Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Am I Wrong

Kira-kira bakal berakhir kayak mana?


  • Total voters
    215
  • Poll closed .
Bimabet
PART 16 (S2)
POV Ricky

Hufftt….

Mataku terus menatap ke arah jam yang tergantung di dinding kamarku. Tatapanku mengikuti jarum jam panjang yang selalu bergerak secara beraturan tiap detiknya. Aku menghela nafasku perlahan dan mataku hanya berfokus pada jam tersebut.

Rasa gelisah menggulati jiwaku. Hatiku menjadi sangat tidak tentram. Aku sangat ingin membalas dendam kepada Samuel sialan itu. Apapun caranya. Namun aku sadar jika aku melakukannya, maka aku bukan hanya membahayakan diriku, melainkan Kak Kimi juga. Tidak boleh masalah ini sampai diketahui oleh orang lain, apalagi sampai ke telinga orang tuaku.

Kini aku harus memutar otak untuk mendapatkan cara lain. Sialnya cara tersebut belum kudapat sampai sekarang. Aku tak tahu, apakah lebih baik bila aku menghabisi Samuel dengan tanganku sendiri atau menyewa seseorang untuk meminjamkan tangan kotornya untukku. Tapi kurasa cara itu bukan cara yang bijaksana. Aku tak boleh sampai melakukan tindakan gila ini. Aku harus tetap di sini karena aku akan sangat khawatir dengan Kak Kimi bila aku dikerangkeng dalam sel penjara.

Aku menatap wajah Kak Kimi yang sedang terlelap. Wajah seorang gadis polos yang seharusnya tidak menjadi korban keganasan nafsu birahi seorang lelaki. Rasa kasihan kembali menyelimuti batinku. Aku mendekap kembali Kak Kimi dan mengelus perlahan rambut hitamnya. Kemudiam, aku mengecup keningnya yang tak bercela itu.

"Untukmu, aku bakal melakukan segalanya, Kak," bisikku sambil menatap wajah polosnya tersebut.

Aku belum melepaskan dekapanku dari tubuh Kak Kimi. Kini aku mencium rambut Kak Kimi yang senantiasa harum. Kujadikan aroma itu sebagai stimulus penenang jiwaku. Aku tak bisa tidur tadinya, namun berkat aroma yang mendamaikan dari rambut Kak Kimi, kini perlahan aku mulai menutup mataku dan terlelap membawa aroma rambut Kak Kimi ke alam mimpiku.
.
.
.
.
.
.
Aku mulai membuka mataku. Kulihat bila Kak Kimi masih tertidur lelap di dalam dekapanku ini. CUP! Aku kembali mengecup kening Kak Kimi dan mengelus rambutnya perlahan. Kemudian aku bangkit dan melihat jam di ponselku. Sudah pukul 7.30 rupanya.

Setelah Kak Kimi bangun, aku mengajak dirinya untuk berolahraga ringan. Setelah selesai berolahraga selama 10 menit, aku langsung bergegas untuk mandi. Kemudian giliran Kak Kimi yang akan menggunakan kamar mandiku. Selepas itu, aku bersiap untuk mengantarkan Kak Kimi pulang ke rumah orang tuaku. Namun tak disangka, Kak Kimi menolak hal tersebut dengan keras.

"Gak, Sayang. Aku gak mau pulang!" sergah Kak Kimi saat aku berusaha membujuk dirinya.

"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

"Aku takut, Sayang. Aku gak mau tinggal sendirian di rumah tanpa kamu." Matanya mulai berkaca-kaca dan air matanya sudah berada di ujung pelupuk matanya, menanti untuk jatuh.

"Kak, kan ada orang tua kita."

"Hiks… kemana mereka saat aku dibawa oleh Samuel?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan Kak Kimi. Benar juga kata dia. Kemana orang tuaku yang seharusnya menjaga putri kesayangannya di pesta itu? Mereka terlalu sibuk sampai tidak tahu kalau anak perempuannya diperkosa oleh saudara sepupunya sendiri.

"Please, Sayang. Cuma kamu yang bisa lindungin aku sekarang. Huhu…." Kak Kimi menangis dengan keras. Ia langsung mendekap tubuhku sangat erat. Kini aku paham. Kak Kimi butuh bantuanku. Ia mengalami trauma akibat kejadian itu. Hanya akulah orang yang bisa menjaga dan membantunya untuk pulih dari trauma tersebut.

"Baiklah, Kak. Untuk sementara, Kakak nginap di sini aja ya," kataku setelah mempertimbangkan keputusan ini.

"Makasih, Sayang. Kamu memang cowok yang mengerti aku." Dengan rasa gembiranya, ia mengencangkan pelukannya kepada diriku. Aku turut tersenyum melihat kegembiraan Kak Kimi dan mengusap rambutnya.

"Ya dong. Kan aku adiknya Kakak juga."

Kak Kimi melepaskan pelukannya. Lalu ia tersenyum dengan manis kepadaku. Aku membalas senyumannya dan meraba-raba pipinya yang halus bagai salju tersebut. Kucubit perlahan dan kucium pipi tersebut karena gemas.

"Makin hari makin manis aja wajah Kakak," pujiku sambil terus menatap wajahnya.

"Duh… makasih, Sayang. Udah lama loh aku gak dipuji gini sama kamu."

"Jadi makin suka deh sama Kakak."

"Ihh… ternyata kamu bisa jadi bucin juga ya, Sayang."

"Kalau sama Kakak, bisa dong.",

"Dasar kamu ah. Gombal mulu pagi ini."

Tanpa ada aba-aba atau isyarat apapun, aku langsung menyosor ke bibirnya Kak Kimi. Ia juga membalas lumatan bibirku ini. Kedua tanganku memegang pinggulnya. Sementara tangan Kak Kimi memegang kepalaku.

"Udah ah, Kak. Nanti keterusan jadinya," ujarku sambil melepaskan bibirku dan juga tanganku dari pinggulnya.

"Itu mah kamunya yang suka mesum."

"Iya deh, Kak. Namanya juga cowok normal."

"Tapi semesum-mesumnya kamu, aku tetap sayang kok sama kamu. Karena itu, aku rela kok diapa-apain sama kamu, Sayang," katanya sambil menatap dalam ke mataku.

"Aku gak bakal sembarang ngapa-ngapain Kakak kok. Aku janji," ujarku sambil mengangkat jari kelingkingku.

"Bagus deh kalau gitu. Kamu memang cowok yang baik, Sayang."

Ia mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. Kemudian kami pun kembali berciuman. Kulumat bibirnya yang menggoda tersebut. Tanganku kini berada di punggungnya. Aku mengelus punggungnya tersebut dengan perlahan mengikuti arus ciuman kami.

"Oh ya, baju Kakak cuma satu ya?" tanyaku selesai kami melepaskan bibir masing-masing.

"Iya nih. Belum cuci lagi."

"Kakak gak usah pakai baju aja gimana?" candaku sambil tertawa kecil.

"Ihhhh! Sayangku mesum ah!" protesnya sambil menampar lenganku berkali-kali.

"Bercanda doang kok, Kak. Yuk kita shopping baju buat Kakak."

"Asyik! Kalau kayak gini kan aku makin cinta sama kamu," ujar Kak Kimi sambil memeluk lenganku.

"Mau dibeliin barang dulu baru gini."

"Hihi…."

Aku segera turun ke bawah dan keluar dari lobi apartemenku. Tak perlu lagi aku capek-capek untuk mengambil mobilku. Cukup menyeberangi jalan saja, maka koleksi mall yang lengkap sudah tersedia di depan mata kita.

Kami masuk ke dalam mall tersebut. Kak Kimi mengikutiku dengan berjalan di belakangku. Maka kami langsung menuju ke salah satu toko pakaian ternama yang ada di mall ini. Dengan riang gembira, Kak Kimi langsung berlari menuju ke deretan pakaian mentereng yang sudah terpajang menunggu untuk dibeli.

"Sayang, yang ini cantik gak?" tanya Kak Kimi sambil menempelkan sebuah gaun jingga selutut ke tubuhnya.

"Kalau suka, ambil aja, Kak."

"Ihh, Sayang. Kan aku pakai ini buat kamu juga."

"Aku lebih suka kalau Kakak pakai bikini aja. Sekian," jawabku cuek tanpa berpikir dua kali.

"Sayang!" Kak Kimi langsung menghampiriku dan mencubit pipiku dengan kuat. Aku langsung mengaduh kesakitan. Ia baru melepaskan cubitannya itu setelah setengah menit yang menyakitkan kulitku.

"Iya-iya. Cantik kok. Ambil aja."

"Beneran gak nih?" tanya Kak Kimi dengan menatap tajam mataku.

"Iya. Percaya aja sama nurani Kakak. Pilihan Kakak adalah pilihanku juga."

"Ya udah deh. Awas kalau kamu komentar soal bajuku ya," ancam Kak Kimi sambil menunjuk wajahku.

"Iya, tenang aja."

Kak Kimi pun kembali mengubek-ubek koleksi baju yang ada. Aku sendiri hanya mengeluarkan ponselku dan mulai mengecek media sosialku yang jarang kubuka. Terlihat ada sebuah DM dari Claire, yang mengatakan jika ia berterima kasih sudah menemaninya selama ini. Ia juga mengatakan jika ia sudah bahagia dengan kekasih barunya dan berharap tak akan melihat wajahku lagi selamanya. Aku hanya tersenyum melihat pesannya itu dan menghapusnya tanpa membalas sepatah tulisan pun.

Aku berjalan menemui Kak Kimi yang sedang memilih baju. Aku mengatakan jika aku ingin mencari udara segar sebentar dan akan kembali dalam waktu yang tidak lama. Setelah melalui perdebatan yang sedikit alot dan panjang, dengan berat hati akhirnya Kak Kimi mengizinkanku untuk pergi sejenak asal tak terlalu lama dan tak terlalu jauh. Aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti.

Aku mulai berjalan meninggalkan toko baju ini. Menuruni eskalator, aku berencana untuk mampir ke kedai kopi yang terletak tidak jauh dari eskalator. Setibanya aku di sana, kupesan segelas kopi moccacino hangat. Kubuka ponselku kembali untuk bermain game ringan sejenak. Namun belum sempat kumainkan ponselku, tiba-tiba seorang gadis datang menghampiriku.

"Hai, Ricky," sapa Hanna yang sedang berdiri di hadapanku.

"Kok bisa kebetulan sih, Hanna?" tanyaku sembari melongok ke kanan dan kiri mencari seseorang yang mungkin bersama Hanna.

"Mana tahu. Barangkali kita jodoh kali hihihi…."

"Haha… bisa aja."

"Boleh duduk juga gak nih?" tanya Hanna dengan lembut.

"Silakan."

Ia menarik kursinya dan duduk di hadapanku. Mata kami bertatapan satu sama lain. Ia tersenyum padaku namun aku tak ingin membalas senyumannya tersebut.

"Kok lu jadi rada jutek sih?" tanya Hanna padaku.

"Perasaan kamu aja kali," jawabku cuek.

"Lu lagi jalan sama cewek lu ya?" tanyanya lagi sambil menatap wajahku.

"Ya, begitulah."

Wajahnya tampak begitu kecewa begitu mendengar ucapanku. Ia menundukkan wajahnya. Walau tak begitu jelas, tapi aku bisa melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air matanya itu. Aku mengambilkannya selembar tisu, namun ditolak dengan halus olehnya.

"Gue gak nangis kok. Gue gak apa. Makasih ya buat perhatian lu."

"Jangan maksain dirimu, Hanna," ujarku sambil terus menyodorkam tisu padanya.

"Gue gak apa kok. Dari awal gue emang udah tahu kita gak bakal bisa bersatu, tapi entah kenapa setiap ngeliat lu, gue selalu sedih dan sakit hati." Ia berusaha memaksakan senyumnya. Aku tahu bahwa Hanna sedang sakit hati kali ini, namun aku tak tahu harus berbuat apa.

"Sudahlah, Hanna. Itu hal yang wajar kok."

"Andai aja ada cowok lain yang sama persis kayak lu," katanya sembari tersenyum padaku.

"Berdoa aja semoga ada dan kalian dipertemukan."

"Amin. Itu harapan terbesar dalam hidup gue."

Aku menyesap kopi hangatku dari cangkir plastik daur ulang. Selesai menyesap habis kopiku, aku berpamitan kepada Hanna dengan alasan ingin pergi ke sebuah toko untuk membeli barang. Namun Hanna tidak sepolos itu. Ia langsung mengerti dengan apa yang bakal aku lakukan dan mempersilakanku.

Aku menaiki eskalator dan kembali menuju ke toko yang dikunjungi oleh Kak Kimi. Ternyata sesampainya aku di sana, ia sedang melihat-lihat pakaian yang ada. Aku berjalan mendekatinya diam-diam dan saat aku sudah berada persis di belakangnya, aku langsung mencubit kedua pipinya yang cukup berisi.

"Ihh, Sayang. Kagetin ah," keluh Kak Kimi sambil memanyunkan bibirnya.

"Hehe… sorry lah. Anyway, udah selesai milih bajunya?"

"Udah, tinggal ngambil di kasir aja nih."

"Ya udah, yuk."

Kami segera menuju ke kasir untuk membayar dan mengambil belanjaan Kak Kimi. Ternyata ia membeli cukup banyak pakaian juga, sampai terisi dua buah kantong besar. Dalam perjalanan pulang kami, tak henti-hentinya Kak Kimi tersenyum riang sambil memandangi pakaian barunya. Aku hanya menundukkan wajahku sembari ikut tersenyum melihat kebahagiaan kakak kandungku ini.

Setibanya di kamar apartemenku, Kak Kimi mulai membongkar kantong belanjaannya. Kulihat ia membeli berbagai jenis pakaian, mulai dari gaun rumahan, baju kaos, celana panjang kain, celana jeans, celana training, dan set piyama. Kemudian ia membongkar kantong belanjaan keduanya. Ternyata kantong tersebut berisikan tank top, celana pendek sepaha, dan juga pakaian dalam.

"Sayang, nanti titip semua ini di lemari kamu ya," pintanya dengan manja padaku.

"Iya, pakai aja, Kak. Masih banyak tempat kok."

"Makasih, Sayang. Sekarang aku mau laundry dulu nih baju-baju ini."

"Bawa aja ke lantai bawah. Di situ ada layanan laundry gratis tuh."

"Ok deh. Aku bawa dulu ya."

Kak Kimi membawa semua pakaian barunya ke lantai bawah. Sementara aku membuka laptopku untuk mengecek bila ada pekerjaan yang datang. Rupanya tidak ada, jadi aku bisa menikmati hari libur ini dengan tenang. Aku langsung merebahkan diriku di ranjang. Tanpa disadari, aku langsung terlelap begitu saja saat aku menatap langit-langit kamar apartemenku ini.
.
.
.
.
.
.
"Sayang, bangun ah. Kita mau berangkat nih ke acaranya Kakek."

Aku mengucek mataku begitu mendengar terbangun oleh panggilan Kak Kimi. Saat mataku sudah mulai terbuka sempurna, aku melihat Kak Kimi sudah mengenakan gaun putih di bawah lutut yang sangat cantik sekali.

"Tunggu, aku belum meninggal kan?" tanyaku ngawur.

"Emang kenapa?"

"Habis Kakak pakai gaun ini, kukira bidadari surga loh."

"Ihh, gombal ah," protesnya padaku namun dengan wajah yang tersipu malu dan menahan senyum.

"Ya udah. Aku mandi dulu. Tunggu ya."

"Jangan lama-lama ya. Nanti telat loh."

"Tenang aja, Kakak Bidadari."

"Ihhh…."

Selesai mandi, aku mengenakan pakaian pestaku. Sebuah jas semi formal berwarna abu-abu dan celana kain panjang berwarna hitam. Kupadukan dengan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam pula. Rambutku ditata rapi dengan bantuan pomade. Aku melihat sekilas penampilanku di cermin dan merasa segalanya sudah baik. Sebagai sentuhan terakhir, kusemprotkan parfum Amerika milikku.

"Huaaa… ganteng banget ihhh!"

Kak Kimi yang melihatku dari belakang langsung berlari ke arahku dan memeluk diriku. Ia juga menghirup aroma parfum milikku ini. Aku terheran, apakah Kak Kimi salah makan sampai jadi kayak gini?

"Ihhh, wangi banget sih kamu! Makin suka deh sama Sayangku."

"Kak, Kakak gak kenapa-napa?" tanyaku sambil mengelus punggung tangannya yang halus.

"Kok gitu sih nanyanya?"

"Kakak kok tiba-tiba jadi kayak gini?"

"Hihi… habis aku udah lama gak lihat kamu seganteng ini."

"Sadar umur, Kak. Kakak udah jadi Kepala HRD masih aja tingkahnya kayak anak 5 tahun."

"Ihhh, ya udah. Aku cuek aja deh," ujarnya dengan wajah yang cemberut.

Kak Kimi gak bermain dengan perkataannya. Sepanjang perjalanan ke rumah orang tuaku, Kak Kimi hanya diam seribu bahasa saja. Aku menyesali perkataanku tadi dan ingin menariknya saja. Maka, aku mulai memancing reaksi Kak Kimi dengan mengelus tangannya.

Ia hanya diam tanpa menggubris diriku. Aku tak kehabisan akal. Kuangkat tanganku menjauh dari tangannya. Ia hanya melirikku sekilas dan kemudian kembali menatap ke depan.

Dengan iseng, aku pun langsung menaruh tanganku di pahanya yang masih tertutupi oleh gaunnya. Kuangkat gaun itu sedikit ke atas sehingga menampakkan kulit pahanya yang putih mulus bagaikan benang sutra. Reaksinya adalah ia langsung menepis tanganku dengan mendengus kesal. Namun tetap, ia masih belum mengeluarkan sepatah kata apapun.

Aku belum menyerah. Kuulangi perbuatanku lagi. Kali ini aku langsung meraba-raba selangkangannya dan menyingkap gaunnya hingga tampak celana dalamnya yang juga berwarna putih senada dengan warna gaunnya. Kulihat wajahnya langsung memerah begitu aku mulai meraba-raba permukaan celana dalamnya tersebut.

"Ihhhh, Sayang! Stop ah!" serunya sambil memukul-mukul tanganku.

Aku langsung mengangkat tanganku dari daerah sucinya itu. Ia kembali menurunkan gaunnya tersebut. Sementara, aku hanya tersenyum saja melihat wajah kesalnya tersebut. Lalu saat mobilku berhenti di lampu merah, aku langsung mencium pipinya yang sudah terlapisi bedaknya yang wangi.

"Maafin aku ya, Kak. Aku gak berniat buat mesumin Kakak kok."

Kak Kimi hanya diam saja. Kulihat lampu merah masih menunjukkan angka 90 detik. Aku langsung mengelus pipinya dengan perlahan dan mencium bibirnya sekilas. Kugenggam erat tangannya dan wajah kesal Kak Kimi perlahan mulai luruh tergantikan oleh senyum kecilnya.

"Kakak malu-malu ya senyumnya," godaku sambil mencolek pipinya.

"Sayang, udah ah," kata Kak Kimi sambil membuang wajahnya yang tersipu malu.

"Kakak cantik deh kalau udah kayak gini. Aku jadi suka ngeliatnya."

"Sayang, aku baper nih gara-gara kamu."

Ia langsung melepas sabuk pengamannya dan memeluk diriku. Kulihat lampu lalu lintas sudah berganti menjadi warna hijau dan segera kujalankan mobilku. Semenit kemudian, barulah Kak Kimi melepaskan pelukannya dan kembali memakai sabuk pengamannya itu. Lalu ia mengecup pipiku ini dan tersenyum lebar kepadaku.

"Sayang, habis acara, nge-date yuk.
 
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Ichbineinbuch ..
Bakar hidup2 aja Samuel,
Jd ada yg kurang dari Kak Kimmy gara2 Samuel Asu..
Masih kepikiran jg klo sampe Kak Kimmy hamil, bisa pisah dunk sama Ricky..
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
Apa yang akan dilakukan Ricky pada Samuel?
Semoga terjawab di update selanjutnya :D
 
Imajinasi agan mantap nih, padahal ane gak kepikiran sampai situ loh :mantap:

Hahaha bisa aja gan :D

Ya maaf kalau kurang greget. Hmm nunggu adegan baku hantam nih

Waduh banyak psikopat di sini

Rakus amat jadi cowok, mentang" pada cantik n bohay semua

Penggemar milf gan? Waduh, jahat banget sama si Samuel

Pada dendam kesumat kayaknya sama si Samuel
Iya suhu, ane suka milf wkwk
Ada link mungkin? 😁
 
padahal kak kimi ga usah beli baju ;)

......

Ric, kasihan hanna :(
kasihlah secelup-dua celup :pandajahat:
Mau lihat kak kimi gak pakai baju ya? :hore:
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Ichbineinbuch ..
Bakar hidup2 aja Samuel,
Jd ada yg kurang dari Kak Kimmy gara2 Samuel Asu..
Masih kepikiran jg klo sampe Kak Kimmy hamil, bisa pisah dunk sama Ricky..
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
Apanya yang kurang dari kak kimi emang? Kurang montok?
Ditunggu apdetnya suhu
Yoi gan
Hanna kasih ene ena laahh
Lihat deh nanti
Apa yang akan dilakukan Ricky pada Samuel?
Semoga terjawab di update selanjutnya :D
Lihat aja gan hehe...
Mantul pisan updatenya om @Ichbineinbuch, terima kasih.
Yoi, sama-sama gan
Iya suhu, ane suka milf wkwk
Ada link mungkin? 😁
Waduh, ane gak suka milf hehe....
Hadeeeeeh... kentang bener... lanjutkan karyamu suhu...
Kentang itu enak loh gan
 
PART 17 (S2)
POV Ricky

Acara peringatan ulang tahun kakekku telah selesai. Keluarga besarku rata-rata sudah kembali ke hotel penginapan mereka masing-masing. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya Ayah memanggilku untuk berbicara empat mata. Namun sebelum itu, aku terlebih dahulu meyakinkan Kak Kimi untuk tinggal di dalam kamarnya. Aku sangat sadar jika Kak Kimi masih merasa trauma atas pemerkosaannya oleh Samuel. Ia sampai tak ingin ditinggal oleh diriku barang sejenak pun. Maka kami membuat kesepakatan bahwa Kak Kimi akan mengunci dirinya di dalam kamar dan aku berpesan untuk segera meneleponku bila ada sesuatu.

Setelah aku mencapai kesepakatan dengan Kak Kimi, aku menuju ke kamar Ayah. Di sana, ia sudah duduk di kursinya menunggu diriku. Aku duduk di ranjang sembari menunggu apa yang akan keluar dari mulutnya. Lalu ia segera memandang diriku dan berdiri.

"Ayah sudah menemukan pengganti yang tepat buat posisimu di kantor," ujar Ayah tanpa basa-basi.

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

"Maaf, kamu harus Ayah berhentikan sampai di sini. Mulai besok, kamu tak lagi bekerja di tempat Ayah."

Aku cukup terkejut dengan keputusan Ayah. Kenapa tiba-tiba ia menghentikanku begitu saja? Apa aku membuat sebuah kesalahan di kantor? Apakah ada hubungannya dengan kasus Mella kemarin?

"Tenang saja, Ricky. Ayah memberhentikanmu secara baik-baik. Alasannya bukan karena kau melakukan sebuah kesalahan, tapi Ayah memang tidak membutuhkanmu lagi."

"Yah, aku rela pulang dari Amerika dan kehilangan pekerjaanku di sana cuma buat jadi kepala gudang sementara aja?"

"Maafkan Ayah. Tapi keputusan itu harus dibuat demi kebaikan bersama."

"Kebaikan apa, hah? Ayah cuma mencelakakan aku, Ayah merusak karierku!" sergahku dengan berapi-api.

"Tenanglah, Ricky. Ayah akan memberi kompensasi padamu. Kompensasi itu sangat cukup untuk kamu membangun bisnis baru atau sekadar kembali ke Amerika untuk mabuk-mabukan."

Aku masih belum bisa menurunkan tensi kemarahanku. Aku sangat kecewa dengan keputusan Ayahku yang semena-mena dan sepihak. Belum lama aku menikmati waktuku di negeri ini, aku harus kembali 'terusir' ke tanah Amerika. Kurasa diriku ini memang selalu dipermainkan oleh orang tuaku.

"Baiklah. Ayah anggap kamu menerima persetujuannya. Ayah akan kirim 1 miliar ke rekeningmu. Terserah kamu mau tetap tinggal di sini atau kembali ke Amerika."

"Aku tahu Ayah ngelakuin ini semua karena Ayah ingin menjauhkan aku dengan Kak Kimi, benar kan?" tanyaku dengan tatapan tajam yang mengarah langsung ke Ayahku.

"Harapan Ayah sih begitu. Mau bagaimanapun, kalian ini masih saudara kandung dan kalian sudah dewasa. Masak kalian masih belum keluar dari cinta terlarang ini?"

"Ini bukan seperti yang Ayah pikirkan dan aku tak ingin mengatakan lagi kenapa aku tak akan pernah pergi lagi dari Kak Kimi."

"Ayah tak mau memaksamu lagi. Yang Ayah lakukan hanya berusaha mengembalikanmu ke jalan yang benar."

Aku tak ingin berdebat lebih panjang dengan Ayahku lagi. Tak ada gunanya itu semua. Yang ada mulutku berbuih tanpa ada resolusi yang dapat dihasilkan. Aku segera beranjak dari kamar ini dan membuka pintu untuk keluar. Namun saat aku membuka daun pintunya, Ayahku kembali memanggil diriku.

"Ricky, semua fasilitasmu akan Ayah tarik kembali minggu depan. Gunakan uang kompensasimu sebijak mungkin untuk mencari transportasi baru dan juga tempat tinggal."

Aku langsung meninggalkan kamar ini dengan hati yang kesal. Saking kesalnya, aku langsung menuju ke mobilku dan bersiap untuk melaju pergi dari rumah ini. Namun saat aku memasuki mobilku, kulihat Hanna yang sedang duduk menyendiri di teras. Wajahnya tampak seperti sedang bersedih. Aku memantau dirinya itu selama 5 menit. Barulah saat ia mulai menangis dan menutupi wajahnya, aku turun dan menghampiri dirinya.

"Hey, Hanna," sapaku dengan lembut.

Ia sangat terkejut dengan kehadiranku yang sama sekali tidak disadarinya. Buru-buru, ia menghapus air matanya tersebut. Namun matanya yang sembab dan memerah serta hidungnya yang sedikit berair tak bisa membohongi diriku.

"Eh, Ricky. Ada apa?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

"Ah, gak apa. Aku ngeliat kamu nangis tadi. Jadinya aku mau ngecek keadaan kamu."

"Gue gak apa kok, Ricky. Makasih ya udah care." Ia berusaha memaksakan senyumnya padaku dan aku tahu itu adalah senyuman yang amat terpaksa sekali.

"Iya, sama-sama."

Suasana hening pun menyelimuti kami untuk sesaat. Alasannya adalah aku tak berani untuk bertanya mengenai masalahnya. Kami sama-sama berasal dari negara yang menjunjung tinggi privasi seseorang. Namun rasa penasaran terus menghinggapi diriku.

"Kamu lagi ada masalah ya?" tanyaku setelah memberanikan diri.

"Iya nih. Gue sedih banget, soalnya gue dapat kabar kalau teman baik gue meninggal gara-gara kecelakaan di Australia sana."

"Oh, aku turut berduka, Hanna. Aku harap dia bisa beristirahat dalam damai."

"Makasih, Ricky."

Ia mengelap air matanya dengan tangannya sendiri. Ingin kuberikan sapu tangan atau tisu namun kedua benda tersebut sedang tidak berada di dekatku. Aku hanya bisa memandangi dirinya yang sedang menghapus kesedihannya.

Hanna memandangiku setelah menghapus seluruh air matanya. Ia kembali tersenyum padaku dengan mata yang masih tampak sembab. Namun berbeda dengan yang tadi, senyum ini adalah senyum yang tulus. Aku bisa melihatnya itu dari garis wajahnya.

"When no one else cared about me, there is you whom relieved me. Thanks, Ricky."

Selesai ia mengucapkan hal itu, ia langsung memeluk diriku ini. Aku agak sedikit terkejut. Ia kembali menangis tersedu-sedu di bahuku. Maka secara naluriah, aku membalas pelukannya. Tak berapa lama setelah selesai berpelukan, ia menatap diriku. Lalu ia mengarahkan bibirnya kepadaku secara perlahan. Aku tahu apa yang akan ia lakukan. Maka aku langsung menghentikan laju gerak bibirnya tersebut.

"I can't do this, Hanna. I'm sorry."

Hanna tampak kecewa dengan perbuatanku. Wajahnya kembali menampakkan kesedihannya. Aku menjadi prihatin namun aku tak punya cara untuk menghiburnya lagi.

"Gak apa kok, Ricky. Gue ngerti."

Tetap saja aku merasa bersalah pada Hanna. Di satu sisi, aku berusaha agar tak mengkhianati Kak Kimi. Di sisi lain, aku sangat ingin mengembalikan suasana hati Hanna.

"Ricky, gue balik ke kamar gue dulu ya. Kalau ada butuh apa-apa, chat aja aku."

Seiring dengan kembalinya Hanna ke kamarnya, aku juga berjalan ke dalam rumah. Aku teringat akan Kak Kimi yang masih di dalam kamarnya. Di depan kamarnya tersebut, aku mengetuk pintunya berulang kali, tetapi tidak ada jawaban. Maka setelah 3 menit, aku beranjak pergi. Mungkin saja Kak Kimi tertidur di dalam kamarnya. Aku yakin, Kak Kimi tak akan berbuat hal-hal yang tak diinginkan di dalam kamarnya.

Kemudian, timbul inisiatifku untuk membelikan cemilan untuk Hanna. Setidaknya aku menunjukkan sedikit empatiku padanya. Lalu aku menghabiskan sekitar 10 menit untuk menuju ke minimarket terdekat dan membeli beberapa batang coklat, biskuit, dan juga minuman botol.

Kini aku sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Aku mengirimkan chat pada Hanna sesuai pesannya tadi. Tak berapa lama kemudian, ia pun membukakan pintunya padaku. Ia mempersilakanku untuk masuk dan aku menuruti perkataannya itu.

Aku menaruh kantong belanjaan berisi barang-barangnya di ranjang. Ia menutup pintunya tersebut dan lalu duduk pula di sampingku. Kuperhatikan tampilan Hanna saat ini. Ia hanya mengenakan sebuah tank top hitam dan celana pendek sepaha berwarna krem. Branya yang juga berwarna hitam sedikit menyembul keluar dari tank top-nya itu. Berbeda dengan saat di luar tadi yang masih mengenakan baju kaos longgar dan celana jeans. Ternyata selama ini, aku tak menyadari tubuh Hanna juga tak kalah indah dengan gadis lain yang kukenal karena selama ini aku hanya melihatnya dengan pakaian yang tertutup.

"Makasih banyak, Ricky. Gue senang punya sepupu yang perhatian kayak lu."

"Ya, sama-sama."

"Andai aja pacar gue dulu kayak gini," ujarnya dengan nada yang lemas dan wajah yang tertunduk.

Aku sudah bisa membaca arah percakapan ini. Pastinya Hanna akan curhat mengenai mantan kekasihnya. Aku memandangi dirinya, mengisyaratkan seolah aku bertanya "apa yang terjadi?"

"Ah, gue gak nyesel putus sama cowok brengsek kayak dia. Dia gak pernah ngasih perhatian ke gue. Sekalinya ngasih perhatian, ya cuma pura-pura doang biar ada keliatan service-nya," curhat Hanna dengan nada yang penuh amarah.

"Hanna, sabar ya. Aku yakin nanti ada cowok yang bakal lebih baik dari dia kok."

"Huh… dari beberapa cowok yang gue temuin, gak ada yang cocok sama gue. Ada yang baik sih, tapi ya sama aja kayak mantanku. Semua cuma pengen tubuhku, semua cuma mau menikmati keperawananku saja," ceritanya secara blak-blakan tanpa rasa sungkan.

"Jadi gimana, Hanna?" tanyaku dengan hati-hati.

"I'm still virgin until now. I just need a right man." Ia tersenyum padaku dan menatap diriku penuh makna.

"Kuharap kamu bisa menemukan pria itu nantinya, ketika kamu sudah menikah nanti."

"Gak perlu nunggu selama itu kok, Ricky. Gue udah nemuin orangnya sekarang." Senyumnya masih mengembang dan tatapannya masih mengarah ke diriku. Aku jadi punya perasaan yang tidak enak tentang ini semua.

"Bagus kalau gitu, Hanna."

"Orang itu adalah lu, Ricky. Lu tuh cowok yang paling sempurna dan cocok buat diri gue. Cuma lu yang gue bisa percaya buat mengambil keperawanan gue. Please, Ricky. Gue pengen lu yang mengambil mahkota suci gue. Gue gak pengen cowok brengsek lainnya yang mendapatkan kesucian gue," katanya yang sontak membuatku sangat terkejut.

"Hanna, aku gak bisa melakukan ini. Aku punya kekasih, aku punya komitmen ke dia. Kamu juga harus menyimpannya untuk lelaki yang benar-benar tepat," ujarku berusaha mencegahnya untuk melakukan hal yang tak diinginkan.

"Gue ngeliat lu adalah cowok yang paling tepat buat gue. Gue gak bakal nyesal kok ngasih keperawanan gue ke sepupu gue yang baik, perhatian, manis, dan ganteng kayak lu."

"Hanna, aku punya kekasih."

"Gak apa. Gak ada yang tahu kok. Hanya kita berdua yang akan menyimpan rahasia ini."

"Hanna… dengerin aku dulu."

Hanna tak lagi peduli dengan omonganku. Ia langsung saja berdiri di hadapanku. Dengan tatapan sensual yang menggoda, ia menaruh lengan kirinya di bahuku. Lalu tangan kanannya itu ia pakai untuk meremas kemaluanku dari luar celana.

"Ayolah, Ricky. Gue udah nungguin ini dari lama. Gue pengen lu jadi laki-laki yang pertama kali merasakan tubuh gue."

"Hanna, lebih baik ini untuk suamimu saja nanti," ujarku berusaha menyadarkannya.

"Gak deh. Buat lu aja. Belum tentu suami gue nanti sebaik lu."

Ia langsung berjinjit dan melumat bibirku. Aku tak punya pilihan lain selain membalas lumatan bibirnya. Rasanya cukup hangat dan nyaman bisa kembali merasakan bibir Hanna. Sementara mulut kami terus beradu, tangan Hanna meremas-remas kemaluanku dari luar celana.

Ia akhirnya melepaskan ciumannya setelah 5 menit. Ia menatapku dengan senyuman yang manis. Nafsu birahiku mulai bangkit. Kurasakan batang kemaluanku sudah berdiri tegap di dalam celana dan membuat sesak. Hanna yang menyadari hal itu terus meremasnya dengan lembut.

"Lu gak akan nyesal, Ricky. Gue bakal puasin lu."

Hanna berlutut di hadapanku. Lalu perlahan, ia membuka ikat pinggangku dan melorotkan celana panjangku. Tampaklah batang kemaluanku yang sudah terbangun di dalam sangkar terakhirnya. Hanna tanpa ragu langsung menggenggam batang kemaluanku yang sudah menggembung. Ia mengocok-ngocok penisku ini layaknya seorang pelayan seks yang sudah profesional.

"Gimana, enak gak, Ricky?" tanya Hanna dengan tatapan sensualnya.

"Enak juga, Hanna," jawabku jujur.

"Gue latihan loh dari film porno biar lu bisa puas sama service gue."

"Ugh! Nakal juga kamu, Hanna."

Aku memandangi wajah setengah bule Hanna yang cantik nan sensual. Daya birahiku jadi semakin meledak-ledak. Aku sudah sangat ingin menyetubuhi Hanna sekarang. Maka aku berinisiatif untuk melepaskannya tangannya dariku dan memeluk dirinya.

"You wake up the beast, Hanna," bisikku tepat di telinganya.

Ia hanya memandangiku dengan senyum. Aku terseringai. Kubopong tubuhnya itu ke ranjang miliknya. Kujatuhkan tubuhnya tersebut ke ranjang yang empuk. Saat ia terbaring, aku langsung menindih tubuhnya tersebut dan menciumi lehernya dengan buas.

"Ahh! Ahh! Ricky, geli!" erangnya sembari menahan nikmat.

Aku terus melanjutkan aksiku. Ciumanku yang bermula dari tengkuknya kini bergerak agak sedikit ke bawah. Kucium bagian antara dada dan lehernya tersebut. Saking kuatnya cumbuanku, tanpa sadar aku menciptakan sebuah cupangan di daerah tersebut.

Aku memandangi kondisi Hanna yang kini sudah berantakan. Rambut coklatnya tersebut sudah tak beraturan letaknya. Ada yang menutupi wajahnya, ada yang menutupi telinganya, dan benar-benar kusut layaknya benang jahit.

Kuberikan ia sedikit waktu untuk merapikan rambutnya sembari kulucuti semua pakaianku. Kemudian, aku kembali menindih Hanna dan mulai menciumi buah dadanya tersebut. Kuturunkan leher tank top dan juga branya, sehingga tampak kedua payudara putih yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Ugh, Ricky! That's so fuckin great ahh!"

Cup! Cup! Aku menyusu di payudara putih khas kulit semi kaukasian tersebut. Sesekali aku menjilat dan menghisap puting Hanna yang cukup mungil namun menggemaskan. Lalu kuakhiri sesi menyusuiku dengan sebuah cupangan di tengah payudara putihnya tersebut.

"You like it, Hanna?" tanyaku sembari tersenyum padanya.

"Yes, Ricky. It's such a fuckin pleasure."

"Shit, you're so naughty, Hanna."

Aku mengangkat sedikit tank top-nya dari bawah. Tampaklah perutnya yang mulus nan rata hanya dengan sedikit lemak. Kuraba-raba perutnya tersebut hingga Hanna merasa geli. Lalu kuangkat tank top-nya semakin ke atas hingga mencapai lehernya. Kulepas tank top itu dengan bantuan Hanna yang mengangkat lengannya. Setelah kubuang tank top tersebut ke lantai, aku mencopoti bra Hanna dan turut membuangnya.

Aku sudah tak sabar untuk menuntaskan permainan Hanna ini. Tanpa basa-basi, aku langsung melepas hotpants milik Hanna. Tampak celana dalam hitam yang menutupi daerah vaginanya tersebut. Kuraba-raba dulu daerah gundukan vaginanya sebelum akhirnya aku juga mencopot cawat penutup terakhir tubuhnya tersebut.

Kini aku menatap vagina Hanna yang ditumbuhi oleh bulu hitam yang telah dicukur tipis. Agak anomali memang dengan rambut kepala berwarna coklat, bulu vaginanya malah berwarna hitam. Tapi itu bukan masalah bagiku sekarang.

Kulebarkan Kaki Hanna agar bisa muat dimasuki kepalaku. Aku menelusupkan kepalaku ke daerah selangkangannya dan menjilat paha dalamnya. Hanna mengerang geli dan kakinya tidak bisa diam karenanya. Sekarang aku mengarahkan jilatanku ke daerah vaginanya. Begitu lidahku masuk ke dalam liangnya yang sudah basah, Hanna langsung bereaksi dengan memekik karena geli.

"Ricky, gue geli, hihihi…."

Kuterus menjilat vaginanya tanpa peduli dengan erangan dan racauan Hanna. Aku terus memainkan lidahku di dalam. Sesekali, aku menyeruput cairan vaginanya yang harum tersebut. Begitu aku menemukan g-spot milik Hanna, lidahku langsung menyerbu ke sana dan menjilatinya dengan buas.

"Ahh, Ricky, ahh! Jangan situ, please ahhhh!"

Hanna terus mengerang nikmat dan tubuhnya menggelinjang saat aku menjilat dan menghisap biji klitorisnya tersebut. Kakinya bahkan tidak bisa diam. Ia meracau dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Ternyata Hanna kalau di ranjang berisik sekali, gak kayak Kak Kimi dan gadis lain yang lebih terkontrol mulutnya.

"Ricky, I'll splash out, ahhhhh!"

Crot! Crot! Crot!

Hanna akhirnya mengalami orgasme pertamanya karena jilatan lidahku. Cairan kenikmatannya itu kubiarkan meluap keluar dari liang vaginanya. Setelah kurasa ia sudah mengeluarkan semuanya, aku kembali menjilat vaginanya tersebut dan sedikit menjilat cairan kenikmatannya tersebut.

"This is juicy, Hanna."

"Ah, Ricky."

Aku mulai menyiagakan senjata utamaku. Kemudian kusejajarkan posisinya dengan lubang tujuanku. Layaknya tentara yang mengisi peluru ke dalam meriam, aku memasukkan lonjonganku ke dalam lubang vagina milik Hanna.

"Ahhh, Ricky! Sakit!"

Ekspresi Hanna langsung berubah begitu penisku menerjang ke dalam liang sucinya. Wajahnya mengernyit menahan sakit. Ia melenguh walau kudiamkan penisku di dalam sana. Aku mendekatkan wajahku padanya dan berkata semua akan baik-baik saja.

Setelah kulihat Hanna sudah bisa mengendalikan dirinya, aku mulai menggoyangkan penisku. Ia kembali melenguh. Di setiap genjotan penisku, selalu disambut oleh desahan Hanna. Aku sangat menikmatinya karena aku belum pernah bermain dengan gadis yang seperti Hanna.

Kulihat darah segar sudah mulai keluar dari liang vagina Hanna. Aku tersenyum dan terus melanjutkan genjotanku. Kutusuk-tusuk vagina Hanna secara perlahan. Ia menggigit bibir bawahnya, mungkin menahan perih atau kenikmatan. Matanya tertutup sempurna. Namun mulutnya terus meracau.

"Ahh, Ricky. Gila enak banget. Ahhhh!"

Aku melajukan tempo dari permainanku. Tubuh Hanna mulai sedikit bergetar. Pinggulnya bergoyang ke kiri dan kanan. Hanna memejamkan matanya sembari mendesah merdu. Vagina perawannya itu semakin kuat saja menjepit penisku di dalam sana.

Setelah 15 menit melakukan hal ini, tubuh Hanna mulai menggelinjang dan racauannya semakin kuat. Lalu kedua tungkainya itu menjepit pinggangku ini. Aku yakin Hanna sudah mau mencapai orgasme keduanya. Maka aku mempercepat genjotanku agar aku bisa keluar berbarengan dengan si Hanna.

"Ahhh, Ricky. Gue mau… keluarrr!"

"Aku juga, Hanna!"

CROT! CROT! CROT! CROT!

Hanna mengalami orgasme keduanya yang dahsyat. Begitupun dengan diriku yang mengalami orgasme pertama. Aku menumpahkan semua isi spermaku di dalam vaginanya, tak sempat kucabut. Lalu kukeluarkan perlahan penisku dari dalam liangnya. Aku berbaring di sampingnya sembari mengambil nafas perlahan.

"Ahh, gue gak pernah ngerasa seenak ini."

Aku tak menjawab perkataan Hanna. Aku lebih sibuk melamun sambil menatap langit-langit kamar. Seiring dengan menguapnya nafsu birahi dalam diriku, timbul rasa sesal dan khawatir. Aku merasa amat bersalah sudah mengkhianati Kak Kimi. Aku telah merusak kepercayaannya pada diriku. Semoga saja ia tidak tahu perbuatanku saat ini.

Aku juga teringat kalau aku menumpahkan spermaku di dalam vagina Hanna. Aku takut kalau sampai sepupuku ini hamil oleh diriku. Siapa yang bakal mengurus anak tersebut nantinya? Aku sangat tak menginginkan ****** dan kuharus menghindarinya sebisa mungkin.

"Ricky, gue makin sayang sama lu."

Hanna memeluk dari samping. Ia juga mencium pipiku. Tubuh telanjang kami berdempetan satu sama lain. Aku menatap wajah setengah bulenya yang cantik tersebut. Ia menatapku balik dan langsung mencium bibirku tanpa ada arahan lebih dulu.

"Ricky…," ucapnya lirih setelah melepaskan ciumannya.

"Apa, Hanna?"

"I love you so much. Do you love me too?" tanyanya yang langsung membuat jantungku seolah terserang oleh sebuah pukulan kuat.

"Ehmm…."

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Hanna. Aku hanya menggumam dan kemudian diam. Hanna menatapku penuh harap. Aku tak mengatakan apapun selain mengecup bibirnya tersebut.

"Maaf, Hanna. Aku gak bisa mengatakan hal itu."

"Ricky…."

"Maafkan aku, Hanna. Harusnya ini juga gak pernah terjadi."

"Gue sadar kok, lu gak mungkin bakal mau jadi cowok gue. Tapi gue harap, lu tuh punya perasaan yang sama kayak gue. Please, bilang kalau lu sebenarnya juga suka sama gue. Biar gue bisa pulang ke Aussie dengan tenang kali ini."

"Maaf, Hanna. Aku gak bisa jawab sekarang."

"Hmm ya udah deh. Yang penting gue udah ngomong apa adanya ke lu. Gue mencintai lu, walau lu sepupu gue, tapi cinta gue ke lu ngelebihin siapapun yang pernah dekat sama gue."

Ia langsung memelukku lagi. Air matanya mulai menetes kali ini. Aku bisa merasakan betapa tulusnya cinta Hanna padaku. Aku juga gak tega buat menelantarkan perasaan Hanna ini. Tapi maaf beribu maaf, Kak Kimi udah duluan menyimpan hatiku.

"Ya udah, Hanna. Aku balik dulu ya. Masih ada kerjaan nih aku," ujarku sembari melepaskan pelukannya dan beranjak dari ranjang.

"Ricky, walau lu gak jawab, gue tahu kok jawaban lu." Ia tersenyum padaku yang sedang mengenakan kembali pakaianku. Tubuh polosnya yang indah lalu berdiri dan memeluk diriku setelah aku selesai berpakaian. Saat aku akan keluar, ia menahan diriku. Lalu ia berjinjit dan mencium bibirku ini.

"Makasih ya, Ricky, buat semua yang telah lu berikan pada gue."

"Ya, sama-sama, Hanna."

Aku membuka pintu sembari menatap Hanna yang kini sudah kembali ke ranjangnya. Ia melambaikan tangannya padaku. Aku turut membalas lambaian tangannya sebelum akhirnya aku keluar sepenuhnya dari kamar ini.

Aku menutup kembali pintu kamar Hanna dengan baik. Namun aku sangat dikagetkan dengan seorang gadis yang berdiri sambil menatap tajam diriku. Wajahnya menyimpan amarah dan kekecewaan yang sangat besar. Air mata sudah memenuhi kantung matanya. Aku tak berkutik dan hanya membeku bagaikan patung semen.

"Ayo ikut aku!"
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd