Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bab VI:
Parade Malam Pekat










Saat menikahi Ratih, Abisma sadar betul kalau Ratih bukan perawan. Kehidupan glamornya sebelum mengenal Abisma mungkin jadi penyebabnya. Tapi Abisma yang berpikiran terbuka, menganggap bahwa keperawanan perempuan tidak lantas jadi satu-satunya tolak ukur kualitas personal perempuan tersebut. Ratih punya segudang kualitas lain, yang tak bisa dibandingkan hanya dengan selaput dara.

Sedikit yang Abisma tahu, Ratih lebih liar dari apa yang bisa dia bayangkan. Perempuan itu punya gairah yang tinggi, dan gairahnya tidak mudah dipuaskan. Dari awal Ratih mengenal seks, dia tahu, seks adalah tujuan hidupnya, pelariannya juga penyelamatnya.

Pertama kali Ratih tahu apa itu masturbasi, dia melakukannya saat kelas 3 SMA. Metode yang dilakukan pun belum ekstrim. Dia hanya menggunakan jari dan guling untuk menstimulasi klitorisnya. Sekali sesi, Ratih bisa melakukannya berkali-kali, dan baru puas setelah orgasme yang ke belasan kali. Dia bisa mengurung diri berjam-jam di kamarnya, masturbasi lalu orgasme, dan melanjutkannya lagi tanpa jeda.

Kemudian kehidupan seksnya jadi lebih bervariasi saat dia kuliah. Waktu itu, Ratih punya pacar. Salah satu mahasiswa terpintar, sama sepertinya. Tapi Ratih merelakan keperawanannya justru dengan senior kampus yang satu organisasi. Selain karena terjebak dalam rayuan sang senior, Ratih juga tak bisa menahan libidonya yang tinggi.

Ratih sadar betul kalau dirinya menarik. Dia adalah perpaduan dari kemolekan tubuh dan wajah ayu ibunya, juga stamina dan gairah tinggi ayahnya. Kelebihan ini dia manfaatkan untuk memuaskan birahinya yang hampir selalu menggebu-gebu setiap saat. Sekali dia mencicipi nikmatnya berhubungan intim, Ratih jadi semakin ketagihan. Maka, dia mengajak siapa pun yang dilihatnya menarik, untuk berhubungan intim. Siapa yang bisa menolak perempuan seseksi dan seagresif Ratih?

Baginya, seks adalah perayaan akan hasrat, yang termurni dan tertinggi, yang bisa diupayakan manusia.

Lulus kuliah, Ratih makin menjadi-jadi. Kontrol atas birahinya makin lemah. Dia melakukan hubungan intim tanpa pilih-pilih lagi. Dengan pengacara senior di firma hukum magangnya, office boy kantornya, klien-klien yang menyewa jasanya, dan banyak lagi. Ratih melebarkan sayap birahinya ke kelab-kelab malam, dimana dia bisa mendapatkan one night stand dengan lebih banyak varian pria.

Sama seperti para laki-laki busuk yang memandang perempuan sebagai objek, Ratih melakukan hal yang sama. Baginya, bagian paling penting dari laki-laki adalah penisnya. Objektifikasi gender adalah mainan favorit Ratih, dan dia bahagia karena dibandingkan perempuan, laki-laki justru malah bahagia kalau dijadikan objek pemuas seks.

Laki-laki memang serendah itu, pikir Ratih.

Standar kepuasannya pun semakin tinggi. Ratih tak lagi puas hanya dengan satu laki-laki. Sekali one night stand, Ratih bisa melakukannya dengan dua atau tiga laki-laki, secara bersamaan. Ratih bahkan pernah mengajak sepuluh laki-laki untuk menggarap dirinya pada suatu waktu. Tentu saja, tidak ada bagian tubuh Ratih yang luput dari eksploitasi.

Ratih bukannya tak sadar akan resiko penyakit kelamin yang mengintai kehidupan seks liarnya. Justru karena takut, Ratih rutin ke dokter kelamin. Untungnya, sejauh ini baik-baik saja. Tapi Ratih mulai memikirkan akan penggunaan kondom untuk jaga-jaga.

Titik perubahan hidup Ratih dimulai saat mengenal Abisma. Awalnya memang hanya hubungan antara pengacara dan klien biasa. Lalu beralih ke ranjang goyang. Ratih menyadari sesuatu saat berhubungan badan dengan Abisma. Ada perasaan lain, dan Ratih cepat menyadari bahwa itu adalah cinta.

Maka, Ratih membulatkan tekad. Dia akan jadi istri yang santun dan setia bagi Abisma. Tekadnya pun bertahan lama, setidaknya sampai Kalia berumur tiga tahun. Kelakuan liar yang selama ini dipendamnya, mulai kumat. Abisma semakin lama makin membosankan. Ratih ingin kembali mencicipi penis-penis lainnya.

Tapi Ratih tak tahu, bahwa itu adalah awal mula dari rangkaian tragedi yang kelak akan menghancurkan hidupnya.



———


Pondok Indah – Jakarta Selatan, 2021

Abisma turun perlahan dari motor, lalu berdiri membungkuk sambil memegangi perut. Pengemudi ojek online yang mengantarkannya khawatir pada Abisma, lalu menawarkan untuk mengantarkannya ke rumah sakit terdekat, yang ditolak halus oleh Abisma. Pengemudi tersebut berusaha menawarkan lagi, dan kembali Abisma tolak. Rumah sakit bisa menyusul, yang terpenting adalah keselamatan Kalia, pikir Abisma.

Dengan wajah pucat, bibir membiru, kemeja yang basah karena keringat dingin, dan perut yang kesakitan hebat, Abisma mendorong gerbang rumahnya. Seorang satpam berseragam safari menyambut Abisma dengan sikap dingin. Meski satpam tersebut melihat Abisma dalam kondisi kesakitan, tapi dia tak bergeming. Abisma baru saja berpikir akan memecat satpam itu setelah semua masalah ini selesai, tapi niat itu diurungkan setelah dia melihat ke dalam pos jaga di samping gerbang. Tubuh satpam itu terduduk di kursi, dengan kepala mendongak dan luka sayatan yang menganga pada lehernya.

Abisma mundur sejenak, karena tahu, satpam yang berdiri di hadapannya ini adalah hantu. Energi negatif yang berkumpul di rumah Abisma, membuat hantu punya cukup kekuatan untuk menampakkan diri dan dilihat oleh manusia. Tapi kekhawatirannya pada Kalia menguatkan Abisma. Dia melanjutkan langkahnya menuju teras.

“Mbak Kalia ada di dalam, Pak. Tapi cepat keluar sebelum Ibu balik lagi.”

Abisma menengok ke asal suara di belakangnya. Satpam itu sedang menatapnya dengan wajah sedih.

“Ibu yang ngelakuin semua ini,” ucap satpam itu.

Abisma mengernyit. “Maksudnya?”

“Saya, dan pembantu-pembantu di dalem rumah, semua dibunuh Ibu Ratih. Arwah Bu Ratih jadi kuat dan sampe bisa bunuh kami semua. Tapi saya bisa ngerasain, kalo Mbak Kalia masih hidup. Ada 'sesuatu' yang jagain Mbak Kalia. Makanya Bu Ratih pergi ke luar rumah, entah buat apa. Tapi... saya punya firasat, kalo Ibu balik lagi, nyawa Bapak dan Mbak Kalia kali ini ga bisa selamat.”

Abisma pun bersandar pada salah satu pilar teras rumahnya. Nafasnya tersengal. Rasa nyeri hebat pada perutnya semakin tak tertahankan. Dia pun mengambil ponsel, lalu menelpon Kalia. Tidak diangkat. Dengan bersusah payah, Abisma melangkah lagi, menuju rumah.

“Kayaknya saya emang mesti masuk, Yono.” Abisma menghentikan langkahnya, sejenak. Dia bertanya pada Yono, satpam rumahnya, “anak-anak sama istri kamu ada di kampung, kan?”

Yono mengangguk pelan.

“Biaya hari-hari dan sekolah mereka, biar saya yang tanggung. Kamu bisa istirahat tenang sekarang. Gaji kamu, nanti saya kirim ke istri kamu, ya.”

Yono tersenyum kecil. Ada kelegaan yang tampak dari raut wajahnya. Kemudian, Yono pun menghilang, bagai asap yang ditiup angin. Membaur bersama udara.

Abisma menghela nafas. Istrinya itu memang selalu bikin susah, bahkan setelah mati.



———


Ratih berjalan menyusuri pinggir jalan utama komplek perumahannya. Dirinya amat menikmati sensasi kerikil-kerikil yang menekan telapak kakinya saat berjalan dengan kaki telanjang. Sudah cukup lama dirinya jadi arwah penasaran, sehingga membuatnya lupa bagaimana rasanya berjalan.

Ratih menggunakan energi negatif dalam jumlah besar untuk membuat wujud fisik manusia, melalui ritual sihir khusus yang diajarkan oleh iblis yang melakukan kontrak dengannya. Dirinya harus membunuh lima orang, lalu merasuki mayat salah satu korbannya. Jika ritualnya berhasil, mayat itu akan diisi oleh jiwa Ratih, dan bentuk fisiknya akan berubah sesuai dengan bentuk terbaik Ratih saat masih hidup. Maka, kini Ratih bisa leluasa berkeliaran karena dirinya sudah mempunyai medium yang membuatnya bisa lepas dari belenggu rumah yang menjebaknya.

Berbekal nyawa satpam dan keempat pembantunya, Ratih melengkapi ritual sihir itu. Berkat energi negatif yang berkumpul di rumahnya karena ritual yang dilakukan Kalia, Ratih jadi punya kekuatan untuk menggerakkan benda-benda tajam yang dipakai untuk membunuh korban-korbannya. Tapi energi yang diperlukan amat besar, dan Ratih butuh lebih banyak energi negatif untuk menyingkirkan penjaga gaib yang berdiam di kamar Kalia. Cara tercepat adalah dengan mengumpulkan energi dari konversi jiwa manusia. Maka, Ratih pun berkeliaran mencari mangsa.

Tubuh telanjangnya pun duduk meringkuk di pinggir jalan. Mencoba menarik perhatian pengendara yang lewat. Saat seorang pemotor menepi dan menghampiri Ratih, Ratih bersandiwara. Dia berpura-pura jadi korban perkosaan dan perampasan. Berharap pemotor di depannya ini kasihan dan menolongnya.

“Kok bisa sih, Mbak? Mbak diperkosanya di mana?” tanya pemotor tersebut, sambil menyerahkan jaket yang tadinya dia pakai, ke Ratih. “Pake itu dulu, Mbak. Buat nutupin.”

“Iya, Mas. Makasih, ya.”

Ratih ingin segera menghabisi pemotor itu, lalu tiba-tiba sebuah ide terlintas di benaknya. Bagaimana jika, sebelum menghabisi orang itu, Ratih mendulang energi-energi negatif lainnya terlebih dulu dari orang tersebut? Ada banyak energi yang bisa dikonversi dari emosi negatif manusia, dan Ratih ingin memeras kesempatan itu sebaik-baiknya. Maka, Ratih pun memikirkan sebuah rencana.

“Mas, a-apa bisa saya... minta tolong?” tanya Ratih, enggan. Tentu saja, pura-pura.

“Minta tolong apa, Mbak? Pasti saya tolongin. Kasian Mbak ini, soalnya.”

Ratih tahu, itu cuma basa-basi. Ratih beberapa kali memergoki mata pemotor itu yang selalu curi-curi pandang ke paha dan selangkangannya, yang tidak tertutup sempurna oleh jaket.

“A-anterin saya, ke tempat tadi saya... di...,” Ratih menggantungkan kalimatnya, “pokoknya, anting saya jatuh di situ, Mas. Saya mau cari. Itu anting... penting banget buat saya.”

Dengan mudah, pemotor itu percaya. Maka, mereka berdua pun naik motor menyusuri jalanan komplek. Agar pemotor itu percaya bahwa Ratih adalah korban perkosaan dan sedang mengalami trauma, Ratih pun menjaga jarak duduknya. Dia menempatkan pantatnya hingga ke ujung jok motor.

Mereka pun sampai di lokasi yang diarahkan Ratih. Sebuah taman kecil yang gelap dan sepi, yang berada di sudut jalan. Ada gardu listrik di lokasi tersebut. Ratih bertanya, apa bisa meminjam ponsel milik sang pemotor untuk dijadikan senter, dan pemotor itu pun mengiyakan.

Ratih pun mulai mencari di rerumputan pendek. Diarahkannya cahaya ke setiap sudut. Ratih berjongkok, mencari kesana-sini, dengan sang pemotor berdiri di belakangnya. Beberapa kali, Ratih bahkan merangkak sambil meraba rumput, sehingga membuat pantat dan kemaluannya terlihat oleh sang pemotor.

“Lokasinya di sekitar sini, Mbak?” tanya pemotor itu.

Ratih mengangguk. Lalu berpikir sejenak. “Apa mungkin di belakang gardu, ya?”

Maka, Ratih berjalan menuju belakang gardu listrik. Ada celah cukup lebar untuk dimasuki dua orang, antara tembok gardu dengan tembok rumah yang berada di belakang taman. Ratih memutuskan mencari di area tersebut. Tanpa Ratih sadari, atau pura-pura tak sadari, pemotor itu sedang mengendap-endap di belakangnya.

Ponsel yang dia pinjam terlepas saat Ratih terkejut karena tiba-tiba dibekap oleh seseorang dari belakang. Ratih menengok ke belakang, tampak pemotor itu sedang memepet tubuh Ratih ke tembok. Berusaha lepas, Ratih memberontak sebisanya. Tapi tenaganya kalah kuat dengan orang yang sedang membekap mulut Ratih dan melucuti celananya sendiri itu.

“Diem! Diem! Udah, diem aja! Kalo ga bisa nikmatin, diem aja lu!”

Ratih tetap berusaha berontak. Dia meronta hebat, saat merasakan ada benda tumpul yang menempel pada bibir vaginanya. Tapi usahanya sia-sia. Dalam satu kali hentakan, benda tumpul itu masuk sepenuhnya ke liang vagina Ratih.

“Diem ga, lu! Mau abis lu sama gua?!” ancam pemotor itu di telinga Ratih.

Ratih terus meronta, tapi kedua lututnya melemas akibat rangsangan dari penis yang terus keluar-masuk di vaginanya. Ratih sudah lama sekali tidak merasakan rangsangan seksual apa pun, sehingga ketika dia mendapatkannya lagi, sensasinya jadi jauh lebih nikmat. Dengan cepat, Ratih mulai menikmati sodokan penis pemerkosanya.

Cukup lama Ratih diperkosa dengan posisi berdiri, membelakangi pemerkosanya. Ratih sudah tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Tapi sebagai antisipasi, pemotor itu tetap membekap mulut Ratih dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya menggerayangi buah dada Ratih yang ranum. Akibat rangsangan intens yang diterimanya pula, membuat vagina Ratih banjir dalam sekejap. Bunyi becek pun terdengar menghiasi persetubuhan mereka.

“Katanya diperkosa, tapi nikmatin! Nih terima peju gua!”

Pemotor itu membenamkan penisnya dalam-dalam di vagina Ratih. Cairan sperma dengan mudahnya menyemprot hingga sampai ke bibir rahim. Di saat yang sama, Ratih pun orgasme. Tubuhnya bergetar dan kedua kakinya sampai berjinjit karena tegang akibat sensasi orgasme yang menderunya. Tapi Ratih bukan hanya merasa nikmat karena orgasme, tapi juga karena asupan energi negatif yang terkonversi dari emosi berupa nafsu birahi pemotor itu.

Setelah puas, pemotor itu dengan cepat mencabut penisnya lalu memakai celananya kembali. Tak ingin ambil resiko ditangkap polisi dengan membawa Ratih, pemotor itu segera berlari meninggalkan Ratih yang sedang terduduk lemas. Tapi baru saja dia balik badan, kedua tangan Ratih sudah menjangkau kedua sisi kepalanya. Dalam satu kali hentakan, Ratih memutar kepala pemotor itu ke belakang. Ada bunyi tulang patah yang seketika terdengar.

Tubuh pemotor itu ambruk ke rerumputan, dengan badan menelungkup dan kepala terputar ke belakang. “Kurang kasar tadi mainnya, Mas,” ejek Ratih sambil meludah ke wajah si pemotor.

Ratih merentangkan tangan. Jiwa pemotor itu dengan cepat terkonversi menjadi energi, yang masuk melalui tangannya kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya. Ratih merasakan energi besar yang mengalir di pembuluh darahnya. Energi sebesar itu hanya berasal dari satu jiwa. Ratih menyeringai karena membayangkan energi sebesar apa yang akan dia dapat dari mengkonversi banyak jiwa.

Maka, Ratih pun melanjutkan perburuannya.



———


“Tumben amat ya, ini malem sepi banget. Saya muter dari tadi cuma baru ini penglarisnya.”

Seorang pria berseragam satpam duduk sambil menyeruput kopi hitam yang terhidang di kursi plastik. Dia melihat sekeliling. Suasana komplek malam itu memang lain dari biasanya. Hanya ada dia dan tukang nasi goreng yang berada di luar rumah malam itu. Para penghuni komplek sedang berdiam diri di dalam rumah, beberapa ada yang pergi dan cuma ditunggui penjaga. Termasuk rumah kosong yang sedang dia jaga sekarang.

“Mau gimana lagi, Pak. Emang ini komplek dari dulu mah sepi. Apa lagi pas pandemi. Boro-boro pembantu pada keluar, setan aja mikir-mikir,” balas satpam itu.

“Ya tapi ga sesepi ini juga. Ini mah udah kayak kampung setan.”

Saat tukang nasi goreng sedang mengaduk nasi pera di wajan, di kejauhan, tampak sesosok manusia datang mendekat. Sang satpam yang pertama kali menyadari itu. Matanya memicing, berusaha menangkap sosok itu lebih jelas. Seorang perempuan, ternyata. Tubuhnya sintalnya berhasil menarik perhatian satpam tersebut.

Saat perempuan itu semakin mendekat, satpam itu semakin salah tingkah. Dia berpikir, untuk apa seorang wanita cantik berjalan sendirian tengah malam menyusuri jalan komplek yang sepi? Kecurigaan pun muncul. Maka, dia ambil sikap waspada.

“Bapak-bapak, maaf sebelumnya,” ucap perempuan itu, “tapi apa boleh saya minta tolong?”

Ada ekspresi panik dan kalut yang tertangkap dari wajahnya, yang langsung ditangkap oleh si tukang nasi goreng. Maka, tukang nasi goreng itu menanyakan apa yang bisa dibantu.

“Tas saya barusan dijambret. Ada HP sama dompet di situ. Saya mau pulang ke rumah ga bisa. Apa saya boleh pinjem HP bapak buat pesan ojek online?”

Tukang nasi goreng dan satpam itu saling berpandangan. Seakan saling melempar tanggung jawab untuk menolong perempuan itu. Ponsel milik tukang nasi goreng itu bukan berbasis android, jadi tidak bisa mengunduh dan menggunakan aplikasi ojek online. Sedangkan ponsel milik sang satpam, sedang diisi dayanya di pos jaga.

“Emang gimana ceritanya, Neng?” tanya sang satpam. Dia menarik satu kursi plastik, lalu mempersilahkan perempuan itu duduk.

“Tadi saya baru berantem sama pacar saya di mobil, terus diturunin di jalan dan ditinggal gitu aja. Pas saya mau pesen ojol, eh, ada orang naik motor ngejambret tas saya. Sekarang saya kebingungan, mau pulang jauh, mau pesen ojol juga ga bisa.”

Satpam itu memandangi perempuan tersebut dari ujung kepala sampai kaki. Tidak terlihat membawa senjata tajam, hanya memakai jaket hadiah dari pembelian motor, celana jeans pendek yang dirobek sampai pangkal paha, dan sendal jepit. Wajahnya juga cantik, dan entah kenapa hal itu justru jadi faktor penguat untuk meyakinkan sang satpam bahwa perempuan ini bukan seseorang yang perlu diwaspadai.

Memang, setengah masalah hidup selesai kalau kamu cantik. Penampilan bagus memang modal hidup yang efektif.

“Yaudah, tenangin diri aja dulu,” ucap satpam itu. “Udah makan, belom? Makan dulu, ya?” lalu, dia beralih ke tukang nasi goreng, “Pak, bikinin satu nasi goreng buat Eneng ini. Kasian ini abis kena musibah.”

“Eh... Pak, ga usah. Ga apa-apa. Saya malah ngerepotin jadinya.”

“Udah, udah. Gapapa. Beneran. Makan, ya? Udah Pak, bikinin lagi nih, satu.”

Tukang nasi goreng itu tersenyum sinis. Seperti bisa membaca pikiran sang satpam. Memang, laki-laki itu tidak bisa dikasih perempuan yang bening. Malah jadi modus.

“Eneng ke pos aja,” satpam itu pun menunjuk pos yang berada di dalam area rumah majikannya, “HP saya lagi di-cas di situ. Pake aja, ga dikunci HP nya.”

“Iya, Pak. Makasih, ya.”

Saat perempuan itu sedang berjalan menuju pos, satpam itu pun mengekor di belakang. Tukang nasi goreng sempat bertanya mau diapakan nasi goreng pesanannya, lalu satpam itu hanya mengintruksikan untuk ditaruh di meja, biar nanti diambil. Kemudian, perempuan dan satpam itu masuk ke dalam pos.

“Namanya siapa, Neng?” tanya satpam itu, saat perempuan itu sedang menggunakan ponsel milik sang satpam.

“Ratih, Pak.”

“Gini, Neng,” satpam itu mendekati Ratih yang sedang duduk, hingga perutnya menempel ke lengan Ratih, “kalo saya anterin aja, mau ga?”

“Anterin gimana, Pak?”

“Anterin ke rumah. Soalnya udah malem ini, Neng. Takut diapa-apain sama ojolnya, kan. Soalnya Eneng cantik gini, pasti banyak yang pengen isengin Neng.”

Ratih merasakan tatapan liar yang seakan menelanjangi dirinya itu dari mata satpam tersebut. Ratih tahu, kemana pembicaraan ini akan mengarah.

“Kan bisa lapor ke CS ojolnya kalo ada apa-apa, Pak. Ga apa-apa, Pak, saya pulang pake ojol, aja.”

Lalu, tatapan liar penuh nafsu yang ditangkapnya itu seketika berubah dingin akibat penolakan dari Ratih. Satpam itu berubah sikap, tak lagi manis padanya. Satpam itu bahkan berani menaruh tangannya di pundak Ratih, seraya berujar, “Neng pulang pake ojol pun akan tetep saya apa-apain. Jadi mending Neng nurut sama saya aja, pasti saya anterin, kok. Daripada abis saya macem-macemin terus milih pulang naik ojol, di jalan juga apes.”

“Yah, Pak. Kok gitu? Saya beneran minta tolong, loh.”

Ratih berusaha menepis tangan satpam itu dari pundaknya, tapi satpam itu justru mencengkeram pundak Ratih hingga dia meringis kesakitan.

“Saya juga nawarin pertolongan. Mending diterima aja, Neng,” balas satpam itu.

Ratih menghela nafas. Dia akhirnya memasrahkan dirinya pada apa pun yang satpam tersebut mau. “Tapi pelan-pelan, Pak,” pesannya.

Merasa telah mendapat persetujuan, satpam itu langsung membuka celana bahannya, kemudian mengeluarkan penisnya ke hadapan wajah Ratih. Satpam itu pun memegangi pipi Ratih, lalu mengintruksikan Ratih untuk menghisap penisnya. Merasa tak punya pilihan lain, Ratih menghela nafasnya, lalu dengan malas mulai mengecupi kepala penis si satpam.

Melihat ada perempuan muda dan cantik sedang mengecupi penisnya, satpam itu girang bukan kepalang. Ratih jauh berbeda kelasnya dari para pembantu yang ada di komplek ini. Satpam itu merasa ini adalah kesempatan sekali dalam seumur hidup, dan pasti akan dia pergunakan sebaik mungkin.

“Isepin juga dong, Neng. Masa diciumin aja?”

Ratih kembali menghela nafas. Mengecupnya saja sudah malas, apa lagi menghisapnya. Tapi mau tak mau, Ratih tetap melakukan apa yang disuruh satpam itu. Dia membuka mulutnya, lalu mulai mengulum kepala penis si satpam. Kepala penis itu cukup lama berada di mulut Ratih, hingga basah karena sapuan lidahnya. Lalu, sedikit demi sedikit seluruh bagian penis itu lenyap di mulut basah Ratih. Dia memasukkan seluruh batang penis yang cukup panjang itu ke dalam mulutnya hingga mencapai pangkal kerongkongan. Lalu, dia menghisap penis itu kuat-kuat sambil memandangi satpam tersebut.

Satpam itu tak pernah merasakan kenikmatan seperti yang dirasakannya sekarang. Ratih tak henti-hentinya membuat satpam itu merasa nikmat. Apa lagi sekarang Ratih memaju-mundurkan kepalanya sambil terus menghisapi penis satpam itu. Tak lupa servis lidah pada mulut kepala penisnya.

“Ah, bangsat, enak banget isepannya! Neng sering ngelakuin sama pacar, ya? Jago banget gini,” puji satpam itu.

Ratih pun mengeluarkan penis si satpam. Lalu dikocoknya penis yang penuh liur itu dengan tangan kanan. “Latihannya sama banyak orang, Pak. Ga cuma pacar saya aja. Saya udah biasa dilecehin gini, Pak,” responnya.

“Yaudah sini, saya mau pake mulut Neng lagi.”

Dengan mudah, Ratih membuka mulut, sementara satpam itu tanpa ragu kembali memasukkan penisnya ke situ. Ratih bahkan hanya bisa pasrah ketika satpam itu memegangi kepala Ratih lalu menggenjot mulutnya. Tiap sodokan penisnya terasa sampai mentok ke kerongkongan, dan Ratih merasakan sensasi aneh yang nikmat dari siksaan tersebut.

Satpam itu pun bertindak lebih jauh. Dia membuka resleting jaket Ratih, lalu menyingkap jaketnya. Lalu dia kaget, karena mendapati Ratih tidak memakai baju lain di balik jaket itu. Sepasang buah dada ranum tersaji untuk mata dan tangan satpam itu.

Tanpa ragu, dia pun meremas kedua buah dada Ratih. Remasan-remasan kasar diterima Ratih tanpa bisa melawan. Maka, dia memilih untuk menikmatinya saja. Disela-sela kulumannya pada penis satpam itu, Ratih sesekali melenguh pelan tiap kali satpam itu merangsang buah dadanya.

“Kok bisa sih, Neng, jalan-jalan ga pake daleman? Sengaja ya, minta dilecehin?”

Ratih kembali melepas kulumannya, lalu mengocok penis satpam itu. “Tadi, ssshh, sempet main sama pacar di mobil dia, Pak. Sebelum, mmhhh... berantem.”

“Dibayar, ga?”

Ratih menggeleng. Lalu dia mulai mengulum penis itu lagi.

“Dasar lonte gratisan! Mau aja dipake gratis! Mending sama saya, Neng, saya anterin pulang. Ayo dong, mumpung dianterin pulang, lebih semangat lagi ngisepinnya.”

Dilecehkan secara verbal seperti itu justru membuat Ratih semakin bersemangat. Dia makin liar mengulum penis si satpam. Air liurnya pun menetes dari sela bibir. Kadang-kadang, Ratih memasukkan penis itu hingga mentok, lalu tersedak setelah penis itu keluar dari mulutnya.

Satpam itu begitu menikmati mulut Ratih, tapi dia juga sudah tak sabar untuk mencicipi mulut bawah Ratih. Dia pun meminta Ratih untuk duduk di atas meja, yang diturutinya tanpa protes. Ratih lalu bersandar pada dinding kaca, sambil membuka celananya. Dia kini membuka pahanya, menunjukkan bibir vagina tanpa bulu halus miliknya pada satpam itu. Hal ini, membuat penis basah milik si satpam semakin mengacung tegak. Dia pun memegang kedua paha Ratih, sambil memposisikan kepala penisnya di bibir vagina Ratih. Dalam sekali dorong, penis itu masuk seutuhnya ke dalam vagina Ratih yang sudah basah.

“Enak banget ini mah, Neng! Bikin ketagihan! Rasanya kayak ngeremes anu saya, aduuuh!”

“Iyah, Pak. Makasih, ahhh... aaahh... nanti bener ya, anterin saya, mmhhh... pulang...”

Satpam itu mengiyakan ucapan Ratih, yang lalu dibalas Ratih lewat rangkulan di leher dan ciuman bibir. Ada sensasi menjijikan yang aneh, yang mereka berdua rasakan. Satpam itu tahu, mulut Ratih bekas mengulum penisnya, tapi dia menikmati lumatan bibir Ratih pada bibirnya. Ratih pun tahu, kalau mulut lawan ciumannya ini bau, tapi Ratih malah menikmatinya. Mereka bertukar air liur saat saling membelit lidah, diiringi tusukan-tusukan berirama penis si satpam pada vagina Ratih.

Tukang nasi goreng yang melihat persetubuhan itu dari jauh, segera menghampiri mereka. Alasannya, karena nasi goreng mereka sudah jadi. Tentu saja itu cuma basa-basi. Dia berharap, dia bisa ikutan menikmati tubuh Ratih.

“Anu... nasi gorengnya udah jadi,” sapa si tukang nasi goreng, sambil mengetuk pintu pos.

Satpam itu menengok sebentar ke arah tukang nasi goreng itu, tapi kepalanya ditarik Ratih untuk kembali berciuman. Ratih bahkan ikut menggoyangkan pinggulnya, mengikuti irama tusukan penis si satpam. Mereka sudah tak perduli, meski ada orang yang menonton persetubuhan mereka.

Si tukang nasi goreng jadi salah tingkah. Dia memutuskan untuk kembali ke gerobaknya, tapi tiba-tiba Ratih menjulurkan tangannya lalu memberi tanda untuk mendekatinya. Saat jaraknya bisa diraih, Ratih memegang tangan tukang nasi goreng itu, lalu mengarahkannya ke buah dada Ratih yang tengah berguncang-guncang. Ratih pun disetubuhi sambil buah dada kanannya diangsang.

“Ahh... sebentar, Pak.” Ratih mendorong pelan tubuh si satpam, lalu turun dari meja. Dia kemudian menungging, membelakangi satpam itu, sambil kedua tangannya meraih celana si tukang nasi goreng. Ratih dengan cepat mengeluarkan penis milik tukang nasi goreng itu dari kandangnya. “Basahin dulu, ya, Pak. Biar ga susah masuknya.”

Satpam itu mengerti maksud Ratih. Maka, dia kembali menusuk-nusukkan penisnya di vagina Ratih dari belakang. Sementara, Ratih kini sedang mengulum liar penis milik tukang nasi goreng itu. Tiap hentakan yang dibuat si satpam, justru membuat Ratih memasukkan penis si tukang nasi goreng makin dalam di mulutnya.

Setelah dirasa cukup basah, Ratih kemudian mendorong satpam itu hingga duduk di kursi. Kemudian dia menduduki pangkal paha satpam itu, sambil memasukkan penis milik si satpam ke vaginanya dari depan. Ratih lalu menarik kedua bongkah pantatnya, sehingga lubang pantatnya semakin terbuka. “Masukin ke sini, ya, Pak. Ayo, cepet,” ucapnya, sambil menjulurkan lidah.

Tanpa pikir panjang, tukang nasi goreng itu mulai memasukkan penis penuh liurnya ke lubang pantat Ratih. Awalnya agak sulit, karena lubang pantat Ratih terasa seperti menolak. Tapi Ratih mengintruksikan untuk didorong terus sampai masuk semua. Ratih pun menahan sakit saat sedikit demi sedikit, penis itu memasuki lubang pantatnya. Tapi Ratih bertahan. Kini, ada dua penis yang memenuhi lubang-lubang bagian bawahnya.

Persetubuhan itu jadi semakin liar. Ratih disenggamai dua batang penis yang menusuk secara bersamaan. Rasa sakit pada lubang pantatnya, yang tadi terasa saat awal penetrasi, kini berubah jadi kenikmatan yang sulit dia ungkapkan. Desahan-desahan liar pun memenuhi ruangan sempit itu. Seluruh tubuhnya dieksploitasi, tapi Ratih tak peduli. Yang dia buru hanya kenikmatan.

Hingga akhirnya, Ratih mulai merasa bahwa dia sudah dekat dengan orgasme. Tubuhnya kian menegang, seiring dengan desahan-desahan yang keluar makin tak karuan. Dalam sekejap, rasa itu meledak jadi kenikmatan hebat. Ratih yang tengah berada dalam badai orgasme, secara tak terkendali menciumi bibir si satpam dan tukang nasi goreng secara bergantian. Tubuhnya bergetar hebat, dan membuat badannya tersentak-sentak.

Orgasmenya juga membuatnya mengejan kuat, hingga vagina dan lubang pantatnya menjepit penis milik si satpam dan tukang nasi goreng yang masih berada di dalam kedua lubang Ratih. Hal ini menimbulkan rangsangan hebat pada ketiganya. Baik Ratih mau pun kedua partnernya, kini saling menggapai orgasme. Si satpam dan tukang nasi goreng sedang menjelang orgasme pertamanya, sedangkan Ratih menyambut orgasme kedua.

“Ahhh, Neng, di dalem ini, mah! Gapapa, ya! Ga tahan, Neng!” seru satpam itu, sambil mencakar punggung Ratih.

“Iya, Neng! Maaf keluarinnya di pantat, Neng!” lanjut si tukang nasi goreng.

“Iya, keluarin aja! Ahhh... ahhh... di dalem... di dalem... gapapa, gapapa... aaahhhh...”

Ratih merasakan semburan sperma memenuhi kedua lubangnya itu. Sensasi kedua lubangnya dipenuhi sperma, membuat Ratih merasakan kenikmatan lain. Kedua tangannya merentang ke belakang, memegangi kepala si tukang nasi goreng. Lalu, dalam satu kali tarikan kuat, Ratih menarik lepas kepala tukang nasi goreng itu dari lehernya. Semburat darah segar pun bercipratan ke segala arah.

Ratih kemudian melempar kepala itu ke lantai, lalu dengan cepat memasukkan jari-jari kedua tangannya ke mulut si satpam yang membuka. Satpam itu bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi, tapi Ratih sudah menatapnya dengan ekspresi menggoda. Ratih mencengkeram kuat-kuat rahang atas dan bawah satpam itu, lalu mencabut rahang bawahnya dari tengkorak kepala. Lagi-lagi, darah bercipratan ke seluruh tubuhnya.

Ratih tersenyum puas. Aliran konversi energi dari jiwa kembali memenuhi aliran darah di tubuhnya.

Kini, Ratih mendapat cukup kekuatan untuk melawan apa pun yang menjaga Kalia di rumahnya. Tapi Ratih belum puas. Masih ada banyak jiwa yang menunggu untuk dipanen di sekitar sini. Meski sudah tak terhitung jari lagi, korban Ratih untuk mengisi energi jahat tubuhnya sekarang.



———


Setelah jeritan-jeritan kesakitan dan minta tolong yang terdengar dari luar kamarnya, kini Kalia dikejutkan dengan penampakan banteng hitam besar bermata merah delima. Tanduk-tanduk panjangnya meliuk dan kelihatan runcing. Banteng itu muncul secara tiba-tiba di kamar Ratih. Sekilas, banteng itu melihat ke arahnya seraya mendengus pelan. Lalu dia memutar tubuhnya dan berjalan ke dekat pintu. Seakan-akan, dia sedang bersiaga menunggu sesuatu.

Loh, sekarang gue juga bisa lihat hantu? Dia yakin sekali, banteng yang dilihatnya sekarang bukan banteng asli, melainkan jadi-jadian. Banteng sebesar itu tidak mungkin bisa masuk lewat pintu kamarnya. Sekali pun bisa, pasti ada kerusakan di sana-sini. Tapi pintu kamarnya masih menutup sempurna, tanpa ada satu kerusakan kecil pun di sana.

Untuk berjaga-jaga, Kalia memepetkan tubuhnya pada tembok di ujung ranjang. Entah kenapa, dirinya merasa lebih aman jika ada tembok di belakangnya. Matanya mengawasi gerak-gerak banteng itu. Tapi yang diawasi hanya diam, sambil memandangi pintu.

Hei, manusia. Apa ada jalan lain untuk keluar selain dari pintu ini?

Suara itu seperti langsung menggema di kepalanya. Kalia menengok ke sekitar ruangan, tapi tidak nampak ada satu pun orang yang bicara. Masa iya bantengnya yang ngomong?

Memang siapa lagi?


Kalia tersentak. Banteng itu benar-benar bicara langsung ke kepalanya. “T-tapi, gimana bisa?” tanya Kalia, tergagap, pada banteng itu.

Kau menggenggam cincin pusaka merah delima itu. Aku jadi bisa bicara denganmu lewat telepati.

Kalia mengangguk-angguk tanda mengerti. Dia pun baru sadar dengan cincin merah delima yang dari tadi digenggamnya. Maka, Kalia pun memakai cincin itu. Dia pun tidak bertanya lebih jauh lagi kepada banteng itu.

Kau tidak menjawab pertanyaanku, manusia.

“Oh, itu...” Kalia gelagapan sendiri. Akhirnya, dia menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan banteng tersebut. Kalia lalu menunjuk jendela besar yang juga berfungsi sebagai pintu menuju balkon kamarnya. Lewat jendela ini, Pak Banteng. Jendelanya terhubung dengan balkon luar yang nyambung ke jendela kamar Rea. Emang kenapa?

Sesaat sebelum arwah ibumu masuk ke kamar ini, kabur lewat jendela itu lalu ke kamar bocah Rea, manusia. Aku akan menahannya di sini. Tapi aku sangsi akan bisa menahannya lama. Di waktu yang sebentar itu, manfaatkan sebaik mungkin untuk keluar dari rumah ini. Aku akan mengurus segel untuk memenjarakan jiwa ibumu di rumah ini, sampai Tuanku Bramasta datang.


Kalia mengerti, lalu dengan lincah melompat dari ranjang kemudian membuka lemari es. Dia menyodorkan sebuah cokelat bar dingin ke banteng itu. “Nama saya Kalia, kakaknya Rea. Salam kenal,” ucapnya, tanpa takut.

Tiba-tiba, pintu membuka. Banteng itu sudah bersiap mengumpulkan energi di kedua ujung tanduknya, sampai sebuah kepala menyembul dari balik pintu. Lalu disusul tubuh ringkih yang berjalan tertatih, serta nafas tersengal. Abisma berhasil sampai ke kamar putrinya. Kalia buru-buru mencegah banteng itu untung melakukan apa pun yang bisa membahayakan ayahnya.

Aku tahu.

Segera, Kalia menghampiri Abisma. Tapi Kalia terpaku saat melihat keanehan pada tubuh Abisma.

“Loh, Papa kenapa? Kok pucet gini mukanya? Pa—”

Kalia dengan cepat menyadari bahwa gejala yang timbul pada Abisma adalah gejala keracunan. Dengan sigap, Kalia memeriksa tubuh Abisma yang kini berbaring di lantai beralas karpet. Dia membuka kancing kemeja ayahnya, lalu terkejut saat mendapati perut ayahnya yang membiru kehitam-hitaman.

Di dunia kami, ini disebut teluh. Banteng itu mendekati Abisma. Dia menempelkan kedua ujung tanduknya pada perut Abisma. Perlahan, warna biru pada kulit perut pria itu berangsur-angsur hilang, kembali jadi warna kulit biasa. Hal yang sama juga terlihat pada wajahnya yang sudah tak lagi pucat membiru. Ayahmu sudah kusembuhkan. Itu bukan jenis teluh yang sulit, tapi ayahmu tetap butuh istirahat. Baringkan di tempat tidur, tapi kalian harus tetap dalam kondisi siaga. Bilang hal itu ke ayahmu.

Kalia pun memapah tubuh Abisma pelan-pelan, lalu dibaringkan di ranjang. Dia juga menyampaikan pesan dari banteng hitam itu. Abisma mengerti. Kini, setelah rasa nyeri hebat di perutnya perlahan menghilang, dia merasa mampu untuk bergerak lebih cepat. Dia tidak akan menyusahkan putrinya, begitu niat Abisma dalam hati.

Dari luar kamar, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menggema. Tawa itu seketika membangunkan bulu-bulu di tubuh Kalia dan Abisma. Sang banteng pun mendadak siaga. Pijar-pijar energi kembali berkumpul di ujung tanduknya.

Bersiap. Ibumu sudah tiba!

Kalia mengangguk. Lalu, Kalia menatap ayahnya. “Pa, Mama bipolarnya kumat lagi,” ucapnya, datar.



———


Akoman adalah iblis kuno yang berasosiasi dengan kegelapan pekat. Di setiap kemunculannya, selalu ditandai dengan hilangnya cahaya. Kemampuan untuk menghadirkan kegelapan total secara instan adalah kelebihan yang diberikan Dewa Kegelapan Ahriman¹ untuknya.

Biasanya, Akoman hanya menghadirkan kegelapan dalam radius kecil. Dia tidak suka membuang energi untuk sesuatu yang tidak efektif. Tapi malam itu istimewa. Akoman ingin merayakan pembantaian yang dilakukan Ratih, juga perangnya dengan jin-jin sakti di negeri yang kini disinggahinya.

Maka, Akoman berdiri di tengah jalan, di depan rumah Abisma. Kedua tangan panjangnya merentang lebar. Mata merah di keningnya menutup perlahan, lalu membuka lagi tiba-tiba. Bersamaan dengan terbukanya mata itu, cahaya dari berbagai sumber di wilayah itu tiba-tiba lenyap. Segala macam cahaya, baik yang berasal dari suplai gardu listrik, mau pun dari aki kendaraan, hilang tak berbekas.

Tak tanggung-tanggung, efek dari kekuatan Akoman mencakup radius berkilo-kilo jauhnya. Mall Pondok Indah yang berada tak jauh dari rumah Abisma pun jadi gelap total. Kendaraan-kendaraan yang sedang melaju seketika bertabrakan karena tidak ada cahaya. Dengan cepat, kepanikan melanda orang-orang yang terdampak, baik yang sedang berada di dalam rumah mau pun di luar.

Akoman menyeringai, saat seorang pemuda hadir tiba-tiba, jauh di depannya, lewat metode teleportasi. Di belakang pemuda itu, hadir seekor harimau putih dalam sikap siaga, dan di belakang harimau putih itu, berbaris ratusan jin berbagai rupa dengan kondisi siap tempur.

Baru saja Akoman ingin menyerbu ke arah barisan jin-jin tersebut, dia merasakan sesuatu dari arah belakangnya. Seorang pemuda lain, berambut hitam sebahu, yang ditemani seorang anak kecil berambut kuning keemasan dan mata biru, datang menuju ke arahnya. Akoman dengan cepat menyadari kedua sosok itu.

“Ah... Einherjar tak bernama. Sekarang makhluk hina bergengsi tinggi ini sudah mau jadi peliharaan iblis, rupanya. Lalu...,” mata Akoman memicing, memandangi pemuda berambut hitam itu, “senang bertemu denganmu lagi, Sang Pembawa Cahaya, Bintang Fajar, Raja—”

“Itu titel di masa lalu. Move on, bangsat,” potong pemuda itu, dengan nada kasar.

Anak kecil itu hanya bisa terpaku, melihat ke arah sang pemuda dan Akoman secara bergantian. Ekspresi kebingungan tampak jelas di wajahnya. “Hva slags språk snakker du? Hva, Morning Star? Hvaaaaaaa?”² tanyanya, panik.

Pemuda berambut hitam itu memijat keningnya, sambil menghela nafas. Lalu, dia memegang kepala anak kecil itu, dan tak lama kemudian melepasnya. “Sudah mengerti sekarang?” tanya balik si pemuda.

Anak kecil itu mengangguk polos. Lalu dia mengacungkan jempolnya ke si pemuda. “Raja Neraka memang punya wawasan ga terbatas soal bahasa! Aku bisa ucapin bahasa aneh yang sebelumnya ga bisa, cuma pakai sentuhan di kepala, loh!” serunya, sambil mengedipkan sebelah mata.

Sungguh, anak kecil ini membuat pemuda itu frustasi karena tingkahnya.

“Itu... titel di masa lalu... ah, sudahlah.” Pemuda itu tiba-tiba memunculkan sebilah pedang perak dari udara kosong, lalu memberikannya pada anak kecil di sampingnya. “Einherjar. Maju dan bunuh iblis itu, kalau bisa. Aku akan jadi back up di belakang.”

Anak kecil itu tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sihir manipulasi ruang yang digunakan si pemuda untuk memunculkan pedang. Di tempat asalnya, sihir manipulasi ruang adalah salah satu sihir tingkat tinggi, yang bahkan sulit dikuasai dewa-dewa. Tapi gengsinya kembali, sehingga anak kecil itu cepat-cepat menyembunyikan kekagumannya pada si pemuda.

“Kalau bisa?” Anak kecil itu mendengus, lalu tertawa. “Loki merampasku dari Valhalla bukan karena asal pilih, Morning Star.”

“Semoga pilihannya tidak salah,” balas si pemuda, sambil kembali memijat keningnya.










—Bersambung.



Catatan Kaki:

Ahriman, atau juga dikenal dengan nama Angra Mainyu, adalah Dewa Kegelapan, Kehancuran dan Kejahatan dalam mitologi Zoroastrian. Ahriman adalah saudara kembar dan sisi berlawanan dari Ohrmazd atau Ahura Mazda, sang Dewa Cahaya, Penciptaan dan Kebaikan. Keduanya lahir dari Zuvan, yang dikatakan sebagai pembuat tuhan. Pada masanya berkuasa atas semesta, Ahriman membuat 99.999 wabah dan menciptakan enam iblis agung untuk membantunya. Keenam iblis agung tersebut adalah Pikiran Jahat, Tirani, Permusuhan, Kekerasan, Kebencian dan Kecurangan. Dalam banyak terjemahan bahasa Inggris dari literatur Zoroastrian, Ahriman kerap disebut sebagai ‘deity’; ini menunjukkan tingkatnya yang jauh lebih tinggi dari dewa biasa, meski terjemahan bahasa Indonesia memiliki arti yang sama.¹

“Bahasa apa yang kalian ucapkan? Apa, Bintang Fajar? Apaaaaaaa?”²
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd