Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

CHAPTER 4





POV Erga




“Jadi gimana rencana lo sekarang, bro?” tanyaku ke Arkana yang masih duduk santai di sofa hadapanku ini.

Matanya menatapku, tapi aku yakin tatapannya itu tidak sedang benar-benar padaku, melainkan tatapannya jauh di luar sana. Apa yang sedang engkau rencanakan lagi Arka? Sudah 20 tahun aku mengenalmu, tapi aku masih amat sulit untuk mengetahui isi dari otak cerdasmu itu.

Kaleng softdrink di tangannya ia gerak-gerakkan. Aku yakin, otaknya sedang memproses sebuah rencana baru saat ini.

“Sepertinya dalam waktu dekat ini, saya akan berada di sini” ujarnya tiba-tiba. Wajahnya tersenyum. Licik sekali senyuman itu.

“Lo… hmm, lo lagi ngerencanain apa sih?”

“Nope. Sedang tidak memikirkan apa-apa”

“Gak mungkin, gue kenal betul lo kayak gimana bro. Ayo, cepat cerita ma gue… perusahaan mana lagi yang mao lo akuisisi?”

Namun, aku mendapatkan jawaban hanya gelengan kepala darinya.

“Ya sudah, saya pergi dulu” ujarnya kemudian. Ia beranjak dari duduknya.

“Nah loh, cepet bener?”

“Sudah tak ada lagi yang ingin saya bicarakan denganmu, kawan. Jadi sebaiknya saya pulang untuk beristirahat”

“Trus, tujuan lo kesini ngapain?”

“Hanya ingin mengatakan, jika saya sepertinya akan lama di Indonesia”

“Memutuskan sesuatu yang tidak biasanya, tanpa alasan yang jelas, sepertinya juga bukan tabiat lo, kawan” aku membalas ucapannya. Sembari ikutan berdiri.

Pada akhirnya, pria di hadapanku ini melempar senyum.

“Oke sepertinya memang saya sulit untuk menyembunyikan ini padamu, bro. Well! Satu pertanyaan untukmu, dan saya butuh jawabannya sekarang juga” balasnya. Otakku langsung berfikir keras, menebak apa yang sebetulnya ingin dia tanyakan padaku.

“Bagaimana perkembangan hotel Crown setahun belakangan ini?”

“He? Lo mau akuisisi hotel itu? Bukannya hotel itu, milik Pak Hendra? Dan gue rasa….”

“Cukup jawab saja pertanyaan saya” ucapanku langsung di sela dengan cepat.

Aku berfikir sejenak. “Intinya, jika kamu ingin mendapatkan provit yang besar dalam waktu yang singkat, maka mengakuisisi hotel tersebut memang pilihan yang benar… apalagi saat ini, hotel tersebut masuk ke dalam jajaran 10 besar hotel yang sedang ramai mendapatkan kunjungan tamu baik dari dalam maupun luar negeri.”

“Oke noted!”

“Lah? Trus?”

“Trus apanya?”

“Hadeh bro… cuma itu doang yang pengen lo tanyain?”

“Tunggu kabar saya selanjutnya” ujarnya, lantas ia pun membalikkan badan untuk pergi dari sini. Aku juga tak bisa menahannya lagi.

Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam sambil melihat kepergian sahabatku hingga menghilang dengan di tandai pintu masuk yang awalnya ia buka, kembali menutup dengan rapat. Klik!

Sebetulnya apa lagi yang lo rencanain, Arkana? Aku membatin.









“Siapa yang datang Ga?” aku tiba di kamar, dan melihat Amisya sudah mengenakan pakaiannya kembali.

“Si Arka.”

“Eh? Astaga… kenapa kamu gak bilang-bilang sih? Padahal kan aku pengen ketemu juga ma dia” Aku hanya menggidikkan bahu saja pada wanita cantik ini.

Aku duduk di pinggir ranjang.

“Gimana keadaan kak Arka?”

“Gimana apanya?”

“Dia masih….” belum sempat wanita itu menyelesaikan pertanyaannya, aku sudah memberikan jawaban.

“Masih. Dan sepertinya sudah tak akan pernah berubah sampai kapanpun”

“Hmm…”

“Awalnya gue kira, kehadiran lo bareng gue waktu itu, bisa merubah segalanya. Bisa memberikan cahaya kembali di hidup dia, ternyata, gue salah”

Amisya ikutan menghela nafas.

“Iya sih Ga. Aku juga sejujurnya agak bingung dengannya. Bukannya kata kamu, dia sudah mencariku selama ini, namun, begitu bertemu denganku waktu itu, sikapnya biasa saja. Kayak, apa yang selama ini ku pikirkan waktu dari singapura lalu pulang ke Indonesia, yang kamu ceritakan itu cuma kebohongan semata.”

“Entahlah Sya. Sejujurnya, gue juga gak gitu paham apa yang sebenarnya terjadi di saat gue lagi absen di sisinya”

“Tapi, menurut kamu… dia gak.” tampak Amisya berfikir sesaat, aku menatapnya. “Dia gak kecewa saat bertemu denganku, kan? Maksudku, selama ini mungkin dia mengira aku cantik dan sempurna gitu, namun begitu bertemu langsung denganku, ternyata aku serba kekurangan”

Aku tersenyum. Ku tarik tubuhnya untuk duduk di sampingku.

Ku peluk wanita cantik ini, “Lo gak kekurangan apapun Sya. Lo cantik, lo seksi. Lo juga…. memiliki apa yang di idam-idamkan semua wanita di luar sana”

Amisya tampak mengangguk. “Apalagi sekarang lo udah di anggap adik kandung si Arka. Jadi, menurut gue, lo gak perlu kerja di LF pun hidup lo bakal tetap terjamin selamanya.”

“Iya sih”

“Jadi bukan karena lo, si Arka kembali dengan hidupnya yang sekarang ini. Pasti ada sebab yang lain, dan itulah yang lagi gue cari tahu selama ini tapi masih belum menemukan jawabannya”

“Kamu udah coba bertanya ke ketua Dewan?” tanya Amisya padaku.

Aku menarik nafas dalam-dalam. “Sudah.”

“Lalu?”

“Jawaban dia juga sama, dia tidak tahu menahu sama sekali”

“Kamu yakin, ketua Dewan gak tahu?”

“Entahlah… kalo liat dari gesture dia saat menjawab pertanyaan dari gue, seperti sedang menyembunyikan sesuatu”

“Dan kita gak bisa memaksanya” timpal Amisya.

“Ya. Memaksa kak Dev untuk jujur ke kita. Sama saja, untuk menyiapkan diri untuk hidup miskin”

“Hehehe kamu bisa aja, Ga”

“Dah lah, nanti kita pikirkan lagi…. so” aku lantas menatap wajah wanita ini. “Lebih baik kita lanjutkan lagi sesi kedua….”

“Duhhhh Erga. Kamu masih gak puas?”

“Yap!”

Dan yah! Akhirnya, aku pun menyergap wanita cantik ini, dan kembali menanggalkan semua pakaiannya yang sempat ia kenakan tadi.



-----00000-----​





POV Alana



“Mari makan….” aku baru saja selesai memasak dan sengaja mengajak Andi, Dewi dan kak Risna untuk makan bareng di kosanku.

Masak ala kadarnya sih, cuma entah mengapa aku suka aja hari ini mengajak mereka makan bareng di kosan. Meski tak seberapa, tapi aku yakin orang-orang terdekatku ini masih menyukai setiap apa yang ku masak.

“Wahhh masak apaan lo al?” tanya Dewi. “Tumbenan… hmm atau ada kejadian yang gak gue sadari ya? Hihihihi” sambil melanjutkan ucapannya, Dewi malah melirik ke Andi.

“Gak kok. Kebetulan pengen masak aja”

Di lantai beralaskan karpet ini, sudah tersedia beberapa potong ikan mujiar goreng, sayur kacang merah, serta sambel yang ku ulek dengan tanganku sendiri. Aku yakin, mereka akan menyukainya.

Sejujurnya, kalo di kosan kayak gini aku tak perlu mengenakan hijabku seperti biasanya. Aku hanya berhijab apabila ingin keluar rumah, jadi, bukan hal baru bagi Andi yang satu-satunya pria di sini melihat auratku. Eh! Ada Rafa juga deng.

“Fa. Mau mama Risna yang suapin, atau bunda?”

“Mama Lisna aja unda” balas putraku.

Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Karena memang harus ku akuin, keberadaan kak Risna ini, sedikit banyaknya membantuku untuk membagi kasih sayang pada putraku. Aku tak mau, dia terlalu bergantung padaku, karena saat aku meninggalkannya untuk bekerja, pasti, dia akan bersedih sejadi-jadinya.

Ya sudah.

Sepertinya aku gak perlu bercerita banyak lagi, lebih baik kami menyantap makan malam kami yang ala kadanya sekarang ini.



“Udah tau kalo Rafa gak suka makan kacang, malah tetap aja di masak” celetuk kak Risna saat ku sadari, dia sedang memilah-milah sayur dan kacang yang ada di piring makan putraku.

Aku menarik nafas dalam-dalam.

Sama seperinya.

Wajahnya…

Cara dia menatap….

Cara dia berbicara….

Cara dia tersenyum.

Dan yang paling aneh, selera makanannya pun tetap sama.

Tanpa sadar, ingatanku melambung jauh ke beberapa tahun yang lalu.







“Kenapa ka?” kala itu, untuk kali pertama aku sedang berbaik hati memasak special buatnya. Namun siapa yang mengira, masakan kesukaanku ini ternyata malah tidak di nikmati olehnya.

Pria ini. Pria yang perlahan-lahan mulai mengisi hatiku, pria yang selalu dan selalu membuatku merasa bersalah, sedang duduk di meja makan dalam rumah peninggalan almarhum ayahku. Ibuku yang baik hati dan tidak sombong. Hehe, rupanya mengerti, dan meninggalkanku hanya berdua dengan pria ini di meja makan, sedangkan beliau memilih untuk beristirahat saja di kamar.

“Gak enak ya masakan aku?” tanyaku, sembari menunjukkan wajahku yang tengah pura-pura cemberut.

Pria itu senyum. Ya Allah…. tampan sekali dia.

Aku masih seolah-olah merasakan ini sepertinya hanya sebuah mimpi, yang mungkin saja, cepat atau lambat aku akan terbangun dari mimpi yang indah ini. Apalagi, pertemuan kami di awali dengan kebodohanku yang menerima tawaran dari paman kala itu. Cuma, jika aku tak melakukannya, mungkin aku dan ibu sudah di usir dari rumah ini.

“Maafkan saya, Amisya. Masakan kamu, sungguh… enak banget. Cuma.”

“Cuma apa?” aku menatap wajah tampannya.

Sambil balas menatapku, tangan kanannya yang masih memegang sendok makan itu masih saja sibuk mengeluarkan semua kacang merah dalam piring makannya. “Cuma sejak kecil saya alergi makan kacang-kacangan”

“He? Kenapa kamu gak bilang ih? Tau gitu, kan aku gak bakal masakin”

Namun siapa mengira, pria itu malah langsung menyendok semua kacang merah yang telah ia pisahkan ke piring kecil lainnya, dan belum sempat aku bereaksi, sendok itu telah ia masukkan ke mulutnya.

“Astagaaaaa ka?”

“Gak apa-apa. Saya menyukainya.” ujarnya, sembari mengunyah semua kacang merah dalam mulutnya. “enak…. tuh, habis kan?”

Aku geleng-geleng kepala melihatnya. “Dasar.”

Kami pun melanjutkan makan sambil di selingi obrolan kecil, “Katanya alergi, tapi… malah bersih tak bersisa… dasar”

Pria itu tersenyum….

Tapi. Kali ini senyuman itu, langsung menyadarkanku jika ada yang berbeda kali ini. Senyuman itu, seperti senyum yang di paksakan, sedangkan ekspresinya seakan sedang menahan rasa yang entah itu apa. Apakah dia kesakitan?

“Ka? Kamu kenapa?”

“Gak apa-apa Amisya, saya baik-baik saja”

“Tidak… mukamu kok merah gitu? Mata kamu juga Ka. Ya Allah, kamu kenapa?”

Aku panik.

Ternyata, saat itu aku tak mengira, ternyata dia sedang menahan kesakitan yang luar biasa, karena terbukti, saat tiga jam setelah dia pamitan padaku untuk segera pulang karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan di rumahnya, aku mendapatkan telfon darinya jika dia harus keluar kota malam ini juga.

Aku tidak percaya.

“Gak… kamu gak boleh bo’ong ama aku, ka. Kamu dimana sekarang? Ayo jujur, jangan sampai aku tahu di kemudian hari, jangan pernah sekali-sekali menunjukkan muka di hadapan aku lagi”

“Jadi menurut kamu saya lagi dimana Amisya?”

“Gak tahu, karena hanya kamu dan Allah SWT yang tahu, kamu sedang dimana sekarang”

“Percaya sama saya,”

“Gak… aku gak percaya sekarang, pokoknya katakan sekarang, kamu lagi dimana?”

Belum juga ia menjawab, aku menyela kembali. “Aku bersumpah. Apabila kamu ketahuan bohong nanti, aku akan membencimu. Sungguh, aku tak bohong, ka”

“Segitunya?”

“Iya… pokoknya kamu dimana sekarang”

“Pfhhh, baiklah. Saya sekarang lagi di Rumah Sakit”

Dan seketika itu juga, sepasang mata ini menampung butiran kaca di dalamnya. Ternyata, dia sakit karenaku. Karena aku yang tidak tahu menahu mengenai alerginya terhadap kacang.



Singkat cerita…..



Aku ke rumah sakit yang di sebutkannya tadi di telfon. Begitu tiba, aku melihat pria itu sudah tertidur di ranjang rumah sakit, tangannya di infus.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku bersedih. Sungguh!

“Ka?”

Pria itu membuka matanya. “Kamu datang”

Aku mengangguk. “Iya ka. Ini aku. Datang untuk menebus kesalahan yang aku perbuat tadi padamu”

Pria itu menggeleng. “Gak…. sumpah demi apapun, kamu tidak bersalah dalam hal ini, Amisya”

Aku kemudian duduk di samping ranjang. “Kenapa kamu gak bilang, kalo kamu….”

“Sssttttsss… sudahlah, bukan perkara besar yang harus kita debatkan saat ini”

“Tapi?” tenang Alana. Kamu gak boleh menangis saat ini. Kamu harus kuat, kamu harus menunjukkan ketegaran di hadapannya, meski itu hal yang amat sangat sulit ku lakukan.

“Sejak awal bertemu denganmu, menemukanmu, saya sudah berucap sebuah janji. Jika saya tidak akan pernah membuatmu bersedih, tidak akan pernah sama sekali membuatmu kecewa, meski sekecil apapun itu.”

Aku hanya bisa diam, sembari menahan perasaanku di dalam sana.

“Jangan menangis, Amisya” lengan kokoh pria itu, terulur untuk menyentuh wajahku.

“I… iya… aku janji aku tidak akan menangis” meski sulit sekali aku menahannya, ka.

“Ingat janji saya, Amisya…. saya tidak akan pernah membiarkan, mata indahmu mengeluarkan setetespun air mata karena merasa bersedih, merasa kecewa.”

“Itulah janji saya, janji seorang laki-laki yang amat sangat menyayangimu. Bukan… bukan hanya sekedar menyayangimu, melainkan, saya amat sangat mencintaimu.”

Dan detik itu jugalah, tangisanku meledak dan segera memeluk tubuhnya. “Maafkan aku…. ka… maafkan aku. Hiks… hiks…. janjiku tidak ku tepati. Janjiku untuk tidak menangis, ternyata ku ingkari…. hiks…. hiks”

Pria ini hanya terdiam, namun aku begitu merasakan bagaimana perasaannya, bagaimana cintanya padaku begitu besar.

“Selalu ingat janji saya, saya tidak akan pernah membuatmu menangis karena bersedih. Amisya”

Ya Allah….

Kuatkan hamba.

Kuatkan hamba nantinya…..

Aku bersedih, sekaligus aku juga takut. Bagaimana nanti, di saat pria ini mengetahui yang sebenarnya. Hiks…. hiks…. hiks….

“Jangan menangis lagi Amisya. Saya sudah berjanji padamu, dan, pantang bagi saya untuk mengingkarinya”









Tapi sekarang, janji itu telah engkau ingkari, ka.

Aku menangis. Kamu kembali membuatku menangis, karena kenangan kita.



“Mama… kenapa unda nangis?”

Aku tersadar, rupanya, semua orang yang berada di dalam kosanku, menghentikan makannya sesaat, menatap ke arahku yang rupanya sedang mengeluarkan air mata.
 
Alana dan Amisya apakah orang yg sama ya? Asli bikin penasaran nih ceritanya. Kelas berat punya euy
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd