanyaku penasaran dengan kejadian yang sebenarnya.
"Mamang curiga ini jebakan. Makanya Mamang gak masuk tapi mengintai dari kuar. Ech gak tahunya malah kalian yang kena jebak. Sekarang kita harus segera pergi dari tempat ini sebelum polisi datang." kata Mang Karta.
*******
Keesokan harinya aku berniat ke kios untuk melihat keadaan kios setelah ditinggalkan Lastri begitu saja. Ada perasaan jengkel karen apa yang aku rintis hilang begitu saja. Kerugian yang cukup besar bahkan menurut ukuranku sangat besar.
Saat aku sedang memeriksa stock barang, datang Heny menemuiku. Aku menyambut kedatangannya dengan perasaan curiga setelah mengetahui dia adalah seorang polisi yang sedang menyamar.
"Ada apa?" tanyaku dingin menyambut kedatangan Heny.
"Kamu tahu ke mana Lastri pergi?" tanya Heny terlihat tenang dengan sambutanku yang tidak ramah.
"Aku tidak tahu, kamu pasti lebih tahu ke mana dia pergi. Asal kamu tahu dia membawa lari uang kiosku." kataku berbalik membelakangi Heny meneruskan pekerjaanku.
"Aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu..!" kata Heny.
"Aku lagi sibuk." jawabku enggan menanggapi ajakannya. Aku sudah tidak perduli lagi dengan dunia hitam. Selama ini aku terjebak bukan karena keinginanku.
"Ayolah, ini tentang kematian ayahmu." kata Heny membuat tubuhku berbalik ke arahnya dengan perasaan mulai tertarik.
"Kita bicara di tempat tertutup." kata Heny tersenyum senang karena mendapatkan respon dariku.
"Mang, tolong dicatat apa yang gak ada. Besok aku lihat apa saja yang gak ada." kataku pada pegawaiku yang biasa membantu Lastri. Lalu aku berpamitan kepadanya.
Aku dan Heny meninggalkan pasar dengan motorku. Aku tidak tahu ke mana tujuan Heny, jadi aku mengikuti instruksi Heny hingga ahirnya kami sampai di sebuah penginapan yang cukup nyaman.
"Kita mau membicarakan masalah apa?" tanyaku setelah berada di dalam kamar yang cukup luas dengan kasur spring bed empuk bersprei putih.
"Nanti kita bicaranya sesudah kamu entot aku samapi puas." kata Heny yang segera membuka seluruh pakaiannya hingga bugil.
"Kita ke sini untuk membicarakan hal psnting." kataku hengkel dengan kelakuan Heny.
"Tentu saja ini juga gak malah pentingnya.!" kata Heny sambil meremas payudar mungilnya dan juga menggesek gesek memeknya yang berbulu kebat. Bahkan saking lebatnya mebutupi memeknya.
"Aku pulang kalau tidak ada yang dibicarakan." kataku semakin jengkel dengan gidaanya yang zudah bdrlebihan.
Belum sempat aku berdiri, Heny mengambil tas dan mengeluarkan sepucuk pistol yang langsung ditodongkan ke arahku.
"Buka bajumu...!" ancam Heny membuatku semakin marah. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena aku masih belum mau kehilangan ngawaku sebelum anak anakku lahir.
Dengan perasaan jengkel, aku membuka seluruh pakaianku hingga tidak ada yang tersisa. Kontolku masih tertidur dengan nyenhak, nenggantung du selagkangan.
"Kontol kamu belum bangun aja sudah sebesar ini, hebat. Kontol yang bikin aku ketagihan." kata Heny berjongkok dihadapanku. Tangannya membelai kontolku dengan lembut.
Heny menjilati batang kontolku yang masih kemas. Ternyata kontolku tidak pernah mampu menahan godaan. Perlahan mulai bereaksi, menggeliat dari tudurnya. Apa lagi kemampuan Heny menyepong harus kuakui di atas rata rata bahkan bisa dikatakan sangat ahli seperti bintang porno profesional.
"Ennnnak banget seponganmu, Mbak..!" kataku sambil menjambak rambutnya yang pendek. Menekan kepalanya hingga kontolku masuk senakin dalam ke mulutnya yang mungil.
Heny nengulum kontolku disertai hisapan yang kuat sehingga kontolku semakin keras. Wanita yang binal sejak pertama kali ngentot dengannya, dialah yang selalu memulainya lebih dahulu..
"Udah, nanti aku keburu kellluar...!" kataku menyerah. Aku tidak begitu suka mengeluarkan pejuh di mulut. Rasanya tidak senikmat mengeluarkannya di memek.
Heny bangkit dan mendorongku jatuh terlentang ke spring bed empuk. Tanpa bicara Heny berjongkok diwajahku dan menjejalkan memeknya ke mulutku. Bau memek Heny sangat keras dibandingkan dengan semua wanita yang pernag ngentot denganku, namun hal itu tidak pernah mengganggu kesenanganku menjilati memek. Rasanya sangat nikmat dan asin.
"Iya, terus jilatin memekku...!" kata Heny menjambak rambutku sehingga wajahku semakin terbenam di memeknya yang panjang lebih panjang dari biasanya. Bibir memeknya lebih tebal.
Aku semakin bersemangat menjilati memeknya dan menghisap lobang memeknya hingga cairannya tertelan olehku. Kadang aku menggigit utilnya yang menonjol keluar dan menariknya pelan membuat Heny mengerang nikmat.
"Jang.... Akkkku kelllluar...!" Heny menjerit kecil, aroma memknya semakin menyengat keras. Aku semakin keras menghisap memeknya hingga tubuh Heny lemas tidak bertenaga.
"Gila, gila kamu benar benar pejantan tangguh...!" kata Heny beringsut mundur hingga mencapai kontolku yang langsung diarahkannya ke lobang memeknya. Heny memang selalu begitu, tidak pernah puas puas dengan orgasme yang sudah diraihnya. Swlama kontolku masih berdiri tegak, dia akan terus mengocok kontolku dan menguras pejuhku hingga tidak ada yang tersisa.
Heny langsung menurunkan pinggulnya sehingga memeknya menelan seluruh kontolku, tanpa menunggu lagi Heny menggerakkan pinggulnya dengan cepat memompa kontolku dengan liar sehingga kontolku serasa mau patah karena gerakannya yang cepat dan memutar. Untung aku sudah terbiasa dengan gerakkannya sehingga tidak perlu terlalu menderita.
"Kontol kamu benar benar luar biasa...akku kelllluar...!" Heny menjerit mebyambut orgasme ke duanya yang tidak kalah dahsyat dengan orgasme pertamanya...
Aku tunggu Heny diam dan aku balikkan tubuhku sehingga Heny berada di bawahku. Kedua kakinya kutaruh di pundak dan kontolku menghujam memeknya dengan keras. Tanpa memberinya waktu aku memompa memeknya dengan kasar sehingga tubuh kami ikut berguncang keras.
"Terus entot aku yang kenceng...!" Heny malah kesenangan nenerima hujaman kontolku yang kasar. Dan hal itu membuatnya tidak bertahan lama, Heny kembali meraih orgasme ke tiganya dalam waktu yang cepat.
Aku semakin bersemangat memompa memek Heny agar bisa orgasme secepatnya. Jeritan dan teriakan Heny menjadi simfony musik yang harmonis dan mempercepat orgasmeku.
"Aku kelllluar....!" teriakku sambil menghujamkan kontolku sedalam yang aku bisa dan menembakkan pejuhku.
"Aaaaaaku juga kelllluar...!" Heny kembali menerang nenyambut irgasmenya yang tidak kalah dahsyatnya. Kami terdiam dalam posisi masing masing hingga badai kenikmatan berlalu. Aku menggulingkan tubuhku ke samping.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku setelah pulih dari badai orgasme yang dahsyat.
Sebuah kerja sama..!" kata Heny tengkurap, sehingga kami bisa beradu pandang.
"Kerja sama apa?" tanyaku heran.
"Kerja sama untuk membongkar jaringan Si Kupu Kupu..!" kata Heny membuatku heran karena belum pernah mendengar nama si Kupu Kupu.
"Aku tidak kenal denga si Kupu Kupu. Lalu apa untungnya buat terlibat dalam operasimu?" tanyaku heran.
"Si Kupu Kupu adalah tangan kanan mediang Pak Budi, dia juga bekas tangan kanan Gobang. Kupu Kupu adalah nama julukannya. Namanya adalah Dhea...!" kata Heny.
"Dhea adalah si Kupu Kupu?" tanyaku heran.
"Ya, si Kupu Kupu yang berhasil melenyapkan tokoh tokoh penting. Dan kemungkinanya dia pula otak pembunuhan ayahmu. Kamj dan keluargamu adalah target selanjutnya untuk dilenyapkan." kata Heny membuaku terkejut.
"Baiklah, aku bersedia." kataku setelah berpikir keraa. Mungkin benar target selanjutnya adalah aku.
"Pakailah bajumu, sebentar lagi akan datang seseorang, dia akan menjadi penghubung kita." kata Heny setelah melihat jam tangannya. Kami segera berpakaian dan menunggu orang yang akan jadi penghubung kami.
Tok tok tok, ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Heny langsung membuka pintu dan masuklah seseorang yang tidak akan pernah aku lupakan. Dia orang yang pernah menusukku hingga koma selama beberapa hari.
Bersambung