Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Masih memutuskan, haruskah Chapter 8 ama 9 diupload atau mending lompat saja, soalnya kl dipikir2 nggak terlalu ngaruh ke jalan cerita sih...

Masalahnya Chapter 10 ama 11 blm selesai, kl 8 ama 9 diskip baru 1-2 minggu lagi update...

Hahaha, bingung
 
Menuggu double update

Wkwkwkwk, tidak bisa double update, mau tetep ane single update biar lancar tiap minggu ada yang diupdate...











...plus ane juga bisa ngerjain off-shoot ama spin-off, misal seperti ini:

29 Juli 2009
"The Day That Will Live in Memory"


Jam baru saja berdentang dua belas kali, bergema di koridor gelap rumah. Aku ingat benar-benar menghitungnya, dari satu hingga dua belas, tanda hari yang membahagiakan ini berakhir. Ya, ini hari saat aku wisuda, juga hari saat aku akhirnya menerima pernyataan cinta Erik, dan juga...

Aku menggosok seprai yang kini terdapat noda darah, tepatnya, darah keperawananku. Ya, akhirnya mahkota itu kupersembahkan pada Erik, yang baru beberapa jam lalu kami berpacaran. Seketika itu pula air mataku kembali jatuh, bercampur dengan noda darah itu.

"I'm sorry..."

Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Erik. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Apakah aku menyesal? Tidak, karena kehormatanku telah kuberikan pada pria yang kucintai, dan juga mencintaiku.

"I'm not."

Begitu jawabanku sembari mencium bibirnya. Kami masih bertelanjang dengan tubuh kami masih bercucuran keringat akibat pergumulan kami tadi. Erik membalas dengan ciuman paling indah yang pernah kurasakan, paling hangat dan juga paling lembut dan penuh cinta.

"I've robbed you from your innocence."
"It's okay, since you're the one who took it. It's my gift for you."
"Such gift that is so precious, that it felt like a grace."
"Then considered yourself be blessed, my Love."


Aku menggosokkan kepalaku pada dada Erik. Rasanya berbeda, sungguh nyaman, membuatku seolah terlindungi. Dia lalu merangkul dan memelukku, dan seketika semua kegalauan dan kecemasan pun sirna. Air mataku serasa berhenti, dan aku merasa di dalam lindungannya, tak ada yang bisa menyakitiku.

"Aku sudah membuatmu kotor."
"Tidak, ini tidak kotor, ini suci, karena ini cinta."
"Terima kasih, atas hadiah suci yang tak ternilai ini..."


Erik kemudian mencium keningku. Aku tersenyum, namun tiba-tiba air mataku menetes kembali. Ada satu hal yang tiba-tiba agak mengganjal, semakin meradang dengan pelukan hangat Erik pada tubuhku. "Tidak, Metta," begitu kata hati kecilku, "Kamu tidak sesuci itu..."
 
menarik ceritanya
 
Chapter 8:

A Little Thing Called Decision


Beberapa Bulan Lalu
Desember, 2009


Aku mengeklik mouse, mengirimkan sebuah email yang telah kubuat dengan saksama. Itu adalah balasan dari email yang menyatakan bahwa aku lolos dari tes penempatan bagi ASV Agency, sebuah perusahaan yang berspesialisasi dalam hal komunikasi dan pengelolaan data digital. Pada 2009, ASV adalah sebuah perusahaan yang relatif kecil, namun dengan semakin ramainya jejaring digital pada dekade 2010-an ke atas, nama ASV pun terkatrol menjadi perusahaan yang nantinya cukup punya nama, dan, ehm, diriku di tahun 2021 punya andil dalam membesarkannya.

Lalu kenapa aku masuk lagi ke ASV pada saat ini? Kenapa tak mencoba di tempat lain? Satu, karena aku amat paham dengan keadaan di ASV, lalu dua, berkaitan dengan Surya yang menjadi orang meresahkan di timeline-ku pada 2021. Meski dia "dihukum" tidak boleh memiliki staf perempuan, namun posisinya sudah terlanjur tinggi dan wewenangnya pun masih ada, dan predator semacam Surya masih bisa menebar keresahan di kalangan para pegawai perempuan di sana, termasuk Bella. Bella juga yang selalu bertanya kenapa bukan aku saja yang naik di posisi Surya sekarang, karena aku tak pernah meresahkan, bahkan lebih banyak mengayomi pegawai perempuan di kantorku. Jawabannya karena meskipun prestasiku bisa melampaui Surya, secara senioritas aku tidak bisa. Surya masuk pada awal 2010, sementara aku pada pertengahan 2010, dan board kami lumayan saklek dalam perkara senioritas ini, yang membuat semua orang frustrasi. Bahkan manajer HRD, Nindy, yang "menghukum" Surya pun sebenarnya ingin supaya dia dipecat, tapi terhalang faktor ini, entah bagaimana Surya bisa menjilat para board hingga setuju "mengesampingkan" kesalahannya sehingga hanya dihukum ringan.

So, target pertamaku adalah jelas, masuk pada awal 2010, dengan begitu aku satu angkatan dengan Surya, dan aku yakin dengan kemampuanku, aku akan bisa mengalahkannya ke puncak. Jika Surya tak memegang wewenang apa-apa di ASV, maka dia bisa dengan mudah disingkirkan, dan semua pegawai perempuan di sana akan aman, termasuk Bella, bila dia masuk nanti. Selain dua alasan itu, ada alasan ketiga, namun tak akan kuungkap karena berkaitan dengan tujuan keduaku.

Kemudian mungkin ada pertanyaan, apakah aku tak pernah iseng mengecek media sosial dari cewek yang kukenal di timeline asli? Katakanlah Bella, atau Rini, hanya untuk melihat bagaimana keadaan mereka di timeline ini? Jawabannya nyaris tidak pernah. Aku memang ingin menghindari Rini, jadi aku tak pernah memeriksa medsosnya, meski kami saling berteman di sana. Lalu Bella? Usia Bella terpaut hampir 10 tahun di bawahku, jadi pada saat ini, Bella antara masih SMP atau SMA, tak ada gunanya juga memeriksa medsosnya. Lagi pula Bella adalah orang yang selalu happy dan positif bahkan sebelum bertemu denganku, jadi kurasa tak akan ada bedanya walau aku tak berinteraksi dengannya, justru yang kutakutkan adalah bila saat ini aku berinteraksi dengannya, aku bisa saja mengubah masa depannya. Meskipun jujur saja, setelah pernyataan Bella padaku, aku jadi lebih merindukan dan khawatir padanya.

Kembali pada tujuan pertamaku, semua hal sudah kuperhitungkan, semua jalan juga sudah kupetakan, dan bila aku tetap fokus serta tidak goyah, maka sekali lagi aku akan mengubah sejarah dan membuat bajingan seperti si Surya itu mental dari ASV. Ya, kembali ke masa lalu bukanlah hal yang main-main, karena itu sebaiknya aku memanfaatkannya sebaik mungkin, karena aku pun merasa untuk itulah aku dibawa kembali pada masa ini.


Hari Ini
Januari 2010



Ini hari pertamaku di ASV, yang akan berjalan setengah hari. Ya, karena sebagaimana kuketahui dulu, aku dipanggil ke Jakarta sebenarnya bukan untuk langsung kerja, melainkan menjalani wawancara akhir. Walau begitu, sepanjang sudah dinyatakan lulus pada tes online, maka wawancara ini hanya sekadar formalitas saja, serta biasanya untuk membicarakan soal gaji dan job description sekaligus nanti tanda tangan kontrak.

Nah, kebetulan sekali yang mewawancaraiku hari ini adalah Nindy, yang juga teman sekosku, meski kami belum bertemu kemarin. Aku akan cerita dulu dari timeline asliku, di tahun 2021. Nindy ini orangnya sebenarnya cantik, petite (tinggi hanya 150 cm), namun cukup proporsional dengan rambut panjang sepinggang dan kulit putih bersih meski dia bukan chinese. Aku tak bisa berkomentar soal dadanya, karena dia tak pernah memakai pakaian yang menunjukkan bentuk atau ukurannya. Saat di kos pun setiap kali keluar dia pasti memakai kaus agak tebal dengan celana panjang serta sport bra, bahkan setiap habis mandi.

Satu hal yang menjadi ciri khas dia adalah galak dan judesnya minta ampun, apalagi kalau diajakin ngobrol nggak jelas ama cowok. Itu membuatku agak awkward juga, karena banyak cowok yang bertanya padaku bagaimana Nindy saat di kosan, dan selalu aku jawab bahwa aku jarang berinteraksi dengannya, hanya sekadar say hi, meski untuk basa-basi singkat ini dia lumayan ramah. Sikapnya ini juga yang membuat cowok-cowok playboy cap buaya di kantor mental saat mendekatinya meski dia salah satu yang tercantik di kantor.

Wawancara berlangsung cukup lancar sebenarnya, dan orang yang belum tahu dia mungkin mengenalnya sebagai orang yang cantik dan ramah, karena dalam wawancaraku ini dia tak menunjukkan nada sama sekali bahwa dia galak. Ah, iya, ini wawancara pertamaku dengan dia, karena di timeline tahun 2021, berhubung aku masuk pertengahan 2010, maka aku diwawancarai oleh orang yang berbeda, walau ini sungguh sebuah kebetulan.


"Jadi bagaimana, soal shift, job description, atau gaji dan tunjangan apakah ada keberatan, Mas Erik?"

"Sepertinya semuanya sesuai, Bu. Jadi tak masalah."

"Kalau begitu, besok Senin (ini hari Kamis) Mas Erik udah bisa mulai masuk kerja. Name tag sekaligus kartu akses udah bisa Mas Erik bawa, nanti Senin tinggal masuk dan langsung ke divisi yang bersangkutan ya, jadi tidak perlu ke HRD lagi."

"Siap, Bu, nggak sabar saya nunggu Senin."

"Iya, emang prosedurnya di sini gitu sih, Mas. Oh ya, ini di luar kerjaan di sini, saya mau nanya, Mas Erik beneran nih alamat yang bisa dihubungi mencantumkan alamat Kosan Ci Lily?"

"Iya, Bu, saya memang ngekos di kosan Ci Lily."

"Wah, sama dong, Mas, kita. Aku juga di tempat Ci Lily, tapi baru 2 bulan di situ."

"Ooh gitu, kalau saya baru masuk kemarin, Bu."

"Ooh pantes aku baru tahu. Eh, jangan panggil 'ibu' ya di kosan, kan Mas Erik lebih tua dari aku, panggil Nindy aja. Cuman aku jarang keluar kamar sih. Ya udah, kalau nggak ada apa-apa lagi, ini name tag dan kartu aksesnya. Mas Erik boleh langsung pulang dulu, okay?"



Aku mengangguk, lalu mengambil name tag yang diberikan padaku, kemudian menyalaminya dan pulang. Ingat kan waktu kubilang dia tidak suka basa-basi? Yah, begitulah memang. Kalau menurutnya pembicaraan sudah selesai ya sudah. Lebih dari itu akan berisiko memancing kekesalannya, dan sekali dia kesal, kita bisa dicemberutin terus sampai kapan pun. Bahkan Erik 2021 yang lurus-lurus saja pun nyaris saja masuk dalam zona ini.






"Hah? Jadi kamu cuman tanda tangan kontrak doang lalu pulang??"

"Iya, udah dapet name-tag sih, tapi baru Senin masuknya."

"Yaah, Bebeb."

"Koq, 'yaah' itu kenapa?"



Metta tampak mengeluarkan nada kecewa dari telepon.


"Tau gitu kan aku nggak ngambil tugas ke luar kota hari ini."

"Hah? Tugas luar kota? Koq aku nggak tahu."

"Iya, maaf, Beb. I'm sorry, please. Aku lupa banget ngasih tahu kamu. Jadi kemaren kan ada penugasan ke Bandung, kirain kamu juga langsung kerja, makanya aku setuju aja ngikut."

"Wait, wait. Ke Bandung ampe kapan?"

"Jumat malem baru balik."

"Koq kamu nggak bilang!? Lupa ya, pacarnya udah sekota sekarang!?"

"Yaah, sorry, Beb. Namanya juga lupa."



Aku mendengus dengan keras hingga Metta bisa mendengarnya.


"I'm so sorry, Babe. I'll make it up to you, I promise. Forgive me, please... Please... Please..."


Mendengar nada memelas itu seketika membuatku luluh.


"Oke, tapi jangan lupa bilang kalau ada apa-apa lagi, ya?"

"Iya, I promise, I won't hide anything from you again."

"Hide anything? What are you hiding, actually?"



Terdengar suara seperti bunyi "err" selama dua detik sebelum akhirnya Metta bicara.


"Ya itu tadi, kan aku nggak bilang ke kamu kalau mau ditugasin ke Bandung hari ini, yeah."

"Bener?"

"Bener, Sayang. I promise, lain kali kalau ada apa-apa kayak gini, aku bakal bilang ke kamu, okay?"



Aku mendengus kembali dengan keras.


"Bebeb, Sayang, jangan marah ya, please... Don't be mad, okay? Forgive me, Babe. Please, please, please."

"Ya, ya, sudahlah. But don't do that next time, okay?"

"Iyee Bebeb, nggak lagi-lagi, promise."

"Berangkat jam berapa ntar?"

"Siang ini, abis istirahat makan siang, naik mobil kantor."

"Terus, baliknya?"

"Jumat jam 5 rencananya berangkat dari Bandung, mustinya jam 7-an udah nyampe Jakarta lagi ya, kalo gak macet."

"Ama siapa?"

"Satu tim."

"Iya, satu tim itu siapa aja?"

"Aku, Kiara, Aliya, ama Pak Adnan."

"Cowoknya si Pak Adnan?"

"Iya, lainnya cewek semua. Pak Adnan itu team leader aku, Beb. Udah hampir 50-an dia, punya istri ama anak."

"Emang aku tanya?"

"Ya, kali aja Bebeb pengen tahu."

"Ati-ati aja, jangan macem-macem."

"Ya elah, Beb, mau macem-macem gimana sih? Tenang, tenang, I'll be okay. Don't worry."



Aku terdiam, dan tentu saja, aku merasa cemburu. Entah kenapa sedari dulu, bahkan di timeline asliku, saat Rini pergi ke tempat jauh dengan orang yang tak kukenal, aku selalu merasa tidak aman, bahkan bila bersama cewek, apalagi cowok. Setelah menikah 10 tahun, aku sudah hampir tak merasakan hal itu lagi, dan ternyata kurasakan kembali saat bersama Metta. Bukan masalah dia pergi dengan siapa sebenarnya, namun juga karena dia tidak mengatakan apa-apa, padahal kami semalam menginap bersama di hotel, tapi kenapa aku justru baru tahu pagi ini?






Apa yang harus aku lakukan jadi seharian ini? Dan juga besok? Aku belum masuk kerja, lalu Metta juga ternyata harus tugas ke Bandung. Pada tahun ini belum ada S*vel yang buka di dekat-dekat sini. Motor baru akan sampai besok pagi, jadi ya, secara resmi, aku terjebak di kosan ini, yang saat ini tengah sepi. Ci Lily entah pergi atau tak keluar dari tempatnya, dan orang-orang juga sepertinya sedang pergi (kecuali mungkin kamar nomor 1 yang lampunya menyala). Aku jadi berpikir, apa aku ke balkon rooftop saja ya? Selama ngekos di sini pada timeline asli, hanya beberapa kali saja aku pernah ke balkon, karena aku jarang mencuci sendiri bajuku dan aku tidak merokok, juga karena Erik 2021 di saat ini adalah orang yang socially-awkward, sehingga aku cenderung menghindari bertemu orang.

Aku pun lalu mengunci pintu kamar kos sebelum naik ke rooftop di lantai 4. Memang kosan kami masih ada pagar gerbang sehingga setiap anak kos punya dua set kunci, untuk kamar dan gerbang depan, dan memastikan tidak ada yang bisa masuk selain penghuni kosan, atau yang diizinkan oleh penghuni. Balkon sendiri seingatku hanyalah hamparan halaman beton yang tertutup oleh atap fiberglass dan asbes lekuk, dengan sekelilingnya ditutup oleh pagar besi tempa, sehingga membuatnya jadi "ruang terbuka yang tertutup". Dulu, kata Ci Lily, rooftop ini awalnya sengaja dibiarkan terbuka, namun saat hujan yang teramat deras, airnya sampai masuk ke ruang tangga dan mengalir hingga ke lantai bawah, serta pernah ada maling yang mencuri mesin cuci di atas dan berusaha membobol pintu atas, sehingga demi keamanan dan kenyamanan, rooftop lalu dipagari dan diberi atap. Ada pintu teralis di sana yang menjadi pintu darurat bila terjadi sesuatu, yang kuncinya hanya dipegang oleh Ci Lily.

Rooftop ini dipakai sebagai tempat mencuci dan menjemur pakaian. Ada papan cuci di sana, lengkap dengan ember dan peralatan cuci. Mesin cuci hanya ada di tempat Ci Lily karena Ci Lily takut kalau ditaruh di atap bisa hilang lagi. Selain itu juga di sana tempat bagi water toren, antena TV (terestrial dan satelit) serta ada sebuah sudut di sisi depan untuk orang merokok, dengan bangku kayu yang dibatasi oleh tanaman-tanaman pot berdaun rimbun. Konon, karena Ci Lily sendiri tak begitu suka dengan bau asap rokok, maka dia juga jarang sekali ke atas, dan menyuruh mereka yang merokok untuk jangan meninggalkan sampah puntung atau abu di mana-mana. Pada sudut merokok inilah aku duduk. Cuacanya sedang panas, namun karena ini ruang terbuka, jadi angin berhembus membawa sedikit kesegaran di tengah panasnya suhu Jakarta.


"GREEDEEKK!!"


Terdengar suara pintu gerbang akordeon terbuka, dan aku langsung melongok ke bawah untuk melihat siapa yang masuk atau keluar. Hmm, ternyata si penghuni kamar no. 1 yang bernama Vinny itu. Dia tampak celingukan sebentar sebelum memberi isyarat pada seseorang, lalu beberapa detik kemudian keluarlah seorang pemuda tanggung. Astaga! Rupanya si Vinny menyelundupkan pacarnya lagi. Sayang aku kurang sigap, padahal bisa kupotret untuk kulaporkan Ci Lily. Namun kalau dipikir-pikir lagi ngapain juga aku lakuin itu? Toh mereka juga sama-sama udah gede. Akhirnya aku memilih duduk saja di kursi sambil memilih-milih aplikasi atau game apa yang bisa kupasang di hape baruku.


"GREEDEEEKKK!!"


Suara pintu akordeon terdengar kembali, tanda si Vinny sudah menutupnya lagi, namun anehnya tak terdengar suara klik yang mengindikasikan pintu sudah terkunci. Wah, dasar ini orang bener-bener deh. Kalau nggak kenceng kan bahaya soalnya orang selain penghuni bisa masuk, apalagi situasinya siang dan memang agak rame.

Aku langsung saja bangkit dari tempat dudukku dan turun ke gerbang. Benar, ternyata, masih ada celah antara dua pintu akordeon yang agak lebar, walau tidak memungkinkan orang masuk. Bagian segmen akhir itu memang agak susah karena sering menyangkut, jadi mungkin si Vinny tak bisa menutupnya, namun itu tetap saja tidak bertanggung jawab. Lagian, Ci Lily seharusnya sudah mengajarkan cara menutupnya dengan benar, yaitu jika menyangkut, maka dimundurkan sedikit dulu, lalu ditarik lagi sambil agak diangkat sehingga tidak lagi menyangkut. Jadi aku pun menarik mundur dulu, lalu...


"Eeeeh tunggu!!"


Suara itu membuatku berhenti. Sambil berlari-lari, seorang gadis menghampiri gerbang. Itu adalah Friska, masih memakai seragam biru-merahnya.


"Eh, Mas Erik, nggak kerja mas?"

"Tadi cuman wawancara doang, jadi aku pulang, Senin baru masuk. Kamu sendiri shiftnya udah selesai? Kan belum jam 12 ini?"

"Oh, aku izin sakit tadi, Mas, jadi balik cepet. Kebetulan ada Mas Erik, jadi aku bisa masuk."

"Lho? Emangnya nggak bawa kunci?"



Friska menggeleng.


"Yang mbawa kunci si Sheila, Mas. Ci Lily cuman punya satu set, jadi aku ama Sheila bagi tugas, aku pegang kunci kamar, Sheila pegang kunci gerbang."

"Napa nggak diduplikatin aja, jadi kalian pegang satu-satu? Ntar kalo shift kalian beda gimana coba?"

"Hehe, iya Mas, rencananya juga gitu, mau cari tukang duplikat kunci deket sini, cuman belum sempet."

"Yah, jangan ngeduplikatin di deket sini, bahaya, cari tempat duplikatan yang jauh, biar aman."

"Koq gitu, Mas?"

"Iya, kalo yang deket-deket, takutnya ditandain, terus dia bikinnya lebih dari satu buat maling."



Friska mengangguk-angguk sambil mulutnya membentuk huruf "O". Kami pun masuk kemudian aku mengunci pintunya.


"Kamu udah ke dokter, Fris?"

"Dokter?"

"Iya, katanya tadi izin sakit."

"Oh itu, aku nggak sakit koq, Mas."

"Hah? Lho? Terus?"

"Alesan aja itu biar aku bisa mbolos, ntar mau diajak temenku maen."

"Wah, parah kamu."

"Jangan bilang siapa-siapa ya, Mas?"

"Ya mau bilang ke siapa, emang?"

"Hehehe iya juga ya. Aku mau mandi ama ganti baju dulu ya, Mas, bentar lagi temenku mau ngejemput."



Kami berdua lalu sama-sama naik ke lantai dua, kemudian masuk ke kamar masing-masing. Pintu kamar masih kubiarkan terbuka supaya ada angin masuk. Namun ada alasan lain kenapa aku membuka pintunya.


"Mas Erik, mandi dulu ya..."


Friska lewat di depan kamarku, hanya memakai handuk saja sehingga setengah pahanya kelihatan. Aku hanya tersenyum saja, karena sudah mengetahui kebiasaan Friska ini dari timeline awalku. Tak seperti cewek lain yang pernah ngekos di sini, Friska adalah satu-satunya yang melepas dan memakai baju di kamarnya, lalu pergi ke kamar mandi hanya berbekal handuk. Karena kamarku ada pada jalan menuju kamar mandi, maka jelas Friska selalu lewat di depan kamarku, menjadi pemandangan indah setiap kali dia akan dan selesai mandi. Entah kenapa dia begitu, awalnya karena kukira sebelum aku masuk lagi ke kosan ini, dia terbiasa dengan kosan yang isinya adalah cewek-cewek saja, namun setelah aku masuk pun dia masih tetap melakukannya, bahkan pernah mengajakku ngobrol singkat sambil tetap memakai handuk, atau malah bercermin di cermin besar di koridor, tetap memakai handuk, dan dia tahu aku ada di sana melihatnya. Entah cewek satu ini super polos atau malah super cuek, dan aku cenderung ke yang awal.

Aku meletakkan buku catatanku yang berisi rencana "pembalasan dendam". Semua langkah sudah kuhitung dan kuperhitungkan dengan teliti sehingga cukup mengikuti sebagaimana yang telah kurencanakan lalu membuat beberapa penyesuaian bergantung pada efek yang didapat. Namun ada satu hal yang muncul di pikiranku, apa yang harus kulakukan dalam waktu-waktu selain itu? Haruskah aku mengikuti jalan hidup di timeline asalku, sebagai Erik yang lurus dan tidak pernah macam-macam, atau...

Bayangan Friska yang melewatiku hanya memakai handuk saja itu terasa agak meracuni pikiranku. Erik 2009 pada saat ini akan tetap lurus tak peduli godaan apa pun yang datang, bahkan saat berada di kosan di mana isinya adalah cewek semua, Erik 2009 akan cukup memalingkan muka. Namun Erik 2009 pada saat ini masih perjaka, hanya pernah coli saja; sementara aku sudah merasakan nikmatnya bersetubuh dengan Metta dan, bila ditarik dari timeline asalku, juga Rini; bahkan mendapatkan ciuman dari Bella, sesuatu yang Erik 2009 tak dapatkan dan rasakan saat ini, dan itu sedikit banyak mengubah pola pikirku. Bagaimana jika? Ya, bagaimana jika aku tak perlu mengikuti jalur dari Erik 2029?

Bagaimana bila aku membuat jalurku sendiri dan berubah menjadi orang yang berbeda? Friska, Sheila, Vinny, bahkan Nindy, semua adalah cewek yang bisa dengan mudah kujangkau, saking mudahnya, dulu aku sering membuat skenario bagaimana bila aku melakukan B alih-alih A? Lagi pula aku sering memakai mereka sebagai fantasi setiap kali coli, jadi bagaimana bila kubuat ini tak sekadar fantasi? I know the trick, I know the trade, I know boundaries and limits, unlike Erik 2009 has. Tapi, tidak, bila aku melakukannya, bagaimana bila sejarah menjadi melenceng? Ingat, butterfly effect. Segala hal kecil yang kau ubah di masa lalu bisa menjadi perubahan besar di masa depan. Tapi bisa kembali ke masa lalu saja sudah sesuatu yang tidak make sense! You've done something that is virtually impossible, Erik! Would you spent your second life like your boring old life?? Cuman pacaran sama Metta saja and that's it?? What a waste. Ya, benar sekali, what a waste, karena ini bukan hanya kesempatan sekali seumur hidup, tapi ini kesempatan yang dari sisi mana pun mustahil terjadi!

Suara pintu kamar mandi yang khas terdengar, disusul suara langkah yang agak cepat, dan Friska kembali melintas untuk menuju ke kamarnya. Rambut dan tubuhnya masih basah, dan aroma sabun mandinya tercium amat khas saat dia lewat. Sedetik kemudian bunyi pintu dibuka dan ditutup kembali. Aku bimbang sejenak, haruskah aku melakukan sesuatu? Aah, persetan, now or never! Aku berdiri, lalu dengan mengendap-endap aku berjalan menuju ke kamar Friska. Situasi kosan amat sepi, Vinny tak akan keluar dari kamarnya dan bila Ci Lily turun pasti suaranya akan terdengar jelas, memberiku kesempatan untuk menghindar. Aku berjongkok dan berjalan di bawah jendela kaca nako di depannya yang tertutup gorden, supaya bayanganku tak terlihat dari dalam, dan bak sebuah keberuntungan, Friska agak teledor dengan membiarkan ada celah terbuka di salah satu sisi gordennya. Selain polos, Friska juga terkenal teledor, karena sering cuek dengan situasi yang membuat orang bisa dengan mudah menikmatinya. Selain tak terlalu rapat menutup gorden, dia sering tak rapat menutup pintu kamar, bahkan pintu kamar mandi saat dia sedang pipis atau ganti baju, bahkan sering memakai baju longgar walau tanpa beha dan membungkuk tanpa terlebih dahulu menutup celah pada dada atau ketiak, sehingga ya, bahkan Erik 2009 pun sering menikmati keteledoran itu. Namun Erik 2009 adalah ksatria putih dan orang yang lurus, sementara aku sudah bosan menjadi ksatria putih. Aku sudah memutuskan ingin menjadi ksatria hitam, seorang anti-hero, not the boring old me!

Hape kuangkat dan kupakai sebagai periskop untuk melihat dari celah gorden itu, dan pelan-pelan terlihatlah Friska tengah duduk di kasur, masih memakai handuk, tak sadar apa yang tengah terjadi. Untunglah Metta membelikanku hape baru ini dengan kamera yang lebih bagus daripada hape lamaku. Ini membuatku sedikit tak enak hati pada Metta, but the show must go on. Ada niatan yang menggebu-gebu dan menyala-nyala yang membuatku tak lagi mempedulikan apa pun jua, dan Friska tetap duduk di sana, tak sadar bahwa aku mengintipnya.

Aku menahan nafas saat Friska kulihat mengambil botol lotion yang ada di sebelahnya. Dia menumpahkan sedikit isinya pada telapak tangan, lalu membalurkannya merata pada seluruh lengan, dan bagian leher serta tulang belikatnya. Kulit Friska tergolong cerah, sehingga saat dia mengoleskan lotion, di bawah lampu kamar, terlihat mengkilap. Jantungku pun berdetak kencang hingga aku harus memegangi tanganku supaya hapeku tidak goyang atau jatuh, dan cara Friska mengoleskannya seolah berlangsung dalam gerak lambat. Keringat dingin mengucur dari dahiku dan nafasku memburu. Fuck! Aku sudah pengalaman dalam membugili wanita, tapi kenapa aku merasa seperti gugup? Apakah karena aku saat ini sedang mengintip, sehingga rasanya seperti campur aduk? Malu, takut, gugup, tegang, nafsu, semua campur menjadi satu. Aku berkali-kali melirik ke kiri dan ke kanan serta telingaku menjadi amat sensitif pada bunyi-bunyian apa pun, bahkan bunyi yang ada dalam pikiranku sendiri.

Tanpa menyadari yang aku lakukan di luar, Friska meneruskan kegiatannya dengan asyik dan bersenandung. Kali ini dia mulai melepas ikatan pada bagian atas handuknya, dan aku pun menelan ludah, menantikan apa yang akan terjadi. Seluruh indraku berfokus pada Friska hingga aku merasa terputus dari dunia. Handuk pun terbuka, dan dalam beberapa detik aku bisa melihat profil depan dari badan Friska, yang di timeline asalku hanya bisa kulihat saat dia sedang teledor saja. Friska memiliki dua susu yang boleh dibilang tocil, ukurannya antara 32A atau 34A, entahlah, mirip seperti bola tenis yang dimasukkan ke kaus kaki, kalau aku boleh bilang, namun areolanya agak besar sehingga hampir memenuni setengah tampak depannya dengan puting yang amat mini, bahkan Rini dan Metta pun tak memiliki puting semini itu. Ini agak kontras, karena badan Friska sebenarnya tinggi dan berisi, tidak kurus; lengan, paha, betis, perut, profil badan dan pinggangnya secara umum amat bagus, tidak ada lipatan lemak sama sekali.

Friska menuang lotion kembali pada tangannya, kemudian mengoleskannya pada dadanya. Aku menikmati detik demi detik dia meremas pelan susu mungilnya yang tampak mengkilap oleh lotion, membuat areolanya yang cokelat kemerahan menyala terang sejenak hingga lotion itu terserap oleh kulit. Setelah dada dan perutnya terbalur rata oleh lotion, dia mengangkat satu kakinya dan mengolesi betisnya. Aku hampir saja bisa melihat selangkangannya, namun terhalang oleh kakinya yang memang dirapatkan. Hanya sedikit dari bagian atas jembutnya yang terlihat, yang jelas tak seterawat Metta, namun tak seberantakan Rini. Aku menunggunya untuk memakai celana dalam, karena dengan itu dia pasti akan berdiri sehingga badan telanjangnya terlihat jelas.

Dia masih bersenandung, suaranya merdu, mirip senandungan Metta, dan sejenak aku lupa kalau sedang mengintip dan hanya menikmati saja suara senandungannya. Saat itu dia mengambil celana dalam yang ada di sebelahnya, dan aku langsung bersiap menegakkan badanku. Rasanya agak susah untuk jongkok karena kontolku sedang berdiri. Aku mengalihkan pandangan sebentar ke bawah untuk memperbaiki posisi kontol pada celana, dan, sial, satu detik aku mengalihkan pandangan ternyata dia langsung berdiri dan membalikkan badan, hanya terlihat bagian belakangnya yang mulus, namun pantatnya agak kotak dan kecil, tak seperti Metta yang membulat. Bagaimana pun, tubuh telanjang Friska benar-benar membuat kontolku berdiri, hal yang dulu selalu menjadi fantasiku, dan... Tiba-tiba dia terdiam dan agak membungkuk ke arah kasur seolah melihat sesuatu. Aku penasaran apa itu, jadi aku agak melongok, dan...


"Mas Erik!!"


Aku hampir saja jatuh terjengkang dan lari tunggang langgang gara-gara Friska memanggil namaku. Apa aku ketahuan?? Sial, bagaimana bisa aku ketahuan, padahal aku sudah berhati-hati?? Tiba-tiba aku panik dan keringat langsung saja keluar membasahi tubuhku dengan jantungku berdetak tak karuan hingga hampir copot. Ah, sial, berengsek! Aku menyerapahi diriku sendiri, baru saja berniat buruk sudah ketahuan, kalau dilaporkan ke Ci Lily bisa dibunuh aku, nggak cuman diusir doang.


"Mas Erik!! Mas Erik di mana??"


Aduh, bagaimana ini? Bagaimana ini? Haruskah kujawab? Atau haruskah aku lari? Bagaimana ini?? Otakku tiba-tiba buntu dan tak bisa berpikir apa-apa. Otak yang biasanya encer dan bisa membuat plot amat rumit kini langsung mampet.


"Mas Erik?? Mas Erik tidur ya??"

"I-Iya, Fris, ada apa?"



Akhirnya aku memutuskan menjawabnya. Apa pun yang terjadi sudah, terima nasib aja.


"Mas Erik, aku mau minta tolong dong, temenku bentar lagi nyampe nih, bisa tolong bukain pintunya gak? Aku masih pake baju ini."

"Bu-bukain pintu?"



Pintu kamar Friska terbuka, dan dia melongokkan kepalanya dari sana, sepertinya sudah memakai handuknya lagi. Untung aku sudah ada di depan pintu kamarku lagi, dan dilihat dari raut mukanya, sepertinya dia tak sadar aku tadi mengintipnya.


"Maaf, Mas Erik baru tidur ya? Aku minta tolong bukain pintu dong, soalnya temen aku bentar lagi nyampe, terus aku masih dandan."

"Oh, temen kamu?"



Aku berpura-pura tak terjadi apa-apa.


"Iya, namanya Santi, barusan banget nih dia SMS, tolong Mas Erik bukain pintu ama tungguin dia dulu ya? Ntar kalo udah kelar aku ke bawah."

"Oh, oke."

"Hehehe, makasih, Mas Erik baik deh."



Friska menutup pintunya dan seketika itu juga lututku terasa lemas dan aku menghembuskan nafas lega. Astaga, benar-benar sebuah sport jantung kalau begini caranya. Perlu beberapa detik sebelum akhirnya tubuhku stabil kembali. Aku segera memeriksa hapeku diam-diam, dan, astaga, rupanya dari tadi aku tidak menyalakan videonya, sial. Lepas deh kesempatan mengabadikan Friska yang sedang telanjang, benar-benar tidak diijabah. Sudahlah, Erik, tidak apa-apa, yang penting kamu selamat.






"Bebeb, kangen..."


Begitu yang pertama kali kukatakan ketika Metta akhirnya meneleponku petang itu.


"Yah, Beb, belum juga ditinggal sehari, Beb."

"Ya, namanya kangen..."

"Sabar, Beb, baru besok malem aku balik, okay?"

"Btw udah nyampe di Bandung, Beb?"

"Udah lah, dari tadi, udah ninjau kantor juga, ini baru masuk hotel nih, Beb."

"Ama siapa di kamar?"

"Ya ampun, Beb, bertiga doang cewek-cewek, Pak Adnan kamarnya beda lantai. Ini juga katanya besok pagi istri ama anaknya nyusul."

"Oo gitu."

"Udah, jangan cemburu gitu."

"Ya cemburu lah, kan yang di sono ama kamu dia, bukan aku."

"Utututu, Bebebku sayangku manisku. Ya udah, kamu tenang aja pokoknya, kalo aku balik aku kasih kejutan deh."

"Bukannya kalau diomongin namanya bukan kejutan lagi ya?"

"Dunno, tentuin aja ntar."

"Apaan sih?"

"Ih kepo, kalau aku kasih tahu ya bukan kejutan lah, just calm dong, okay? Tunggu aja ntar aku balik."

"Iya, okay. Btw, kamu lagi ngapain nih?"

"Aku? Lagi di kamar mandi nih."

"Lah, di kamar mandi ngapain?"

"Ya mandi lah, emang ngapain lagi?"

"Mandi koq bisa sambil teleponan?"

"Kan pake bathtub, Sayang, bukan shower apa gayung."

"Wah, bugil dong."

"Ya iyalah, namanya juga mandi. Hmm, pasti mikirnya aneh-aneh nih."

"Hehehe..."

"Kontol udah berdiri?"

"Belum, masih ngisi tenaga."

"Oh ok, bentar, tutup dulu."



Metta lalu menutup teleponnya, yang membuatku agak kaget. Apakah ada sesuatu? Kemudian tak lama muncul notifikasi bahwa ada pesan MMS masuk. Langsung saja kubuka dan wow, isinya adalah gambar kaki Metta yang sedang selonjor dan dipotret dari sisi pandangan mata, sehingga terlihat kaki, pinggul, dan puncak bukit meki Metta. Disusul kemudian SMS dari Metta.


METTA: "Sk?"
AKU: "iy, krn bgt. Duh, pcrq sxy bgt sih"
METTA: "br kontol cpt berdiri"
METTA: "kontol udh bs berdiri blm?"
AKU: "sabar dnk, namanya jg proses"
METTA: "Liat dnk"
AKU: "liat ap?"
METTA: "y kontol lh"
AKU: "ok, bntr"


Aku langsung melepas celana boxerku, sekaligus celana dalamnya sehingga kontolku langsung menyembul dalam posisi setengah tegang. Kupotret dalam posisi sambil kugenggam, lalu kukirimkan via MMS. Ini pertama kalinya aku mengirimkan foto tak senonoh lewat MMS, biasanya kami tak pernah sampai melakukan itu.


METTA: "msh lemes gt yh?"
AKU: "perlu asupan lbh kyknya"
METTA: "huuu, mwnya"


Tapi kemudian tak lama Metta mengirimkan tiga MMS sekaligus. Gambar pertama adalah foto Metta selfie dari angle atas dan kaki ditekuk sehingga terlihat susu dan profil kakinya sekaligus, plus mulut gaya duckface dan tangan satunya membentuk tanda "peace". Gambar kedua diambil dari angle depan, dengan "peace" terbalik, lidah agak dipeletkan sedikit, juga susunya terlihat dari depan plus selangkangannya membayang dari balik air jernih yang menutup sedikit di bawah pusar. Gambar ketiga menunjukkan profil agak menyamping, kali ini dengan ekspresi wajah sensual, tangannya menutup salah satu putingnya dengan kaki ditekuk menyamping. Melihat itu, kontolku pun bergerak semakin kencang. Aku memegang dan mengocok sedikit kontolku hingga mengeras sempurna.


METTA: "udh?"
AKU: "udh nih, keras"
METTA: "eh, jgn coli dl"
AKU: "Heh?"


Metta lalu meneleponku dan langsung kuangkat. Repot sekali ya? Aku sendiri setengah berharap andai saja di zaman ini sudah ada fitur video call. Sebenarnya memang sudah ada, hanya saja dengan jaringan masih berkutat di EDGE dan HSPA+, agak susah mengharapkan koneksi video call yang stabil.


"Nah, gimana? Udah keras beneran?"

"Udah, nih."

"Yee, mana aku bisa liat."

"Rasain aja. Aku bayangin tangan kamu megangin kontol aku, terus dielus pelan-pelan..."

"Oh, yes, Babe, aah, kontol kamu keras, aahh, yess..."

"Hmm..."

"Koq 'hmm'?"

"Jangan di-porn star-in dong, just be yourself. I love Metta as Metta."

"Ih, padahal dulu nggak lho, dulu aja pengennya dilebay-lebay-in."

"Ya, dulu kan belum kejadian. Sekarang aku lebih kangen ama kamu yang apa adanya kamu."

"Iyaa, iyaa, kontol masih berdiri kan?"

"Masih."

"Tegang?"

"Tegang."

"Aku elus ya?"

"Ho-oh. Pelan-pelan ya?"

"Iya, aku pelan-pelan koq. Elus, elus, kontol baik, Metta suka ngelusnya. Kontol suka nggak dielus ama Metta?"

"Iyaah, suka..."


"SLICK!! SLICK!! SLICK!!"


"Gitu kan, bunyinya?"



Aku mendesah panjang. Entah bagaimana Metta bisa menirukan suara kontol basah yang sedang dikocok itu, tapi itu membuatku membayangkan Metta yang mengocok kontolku, dengan tempo sebagaimana dia melakukannya.


"Aah, yess, enak banget, Met..."

"Erik, kamu ikutin tempo aku, kan?"

"Iyaah..."

"Licin ya?"

"Iyaa..."



Luar biasa sekali karena dia bisa tahu kontolku sedang mengeluarkan precum, mungkin karena saat aku mengocoknya, suara kecipaknya terdengar agak jelas.


"Aaaaaaahhhhh... Beeeb..."

"Apa? Apa? Kamu kenapa, Met?"

"Geli, Beb, aku ngocok meki aku..."


"CPAK!! CPAK!! CPAK!!"



Suara dari meki Metta yang tengah dikocok membuat pikiranku semakin melayang, dan kontolku pun semakin mengeras dengan precum semakin banyak.


"Gila, Met, dulu nggak sebanyak ama sekeras ini lho... Aaahh..."

"Ya dulu kan cuman mbayangin aja, Beb, kalau sekarang kan udah tahu rasanya... Aaahh... Mbayanginnya jadi tambah realistisssshhh... Aaahhh..."

"Heh? Kamu keluar ya??"

"Belum, tapi hampiiiiir..."

"Yah, koq cepet mbanget??"

"Kamu cepetin tempo kamu, dong, duh... Meki aku nggak tahu nih, kerasa tebel gitu tapi sensitif banget, aaaahhhhh... Bebeb, kamu udah mau keluar, belum?? Aku udah nggak kuat nih... Aaaaaahhhhh..."



Sial! Kontolku memang sudah cukup keras dan basah, namun masih perlu beberapa kali kocokan keras sebelum bisa keluar, karena bahkan dari dalam pun dorongannya belum terbentuk. Sementara Metta, setelah dua kali bercinta dengannya, aku sudah bisa menebak kapan dia akan keluar. Ritme dan tempo suaranya serta kecipaknya sudah mengindikasikan itu, dan dalam beberapa detik lagi, dengan tempo yang sama, tubuhnya akan mulai mengejang dan bergetar. Kalau aku ada di sana, aku pasti akan bisa mengendalikan orgasmenya supaya kusesuaikan dengan tempoku, namun dengan aku tak secara fisik ada di sana, hal ini jadi agak rumit. Sebaiknya kulepaskan saja dia supaya orgasme, baru kemudian aku mengejar orgasmeku sendiri.


"Bentar lagi aku keluar nih, Met... Aaaahhh..."

"Aaahh... Beneranh??"

"Iyaaa... Cepetin sama-sama, Sayang ya... Aaaaahhh..."

"Aaaaaahhhh..."

"Aaaahhhhh..."

"Aaaahhh..."

"Terus, Met, dikit lagi, dikit lagi, dik..."

"Aku keluaaaaaaarrrrr!!!!"



Saat itu terdengar suara seperti air yang ditepuk-tepuk, menandakan bahwa tubuhnya sudah mengejang dan pinggulnya berguncang hebat. Aku juga buru-buru mengerang dan melenguh keras, seolah-olah tengah orgasme. Tak masalah, yang penting Metta mendapatkan klimaksnya terlebih dahulu, aku sih gampang. Suara napasnya yang terengah-engah bahkan terdengar jauh lebih sensual di telepon. Dalam hati aku berpikir, pantas saja Metta dulu bisa cum hanya dengan suaraku, mungkin suaraku di telepon bisa terdengar jauh lebih seksi.


"Hhh... Hhh... Hhh... Bebeb udah keluar?"

"Hh.. Udah, kan kita keluar bareng..."

"Gila... Udah lama ya kita nggak phone sex gini... Hhh... Hhh... Oh?"

"Ada apa?"



Terdengar suara yang tidak jelas, namun sepertinya pintunya entah diketuk atau digedor dari luar, walau terdengar agak teredam bagiku. Apa yang dikatakan oleh orang yang mengetuknya pun tidak begitu jelas. Aku hanya tahu saat Metta menjawab dengan, "Iya, sebentar lagi selesai!"


"Kenapa, Met?"

"Temen ngetok pintu, mau gantian mandi, soalnya ntar mau makan malem rame-rame satu tim."

"Oh ya udah, mau nerusin mandinya?"

"Iya, gara-gara kamu nih, jadi squirting lagi di bathtub."

"Ih, jorok, ntar dipake ama temennya lagi."

"Nggak lah, kuras dulu. Aku pake shower aja. Udahan dulu ya, Beb, ntar tungguin kejutan aku besok, okay?"

"Siap! Kamu ati-ati, jangan macem-macem."

"Kamu juga, jangan macem-macem."

"Love you, Metta."

"Love you too, Bebeb."



Kami saling berciuman via telepon sebelum akhirnya menutup teleponnya. Ah, akhirnya aku bisa meneruskan coli untuk mengeluarkan hasrat yang sudah terpendam dari awal hari ini. Kuraih kontolku yang masih keras, kuludahi sedikit tanganku karena precum tadi agak mengering, dan langsung kupasang gigi cepat, karena tujuannya memang untuk mengeluarkan secepatnya. Ah yes... Akhirnya dorongan itu sudah mulai terbentuk dari pangkal kontolku, bergerak merayap ke batang kontol, dan kini kontolku menegang, berkedut, dan...


"FRISKA KAMPREEEETTT!!!"


Aku terkejut dan hampir saja melompat karena teriakan dari luar itu. Kulihat kontolku hanya berkedut ringan lalu langsung layu, mungkin pengaruh syok akibat kaget. Cairan agak keruh tampak mengalir dari lubangnya. Aaaaahh berengseeeeekkkkkk!!!! Kentaaaaaaaaannnnggggg!!!! Aku mengacak-acak dan menarik-narik rambutku sendiri, karena ini adalah perasaan yang amat sangat tidak mengenakkan, bahkan hingga berkali-kali aku memukul-mukul kasur. Astaga, Gusti, kenapa susah sekali bagiku untuk dapatkan kepuasan seksual hari ini? Ada apa lagi ini, astaga...

Next >>> Adventure
 
Terakhir diubah:
menarik ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd