Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT A.K.A.R.

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Sari Binal boleh kalau sama suami .... Kalau yang lain jangan ...

Dua wanita di hidup ibay kan udah binal tuh Fitri dan Lita , Sari tempat berlabuh jangan ikut binal juga ....

Kalau diliat dari alur nya pasti kearah sana kok om hahaha

Masalah nya ibay bisa tegas engga ke sari, dan perjanjian sama uzi masih berjalan juga kan apa lagi belom pindah juga sari dari situ.
Dan saya si jadi berterima kasih sama karakter uzi berkat dia karakter sari jadi luar biasa disini dan lebih menonjol dari karakter wanita lainnya.
Jadi kita sabar dulu aja menunggu mau dibawa gmn sama TS nya

:mindik:
 
Baca marathon, seru nih ceritanya... Apalagi ada mulustrasinya... Thanks suhu
 
A.K.A.R
bagian Enam Belas​





Kubaca berulang ulang pesan dari F.R, aku tahu kalau FR itu adalah Fitri Rania. Tapi yang aku tak tahu, dari mana dia tahu nomor HP ku? Apa dari Tyo ya? Aku mencoba menebak nebak. Tapi tak mungkin rasanya. Aku benar benar sudah mengamanatkan Tyo agar tak memberitahu nomor HP ku pada Fitri karena akan sangat bermasalah bagiku dan juga Sari. Dan Tyo juga paham betul akan hal itu dan berjanji kepadaku tak akan membocorkan nomor HP ku pada Fitri.

Atau Rian..?? Deuh.. anak itu selalu saja bikin perkara. Aku beranjak bangun dari kasur dan menuju ruang depan. Kulihat jam dinding, masih jam 11 malam. Rian bukanlah type orang yang suka tidur sore. Diruang depan ku telpon Rian dan menanyakan apa dia memberitahu nomor telponku pada Fitri, sambil bersumpah sumpah Rian bilang kalau dia gak memberitahu nomor HP ku pada Fitri.

"Rian juga tau penyakit bang.. buat apaan bikin penyakit sendiri." Kata Rian membantah diujung pembicaraan.

Aku bingung, darimana Fitri tahu nomorku? Ah.. tak perlu pusing pusing. Nanti saja kutanyakan langsung padanya, akupun kembali ke kamar dan meletakkan HP ku dimeja rias Sari kemudian pergi tidur.



Pagi ini aku bangun sediki t telat, sengaja. Kumanfaatkan sebisa mungkin waktu istirahatku dikasur, kalau saja bukan Raka yang mengganggu tidurku, rasanya enggan sekali untuk beranjak dari sini. Aku bercanda dengan Raka disela sela rasa sakit kepala yang tiba tiba datang. Kebanyakan tidur nih kataku, bangun ah.

Aku menggendong Raka dan berniat mencari HPku. Seingatku ku letakkan di meja rias Sari. Kucari cari disitu namun tak ketemu. Hatiku langsung dagdigdug, kuletakkan Raka sebentar dikasur dan kucari HPku disekitar meja rias. HPkuu ternyata ada didalam laci meja, aku tambah deg degan. Bukan karena apa, pasti Sari yang memindahkan HP ku kedalam laci. Namun yang membuat hatiku sedikit deg degan adalah aku khawatir kalau Sari membaca pesan pesan yang masuk. Kubuka aplikasi pesan di HPku. Benar saja, ada pesan dari Lita yang memberitahu kalau aku akan dijemput oleh Aep jam lima subuh dan diminta langsung menuju Jakarta untuk mengurus proses promosiku menjadi asistennya.

Pesan ini sudah dibaca sebelumnya oleh orang lain. Siapa lagi kalo bukan Sari? Berarti dia juga sudah baca pesan dari Fitri dong? Wadduhh.. ribut lagi aja nih.

Sedang khawatirnya aku dengan hal itu, aku melihat plastik bertuliskan toko pakaian.

Lho... buru buru ku lihat isi plastik itu, benar dugaanku. Isi plastik ini adalah pakaian baru untuk Sari dan Raka yang kubelikan kemarin. Aku benar benar lupa keberadaan pakaian ini. Malah baru ini aku ingat kalau kemarin aku membeli pakaian baru untuk mereka. Padahal kemarin aku pulang dengan tangan kosong. Apa Sari yang membawa pulang pakaian ini? Kok aku gak lihat?

Apa pakaian ini jatuh di rumah Fauzi? Kalau iya, siapa yang menemukannya? Sari? Atau Fauzi? Kalau Fauzi, apa mungkin dia tak curiga kenapa tiba tiba ada pakaian baru seukuran Sari dan Raka ada didalam rumahnya? Kalau curiga, apa dia mengira bahwa aku datang ke rumahnya dan memergoki kelakuan mereka berdua kemarin? Apa yang ada difikiran Fauzi? Kok malah bisa bisanya memberi pakaian itu kepada Sari agar dibawa pulang ke rumah? Bukannya malah aneh? Kalau Fauzi curiga aku datang ke rumahnya dan memergoki aksi mesum mereka berdua, seharusnya pakaian ini dibuang atau setidaknya tidak diberikan ke Sari.

Pertanyaan pertanyaan itu malah membuat kepalaku sakit. Aku harus mencari tahu hal ini. Aku akan pura pura tak tahu dulu soal pakaian itu dan pura pura bertanya pada Sari darimana pakaian baru itu dia dapatkan.

Sambil mengatur perasaan dan plfikiran, aku kembali menggendong Raka, aku menuju keluar dan memanggil istriku. Berharap bahwa dia tak marah atas pesan pesan yang masuk di HP ku dan bermaksud menanyakan perihal pakaian baru tadi.

"Buund.." aku setengah teriak memanggil Sari.

"Iyaaahh.." jawab Sari dari arah dapur.

Akupun kedapur sambil sesekali bercanda dengan Raka. Sampai didapur aku sedikit terkejut melihat penampilan Sari. Kulihat Sari sedang membuat nasi goreng, hanya saja dia cuma mengenakan celana dalam dan tanktop berwarna merah cerah tanpa terlihat tali BH di pundaknya.

"Kamu apa apaan bund? Masa pakeannya begitu sih pas masak?" Protesku kesal kepadanya.

Susunan kata kata yang sudah kusiapkan dari dalam kamar tadi soal pakaian baru seketika ambyar dan hilang begitu saja.

"Hihihi.. gapapa lah Yah, tadinya mau mandi dulu, tapi takutnya kelamaan dikamar mandi terus ayah bangun n kelaperan. Makanya mending bikin sarapan dulu." Jelas Sari kepadaku.

"Iyaa,, tapi apa mesti cuma make cangcut doang? Gak sopan.. kamu tuh lagi bikin makanan. Yang sopan kenapa sih. Apalagi jendela dibuka begitu, nanti kalo ada orang lewat gimana? Mau dibilang perempuan gak bener kamu?? Pake pakean dulu yang bener sana..!!" Perintahku tegas pada Sari.

Sebejat bejatnya aku, aku masih punya tata krama sekalipun itu didalam rumah sendiri. Dan aku tak mengerti kenapa Sari seolah melupakan tata krama itu dan bertindak seperti seorang eksibisionis akut. Fikiranku langsung mengarah ke Fauzi, pasti dia yang meracuni Sari sehingga dia bisa berubah seperti ini.

Sari diam dan mematikan kompor kemudian meminta maaf kepadaku.

"Maafin Bunda ya Yah.. bunda janji gak bakalan kaya gini lagi." Kata Sari sambil menunduk dihadapanku.

"Yaudah gapapa, tapi ayah mau tanya ke kamu, jawab yang jujur.. kamu sering cuma pake pakean kaya gini dirumah kalo ayah gak ada?" Aku harus menyelidiki perubahan yang terjadi pada istriku ini.

"Kadang kadang doang Yah, kalo lagi gerah aja paling.." jawab Sari dengan suara pelan. Sepertinya dia tahu aku marah karena kelakuannya ini.

"Hhh.. bunda, jangan gara gara kamu curiga sama ayah n Lita, terus bikin kamu jadi perempuan yang kaya gitu juga dong. Kamu kan ngomong tuh semalem kalo kamu juga bisa jadi cewe eksib, gak perlu laaahh.. gak perlu jadi perempuan kaya Lita yang emang dari sononya udah punya penyakit eksib. Ayah gak suka kamu begitu. Ayah jauh lebih suka kamu jadi diri kamu yang sebenar benarnya kamu. Lugu, polos, kadang oneng, tapi bisa ngejaga diri sama penampilan kamu sekalipun itu didalam rumah." Sari hanya diam menunduk mendengarkan ceramahku.

Meskipun aku senang melihat Lita memakai pakaian seksi dan kadang topless, tapi aku tak senang jika yang kulihat berkelakuan seperti itu adalah istriku sendiri. Sari boleh Liar, namun jika itu menyangkut urusan ranjang dan bersamaku. Diluar ranjang, aku tak ingin Sari menjadi seperti Lita. Apalagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri soal perselingkuhannya dengan Fauzi. Aku harus mengembalikan istriku seperti dulu lagi. Aku tak ingin istriku menjadi wanita binal yang gemar melakukan hal hal cabul kepada laki laki lain dan diluar sepengetahuanku.

Aku harus membuka semuanya sekarang. Aku harus merebut istriku kembali dan membawanya kembali menjadi Sari yang kucintai.

"Dan ayah juga gak suka kalau kamu sering ketemuan sama Fauzi." Kataku sambil menatap matanya.

"Loh..?" Sari benar benar terkejut mendengar ucapanku.

"Kata siapa bunda sering ke rumahnya Uzi? Jangan asal nuduh.." kata Sari dengan wajah gugup.

"Nuduh ya..? Gini, disamping meja rias ada plastik ijo dari toko 'SERBA BAJU'. Isinya pakean baru seukuran kamu n Raka. Darimana?" Tanyaku berlagak santai.

"Dari Uuzii.. dia bilang gak enak kalo kalo kita mulu yang ngasih jajan, sekali sekali dia yang jajanin kita katanya." Jawab Sari tanpa ada nada gugup. Ini artinya Sari berkata jujur.

Berarti, Fauzi yang menemukan pakaian itu dirumahnya. Malah bisa jadi dia juga sudah curiga kalau aku sudah memergoki mereka. Tapi yang aneh menurutku, kenapa pakaian itu malah diberikan ke Sari? Apa Fauzi berfikir aku pasti akan diam saja mengetahui pakaian yang sebenarnya kubelikan untuk anak dan istriku yang malah diakuinya sebagai pemberian dia. Seperti halnya aku yang diam saja melihat perselingkuhan mereka didepan mataku sendiri.
Mungkin.. bisa jadi Fauzi berfikir seperti itu.

Kalau begitu, Fauzi salah karena mengira aku diam saja.

"Kapan Fauzi kasih pakean itu ke kamu?" Tanyaku kepada Sari.

"Kemaren.. kenapa sih Yah? Bunda jadi deg degan.." jawab Sari dengan wajah khawatir.

"Kamu tau kenapa ayah pulang kemaren? Karna sakit kepala. Lita nyuruh ayah istirahat total trus nyuruh masuk kantor lagi nanti hari senin n disuruh langsung berangkat ke kantor pusat di Jakarta. Alhamdulillahnya, ayah naek pangkat lagi, dari supir pribadi Lita, naek ke asistennya dia. Nah, kemaren ayah dianter pulang sama sopir kantor sampe Sadang. Ayah mampir ke toko baju, beli baju baru buat kamu n Raka. Gak tau kenapa, ayah tau tau pengen mampir ke rumah sodara kamu itu si Uzi, pengen ngomongin soal Lita, ayah gak suka cara Uzi yang terlalu gamblang kalo lagi ngomongin Lita didepan kamu. Ayah mau ajak dia ngomong baik baik. Begitu sampe rumah dia, yang ayah dapetin malah kamu lagi ngisepin punyanya si Uzi. Kamu lagi enak enakkan sama Uzi. Jadi, pakean yang kamu bawa itu sebenernya ayah yang beli. Tapi gara gara syok ngeliat kamu sama Fauzi, ayah pergi gitu aj sampe lupa sama pakean itu."

Aku benar benar menahan emosi dan sakit dalam hati ketika mengatakan itu pada istriku. Pria mana yang sanggup melihat istri tercintanya bercinta didepan mata tanpa ada rasa marah dan sakit hati?

Tiba tiba Sari bersungkur dikakiku dan menangis, bahunya bergetar karena tangisannya itu.

"Maafin bunda Yah, hiks hiks.. bunda khilaf.. bunda salah.. bunda gelap mata.. bunda kebablasan.. hiks hiks.." Dengan terbata bata Sari memohon maaf sampai sujud sujud di telapak kakiku.

Hhhh... aku jadi kasihan melihat istriku ini. Perubahannya ini diawali karena keinginan dan usahanya dalam mencarikanku pekerjaan. Sayangnya, orang yang bersedia menolong kami itu ternyata orang yang mempunyai niat terselubung untuk Sari. Lebih parahnya, orang itu masihlah kerabat dekat Sari. Aku jadi menyalahkan diriku sendiri, karena seandainya aku mengambil tawaran pekerjaan dari Tyo waktu dulu, mungkin takkan seperti ini kejadiannya. Tapi seperti kata orang tua dahulu, manusia tak akan pernah bisa berkembang tanpa merasakan tumbang.

Sari tak henti hentinya menangis dikakiku dan memohon maaf atas segala perbuatannya dibelakangku bersama Fauzi.

Sebenarnya ingin kubiarkan Sari. Ingin kuacuhkan permintaan maaf Sari, bahkan ingin kucampakkan Sari dari hidupku. Tapi memori memori tentang perjalanan rumah tangga kami membuatku urung untuk bersikap buruk terhadap istriku.

Ketika aku susah, Sari tak pernah pergi dariku. Ketika aku lapar, diapun memaksakan diri untuk ikut lapar bersamaku sekalipun masih tersisa nasi satu sendok dan gorengan tahu dua potong, tak akan dia sentuh secuilpun kalau aku tak ikut makan bersamanya. Ketika aku benar benar berjuang keras mencari nafkah dengan menjadi pekerja kasar dengan upah minim, Sari selalu mengucap syukur dengan berapapun hasil yang aku bawa pulang. Ketika aku merasa jatuh terpuruk karena ketidakmampuanku mengurus keluarga kecilku, Sari selalu tersenyum kepadaku dan menguatkan hatiku dengan kata kata lembut. Bahkan aku masih ingat kata katanya kala itu..

"Jangan putus asa sayang, setiap makhluk hidup ud diberi jatah rejekinya masing masing. Makhluk yang hidup di darat pasti ada rejekinya, yang hidup didalam air pasti ada rejekinya, yang hidup di udara pasti ada rejekinya. Malahan, yang hidup di tembok model cicek pun pasti ada rejekinya. Kita cuma perlu nyari.. jangan putus asa ya Ayah sayang.. Bunda pasti bakal ngedampingin ayah berjuang demi masa depan kita n anak anak kita nanti."

Air mataku menetes mengingat masa masa sulitku bersama Sari. Jangankan untuk membelikan dia baju sebanyak satu pasang, sekedar membelikan dia celana dalam satu lembarpun aku tak mampu kala itu.

Kini, ketika aku mulai mampu untuk memenuhi segala kebutuhannya, akan sangat tak tahu diri rasanya jika aku harus mencampakkan Sari meskipun dia telah melakukan kesalahan besar dibelakangku. Sari telah membuang masa bahagianya dengan memilih menikah dan hidup susah denganku. Kemana hati nuraniku jika aku membuang dirinya sekarang justru ketika aku mulai beranjak mampu?

"Huuuhuuuhuuu.. ampun Ayaahhh.. bunda udah bikin dosa sama ayaaahh.. ampuuunnn.." Sari masih memeluk kakiku sambil tetap meminta ampun kepadaku dan terus menangis. Bahkan, kini anakku juga ikut menangis. Kucium ubun ubun Raka dengan sepenuh penuhnya rasa sayangku pada anakku ini

'Apa yang membuatmu menangis nak? Kesedihanmu melihat ibumu karena melakukan kesalahan besar, atau permohonanmu pada ayah agar ayah memaafkannya? Atau.. kamu takut kami akan berpisah nak?'

'Tidak nak, tidak.. ayah tidak akan melepaskan bunda. Bunda hanya khilaf, dan ayah hanya perlu menyadarkan bunda kembali. Tapi, masih ada yang harus ayah pastikan dulu kepada bunda.' Kataku melalui bathin kepada Raka.

Akupun sedikit menunduk dan meminta Sari untuk bangun berdiri. Sari tak mau berdiri malah tambah kencang tangisannya di kakiku.

"Bunda... udahlah.. udah.."
"Ayah maafin bunda kalo bunda mau jawab satu lagi pertanyaan dari ayah.." kataku menahan sakit hati dan isak tangisku sendiri.

Kubiarkan Sari sejenak sampai tangisnya mulai reda dan hanya menyisakan senggukan senggukan kecil.

"Tanya apa Yah.. bunda khilaf.. bunda minta ma'aaaffff.. huuuuhuhu.. hiks.." kata Sari disela senggukannya.

"Kamu udah sempet nyampur sama Fauzi? Jawab aj yang jujur, ayah udah siap hati.." kataku sedikit ragu soal kesiapan hati.

"Astagfirullah ayaaahh.. huuuhhuhu.."

Tiba tiba Sari bangun dan beranjak setengah berlari menuju ke kamar. Aku pindah ke ruang tamu karena berfikir Sari pasti terkejut dengan pertanyaanku dan memilih untuk tak menjawabnya. Tapi ternyata dugaanku salah, Sari keluar dengan memakai pakaian untuk ibadah dan pergi ke belakang, mungkin mengambil air suci fikirku.

Tak lama berselang, Sari kembali ke dalam kamar dan keluar lagi seraya memegang Kitab Suci. Aku paham maksud Sari, namun aku ingin tahu sejauh mana keberanian dia untuk bersumpah diatas Kitab Suci. Kalau dia hanya menggertak dengan harapan aku melarangnya mengucap sumpah karena takut terjadi apa apa, maka dia salah. Kubiarkan dia.

Sari duduk bersimpuh di bawahku yang kini duduk di kursi tamu, dia menatap mataku dan memegang Kitab Suci diatas kepalanya.

"Demi Tuhan, demi Tuhan yang nyawa hamba ada ditanganNya, hamba bersumpah, hiks.. hiks.. hamm...bha bersumpphaahh.."

Kupejamkan kedua mataku, terpukul hatiku melihat Sari seperti ini. Namun aku juga butuh kepastian akan kejujurannya.

Kejujuran diatas Kitab Suci.

Kukuatkan hatiku dan kembali menatap matanya. Sari meneruskan sumpahnya dengan terbata bata.

"Kalo hamba sudah..hiks.. sudah berzinah sama hikss.. huuhuhu.. sama Fauzi atau laki laki laen, hambha relaa.. hikshiks.. hamba rela kemaluan hambha jadi busuk.. hikss.. busuk ga ada obatnya sampe hamba mati.. hikss.. huuuuuaaahhh.." jerit tangis Sari meledak setelah dia selesai mengucapkan sumpahnya diatas Kitab Suci dan memeluk kakiku.

Raka kembali menangis, akupun kembali meneteskan air mata seraya mengucap beribu syukur karena dia tidak bersetubuh dengan Fauzi.


. . .



__________¤¤_________



"Oke ya mas Bayu, selamat bergabung di divisi sales. Semoga mbak Lita mau menurunkan ilmu ilmunya tentang pemasaran produk kita ke mas Bayu, sehingga mas Bayu juga bisa jadi sales dengan kemampuan mumpuni seperti mbak Lita. Jarang jarang lho mbak Lita ambil asisten.. ya nggak mbak?" Kata Ibu Siska ketika menyalamiku dan menganggukan kepala kepada Lita.

"Iya ya mbak.. udah berapa taon sih aku jalan sendiri?" Tanya Lita kepada rekan sejawatnya ini.

"Ada kali 4 taon.. mbak Lita galak sih.. hihihi.." kata Bu Siska cekikikan menggoda Lita.

"Iiihhh.. emang aku galak apa? Emang aku galak Bay?" Lita kini malah bertanya padaku.

Kalau pertanyaan itu ada di luar kantor, pasti akan kujawab galak banget, banget pake horny malah. Tapi berhubung dikantor..

"Nggak kok Bu, Ibu Lita cuma tegas kalau menyangkut soal kerjaan. Wajar sih.. namanya juga tuntutan kerjaannya Bu Lita kok Bu Siska" Kataku kepada dua wanita cantik ini.

"See... gak galak kok.. tuh Bayunya aja bilang gitu.." kata Lita kepada Bu Santi.

"Iyee iyee.. hahaha.. oh iya Mas Bayu, tolong jangan panggil saya Ibu, panggil nama atau minimal mbak aja ya. Kita disini selalu menjaga kebersamaan. Kalo manggil ibu kan kayaknya ada jeda atasan bawahan tuh.. gak enak.." kata Bu Siska, atau Mbak Siska kepadaku.

"Atau panggil tante aj Bay.. hihihi.." kata Lita menimpali. Aku hanya tersenyum menyaksikan dua wanita ini malah bercanda di depanku.

Dan seperti inilah pekerjaanku mulai saat ini. Menjadi asisten Sales Manager bernama Earlytha Fitri Anggraini. Dari hasil briefing tadi, disepakati bahwa Lita akan pindah ke kantor di Cikarang sampai satu tahun ke depan. Setidaknya menurut Lita, butuh waktu satu tahun bagi Lita untuk mengajariku menjadi sales yang handal. Dan itu termasuk waktu yang singkat menurut Mbak Siska. Untuk fasilitas fasilitas yang aku dapatkan, selain mess yang akhirnya dipindah ke perumahan yang sama dengan Lita, dan gaji yang dinaikkan sebanyak satu digit serta hitung hitungan komisi, akupun mendapat fasilitas satu unit mobil yang bisa kubawa wara wiri kesana kemari. Hanya saja untuk mobil, Lita memintaku agar diparkir dikantor Cikarang saja sementara waktu. Dan aku diminta tetap bersamanya kemanapun nantinya sampai Lita merasa aku sudah siap untuk dilepas sendiri. Aku sih oke oke saja.
Setelah tanda tangan sana sini, aku dan Lita pergi keluar mencari makan menggunakan mobilnya. Mobil dinasku hanya tinggal menunggu tanda tangan dari sang big bos saja. Dan warung makan sate kambing di daerah Tanah Abang menjadi pilihan kami berdua.

"Yeeeee... selamat ya Bay, akhirnya kamu jadi asisten aku beneran. Puas deh rasanya aku.." kata Lita menepuk nepuk pundakku.

"Hhh.. sebenernya gak percaya juga sih aku.. kerja belum juga genap setaon disini, udah ngerasain 3 jabatan. OB plus plus, supir pribadi plus plus, sekarang jadi asisten sales. Belom tau nih nanti, pake plus plus juga apa nggak deh.." kataku sambil membaca daftar menu.

"Hihihihi.. iya yah.. jabatan kamu plus plus semua yah.. baru nyadar aku.. ya yang sekarang juga plus plus doong.. kan orangnya juga punya nilai plus.." kata Lita melihatku sambil menaik naikkan alis matanya yang hitam.

"Hadeehh.. kamu yakin Lit aku mampu?" Tanyaku sedikit ragu soal kemampuanku berkecimpung di dunia sales persalesan.

"Yakin lah.. kalo gak yakin mah ngapain aku ngajuin ke bapak buat promosiin kamu.. kamu mau nambah tongseng gak Bay?" Kata Lita sambil menulis pesanannya di selembar kertas pesanan.

"Boleh.." jawabku dan langsung kusambung,

"Bapak?? Bigboss maksudnya? Kamu ngomong langsung ke bigboss soal aku?" Tanyaku sedikit terkejut.

"Iya.. kenapa? Masalah..??" Tanya Lita sambil menyerahkan kertas pesanan kepada pelayan rumah makan.

Aku hanya garuk garuk saja. Pantas saja begitu mudahnya aku pindah divisi. Ternyata Lita mengajukan promosi untukku langsung ke bigboss perusahaan. Apalagi Lita ini adalah tangan kanannya sang bigboss, pasti di ACC lah.

"Lita.. kamu bisa nilai aku jadi sales darimana? Aku nol pengalaman lho soal ini.." tanyaku penasaran.

"Inget Pak Tyo? Dari cara bicara kamu ke pak Tyo yang waktu itu ngeliatin susu aku n kamu tegur dia pake bahasa formal.." Lita mendekatkan tubuhnya ke samping tubuhku dan sedikit menurunkan volume suaranya waktu menyebut 'susu'.

"Inget.." jawabku pada Lita, bahkan bukan cuma itu yang aku ingat, gara gara Lita memberitahuku bagaimana dia bisa menilaiku tadi membuat aku juga teringat soal Tyo.. dan Fitri.

Dan gara gara itu juga aku teringat soal pesan Fitri. Apa aku temui hari ini aja ya? Mumpung aku di Jakarta.

"Oiya Bay, gimana kabar istri kamu? Sehatkah? Udah baikkan belom? Terakhir yang aku tau kamu kan lagi ribut tuh sama istri kamu sebelum kamu sakit." Tanya Lita kepadaku.

Gara gara Lita menanyakan itu, aku jadi ingat kejadian dimana aku hampir saja menyetubuhi Lita di rumahnya di Kemang. Dan itu membuatku sedikit malu jadinya.

"Baik kok, sehat semua alhamdulillah.." kataku tersenyum menjawab pertanyaan Lita.

"Ooh.. ywdah syukur deh." Kata Lita.

Otakku kini kepikiran soal pesan Fitri, apa aku ijin saja ya sama Lita untuk pergi sebentar nanti?

"Emmm.. Lit, aku boleh nanya gak?" Tanyaku sedikit ragu.

"Boleh, tanya aj.." kata Lita sambil membantu sang pelayan rumah makan menyusun pesanan kami di atas meja.

"Gini Lit, aku mau ijin sebentar nanti. Ada urusan di rumah temen lama. Mumpung aku di Jakarta juga sih soalnya." Kataku harap harap cemas.

"Hmm... kamu itu mau nanya apa mau izin sih? Ngomongnya mau nanya, kok yang disampein malah izin.. lucu ih kamu.." kata Lita sambil menggigit satu tusuk sate dan menyeret dagingnya keluar dari tusukannya.

"Eh.. oiya ya.. hehehe.. yaudah pokoknya gitu deh.." kataku sedikit bloon.

"Yaelah Bayu, izin yang lama juga gapapa kok. Hari ini kamu free sebenernya. Kamu baru aktif jadi asisten aku tuh besok. So.. silahkan pergi kemanapun kamu suka, asal kembalinya nanti tetep ke aku." Cling.. Lita mengedipkan sebelah matanya kepadaku.

"Pret.." kataku yang disambut dengan tawa dari Lita.

"Jadi bener nih boleh?" Aku memastikan kembali.

"Bawel ish.. makan dulu tuh satenya.. keburu dingin nanti." Kata Lita jengkel.

"Aku ngeri Lit, gak berani makan sate kambing."

"Lho.. kenapa? Takut susuknya luntur? Basiiii.." kata Lita sambil melempar remasan tissu kearahku.

"Bukan, bukan itu.. sini aku kasih tau.." kataku sambil memberi kode agar Lita mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Hmm?? Apa sih?.." Lita mendekatkan wajahnya. Aku pura pura tengok kiri kanan seolah takut ada yang mencuri dengar.

"Aku takut ngaceng.. gak ada yang ngocokin nanti.." setengah berbisik kugoda Lita tanpa merasa harus malu. Kebiasaan sih..

"PREETTT..PRETPRETPREEETTTT.." Kata Lita dengan nada dongkol.

Aku tertawa melihat ekspresi lucu dari Lita. Dan kamipun melanjutkan acara makan siang kami dengan hati yang riang.


______¤¤_____


Lampu merah Jl. Panjang baru saja berubah menjadi hijau. Kutekan pedal gas dan melaju dengan kecepatan sedang di lajur kanan menuju Kebon Jeruk, menuju apartemen Fitri.

Satu jam yang lalu, setelah makan siang dengan Lita kami kembali ke kantor pusat untuk membereskan dokumen kenaikanku dan serah terima kunci kendaraan dengan divisi GA. Karena aku ada urusan, Lita memutuskan untuk tinggal dikantor dan kembali mengingatkanku agar jangan terlambat besok pagi untuk briefing awal di kantor Cikarang. Aku acungkan kedua jempolku kepada Lita sebagai tanda OK dan berterima kasih padanya.

Setelah ambil mobil dan mulai keluar kantor, aku menelpon Fitri.


Tuuuut... tuuuuut... tuuuut..


"Hallo..?" Suara Fitri terdengar lembut ditelingaku. Aku diam.. aku diam karena meresapi rasa yang pernah kutinggalkan di kota ini kembali datang menghampiri dan mulai menyelimuti hati.

"Hallo.. Bey??" Fitri memanggil namaku.

"Iya.. hallo.." kataku dengan suara lembut.

"Hmm.. dimana?" Tanya Fitri.

"Mmmm.. di jalan." Jawabku.

".... Mau kemana?" Tanya Fitri lagi.

"Mmmh.. mauu.. nunggu kabar dari kamu.."
Hatiku degdeg ser mengatakan itu, karena amat sangat jarang aku memakai kata kata 'aku - kamu' kepada Fitri kecuali untuk urusan yang sangat pribadi dan mendalam.

Fitri terdiam selama beberapa detik, kemudian suara lembut itu kembali terdengar di telingaku dan membuat dadaku berdebar lebih cepat.

"Aku juga.. aku juga nunggu kabar dari kamu.." Fitri kembali diam setelah mengatakan itu.

Aku grogi harus berkata apa lagi pada Fitri.

"Mmmhh... aku ada di Jakarta sekarang, udah sampe Senayan." Kataku memberitahu posisiku saat ini.


Hening....



"Oohh.. mmhh.. mau kemana?" Tanya Fitri lagi. Dari cara bicaranya, jelas sekali kalau dia juga grogi.

"... Mau ke kamu.." Entahlah, aku juga bingung sendiri soal maksud dari ucapanku itu.


Hening...


"Mmhh... Aku di apartemen.." Kata Fitri memberi tahu posisinya.

"... Yaudah aku kesana.." kataku kemudian.

"Iyah.." jawab Fitri.

"Eh Bey.." Fitri buru buru memanggilku tepat sebelum aku menutup telponku.

"Iya.." kataku sambil kembali menempelkan HP di telingaku.

"Kamu gak ngasih tau Tyo kalo kita mau ketemuan kan?" Tanya Fitri.



"Eh..??"




Yassallaammm.
Thx update nya ..
 
Adakah yg curiga klo lita,fitri dan tyo ada hubungan?
Kok ibey bisa cepet banget promosi.
Jangan* lita sama tyo kmren cuma ngetes aja....masih cerdas ga c ibey....
Bisa jadi lita sodaranya fitri....
Ingat ibey tidak suka di kasih cumaa*

Semoga uzie d kasih pelajaran....biar sari ga binal lagi...wkwkwkwkwww
 
A.K.A.R:tepuktangan::tepuktangan::cendol:

Gw terus terang aja paling pelit buat komen2..selain karna banyak cerita yg tau2 suka macet ditengah jalan, kita jg susah buat masuk kedalam cerita tuk merasakan alurnya..

Dan gw baru baca ini cerita kmaren, maraton Ampe kelar page terakhir update hari ini ..
Satu kata buat suhu buat cerita ini
P.A.T.E.N:jempol:
 
Baru inget dulu punya karyawan namanya fitri, sexy abis pokoknya sayang gagal exe gara2 temennya mabok parah waktu abis dugem...
 
A.K.A.R:tepuktangan::tepuktangan::cendol:

Gw terus terang aja paling pelit buat komen2..selain karna banyak cerita yg tau2 suka macet ditengah jalan, kita jg susah buat masuk kedalam cerita tuk merasakan alurnya..

Dan gw baru baca ini cerita kmaren, maraton Ampe kelar page terakhir update hari ini ..
Satu kata buat suhu buat cerita ini
P.A.T.E.N:jempol:
Terima kasih buat apresiasinya hu @Btk69 :ampun:
 
Adakah yg curiga klo lita,fitri dan tyo ada hubungan?
Kok ibey bisa cepet banget promosi.
Jangan* lita sama tyo kmren cuma ngetes aja....masih cerdas ga c ibey....
Bisa jadi lita sodaranya fitri....
Ingat ibey tidak suka di kasih cumaa*

Semoga uzie d kasih pelajaran....biar sari ga binal lagi...wkwkwkwkwww
Lah iya ya.. ane aja gak kepikiran ampe situ hu.. wkwkwk.. ide bagus tuh.. :p
 
Akhirnya ada update ny lagi gan. Nah itu baru gentelman, menghadapi masalah jangan dengan emosi/otot tapi otak, tinggal eksekusi Fauzi nih, kalau bisa fisik dan mental ny di hancurkan biar membusuk dia antara hidup dan mati. Sehat selalu gan biar bisa nulis sampe tamat..
 
A.K.A.R
bagian Tujuh Belas​





"Eh.. nggak, kenapa?" Kataku heran kenapa dia bertanya seperti itu. Atau jangan jangan memang benar bahwa Fitri sudah menikah dengan Tyo dan Fitri tak mau pertemuan ini diketahui Tyo karena takut Tyo marah kepadanya.

"Mmm.. gapapah.. yaudah aku tunggu di apartemen yah Bey.." suara Fitri amat sangat terdengar merdu ditelingaku.

"Iyah.." jawabku sambil menutup telpon.


__________¤¤_________



Kini, aku sudah berada dihadapan pintu apartemen Fitri. Hatiku berdebar, sama seperti saat pertama kali aku ketempat ini sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu. Kutekan bel yang menempel di sisi pintu, kutunggu beberapa menit sampai akhirnya gagang pintu itu terlihat bergerak. Kemudian pintu ini terbuka.

Berdiri kini dihadapanku sosok wanita cantik yang pernah mengisi hari hariku dulu dengan berbagai cerita. Wajahnya syahdu menatap mataku dan mampu membuat tubuhku kaku. Pintasan pintasan kenangan antara aku dengannya berkelebat dengan cepat didalam otakku, mulai dari saat pertama kali bertemu, saat pertama kali bercinta, saat melewatkan hari hari dengan canda tawa susah senang, sampai ingatan ingatan saat aku mencumbunya dan menanam benih didalam rahimnya beberapa bulan yang lalu kini menguasai otakku.

Fitri menatapku dan aku tetap diam terpaku menatap wajahnya, wanita inilah yang hafal seluk beluk hidupku, wanita inilah yang tahu bagaimana kebiasaan kebiasaanku, wanita inilah yang mengerti kondisi hatiku. Tak terasa, mataku mulai hangat oleh genangan air mata. Masalah rumah tanggaku mulai mengusik fikiranku saat ini. Kembali teringat bagaimana Sari bercumbu dengan Fauzi, teringat bagaimana hatiku sakit menyaksikan itu, teringat bagaimana tak teganya aku melihat Sari menangis menjerit memohon ampun kepadaku bahkan mengambil sumpah diatas Kitab Suci, teringat bagaimana aku harus menanggung beban tanggung jawab ini sendirian disana. Pertahananku mulai goyah, wajah cantik dan tatapan mata Fitri benar benar menelanjangiku tanpa memberi sedikitpun kesempatan untukku menata ego. Jika dengan Sari, aku sanggup untuk terlihat kuat meskipun harus terseok seok, aku sanggup untuk berpura tegar menghadapi segala permasalahan rumah tanggaku, lebih lebih masalah terakhir yang benar benar membuat hatiku hancur. Namun, aku harus tetap berdiri tegak dihadapan Sari, aku harus kuat dihadapan Sari, karena dia Istriku, karena dia Ibu dari anakku.

Tapi dengan Fitri, aku tak bisa berpura pura. Aku tak bisa pura pura terlihat kuat ketika aku mulai melemah, aku selalu 'apa adanya' dengan Fitri. Itulah yang membuatku merasa nyaman dengannya, karena Fitri tahu segalanya tentang aku.

"Bey..." Fitri memanggil namaku.

Mendengar suaranya, pertahanan ku jebol, ketegaranku ambrol, aku menutup wajahku dan jongkok dihadapannya dan menangis tersedu. Aku tak perlu merasa malu karena menangis di depan Fitri, aku tak perlu merasa malu menunjukkan kelemahanku dihadapan Fitri, aku tak perlu merasa malu memamerkan kegusaranku di hadapan Fitri. Aku tak perlu berbohong kepadanya bahwa aku ini kuat.

Tidak, dengan Fitri aku selalu menjadi aku.

Fitri turun dan merangkul bahuku, diusap usapnya dengan lembut pundak dan rambutku.

"Gapapah.. gapapah.. keluarin semuanya.. lepasin semuanya... gapapah. Ada aku disini.." kata Fitri lembut sambil mencium rambutku.

Sekitar 10 menit kemudian air mataku baru benar benar berhenti mengalir, barulah Fitri mengajakku bangun dan mengajakku masuk kedalam apartemennya.

Begitulah Fitri, dengan sabar dia menungguku selesai melepaskan semua beban lewat tangisan tanpa sedikitpun bertanya atau berusaha mendiamkanku. Aku menyeka sisa sisa air mataku dan ikut bersamanya kedalam. Sari tetap merangkulku dan mengajakku duduk dikursi tamu. Akupun duduk dan terdiam, sementara Fitri menuju dapur dan kemudian kembali membawa segelas teh kepadaku. Fitri memintaku untuk minum teh itu, akupun menurutinya. Hangat dan manis.. Fitri masih hapal minuman kesukaanku.

Kemudian Fitri mendekat disampingku dan mengelus elus punggungku. Sebongkah daging kenyal yang tertutup kaos berlengan pendek kini sedikit menempel dibahu kiriku

"Udah?.." tanya Fitri lembut. Aku diam saja dan malah menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Kutarik nafas dalam dalam dan berpaling kearahnya. Semua beban yang ada dipundakku seolah hilang ketika aku berada didekat Fitri. Tiba tiba rasa kangen untuk Fitri datang dan membuat nafasku sedikit menjadi berat. Kupeluk Fitri dalam posisi duduk, Fitri membalas pelukanku dengan merapatkan lebih erat tubuhnya.

Aku kangen.. aku rindu

Posisi wajahku kini berada tepat disisi kiri lehernya yang jenjang, wangi shampo yang tercium dari rambut Fitri ikut menambah rasa kangenku kepadanya. Kuhirup aroma wangi shampo di rambutya, dan Fitri semakin mempererat tubuhnya ke tubuhku. Payudara Fitri menempel didadaku yang membuat penisku sedikit menegang. Kemudian aku mengendurkan pelukanku untuk mencium lehernya, tubuh Fitri bergidik. Ku kecup leher yang beraroma parfum itu dan kutelusuri sampai ke belakang telinganya. Ku kecup area yang menjadi titik rangsang Fitri itu.

Tubuhnya kembali bergidik, malah kini Fitri sedikit mendesah.

"Ahhss.. hmm.. Bhey.."

Dari belakang telinga, kembali kutelusuri bibirku ke pipinya dan berhenti tepat di bibirnya. Kamipun berciuman dengan lembut dan penuh perasaan. Seluruh rasa kangen yang datang tiba tiba itu kucurahkan lewat ciuman itu. Tak ada ciuman liar dan panas antara aku dan Fitri, yang terjadi adalah luapan rasa kangen dan sayang berbalut gairah mesra.

Fitri memeluk leherku dan mulai memiringkan wajahnya untuk menyalurkan liur cinta melalui lidahnya yang dimasukkan kedalam rongga mulutku. Aku menyambut lidahnya dan menghisap liur itu dengan segenap perasaan. Kini kedua tanganku mencari tepi bawah kaosnya, dan ketika dapat kuraih tepi kaos itu, kutarik dengan lembut kaos Fitri dan mencoba meloloskannya melalui kepala Fitri. Fitri mengangkat kedua lengannya guna mempermudah tanganku melepas pakaian Fitri.

Sambil tetap berciuman yang kini mulai sedikit cepat dan semakin panas, aku meraih kaitan bra di punggung Fitri dan membukanya sekaligus membuang bra itu sembarangan. Fitri melepas ciumannya dan menatap mataku, ku genggam payudara Fitri dan meremas lembut daging bulat milik Fitri. Fitri melenguh sambil menatap perbuatan tanganku kepada payudaranya.

"Uuuhhh.. ssshh.."

Kini Fitri membuka kancing kemejaku dan melepas kaos dalamku sekaligus. Tetap dalam posisi duduk, kini Fitri menurunkan kepalanya dan menjilati kedua dadaku. Aku beringsut setengah tiduran untuk memberi akses agar Fitri lebih leluasa melakukan itu Sambil menikmati kecupan dan jilatan jilatan Lita di dada dan putingku, aku meraih payudaranya dari samping dan meremas remas lembut serta memilin putingnya yang kini sudah mengeras.

"Uuuuhhh... hhmmm... cup.. cups.. sluurrps.." Sari mendesah di sela sela kecupan kecupan pada putingku.

Beberapa saat kemudian, aku menarik Fitri agar kembali duduk, Fitri menurutiku. Lalu aku mengambil bantal sofa yang berukuran keci dan menaruhnya di paha Fitri. Setelah itu, aku meletakkan kepalaku di bantal sofa dan mulai menjilati kedua payudaranya secara bergantian.

Fitri mendesah meresapi kenikmatan, terkadang ditariknya kepalaku agar lebih rapat menekan payudaranya dan kadang Fitri memilin milin puting payudara kanannya sendiri mengimbangi lidahku yang menjilati payudaranya yang sebelah kiri. Posisiku kini seperti bayi yang sedang menyusu pada ibunya.

Mungkin Fitri merasa bahwa tangan kirinya kurang begitu aktif, makanya kini tangan kirinya menyusuri perut dan berhenti tepat diatas penisku yang masih tertutup celana kain dan mengelus serta menggenggamnya dengan lembut. Aku yang paham akan maksud Fitri segera membuka ikat pinggangku, mengendurkan resleting celana dan melepas kancing serta mengangkat sedikit pinggulku dan memelorotkan celanaku sampai ke tengah paha. Tangan lembut Fitri kini mengelus penisku yang sudah menegang dan hanya berbalut selembar kain celana dalam.

Merasa tanggung mungkin, Fitri mendorong batas celana dalamku agar penisku bisa bebas. Kubantu Fitri melepas seluruh celanaku dengan cepat. Dan kini aku telanjang bulat sambil terus rebahan diatas paha Fitri dan tetap menikmati daging bulat nan indah ini.

Alih alih mendesah, Fitri mulai mengurut penisku dengan telapak tangannya yang lembut.

Ahh.. nikmat sekali rasanya. Hanya saja sepertinya Fitri kurang nyaman dengan posisi ini. Akupun beranjak bangun dan duduk disampingnya. Dengan sedikit membungkuk untuk memainkan payudaranya, aku mulai membuka kancing celana jeans Fitri dan mengendurkan resletingnya. Fitri mengerti maksudku dan berdiri untuk memelorotkan celana jeans serta celana dalamnya sekalian.

Tinggallah kami telanjang bulat kini.
Kemudian, Fitri duduk bersimpuh dilantai tepat dihadapanku yang duduk di sofa. Sambil menatao mataku, Fitri meraih penisku dengan kedua tanganya dan mulai memainkan batang serta kepala penisku dengan kocokan, pelintiran atau menggesek gesekkan ibu jarinya di depan lubang kencingku. Rasa ngilu akibat gesekan itu membuatku melenguh nikmat.

"Uughh.. Fit..." kepalaku menegadah saking menikmati permainan jempolnya di lubang kencingku.

Masih dalam posisi kepala menengadah, kurasakan tiba tiba penisku menjadi hangat, kulihat ke bawah, ternyata Fitri sedang mengulum penisku. Posisi duduknya pun kini berubah, dari yang tadi bersimpuh, kini Fitri duduk jongkok dan membuka sedikit lebar kedua pahanya. Dapat kulihat vaginanya meskipun sedikit terhalang payudaranya yang bulat.

Kulihat kini Fitri memainkan vaginanya sendiri dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegangi batang penisku agar tak banyak bergerak ketika dikulum dan di hisap oleh bibirnya.

"Aahh.. Fit..Uuuggh.." kataku nikmat bercampur rasa geli di area penis.

Kalau begini terus, pasti aku akan cepat keluar. Aku tak ingin itu terjadi.

"Aghh.. hhh.. Fit.. gantian, sini duduk." Kataku sambil meraih pundaknya dan memintanya naik dan duduk dikursi. Fitri menuruti perkataanku dan duduk disampingku. Kami kembali berciuman, namun kali ini lebih liar dan panas. Tangannya meraih penisku dan mengocoknya perlahan. Tangankupun meraih payudaranya dan meremas remas dengan gemas.

Merasa cukup berciuman bibir, kini aku beringsut turun dan menghisap kedua payudaranya bargantian, setelah itu kuturunkan bibirku dan mulai menjilati perut dan langsung turun ke bawah pusar dan berhenti tepat di atas batas belahan vaginanya. Aku menatap Fitri, Fitripun menatapku denga mata nanar. Fitri mengangguk memberi izin kepadaku. Setelah mendapat izin dari Fitri, aku menekuk kakinya dan membuka lebar lebar keduanya sampai lubang vagina dan lubang anusnya terekspos jelas di depan wajahku. Mataku nanar demi melihat lubang kenikmatan yang sudah mengkilap basah dengan secuil daging kecil terselip diatasnya. Sebelum menuju kesitu, sengaja kucium bagian dalam pahanya.

"Hmm.. sshh.. ayo sayang.." kata Fitri sedikit tak sabar dan menarik bibir vaginanya dengan kedua telapak tangan dan membuat cuilan daging kecil itu semakin terlihat menonjol. Tanpa merasa perlu untuk meminta izin lagi, lidahku langsung menari nari di klitoris Fitri, sesekali ku hisap bibir vaginanya dan sesekali ku cucukkan ujung lidahku ke dalam lubang vaginanya. Fitri mendesah tanpa henti sambil sesekali menyebut namaku.

"Uuhhsss... Hmmmmmhhh.. ooougghh Bheeyyy.. nikmatnyaaa... oouhhh..."

Kulepas tangan kananku yang sedang kugunakan untuk menahan kaki kirinya dan Fitri langsung menggantikan tanganku dengan tangannya. Kemudian, sambil menjilati klitoris Fitri, aku memasukkan dua jariku langsung ke dalam lobang vaginanya. Fitri tambah belingsatan dan pinggulnya bergerak gerak mengikuti irama kocokan jariku pada vaginanya.

Tiba tiba Fitri menarik rambutku dan menekan kepalaku agar semakin rapat divaginanya sambil melenguh panjang.

"Aaaaakkhh... uuuuuughh.. ssssshhhh... ouggghhhhh...."

Fitri orgasme.. kubiarkan dia sejenak untuk mengatur nafas. Sambil menunggu, aku bangkit dan duduk disampingnya. Tak lama kemudian Fitri merebahkan kepalanya dipundakku dan menatapku dengan sinar mata yang bahagia kemudian berkata,

"Enak deh Bhey... kangen banget dijilatin kaya tadi sama kamu."

Aku tak menjawab dan hanya tersenyum. Ada yang terjadi pada hatiku.

Setelah nafasnya teratur, Fitri meraih penisku dan mengocoknya perlahan. Kemudian dia menurunkan kepalanya dan kembali menghisap penisku. Aku mengimbangi dengan meremas remas payudara dan pantatnya secara bergantian.

'Plop..' Fitri melepas mulutnya dari penisku dan beranjak naik kepangkuanku. Diraihnya penisku kemudian digesek gesekkannya kepala penisku di klitoris dan di depan lubang vaginanya sampai akhirnya Fitri memasukkan batang penisku kedalam lubang vaginanya sampai habis tertelan semua batangnya.

"Ooohh..." kami mengerang bersamaan.

Kemudian Fitri mulai menggoyang goyang pinggulnya sambil menahan beban tubuhnya dengan cara memegang pundakku. Kompaan Fitri semakin cepat, kusambar bibirnya dan berciuman disela nafas kami yang memburu.

"Oohh.. oohh.. uh.. sssshhh.. enak Bhey.. oohh.." katanya naik turun sambil menatapku dan tersenyum.

Aku tak ingin lama lama, Fitri sudah orgasme, sekarang giliranku. Fikirku.
Kuraih pantat Fitri dan mengangkatnya perlahan agar kelamin kami tak terlepas. Kugendong Fitri sambil sesekali bergoyang agar kenikmatan yang ada di kelamin kami tak cepat hilang. Kubawa dia ke kamarnya, kurebahkan tubuhnya di kasur. Setelah kurebahkan, Fitri menyilangkan kakinya di belakang pinggangku, aku kembali memompa vagina Fitri sambil sesekali menghisap payudaranya. Kompaanku semakin cepat seiring semakin dekatnya rasa nikmat itu akan datang. Fitri tak henti hentinya mendesah desah dan berkata enak.

Semakin dekat kenikmatan itu akan datang, semakin cepat pula pompaanku di vagina Fitri. Sampai akhirnya Fitri kembali dilanda orgasmenya yang kedua disertai erangan yang sedikit keras dan menaikkan pinggulnya yang membuat penisku semakin masuk ke dalam.

"Aaaarrggghhh... uuuuuhhhh... Bheeeeeyyyhhh.. ooohhhh.. hh.. hh.. hh.."

Aku tak mau ketinggalan. Langsung kupompa lagi vagina Fitri dengan kecepatan penuh. Fitri langsung memejamkan mata seraya menutup mulutnya dengan tangan kirinya.

"Mmmhh.. mmhh.. mmmhh.. akh.." wajah Fitri begitu menggairahkan ku lihat.

Lalu Fitri sepertinya memaksakan diri untuk melihatku dan tersenyum sambil memutar mutar pinggulnya.

Sedikit lagi..

Tiba tiba Fitri mencubit kedua puting di dadaku dan memelintirnya dengan tekanan sedang.

Efeknya sangat terasa di penisku. Rasa ngilu yang dihasilkan oleh puting dadaku mengalir deras langsung ke penisku.

Aku meledak...

"Uuugghhh... uuugghhhh.. hmmpp... oh.. hh..hh..hh"

Kusemburkan spermaku kedalam rahim Fitri. Berarti ini adalah yang ketiga kalinya aku menyemburkan spermaku di dalam vaginanya. Yang dua kali saat aku menginap disini untuk pertama kalinya dulu, dan yang ketiganya adalah saat ini.

Aku ambruk diatas tubuh Fitri, nafas kami tak beraturan lagi dan keringatpun sudah membasahi tubuh kami berdua. Kudiamkan penisku didalam vagina Fitri sampai dia mengecil sendiri. Kemudia kucabut secara perlahan. Fitri menggeliat ngilu ketika kutarik penisku dari vaginanya.

"Aahhhh... sshhhh.. huuhh". Fitri mendesah ngilu.

Aku tiduran di samping Fitri yang sedang menaikkan kedua tungkai kakinya bersandar di dinding bagian atas. Ngilangin pegal katanya.

Aku menatap kosong langit langit apartemen ini. Aku bingung, bagaimana mungkin aku bisa menahan nafsuku dengan Lita ?Sekalipun dia telanjang bulat di depanku, aku sanggup menahan nafsuku pada Lita. Tapi kenapa aku tak bisa menahan gairahku kepada Fitri ya?

Akupun memikirkan Sari dan Raka.

Tiba tiba Fitri memanggilku,

"Bey.." katanya pelan.

"Hmm.." kujawab dengan singkat.

"Boleh nanya gak..?" Kata Fitri seperti hati hati.

"Apah..?" Tanyaku kemudian.

"Tadi kenapa? Sampe nangis kejer gitu.. gw boleh tau?" Fitri menyebut dirinya dengan kata 'gw'. Ini artinya, dia siap untuk menjadi pendengar yang baik.

Aku menarik nafas panjang dan mengusap wajahku dua sampai tiga kali. Rasa sakit di hatiku datang lagi. Aku menoleh kearah Fitri dan berkata padanya,


"Sari Fit... Sari selingkuh..." kataku membuka pembicaraan serius dengan Fitri.

Jujur aku tak mengharap respon apapun dari Fitri, dan aku yakin diapun sehati denganku. Fitri hanya diam menungguku menceritakan kejadian Sari dengan Fauzi. Akupun mulai menceritakan kejadian itu sepanjang pengetahuanku.

Sampai dibagian Sari mengucap sumpah, nada bicaraku bergetar. Fitri kini duduk bersandar di dinding sisi kasur.

"Disatu sisi, gw bersyukur kalo mereka belom berhubungan badan, tapi disisi yang lain, gw nyesel Fit.. nyesel kenapa kejadian itu kok bisa bisanya gw gak tau." Kataku sambil mengusap dahi.

Kami kembali terdiam beberapa saat sampai akhirnya Fitri menghembuskan nafas untuk yang kedua kali. Aku tahu kalau dia juga pasti terkejut.

"Hufftt.. berat juga masalah lu Bey.." kata Fitri

"Seharusnya lu ambil tindakan buat... siapa tadi nama sodaranya Sari?" Tanya Fitri kepadaku.

"Fauzi.." jawabku singkat.

"Iya, ambil tindakan buat dia Bey.." kata Fitri memberi masukan kepadaku.

"Udah gw fikirin, gw punya rencana supaya Fauzi gak lagi nganggep Sari itu sebage lontenya n gak lagi bisa gangguin keluarga gw.." Aku sedikit geram ketika mengucapkan itu.

"Maksudnya?" Tanya Fitri lanjut.

"Begini, sehabis Sari ngucapin sumpah. . . . . . . . ."




______________¤¤____________



. . . .

Aku mengucap beribu syukur karena Sari belum bersetubuh dengan Fauzi.

"Hiks.. bunda udah sumpah diatas kitab suci Yah.. kurang apalagi supaya Ayah percaya sama bunda.. hikshikshiks.. ma'affiin bundaaaa Yaaaahh..." Sari masih memeluk betisku dan menghiba kepadaku.

"Bukan sama Ayah kamu harus minta maaf bund, minta maaf sama Yang Di Atas. Sini.. duduk samping ayah.." kataku sambil menepuk nepuk busa sofa disisiku. Saripun beringsut naik dan duduk disisiku sambil menunduk.

"Udah main mainnya..cukup." Kata kata yang diucapkan Lita ketika aku hampir saja menyetubuhinya kini kukatakan kepada Sari.

"Ayah gak seratus persen nyalahin kamu. Ayah juga punya salah, ayah gak bisa ngawasin n ngejaga kamu sampe kamu jadi ilang kendali gini.." belum selesai ucapanku, Sari langsung memotong.

"Nggak Yah, Ayah gak salah.. bunda aja yang gak bener, ayah gak salah.." kata Sari sambil menyeka sisa air matanya.

"Yaudah sekarang gini aja, ayah nanya sama kamu, kamu nyesel?"

Sari mengangguk dengan cepat.

"Mau ngulangin lagi.."

"Enggak Yah.. demi Tuhan gak bakal ngulangin lagi.." kata Sari menggenggam tanganku.

"Berani sumpah lagi?" Ku uji kembali keseriusan Sari.

Sari langsung mengambil Kitab Suci yang tadi diletakkan di meja, aku menahan tangannya.

"Yaudah.. ayah percaya. Gak usah sumpah diatas Kitab Suci buat yang ini mah. Ayah percaya." Kataku kepada Sari.

"Ayah maafin bunda..?" Tanyanya sambil menggenggam lebih erat tanganku.

"Iya, asal habis ini kita ke rumah Umi, kita cuci kaki Umi n minta maaf sama Umi. Sekalian kita nyekar ke makamnya Bapak"

"Lho.. ayah udah ngasih tau Umiiii..?" Tanya Sari dengan wajah yang hampir menangis lagi.

"Engga.. gak mungkin ayah ngasih tau Umi. Umi gak boleh tau, kita niatin aja dalem hati kalo kita minta maaf untuk masalah ini, kalo ke Uminya, kita bilang kalo kita minta maaf karena belum bisa jadi anak n mantu yang bisa bahagiain Umi. Kalo ada waktu, kita ke Jakarta juga, kita cuci kaki mama disana. Gimana.. mau?" Kataku sambil bertanya kepada Sari.

"Mau.. apapun bakal bunda lakuin buat nebus kesalahan bunda ke ayah, tadi bunda sempet takut kalo ayah bakal nalak bunda. Bunda takuut.. kalo bener kejadian kita cerei, seumur hidup bunda pasti bakal nyesel Yah..." kata Sari sedikit terisak.

"Hhhhh... ayah gak nikahin kamu kalo cuma buat ayah cerai bund. Kita cuma manusia, pasti punya kesalahan. Tinggal kita gimana buat belajar dari kesalahan itu n gak ngulangin lagi, gak ada niat buat jatuhin talak ke kamu..." Kataku bijak kepada Sari. Kulirik Sari dan kulihat bibirnya mengucap kalimat syukur tanpa suara.

"Tapi Yah, bunda takut sama Uzi.." katanya sambil menatap mataku. Kutangkap sinar kekhawatiran dari sorot matanya.

"Takut gimana maksudnya?" Tanyaku lebih rinci.

"Waktu pertama kali kesana n minta tolong kerjaan buat kamu, dia sempet minta gituan sama bunda. Tapi bunda tolak, malah bunda sempet marah sama dia. Tapi dia malah ngomong gini, sok aja kalo lu mau ngadu sama suami lu. Gw panggil temen temen gw, gw gebukin lakilu kalo sampe berani dateng kesini." Sari mulai bercerita kepadaku tentang kelakuan Fauzi.

"Dia bilang gitu ke kamu?" Tanyaku mulai emosi.

"Iya.. terus kata dia gini. Sekarang pilih.. laki lu gak kerja, lu tetep miskin ketambah laki lu bakal gw gebukin bareng temen temen gw biarpun lu ga jadi masukin lamaran kerja buat laki lu di tempat gw, atauuu.. laki lu bisa kerja, lu juga gak perlu pusing mikirin duit, n laki lu aman. Gak bakal gw apa apain. Dengan syarat, lu begini sama gw." Lanjut Sari bercerita seraya menunjukkan genggaman ibu jarinya yang diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengah.

Dadaku bergemuruh panas. Emosiku naik mendengar cerita Sari.

"Terus kamu bilang apa lagi sama dia?" Dengan penuh emosi aku kembali bertanya kepada Sari.

"Ya bunda mohon mohon sama dia supaya jangan begitu karna kita ini masi sodara. Awalnya Fauzi kekeuh.. tapi karena bunda terus nangis, dia jadi kasihan mungkin. Terus akhirnya .. ya gituu..." kata Sari menggantung kalimatnya.

"Berarti dari pertama tama kamu kesana kamu udah dipaksa ngelayanin nafsunya dia?" Kataku dengan mata memerah.

Sari hanya mengangguk pelan dan mulai terisak kembali.

Pantas saja waktu pulang dari rumah Fauzi Sari terlihat amat lelah. Mungkin ini penyebabnya.

Bajingan.. rutukku untuk si kunyuk Fauzi

"Bunda cuma gak mau ayah kenapa kenapa. Bunda takut Uzi bener bener gebukin kamu. Apalagi dia kan emang di cap preman disono. Mikirnya bunda, kamu udah banting tulang kerja keras buat nafkahin bunda sama Raka, apalagi kamu kan jauh dari rumah kamu di Jakarta. Kamu itu bener bener sendirian disini. Siapa lagi yang bisa ngelindungin kamu kalo bukan bunda. Siapa lagi yang bisa ngebelain suami bunda kalo bukan bunda istri kamu.. hiks.. apalagi sekarang misalnya dia tau kalo kamu udah tau kejadian ini, bunda takut kamu diapa apain sama dia Yah.." Sari kembali terisak.

Aku menarik nafas panjang. Kesalahan yang Sari perbuat memang terhitung besar, namun dibalik kesalahan itu ada bakti yang tinggi untukku darinya. Aku paham, aku mengerti.

Kini, tinggal dengan Fauzi saja urusanku.

"Biasanya berapa kali kamu ke rumahnya?" Tanyaku mulai menyusun strategi.

"Setiap dia pulang dari Purwakarta aja, kantor cabang PT kamu kan ada yang di Purwakarta.. paling sering seminggu dua kali.." jawab Sari kepadaku.

Anjiing.. pantas saja Sari bisa berubah drastis menjadi liar setiap bercinta denganku. Dalam seminggu bisa sampai dua kali dia melayani nafsu si monyet Fauzi meskipun mereka tak bersetubuh. Tapi justru karena itulah yang akhirnya membuat gairah Sari jadi terpendam dan tak tersalurkan kemudian menjadi liar kepadaku yang menjadi tempat pelampiasan.

"Seminggu dua kali? Huh.. kalah dong ayah, ayah aja cuma seminggu sekali." Kukatakan itu bukan untuk menyakiti perasaan Sari, tapi justru untuk merutuk kebodohanku selama ini.

Tapi mungkin Sari menangkap ucapanku dengan lain maksud.

"Maafin bunda Yah.. bunda khilaf.. bunda juga gak ngerti kenapa bunda bisa jadi kaya gitu.." kata Sari mencium tanganku.

Kamu gak ngerti, tapi aku bener bener ngerti kenapa kamu jadi kaya gitu, jawabku dalam hati.

"Huufft.. yaudah gapapa. Ayah ngomong gitu bukan buat kamu. Sekarang gini, kita kan mau ke rumah Umi nih nanti, buat sementara sambil nunggu ayah ambil tindakan buat si monyet Fauzi, kita ajak Umi buat nginep disini selama ayah kerja. Jangan kamu yang nginep dirumah Umi, karna bisa aja monyet itu nyuruh kamu pura pura pamit ke umi buat pergi kemana gitu supaya bisa ngelayanin dia. Yang paling baik, Umi yang nginep disini. Ayah yakin dia gak bakalan bisa apa apa. Karna kalo dia tetep maksa kamu buat pergi keluar, kamu bisa alesan gak enak ninggalin Umi sendirian di rumah. Atau tarolah dia nekat nyamperin kamu kesini, nah.. kamu jangan jauh jauh dari Umi biar dia gak bisa macem macem sama kamu. Ngerti kan?"

Sari mengangguk, "Iya Yah bunda ngerti. Tapi kita bikin alesan apa ke Umi buat ngajak dia nginep disini?"

"Bilang aja kamu kangen pengen tidur bareng sama Umi. N bilang aja biar Umi ada hiburan, kan bisa maen bareng Raka nanti Uminya." Kataku pada Sari.

"Terus satu lagi, kamu masih nyimpen pidio Lita di HP kamu?"

"Masih.. nanti bunda hapus.." Kata Sari.

"Jangan.. itu buat senjata ayah ke Fauzi. Kirimin ya nanti ke HP ayah." Pintaku pada Sari.

"Iya Yah.." kata Sari mengerti tanpa banyak bertanya.

"Yah.. makasih ya Ayah udah mau maafin Bunda, bunda janji gak bakal ngulangin kesalahan kaya gitu lagi." Kata Sari sambil mencium pipiku.

"Iya.. yaudah sana ganti pakaian dulu terus lanjutin masaknya." Kataku yang dibalas oleh senyum manis dari Sari.

"Hu'um.." Jawab Sari sambil beranjak menuju kamar.

"Eh iya.. ngomong ngomong, kamu baca pesan pesan di HP ayah?" Tiba tiba aku teringat pesan dari Fitri.

"Iya.." Sari malah kembali lagi dan duduk disampingku lagi.

Sari menggenggam tanganku dan berkata,

"Tadinya bunda gak bakal kasih izin ke ayah buat ketemuan sama F.R.." Sari seperti enggan menyebut nama Fitri. Tapi kemudian dia melanjutkan ucapannya,

"Tapi, karena kejadian ini n karna kesalahan bunda yg terlalu besar ke ayah, n Ayah udah amat amat bijaksana maafin bunda, akhirnya bunda ambil keputusan.. gapapa.. ayah boleh nemuin Fitri.." Kata Sari sambil memegang pipiku.

"Terus, titip salam sayang bunda buat Fitri, kasih tau juga ke Fitri, Raka titip salam sayang buat tantenya." Sari mengecup keningku dan beranjak ke kamar.

Aku tersenyum bahagia dan mencium kening Raka anakku.






Alhamdulillah...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd