Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

Menarik nih.
Alana = Amisya palsu tapi Erga gak tahu sama sekali.
Dia malah sering ketemu sama Amisya yg asli.
Jadi penasaran ntar gimana
 
Ah gila ini cerita, plotnya ga bisa ditebak. Bacanya kudu pelan2 sambil dicermati kata per kata. Awalnya udah nebak klo Alana dan Amisya itu 1 orang, ternyata eh ternyata 2 orang yg berbeda. Patut ditunggu kejutan selanjutnya ini
 
CHAPTER 7



POV Erga



Aku masih bingung kenapa tiba-tiba sahabatku ini memutuskan untuk meninggalkan mall, apalagi perutku saat ini sedang menuntut untuk sesegera mungkin di isi. Ah sialan lo emang Arka.

“Erga” sesampainya di luar, sahabatku langsung menghentikan langkahnya, menoleh memanggilku.

“Ye… kenapa sih lo? Gak mungkin lo tiba-tiba punya kesibukan lain, kan.”

Arka lantas mengangguk, “Ada yang tidak beres dengan ini” ujarnya sambil menunjuk dada kirinya.

“Ha??? lo kambuh lagi?” aku panik.

Bagaimana tidak, dia memiliki penyakit jantung lemah yang setiap saat bisa mengancam nyawanya. Seharusnya, kalo 4 tahun yang lalu dia mau mengikuti keinginan ketua Dewan untuk melakukan operasi di Jerman, peluang dia akan sehat seperti sedia kala sangatlah besar.

Aku jujur gak begitu jelas mengetahui apa motif di balik pembatalan dia berangkat ke Jerman kala itu. Yang aku ingat, saat aku menjelaskan padanya di telfon jika aku sudah bertemu dengan Amisya asli di singapura, dia meminta Robert, assistenku yang sampai saat masih setia menemaniku, untuk segera kembali.

Sudah….

Setelah itu, aku dan Amisya pun yang ku temui di singapura, merencanakan untuk kembali ke Indonesia seminggu kemudian.

Setelah kejadian itu, Arka juga sangatlah susah untuk di hubungi. Bahkan ketua dewan sendiri juga sulit menghubunginya, pada akhirnya beliau memintaku tolong untuk sesegera mungkin kembali ke Indonesia, untuk mencari tahu ada apa dengan adik kesayangannya itu.

Tiket kami majukan.

Aku dan Amisya kembali ke Indonesia.

Ternyata, begitu aku tiba di rumah pribadi Arka yang berada di perumahan elite, dia tampak baik-baik saja. Dia sedang bermain game malahan kala itu.

Hadehhh!







Yang lebih anehnya lagi, saat dia bertemu dengan Amisya yang asli, sikapnya amat sangatlah jauh dari yang ku bayangkan selama ini.

“Ar. Dia Amisya… Amisya yang asli, Amisya Larasati yang selama ini lo cari keberadaannya”

Arka kala itu, langsung menghentikan gamenya yang sedang ia mainkan di layar besar dalam ruang santainya ini. Dan yah, seperti yang ku ceritakan, perkenalannya dengan Amisya sangatlah jauh dari yang ku perkirakan. Awalnya aku mengira akan adanya kejadian yang membuat mataku berkaca-kaca, namun, nyatanya biasa saja. Arka tetap mengajaknya mengobrol, mengajaknya bercerita banyak hal mengenai bagaimana hidup Amisya selama ini yang rupanya, gadis itu mendapatkan orang tua asuh sebulan setelah foto yang selalu dan selalu di tunjukkan Arka padaku itu dan mereka semua pindah ke Medan sana.

Selang setahun kemudian, rupanya orang tua angkat Amisya di pindah tugaskan ke Singapura hingga hari itu, hingga papa angkatnya pensiun dan memutuskan untuk tetap menetap tinggal di singapura. Pantas saja, Arka benar-benar kehilangan jejak Amisya. Wong Arka hanya fokusnya mencari gadisnya itu di Indonesia.

Apakah kalian akan sepemikiran denganku, jika Arka akan mengajak Amisya untuk menjalin sebuah hubungan?

Rupanya aku salah.

Arka malah mengajak Amisya untuk bekerja di kantor yang baru dia bangun bersamaku. Amisya senang-senang saja, apalagi dia mendapatkan jabatan penting di perusahaan. Setelah itu, Arka pun bersikap seperti biasa saja padanya. Benar-benar tak ada yang special dari mereka berdua, secara pengamatanku selama itu.

Oh iya, sempat pula aku tanyakan bagaimana kabar Amisya palsunya itu yang sempat membuat Arka berbunga-bunga. Tahu apa yang di katakan Arka padaku kala itu?

“Ya elah bro. Kamu mengira saya benar-benar jatuh cinta padanya? Hahahaha, kamu sangatlah lucu kawan. Saya hanya mempermainkannya saja, dia hanya saya anggap sebagai boneka pengisi kesepian ini saja, tidak lebih” namun, saat bercerita itu, aku menanggap adanya sesuatu yang masih di sembunyikan rapat-rapat olehnya.

“Trus, dimana dia sekarang? Jadi apa yang terjadi pas lo tahu kalo dia sudah menipu lo?”

Arka hanya menggidik. “Saya hanya menyuruhnya untuk pergi. Dan jangan pernah muncul di hadapan saya lagi, kalo tidak mau, hidupnya akan saya buat sulit di kemudian hari”

Baru juga ingin ku sela, Arka kembali berbicara, “Termasuk, orang yang masih bertanya-tanya mengenai dia… siapapun dia, saya juga akan berlakukan hal yang sama. Paham?”

Gilssss….

Dia menyinggungku.

Aku hanya bisa mendengus kala itu.

Ya! Dia memang punya kemampuan untuk melakukan itu semua. Wong! Dia orang berduit kok. Duitnya gak berseri. Sedangkan aku? Sudah syukur menjadi orang kepercayaannya, dan itu yang amat ku jaga sampai saat ini. Kapan ku langgar, maka mungkin saja Arka tidak akan segan-segan mempersulit hidupku di kemudian hari.

Aku saat itu, benar-benar tak mau lagi menyinggung keberadaan Amisya palsunya itu. Yang hanya ku tanyakan beberapa kali, bagaimana kondisinya, lalu, bagaimana kelanjutan rencana kami semua untuk mengajaknya ke Jerman, untuk melakukan operasi? Jawabannya simple, “Saya baik-baik saja kok. Dan saya juga sedang tidak sakit, lantas buat apa saya harus capek-capek untuk melakukan operasi?”

Tak dapat jawaban yang membuatku puas, aku berpindah. Aku menanyakan ke ketua dewan, apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi kejadian di saat aku absen menemani sahabatku ini. Jawaban ketua dewan pun, adalah jika dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Alhasil, pertanyaan dalam hatiku pun menggantung begitu saja sampai hari ini.



Singkat cerita.



Saking seringnya bertemu, seringnya jalan bareng. Maka aku memiliki ketertarikan pada Amisya. Namun sebelum aku melangkah lebih jauh, aku harus bertanya pada Arka. Aku tak ingin melangkahinya, karena apabila dia juga punya hati pada Amisya, maka pilihan untuk mundur adalah pilihan yang amat sangat tepat.

Meski, memang aku sama sekali tak pernah melihat tanda-tanda jika Arka memiliki perasaan terhadapnya. Namun, aku tetap harus menanyakan padanya, setidaknya mengajaknya mengobrol empat mata.



Kala itu….



Aku mendatanginya di rumah. Rumah tempatnya selalu dan selalu menjadi alasan baginya untuk beristirahat. Rumah mewah yang hanya di huni ia sendiri, sedangkan para pembantu di rumah itu hanya datang sesekali untuk membersihkan rumah. Sedangkan untuk makan, Arka jarang makan di rumah. Dia selalu keluar sendirian untuk makan. Kadang pula, dia menyusahkanku, di saat aku ingin beristirahat, dia malah datang ke appartemenku yang lama, membawa makanan yang ia beli di luar dan mengajakku untuk makan bersama.

“Ada apa, Erga? Saya lagi malas untuk di ganggu” begitu ujarnya saat dia membukakanku pintu rumah.

“Lagi pengen ngobrol santai aja. Pun gue juga lagi males ngajakin lo keluar”

“Kenapa gak di appartemenmu saja?”

“Udah lah, cerewet banget sih lo” aku pun memaksakan diri untuk masuk ke rumahnya. Dia mengikutiku. Tanpa menawarkan apapun padaku, pula.

Aku berinisiatif untuk pergi ke kulkas yang ada di ruang tengah sana.

“Gak ada bir di rumah ini.”

“Tapi minuman ringan pasti ada kan?” ujarku tanpa menoleh padanya yang sedang duduk di sofa.

“Ya…. sekalian ambil dua buat saya juga”

“Sipp….”

Tak lama aku kembali membawa 2 kaleng minuman.

“Nih…” ku berikan dia satu kalengnya dan dia menerimanya.

“Baiklah… apa yang ingin kamu obrolkan?” tanyanya padaku.

Aku meneguk minumanku sesaat, kemudian ku tatap wajahnya yang rupanya sejak tadi, ia menatapku dengan penuh selidik.

“Ini tentang Amisya.” sambil ku letakkan kaleng minumanku di atas meja.

“Amisya?” dia bergumam.

Aku mengangguk. “Ya Amisya.”

“Kamu menyukainya?” Gelo, tanpa basa-basi dia langsung menembakku.

“Ya… tapi, gue gak mau melangkahi elu. Kalo lo suka, gue bakal mundur”

“Hmm… saya sedang tidak tertarik dengan wanita manapun sekarang”

Aku membelalak. “Jangan bilang……” belum juga ku selesaikan, dia melemparku kaleng bekas minumnya.

Sialan. Untung saja gak kena di kepala.

“Saya masih normal. Tidak menyukai sesama batang.”

“Ohhh kirain”

“Ya intinya. Dia sudah saya anggap sebagai adik. that’s it. Tidak lebih. Jadi jikalau kamu menginginkannya, silahkan. Saya tidak akan melarang, cuma saya hanya mengingatkan saja, jika ada masalah yang timbul di hubungan kalian, maka saya mau, kamu bertanggung jawab”

Aku menghela nafas. “Ya. Gue ngerti maksud lo, kawan”

“Ya sudah, ada lagi yang ingin kamu obrolkan?” begitu tanyanya. Sudah pertanda bagiku untuk segera meninggalkannya sekarang juga.

Apa sebenarnya isi dari otak lo itu sih, Arka? Gue sampai sekarang masih bingung dengan yang lo pikirkan. Seriusan. Dengan mudahnya, lo ngasih Amisya ke gue? Padahal jelas-jelas lo lah yang selama ini mencarinya. Aku membatin.

Dan setelah kejadian itu, aku pun mulai dekat dengan Amisya. Bahkan bukan hanya itu saja, dengan terang-terangan - yah! Bukan mauku juga sih, karena dia sudah seperti penyusup gitu yang kerap kali datang diam-diam ke appartemenku - mengetahuiku bersama Amisya sedang berasyik masyuk di sana.

Dia biasa saja. Tidak menunjukkan sama sekali sikap tidak sukanya karena aku sudah menikmati tubuh gadis yang di carinya selama ini. Ya sudah, itu artinya aman. Karena aku tahu betul, bagaimana dia akan bersikap apabila tidak menyukai sesuatu. Apalagi kalo ada hubungannya dengan perasaannya.

Apakah sampai situ saja?

Ya, hanya sampai situ. Karena Arka benar-benar mengubur dalam-dalam tentang Amisya palsu yang biasanya dengan penuh kebahagiaan, dia ceritakan padaku saat kami sedang mengobrol di telfon. Namun, apapun itu, aku masih yakin, jika dia memang sedang menyembunyikan rahasia besar dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya.

Robert? Pasti kalian akan menanyakan bagaimana dengan Robert?

Apakah kalian mengira aku tidak menanyakannya?

Kalian salah. Aku sempat menanyakan pada Robert, cuma dia memang juga tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya mengatakan padaku, jika selama ini, apabila Arka ingin bertemu dengan seseorang, dia tidak pernah ingin di ketahui orang lain.

Endingnya, saat Robert di suruh stand by di kantor, di hari keberangkatannya Arka ke Jerman. Tiba-tiba Robert mendapatkan telfon dari Arka untuk segera menjemputnya di alamat yang di berikan Arka kala itu. Bukan di depan rumah seseorang melainkan di sebuah mini market. Lalu terjadilah masalah itu. Aku menelfonnya dan mengabarinya mengenai masalah Amisya ini. Rupanya Robert hanya mendapati Arka sempat menelfon seseorang, yang sama sekali tak di ketahui oleh Robert.

Arka juga di telfon hanya mengatakan.

“Bagaimana, sudah mendapatkan informasinya?”

“Oke… berarti info tersebut valid….!!! terima kasih untuk informasinya.”

Sudah. Hanya seperti itu, jadi aku berkesimpulan, Arka sedang menggali informasi lebih dalam lagi tentang si Amisya palsu itu dengan berkomunikasi melalui pesan saja. Lalu setelah dia mendapatkan informasi tersebut, Arka akhirnya menelfon orang yang ia suruh dengan kalimat yang di jelaskan Robert itu padaku.

“Tapi bos”

“Tapi apa, Bert?” tanyaku penasaran.

“Baru kali itu, aku lihat AGS keliatan memang sangat tenang. Tapi sorot matanya menyimpan dendam yang amat sangat besar.”

“Ya hal wajar kalo itu Bert. Karena dia baru saja di tipu oleh seorang gadis” begitulah kesimpulan yang ku ambil.

“Apakah mungkin, AGS melenyapkannya?”

Gilssss….

Gak mungkin sih, eh…. cuma mungkin saja. Apalagi Arka juga benar-benar seperti tak ingin membahas masalah tersebut.

“Entahlah Bert. Gue juga takut kalo bertanya lebih jauh ke Arka. Dia bakal marah,”

“Sama bos”

“Ya udah, berarti memang sudah saatnya kita untuk tidak lagi membahasnya. Kalo gak mau, kita bermasalah dengan Arka”

“Setuju bos. Toh! Setiap orang pasti memiliki rahasia sendiri yang tak ingin di ketahui orang lain”

“Tapi kan gue bukan orang lain, Bert”

“Kalo bos berfikir seperti itu, ya udah, silahkan tanyakan langsung ke AGS”

“Kagak! Gue mending memilih diem, daripada gue kena krisis kepercayaan dari dia”

“Setuju bos”







Akhirnya, acara makan siang pun ku lakukan sendirian setelah mengantarkannya ke Rumah Sakit untuk menemui dokter Alex. Aku awalnya menawarkan untuk menemaninya, cuma dia menolak.

Di jalan, aku pada akhirnya menelfon ketua dewan dan menceritakan padanya jika sepertinya Arka kambuh lagi. Ketua Dewan hanya berpesan, jika memang benar adanya, dan jantung Arka bermasalah lagi, segera kabari beliau, dan beliau akan segera terbang ke Indonesia untuk bertemu dengannya.

“Tenang saja, Ga. Saya akan menelfon dokter Alex juga…. karena pasti, Arka akan menemuinya jika terjadi masalah sama jantungnya”

“Iya, kak. Barusan juga aku mengantarnya ke sana”

“Good Ga. Keputusan yang bagus.”

Akhirnya, obrolanku dengan ketua dewan terputus. Aku pun berusaha untuk mencoba tidak berfikir dulu, karena perutku benar-benar harus di isi segera. Hadeh! Gegara Arka nih, bisa-bisa asam lambungku kambuh lagi.


-----00000-----​





POV 3rd



Sehari setelah kejadian, Alana bertemu kembali dengan sosok yang selama ini meninggalkannya.

Malam hari, di kosannya, Alana yang baru saja selesai makan malam bersama Rafa putranya, tiba-tiba saja, Alana mendapati sang anak seperti sedang menahan rasa sakit di dadanya.

“Astagfirullah…. kamu kenapa nak?” wajah cantik itu mulai menunjukkan kepanikan. “Kak… kak Risna… Rafa kak” kemudian, karena dia mulai panik, dan paniknya amat sangatlah berlebihan, dia memanggil Risna, tetangga kosannya yang juga selama ini membantunya untuk merawat sang buah hati.

“Astaga…. Rafa kenapa al?” tanya Risna saat tiba dan segera masuk ke dalam.

“Sepertinya penyakitnya kambuh lagi kak”

Kedua wanita itu, tanpa sadar sama-sama di landa kepanikan yang teramat sangat. Jangan tanyakan bagaimana yang terjadi pada Alana. Sepasang mata indah kebiruannya itu sudah menitihkan air mata.

Tanpa menunggu lagi, dia pun memesan taksi online.

“Unda… dada Fafa sakit. Undaa…. hiks… hiks….”

“Iya… iya nak. Rafa yang sabar ya nak. Bunda akan bawa Rafa ke rumah sakit sekarang”

“Ya Allah…. Al…. taksinya mana sih?”

“Tunggu kak… ini udah di dekat sini” Alana semakin panik.



Lima menit kemudian.

Taksi online yang dipesannya, akhirnya tiba dan segera membawa pergi mereka bertiga menuju ke Rumah Sakit.

Butuh waktu setengah jam akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Tampak Alana langsung menggendong tubuh Rafa kecil di ikuti oleh Risna yang menemaninya, menuju ke UGD.

Rupanya di sana, Andi juga sudah stand by, karena saat di jalan tadi, rupanya Risna sempat mengabari Andi melalui pesan WhatsApp mengenai kondisi Rafa yang sedang kambuh, dan kini, mereka sedang menuju ke RS Prima Nusantara Sandjaja.

Setidaknya, Risna agak lega karena ada seorang pria yang menemani mereka. Pun, apabila harus mengeluarkan biaya nantinya, Andi tentu tak akan ragu mengulurkan bantuan pada Alana dan putranya. Yah! Meski, Alana tentu sudah mempersiapkan hal ini dengan menggunakan jasa asuransi kesehatan milik negara. Pasti paham lah, asuransi kesehatan apa yang di maksud.

Setelah melakukan pemeriksaan awal oleh dokter umur di ruang UGD, akhirnya, setelah pun di lihat riwayat di kartu periksa pasien, dokter tersebut memutuskan untuk memanggil dokter yang ahli dalam penyakit yang di derita anak itu.

Dokter Alex yang juga telah menangani Rafa sedari bayi, akhirnya tiba. Dan segera turun tangan untuk memeriksa kondisi anak kecil itu.

Hingga setelah dokter Alex melakukan pemeriksaan yang menyeluruh, dia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Ibu Alana…” dokter Alex lantas mengajak Alana untuk berbicara saat itu juga.

“I… iya dok. Bagaimana kondisi anak saya?”

“Sepertinya kita tak bisa menundanya lagi”

“Ma.. maksud dokter?”

“Harus segera di lakukan operasi”

Sekujur tubuh Alana langsung lemah dan lunglai. Untung saja, Risna dengan sigap langsung menahannya agar tak terjatuh.

“Te… terus. Ka… kapan akan di… dilakukan operasi, dok?”

“Besok… tapi.”

“Tenang dokter. Lakukan prosesnya secepatnya, masalah biaya, nanti kami usahakan” itu Risna. Dia yang langsung menjawab, meski dia tahu kondisi Alana saat ini masih belum ada pegangan untuk membayar semua biaya operasi Rafa yang juga telah ia ketahui jumlahnya. Karena memang, sebelumnya, kejadian ini pernah terjadi 3 bulan yang lalu. Dan Alana akhirnya membatalkan melakukan operasi karena biaya yang harus di keluarkannya sangatlah banyak.

Dia harus mencari duit sebanyak itu dimana?

“Bailah. Kalo begitu, silahkan mengurus administrasi di depan untuk proses inap pasien” ujar dokter Alex selanjutnya, “Saya tinggal dulu ya, karena saya juga harus memeriksa satu pasien lagi yang penyakitnya sama persis dengan yang di alami putra anda”

“Ba… baik dok”







Dalam kamar pasien VIP. Dokter Alex baru saja tiba.

Dia hanya geleng-geleng kepala melihat pasien yang di tanganinya sejak kemarin, sudah berpakaian lengkap. Bukan kali pertama, hal ini terjadi. Pasiennya itu seperti masa bodoh dengan penyakit yang di deritanya itu. Buktinya, sekarang dia sudah siap-siap akan pergi meninggalkan rumah sakit. Rasa-rasanya dokter Alex ingin memarahinya.

“Sudahlah dok. Saya masih baik-baik saja, bukan?”

“Arkana… kamu sedang tidak baik-baik saja. Dan ini, kenapa sih, susah sekali untuk berada di sini saja? Kenapa harus memaksa diri untuk keluar dari rumah sakit?”

“Apabila saya hanya santai disini, saya khawatir, seluruh karyawan yang menggantung nasib pada perusahaan saya, akan terkena imbasnya”

“Kamu ini. Ada Erga yang menghandlenya. Lagian, LF tidak akan jatuh hanya karena pemiliknya di rawat di Rumah Sakit” dokter Alex mendengus. “Ayolah…. saya akan membiarkanmu keluar jikalau hasil pemeriksaan keseluruhan saya sudah selesai”

“Loh bukannya udah?” pasiennya itu malah sudah berjalan. Dan sepertinya akan siap-siap keluar dari kamar inap kelas VVIP ini. Ruangan yang memang di bangun dan di khususkan hanya untuk pasien ini saja.

“Belum… kemarin saya hanya memeriksa detak jantungmu saja. Meski….”

“Bener kan, gak ada masalah?”

“Arkana… kamu itu sedang tidak sehat”

“Saya janji, saya akan datang lagi besok”

“Ini sudah jam 8 malam, kenapa harus pulang ke rumah? Kenapa tidak tidur saja di sini, toh! Kamar ini tak ada bedanya dengan kamar kamu di rumah”

“Hmm….”

“Ayolah Arka. Atau perlu, saya menelfon Bu Devita dan mengatakan kalo jantung kamu lemah.”

“Eh jangan.” pasien itu langsung panik. Karena dia paham betul, apabila wanita yang di sebutkan dokter Alex itu sampai datang kesini, dia jugalah yang akan kerepotan nantinya. “Jangan biarkan dia kesini… oke, kali ini anda menang, dokter. Saya akan menginap di sini”

Dokter Alex akhirnya menghela nafas lega, sembari bergumam. “Andai saya bisa menggantikan posisimu dengan anak itu, mungkin akan saya lakukan sejak tadi.”

“Eh maksud anda dok?”

Dokter Alex membuka kaca matanya. Dia duduk di sofa, dan di ikuti oleh pasiennya itu. Mereka akhirnya duduk di sofa, saling berhadapan. Tatapan dokter Alex seperti jauh keluar sana.

“Saya mempunyai seorang pasien. Anak kecil. Umurnya 3 tahun kurang…”

Pria di hadapannya itu hanya mengernyit.

“Penyakitnya sama persis dengan penyakit kamu, Arka…. tapi, bedanya, dia tidak memiliki kemampuan yang engkau miliki saat ini. Sedangkan kamu, semua kamu miliki.” dokter Alex mengambil jeda.

“Anak itu, beserta ibunya memiliki keinginan yang begitu besar untuk melakukan operasi, tapi sayang….”

“Dia tidak memiliki biaya?”

Dokter Alex mengangguk.

“Anda yang salah dokter. Anda yang telah mematok harga operasi yang tak terjangkau oleh mereka”

Dokter Alex mendengus. “Rumah Sakit ini, milik anda, Arkana Ghali Sandjaja. Apa kamu lupa, siapa yang mengakuisisinya 2 tahun yang lalu, dan menambahkan nama belakangnya dengan nama anda?”

Pria di hadapan dokter Alex ini, hanya tersenyum. “Berati salah saya?”

“Secara langsung tidak, cuma… target profit yang anda berikan buat kami semua para pengelola Rumah Sakit, sangatlah tinggi.”

“Ohh. Itu hal yang berbeda. Karena saya juga tidak mau merugi”

“Ya sudahlah, saya sepertinya sedang tidak berminat untuk membahas hal itu. Silahkan kamu beristirahat, saya ingin melihat pasien saya yang lain.”

“Ya silahkan dok.”

“Permisi….”

Dokter Alex pun pergi meninggalkan ruangan itu, untuk bertemu dengan pasien lainnya lagi.

“Apa asyiknya di dalam ruangan ini. Sepertinya, saya harus mencari udara segar di luar. Toh! Saya juga masih tidak melanggar janji dengan dokter Alex.” dia tersenyum penuh arti, kemudian, pria itu pun ikut keluar dari ruangan.







Rafa, putra Alana akhirnya mendapatkan kamar.

“Al… kamu tenang saja, masih ada aku di sini”

Alana, yang sedang mengobrol dengan Andi di dalam ruang inap hanya bisa menggeleng. “Jangan Ndi. Aku tidak ingin merepotkan kamu”

“Terus apa kamu akan tetap seperti ini? Bagaimana dengan Rafa?”

Alana hanya bisa menarik nafas sedalam-dalamnya, karena dia juga masih belum menemukan jalan keluarnya saat ini.

“Biarkan saya menanggungnya.”

“Andi… apa kamu tahu berapa biaya operasi Rafa?”

Andi menggeleng.

“150 juta, Andi. Dan aku rasa, kamu tidak memiliki uang sebanyak itu” Dan benar saja, Andi langsung tertunduk lesu. Sebagai seorang karyawan meski mempunyai jabatan penting di kantornya, dia juga bukanlah seseorang yang hidup dari warisan keluarga kaya raya.

“Kenapa bisa sebanyak itu?”

“Itu hanya perkiraan saja, sesuai apa yang dikatakan dokter Alex 3 bulanan yang lalu”

“Tunggu… kalo begitu temani aku untuk menemui dokter Alex. Ayo kita tanyakan padanya berapa biaya fixnya”

“Haruskah?”

“Harus Alana. Biar kita bisa menyiapkannya. Kamu tenang saja, meski aku tidak memiliki uang cash sebanyak itu, tapi, aku masih mempunyai BPKB mobil dan juga sertifikat tanah yang bisa ku gadaikan untuk menambah biaya operasi Rafa”

“Jangan An-” Andi menyela dengan cepat.

“Kali ini, jangan menolak Alana”

“Al… kenapa kamu harus bertahan seperti ini sih?” Risna yang menemani Rafa di ranjang sana, langsung datang menghampiri. “Ini demi Rafa, al.”



“Permisi…” tiba-tiba dokter Alex tiba, dan menghentikan obrolan mereka bertiga. Tampak dokter Alex datang bersama seorang dokter muda lainnya.

“Iya dok”

Dan pada akhirnya, dokter Alex bersama dokter muda itu melakukan pemeriksaan pada Rafa.

“Alana… jangan menolak pemberian dariku lagi. Ku mohon….”

Alana tak bisa ngomong apa-apa.

“Kita ngobrol di luar, Ndi”

“Baik”

Keduanya pun keluar dari kamar, dan meninggalkan Risna yang mendampingi dokter Alex di dalam sana.



Mereka berdua berjalan menjauh dari kamar inap, hingga terhenti di dekat taman tengah.

“Kenapa…. apalagi yang ingin kamu obrolin Alana?”

“Andi kamu tahu kan, kalo aku….”

“Aku tahu al. Aku juga tahu kalo kamu menerima bantuan dariku, kamu malah akan terbebani. Tapi kamu salah al. Aku membantu kalian tidak memiliki maksud apa-apa. Apalagi sampai adanya keinginan untuk memaksamu menerimaku. Meski hal itu amat sangat ku harapkan sejak dulu”



“Iya tapi……………………..”



Alana tak melanjutkan kalimatnya, saat matanya spontan membelalak menyadari keberadaan seseorang yang berdiri di dekat mereka.

Sangat dekat.

Sampai-sampai Andi yang menyadari hal itu, langsung cepat tanggap dan ingin menegurnya.

“Ndi…” Alana langsung menegur Andi, sembari menggelengkan kepala.

Sedangkan sosok yang berada di dekat mereka. Tetap diam, menatap ke dalam mata Alana. Seakan tatapan itu menghujam tepat di jantung Alana.

Beberapa jenak, mereka bertiga hanya diam saling berpandangan.

Hingga, sosok itu hanya menyeringai, kemudian memutuskan untuk segera pergi meninggalkan mereka berdua.

Alana, yang sejak tadi berusaha untuk menahan gelombang besar di sepasang matanya yang memaksa untuk mengeluarkan air bah yang teramat besar, seakan merasakan kelegaan yang begitu besar saat menyadari sosok itu akan segera pergi.



Namun tiba-tiba…..



“Al…. Alana…. astgfirullah…. kamu kakak cari-cari ternyata di sini” Risna muncul dan tampak ngos-ngosan.

Tanpa mereka sadari, sosok yang sempat membuat Alana dan Andi diam membeku dan membisu, menghentikan langkahnya, posisinya tentu saja sudah membelakangi mereka.

Rupanya Risna tidak sendiri, dia bersama dokter Alex tiba.

“Ibu Alana. Rafa mengalami gejala gagal jantung. Dan harus segera di operasi malam ini juga”

“Iya Al… Rafa di kamar sudah tidak sadarkan diri”

“Ya Allah… Ya Allah…. bagaimana ini…. bagaimana ini” Alana mulai panik. Matanya akhirnya berhasil mengeluarkan seluruh air mata yang sejak tadi tertahan di sana.

“Dan satu lagi…. kami membutuhkan tambahan darah O+ malam ini juga dari luar rumah sakit, karena kebetulan stock darah O+ di rumah sakit sedang menipis.”

“APA?”

“Darah kamu apa al?” Andi bertanya.

“A, Ndi”

“Kalo bu Risna?” dokter Alex bertanya ke Risna.

“Sama, darah saya juga A, dok”

“Hmm seharusnya anda darah O+, pak. Karena biasanya itu, seorang anak cenderung memiliki golongan darah yang sama dengan ayahnya” kata dokter Alex selanjutnya, tertuju ke Andi.

“He?”

“Dia bukan ayah anak saya dok” Alana dengan cepat menjawabnya. Pada akhirnya Andi hanya mengangguk pasrah, apalagi dia juga memang bukan dari golongan darah O+.

“Ya sudah, intinya…. saya berharap kalian bisa secepatnya mendapatkan darah O+. karena sekarang saya harus meninggalkan kalian dan menyusul ke ruangan operasi. Karena anak anda sudah di bawah ke ruangan operasi dengan dokter Tedi tadi”



Tiba-tiba…



“Dokter Alex…. anda tahu golongan darah saya, O+ bukan?”

Alana, rasa-rasanya ingin pingsan di tempat saat mendengar suara itu. Bukan hanya itu saja, sosok yang baru saja bersuara itu kini sudah berdiri di dekat mereka.

Alana panik, dan mulai membatin.

Tidak….

Jangan….

Tidak. Dia tidak boleh mendonor.

Dia tidak….

Tapi gagal, sosok itu melanjutkan ucapannya dengan cepat, “Saya bersedia mendonorkan darah saya pada pasien anda”​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd