PART 4E
GELORA LARISSA, AKHWAT AKTIVIS KAMPUS
"Suara? Geledek kali, Bi?" Larissa dengan tenang menjawab suaminya. Aku berharap Rohim tak kembali lagi ke kamar.
Jantungku berdegup kencang. Kuputar otakku agar tetap tak ketahuan. Kuputuskan kembali masuk ke dalam lemari.
"Hmm... Ya sudah, Abi berangkat ya."
"Iya, Abi. Nanti keburu makin deres."
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam."
Samar-samar kudengar suara motor menjauh dari rumah ini.
Aku bernafas lega, seperti telah menyelesaikan sebuah misi dalam 'mission impossible'.
Dengan tertatih, aku berjalan menuju ruang tamu dengan boxer dan nafsu yg memuncak.
Kulihat Rissa sedang memandang ke arah luar dari jendela ruang tamu, dengan hanya sedikit menggeser tirai.
Kusergap ia dari belakang.
"Aahhh..." pekiknya. "Kaget, tahu! Ana deg-degan dari tadi!" keluhnya.
"Hei. Bukan kamu yg berada di dalam lemari," protesku sambil tertawa.
Kuraba payudaranya dari belakang. Kucium bibirnya mesra. Kuelus perutnya. Kupeluk ia seakan tak akan kulepas.
"Kita lanjutkan di sini saja, yuk," ajakku. Kukunci pintu dua kali.
Ia mengangguk sepakat.
CTEK. CTEK.
"Rissa..." Kudorong ia menuju dinding. Nafasku tak beraturan. Sekujur badanku berkeringat.
"Akh Joe..."
Kulepas gamisnya. Lalu kukeluarkan torpedoku yg sudah basah dan licin.
"Ehmmm..." Ia mendesah.
Kuangkat sebelah kakinya, lalu kusodok kuat-kuat batang kejantananku menuju liang senggama nya. Kurasa foreplay tak lagi kubutuhkan.
"Aarrgghh..." Ia terpekik.
Kami bermain di ruang tamu. Beresiko, tapi justru di situ kenikmatannya.
Slorp slorp plok plak.
Suara p e n i s ku keluar masuk m e k i nya. Punggungnya bergesek dengan dinding yg tipis. Ia lingkarkan kedua tangannya di leherku.
Kami saling berciuman, berpagut mesra. Pantatnya kuangkat sedikit, demi lancarnya batangku merogoh lubangnya lebih dalam.
Tak puas sampai di situ, kuangkat lagi sebelah kakinya. Praktis tubuhnya hanya bertopang di lenganku yg kekar dan dinding rumah.
Kuhentak lebih dalam dan cepat tongkat andalanku.
Ia masih berpegangan. Cairan cinta telah meleleh keluar dari sarang kemaluan Rissa. Membasahi buah zakarku yg tebal dan berkerut.
Zlop zlop zlop zlop.
Aku tak berhenti. Kulampiaskan semua hasratku, membalaskan penderitaanku meringkuk di lemari butut yg terlampau kecil untuk tubuhku yg bongsor.
"Enak, sayang? Engh?" Aku menggodanya.
Aku terus menggerakkan tubuhnya naik turun, seperti sedang menancapkan liang v a g i n a nya di mata pancing raksasa milikku.
Ia tak kuasa menjawab. Hanya erangan dan desahan yg kudengar.
"Ahh... Oohh... Nnggh... Mmff... Ouchh..."
Entah sudah berapa puluh kali menara monas ku menancap keluar masuk. Akhirnya...
Lutut Rissa gemetaran. Ia melenguh dan memelukku lebih erat. Dagunya menempel di pundak kananku. Kuku-kukunya mencoba mencakar punggung dan tulang belikatku.
Rasa pedih kuabaikan, semua itu tak seberapa dibanding nikmat yg kurasa.
"Aaahhhh... Ssttoopp... Kumohoon..." Ia memohon. Bibir bawahnya telah mengeluarkan 'liur' yg menetes ke lantai. Aku mengatur nafas dan mengumpulkan sisa-sisa energiku.
Kepuasan yg sempurna telah kuberikan padanya.
Larissa terlihat sangat kelelahan. Jilbabnya telah basah dan berubah warna karena peluh kami yg menyatu.
Masih dalam posisi yg sama, kubopong ia menuju kamar kembali.
Kubiarkan p e n i s ku masih menancap di kemaluan nya. Sambil berjalan, batang p e l i r ku mengayun di dalam lubangnya.
Cepok cepok cepok cepok.
Oh sungguh tak terperi. Aku berhasil mendapatkan tubuh molek akhwat berhijab lebar ini.
Kudorong pintu kamar dengan bantuan kaki, lalu kucabut kemaluanku dan kehempaskan tubuh Larissa yg hampir tak sadarkan diri ke atas kasur. Ia berguling sambil memeluk dirinya sendiri.
Kututup pintu kamar kembali, lalu kupasang kuncinya.
Semoga tak ada lagi yg membuatku menunda klimaks bersama akhwat cantik dan seksi ini.
CEKLEK.
Aku harus bergegas, menyudahi permainan ini, takut sewaktu-waktu Rohim, atau siapapun, datang kembali. Yg jelas aku tak mau masuk ke kotak kayu laknat itu lagi. Trauma, Bos!
Kuseka peluh di wajahku dengan pakaianku sendiri.
"Larissa, nungging dong..." perintahku setengah memaksa.
Ia menuruti kemauanku dengan tubuh lunglai. Bongkahan pantatnya yg padat dan sintal membuatku terangsang kembali. Tanpa berbasa-basi, kumainkan palkon di depan gua miliknya
"Nggghh..." Ia hanya bisa memelas. Kutarik dan kulepas jilbabnya dari belakang. Sedikit tersangkut, tapi berhasil.
Tak kusangka, menungging di depanku, seorang akhwat binal tanpa selembar benang pun. Namun sehari-harinya menutup setiap jengkal kulitnya dari pandangan lelaki.
Kulihat wajahnya yg tanpa jilbab dari cermin lemari. Rambutnya panjang sepunggung, dengan ikatan yg hampir lepas di ujungnya.
Kuelus lalu ketepuk dengan kasar pantat yg seperti squishy itu. Kuremas bagai sedang membelah duren.
Dengan sekali gerakan cepat, kulesatkan torpedo dagingku sedalam-dalamnya menuju pangkal rahim Larissa.
"Nngaaahhhhhh..."
Kecipak kecipok plok plok plok.
Suara selangkanganku yg beradu dengan pantatnya menggema ke seisi ruangan ini.
Kugapai rambutnya dan kutarik ke belakang dengan tangan kanan. Sedang tangan kiriku menarik tangan kirinya ke belakang. Ia mengaduh dan merintih keenakan.
"Ahhh... Oohh... Ihhh... Akhii... Enn... Enaakk... Dalemmm... Ssshh... Gateell... Oouucchh..."
Ia sibuk meracau. Sedangkan aku sibuk berkonsentrasi agar mendapatkan jatah orgasme.
Gerakanku semakin menggila, dan di titik tertentu aku menggodanya dengan tiba-tiba berhenti bergoyang.
"Eh? Kok, berhenti? Ayo akhi, e n t o t ana dari belakang, akhi... Uugh..."
Ia berusaha menggoyangkan pinggulnya maju mundur.
Tak kukira pemandangan surgawi ini bisa kudapatkan. Dengan mudah? Tentu tidak.
Perjuangan bertahan dengan tubuh separuh bugil di dalam lemari akan menjadi pengalaman yg tak akan kulupakan.
Aku pompa lagi tubuh bohay Larissa, membuatnya semakin tak sadarkan diri dan merengek minta agar aku tak berhenti.
Dua gunung dagingnya yg kencang dan menggoda berayun-ayun seperti buah pepaya ranum. Kuremas dan kuusap keduanya dengan ganas dan liar.
Kadang kucubit gemas, hingga menimbulkan bekas merah. Lehernya yg putih dan tegang tak luput dari sasaran bibirku. Saking putihnya, bisa kulihat garis tebal biru dari urat nadinya
Kujilati belakang telinganya hingga ia bergidik. Kuhirup aroma rambutnya yg lengket karena keringat
"Hhmmm..." Aku suka baunya.
P e n i s ku mulai terasa perih dan panas, namun akhwat hiperseks ini tak kunjung memberi tanda-tanda akan orgasme lagi.
"Terus, Akhi... Ahh... Enaakk..."
Aku terus menggerus dinding v a g i n a nya dengan k o n t o l ku yg melengkung ke atas. Kugerakkan pantatku maju mundur dengan penuh semangat, seperti sedang membuat galian sumur.
Aku membantu Rissa berdiri, demi gaya yg lain, walau masih mirip.
Kubiarkan kedua tangannya bersandar pada lemari berkaca.
Kuberi isyarat padanya untuk meregangkan kedua kakinya lebih lebar.
Aku sedikit kesulitan karena tubuhku sedikit lebih tinggi. Otomatis lututku kutekuk sedikit, dan ia pun paham untuk agak berjinjit.
Kembali m e m e k nya menghisap sosis jumbo kebanggaanku.
Zzruuutt.
P e n i s ku masuk ke dalam seiring dengan pekikan kenikmatan Rissa. Sekali tekan, milikku ambles tenggelam. Kubiarkan beberapa detik di dalam. Hangat dan berlendir.
Sambil melihat ekspresinya di cermin, aku mulai menggenjotnya kembali. Dimulai dengan kecepatan 2 sodokan per detik.
"Uuhhh... Nngghh... Iiihhh... Amm... Puunn..."
Ia mulai berisik lagi.
Kupilin puting sebelah kirinya. Dengan jari tengah dan manisku, kuusap bagian sensitif clit-nya dengan gerakan memutar. Kuletakkan wajahku di atas bahu kanannya.
Dengan 'multi-tasking' seperti ini sepertinya sulit untuk menjaga ritme sodokanku.
Sesekali kusedot lehernya seperti vampir penghisap darah, meninggalkan bekas cupas yg mungkin membuat suaminya nanti makin curiga. Tapi ku tak peduli.
"Mau cepet-cepet apa santai?" tanyaku sambil melihat wajahnya yg capek dan lemas.
"Cepet... Aja... Cap—capek..."
Kukumpulkan sisa-sisa tenaga demi kepuasan maksimal di ronde final.
Goyanganku memasuki full throttle mode.
Cepik cepok cpok plok plok plak pak plok.
Gerakanku kini berkecepatan 4 tusukan sedetik. Ini untuk memastikan isi kantong semarku terkuras habis dan membanjiri setiap rongga kemaluan akhwat ini, mengisi setiap mili relungnya dengan sel jantan.
Badan Rissa kelojotan sambil berusaha tetap berdiri dalam posisi ini.
Dengkulnya mungkin sudah melemah. Bulir-bulir peluh mengalir dari punggung, menuju belahan pantatnya yg indah, turut menambah rasa basah dan hangat selangkanganku.
Buah zakarku rasanya ingin muncrat, penuh dengan luapan cairan cinta.
"Aku dikit lagi keluar," kataku sambil tetap terus memompa.
"Akk—ku jugaa..." jawabnya tanpa daya.
"Kita keluarin bareng ya, sayang..." Dengan tetap terus menjaga irama, aku semakin brutal memainkan kedua susunya. "Keluarin di dalem apa di luar?" tanyaku lagi.
-- BERSAMBUNG