Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Wah baru ngikutin ceritanya dan keren.. detil ceritanya ngingetin masa masa ane lulus kuliah. HP nokia seri N, brtv dgn sevelnya yg kynya merujuk ke trans wkwk..
Klo untuk temanya berasa nonton drama korea tp lupa judulnya. D tunggu update nya hu
 
Kalau ane sih gak kepikiran ini bakal ke film apa

Cuma pas si erik udah marah sama istrinya dan ketmu ibu ibu jual donat itu dah bagus banget

Ane berharap sih cuma ada side story kebangkitan sang suami dan penyesalan istri wlwpun suami masih nafkahin

Walaupun mantan datang memghantui tp semua berjalan alur sampai si erik jd pemegang posisipentig dan memiliki saham di perusahaan tsb

Gitu sih

It's a little more complicated than that...

Mungkin di timeline 2019, bisa ditambahkan "Liverpool juara UCL.." 🤣

:D :D :D
Pastinya sih ada alasan kenapa Piala Dunia dimasukkan timeline :D

Wah baru ngikutin ceritanya dan keren.. detil ceritanya ngingetin masa masa ane lulus kuliah. HP nokia seri N, brtv dgn sevelnya yg kynya merujuk ke trans wkwk..
Klo untuk temanya berasa nonton drama korea tp lupa judulnya. D tunggu update nya hu

Ya, emang inspirasinya dari situ hu, tapi ane gabungin dengan beberapa referensi lain juga.

Pssst... jangan disebut keras2 nama tempatnya hu, hehehe, walau ada anakronisme jg sih...




Aaah, rupanya sudah hari Rabu ya...
 
bagus, alurnya mudah dipahami kok. jarang2 ada yang mengangkat ide cerita isekai. lanjutkan hu
 
Chapter 7:

A Little Thing Called New Dawn


Tahun 2010

Sudah beberapa bulan semenjak terakhir aku meninggalkan Jakarta setelah gagal dalam tes RBTV, dan kali ini aku kembali dengan lebih kuat lagi. Ya, sejarah kini benar-benar telah berubah. Dengan bantuan pengalamanku, aku pun berhasil wisuda pada Oktober 2009, alih-alih Januari 2010 di timeline asliku. Selama itu pula, bukan lagi Rini, melainkan Metta yang menemani dan menyemangatiku dalam skripsi. Entah karena memang kami sudah resmi berpacaran, atau karena aku kini memberikan plan yang jelas, Metta jadi lebih semangat dalam mendorongku untuk cepat lulus.

Akhirnya, aku pun lulus, dan mendapat pekerjaan di ASV Agency, tempat kerjaku yang sama dengan yang di timeline asal. Juga, sebagaimana timeline asal, aku pun kembali lagi ke kosan Ci Lily.

Mungkin kalian penasaran, kenapa setelah tahu bagaimana jalan hidupku, aku tak memilih yang lain? Percayalah, ada yang harus kulakukan di ASV Agency untuk saat ini, sementara kosan Ci Lily, well, lebih karena praktis saja, karena hanya itu kosan yang kutahu dekat dengan kantor dan bisa kubayar dengan bekal awalku.




"Bebeb udah di Jakarta lagi?"

"Iya, baru banget Subuh nyampenya."

"Ih, koq Bebeb baru ngasih tahu sih? Kan bisa aku jemput."

"Justru itu, aku nyampenya Subuh banget, mendingan kamu istirahat aja di rumah."

"Aku kan bisa pake mobil, Beb, njemputnya."

"Udahlah, gak perlu, kasihan kepagian kamu, lagian jauh juga kan dari rumah."

"Hmm, iya sih, eh, gimana kalau ntar malem kita jalan? Aku ntar balik jam 7."

"Malem ini? Oke! Ntar aku jemput di kantormu ya."

"Hah?? Emang Bebeb tahu cara ke kantor aku??"

"Tahu lah."

"Beneran? Kalau Bebeb nggak tahu aku kasih tahu nih jalan-jalannya, naik apa aja."

"Beneran, Metta sayangku. Jangan remehkan seorang Erik Setiyadi."

"Hmm, agak gak yakin nih, tapi ya sudah, kabarin ya, jangan ampe nyasar aja."

"Siap, Princess!"



Hape aku tutup, lalu aku pun menarik napas sebelum menekan bel pintu kosan Ci Lily. Kosan ini berbentuk seperti ruko, yang di dalamnya dibagi ke dalam 10 kamar, 5 di lantai satu, dan 5 di lantai dua. Ada dapur bersama di lantai satu, dan masing-masing kamar mandi/toilet di tiap-tiap lantai. Di lantai tiga adalah ruang tempat tinggal Ci Lily bersama anaknya semata wayang, dan lantai 4 adalah atap yang ditutup teralis untuk tempat mencuci dan menjemur pakaian bagi para anak kos.

Aku mendapatkan kamarku yang dulu, kamar nomor 7, kamar yang tak diinginkan siapa pun karena posisinya terletak di antara dua bordes tangga, ke lantai 1 dan ke lantai 3. Pada posisi ini, semua orang yang bolak-balik turun naik dari lantai 1 ke lantai di atasnya akan melalui kamar ini, begitu pula bila akan menuju ke kamar mandi, sehingga ini merupakan kamar yang paling keberisikan, mana posisinya di tengah pula, sehingga agak jauh dari jendela. Bagaimana pun ini masih lebih baik daripada kamar no 6 yang terletak di paling pojok dan dekat dengan kamar mandi.

Ci Lily tampak menyambutku dengan senang hati. Aku tahu bahwa salah satu alasannya karena memang kosannya sedang sepi. Ci Lily ini nama lengkapnya adalah Liliana Tjahjadi berusia 42 tahun, punya anak cowok usia SMA bernama Chandra Liemantara. Suaminya sudah meninggal karena sakit saat Chandra masih SMP sehingga dia benar-benar membesarkan anaknya ini sendirian dari hasil kos-kosan.


"Cici seneng kamu mbalik, Ko."

"Emang lagi sepi ya, Ci?"

"Biasa, tanggal-tanggal segini emang sepi, Ko. Ntar tengah tahun biasa agak rame lagi. Oh ya, kamu jadi keterima di Jakarta lagi, Ko?"

"Iya, Ci. Di ASV."

"Oh iya, deket itu ASV dari sini. Syukur deh, abis kamu gagal dulu itu Cici emang ngarepin kamu dapet kerjaan lagi. Ndak nyangka ternyata ke sini lagi he."

"Gimana ya, jodoh kali, Ci. Lagi ada berapa orang jadinya?"

"Nah, itu kenapa Cici seneng kamu datang lagi. Sama kamu total ada 4 orang di sini. Lima sih sebenernya, tapi yang 2 ambil satu kamar."

"Cowok apa cewek?"

"Cewek semua, Ko. Satu orang kayaknya ada yang dari ASV juga deh, tapi ndak tahu bagianmu apa bukan."

"Wah, saya belum kenal, Ci, kan baru masuk."

"Iya juga, ya. Oh ya, yang dua orang itu namanya Friska ama Sheila, di kamar nomor 8, kalau yang anak ASV itu namanya Nindy, di kamar nomor 5. Satu lagi di kamar nomor 1, masih anak kuliahan, namanya Vinny."

"Cici sekarang nerima anak kuliahan juga?"

"Ndak juga sih, Ko, dia doang, soalnya anaknya temennya Cici, dulu rumahnya ndak jauh dari sini, di blok sebelah, tapi sekarang pindah ke Bekasi, jadi anaknya dititip di sini dulu, biar ndak telat kalau kuliah pagi."

"Hoo gitu."

"Makanya, nah mumpung sekarang ada kamu, ada cowok lagi, Cici nitip mereka ya, takutnya kenapa-kenapa. Kalau ada apa-apa tolong lapor langsung ke Cici."

"Lho, koq malah saya yang dipasrahin, Ci? Kan itu ada anaknya temennya Cici di sini?"

"Justru malah dia yang tak khawatirin, Ko."

"Koq bisa?"



Ci Lily melihat sekeliling dulu, dan setelah yakin tak ada orang, dia berbisik padaku.


"Pacarnya dia anak sini juga, Ko, anak ruko ujung. Anak muda, ya kamu tahu kan, Ko?"

"Pernah masukin pacarnya ke sini, emangnya?"

"Pernah, beberapa kali malahan, tapi ya masih ketahuan ama Cici. Cuman yaa, kan Cici ndak bisa terus-terusan ngecek, apalagi kan jadwal kuliah pulangnya beda ama orang kerja, jadi ya ndak ada yang bisa Cici titipin."

"Oke, Ci, ntar saya bantu jagain. Tapi yang lain gimana?"

"Yang dua... Oh ini dia."



Dari balik kamar nomor 8, di sebelah kamarku, keluarlah dua orang gadis yang manis. Masing-masing memakai seragam minimarket, hanya saja yang satu memakai seragam Ind*maret sementara satunya Alf*mart, yang memang ada di dekat sini.


"Ko, kenalin dulu, ini Friska."

"Friska."
kata si gadis berseragam Ind*maret.

"Nah, satunya Sheila..."

"Sheila."
kata si gadis berseragam Alf*mart.

"Friska ama Sheila, ini Erik, dia dulu pernah ngekos di sini dan sekarang mbalik lagi ke sini. Kalian ntar kalau ada apa-apa dan nggak ada Cici, bisa minta tolong ke Erik dulu ya."

"Iya, Ci."
jawab Friska dan Sheila bersamaan.


Aku dan Ci Lily lalu berpamitan dengan mereka yang akan pergi bekerja. Aku sendiri baru akan masuk besok, sehingga ada waktu untuk beristirahat. Agak lelah sebenarnya harus berpura-pura tidak tahu atau terkejut atas sesuatu yang "baru". Ya, yang diomongkan oleh Ci Lily padaku juga dikatakannya pada timeline-ku, meski itu terjadi pada pertengahan 2010, bukan awal sebagaimana sekarang. Aku juga tak tega berkata pada Ci Lily bahwa penghuni kosannya akan stuck pada angka ini hingga akhir 2011 nanti. Sementara semua gadis yang ada di sini, tentu saja aku sudah mengenalnya pada timeline-ku.

Yang pertama adalah Friska, yang bekerja sebagai kasir Ind*maret. Nama lengkapnya Friska Natalia Lumbantobing, tinggi 163 cm, dengan kulit agak sawo matang, dan memiliki raut muka yang tenang dan polos. Sementara satunya adalah Sheila, yang bekerja sebagai kasir Alf*mart. Nama lengkapnya Marshela Andriyana, tinggi 147 cm dengan kulit putih bersih, dan memiliki raut muka yang jutek. Aku tak terlalu penasaran dengan alasan kenapa mereka berdua, yang datang dari dua minimarket rival bisa ada bersamaan di sini, karena aku sudah tahu ceritanya, namun akan kubiarkan saja nanti sebagai bahan obrolan.

Kemudian satu lagi adalah Nindy, nama lengkapnya Nindya Kusumawardhani. Aku jelas tahu dia dengan baik, karena posisinya sebagai manajer HRD di ASV, meski pada tahun 2010 ini kuduga dia masih berposisi sebagai staf. Bahkan di timeline asliku, aku jarang bicara dengannya di luar pekerjaan, karena sikapnya selalu ketus kalau bicara pada semua cowok, mau itu atasan atau bawahan, sehingga banyak yang memanggilnya sebagai Nenek Lampir. Bahkan playboy sekelas Surya saja memilih tidak macam-macam dengannya, padahal wajahnya boleh dibilang cantik. Konon, Nindy ini pula yang sempat mengancam mau memecat Surya pasca-laporan pencabulan pegawai magang, dan yang melarang ada pegawai perempuan menjadi bawahan langsungnya.

Satu lagi adalah Vinny, si mahasiswi. Nah, dari semua cewek di sini, hanya Vinny yang tak pernah kuketahui nama lengkapnya. Satu-satunya petunjuk hanyalah nama keluarganya adalah "Soesanto". Dia orang Tionghoa, cantik, dengan tinggi 153 cm. Pacarnya kalau tidak salah bernama Samuel, anak ruko ujung yang sering sekali diselundupkan masuk ke dalam kosan, yang jeleknya setiap kali selalu sering lupa mengunci pintu pagar, yang bisa membahayakan, karena ada beberapa motor di sana.

Jadi, bagaimana hubunganku dengan mereka di timeline asliku? Selain dengan Friska dan Sheila yang memang sering mengobrol karena satu lantai, aku jarang berinteraksi dengan yang lainnya, apalagi Vinny. Dan sebagaimana amanat dari Ci Lily, aku berperan sebagai penjaga mereka. Walau kalau diingat lagi, dalam setahun pertama, hanya merekalah wanita yang dekat dan paling bisa kujangkau pada saat itu, selain Rini yang kemudian akan menjadi pacarku. Namun bagaimana dengan sekarang? Di dunia di mana pacarku adalah Metta dan bukan Rini? Akankah aku mengikuti langkah di timeline-ku dan membiarkan mereka, atau...

Ah, lebih baik aku mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Metta nanti malam. Sudah lama aku tak bertemu dan aku memang merindukannya: senyumnya, tawanya, wajah manisnya, lenguhannya, aroma keringatnya, lembut susunya, sempit mekinya...

Astaga, kenapa sekarang setiap ingat Metta aku jadi teringat seks?? Remember, Erik, kamu sudah berpengalaman dalam seks, this is not the first seks in your life. Tapi entah kenapa, semenjak ML dengan Metta di rumahnya waktu itu, ada gairah yang tak bisa begitu saja kutenangkan. Mungkin karena itu adalah, arguably one of the best sex I ever had, if not the best. Rasanya jauh bila dibandingkan ML pertama dengan Rini, atau, ya karena aku menggunakan tubuhku tahun 2009, di mana itu adalah pertama kalinya tubuh ini merasakan seks. After all, sex is also a physical thing, right? Mungkin setelah batasan itu dibuka, tubuhku menjadi menginginkan seks lebih banyak lagi.

Tidak bisa, Erik, kau tidak boleh terbuai dengan pemikiran atas seks. Ada hal yang harus kau lakukan, perjuangan yang akan memakan waktu panjang dan lama, dan itu harus dimulai dari sekarang! Kau sudah berhasil menyelamatkan ayah Rini dari maut, namun tujuanmu berikutnya lebih besar dan lebih berat. Tak setiap hari orang diberikan kesempatan kedua untuk pergi ke masa lalu, jadi sebaiknya kau manfaatkan dengan baik!






Sorenya, aku menjemput Metta di kantornya. Tentu saja aku naik bus dan angkot, karena motorku belum dikirim dari kota asalku. Metta tampak terkejut melihat bahwa aku bisa sampai di sana tepat waktu, tanpa arahan darinya, dan lebih terkejut lagi karena penampilanku kini sudah berbeda daripada terakhir kami bertemu. Kali ini aku sudah klimis, wangi, dengan tata rambut dan busana yang jauh lebih modis dibandingkan dulu. Bahkan Metta sendiri pangling melihatnya.


"Maaf, kamu Erik bukan sih?"

"Ya iyalah, aku Erik."

"Ya ampun, maaf, Beb, kirain foto model dari mana muncul tiba-tiba di kantor. Tapi serius deh, beda banget ama terakhir."

"Bedanya bagus apa jelek?"



Metta tak menjawab, hanya tersenyum kemudian mencium pipiku di depan kantornya, di tengah semua orang yang lewat.


"Better, much better." katanya, "eh, aku ambil mobil dulu ya di parkiran, kamu tunggu di sini..."

"No, no, no. Kita ambil bareng, I'll drive you around."

"Hah?? Serius? Kapan kamu bisa nyetir??"

"Been practiced."



Lalu aku memperlihatkan SIM A-ku, yang kudapatkan selama menunggu wisuda. Aku bahkan tak perlu belajar menyetir, karena di tahun 2021 aku sudah bisa menyetir, dan keahlian itu kubawa serta saat kembali ke 2009. Metta tampak terdiam melihatku.


"Are you coming?" tanyaku.

"Wait, wait, aku bener-bener nggak ngerti deh, kamu beneran Erik, kan? Bukan someone yang ngaku-ngaku sebagai Erik?"

"What? Ini aku, Met, Erik, bebeb kamu Erik, Erik Setiyadi."

"Aku nggak percaya, buktiin. Say something that only Erik and I knows that."

"Aku kenal kamu pertama kali di Fr*endster, kamu bilang suka maen Final Fantasi X2, kita sering teleponan ampe malem, lalu pas kita lagi ngomong soal dorama Great Teacher Onizuka, kita kelepasan ampe..."



Aku tak melanjutkan perkataanku karena Metta sudah terburu menutup mulutku dengan tangannya. Aroma tangan itu langsung menggelitik hidungku. Ya, Metta yang sekarang pun berbeda dari Metta beberapa bulan lalu, karena sudah lebih pandai berdandan, meski mungkin tak sedrastis diriku perkembangannya.


"...ampe phone sex." kataku lirih.

"Bagian itu jangan disebut, malu-maluin, tahu."

"Sekarang percaya, kan?"

"Iya, iya, aku percaya koq."

"Shall we?"



Aku mengulurkan tanganku, dan Metta langsung menggamitnya sambil menyandarkan kepalanya pada bahuku saat kami berdua berjalan ke parkiran. Metta saat itu menggunakan mobil Honda Jazz, yang pernah aku lihat ada di garasi rumahnya. Dari kantornya, aku menyopiri Metta ke sebuah restoran Barat dengan tema fine-dining. Dia agak terkejut karena tampaknya aku menguasai ruas-ruas jalan di Jakarta, namun rasa senangnya karena bertemu denganku membuatnya tak begitu merisaukan hal itu. Singkat kata, tak ada yang benar-benar istimewa kecuali siapa yang menemaniku di sana. Ya, bisa makan dengan Metta, setelah beberapa bulan tak bertemu, membuatku cukup bahagia. Ditambah lagi...


"Eh, apaan nih?"

"Buka aja."



Metta memberikan sebuah kotak untukku yang terbungkus rapi dengan kertas kado warna putih berhiaskan gambar hati. Dari bentuk dan ukurannya, aku sudah bisa menduga bahwa itu adalah sebuah hape. Segera saja kubuka di depannya, dan aku terkejut karena Metta membelikanku hape S*ny Er*csson Xperia X10, salah satu hape Android pertama.


"Busyet, Met, kamu kapan belinya?"

"Tadi, aku mlipir bentar pas istirahat ke mall."

"You don't have to, really..."

"I know, but I wanted to."

"Pasti mahal..."

"Papa nyuruh aku pake kartu kreditnya, so, technically, itu dari Papa."

"Tapi kamu yang milih, kamu yang ngasih, jadi ya, ini dari kamu."



Aku melihat muka Metta yang merona dan senyumnya yang lebar melihat ekspresi wajahku yang senang menerima hadiah ini.


"Makasih ya, Met, it means a lot to me."

"Not bad for an office-warmer gift, right?"

"It's more than that... I promise, I'll take care of you, more than you can probably imagine.



Metta hanya tertawa saja, lalu dia memegang dan mengelus pipiku. Dia tidak tahu, tapi aku sungguh berencana untuk menjaganya, karena dia akan membutuhkanku, lebih dari yang saat ini dia bayangkan. Aku pun berkata pada diriku sendiri, mungkin karena inilah aku dikembalikan ke masa ini, bukan hanya untuk menjawab pertanyaanku, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih penting. Metta, yah, demi Metta. Dari sejak kami berada di restoran hingga akhirnya kami balik ke kosan, Metta terus saja menatapku dengan pandangan mata yang ceria, namun entah kenapa di balik lubuk matanya, aku bisa melihat ada sesuatu yang dia pikirkan. Saat aku mengemudikan mobil, tangan Metta berkali-kali menepuk-nepuk dan mengelus tanganku yang standby di dekat tuas persneling otomatis. Ketika tangannya memegang tanganku, aku merasakan hangat, namun juga ada semacam getaran kecil yang aneh dari ujung-ujung jarinya.


"Kenapa?" tanyaku.

"Kenapa apanya?"

"Koq ngeliatin ama megangin tangan aku?"

"Oh, enggak, nggak ada apa-apa."

"Beneran?"

"Iya, bener. Aku cuman kangen ama Bebeb, nggak nyangka akhirnya Bebeb bisa juga pindah dan dapet kerjaan di sini. And we will be together, forever and ever, till death do us part."



Dia lalu mengusap air mata yang tampaknya tak sengaja turun meleleh melewati pipinya.


"Hey, are you okay? Why are you crying?"

"Oh, no... Yes, I'm okay... It's just... the tears of joy. Saking senengnya aku bisa ketemu kamu lagi ampe nangis."

"Ooh..."



Aku kemudian mengusap kepalanya, dan dia tampak agak tertawa di balik tangisnya, dengan senyum yang tulus meski dihiasi dengan air mata. Seseorang menangisiku karena sedih, aku pernah melihatnya, namun air mata bahagia, baru kali ini diberikan kepadaku, dan oleh cinta lamaku selama ini. Pada saat inilah tiba-tiba aku teringat lagi kepada Rini. Ya, bagaimana pun Rini adalah istriku, apakah bila saat ini aku bersama Metta, maka aku berselingkuh darinya? Oh, tidak, aku menikah dengan Rini pada tahun 2012, jadi pada tahun ini secara teknis kami belum menikah. Aku juga sudah berpisah dengannya dan tidak lakukan kontak selama beberapa bulan, jadi ya, boleh dibilang, aku memilihnya untuk keluar dari hidupku, dengan harapan dia akan menjalani kehidupan yang lebih baik tanpa aku, karena aku tahu, kehidupan macam apa yang akan kuberikan padanya bila dia tetap bersamaku. Satu yang mengganjal hanyalah tanpa aku dan Rini, apakah anakku Vino akan bisa lahir ke dunia? Mungkin dia akan lahir, entah dariku, entah dari Rini, atau mungkin bukan dari kami berdua. Apa pun itu, semoga dia bisa mendapatkan ayah dan ibu yang lebih baik dari kami, yang lebih penyayang. Bukan ayah sepertiku, yang memendam kekesalan padanya karena merasa dia merebut Rini dariku. Vino, maafkan ayahmu ini, Nak...

Tanpa sadar, aku pun ikut meneteskan air mata. Metta dengan sigap segera menghapus air mata itu dari tengah pipiku dengan ibu jarinya.


"Hey, koq kamu jadi ikutan nangis, sih Beb?"

"Hehe, iya nih... Jadi agak emosional ya, jadinya..."

"Isn't it?"



Kami sama-sama tertawa sambil air mata kami terus meleleh, meski aku tak mengatakan pada Metta apa alasan sebenarnya aku menangis. Dari sinilah aku merasa agak bersalah pada Metta, karena meneteskan air mata bukan untuknya, namun untuk orang lain. Metta pun lalu menggenggam tanganku dengan lembut, kali ini tidak ada getaran pada jarinya, hanya sebuah genggaman mantap yang menenangkan.


"I'll tell you what, kayaknya aku lagi nggak pengen pulang malem ini." kata Metta, "let's go somewhere, just the two of us."

"Just the two of us?"

"Iya, cuman kita berdua aja. I still have my card, yuk, malem ini aku mau kangen-kangenan ama kamu."



Tanpa pikir panjang aku segera membelokkan mobil ke salah satu lokasi hotel berbintang 4 yang ada di kawasan Ancol. Entahlah, aku spontan saja ke sana, karena saat pertama kali mendengar Metta bicara soal kangen-kangenan berdua, yang terlintas di pikiranku hanyalah untuk berada di pinggir laut. Aku juga tak begitu memperhitungkan berapa harganya, karena Metta sudah berkata akan membayar berapa pun harga kamarnya, asalkan malam ini aku bersamanya.

Kami langsung mengambil salah satu kamar dengan pemandangan laut terbaik, karena aku memang suka laut. Begitu Metta masuk ke kamar, Metta lalu menarikku masuk dengan cara memegang ujung celanaku, dan langsung saja mendorongku hingga ke dinding untuk kemudian berjinjit dan menciumku dengan amat bergairah. Lembut bibirnya, hangat napasnya, basah menguasai mulutku, bagaikan membasuh dahaga akibat rasa rindu yang mendalam. Lidahku pun menyambut lidah Metta bagai dua sejoli yang telah lama tak berjumpa.


"Aku udah kangen banget ama kamu, Bebeb..."

"Aku juga..."



Bibir kami kembali bertemu, dengan kedua tangan Metta memegang kedua sisi kepalaku. Aku membungkuk, memagut bibirnya dengan panas, sambil menggamit pinggangnya. Kami bagaikan dua penari tango, saling memegang tubuh, menari dengan penuh gairah membara, sebagaimana panasnya ciuman kami yang membakar api birahi antara kami berdua. Kupegang dan kuremas pantat Metta yang membulat sempurna, terasa lembut agak kasar dari balik celana jeans-nya, sementara Metta dengan kasar membuka dan melepas bajunya, semua tanpa mulut kami saling terpisah.

Begitu bajunya terlepas, aku segera menggerakkan telapak tanganku menjelajahi seluruh tubuhnya, merasakan lembut dan hangat kulitnya yang putih bak pualam, halus bagai sutra, dengan rambut-rambut halus yang berdiri setiap kali tanganku menjelajahinya. Metta, yah, Metta-ku, tubuhnya yang kini akan menjadi milikku, yang kupuja dengan sentuhan-sentuhanku untuk membangkitkan karunia birahinya yang menyala bak api abadi, hanya untukku. Lalu agak kubanting dia ke ranjang yang empuk hingga dia jatuh terlentang.

Kami saling berpandangan. Bibirnya menyunggingkan senyum, dengan napas yang berat tersengal, bagaikan seorang putri dari khayangan, sementara aku berdiri, meraja dan berkuasa atas dirinya, memandangnya bagai panglima perang yang baru saja memenangkan seorang putri dari sanderaan sang naga. Pelan-pelan kulepaskan kancing pada celanaku, sambil dia menatapnya nyaris tanpa berkedip. Sinar matanya berbinar, bagaikan anak kecil yang tengah menunggu hadiah utama.

Aku berjalan mendekatinya. Celana dalamku sudah kulepaskan, dan melihat Metta, kontolku pun mengeras dengan amat maksimal.

Sekali lagi dia menghela napas berat agak tersengal, karena aku berada di atasnya sehingga kontolku menyelusup sempurna pada belahan selangkangannya, menggesek bibir mekinya yang sudah terasa basah. Kedua tanganku kutangkupkan pada kedua susunya, dengan ibu jariku menjepit pentilnya. Ketika pentil itu kumainkan, dia beberapa kali mendesah kecil sambil menarik napas, mirip seperti desahan pada bintang JAV. Dengan kakiku, kulebarkan kaki Metta hingga dia agak mengangkang. Napas Metta sudah tak beraturan dan kurasakan badannya berdenyut kencang.

Sekali lagi Metta berjengkit karena kini aku mencium leher dan bagian telinganya dengan perlahan, sambil kedua tanganku meremas kedua susunya, dan mengusap tubuh bagian bawahnya, sementara kontolku kugerakkan menggesek bibir vaginanya.


"Bebeb, A-aku... A..."


"SERRRRR!!!!"



Tubuh Metta tiba-tiba mengejang, dan kurasakan bergetar dengan hebat. Luar biasa, dia orgasme, bahkan tanpa sentuhan yang terlalu agresif! Tidak hanya orgasme biasa, dia bahkan squirt hingga air mekinya muncrat ke kasur, membasahi kasur dan seluruh tubuhnya. Kutahan dia di posisi itu hingga akhirnya seluruh kedutan, getaran, dan kejang pada tubuhnya berhenti, hingga akhirnya dia berbaring pada kubangan air mekinya sendiri yang berbau anyir pesing.


"Am I cumming?"

"Ya, dan nggak cuman cum aja..."

"Gila... Itu tadi gila..."



Dia tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya yang manis itu, tubuhnya benar-benar berlumuran cairan itu hingga ke rambut-rambutnya. Kubantu dia duduk dan menyandarkannya pada kaca. Dia menatapku dengan pandangan mata sayu, seperti seseorang yang baru menemukan permainan baru. Aku duduk bersimpuh di depannya dan dia menunggu apa yang akan kulakukan.

Diiringi tatapan matanya yang penasaran, aku mengambil kakinya, yang basah oleh cairan mekinya, lalu dengan ganas kumasukkan ke dalam mulutku. Dia agak kegelian ketika kuciumi telapak kakinya, kujilati dan kukulum jari-jarinya, bahkan kuusapkan telapak kaki yang basah itu ke mukaku. Metta hanya diam, melihat dengan penasaran sambil menggigit jari telunjuknya, aku tak tahu yang dia pikirkan, namun jelas ini menjadi sesuatu yang baru baginya.

Aku berpindah-pindah, dari telapak kaki kiri ke telapak kaki kanan. Kaki Metta sungguh indah, dari ujung jari kaki, hingga betis dan paha, sama sekali tak ada yang jelek atau cacat selain beberapa tahi lalat di beberapa bagian, sehingga membuatku ingin terus menciumi dan mencumbunya. Dari telapak kaki aku naik ke betis, menciumi, menjilat, dan mencumbunya, inci demi inci secara telaten. Hingga akhirnya sampailah aku di paha, bagian luar, bagian dalam... Metta agak menggelinjang kegelian saat kucumbu paha bagian dalamnya, namun dia tak menghentikannya.

Pelan-pelan ciumanku masuk ke wilayah selangkangannya, aku menjilat, mencumbu di lipatan paha, namun tidak masuk ke bibir mekinya yang tembam. Setiap kali aku akan masuk dan kurasakan dia mulai menahan napas, langsung kutarik keluar ciumanku ke paha. Sekali dua kali, lama-lama tampaknya dia kesal kepadaku, hingga akhirnya dia menangkap kepalaku dan diarahkannya ke mekinya. Aku berusaha menahan sekuat tenaga.


"Bebeb, ayo dong..."

"Ayo apa?"

"Itu, lanjutin."

"Lanjutin apa?"

"Aaah Bebeb nih, ituuu!"

"Bukan 'itu', bilang dong 'Erik sayang, jilmekin aku dong', hayo bilang apa?"

"Aaah Bebeb jorok banget."

"Bilang apa, Sayang?"



Kulihat muka Metta merah padam, namun kurasa gairahnya yang sudah naik mulai mengendalikan fungsi tubuhnya.


"Erik sayang, tolong jilmekin Metta dong."

"Say what?"

"Aah, Bebeeb iih!"

"Say what?"

"Please..."

"Your wish is my command."



Aku langsung maju dan menyerbu mekinya dengan lidahku. Metta menjerit, berteriak sambil tertawa, awalnya kegelian, namun lama-lama menjadi agak-agak tersengal.


"Aaahhh... Geli, Bebeb... Stop it..."


Namun sekalipun mulutnya berkata untuk stop, tangan dan kakinya mengatakan sebaliknya, malah semakin kencang menahan kepalaku supaya tetap di sana, ini membuatku agak kesulitan untuk menarik nafas. Gila, bahkan Metta 2021 dan 2010 ternyata sama-sama suka sekali bila dijilmek! Aku harus mulai melatih pernafasanku agar bisa lama dalam menahan nafas.


"CPAAK!! CPAAK!! CPAAK!!"


Suara itu terdengar amat keras di kamar hotel yang besar ini, suara lidah dan mulutku yang tengah mereguk sari-sari dari lubang peranakan Metta. Derasnya cairan meki Metta membuatku merasa seperti sedang menyelam dalam kolam yang penuh air anyir. Aku menutup mata karena beberapa kali cairan itu menciprat ke mataku, hanya mengandalkan insting dan lidahku untuk mengeruk sari-sari kehidupan dari liangnya. Tanganku kutangkupkan memegang paha Metta supaya tak menghimpitku terlalu keras dan membuatku tak bisa bernafas, namun posisiku tak memungkinkan kedua tanganku mendapatkan cukup kuasa untuk membukanya lebar. Satu-satunya cara adalah memaksa Metta untuk segera orgasme untuk kali kedua. Segeralah kukerahkan kemampuanku dalam melakukan jilmek, meski jujur aku agak penasaran kenapa agak lama? Apakah karena dia baru saja orgasme squirting? Bagaimana pun juga, kemampuanku membawa hasil, kurasakan otot-ototnya langsung menegang di semua tempat dan...


"AAAAAAAHHHHHHH!!!!!"


Metta menegang dengan posisi seperti kayang, sementara wajahku bagaikan tersiram air dari branwir. Ingin kuusahakan meminumnya, namun sia-sia, terlalu deras. Akhirnya aku mundur sambil mengulum sedikit air mekinya, sementara air masih menyembur dari sumbernya. Tubuhnya kemudian kejang-kejang hingga akhirnya ambruk. Kutunggu hingga nafasnya agak tenang sebelum dengan mendadak kupagut bibirnya dan kusuntikkan cairan mekinya sendiri yang kusimpan di mulutku ke dalam mulutnnya. Dia membelalak dan berusaha untuk melepas, namun kutahan hingga terdengar suara glek, tanda dia sudah menelan air mekinya sendiri!


"UHUK!! UHUUK!! AKKKHHH!! HUEEEKKKK!!"


Dia berusaha mengeluarkan air meki itu, namun sia-sia karena aku sudah memastikan dia menelannya.


"Bebeb jahat! Jorok!!"


Aku hanya tertawa saja.


"Pembalasan, dulu kamu kan mau maksa aku ngerasain precum sendiri."

"Ya, dulu kan nggak kena!! Ini aku ampe nelen... Yuccckk... Iyuuh... Cuh! Cuh!"

"Kan dari meki kamu sendiri, koq jijik sih?"

"Ih, itu kan kotor, Be..."

"I love your juice, Met..."

"R-Really?"

"Iya, dan si kontol juga setuju, ya gak?"



Kukencangkan otot kegelku hingga kontolku tampak mengangguk-angguk. Metta tertawa geli melihatnya. Aku pun merangkak hingga berada di atas Metta. Wajah kami saling berhadapan dengan dekat dan kami kembali berciuman, kali ini ciuman yang romantis. Sejujurnya, aku lebih suka berciuman romantis begini dengan Metta, alih-alih ciuman nafsu, karena aku seolah bisa merasakan perasaan Metta yang tulus dalam ciuman yang romantis. Pelan-pelan, kudekatkan kontolku pada meki Metta yang masih memerah, dan kugesek-gesekkan di bibirnya, membuat Metta tersentak setiap kali itilnya tersenggol kepala kontolku.


"Wait, jangan masukin dulu..."

"Kamu mau apa?"

"Berdiri ama muter balik dulu deh, tangan kamu taruh di bed, tapi kaki jangan naik."

"Gini?"



Aku berbalik lalu kedua tanganku kuletakkan di atas ranjang, namun kedua kakiku masih menapak lantai, jadi posisiku seperti orang yang sedang menungging. Aku menunggu apa yang akan dilakukan Metta, yang kini sudah berdiri dan ada di belakangku, dan jantungku berdebar, mungkin beginilah yang juga dirasakan oleh Metta saat menunggu aku melakukan sesuatu. Lalu saat itu kurasakan Metta menggerakkan jari-jarinya sepanjang tulang punggungku, dan darahku serasa berdesir. Jari telunjuk dan jari tengah, bergerak selayaknya orang berjalan, dari tengah pinggul, lalu turun ke bawah. Aku berjengkit kegelian saat jarinya mengenai boolku, namun kemudian menyusur turun pada kontolku yang menggantung, sebelum batang kontolku serasa diremas dengan lembut.


"Don't move."


Belum sempat aku menjawab, Metta menggerakkan tangannya yang memegang kontolku dengan gerakan memerah, dari atas ke bawah (pangkal ke ujung, karena posisi kontolku menggantung terbalik) sambil tangan satunya memijat-mijat buah zakarku. Aku mengaduh karena rasanya amat ngilu. Namun tiba-tiba sesuatu yang basah, lembut dan hangat menyapu boolku.


"Arrrrrggghhhhhh... AAAAAHHHHH... Met... What are you doing??"


Metta tak menjawab, tapi aku bisa mendengar tawanya. Saat ini yang kurasakan adalah Metta tengah me-rimming-ku, namun dikombo dengan tangannya "memerah" kontolku dengan tangan satunya memijat zakarku. Saking kuatnya yang terjadi di bawah sana hingga aku tak sempat melihat tangan mana yang dipakai memerah dan tangan mana yang dipakai memijat.


"Aaaaaarrggghhh... Fakkk!!! I'm in heaven... AAAOOOOO..."


Pijatan Metta di zakarku menguat hingga aku merasakan ngilu yang menjalar ke sekujur tubuhku, dan keringat dingin pun mulai bercucuran. Aku terengah-engah, berusaha mencari oksigen sebanyak-banyaknya, karena rasa ngilu ini juga membuatku menahan nafas beberapa kali.


"You like it, Erik?"

"YESSS!! I like it... AAAAHHH..."



Metta tertawa, mungkin karena melihat keadaan zakarku yang tengah dia betot. Aku sendiri tak ingin tahu, karena rasanya teramat ngilu, namun entah kenapa di tengah kengiluan ini kontolku justru semakin keras. Antara rimming, serta pijatan pada kontol dan zakarku, aku tak tahu mana yang harus kunikmati karena semuanya terasa bertubi-tubi menonjokku. Kaki dan lengan yang menahan tubuhku pun terasa semakin lemas dan gemetaran.


"AAAHHHH FAAAAKKKKK!!!!"

"Yeeyy!! Keluar juga!!!"



Aku berteriak karena Metta tiba-tiba memasukkan jarinya ke dalam boolku dan menekan serta memainkan sesuatu di dalamnya, dan tanpa bisa ditahan lagi kontolku segera memuntahkan lahar putihnya ke kasur. This is not an ordinary orgasm... This is THE orgasm... And I literally scream upon it! Teriakan yang lebih mirip seperti lolongan yang bahkan aku sendiri tak sadar telah melakukannya, seolah melepas semua rasa ngilu yang kutahan entah berapa lama. Metta sendiri tampak girang karena berhasil memaksaku keluar, dan lebih parah lagi, tanpa menunggu kedutan pada kontolku selesai, dia langsung melahap kontolku dan memasukkannya ke dalam mulutnya yang hangat...

Beberapa semburan maniku yang terakhir kusemprotkan langsung dalam mulut Metta, dia menyedotnya hingga seluruh tubuh bagian bawahku terasa tersengat ngilu yang amat sangat, hingga akhirnya aku ambruk karena sudah tak kuat lagi. Sendiku seolah lepas semua, dan ototku seolah kehilangan tenaga. Aku berbaring terlentang di kasur, sambil berusaha mengatur nafasku setelah The Big O, ya, The Very, Very Big O. Saat sedang tak berdaya itu, Metta telah berada di atasku, dan dengan raut muka riang membuka mulutnya, menunjukkan air maniku di dalamnya, dimain-mainkan oleh lidahnya. Aku saat ini sedang tak punya kekuatan untuk menghindar apabila Metta ingin balas dendam dan memaksaku menelan spermaku sendiri, namun dia malah langsung menutup mulut lalu menelannya dengan suara glek yang terdengar amat jelas.


"Kamu telen?"


Metta mengangguk sambil tersenyum riang.


"Koq ditelen?"

"Pengen aja, sperma kamu enak soalnya, aku suka."

"Sembarangan bilang enak, emang pernah mbandingin?"



Metta agak tertegun beberapa detik saat aku menanyakan itu.


"Temen ada yang pernah cerita, dia nelen spermanya cowoknya, tapi katanya baunya amis banget, ampe dia mau muntah."

"Bukan temen kamu yang gay kan?"

"Bukan lah, ini temen cewek. Napa? Kamu kangen ama temenku yang gay itu?"

"Enggak, ogah banget... Jadi spermaku nggak amis?"



Metta menggeleng.


"Enggak, malah kayak ada rasa manis gitu, aku suka. Tadinya kukira bakal kayak cerita temenku, tapi ternyata punya kamu enak, jadi ya aku telen aja."

"Bagus deh kalau kamu suka..."

"Eh, koq si kontol masih tegang sih? Bukannya kalau abis ejakulasi langsung lemes ya katanya?"

"Bukan ejakulasi, Met."

"Hah? Terus apa?"

"Ngecrot!"

"Iih, Bebeb mah, omongannya jorok mulu."

"Bilang dong, Sayang."

"Iya, kontolmu ngecrot. Koq nggak lemes?"

"Kan aku perkasa, Met."

"Hmm, berarti bisa dong kalau..."

"Bisa lah."



Metta tertawa, lalu tangannya memegang kontolku, yang memang masih agak keras walau sudah mengeluarkan sperma sekali. Dia meremas-remas, mengelus-elus, dan mencium-cium supaya tambah keras lagi, sementara aku hanya terbaring karena masih lemas. Kali ini kubiarkan dia memegang kendali karena aku masih lemas.

Dia mengangkangi kontolku, lalu sambil diarahkan oleh tangannya, dia menggosok-gosokkan kepala kontolku pada bibir mekinya. Aku berjengkit ngilu, karena masih belum lama dari orgasme dan kepalanya masih amat sensitif. Bisa kurasakan itilnya yang menjadi amat keras bak kacang hijau mentah, dan setiap kali kepala kontolku menyenggolnya, kami berdua pun berjengkit.

Pelan-pelan, kurasakan sebentuk lubang, yang tadinya keras perlahan menjadi basah dan lembek, dan terasa seperti sebuah gerbang yang dibuka. Metta memekik pada saat ini, ketika merasakan kepala kontolku kembali merayap memasuki relung mekinya.


"Hhhheeegghhh... Eeeehhnngg..."

"Sakit?"



Metta mengangguk-angguk dengan wajah tertekuk, sebelum akhirnya tersengal-sengal memburu nafas.


"Gila, kontol kamu masih kerasa gede banget..."

"Pelan-pelan saja, biarin mekimu membuka sendiri."

"Iyyaaggghh..."



Kugerakkan tanganku yang masih agak lemas dan meremas susunya yang basah dan licin, entah karena keringat atau cairan squirt sebelumnya, untuk merangsang mekinya melemas dan mengeluarkan pelumas lebih banyak lagi.

Pun begitu, ada yang kurasakan agak berbeda dari meki Metta, meski aku tak tahu apa itu. Mekinya masih sempit, cukup sempit bagiku, namun gerakan serta relungnya agak berbeda, perlawanannya lebih tidak sengit, seolah sudah lebih siap menerima kontolku. Mungkinkah setelah kupecah perawannya beberapa bulan lalu, jadi muncul ingatan otot yang kini sudah tahu apa yang harus kulakukan saat ada kontol masuk lagi?

Aku tak mengatakan apa yang kupikirkan pada Metta, hanya memegang tangannya untuk saling menguatkan saat dia berusaha menelan kontolku sepenuhnya.


"Fuck!! Does your dick gone bigger?? Aaaaaggghhh..."

"Udah setengah masuk, dikit lagi..."



Kutahan rasa ngiluku saat pinggul Metta bergoyang berusaha memasukkan kontolku sedikit demi sedikit. Gerakannya masih kaku, namun sudah lebih baik dibandingkan dengan saat pertama itu, dan kini dia jauh lebih relaks, sehingga perlahan tapi pasti kontolku terus merayap memasuki relung mekinya semakin dalam.


"PLOK!!"


Suara itu terdengar saat dua pinggul kami beradu, dan Metta tersenyum senang karena berhasil menyarangkan kontolku sepenuhnya di dalam mekinya. Kurasakan liang mekinya hangat sembari meremas-remas kontolku dengan lebih lembut dibandingkan kemarin, namun tetap mantap. Kami kemudian saling berpegangan tangan, sebagai tumpuan bagi Metta, karena awal-awal dia agak terhuyung-huyung dan takut-takut. Untuk Metta tahun 2009, ini adalah WOT pertamanya.


"Bebeb, Bebeb, pegangin, ntar aku jatuh..."

"Tenang, aku pegangin, kamu gak bakal jatuh."

"I-Ini gimana ini... Maju mundur, apa..."

"Follow your instinct."

"Errh... Huft... Kerasa penuh banget ini, aow..."

"Pelan-pelan aja, like riding a bike."



Metta tertawa sambil sesekali meringis.


"Mana ada sepeda joknya nonjol ampe masuk meki? Hahaha."

"Udah ayo gerakin pinggulnya pelan-pelan, diputer depan, balik belakang..."




"PLOP!!"


"Aoowww... Aaoow... Ahhh..."


Metta mengerang saat kontolku terlepas ketika dia mulai menggerakkan pinggul.


"Jangan ampe lepas, masukin lagi."

"Iye, bawel!"



Sekali lagi Metta menahan nafas lalu dia memasukkan kontolku dengan bantuan tangannya. Dia kembali menghembuskan nafas begitu sudah masuk, seolah baru saja melakukan sesuatu yang berat.


"Nggak bisa dikecilin dikit apa kontolnya? Susah nih..."

"Kamunya lebih rileks lagi, nah, ayo coba lagi, jangan terlalu mbablas, inget, cuman 14 senti ini panjangnya..."

"Yakin 14?? Koq kayaknya panjangan... Aaaaaooowww..."

"Breathe, breathe, that's it..."

"Huft, huft, huft... Aaaaahhhhh... Oh my God..."



Aku juga menahan nafas karena genjotan pertama Metta, walau amat pelan tapi enak sekali. Kombinasi remasan otot meki dengan gerakan piston membuat kontolku terasa amat nikmat. Dari yang awalnya perlahan-lahan, kemudian perlawanan dari liang itu semakin melembut dan gerakannya menjadi semakin lancar karena licin. Metta tampak semakin tersenyum lebar saat dia mulai menguasai teknik genjotan pinggul ini, walau sesekali masih mendesah dan meringis, atau kalau tidak gerakan atau temponya masih agak kurang konsisten. Keringatnya mulai menetes dari dada dan wajah serta rambutnya langsung ke tubuhku.

Semakin lama, tempo dan gerakannya semakin konsisten, dan dia berani mempercepat. Aku hanya sesekali saja mengangkat pinggul menyamai tempo Metta untuk menambah efek penetrasinya. Mata Metta dipejamkan dan kurasakan genggamannya pada tanganku semakin erat saja, suara desahannya yang merdu bagaikan musik di telingaku. WOT, walau terlihat sederhana, sebenarnya memerlukan koordinasi luar biasa antara si pria dengan wanita. Karena Metta masih belum berpengalaman, maka akulah yang menyamakan temponya, mengangkat pinggulku setiap kali dia menurunkan pinggulnya, dan menyamakan kecepatan gerakannya yang masih belum konsisten. Erik 2009 tentu tak akan bisa melakukan teknik ini dan akan berakhir kacau.

Metta semakin memperbesar tumpuannya pada tanganku sementara desahannya semakin keras, dengan kendali akan temponya mulai agak lepas, yang hanya berarti satu hal, pikirannya tengah terbagi antara melanjutkan tempo atau bersiap untuk orgasme kembali. Segera saja aku melepas peganganku dan dengan cepat mengubah posisi sehingga aku berada di atas, sangat cepat hingga bahkan Metta pun tertegun. Lalu segera kucumbu dia sambil kugenjot dengan kencang pada posisi ini.


"Aaaaah... Erikkkk... Bebeeeebbbb... Aku keluaaaaar..."


Tubuh Metta mengeluarkan getaran yang khas, membuat genjotanku mengeluarkan bunyi prot yang khas, namun tak ada squirt lagi, hanya lendir warna putih bagai busa cukur yang keluar melumuri bagian mekinya. Aku memeluknya, merasakan setiap amplitudo getarannya tersalur lewat tubuhnya yang licin dan lengket, mengilap oleh keringat, hingga akhirnya tenang dan dia ambruk. Tangannya terkulai, dan wajahnya sudah terlihat amat sayu dan lemah, meski masih tetap segar dan cantik, bercahaya bak porselen.

Kubiarkan dulu dia menikmati orgasmenya sambil kucium pipi tembamnya, bibir merahnya, kening, bahkan lehernya dengan lembut, membuatnya tampak rileks dan tersenyum. Pelan-pelan, setelah badai itu berlalu, aku mulai menggenjotnya kembali.


"Aaah... Aah... Aaaah... Bebeb belum keluar lagi ya... Aaah... Bebeb goyang sendiri dulu ya... Aaahh... Aku masih lemes... Aaah..."

"Just lie back and enjoy."



Aku memberikan ciuman besar di mulutnya, dan Metta serta merta menyambut ciumanku, sambil lidahnya memburu lidahku. Kedua kakinya mengangkang terangkat melayang di udara sementara aku menggenjot pinggulnya yang berposisi agak ke atas. Dalam penasaran, aku teringat sebuah teknik yang dilakukan oleh Metta 2021, yaitu menahan mulutnya terbuka dengan tanganku lalu mencumbu lidahnya yang berdiri tegang sebelum akhirnya...


"CUUHH!!"


Aku meludahi Metta, matanya memejam dengan muka tertekuk saat ludahku mendarat di dalam mulutnya, namun dengan cepat dia menelannya, walau agak susah karena mulutnya kutahan terbuka.


"O'ook 'E'eek..."

"Kenapa?"

"E'eek o'ook!!"



Aku tertawa karena dia lucu dalam keadaan begini, lalu kulepas tanganku supaya dia bisa bicara dengan bebas dan dia menghela napas.


"Bebeb joroookk... Aaahhh..."

"Tapi suka, kan?"

"Aah Bebeb maah... Aaaahh... Huft..."



Perlahan kurasakan seperti sesuatu tengah terbangun dari dalam kelenjarku, berkumpul di dalam pangkal kontol seolah memenuhinya, dan tiba-tiba Metta menyilangkan serta mengunci pinggangku dengan kakinya.


"Kham-hu mha-hu khe-lu-arh, khan... Udh-hah kher-ash-a kedh-uth kedh-uth..."


Aku berusaha melepaskan diri dari kuncian kakinya, namun seperti tempo hari, justru dia semakin kencang menahannya seolah tak izinkan pinggulku lepas.


"Dhalem ajha..."

"Met, kamu itu..."

"Pokoknya daleeem!"



Aku tak sempat mendebat lagi karena desakan itu kini sudah di ujung kontol dan seluruh fokus pada tubuhku terpusat untuk mengeluarkannya segera, kembali ke dalam rahim Metta! Tubuh dan pinggulku menegang dan....


"AAAAAHHHHH!!! Metta, I love youuuu..."


Aku memeluk Metta saat badai orgasme melandaku, dan Metta pun dengan erat memelukku. Kusemburkan berkali-kali air maniku ke dalam rahim Metta, hingga akhirnya kuncian pada kakinya melemah. Kubiarkan dulu kontolku di dalam kehangatan rahimnya hingga melemas, sebelum akhirnya kutarik. Lekukan pada kepalanya sempat terjepit oleh bibir meki, seolah tidak mengizinkan kontolku keluar dari sana, kutarik agak keras hingga akhirnya keluar dengan bunyi pop agak keras dan Metta menjengkit.

Aku langsung memeluk dan menciuminya, dan kami pun ber-cuddle ria di kasur yang kini berbau hasil persetubuhan kami. Metta tersenyum sambil menyandarkan kepalanya pada dadaku hingga kurasa dia bisa mendengar detak jantungku, seolah itu adalah tempat ternyaman di dunia baginya. Kubelai rambutnya yang kini lepek dan basah lalu kuciumi keningnya.


"Keluar di dalem lagi," begitu kataku.

"Yaa, nggak papa, emang kenapa?"

"Nggak takut apa?"

"Takut apa?"

"Ya, kalau hamil gimana?"

"Ya, hamil ya hamil aja... Emang Bebeb mau apa kalau aku hamil?"

"Aku ya tanggung jawab lah... I'll be a dad."

"A good dad."



Metta mencubit pipiku dengan gemas. Aku tersenyum, walau agak terpaksa, karena jawabanku atas pernyataan itu kalau boleh dibilang kontradiktif dengan yang kulakukan.


"Tapi aku kan baru masuk kerja..."

"Nggak apa-apa, I just need you, that's all."



Metta memelukku semakin erat, dan aku merasakan hatiku yang galau bisa sedikit tertenangkan berada dalam pelukannya.


"Emang kamu suka gitu kalau crot dalem?"

"Umm, nggak tahu ya, pengen aja ngerasain lagi, soalnya Bebeb kalau ngecrot enak, rasanya anget, nyaman gitu, makanya aku pengen rasain lagi."

"Ya semua sperma juga anget lah."



Metta kembali terdiam, tak langsung membalasnya.


"Sotoy, emang Bebeb pernah dicrotin dalem?"

"Ya belum lah, gila aja."



Aku mencubit hidung Metta hingga dia berteriak.


"Ih, Bebeb mah, sakit, tau."

"Lagian, nanyanya gitu."

"Yee, kali aja."

"Nggak lah, you're the only one for me."



Kupeluk dia erat-erat, sambil kuciumi keningnya. Metta tampaknya terdiam, seolah pikirannya tengah melayang. Dia pun menekan tubuhnya lebih erat pada tubuhku, tangannya merengkuhku dengan erat dan gemetaran. Lalu kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir pada dadaku, rupanya Metta tengah menitikkan air mata dan menangis. Kutenangkan dia, kupeluk lembut, kuusap dan kucium kepalanya, membiarkannya menumpahkan air mata di tubuhku.


"Will you leave me?" tanya Metta.

"Enggak, Met, I won't leave you."

"Do you? Forever and ever?"

"Forever and ever."



Dia kembali membenamkan wajahnya di dadaku dan terisak. Kutunggu hingga akhirnya dia tak lagi menangis.


"I don't care no matter what you do or where you go or with whom, Babe," kata Metta, "just promised me that you will never leave me, okay?"

"Maksudnya?"

"Just promise me... I don't want to lose you, or you left even for a moment. Aku mau terus sama kamu, Beb... Please."

"I promise."



Metta lalu mengangkat jari kelingkingnya, dan kukait dengan jari kelingkingku. Dia tersenyum saat menitikkan air matanya yang terakhir, lalu kukecup bibirnya beberapa kali sebelum kupeluk dia dan kami tak saling lepas hingga kami tertidur kemudian.






Aku terbangun saat sinar mentari mulai memasuki kamar. Akhirnya kami tidur di sofa karena ranjang sudah terlalu basah dan tidak nyaman. Kuraba-raba sebelah, dan Metta tak ada di sana. Segera saja aku melihat sekitar dan kutemukan Metta tengah berdiri menghadap ke jendela. Gorden vitrace-nya telah ditutup, sehingga dia tetap bisa melihat keluar. Dia kini berdiri dengan ketelanjangannya, tanpa sehelai benang satu pun pada tubuhnya yang indah dan sempurna bak dewi surgawi. Metta dan matahari terbit, sungguh kombinasi keindahan ciptaan Tuhan yang luar biasa, bahkan aku pun tertegun melihatnya.

Tanpa menunggu, aku mengambil hape baruku, yang merupakan hadiah dari Metta semalam, dan kuambil beberapa gambar dirinya yang tengah berdiri di depan jendela itu. Suara cekrek dari kamera tampaknya menyadarkannya bahwa aku sudah bangun.


"Sudah bangun, Beb?"


Aku mengangguk. Walau tahu aku bangun dan memotretnya, dia masih tetap berdiri di depan jendela itu.


"Don't move," kataku, "aku sedang memotret keindahan surgawi."


Metta tertawa, membuat wajahnya terlihat amat imut di bawah sinar mentari pagi. Aku tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan mengambil foto beberapa kali. Melihat itu, dia justru memberikan pose, memperlihatkan tatapan matanya yang sayu-tajam, wajahnya yang cantik, dan tubuhnya yang indah itu, hingga berkali-kali aku mengabadikan setiap incinya. Proses ini entah bagaimana membuat jantungku berdebar-debar, dan kurasa Metta pun mengalaminya.


"Jangan buat coli ya, kalau emang pengen langsung bilang aku aja."

"Pasti. My beautiful girlfriend is the best of all..."



Aku berdiri kemudian memeluknya dari belakang, dan kami sama-sama berdiri telanjang di depan jendela sambil melihat matahari yang terbit, sebuah fajar yang baru, bagiku, baginya, dan bagi semua orang. Kami pun lalu berciuman, tanpa mempedulikan bahwa seluruh dunia kini tengah memperhatikan. Ya, persetan dengan dunia, karena fajar ini akan menjadi saksi bahwa mulai kini, segalanya akan berbeda.

Next >>> Decision
 
Terakhir diubah:
bagus, alurnya mudah dipahami kok. jarang2 ada yang mengangkat ide cerita isekai. lanjutkan hu

Makasih hu, sebenernya ada beberapa koq, asal pinter nyarinya hehehe

Anakronisme, wah ane ngga ngeuh d mananya harus baca ulang lagi nih hehehe Kayanya suhu penggiat sejarah ya? jarang jarang ane nemuin yg pake istilah anakronisme hehehe…

Dikit2, cuman ane tahu istilah ini justru dari bidang film hu, karena sering tuh baca2 website yg sering bahas soal glitch pada film terkenal.

Ada hu, anakronisme-nya agak disengaja tapi biar masuk dramatisasi cerita, hehehe.

Nginthili...

*Monggo kopine Om ☕☕

Kopinya satu juga ya hu!



Oh ya, versi Chapter 7 yang uncut ada di sebelah ya, cek aja profil page ane
 
Masih anteng buat terus ngikutin meski masih sedikit bingung tapi tertarik & penasaran dengan akhir ceritanya

Minimal ampe 2 chapter ke depan bakal agak bingung, karena ane mau agak melipir dulu dari strain awal
 
Bimabet
menarik ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd