Ichbineinbuch
Semprot Holic
- Daftar
- 21 Jun 2017
- Post
- 348
- Like diterima
- 3.889
PART 16 (S2)
POV RickyHufftt….
Mataku terus menatap ke arah jam yang tergantung di dinding kamarku. Tatapanku mengikuti jarum jam panjang yang selalu bergerak secara beraturan tiap detiknya. Aku menghela nafasku perlahan dan mataku hanya berfokus pada jam tersebut.
Rasa gelisah menggulati jiwaku. Hatiku menjadi sangat tidak tentram. Aku sangat ingin membalas dendam kepada Samuel sialan itu. Apapun caranya. Namun aku sadar jika aku melakukannya, maka aku bukan hanya membahayakan diriku, melainkan Kak Kimi juga. Tidak boleh masalah ini sampai diketahui oleh orang lain, apalagi sampai ke telinga orang tuaku.
Kini aku harus memutar otak untuk mendapatkan cara lain. Sialnya cara tersebut belum kudapat sampai sekarang. Aku tak tahu, apakah lebih baik bila aku menghabisi Samuel dengan tanganku sendiri atau menyewa seseorang untuk meminjamkan tangan kotornya untukku. Tapi kurasa cara itu bukan cara yang bijaksana. Aku tak boleh sampai melakukan tindakan gila ini. Aku harus tetap di sini karena aku akan sangat khawatir dengan Kak Kimi bila aku dikerangkeng dalam sel penjara.
Aku menatap wajah Kak Kimi yang sedang terlelap. Wajah seorang gadis polos yang seharusnya tidak menjadi korban keganasan nafsu birahi seorang lelaki. Rasa kasihan kembali menyelimuti batinku. Aku mendekap kembali Kak Kimi dan mengelus perlahan rambut hitamnya. Kemudiam, aku mengecup keningnya yang tak bercela itu.
"Untukmu, aku bakal melakukan segalanya, Kak," bisikku sambil menatap wajah polosnya tersebut.
Aku belum melepaskan dekapanku dari tubuh Kak Kimi. Kini aku mencium rambut Kak Kimi yang senantiasa harum. Kujadikan aroma itu sebagai stimulus penenang jiwaku. Aku tak bisa tidur tadinya, namun berkat aroma yang mendamaikan dari rambut Kak Kimi, kini perlahan aku mulai menutup mataku dan terlelap membawa aroma rambut Kak Kimi ke alam mimpiku.
.
.
.
.
.
.
Aku mulai membuka mataku. Kulihat bila Kak Kimi masih tertidur lelap di dalam dekapanku ini. CUP! Aku kembali mengecup kening Kak Kimi dan mengelus rambutnya perlahan. Kemudian aku bangkit dan melihat jam di ponselku. Sudah pukul 7.30 rupanya.
Setelah Kak Kimi bangun, aku mengajak dirinya untuk berolahraga ringan. Setelah selesai berolahraga selama 10 menit, aku langsung bergegas untuk mandi. Kemudian giliran Kak Kimi yang akan menggunakan kamar mandiku. Selepas itu, aku bersiap untuk mengantarkan Kak Kimi pulang ke rumah orang tuaku. Namun tak disangka, Kak Kimi menolak hal tersebut dengan keras.
"Gak, Sayang. Aku gak mau pulang!" sergah Kak Kimi saat aku berusaha membujuk dirinya.
"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menatap wajahnya.
"Aku takut, Sayang. Aku gak mau tinggal sendirian di rumah tanpa kamu." Matanya mulai berkaca-kaca dan air matanya sudah berada di ujung pelupuk matanya, menanti untuk jatuh.
"Kak, kan ada orang tua kita."
"Hiks… kemana mereka saat aku dibawa oleh Samuel?"
Aku tertegun mendengar pertanyaan Kak Kimi. Benar juga kata dia. Kemana orang tuaku yang seharusnya menjaga putri kesayangannya di pesta itu? Mereka terlalu sibuk sampai tidak tahu kalau anak perempuannya diperkosa oleh saudara sepupunya sendiri.
"Please, Sayang. Cuma kamu yang bisa lindungin aku sekarang. Huhu…." Kak Kimi menangis dengan keras. Ia langsung mendekap tubuhku sangat erat. Kini aku paham. Kak Kimi butuh bantuanku. Ia mengalami trauma akibat kejadian itu. Hanya akulah orang yang bisa menjaga dan membantunya untuk pulih dari trauma tersebut.
"Baiklah, Kak. Untuk sementara, Kakak nginap di sini aja ya," kataku setelah mempertimbangkan keputusan ini.
"Makasih, Sayang. Kamu memang cowok yang mengerti aku." Dengan rasa gembiranya, ia mengencangkan pelukannya kepada diriku. Aku turut tersenyum melihat kegembiraan Kak Kimi dan mengusap rambutnya.
"Ya dong. Kan aku adiknya Kakak juga."
Kak Kimi melepaskan pelukannya. Lalu ia tersenyum dengan manis kepadaku. Aku membalas senyumannya dan meraba-raba pipinya yang halus bagai salju tersebut. Kucubit perlahan dan kucium pipi tersebut karena gemas.
"Makin hari makin manis aja wajah Kakak," pujiku sambil terus menatap wajahnya.
"Duh… makasih, Sayang. Udah lama loh aku gak dipuji gini sama kamu."
"Jadi makin suka deh sama Kakak."
"Ihh… ternyata kamu bisa jadi bucin juga ya, Sayang."
"Kalau sama Kakak, bisa dong.",
"Dasar kamu ah. Gombal mulu pagi ini."
Tanpa ada aba-aba atau isyarat apapun, aku langsung menyosor ke bibirnya Kak Kimi. Ia juga membalas lumatan bibirku ini. Kedua tanganku memegang pinggulnya. Sementara tangan Kak Kimi memegang kepalaku.
"Udah ah, Kak. Nanti keterusan jadinya," ujarku sambil melepaskan bibirku dan juga tanganku dari pinggulnya.
"Itu mah kamunya yang suka mesum."
"Iya deh, Kak. Namanya juga cowok normal."
"Tapi semesum-mesumnya kamu, aku tetap sayang kok sama kamu. Karena itu, aku rela kok diapa-apain sama kamu, Sayang," katanya sambil menatap dalam ke mataku.
"Aku gak bakal sembarang ngapa-ngapain Kakak kok. Aku janji," ujarku sambil mengangkat jari kelingkingku.
"Bagus deh kalau gitu. Kamu memang cowok yang baik, Sayang."
Ia mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku. Kemudian kami pun kembali berciuman. Kulumat bibirnya yang menggoda tersebut. Tanganku kini berada di punggungnya. Aku mengelus punggungnya tersebut dengan perlahan mengikuti arus ciuman kami.
"Oh ya, baju Kakak cuma satu ya?" tanyaku selesai kami melepaskan bibir masing-masing.
"Iya nih. Belum cuci lagi."
"Kakak gak usah pakai baju aja gimana?" candaku sambil tertawa kecil.
"Ihhhh! Sayangku mesum ah!" protesnya sambil menampar lenganku berkali-kali.
"Bercanda doang kok, Kak. Yuk kita shopping baju buat Kakak."
"Asyik! Kalau kayak gini kan aku makin cinta sama kamu," ujar Kak Kimi sambil memeluk lenganku.
"Mau dibeliin barang dulu baru gini."
"Hihi…."
Aku segera turun ke bawah dan keluar dari lobi apartemenku. Tak perlu lagi aku capek-capek untuk mengambil mobilku. Cukup menyeberangi jalan saja, maka koleksi mall yang lengkap sudah tersedia di depan mata kita.
Kami masuk ke dalam mall tersebut. Kak Kimi mengikutiku dengan berjalan di belakangku. Maka kami langsung menuju ke salah satu toko pakaian ternama yang ada di mall ini. Dengan riang gembira, Kak Kimi langsung berlari menuju ke deretan pakaian mentereng yang sudah terpajang menunggu untuk dibeli.
"Sayang, yang ini cantik gak?" tanya Kak Kimi sambil menempelkan sebuah gaun jingga selutut ke tubuhnya.
"Kalau suka, ambil aja, Kak."
"Ihh, Sayang. Kan aku pakai ini buat kamu juga."
"Aku lebih suka kalau Kakak pakai bikini aja. Sekian," jawabku cuek tanpa berpikir dua kali.
"Sayang!" Kak Kimi langsung menghampiriku dan mencubit pipiku dengan kuat. Aku langsung mengaduh kesakitan. Ia baru melepaskan cubitannya itu setelah setengah menit yang menyakitkan kulitku.
"Iya-iya. Cantik kok. Ambil aja."
"Beneran gak nih?" tanya Kak Kimi dengan menatap tajam mataku.
"Iya. Percaya aja sama nurani Kakak. Pilihan Kakak adalah pilihanku juga."
"Ya udah deh. Awas kalau kamu komentar soal bajuku ya," ancam Kak Kimi sambil menunjuk wajahku.
"Iya, tenang aja."
Kak Kimi pun kembali mengubek-ubek koleksi baju yang ada. Aku sendiri hanya mengeluarkan ponselku dan mulai mengecek media sosialku yang jarang kubuka. Terlihat ada sebuah DM dari Claire, yang mengatakan jika ia berterima kasih sudah menemaninya selama ini. Ia juga mengatakan jika ia sudah bahagia dengan kekasih barunya dan berharap tak akan melihat wajahku lagi selamanya. Aku hanya tersenyum melihat pesannya itu dan menghapusnya tanpa membalas sepatah tulisan pun.
Aku berjalan menemui Kak Kimi yang sedang memilih baju. Aku mengatakan jika aku ingin mencari udara segar sebentar dan akan kembali dalam waktu yang tidak lama. Setelah melalui perdebatan yang sedikit alot dan panjang, dengan berat hati akhirnya Kak Kimi mengizinkanku untuk pergi sejenak asal tak terlalu lama dan tak terlalu jauh. Aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti.
Aku mulai berjalan meninggalkan toko baju ini. Menuruni eskalator, aku berencana untuk mampir ke kedai kopi yang terletak tidak jauh dari eskalator. Setibanya aku di sana, kupesan segelas kopi moccacino hangat. Kubuka ponselku kembali untuk bermain game ringan sejenak. Namun belum sempat kumainkan ponselku, tiba-tiba seorang gadis datang menghampiriku.
"Hai, Ricky," sapa Hanna yang sedang berdiri di hadapanku.
"Kok bisa kebetulan sih, Hanna?" tanyaku sembari melongok ke kanan dan kiri mencari seseorang yang mungkin bersama Hanna.
"Mana tahu. Barangkali kita jodoh kali hihihi…."
"Haha… bisa aja."
"Boleh duduk juga gak nih?" tanya Hanna dengan lembut.
"Silakan."
Ia menarik kursinya dan duduk di hadapanku. Mata kami bertatapan satu sama lain. Ia tersenyum padaku namun aku tak ingin membalas senyumannya tersebut.
"Kok lu jadi rada jutek sih?" tanya Hanna padaku.
"Perasaan kamu aja kali," jawabku cuek.
"Lu lagi jalan sama cewek lu ya?" tanyanya lagi sambil menatap wajahku.
"Ya, begitulah."
Wajahnya tampak begitu kecewa begitu mendengar ucapanku. Ia menundukkan wajahnya. Walau tak begitu jelas, tapi aku bisa melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air matanya itu. Aku mengambilkannya selembar tisu, namun ditolak dengan halus olehnya.
"Gue gak nangis kok. Gue gak apa. Makasih ya buat perhatian lu."
"Jangan maksain dirimu, Hanna," ujarku sambil terus menyodorkam tisu padanya.
"Gue gak apa kok. Dari awal gue emang udah tahu kita gak bakal bisa bersatu, tapi entah kenapa setiap ngeliat lu, gue selalu sedih dan sakit hati." Ia berusaha memaksakan senyumnya. Aku tahu bahwa Hanna sedang sakit hati kali ini, namun aku tak tahu harus berbuat apa.
"Sudahlah, Hanna. Itu hal yang wajar kok."
"Andai aja ada cowok lain yang sama persis kayak lu," katanya sembari tersenyum padaku.
"Berdoa aja semoga ada dan kalian dipertemukan."
"Amin. Itu harapan terbesar dalam hidup gue."
Aku menyesap kopi hangatku dari cangkir plastik daur ulang. Selesai menyesap habis kopiku, aku berpamitan kepada Hanna dengan alasan ingin pergi ke sebuah toko untuk membeli barang. Namun Hanna tidak sepolos itu. Ia langsung mengerti dengan apa yang bakal aku lakukan dan mempersilakanku.
Aku menaiki eskalator dan kembali menuju ke toko yang dikunjungi oleh Kak Kimi. Ternyata sesampainya aku di sana, ia sedang melihat-lihat pakaian yang ada. Aku berjalan mendekatinya diam-diam dan saat aku sudah berada persis di belakangnya, aku langsung mencubit kedua pipinya yang cukup berisi.
"Ihh, Sayang. Kagetin ah," keluh Kak Kimi sambil memanyunkan bibirnya.
"Hehe… sorry lah. Anyway, udah selesai milih bajunya?"
"Udah, tinggal ngambil di kasir aja nih."
"Ya udah, yuk."
Kami segera menuju ke kasir untuk membayar dan mengambil belanjaan Kak Kimi. Ternyata ia membeli cukup banyak pakaian juga, sampai terisi dua buah kantong besar. Dalam perjalanan pulang kami, tak henti-hentinya Kak Kimi tersenyum riang sambil memandangi pakaian barunya. Aku hanya menundukkan wajahku sembari ikut tersenyum melihat kebahagiaan kakak kandungku ini.
Setibanya di kamar apartemenku, Kak Kimi mulai membongkar kantong belanjaannya. Kulihat ia membeli berbagai jenis pakaian, mulai dari gaun rumahan, baju kaos, celana panjang kain, celana jeans, celana training, dan set piyama. Kemudian ia membongkar kantong belanjaan keduanya. Ternyata kantong tersebut berisikan tank top, celana pendek sepaha, dan juga pakaian dalam.
"Sayang, nanti titip semua ini di lemari kamu ya," pintanya dengan manja padaku.
"Iya, pakai aja, Kak. Masih banyak tempat kok."
"Makasih, Sayang. Sekarang aku mau laundry dulu nih baju-baju ini."
"Bawa aja ke lantai bawah. Di situ ada layanan laundry gratis tuh."
"Ok deh. Aku bawa dulu ya."
Kak Kimi membawa semua pakaian barunya ke lantai bawah. Sementara aku membuka laptopku untuk mengecek bila ada pekerjaan yang datang. Rupanya tidak ada, jadi aku bisa menikmati hari libur ini dengan tenang. Aku langsung merebahkan diriku di ranjang. Tanpa disadari, aku langsung terlelap begitu saja saat aku menatap langit-langit kamar apartemenku ini.
.
.
.
.
.
.
"Sayang, bangun ah. Kita mau berangkat nih ke acaranya Kakek."
Aku mengucek mataku begitu mendengar terbangun oleh panggilan Kak Kimi. Saat mataku sudah mulai terbuka sempurna, aku melihat Kak Kimi sudah mengenakan gaun putih di bawah lutut yang sangat cantik sekali.
"Tunggu, aku belum meninggal kan?" tanyaku ngawur.
"Emang kenapa?"
"Habis Kakak pakai gaun ini, kukira bidadari surga loh."
"Ihh, gombal ah," protesnya padaku namun dengan wajah yang tersipu malu dan menahan senyum.
"Ya udah. Aku mandi dulu. Tunggu ya."
"Jangan lama-lama ya. Nanti telat loh."
"Tenang aja, Kakak Bidadari."
"Ihhh…."
Selesai mandi, aku mengenakan pakaian pestaku. Sebuah jas semi formal berwarna abu-abu dan celana kain panjang berwarna hitam. Kupadukan dengan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam pula. Rambutku ditata rapi dengan bantuan pomade. Aku melihat sekilas penampilanku di cermin dan merasa segalanya sudah baik. Sebagai sentuhan terakhir, kusemprotkan parfum Amerika milikku.
"Huaaa… ganteng banget ihhh!"
Kak Kimi yang melihatku dari belakang langsung berlari ke arahku dan memeluk diriku. Ia juga menghirup aroma parfum milikku ini. Aku terheran, apakah Kak Kimi salah makan sampai jadi kayak gini?
"Ihhh, wangi banget sih kamu! Makin suka deh sama Sayangku."
"Kak, Kakak gak kenapa-napa?" tanyaku sambil mengelus punggung tangannya yang halus.
"Kok gitu sih nanyanya?"
"Kakak kok tiba-tiba jadi kayak gini?"
"Hihi… habis aku udah lama gak lihat kamu seganteng ini."
"Sadar umur, Kak. Kakak udah jadi Kepala HRD masih aja tingkahnya kayak anak 5 tahun."
"Ihhh, ya udah. Aku cuek aja deh," ujarnya dengan wajah yang cemberut.
Kak Kimi gak bermain dengan perkataannya. Sepanjang perjalanan ke rumah orang tuaku, Kak Kimi hanya diam seribu bahasa saja. Aku menyesali perkataanku tadi dan ingin menariknya saja. Maka, aku mulai memancing reaksi Kak Kimi dengan mengelus tangannya.
Ia hanya diam tanpa menggubris diriku. Aku tak kehabisan akal. Kuangkat tanganku menjauh dari tangannya. Ia hanya melirikku sekilas dan kemudian kembali menatap ke depan.
Dengan iseng, aku pun langsung menaruh tanganku di pahanya yang masih tertutupi oleh gaunnya. Kuangkat gaun itu sedikit ke atas sehingga menampakkan kulit pahanya yang putih mulus bagaikan benang sutra. Reaksinya adalah ia langsung menepis tanganku dengan mendengus kesal. Namun tetap, ia masih belum mengeluarkan sepatah kata apapun.
Aku belum menyerah. Kuulangi perbuatanku lagi. Kali ini aku langsung meraba-raba selangkangannya dan menyingkap gaunnya hingga tampak celana dalamnya yang juga berwarna putih senada dengan warna gaunnya. Kulihat wajahnya langsung memerah begitu aku mulai meraba-raba permukaan celana dalamnya tersebut.
"Ihhhh, Sayang! Stop ah!" serunya sambil memukul-mukul tanganku.
Aku langsung mengangkat tanganku dari daerah sucinya itu. Ia kembali menurunkan gaunnya tersebut. Sementara, aku hanya tersenyum saja melihat wajah kesalnya tersebut. Lalu saat mobilku berhenti di lampu merah, aku langsung mencium pipinya yang sudah terlapisi bedaknya yang wangi.
"Maafin aku ya, Kak. Aku gak berniat buat mesumin Kakak kok."
Kak Kimi hanya diam saja. Kulihat lampu merah masih menunjukkan angka 90 detik. Aku langsung mengelus pipinya dengan perlahan dan mencium bibirnya sekilas. Kugenggam erat tangannya dan wajah kesal Kak Kimi perlahan mulai luruh tergantikan oleh senyum kecilnya.
"Kakak malu-malu ya senyumnya," godaku sambil mencolek pipinya.
"Sayang, udah ah," kata Kak Kimi sambil membuang wajahnya yang tersipu malu.
"Kakak cantik deh kalau udah kayak gini. Aku jadi suka ngeliatnya."
"Sayang, aku baper nih gara-gara kamu."
Ia langsung melepas sabuk pengamannya dan memeluk diriku. Kulihat lampu lalu lintas sudah berganti menjadi warna hijau dan segera kujalankan mobilku. Semenit kemudian, barulah Kak Kimi melepaskan pelukannya dan kembali memakai sabuk pengamannya itu. Lalu ia mengecup pipiku ini dan tersenyum lebar kepadaku.
"Sayang, habis acara, nge-date yuk.