Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 10
SYAHWAT PERAWAT

Gelap berbayang. Hanya itu yang kurasa. Telingaku berdengung. Kepalaku pusing seperti habis menenggak minuman keras. Tidak. Lebih parah.

Leherku berat. Tak sedikitpun aku mampu menoleh.

Sekuat tenaga aku layangkan pandangku ke sekitar. Mendorong bola mataku hingga ke tepi.

Sebuah ruangan dengan dinding didominasi warna pucat. Gorden panjang putih yg kaku. Alat yang mengeluarkan bunyi beep sedetik sekali.

Sepertinya aku di rumah sakit.

Syukurlah. Aku masih hidup. Sebuah pencapaian berharga. Kesempatan untuk bertobat yang masih lama.

Tak banyak orang yang mendapat kesempatan kedua. Kesedihan dan nestapa yang hanya sementara. Rasa sakit. Itu semua sebentar.

Dan aku pun tertidur. Lagi.



Entah berapa lama aku menutup mata. Saat aku sadar, alangkah kagetnya aku ketika dua orang perawat berjilbab sedang sibuk mengoralku. Bersemangat, mereka bergantian menggunakan mulut dan sepasang tangan bak anak-anak rebutan permen tangkai. Beberapa kali bibir mereka saling berpagut dan bertukar liur.

“Hmmm… Slusshpp…”

“Iiihhh… Besarnya…”

“Iya ya. Kok ada titid segede gini?”

Batangku basah. Kantung semarku dijilat seperti es krim. Mataku sengaja tak kubuka sepenuhnya. Aku tetap berpura-pura terpejam.

“Dokter jaga dateng jam berapa?”

“Masih lama… Hmssshhh… Ssshh…”

Apa mereka berdua termakan ajian Mbah Wiryo?

“Udah, jangan lama-lama, aku duluan apa kamu aja, Mut?”

“Aku aja deh, Put. Kamu jagain ya, kalau ada yg dateng,” jawab perawat yg dipanggil “Mut”.

Selangkangannya melebar. Masih dengan pakaian kerja serba putih khas perawat, dan jilbab lebar warna biru lembut. Ia mulai melakukan penetrasi. Perlahan namun pasti. Pada akhirnya…

BLEESSSHH.

Aku sedikit meringis tatkala tongkat kejantananku ambles separuh di dalam lubang berlendirnya yang hangat.

“Dia gak bakal bangun kan, Mut?”

“Eengghh… Ih… I—iya… Tenang aja, kamu… Aku udah kasih dia obat, kok… Duh… Gila nih cowok, sumpah besar banget… Hhmmm…”

Mungkin yang mereka maksud dengan "obat" adalah semacam anestesi supaya aku tetap tertidur namun dengan meriam tetap menjulang.

PLOK PLAK PLOK SLOP.

Sambil menggerakkan pinggangnya naik turun, perawat yg dipanggil “Mut” ini terpejam keenakan menunggangi dildo hidup berurat milik pasien yg tak berdaya. Perlahan aku pun turut menikmati permainan mereka. Tentu sambil tetap berpura-pura tidur.

Jepitan si Mut ini memang luar biasa. Untung saja tubuhnya ringan, jadi aku masih kuat ditindih seperti ini. Semakin lama, semakin sempit dan nikmat. Mungkin dia sebentar lagi orgasme.

Kancing baju kerjanya mulai dibukanya buru-buru. Tak sabar mengeluarkan salah satu toketnya untuk diremas sendiri. Turut menambah cepat penuntasan hasrat.

Uhhh… Kalau aku sadar dan tidak sakit, sudah kuperas balon kembarnya yg menantang itu.

“Dduuhh… Ssshhh… Ennakhh… Ahhh…”

PLOP PLOP PLOP PLOK.

Perawat satunya yang dipanggil Put pun tak tinggal diam.

“Sini aku bantuin, Mut,” katanya mulai tak sabar.

Entah takdir macam apa yg aku jalani kini.

Baru saja lolos dari maut, sudah diberi pemandangan dua orang berorientasi seksual sedikit menyimpang di atas ranjang rumah sakit.

“Uuuhhh… Gigit-gigit pentilnya dong, Put,” kata si Mut sambil mendesah ringan.

“Ssstt… Jangan keras-keras, entar kita ketahuan!”

Kurasakan kedutan luar biasa dan jepitan kencang menghisap dari vagina si Mut ini.

“Eengghhhh… Aaaahhhh…”

SSSRRRR.

Cairan kepuasan Mut membasahi kemaluanku, membuatnya semakin licin dan mengeluarkan larutan pekat.

Ia pun lemas dan puas.

“Udahan? Gantian, Mut…”

PLOP. Tunggul besarku terlepas dari liang si Mut, meneteskan sedikit susu kental yang amis.

Kini si Put juga tak sabar ingin “merawat” penisku. Mungkin ini bagian dari metode pengobatan pada pasien pasca kecelakaan.

Sebuah tes apakah kemaluan pasien masih berfungsi normal.

ZZZZLLLEEEB.

Batangku yg panjang dengan mudahnya membelah bibir bawah Put yg sepertinya telah becek sedari tadi.

Erangan demi erangan ringan keluar dari mulutnya yg tipis. Masih dengan atasan yg lengkap dan jilbab terpasang. Kurasa si Put ini lebih cantik dari perawat satunya.

“Nggghhhh… Sssshh… Ehhh… Aahhh…”

Put menancapkan penisku ke dalam rongga kemaluannya dengan posisi membelakangi. Aku dapat melihat lubang anusnya yg merah muda dan kembang kempis, seperti ingin dijamah juga.

Bongkahan pantatnya yg aduhai membuatku makin terangsang.

CEKIT. CCIIT. CIT. CIT.

Decit berseru dari ranjang besi rumah sakit.

Mut yg tadi kelelahan, kini mulai aktif meraba bagian sensitif temannya itu.

Jangan-jangan, keduanya lesbian?

Hentakan yg hebat dan cepat mulai membuat Put tak tahan.

“Hey, kamu tak memakaikan dia caps dulu?” Mut melotot.

“Nggghh… Aaakkhhh…”

Vagina Put yg ketat menjepit serta desiran cairan wanita yg terlanjur diburu nafsu menandai sesi puncak permainan satu arah kami.

“Putri! Gila ya kamu? Kalau dia ejakulasi, gimana??”

Ah. Jadi si pantat seksi ini namanya Putri.

“Enghh… Te—telat… O—oke kita pasangin abis ini, ya?” jawab Putri sambil terengah-engah.

Sebetulnya aku bisa saja membuka mata, dan memergoki mereka. Namun, badanku terlalu lemah. Lagipula, aku ingin tahu bagaimana rasanya jadi pemain pasif. Oleh dua orang pula. Ajian Mbah Wiryo memang luar biasa.

Jilbab keduanya yg lebar tampak menutupi nafsu mereka yg sama-sama besar.

SPLASHH. Kondom terpasang. Terasa sedikit sempit karena ukurannya yg mini. Menutup tak sampai pangkal.

“Ya ampun, kayak punya bule, hi hi hi…”

“Hi hi hi… Eh, Mutia, habis ini aku lagi, ya…”

Oke. Kini aku tahu nama keduanya.

Mereka cekikikan melihat torpedo milikku yg masih tegak berdiri.

“Uuuuhhh… “ Putri kembali mencoba membenamkan timun segar yang telah dibungkus karet tipis bening ke celah surgawinya yg dilumasi cairan birahi.

Kali ini dia menghadap ke arahku. Dapat kulihat tonjolan payudaranya yg hanya tertutup kain jilbab. Wajahnya yg oriental adalah salah satu daya tarik tersendiri. Mutia membantu merangsang Putri dengan jemarinya yang lentik dan putih.

Mereka berciuman.

Bibir mereka saling beradu dan mengeluarkan suara cipokan.

“Hmmmm… Urrgghh…”

Gerakan Putri maju mundur menelan sebagian besar batang lelakiku. Ranjang rumah sakit mulai berdecit kembali. Aku tak tahu sekarang jam berapa, tapi sepertinya menjelang terbit matahari.

“Cepat selesaikan, Put! Aku takut kita ketahuan…”

Putri seperti kesetanan. Ia tak lagi maju mundur atau naik turun, tapi mencoba gerakan lain seperti menyamping dan berputar. Sudah kayak Inul saja dengan gaya ngebornya.

"Eeggh… Iihhh… Hhhmmm… Ya ampuuunn… Sshhh…”

FLOP. PAK. CPOK. CLOP. BWOS.

Ia menyibakkan jilbabnya sehingga aku dapat melihat puting susunya yg terhisap ke dalam. Kalau tidak salah, kondisi semacam ini disebut ‘inverted nipple’.

“AAAAAKKKHH…”

Ia mencapai orgasme keduanya bersamaku.

Putri terbaring lemas di atas dadaku. Nafasnya berhembus tak teratur di samping telingaku. Jantungnya berdetak kencang. Aroma tubuhnya wangi dan memancarkan birahi yg terpuaskan. Payudaranya kenyal, empuk dan terasa hangat. Ughh… Aku benar-benar ingin menggenggamnya.

“Put, kita bikin dia crot pake mulut aja… Capek aku,” usul Mutia.

“He-eh… Yuk…”

Putri melepas selongsong kondom, lalu membersihkan keju cair yang tersisa dengan tisu basah. Kutahan untuk tak meringis.

Mereka bergantian menjilati penisku seperti tadi. Namun lebih semangat dan dalam. Terong raksasaku jadi tak tahan untuk tak menyemburkan saos mayonaise buat sarapan pagi mereka.

Mutia mengeluarkan air ludahnya agar isapannya semakin lancar.

WOS. PLOSH. SLURP. PLUP.

Ini kondisi yang paling membuatku tak tahan untuk muncrat. Se… Sedikit lagi.

"Pegel rahangku, Put, hi hi hi hi…"

"Sini gantian," sahut Putri.

Bibir manisnya tampak terlalu kecil untuk lontong seukuran milikku.

SZZLLEEEPP.

Wow, ia berhasil memasukkan hingga ujung penisku menyentuh pangkal tenggorokannya. Matanya berair, menahan agar tak muntah dan tersedak. Aku salut dengan perjuangan si Putri ini. Ia layak dapat apresiasi.

Naik turun, penisku terhisap dalam. Gigitannya pas.

Nggghhh... Aku mengejan. Tanganku mengepal. Tulang punggungku sedikit melengkung. Inilah saatnya.

CROOOT. CROOOOOT.

Putri buru-buru mengeluarkan penisku dari rongga mulutnya dan mengarahkan ke wajahnya.

Mutia tak mau kalah. Ia merebut selangku dan berbagi skincare alami dengan Putri.

CROT. ZZROOOT. ZZZOOOT. CRUT. CRUT.

Semprotan air maniku tumpah di bagian wajah mereka. Hidung. Mata. Bibir. Dahi. Bahkan ke jilbab yang mereka pakai. Sungguh sangat berantakan.

Tangan Putri masih terus mengocok penisku.

CRUT. CRUT. CRUT.

Ia begitu bernafsu menguras isi bijiku. Rasanya sungguh menyegarkan.

"Hi hi hi… Banyaknyaaa…"

Ujung penisku kembali dikulum Putri. Ya ampun. Rasanya luar biasa nikmat.

Otongku terkulai kelelahan. Lelehan sperma di mana-mana. Baunya menyeruak.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka!

CKLEK. KRIEEETT.

Mereka jadi panik tak karuan. Putri kembali berusaha menutupi apapun yg tadinya terbuka. Untungnya tirai masih membatasi kami.

“P—Pak Ujang?” Mutia memulai inisiatif. “Ba—bapak tunggu sebentar ya?”

Mereka sengaja mengulur waktu dan berlaku seolah tak terjadi apa-apa, sambil membereskan kekacauan yang terjadi.

Aku jadi ingin tertawa.

“Baik, Suster…”

Mang Ujang sepertinya langsung duduk tanpa curiga.

Mereka saling tatap, seperti saling koreksi agar jangan ada hal yg membuat curiga Mang Ujang. Termasuk beberapa helai rambut yg mencuat keluar dari jilbab, kini telah rapi kembali pada tempatnya.

Setelah menahan senyum geli karena selesai menuntaskan misi mesumnya, tirai pun dibuka.

KRRIIEEEK.

“Pak, sudah kami bersihkan, ya…”

“Terima kasih, Sus.”

“Sama-sama. Mari…”

CEKLEK.

Kini tinggal aku dan Mang Ujang di ruangan sepi ini. Pastilah ia yg memindahkanku ke ruangan VIP. Mana sudi dia kalau aku jadi satu kamar dengan pasien lainnya?

Ia melangkah mendekati tepian tempat tidurku.

“Enak, Den?” tanyanya meledek.

Aku membuka mata dan tersenyum. Sepertinya sandiwaraku dengan pura-pura tak sadar telah terbongkar.

“Ha ha… Kok, bisa tahu, Mang?”

“Hla, ya tahu. Kan hidung Mamang bisa nyium, tuh yg di selimut belum dibersihin,” tawanya mengejekku.

Aku malu sekali. Tapi Mang Ujang sepertinya telah memaklumi kenakalanku. Biar sajalah.

“Kata dokter, aden gegar otak ringan, harus banyak istirahat,” katanya mengganti topik.

“Aku sakit apa jadinya?”

“Ga sakit, cuma hampir mati aja,” jawab Mang Ujang enteng.

Ia seperti menyepelekan keselamatanku. Padahal, sejak kedua orang tuaku tiada, Mang Ujang sudah seperti orang tua bagiku. Perhatiannya amat sangat dalam.

“Pulang yuk, Den,” katanya lagi. “Emang ga bosen apa di sini? Lagian, kalau malem serem banget!”

Mang Ujang memang orangnya sedikit penakut.

“Kalau udah sembuh, ya pulang Mang,” jawabku sekenanya.

“Nunggu sembuh apa nunggu dirawat kayak tadi lagi?” Ia berkelakar.

Aku hanya bisa meringis memegang perut yg sakit karena menahan tawa. Pagi yang lebih cerah telah menantiku. Aku harus segera sembuh. Mengobati luka karena jatuh dari kuda besi akan mudah.

Namun ada luka yg mungkin akan lebih lama lagi sembuh.

Atau, tak akan benar-benar pulih. Bekas sayatan yang tak mampu kujahit. Luka di hati, yg sisanya tertinggal di kalbu Larissa. Tak sepenuhnya hilang, tapi kabur seperti asap rokok Mang Ujang sebelum senja.

Part 10 - selesai

#sukaniqab
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd