Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bab IX:
An End of Tragedy








Pondok Indah – Jakarta Selatan, 2021

Saat Kalia membuka mata, Kalia mendapati dirinya tengah berada di ruang keluarga. Kepalanya masih terasa berputar. Dia tidak begitu ingat kejadian sebelumnya. Semua terjadi begitu cepat, dan Kalia tidak bisa mengantisipasi.

Samar-samar, Kalia melihat Rea yang tengah meringkuk sambil memegangi ulu hatinya, dan Ratih yang sedang berdiri di hadapannya. Kalia tahu, bahaya sedang mengancam Rea. Maka, dia memaksa seluruh tubuhnya untuk bergerak mengikuti keinginannya.

Awalnya berat sekali. Tubuhnya bangkit dan limbung berkali-kali. Tapi Kalia berkeras hati, dan kegigihannya pun membuahkan hasil. Kaki-kakinya akhirnya menjejak kuat di lantai. Lalu, langkah-langkah kecilnya berubah menjadi tapak-tapak lari cepat. Kalia berusaha menjangkau Rea, secepat yang dia bisa.



———


Suara sirine dari barisan mobil pemadam kebakaran dan ambulans yang ramai bersahutan dari kejauhan, menghiasi suasana malam di kawasan Pondok Indah. Jingga kemerahan yang berasal dari kobaran api yang membakar gedung-gedung, terlukis di langit malam. Kepulan asap hitam membumbung tinggi, muncul dari beberapa lokasi yang berdekatan. Pemandangan kacau malam itu, semakin lengkap dengan hadirnya teriakan kepanikan, marah, putus asa dan ratapan kesedihan yang susul-menyusul dari banyak orang terdampak pada kawasan itu.

Akoman bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi di sana. Tembakan energinya menghancurkan banyak gedung dan kendaraan, membakar rumah-rumah, serta menewaskan ratusan orang. Jumlah korbannya pun terus bertambah, seiring dengan orang-orang yang sedang sekarat, kini meregang nyawa. Iblis itu tersenyum riang. Kekacauan itu tidak dia ekspektasikan sebelumnya. Tapi melihat hasil yang ada, Akoman bisa pulang ke neraka dengan cukup berbangga diri.

“Dewa Ahriman pasti senang. Jiwa-jiwa manusia dan jin ini bisa dikonversi menjadi energi yang masif untuk para pasukan kami di neraka,” ujarnya, disusul tawa terkekeh yang memuakkan mata. Akoman benar-benar bahagia di atas derita manusia yang menjadi korbannya.

“Pulang kampung sana, iblis sepuh.” Lucifer mendengus kecil. Dia menyeka darah yang mengalir di sisi bibirnya. Dirinya bahkan masih bisa bersikap tenang, meski sekujur tubuhnya penuh luka sayatan dan tusukan yang berasal dari Akoman.

Tubuh iblis Akoman perlahan memudar. Itu adalah efek yang timbul akibat dari terbakarnya tali tambang yang mengikat perjanjian antara dirinya dengan Ratih. Akoman, tanpa perjanjian dengan manusia, tak bisa lagi mewujud di dunia mereka. Dengan segera dirinya terpaksa kembali ke neraka.

“Ingat ini baik-baik, Bintang Fajar. Sesuatu yang mengerikan dan besar akan datang. 'Takdir' kita semua, para iblis, dewa dan manusia telah ditentukan,” ujarnya lagi, masih dengan tawa yang memuakkan.

Lucifer bereaksi atas perkataan Akoman. Ekspresi kagetnya jelas menunjukkan ketidaksiapannya atas ucapan Akoman. “Kau... menyadarinya juga?”

“Oh, kau sudah tahu dari awal?” Akoman tersenyum licik, “kita akan segera bertemu lagi. Sesegera mungkin...”

Akoman melebur bersama udara kosong, lalu menghilang tanpa jejak. Lucifer mengkonfirmasi bahwa Akoman telah kembali ke neraka. Segera, tubuh tegangnya melemas. Dia jatuh ambruk ke aspal. Pemuda itu tidak bisa lagi mengacuhkan luka-lukanya, pun dengan dirinya yang kehilangan banyak darah akibat pertarungannya dengan Akoman. Dalam hening, dirinya meratap, sudah sebegitu lemahnya kah aku?

Dia menyisir pandangan ke sekeliling. Dirinya adalah satu-satunya penyintas dari pertarungan itu. Mbah Bramasta beserta pasukannya telah tewas, dan jiwa mereka terkonversi menjadi energi yang ditampung oleh Akoman. Lucifer curiga, bahwa Akoman sedang menyiapkan sesuatu. Iblis itu bisa saja memakai konversi energi dari jiwa-jiwa korbannya untuk menambah kekuatan, tapi Akoman tidak melakukannya—alih-alih menyimpan energi itu, bahkan hingga saat terakhir. Lucifer menduga, Akoman merencanakan sesuatu yang lebih besar, dan tentu saja, mengerikan.

Pemuda itu memandangi rumah dimana Ein berada di dalamnya. Aura pekat masih menyelimuti bangunan itu. Putusnya kontrak antara Akoman dan Ratih hanya memisahkan mereka, tapi tidak serta merta melenyapkan kekuatan Ratih. Lucifer berpikir bahwa dia harus melakukan sesuatu.

Tapi sebelum dia sempat bangkit, dia dikagetkan dengan tubuh seekor banteng hitam besar yang terbang keluar dari rumah itu setelah menghancurkan tembok, lalu menabrak pagar dengan kencang hingga pagar itu hancur. Tubuhnya masih melesat kencang, menghantam permukaan jalan dengan keras, lalu berguling di aspal. Lucifer merasakan firasat buruk. Maka, dia menggunakan sihir teleportasi untuk bisa segera muncul di dalam rumah itu. Tapi energinya telah habis, dan sekujur tubuhnya kesakitan karena kekurangan energi sihir yang menyuplai tubuhnya.

Saat Lucifer melihat banteng itu lebih jelas, dia tahu bahwa banteng itu sudah mati. Kepalanya terputar hampir 360 derajat, dengan leher yang terpelintir. Salah satu sisi wajahnya remuk. Karena pada dasarnya banteng itu adalah jin, maka tubuh fisiknya yang bisa mewujud akibat pekatnya kumpulan energi di sekitar rumah Rea, perlahan memudar. Prosesnya sama seperti jin-jin lain yang telah dibunuh Akoman, tubuh banteng itu pelan-pelan menghilang, melebur bersama udara kosong.

Tak berapa lama, tiba-tiba tubuh Ein yang kini terlempar keluar. Lucifer yang tidak bisa menggerakkan tubuhnya, hanya pasrah melihat Ein menghantam aspal, lalu merebah di permukaan jalan. Luka di tubuhnya cukup parah; lengan kanan patah, lengan kiri putus, wajah yang babak belur dan lebam di sekujur tubuh. Meski terluka parah, Ein masih bisa bangkit. Seakan, luka-luka itu tak berarti apa-apa.

“Yo, Bintang Fajar! Bagaimana pertarungannya?” tanya Ein, singkat. Dia mengangkat tangan kirinya sebagai gestur untuk menyapa Lucifer, tapi dia lupa kalau lengan bawahnya sudah putus.

Lucifer tersenyum kecil. “Lumayan seru. Kau sendiri bagaimana di dalam sana?”

“Keadaannya gawat.” Ein kini sudah berdiri tegak. Dia berjalan lagi menuju gerbang rumah. “Mau ikut masuk?”

“Aku kehilangan banyak tenaga. Nanti kususul.”

Ein spontan membentuk ekspresi mengejek, sambil melihat ke arah Lucifer. “Dasar lemah, dasar payah,” ujarnya, lalu dia bergegas masuk ke rumah itu lagi.

Saat masih menjadi einherjar, Ein memang dikenal pantang menyerah. Apa lagi saat belum menjadi einherjar, dirinya pernah menderita luka yang lebih parah dari ini, bahkan dia harus dipenggal dulu untuk membungkam perlawanannya. Seantero Valhalla tahu, Ein bukan lah yang terkuat; tapi mereka tahu bahwa Ein adalah yang paling bersemangat.

Menyerah hanya karena kehilangan fungsi dari kedua lengannya hanya akan menorehkan malu pada harga dirinya.



———


Rea perlahan membuka mata. Tidak ada sakit yang dirasakannya. Dia pikir, dirinya akan mati saat menerima serangan ibunya. Tapi Rea masih hidup, utuh tanpa luka sedikit pun. Dia merasa kebingungan, tapi tak lama. Karena saat dia melihat sosok Kalia di depannya, Rea seperti tahu apa yang sedang terjadi.

Kalia, dengan tangan Ratih yang menusuk dada hingga menembus punggungnya, bersimpuh di depan Rea, membelakanginya. Dia menghalangi Ratih untuk menghabisi Rea. Meski gemetar, kedua tangannya berusaha mencengkeram kuat-kuat lengan Ratih. Menahan tangan itu agar tidak mencapai adiknya.

“Kamu ngapain, Kalia!” Ratih memekik histeris. Tangan kanannya melubangi dada kiri Kalia, hingga menghancurkan setengah paru-paru kirinya.

“Ini kan... hal yang wajar... dilakuin kakak... ke adiknya. Melindungi... itu... insting, Ma.”

Kalia tersengal. Dada kirinya terasa panas sekali. Begitu panas, hingga dia merasa rasa panas yang bersumber di dalam dadanya itu menjalar ke seluruh tubuh. Nafasnya juga memendek. Hanya satu-dua. Kalia yang kesulitan bernafas, refleks membuka mulutnya, mencari-cari oksigen di udara. Tapi justru darah yang keluar, mengalir lewat sisi bibirnya.

“Kalia, dengerin Mama. Kamu bertahan dulu, Mama akan selametin kamu.” Ratih terlihat panik. Pandangannya tidak lepas dari celah lubang di dada Kalia –yang tengah diisi tangannya– yang terus mengeluarkan darah segar, dan merembes ke kaus yang dia pakai. “Denger Mama, ini satu-satunya cara. Kamu cuma perlu buat perjanjian dengan iblis itu. Ya? Mau, ya? Kamu mau hidup, kan?” ujarnya lagi, sambil berusaha membuat lingkaran sigil pemanggil menggunakan satu tangan. Ratih tahu, jika dia melepas tangan kanannya dari tubuh Kalia, maka pendarahan Kalia akan semakin parah.

Ratih berharap Kalia akan menurutinya. Tapi, Kalia menggeleng. Di tengah penderitaannya karena kesulitan bernafas, Kalia menjawab, “Kalia... mau hidup dan mati... sebagai manusia, Ma.”

Mendengar jawaban Kalia, Ratih seketika membeku. Perkataan Kalia seakan menuduh Ratih kalau dia bukan lagi manusia. Memangnya manusia itu apa? Memang bentuk fisiknya ini tidak terlihat seperti manusia? Di luar sana, banyak orang-orang cacat yang lebih layak disebut bukan manusia daripada dirinya. Ratih kecewa akan jawaban Kalia. Anak sulungnya, yang dia harap paling mengerti dirinya, yang paling dia sayang melebihi apa pun di dunia ini, justru malah menyakiti hatinya.

Perlahan, Ratih mencabut tangannya dari dada Kalia, meninggalkan lubang cukup besar di dada kiri gadis itu. Warna tubuh Kalia memucat. Semakin banyak darah yang mengalir keluar. Kalia kehabisan darah. Nafasnya pun semakin berat. Kalia, di momen sekaratnya, menggelepar di atas lantai. Pandangan matanya yang memudar masih terus menatap Ratih, lalu ketika semakin menggelap, dia mencari sosok Rea. Hanya bias cahaya yang bisa dia lihat, padahal Rea ada di sana, terduduk kaku saat memandangi Kalia menjemput ajal.

Sepanjang yang Kalia ingat, dia belum menjadi kakak yang baik bagi Rea. Kalia adalah orang yang berpikir bahwa dirinya adalah pusat dunia dari kecil. Langkah-langkah hidupnya harus selalu menguntungkan dia, harus selalu tentangnya, harus selalu dirinya lah yang mendapat porsi panggung paling besar. Maka, selama tangisan dan teriakan ketakutan Rea atas siksaan Ratih padanya tidak mendatangkan keuntungan bagi Kalia, dia akan bergeming. Kalia tetap sibuk di kamarnya, memakai penyumbat telinga dan belajar demi nilai yang lebih bagus, dan pujian-pujian baru tentunya.

Sifat Kalia perlahan berubah ketika tragedi kematian ibunya mulai mengguncang mental Rea. Sedikit banyak, Kalia bisa melihat kejiwaan Rea terganggu. Adiknya itu jadi sering berteriak tanpa sebab, bahkan sesekali menunjuk-nunjuk ke sudut tertentu sambil mengatakan bahwa ibu mereka ada di sana. Tentu, Kalia tidak percaya bahwa kematian ibu mereka membuat Rea bisa melihat hantu. Dia menganggap bahwa trauma yang diakibatkan mengakar dalam di psikis Rea, sehingga membuatnya sering berhalusinasi.

Rasa khawatir jadi tumbuh di dalam diri Kalia. Dia jadi sering mengamati Rea. Kadang, Kalia berinisiatif membelikan Rea cemilan, hanya untuk menghiburnya. Kalia ingin Rea bisa rehat sejenak dari traumanya.

Sampai akhirnya Rea pun memutuskan untuk pergi dari rumah. Kalia tidak tahu penyebab pastinya, tapi dia menduga bahwa trauma Rea jadi salah satu penyebab utama. Kalia merasa bahwa alasan kepindahan karena tak mau lagi berhadapan dengan 'hantu' Ratih yang sering Rea lihat, adalah alasan konyol. Bukannya Kalia tidak percaya akan adanya hantu, tapi dia merasa bahwa Rea salah menduga trauma dan halusinasi sebagai hantu. Yang Kalia tidak tahu adalah, Ratih tetap ada di sudut ruang yang Rea sering tunjuk, menatap Kalia dengan mata melotot, meski Kalia sendiri tidak bisa melihatnya.

Mereka bilang, jika kamu sering berteman dengan orang pandai, maka kamu akan tertular pandainya. Hal yang sama mungkin berlaku untuk Kalia. Indera perasanya akan hal-hal gaib jadi sensitif semenjak dia sering berinteraksi dengan Rea di momen-momen setelah kematian ibu mereka.

Sepeninggal Rea, Kalia jadi sering merasakan hembusan angin dingin yang aneh, padahal tidak ada ventilasi yang terbuka. Dirinya juga sering merasa ditatap dari belakang, padahal tidak ada siapa-siapa. Gangguan semakin intens, ketika di malam-malam tertentu, Kalia sering mendengar racauan marah dari suara yang dia kenal baik. Bahkan sesekali, terdengar suara-suara kuku bergesekan dengan dinding dari kamar Ratih, seperti yang sering dilakukannya semasa hidup saat masih diisolasi di kamarnya.

Setelah gangguan demi gangguan terjadi, Kalia mengerti bahwa apa yang Rea alami, bukan hanya halusinasi. Ratih, benar-benar menjadi hantu dan bergentayangan di rumah itu. Maka, segala cara dilakukan Kalia untuk mengenyahkan Ratih. Segala cara, dalam hal ini, berarti cara-cara yang salah arah. Alih-alih Kalia mendekatkan diri pada Tuhan, gadis itu malah mencoba melawan setan dengan setan. Kalia mulai terlibat ke dalam praktik okultisme.

Hingga akhirnya, secara kebetulan Kalia menemukan cara untuk memanggil iblis lewat sebuah laman internet. Cara itu adalah dengan menempatkan lima lilin yang menyala ke titik-titik tertentu hingga membuat bentuk pentagram, sembari merapal mantra tertentu. Di laman itu disebutkan, jika mantra itu adalah mantra pemanggil Akoman, salah satu iblis agung dari neraka. Kalia pun segera mempraktekkannya. Lalu, praktek pemanggilan iblis itu pun berakhir seperti saat ini.

Kalia tidak tahu, mana yang lebih salah; mencoba memanggil iblis, atau membiarkan dirinya sendiri terjebak ke dalam hal-hal mistis dan okultisme. Yang dia tahu, semua itu dia lakukan demi membuat Rea kembali ke rumah itu. Yang Kalia inginkan, hanya menunaikan tugasnya sebagai seorang kakak.

Maka, ketika dia pada akhirnya bisa melindungi Rea dengan tubuhnya sendiri, dari lubuk hatinya Kalia merasa amat bangga. Tugasnya sebagai seorang kakak telah gugur. Kalia pun menatap Rea, lalu mengulas satu senyum lebar. Kalia ingin bicara banyak hal kepada Rea, tapi mulut, kerongkongan dan tenggorokannya telah penuh oleh darah. Hanya seutas senyum itu yang bisa dia berikan, untuk adik satu-satunya.

Senyum itu pun tetap bertahan, bahkan setelah Kalia mati.

Rea duduk terpaku saat melihat kakaknya mati di depan matanya sendiri. Dia tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Pikirannya menolak untuk percaya, bahwa Kalia mati karena melindunginya. Kakak satu-satunya, pergi dengan cara yang teramat tragis; mati dibunuh ibunya sendiri.

Satu lagi anggota keluarganya yang mati. Dia bingung, kenapa kematian harus mengambil orang-orang yang disayanginya? Kenapa harus di malam yang sama? Kenapa dia yang harus mengalami semua ini?

Lalu, kenangan-kenangan dia dan Kalia tiba-tiba terputar secara otomatis di kepalanya. Mereka tidak punya banyak kenangan berarti, tapi tiap kenangan yang ada amat sangat Rea hargai. Kenangan-kenangan itu yang tanpa sadar memicu air yang berkumpul di pelupuk matanya, lalu pecah dan mengalir lewat pipi.

“Kalau aja kamu ga lahir ke dunia ini... kalau aja kamu ga ada...,” dada Ratih turun-naik menahan amarah, “Kalia... ga akan mati. Semuanya... ini semua gara-gara kamu, Reandra!”

Ratih murka. Aura jahat yang menyelimuti dirinya memekat. Ratih berada di puncak kebenciannya pada Rea. Di pikirannya, Rea merenggut semua yang dia miliki; kebebasannya, kewarasannya hingga Kalia. Tapi Rea bergeming, meski Ratih kini berjalan mendekatinya. Tatapannya kosong, memandangi Kalia yang sudah tak bernyawa.

“Kamu dan laki-laki itu... si anak haram ini memang mirip dengan laki-laki brengsek itu,” gigi Ratih bergemeletuk, wajahnya memerah, tubuhnya menegang, “saya benar-benar menyesal ngelahirin kamu! Dasar anak haram! Benih haram jadah!”

Rea, syok karena mengetahui kebenaran baru, perlahan merespon. “Siapa yang... anak haram, Ma? Rea?”

Tepat sebelum Ratih menjawab, Abisma muncul dari arah dapur. “Ratih, udah lah. Cukup sampai di sini aja kamu nyalahin Rea dengan tuduhan ga berdasar gini,” ujarnya. Sejenak, dia melihat ke jasad Kalia. Abisma menundukkan kepala.

“Kamu,” Ratih melotot ke arah Abisma, “bisa-bisanya nyuruh saya ngelahirin anak ini, meski pun kamu tahu dia bukan darah daging kamu! Sampai saya mati dan hidup lagi, saya masih ga ngerti tujuan kamu apa!”

“Tujuan apa...,” Abisma tersenyum kecut, masih menundukkan kepala, “saya cuma mau Rea mendapat kesempatan hidup, sama seperti Kalia. Sesederhana itu.”

Ratih menghardik, “Anak itu juga akan dapat kematian yang sama, Bisma!”

“Bunuh saya aja.” Abisma tampak menggenggam pecahan kaca di tangan kirinya. “Atau, saya yang akan bunuh diri. Yang mana pun itu, ga akan ada yang menguntungkan buat kamu, kan? Saya tahu semuanya, Ratih. Saya tahu... kalau nyawa saya adalah salah satu bagian dari kontrak kamu. Tali tambang itu adalah kontrak yang mengikat iblis itu dengan kamu, dan saya adalah kontrak yang mengikat kamu dengan dunia ini. Kalau saya mati, kamu juga akan lenyap.”

Mata Ratih membelalak. Dia tidak menyangka bahwa Abisma tahu sebanyak itu. Ratih pikir, rencananya berjalan sempurna. Atau, itu adalah rencana yang dibisikkan Akoman padanya. Dia pikir, rencana itu akan berjalan mulus. Sebuah rencana besar yang diatur dengan baik. Dia pikir, tidak akan ada yang bisa mengacaukannya. Tapi, kenapa Abisma bisa tahu? Kenapa Abisma bisa mengacaukannya?

Jelas, Abisma tidak bergerak sendiri. Seseorang pasti membantunya dalam mengungkap rencana Ratih. Tapi... siapa? Ratih tertegun sejenak, lalu satu nama tiba-tiba muncul: Narto. Kakaknya itu yang paling berpotensi untuk mengobrak-abrik rencananya. Maka, Ratih harus mengkonfirmasikan ini ke Abisma.

“Narto sialan itu pasti yang kasih tahu kamu, kan?”

Abisma tersenyum kecut. “Sudah dari lama. Sejak lilin hitam dan kertas lusuh bertuliskan mantra pemanggil iblis yang Narto temuin di kamar kamu. Kakak kamu itu orang sakti, Ratih. Dia bisa menerawang masa depan lewat benda-benda terkait yang dia pegang. Dia tahu semua rencanamu. Rencana bunuh dirimu agar kamu bisa dibangkitkan lagi, rencana jadiin saya sebagai kontrak iblis kamu dengan kasih saya minum darah kamu pas saya tidur, dan rencana kamu yang membantu iblis itu mendulang jiwa-jiwa manusia saat kamu dihidupkan lagi.”

“Heh, omong kosong. Kalau kamu tahu, kenapa ga mencegah saya dari dulu? Kenapa baru sekarang? Kalau kamu bakar tali tambang itu dan kamu mati dari dulu, kamu bisa cegah saya bangkit, Bisma.”

“Iblis itu ga bilang ke kamu, kalau selama kamu belum dihidupkan lagi, media kontraknya ga bisa dimusnahkan? Saya bisa tahu itu lewat penerawangan Narto.” Abisma lalu membuka kemejanya. Di sekujur tubuhnya, tampak banyak bekas luka serius. Bahkan terdapat belasan bekas luka sayatan di kedua pergelangan tangannya. “Berkali-kali saya coba bunuh diri, berkali-kali juga saya coba bakar tali tambang kamu, tapi baik saya mau pun tali tambangnya ga pernah bisa mati atau terbakar. Secara magis, luka di badan saya sembuh dengan kecepatan yang ga masuk logika. Di tengah upaya depresi kami, saya dan Narto selalu cari cara supaya bisa memusnahkan media kontrak kamu dan iblis itu, tapi selalu gagal. Saat kamu mati, saya justru ga bisa mati, Ratih. Saya pikir, kalau sekarang, saya mungkin bisa benar-benar mati.”

Mata Ratih membelalak. Ekspresi panik terukir jelas di wajah cantiknya. Ratih harusnya bisa menduga, bahwa dalam setiap rencana, pasti tak akan selalu berjalan mulus. Ratih harusnya punya rencana cadangan. Tapi sekarang, dia merasa buntu. Dia merasa dikhianati. Bahkan hidup pun menolaknya untuk berjalan lagi di dunia ini.

“Yang sudah mati, harus tetap mati, Ratih.” Dengan cepat, Abisma menggunakan pecahan kaca di tangannya untuk menggorok lehernya sendiri. Darah bercipratan dari luka yang membuka. Tubuh Abisma, jatuh lunglai, terduduk di lantai. “Ternyata benar, kamu... harus hidup dulu... supaya saya bisa mati.”

Lalu, Abisma menoleh ke arah Rea. Di tengah kesulitan bernafasnya, Abisma berkata, “Rea, hidup yang... damai. Maaf, Papa ga bisa jadi... papa yang baik... selama ini. Satu hal yang kamu harus... tahu, Papa... selalu sayang... sama kamu....”

Seutas senyum tulus terulas di bibir Abisma. Senyum yang mengakhiri episode hidupnya. Jika bisa jujur, Abisma memang menyayangi Rea, meski dia bukan anak kandungnya. Abisma merasakan hal yang aneh saat menyadari keberadaan Rea, meski dalam kandungan Ratih.

Jika ada rasa marah, Abisma tahu rasa marah itu hanya boleh ditujukan ke Ratih. Dulu, sebelum Ratih hamil Rea, Abisma dan Ratih tidak berhubungan badan selama lebih dari tiga bulan. Tapi Ratih ternyata hamil dua bulan. Orang paling bodoh sekali pun tahu, itu bukan anaknya. Tapi Abisma bersikeras Ratih harus mempertahankan kandungannya. Awalnya, Abisma menganggap bahwa itu adalah hukuman yang harus Ratih tanggung karena berani berselingkuh. Bagi Abisma, mengandung dan melahirkan anak hasil perselingkuhannya adalah bentuk penebusan dosa.

Tapi kian lama, perasaan itu kian bergeser. Abisma mulai melihat Rea sebagai anaknya sendiri. Memperhatikan tumbuh kembangnya, mengawasi gerak-gerik cerobohnya dan melindunginya dari siksaan Ratih membuat Abisma mulai menyayangi Rea. Anak itu begitu rapuh, hingga naluri kebapakan Abisma mencuat. Abisma mengakui, dia memang menyayangi Rea, dan dia berhasil menyampaikan hal itu, untuk pertama dan terakhir kali, di detik-detik akhir hidupnya.

Dua orang di waktu yang hampir bersamaan, mengakhiri hidupnya di depan mata Rea—dengan senyum tulus terkembang di bibir mereka.


What doesn't destroy you,
Leaves you broken instead
Got a hole in my soul growing deeper and deeper,

And I can't take

Rea tidak pernah bisa terpuruk lebih dari ini. Rasa kecewa, sedih, putus asa, sakit hati, takut, marah dan dendam berkecamuk di hatinya. Menggelegak bagai gunung berapi yang siap meletus. Rea tahu kemana semua perasaan itu harus dilampiaskan. Maka, dia bangkit. Pandangannya terarah lurus ke Ratih. Tajam dan menusuk.

One more moment of this silence
The loneliness is haunting me
And the weight of the worlds getting harder to hold up

Ada perasaan aneh yang merayap di dalam hatinya. Seakan, ada kegelapan yang merambat naik ke permukaan. Di saat yang sama, Rea merasakan ada energi aneh dan panas yang mengalir ke seluruh bagian tubuhnya. Mengalir deras bersama darah yang mendidih. Memberinya kekuatan, juga mengamplifikasi kebencian dan kemarahan.

It comes in waves, I close my eyes
Hold my breath and let it bury me
I'm not OK and it's not alright

Won't you drag the lake and bring me home again

Sesaat, pandangan matanya kabur. Kepalanya terasa berputar-putar. Maka, Rea memejamkan mata. Di momen yang hanya sebentar itu, beragam pertanyaan memenuhi kepalanya.

Kenapa harus saya yang disalahkan?

Kenapa saya ga bisa bahagia?
Kenapa saya ga bisa hidup normal?
Kenapa ibu saya jadi orang paling jahat yang mengambil semuanya dari saya?
Kenapa hidup harus sememuakkan ini?
Kenapa saya ditinggal sendiri?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Rea menarik nafas panjang. Satu senyuman dingin terukir di bibirnya. Kenapa saya ga bunuh perempuan ini aja?

Who will fix me now?
Dive in when I'm down?
Save me from myself

Don't let me drown

Ratih yang mulai tidak bisa mempertahankan jiwanya di dunia manusia, merasa bahwa tubuh yang dia jadikan wadah itu mulai menolak jiwanya. Ratih kalut. Nafasnya memburu. Dia tahu, waktunya sudah dekat. Maka, dia menoleh ke arah Rea. Rasa dendam yang sama juga memuncak di hatinya. Sebelum jiwanya terusir pergi, Ratih harus melakukan sesuatu sebagai penghabisan: membunuh Rea.

Who will make me fight?
Drag me out alive?
Save me from myself

Don't let me drown

Ratih pun bersiap ingin menyerang Rea. Tapi semua terjadi begitu cepat. Tanpa sempat berkedip, Rea menghilang dari tempatnya dan sudah berada di depan Ratih, lalu meninju wajah Ratih hingga perempuan itu terpental ke dinding. Belum sempat Ratih menguasai diri, Rea sudah ada di depannya, melancarkan tinju lanjutan ke rahang bawahnya. Lalu disusul tinju lain di perutnya. Gerakan Rea yang begitu cepat tidak bisa diikuti mata Ratih. Bahkan, tubuhnya pun tak dapat bereaksi.

'Cause you know that I can't do this on my own

Ratih pun pasrah jadi bulan-bulanan Rea yang sudah gelap mata karena dikuasai amarah. Kecepatan dan kekuatan Rea bukan di level manusia lagi. Gerakannya begitu cepat hingga terlihat menghilang dan muncul di tempat berbeda. Kekuatan serangannya pun meningkat drastis. Tiap tinju yang Rea lancarkan, sanggup menghancurkan tulang Ratih dengan mudah.

'Cause you know that I can't do this on my own

Satu pukulan menerbangkan Ratih hingga membentur dinding, lalu jatuh ke lantai. Tapi Ratih bersusah payah menjejakkan kaki agar tidak jatuh. Sambil memelototi Rea, dia pun berteriak lantang, “Anak sial—”

Rea sudah berada di depannya, mencengkeram wajahnya lalu membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Ekspresi Rea saat menghajar ibunya sendiri begitu dingin. Ratih sampai tidak percaya bahwa anak kandungnya yang sering dia siksa dulu, bisa menjadi sekuat dan sedingin ini. Tapi Ratih tidak punya kesempatan lama untuk memandangi Rea, karena Rea meninju perutnya hingga Ratih harus membungkuk karena refleks tubuh yang kesakitan.


'Cause you know that I can't do this on my own

Rea membiarkan Ratih merintih sambil membungkuk di depannya. Rasa sakit yang menjalar hebat ke sekujur tubuh, sampai membuat Ratih meringkuk di lantai. Tapi Rea tidak membiarkan kening Ratih menyentuh lantai; dia menendang wajah Ratih ke atas hingga terbang di udara. Lalu dia menangkap kaki Ratih, dan melemparnya ke lantai dengan keras.

'Cause you know that I can't do this on my own

Ratih tergeletak tak berdaya di lantai yang hancur. Tubuh telanjangnya penuh dengan luka lebam dan kulit sobek akibat tulang-tulang patah yang mencuat, merobek kulit. Rea berjalan mendekat, lalu mencengkeran wajah Ratih. Dia mengangkat Ratih tinggi-tinggi, lalu melepasnya di udara.

Who will fix me now?
Rea mengakhiri serangannya dengan satu uppercut ke rahang Ratih, yang menyebabkan kepala Ratih putus dari lehernya akibat kekuatan tinju Rea yang begitu kuat. Kepala itu sempat melayang di udara, lalu jatuh membentur lantai dan menggelinding asal. Tapi Ratih masih hidup. Mata nanarnya memandangi Rea. Sayup-sayup, Ratih kehilangan kesadaran.

Who will fix me now?

Di benaknya, Rea mengingatkannya pada pria muda yang dia temui di kafe, pada suatu malam dulu. Seorang pria maskulin dengan wajah khas Eropa tengah, berambut hitam klimis, dan tatapan mata lembut namun menusuk. Hubungan mereka hanya bertahan satu malam, tapi semua yang ada pada pria itu tidak bisa Ratih lupakan, bahkan hingga akhir hidupnya. Ada dualisme aneh yang Ratih rasakan tiap melihat Rea, sebagai representasi pria itu karena kemiripan wajah mereka. Rasa sayang yang sulit dijelaskan, dan rasa terobsesi hingga ingin mendominasi yang tidak kesampaian hingga membuat Ratih benci ke pria itu. Lalu, semua rasa itu dilampiaskan ke Rea.

“Namanya... Mama ingat namanya...,” Ratih tersengal, dirinya tidak mendapat cukup oksigen untuk bicara panjang, “...orang yang menghamili Mama... ayah asli kamu... namanya... Baldur. Katanya... dia—”

Rea menginjak wajah Ratih dengan kekuatan penuh hingga wajah ibunya beserta lantai hancur. Pecahan tengkorak, bola mata, dan kulit serta daging yang sobek bercipratan ke segala arah. Rea membunuh ibunya sendiri, tapi dia tidak menyesalinya. Bagi Rea, Ratih adalah sumber penderitaannya. Derita akan kehilangan seluruh orang yang dia sayang. Hanya ada tatapan kosong dari matanya saat menatap kepala hancur Ratih.


Who will fix me now?
Dive in when I'm down?
Save me from myself

Don't let me drown

Dengan langkah lunglai, Rea keluar dari rumah itu. Langkah di sepatu kanannya mencetak pola sol merah darah di lantai. Rea berhenti, saat melihat Lucifer dan Ein –yang sama babak belurnya– kini berdiri di ambang pintu. Menjemputnya.

Ein dan Lucifer saling berpandangan. Niat awalnya, mereka ingin tampil keren dan tegas dengan memaksa Rea ikut mereka. Tapi melihat semua yang terjadi, mereka mengurungkan niat. Sekarang, keduanya saling menyikut satu sama lain, lempar tanggung jawab siapa yang berbicara ke Rea.

“Namamu... Rea, kan?” Akhirnya, Lucifer yang bicara. “Kami... ehem, ke sini untuk menjemputmu. Kami akan beri tahu tujuannya ke mana, di jalan nanti. Bisa ikut kami sekarang?”

“Nanti,” jawab Rea dingin, “saya harus ambil pacul. Saya... mau kuburin papa dan kakak saya dulu. Habis itu terserah kalian, saya udah ga perduli apa pun lagi.”

Rea melewati Lucifer dan Ein begitu saja, menuju ke kebun depan. Saat mereka berpapasan, Lucifer dan Ein langsung menyadari sesuatu. Getaran aneh dari aura mereka yang bergesekan dengan Rea mengkonfirmasi, bahwa kekuatan Rea telah bangkit. Kekuatan yang mereka incar selama ini, dan memegang peran penting dalam tujuan mereka.

“Berapa lama lagi waktu kita sebelum Ragnarök kedua tiba?” tanya Ein.

Lucifer tak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. “Tujuh hari dari sekarang.”

“Menurutmu, dia bisa menguasai kekuatannya sampai waktunya tiba?”

“Harus bisa. Atau kita semua akan tamat.”



———


“...ledakan-ledakan itu berasal dari sumber misterius yang belum diketahui asalnya. Saat ini, seluruh pihak terkait sedang menyelidiki ledakan tersebut. Sementara itu, jumlah korban jiwa yang sudah terkonfirmasi mencapai dua ratus empat puluh delapan orang tewas, dan ribuan orang lainnya luka ringan dan berat. Kemungkinan, korban jiwa akan terus bertambah, seiring semakin lambannya penanganan medis akibat kacaunya akses lalu lintas. Terus ikuti kami untuk perkembangan selanjutnya. Saya, Eddy Setiawan, mengabarkan dari lokasi kejadian.”

Seorang reporter berbadan tinggi besar menutup siaran langsung. Di balik kamera, reporter itu bergidik ngeri saat melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan-jalan, menunggu untuk diangkut. Reporter itu yakin, masih banyak mayat di dalam reruntuhan bangunan mall, menunggu untuk dievakuasi. Bau anyir darah dan daging gosong menyeruak di udara lepas. Meski memakai masker berlapis, tidak cukup melindunginya dari bau tersebut.

Saat reporter itu berkali-kali menahan muntah, kameramen di sampingnya tiba-tiba berteriak kesakitan saat sebongkah besar batu es menubruk kepalanya dari atas. Belum sempat kameramen itu mencari asal batu es tersebut, puluhan ribu batu es besar lainnya turun dari langit, bagai hujan badai yang menyambar bumi. Bunyi-bunyi tubrukan es dengan atap ramai terdengar.

Warga yang sedang berada di area terbuka, berbondong-bondong mencari perlindungan. Beberapa dari mereka mencoba berlindung di bawah reruntuhan gedung yang terlihat belum rusak parah. Tapi belum sempat Tim SAR memperingatkan bahaya gedung ambruk, para warga tersebut sudah keburu tertimpa bangunan gedung. Darah segar pun mengalir dari celah sempit reruntuhan.

Di atap bangunan gedung yang tidak terdampak, seorang pria berdiri tegak. Dia berlindung di bawah payung hitam, menghalau bongkahan es agar tak mengenainya. Meski sudah malam hari, tapi kacamata hitam yang dia pakai membuatnya terlihat aneh. Setelan jas yang dia pakai pun membuatnya terlihat seperti orang yang salah kostum.

Pria itu tersenyum kala memandangi langit gelap yang sesekali menyala akibat guntur yang bersahutan. Dia terlihat menikmati pemandangan itu. “Death,” ucapnya, seperti memanggil sesuatu.

Tiba-tiba, sesosok misterius berjubah hitam lusuh dengan wajah tengkorak dan cekungan mata bolong yang menyala merah, muncul di belakangnya. Sosok itu segera berlutut. Ada khidmat yang tercipta dari gesturnya. “Your humble servant is responding to your call, My Liege,” responnya.

“Ganti bahasa, dong! Nanti kita diprotes kalau ga ganti bahasa!” Pria itu mendengus kesal.

“B-but, by who?—oh, nevermind. S-sorry, My Liege. Please wait,” sosok misterius itu berdehem sejenak, “sudah, Tuan Loki. Ada yang bisa saya bantu?”

“Kita bergerak ke rencana selanjutnya. Ayo, kita temui 'mereka'.” Pria yang dipanggil Loki itu langsung terjun bebas dari atap gedung, seakan tidak mempedulikan ketinggian dan dampaknya ketika dia jatuh.

Anda memanggil saya hanya untuk pamer, ya? Sosok misterius itu mengeluh. Tapi tetap saja, dia mengikuti Loki terjun ke bawah. Hanya saja, tubuh ringannya bisa melayang dan terbang, sehingga dia tidak perlu kesulian memikirkan harus mendarat dengan pose sekeren apa, seperti yang sedang Loki pikirkan saat tubuhnya terjun bebas saat ini.

“Death,” Loki tak bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya, “ini akan jadi festival terbesar di dunia!”

“Tuan, Ragnarök bukan festival, anda yang paling tahu itu.”

“Siapa peduli?” Lalu Loki tertawa, begitu keras hingga menarik perhatian orang-orang di bawah sana. Mereka spontan berteriak histeris ketika melihat ada orang yang terjun bebas dari atap gedung tinggi.

Loki kembali membuka payung hitamnya. Ketika payung itu terkembang, tubuhnya pun melayang pelan. Loki tidak jadi menghantam permukaan tanah. Menggunakan payungnya, dia terbang pelan menyusuri kawasan Pondok Indah, yang saat itu sudah kacau dan hancur. Disusul sosok berjubah hitam misterius yang mengekor di belakangnya.






–End of First Arc–











—Bersambung.




Catatan Kaki:

Lyrics from Drown, a song by Bring Me the Horizon
 
Terakhir diubah:
Bab ini saya dedikasikan untuk @bondz , seorang teman, sahabat dan kakak yang paling kuat yang pernah saya kenal. Beliau tidak menjalani hidup terbaiknya, tapi dia menjalani hidup dengan cara terbaiknya, bahkan hingga di saat-saat terakhir hidupnya. Tersemat namanya dalam bab ini, sebagai penghormatan terakhir untuk beliau.

Semoga tidak ada lagi orang-orang yang saya sayang, yang dipanggil Tuhan dengan begitu cepat, dengan cara yang menyakitkan. Semoga pandemi ini cepat berlalu, agar saya tidak perlu lagi merasakan kehilangan di dunia ini.

Semoga beliau tenang di atas sana. Terima kasih karena sudah berjuang, sejauh ini, sekuat ini. He is a good man, and a good man I will remember by.

So long, @bondz
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd