Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
mantab nh spertinya, bikin semua pasti berpikir sama, andai... ;)
 
Suwun ceritanya

Matur nuwun updatenya...

Absen pagi²...

#tetapsemangat
#sehatselalu
#janganlupabahagia

Tulisanya mengalir.... Cakeup 👌

Terima kasih atas apresiasinya hu

mantab nh spertinya, bikin semua pasti berpikir sama, andai... ;)

Ide awalnya emang dari sebuah pertanyaan itu koq hu, hehehe 😄


*makanya buat ane sih bullshit aja org yg bilang gk pengen ngubah apa2
 
Chapter 3:

A Little Thing Called Reminiscence



Tahun 2021

Aku masih memandangi Metta yang manggut-manggut selagi Bella menjelaskan mengenai produk kami. Untuk urusan pitching, harus kuakui, Bella memang yang terbaik, seolah dia punya bakat alami, walau aku harus hati-hati supaya tak memujinya terlalu berlebihan supaya dia tidak terbang atau overreacted. Namun dalam dia mendengarkan penjelasan Bella, aku yakin bahwa Metta beberapa kali mengerlingkan pandangan kepadaku sambil tersenyum. Itu adalah pandangan yang sama yang membuatku kehabisan kata-kata saat kami pertama berjumpa.


"Nah, kira-kira begitu deskripsinya, bagaimana, Bu Metta?" tanya Bella mengakhiri presentasinya.

"Bagus, bagus, kayaknya nggak ada masalah. Proposalnya nanti bisa langsung saya bawa ke board supaya cepat difinalisasi."

"Eh, yang bener, Bu? Cepat sekali, ya?"

"Kebetulan karena kalian punya orang yang saya percayai, makanya saya lebih tenang buat memilih kalian."



Saat berkata begitu, Metta menatap ke arahku. Terlepas bagaimana kami akhirnya putus, pada akhirnya kami memang berbaikan kembali, namun hubungan kami berdua sudah tak lagi seperti dulu.


"Sudah, ayo sekarang kita makan dulu, bills on me," kata Metta, "Rik, kamu masih suka ama sirloin steak, kan?"

"Kebetulan masih, Met."

"Kamu masih belum berubah rupanya."


"Untuk makanan, seleraku masih tetap sama."

"Lalu apa yang berubah?"

"Kayaknya sih nggak ada."

"Soal cewek berarti masih ya, sama kayak dulu?"


Aku hanya tersenyum saja tidak menjawabnya. Hanya saja aku tidak sadar bahwa ternyata Bella memperhatikan antara aku dengan Metta. Saat suasana tenang sejenak, tiba-tiba saja Bella langsung mengangkat ponselnya dari meja.


"Halo? Oh ya, Pak? Kenapa?"


Aku berpikir, apa iya tadi ponselnya menyala? Bella permisi sejenak kemudian menjauh untuk menjawab telepon itu. Tak beberapa lama, dia pun kembali lagi.


"Bos, kayaknya Bella kudu balik dulu ke kantor deh."

"Lha, koq mendadak? Ada apa?"


"Pak Irwan minta laporannya segera dikumpulin, jadi ya mending Bella balik langsung aja."

"Yaudah, ayo kita..."

"Eh, nggak usah, Bos, kan Bos lagi ada klien, temenin dulu lah, lagian itu juga temen lamanya. Ya, di sini dulu aja, okay? Bella balik pakai taksi deh. Jadi ntar Bos pake mobilnya aja."

"Eh bentar," kata Metta, "Pak Erik biar aku anter ke kantor lagi aja. Aku bawa mobil koq."

"Tapi, Bu Metta..."


"Heh, sudah, kan aku temen lamanya Pak Erik, okay?"


Bella tampak agak bimbang dan melihat ke arahku. Mungkin dia agak tidak enak meninggalkanku sendiri apalagi harus pulang dengan diantar oleh Metta, karena, mau bagaimana pun juga, Metta adalah klien kami.


"Udah, nggak apa-apa, Mbak Bella, aku juga habis ini free koq, gak harus buru-buru balik ke kantor, so sekalian aku mau kangen-kangenan ama Pak Erik, ya? Kita udah lama lho, 12 tahun gak ketemu."


Sekali lagi Bella melirik ke arahku, dan dengan isyarat mata, aku pun menyuruhnya untuk pulang terlebih dahulu.


"Baik, Bu Metta, saya titip Pak Erik, ya. Maaf merepotkan."


Metta hanya mengangguk, kemudian Bella langsung berpamitan dan meninggalkan tempat. Metta tampak hanya tersenyum saja, kebetulan makanan pesanan kami sudah tiba.


"She care about you, you know?" kata Metta tiba-tiba.

"Ya, dia anak buahku, biasa lah."

"Nope, dia cemas ama kamu lebih daripada seperti antara anak buah ama bosnya."


"How do you know about that?"

"Trust me, I always know."


Aku mendengus sambil manggut-manggut saja.


"Maybe that because I always treat my guys well."

"Melihat caranya, jelas, kamu pasti udah baik banget selama ini ama semua anak buah kamu. Tapi yang ini kayaknya beda."


"Itu hanya pikiranmu saja."

"But seriously, what do you think about her?"

"Dia baik, rajin, selalu membantu, terus..."

"No, not as an employee, but as a woman. Gimana menurut kamu? Dia cantik, kan?"


Tiba-tiba aku merasakan kegerahan menyergap begitu saja di ruangan makan yang ber-AC ini. Pertanyaan Metta bagaikan sebuah interogasi bagiku, meski dia menanyakannya dengan raut muka dan senyum yang manis.


"Ya, cantik lah... Buta aja kalau bilang dia nggak cantik."

"Kalau aku nggak salah inget, tipe kamu emang yang kayak gitu kan?"


"Iya, kayak kamu."


Metta tiba-tiba agak tercekat, namun dari gerak-geriknya sepertinya dia juga sudah mengantisipasi bahwa aku akan berkata begitu.


"Really? After all this years?"

"Always..."


Kami berdua lalu diam sejenak. Ada kecanggungan yang amat kentara antara kami berdua, pasangan kekasih tanpa status yang akhirnya bertemu kembali. Seolah kami ingin tahu apa yang terjadi selama kami hilang kontak, namun sekaligus juga kami ketakutan untuk mendengarnya.


"Iya, emang udah lama, ya? Kamu juga udah berubah banyak, bukan lagi pemuda culun yang aku temuin di mall **** waktu itu."

"Apanya yang berubah?"


"Nggak tahu, auranya kayak beda aja... Kayak lebih dewasa, berpengalaman, dan cara kamu dandan juga lebih matang. Cuman nggak seceria dulu, seingatku..."

"Ya, banyak lah yang terjadi, Met. Tapi kamu tetep nggak berubah, kamu tetep seperti Metta yang kukenal, manis, cantik, anggun dan berkelas."


Metta tertawa kecil.


"Kamu nggak tahu aja, Erik..."

"Nggak tahu apa?"


"Ah, sudahlah, nggak perlu dibahas itu. So, gimana kabar kamu selama ini?"


Yah, akhirnya, pertanyaan itu pun terlontar juga...

Kami pun kemudian mengobrol mengenai masa lalu, mengenai kejadian-kejadian setelah kami berpisah pada hari itu. Aku akhirnya bilang kepadanya bahwa aku sudah menikah dan punya satu orang anak. Dia tampak agak terkejut mendengarnya, namun tidak heran, mengingat usiaku dan rentang waktu kami tidak bertemu. Meski begitu dia tampak tidak begitu ingin tahu juga mengenai kehidupan rumah tanggaku, jadi kami hanya bernostalgia mengenai hal-hal yang memang pernah kami alami bersama-sama.

Dari Metta sendiri, aku kemudian tahu bahwa hingga saat ini dia belum menikah. Dulu memang Metta pernah cerita bahwa dia tak ingin menikah dulu sebelum puas bepergian ke mana-mana, dan salah satu keinginan kami berdua waktu itu adalah bersama-sama bisa keliling dunia, melihat tempat-tempat eksotis sebelum akhirnya saling mengikat janji. Sayangnya, karena kami berpisah, hal itu tidak pernah terjadi, tidak padaku, tidak juga pada Metta. Dia sempat beberapa kali pindah kerja ke beberapa kantor investasi ternama sebelum akhirnya di sini, dan posisinya saat ini sebagai salah satu direktur perencanaan tak membuatnya punya waktu untuk bersantai. Sebagian besar bila dia akan ke luar negeri justru untuk bekerja, dan karena kantornya bermarkas di Korea, maka dia lebih sering ke sana "sampai bosan", begitu katanya. Pada posisinya ini, jangankan menikah, berkencan dengan orang saja tidak akan sempat.

Dalam hati, aku merasa bahwa jalan yang Metta pilih adalah jalan yang berkebalikan denganku. Metta memilih jalan dengan karier yang mentereng, namun mengorbankan kehidupan pribadi dan percintaannya. Sementara aku lebih memilih membina rumah tangga dan menolak beberapa pekerjaan mentereng demi waktuku bersama istriku Rini.


"Kadang-kadang aku merasa gimana ya kalau dulu kita nggak pisah tapi tetep bareng?"


Aku hanya berdehem saja. Kami sudah selesai makan, dan sambil membawa oleh-oleh bagi Bella (atas permintaan Metta), kami pun kini ada di atas mobil Metta, sebuah Mercedes Benz C300 yang diakui oleh Metta dibeli dengan uangnya sendiri.


"Entahlah..." jawabku, setengah tak ingin membahasnya.

"Hei, koq singkat banget jawabannya? Mana Erik yang dulu aku kenal penuh dengan cita-cita yang tinggi itu? Come on, tell me what's in your mind."

"Entah, Met, aku nggak kepikiran juga masalah itu. Aku malah takutnya ntar kita bersama malah kamu cuman jadi ibu rumah tangga."


"Ya nggak apa-apa, kan? Kamu kayaknya juga a good family man, Rik. Tapi, ya kalau boleh jujur, kamu emang jadi lebih terawat, tapi kayaknya nggak terlalu rutin, agak berantakan dan kuyu gitu, kayaknya."

"Masa sih? I didn't notice that."

"Siapa yang lebih cantik, btw?"

"Heh, apa?"

"Aku ama istri kamu, siapa yang lebih cantik?"


Aku terdiam. Namun tidak seharusnya aku terdiam. Seharusnya aku menjawab "istriku jelas lebih cantik", namun entah kenapa aku malah terdiam begitu saja. Aku malah hanya mengangguk saja, dan Metta tahu bagaimana cara mengartikan anggukanku itu.


"She must be not your type then."

"Eh, koq kamu ngomong gitu?"


"Just a guess... Abis ama aku, sebelum ama dia, kamu apa pernah pacaran ama orang lain?"

"Eh, maksudnya apa ya?"

"Oh, gak pernah ya? Kalau one night stand?"

"What??"

"Biasa aja kali, udah tahun berapa ini? I'm not your wife, so I'm okay if you have some."

"Kamu sendiri gimana?"

"Mm-hm, couple of times. Nah, aku udah jujur, sekarang giliran kamu."


Aku terhenyak dan walau ada jawaban untuk pertanyaan itu, rasanya seperti tidak enak saja mengatakannya. Bagaimana bisa menjawab "tidak pernah" apabila mantanmu mengatakan hal semacam itu? Namun entah kenapa bukan hanya itu yang kurasakan, namun tahu bahwa ada pria lain yang telah mencicipi tubuh Metta membuat hatiku panas dan berdebar.


"Yang bener? Pernah beberapa kali?" tanyaku mencoba mengalihkan topik.

"Quit stalling, jawab aja. It's okay, whatever in this car, stays in this car."

"Hmm, oke, ya pernah..."


"Yang selain ama istrimu?"

"Maybe..."

"Maybe? Jawaban macem apa itu? Eh, bukan ama si Bella itu, kan?"


Nada Metta terdengar berbeda, mungkinkah dia pun juga cemburu, seperti aku?


"Ya, mungkin aja."

"Ah, gila lo. But if yes, it explained a lot, perhatiannya ke kamu."


"Masa sih?"

"Yaa macem gitu lah, tapi koq dia mau sih?"

"Hmm, I don't know?"


Metta melihat ke arahku, dan sekali lagi aku meleleh melihat wajah manisnya.

"Maybe that because of your voice?"

"Masa?"


"Yes, you have that sexy tone voice... It made me cum once."

"Ah, masa?? Kapan??"

"Itu lho, inget gak yang pas kita dulu malem-malem bisa-bisanya dari telepon nanyain kabar berubah jadi phone sex."

"Oh, iya, iya. Yah namanya juga kebawa suasana, sama-sama sange kayaknya pas itu."

"Eh, tapi pas itu lo beneran cum ya? Beneran ngocok gitu?"

"Ya beneran lah, emang kamu enggak?"

"Kirain cuman action doang, kamu pura-pura gitu. Koq bisa sih? Mbayangin siapa kamu?"

"Ya kamu lah, siapa lagi?"

"Eh, tapi kan kita belum ketemu ya pas itu, koq bisa?"

"Ya bisa, dari suara kamu aja desahannya udah merangsang, lalu ya aku bayangin aja tampang kamu dari yang aku lihat di foto."

"Hanya dari foto?"

"Good enough for me."

"Really?"

"Hey, you could cum with my voice, right?"

"Iya sih, hahaha. Katanya cowok kan emang makhluk visual ya. Eh, bentar-bentar, jangan-jangan, waktu dulu kita pertama ketemu itu kamu..."


Aku hanya tersenyum.


"Guilty as charged."

"Masa?? Oh my God, really??"


"Iyalah, kan udah ketemu langsung, so my image of you in my mind is complete."

"Masa??"


Entah bagaimana kulihat Metta agak menyunggingkan senyum mendengarnya. Ya, di masa lalu kami memang tak hanya bertelepon dengan lurus-lurus saja, namun juga adakalanya kami melakukan phone sex, di mana saat itu masih harus sembunyi-sembunyi, dan kami tak terlalu intens melakukannya.


"How about now?"

"Eh?"



Metta lalu melirik ke arahku.


"After 12 years, am I still make you hard?"

"Itu..."


"Suaramu masih sama kayak dulu, malahan lebih berat sekarang, lebih sexy..."


TAPP!


Tiba-tiba saja tangan Metta sudah mendarat di pahaku, dan aku hanya diam saja.


"Kamu nggak perlu balik cepet-cepet, kan?"

"Enggak sih, nggak keburu-buru juga..."

"Oke, kita mampir sebentar yak!"

"Mampir? Ke mana?"

"Company-ku punya asset apartemen di deket sini, harusnya sih for rent, cuman nggak laku-laku, jadi aku yang dipasrahin buat ngecekin once every two weeks, making sure everything is okay."

"I thought your company is an investment beureau?"

"Ya, apartemen itu investasi juga, kan? Kita mampir sebentar di sono ya, soalnya aku lupa kemaren, kalau ntar-ntar kan nggak lewat jalan ke rumah."



Aku berpikir sejenak, kira-kira apa maksud Metta mengajakku ke sana? Pikiranku pun mulai berkelana, membayangkan hal yang tidak-tidak, terutama melihat gelagat Metta, hingga akhirnya...


"Ya, boleh..."


Metta langsung membelokkan mobilnya mengarah ke sebuah kompleks apartemen mewah. Tanpa perlu menjelaskan bagaimana detailnya, aku dan Metta sudah berada di dalam sebuah unit apartemen di tingkat 19 dari gedung itu, yang luasnya bahkan mungkin melebihi luas rumahku, penuh perabotan tingkat tinggi yang mewah. Kuncinya bahkan tak menggunakan kunci fisik, melainkan kartu dan password, yang mana Metta memilikinya.


"Make yourself at home, ya, Rik. Kalau mau minum ambil aja di kulkas, tapi cuman ada air mineral kayaknya."

"This apartment is big, siapa yang tinggal di sini?"

"Kan aku udah bilang tadi, nggak ada. Harusnya for rent, tapi nggak laku-laku, jadinya ya kadang Company pake ini buat meeting atau kalau ada tamu dari kantor pusat di Seoul datang ke sini."

"Kayaknya terlalu fancy kalau buat sekadar meeting, dan rapi sekali."

"Ya, kan emang awalnya gak dipakai buat meeting, cuman ya berhubung masih kosong ya dimanfaatin aja. Kalau soal rapi, every two days ada housekeeping yang datang dan mbersihin kamar, sekaligus resupply kalau ada yang habis."

"Nggak ada orang koq resupply?"

"Bos-bos kadang iseng juga mau make, soalnya. Mereka maunya kalau ke sini udah lengkap, makanya housekeeping juga sekalian resupply."

"Oh, kamu juga kah?"



Metta terkekeh.


"Kadang-kadang."

"Kadang-kadang?"

"Ya, kalau abis balik dari luar negeri, kan capek tuh, rumahku kan jauh, jadi biasanya aku mampir aja ke sini buat transit."



Aku manggut-manggut saja. Sementara Metta memeriksa ke ruangan-ruangan, aku pun melihat-lihat apa yang ada di sana. Banyak benda-benda mahal yang kuharap bisa kumiliki. TV yang menempel di dinding dengan ukuran sebesar papan tulis, dapur sistem, sofa mewah, namun yang luar biasa adalah jendela besar yang memberikan pemandangan luas kota Jakarta dari ketinggian. Tak banyak dekorasi di sini, dan gambar-gambar yang ada pun tampak netral, objek-objek geometri atau gambar pemandangan, khas dari rumah yang sedang di-list.

Entah kenapa tiba-tiba aku tertarik pada sebuah low-cabinet warna putih di ruangan itu. Desainnya indah dan homey, pastinya bukan memakai serbuk kayu compacted sebagaimana furnitur murah. Tak ada fitur yang mencolok, dan sebagaimana ornamen di dinding, di sini hanya ada lampu meja serta pigura berisikan gambar bunga atau pemandangan. Tak berharap menemukan apa pun, aku pun iseng untuk membuka salah satu lacinya yang memang tak dikunci, hanya murni ingin melihat keindahan desain di dalamnya, namun...

Mataku tertuju pada satu-satunya benda yang ada di situ, seperti rantai yang dibuat untuk kalung, namun lebih panjang. Awalnya kukira itu sejenis perhiasan karena ada beberapa tatahan kristal atau permata, hingga saat kutarik, pada dua ujungnya terdapat fitur unik berbentuk cincin, bertatahkan kristal, namun ada semacam sekrup pada empat sudut bertemu di tengah membentuk seperti tanda plus. Aku menahan napas, jelas pada usia ini aku tahu barang apa itu. Itu adalah body chain dengan non-piercing nipple ring, dan dilihat dari desainnya, ini untuk wanita. Tapi siapa yang memakai ini? Apakah jangan-jangan...


"Rik, bisa tolongin aku bentar, gak?"


Mendengar Metta memanggilku, dengan cepat aku menyahut dan segera menuju ke tempat asal suara itu, sebuah ruangan yang sepertinya adalah kamar tidur.


"Ada apa, Met..."


Belum sempat aku meneruskan perkataanku, begitu aku memasuki kamar itu, Metta ternyata sudah menunggu di balik pintu dan langsung memagutku. Bibir indah Metta akhirnya bisa kurasakan setelah 12 tahun, dengan aroma dan rasa lipstiknya yang manis menempel pada bibir dan lidahku. Dia pun menatapku sambil tersenyum lebar.


"Suka?"

Aku tak menjawab dan hanya mengangguk.

Segala sesuatunya pun kemudian dilakukan dengan spontan, bak cerita JAV netorare yang sering aku tonton. Namun kali ini berbeda, kali ini nyata, dan ini adalah Metta, yang bagiku lebih cantik berkali-kali dibandingkan Miho Tsuno atau aktris JAV manapun. Kami bahkan tak berpikir untuk menutup pintu kamar untuk mulai bercumbu, dan meski di awal-awal aku masih memimpin, lama-lama, gantian Metta yang memegang kendali, karena memang Metta bisa lebih agresif daripadaku. Aku penasaran, apakah memang Metta seagresif ini dari dulu, atau pengalamannyalah yang menjadikannya begitu?


BRUUUK!!


Tahu-tahu aku sudah dihempaskan oleh Metta di atas ranjang yang jauh lebih empuk daripada ranjangku di rumah. Aku beringsut mundur ke tengah ranjang. Metta berdiri di samping ranjang, menatapku dengan penuh nafsu, rambutnya yang berantakan dan blusnya yang kancingnya sudah terbuka, memperlihatkan dadanya yang putih mulus dengan ukuran 34C, membuatnya tampak amat seksi.


"Bapak Erik Setiyadi," kata Metta, "mau dimulai sekarang saja pertunjukannya, Pak?"

"Ya, ya, sekarang saja..."


"Ih, Bapak nakal deh."


Metta mengerling nakal, dan dia mengambil hapenya, memutar lagu "Something" dari Girls' Day, dan mulai menari mengikuti irama. Pelan-pelan, blazzer-nya mulai dilepas, diputar sejenak di samping sebelum dilemparkan ke arahku. Aku mencium bau parfum mahal yang semerbak namun khas. Aku tahu ini, Bella punya parfum yang wanginya senada dengan ini, namun ini tercium berbeda, mungkinkah karena telah bercampur dengan wanginya feromon Metta? Aku menghirupnya dalam-dalam untuk menikmatinya. Yah, wangi wanita yang sensual dan menyegarkan, tak seperti wangi istriku yang agak apak karena lama di rumah. Kurasakan burungku yang ada di dalam celana mulai menggeliat, mungkin pengaruh dari wanginya, atau mungkin karena Metta, atau...

Selembar kain lagi mendarat di wajahku, namun kali ini kecil, dan memiliki aroma yang khas dan tak asing. Saat kurenggut, benar dugaanku bahwa ini adalah celana dalam satin dengan merek Victoria's Secret yang cukup mahal. Rasa kainnya jelas beda dengan celana dalam yang biasa dibeli dan dipakai oleh istriku, lembut saat mengenai kulit wajahku. Yang membuatku bergairah adalah ada basah lengket pada bagian tengah celana dalam itu, dengan aroma santan yang menyegarkan, tidak anyir seperti bau kemaluan istriku. Jelas bahwa Metta pun tengah horny maksimal. Aku menghirup dalam-dalam celana dalam itu sambil lidahku menjilat bagian beceknya. Rasanya seperti rasa cairan kemaluan istriku, sebuah rasa yang terlupakan, karena dia memang tak suka aku menjilat kemaluannya. Kini aku seolah memuaskan dahaga itu dengan celana dalam Metta, gadis yang pernah menjadi segenap fantasiku 12 tahun lalu...


"Hey, look at me!"


Aku menengadah, dan Metta, dengan seksinya menarikan gerakan dance pada refrain lagu "Something". Dia hanya memakai blouse ivory tanpa lengan, yang kancingnya sudah terbuka hingga setengah dada, dan tak terlihat adanya bridge beha di sana, hanya sebuah kalung berkilau memantulkan cahaya lampu. Dia juga memakai rok pendek dengan bahan sama dengan blazzer, namun karena aku tahu bahwa tak ada kain lagi di baliknya, itu membuat jantungku berdegup kencang melihatnya. Dengan ekspresi wajah sensual, Metta pun bergerak mengikuti beat lagu ke arahku, sambil menyanyi dengan dendangan merdu.

"Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
Apdwiga iraetda jeoraetda wae geureoni

Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
Wae deolkeok geobina
Ison nwa nal sogijima"



Metta pun langsung merebahkan diri tepat di atas kakiku, bertumpu pada siku dan lututnya sehingga tak ambruk. Payudaranya langsung terlihat menggantung di balik blouse yang sepertinya tak mampu menahannya. Ini jelas pemandangan terseksi dalam hidupku, gadis yang pernah kusukai 12 tahun lalu, yang selalu ada dalam imajinasiku kini ada di sini, di atasku. Dia menengadah hingga wajahnya tepat segaris dengan wajahku. Mulutnya tersenyum lebar, namun ini bukan Metta yang dulu kukenal, yang manis, polos, dan lugu. Ini adalah Metta baru yang dewasa seksi, sensual, dan saat ini tengah bergairah di hadapanku.


"Naman mollaseotdeon something...
Bunmyeonghi neukkyeojyeo must be something..."



Dengan kata demi kata didendangkan, dia semakin mendekat dengan selangkah demi selangkah merangkak, matanya tertuju padaku.


Aku menelan ludah, ini pertama kalinya aku berada sedekat ini dengan Metta pada posisi yang semenggairahkan ini. Mukanya yang cantik sensual, yang beberapa tahun lalu hanya bisa kubayangkan, kini berada tepat di hadapanku. Makin lama terasa seperti dia memanjat tubuhku, hingga akhirnya mukanya tepat berada hanya beberapa sentimeter di depan mukaku.


Kurasakan dengus napasnya yang berat namun seksi, bagaikan dengusan yang kudengar di film JAV. Hangatnya angin menyembur ke mukaku, menyeruakkan aroma yang sedap menggoda indera penciumanku, membuatku mabuk tiba-tiba. Dalam keadaan entah sadar atau tidak, mulutku pun membuka, napas terengah meniru Metta, dan..


"SLERP... HMPH..."


Dalam mataku yang menutup, Metta langsung menempelkan bibirnya ke mulutku yang terbuka, namun lebih bergairah daripada ciuman pertama tadi. Aku bisa merasakan aroma ludahnya di mulutku, anyir yang memabukkan dengan aksen manis, entah apa ini. Lidahnya masuk, menggoda-goda lidahku untuk ikut menari. Kurasakan lidah Metta terasa lebih kecil daripada lidah istriku, namun lebih lincah dalam menjelajahi relung mulutku, menyapu gigi dan pipi bagian dalam, lalu menyedot ludah campuran kami dalamnya.


"SMACK!!"


Metta tampak tertawa sambil memundurkan kepalanya, sementara mulutku memburu mulutnya yang telah memisahkan diri. Untaian kental dari ludah kami terlihat memanjang dari mulutku ke mulut Metta, sebelum akhirnya putus ketika jaraknya sudah terlalu jauh. Sebagian jatuh pada kemejaku, sebagian jatuh pada tengah dada Metta yang putih langsat dan mulus bak pualam, dekat kalung inisial dengan liontin huruf "M". Dia lalu mengusap ludah yang tersisa pada dagu dengan jempolnya, sebelum menjilatnya kembali.

Aku menunggu apa yang akan dilakukan oleh Metta selanjutnya, namun sejauh ini, sudah melebihi apa yang biasa dilakukan istriku padaku saat kami bercinta. Metta lalu duduk bersimpuh di atas pahaku. Roknya tergulung hingga ke pangkal pahanya, dan pahaku yang masih tertutup celana masih bisa merasakan hangat dan lembabnya mekinya, membuatku agak merinding. Metta menatapku dengan manja dan tanpa berkata apa-apa, dengan kedua tangannya berada di kedua sisi leherku, dan jempolnya mengelus pipiku dengan lembut.

Lalu seiring kepalanya semakin mendekat ke wajahku, kedua jempolnya bergerak masuk ke dalam mulutku, menjaga supaya mulutku tetap terbuka lebar sambil menjelajahi bagian dalamnya, hingga bisa kurasakan nail art-nya beberapa kali mengenai lidah, gigi, atau bagian dalam pipiku yang basah, bermain-main di dalamnya dengan hati-hati supaya tak menyakiti atau menggores bagian dalam mulutku yang sensitif.

Pada saat mulutku terbuka maksimal itulah Metta naik dan memasukkan mulutnya yang tak sebesar mulutku ke sana. Dia menangkup batang lidahku yang tegang, menyerapnya hingga masuk ke dalam mulutnya, kemudian memainkannya dengan lidahnya, membelit dan menggulatnya hingga aku merasakan lidah kami seolah menyatu, dan cairan mulut kami mengalir naik turun lewat jembatan lidah yang beradu. Napas Metta terasa amat jelas, amat hangat, dan basah, dan yang tadinya bau wangi menta kini mulai terasa bau napas alami yang menyeruak, namun entah kenapa menyegarkan dan membuat nafsuku seolah terbakar menyala-nyala, alih-alih sengak memuakkan, apalagi diselingi dengan gelak tawa Metta yang manja, hingga akhirnya...


"CUUH!"


Sesi ini diakhiri dengan Metta meludah ke dalam mulutku. Hal yang seharusnya busuk dan menjijikkan entah kenapa membuatku semakin bergairah. Apakah karena Metta yang melakukannya? Kedua jempol Metta pun ditarik dari mulutku, kemudian, sebagaimana tadi, dia pun menjilatnya, seolah ingin mencicipi rasa mulutku yang menempel pada jempolnya. Dia lalu menatap wajahku sambil tersenyum tertawa.


"Suka?"

"Iyaah... Suka..."
jawabku dengan suara bergetar akibat birahi.

"Mau lagi?"

"Yaah, iyaah... Lagi... More, do it more..."



Metta mengikik, lalu dia beringsut mundur, seiring jarinya dijalankan sepanjang tubuhku dari atas ke bawah, seperti menggaruk namun dengan halus. Suara dan sensasi nail-art Metta yang menggaruk kemejaku membuatku hampir menggelinjang. Sekali lagi Metta hanya terkikik saja melihatnya. Saat tangannya sampai di celanaku, wajahnya didekatkan pada tonjolan di pangkalnya, dan dengan nakal, tonjolan itu ditekan-tekan dengan jari telunjuknya, beberapa kali pelan, kemudian ditekan hingga aku merasakan agak sakit karena kontolku yang membesar.

Perlahan-lahan, dia membuka kepala sabuk, diikuti dengan kancing celana, sebelum menggeser ritsleting ke bawah. Selama proses itu, aku hampir menahan napas, namun dengan degup jantung yang amat kencang hingga mustahil Metta tak merasakannya. Lalu masih dengan perlahan-lahan, Metta memegang tepian celana dan memerosotkannya ke bagian tungkai bawahku sembari dia terus bergerak mundur. Kini benjolan pada pangkal pahaku semakin terlihat jelas, bak ingin meronta keluar dari sangkarnya. Aku malah agak malu karena "sangkar" yang kukenakan bukanlah dari merek yang mewah. Istriku selalu membeli celana dalam dari harga yang menengah, tak terlalu murah tapi juga tak terlalu mahal, karena toh bukan buat dipamerkan juga, so kenapa harus memilih yang mahal?

Namun Metta tak berkomentar apa-apa, hanya tersenyum saja seolah penuh arti. Dia lalu beringsut duduk di kasur sambil membuka kedua kakiku hingga melebar, sehingga dia ada di tengah-tengahnya. Setelah itu dia menegakkan diri dan bersandar ke belakang bertumpu pada kedua tangannya. Aku sebenarnya agak ngeri bahwa Metta akan jatuh karena tangannya bertumpu amat dekat dengan pinggiran kasur, namun rupanya kasur ini cukup kuat sehingga posisi pegangan Metta terasa amat mantap.

Kemudian Metta menjulurkan kaki kanannya yang ditekuk bersimpuh, dan meletakkan kepalanya pada tonjolan kontolku di balik celana dalam. Itu adalah telapak kaki yang amat indah, putih cerah bak pualam, dan tidak ada sedikit pun dekil atau kapalan. Sebagaimana tangannya, ada pula nail-art pada kuku jari kakinya yang mungil memanjang, walau dengan desain yang lebih sederhana. Terasa agak greng saat telapak kaki indah itu hinggap pada kontolku, dengan lipatan jari-jarinya menangkup kepalanya. Metta pun mulai melakukan gerakan mengusap batang kontolku dengan telapak kakinya, sembari jari-jarinya meremas-remas kepalanya yang masih terasa lunak.


"Aaah... Yess... Aaahhh... Ooohhh..."

"Hihihi, enak, Rik?"

"Enak, Met..."

"Kalau enak mendesah dong."

"Entar kedengeran tetangga."

"Hei, emangnya ini kos-kosan? C'mon, let me hear that moan..."



Metta pun semakin menekan kontolku agak keras dengan kakinya, sehingga kepalanya menyembul keluar dari sangkarnya. Akhirnya kepala kontolku yang memerah sensitif itu bersentuhan langsung dengan kulit telapak kaki Metta yang mulus, mengirimkan sensori jutaan volt kenikmatan ke seluruh tubuhku.


"AAAAHHH... YESS!!!! Hit it... Hit it... AAAAHHH!!! SSSSHHH..."


Aku sudah tak malu-malu lagi untuk berteriak kencang sementara Metta tersenyum mengikik sambil terus memainkan kontolku dengan kakinya.


"Say my name..."

"AHHH... YES, Metta!! Yes, Metta... Aaaaahhh... Ooohhhh... Metta... You're... You're..."

"Kamu boleh koq kalau pengen ngomong kasar."

"FUCK!!! Yess, Metta, yesss, fuck!! You're so naughty... Aaaaaahhhhhh... Kamu nakal, Metta!!"



Metta menghentikan gerakannya sambil mengerlingkan mata, dan selanjutnya, dia berubah posisi untuk menarik lepas celana dalamku. Aku bahkan menaikkan pantat dan kakiku untuk membantunya. Selama beberapa kali berganti posisi itu aku bisa melihat sekilasan payudaranya dengan pentil menggantung merah kecoklatan, atau mekinya yang mulus dan licin, entah gundul atau Metta hanya mencukurnya dengan gaya bikini wax.

Kini terhamparlah aku, dengan telanjang pada bagian bawah, memperlihatkan bagian yang selama ini hanya pernah kuperlihatkan pada istriku seorang. Sekarang semua ini seolah tengah kupersembahkan bagi Metta, yang di mataku tampak bagai anugrah surgawi.

Metta terdiam sejenak, dia menatap geli kontolku yang jembutnya agak lebat itu. Aku merasa agak malu karena jembutku tumbuh dengan jelek mengingat aku tak pernah melakukan perawatan secara khusus, hanya dipotong pendek saja dengan gunting saat dirasa sudah terlalu panjang. Metta kembali bersandar, kali ini kedua telapak kakinya ditangkupkan mengapit kontolku yang sudah 3/4 tegak. Kaki Metta memutar dan menggesek batang kontolku seperti orang yang tengah membuat api dari batang kayu di acara-acara survival.


"Aaaaah... Sssshhhh... Ummfhhh... Fuck..."


Aku hanya bisa mendesah sementara Metta menanggapinya dengan tawa, seolah dia tengah menemukan mainan yang menyenangkan. Masih dengan kakinya, kontolku yang tegang didorong agak rebah ke perut, sementara jari kaki kiri menjepit bagian pangkal batangnya seperti orang yang tengah memegang sesuatu dengan jari kaki. Agak susah tampaknya Metta melakukannya, karena kaki Metta mungil, sementara kontolku sudah mengeras sempurna pada bagian pangkalnya, sehingga ibu jari dan telunjuk kakinya hanya bisa menangkup setengah kelilingnya. Sensasi nail-art yang bersentuhan dengan kulit kontolku membuat darah semakin terpompa deras dan membuatnya mengeras. Sementara itu bantalan pangkal jari kaki kanannya mengelus kepala kontolku dengan jari-jarinya mencengkeram ujungnya. Dia mengocok kontolku secara piawai dengan kakinya!! Ini adalah sensasi yang pertama kali kurasakan.


"Udah mulai basah nih, licin..."

"Iyaah... Because you're so... Aaah... Hot..."



Cairan precum yang mulai mengalir dari ujung kontolku membuat kocokan kaki Metta pada kontolku menjadi semakin lancar. Dengan kaki kanannya, dia meratakan cairan precum yang keluar ke seluruh batang kontolku sembari jari kaki kirinya masih menjepit pangkalnya. Mirip seperti orang yang mengoleskan mentega pada jagung bakar dengan merata. Terkadang bahkan jempol kaki kanannya sedikit menjepit kepala kontolku seolah memaksa lebih banyak lagi cairan precum untuk keluar. Aku sendiri takjub, karena tidak biasanya precum-ku keluar sebanyak ini. Namun pandanganku saat itu lebih tertuju pada selangkangan Metta, yang karena aktivitas kakinya saat ini menjadikannya lebih terbuka di hadapanku. Bibir kemaluannya tampak tembam memerah dengan jembut yang tercukur rapi membentuk garis kecil memanjang. Aku menjadi makin penasaran dengan bentuk mekinya yang hingga kini masih agak malu-malu bersembunyi di balik lipatan paha.

Setelah kontolku menjadi mengkilap karena precum, Metta pun berhenti sejenak. Dia menunduk, dan kali ini menggunakan jari-jari tangannya untuk mengelus dan memainkan kontol yang licin itu. Dia hanya menyentuhkan ujung buku jarinya saja, mengelusnya dari pangkal ke ujung, memanfaatkan licinnnya cairan precum, dan raut wajah serta pandangan matanya tampak playful, seolah tengah memainkan sesuatu yang menarik.


"Punyamu gede juga ya, Rik."

"Ah masa sih?"
jawabku agak gemetaran.


Metta mengangguk sambil menatapku manja.


"One of the biggest I ever have, beneran."

"Oh, bagus dong..."



Namun Metta kemudian mendengus keras hingga hembusan napas hangatnya terasa mengenai ujung kontolku yang masih sensitif.


"Kalau aja aku tahu punya kamu segede ini..."


Kali ini Metta menggenggam sambil dikocok pelan naik turun, dan setiap kali mencapai ujung kepala, dia meremasnya lembut, membuatku hampir kelojotan merasakan serangan-serangan pada reseptor kenikmatanku. Pikiranku serasa kosong, aku tak begitu mendengarkan lagi apa kata Metta selanjutnya, bagiku seperti berada dalam sebuah gelembung di mana yang terdengar hanyalah gaung yang tak jelas.

Dibimbing oleh birahiku, aku pun mulai melepas satu persatu kancing pada kemejaku, namun saat sampai pada kancing ketiga, tangan Metta meraih tanganku untuk menghentikannya, aku masih bisa merasakan sisa-sisa precum-ku di telapak tangannya.

Metta menggelengkan kepala, lalu dia kembali berdiri dan mengulum bibirku, kali ini lebih lembut dan tidak sebrutal tadi. Dia mengangkat pinggulnya, menyingkapkan roknya, lalu duduk tepat di atas kontolku. Aku sempat merasakan sensasi kebas saat kepala kontolku bergerak menelusuri belahan tembam yang hangat dan lembap itu, yang kemudian berujung pada batang kontolku berada di antara dua bongkah daging yang lembut, seperti sosis yang dijepit pada roti hotdog, begitulah kira-kira.

Sembari aku merasakan sensasi ciuman lembut Metta di sekujur bibirku, kuluman yang pelan dan intim namun tak kalah sensual dari french kiss brutal. Beberapa kali bibir bawahku dipagut oleh bibir mungil Metta, kemudian lidahnya yang basah menyapu kedua bibirku tanpa memasukkannya ke mulutku. Hanya bibir beradu dengan bibir, saling mengisap, saling memagut, berpadu dengan lenguhan tertahan kami berdua. Saat itulah perlahan-lahan kurasakan kuku-kuku Metta menekan-nekan tubuhku, tanda dia tengah membukakan semua kancing kemejaku.

Adegan selanjutnya, aku agak tertegun, karena Metta melepas kemejaku tidak dengan terburu-buru, melainkan perlahan dan takzim, membuatku merasakan seolah tengah dimanjakan, hal yang sudah lamaaaa sekali tak pernah kurasakan. Setiap bagian kulitku yang terlepas dari kain kemeja dia usap dengan tangannya yang amat lembut, nyaris tidak ada kasar-kasarnya sama sekali. Dia pun juga melepas kaus singletku dengan takzim dan hormat, bagai seorang geisha patuh yang melayani danaa-nya. Saat kaus singlet itu ditarik ke atas hingga menutupi kepalaku, dia menghentikannya, sehingga kini mataku tertutup kaus, hanya menyisakan lubang hidung dan mulutku saja, sementara tanganku masih merentang ke atas, "terbelenggu" oleh kerah kausnya. Dalam posisi itu, Metta langsung memegang kedua pipiku, kemudian sekali lagi dia mencium mulutku dalam-dalam dan tanpa suara, hanya kecipak bibir dan gelegak lidah yang saling berpadu. Masih tidak sebrutal saat pertama, namun jauh lebih dalam dan amat intim, hingga aku merasa udara dari paru-paruku diserap, lalu dikeluarkan dari hidung Metta, yah, untuk beberapa detik, napas kami menjadi satu, udara yang kuhirup masuk dari hidungku, kemudian disedot dan dikeluarkan oleh Metta layaknya sebuah sistem tertutup. Ini sedikit melupakan fakta bahwa kini aku telanjang bulat di hadapan Metta, pertama kalinya tubuhku terbuka di hadapan wanita selain istriku.

Situasi kemudian hening sesaat setelah kain terakhir pada tubuhku dilepas oleh Metta dan diletakkan perlahan di samping tempat tidur. Metta menatapku, dari atas ke bawah, tidak menyentuhku sama sekali, dengan tangan disilangkan pada pahanya membentuk sikap tunduk. Hanya menatapku, dari wajah lalu turun ke dadaku, kembali lagi ke wajah.


"Am I still be the girl in your dream, Erik? That give you comfort through the night?"

"You'll always be, Metta, bagai cahaya bintang yang menerangi malam-malam gelapku."

"Tapi pada akhirnya, di situlah tempatku, hanya di dalam mimpimu, just an image in your mind."

"Then let's hope that the night won't end, supaya aku bisa terus bermimpi dan menemukanmu."

"Erik, how I missed you, all this years, tapi setelah selama ini, kau tak bisa kuraih."

"I'm here now, with you..."

"Then let me have you, Erik, kalau tak ada aku di hatimu, biarlah untuk saat ini, di sini, kumiliki tubuhmu."



Metta mengucapkan kata-katanya dengan nada yang nakal, namun ada sedikit nada kesedihan di dalamnya. Lagu pun berubah, kali ini intro lagu "Lovesick Girl" dari BlackPink yang mengalun. Lagu tempo cepat ini mengubah suasana yang semula sendu, berubah menjadi ceria, dan Metta pun sudah siap dengan atraksinya. Kali ini memanfaatkan irama beat, dia melepas kancing yang tersisa pada blouse-nya. Dan sebagaimana tadi, dia pun turut menyanyikan liriknya, namun dengan nada yang lebih seksi dan garang.


"Yeong wonhan bam
Changmun eopsneun bange uril gadun love
What can we say?
Maebeon apado oechineun love"



Tahu-tahu saja blouse itu sudah terlepas dari badan Metta, melayang turun ke atas ranjang, dan takjublah aku dengan bentuk tubuh Metta yang sebenarnya, dengan kulit mulus bak pualam, mengkilat akibat keringat, bau parfum yang lembut namun menggugah gairah, perut yang ramping tanpa lipatan lemak satu pun, namun sorotan utamanya ada pada payudara yang mungkin berukuran 36B yang membulat sempurna, tegak bak menantang gravitasi, dihiasi oleh urat kebiruan yang tampak dari balik kulit beningnya, dan pentil tegak menantang warna pink kecokelatan dengan areola yang imut. Dia lalu meletakkan kedua tangannya di balik kepala, sehingga dadanya makin membusung dan ketiaknya yang putih mulus tanpa bulu terlihat sempurna. Satu-satunya cela pada tubuhnya yang sempurna hanyalah adanya bintik-bintik kecil tahi lalat tersebar di beberapa tempat di tubuhnya, namun bukannya memperjelek, itu malah menyempurnakan kemolekan tubuh sempurna bak Venus de Milo.

Tanpa ba bi bu lagi, dengan tangan yang gemetaran di hadapan kesempurnaan ragawi, aku pun memegang dan menggenggam kedua tetek Metta, sehingga pentilnya terlihat mencuat terlingkari oleh jari telunjuk dan jempolku. Metta melenguh saat kuusap-usap areola dan pentil itu dengan jempolku, sambil jari-jariku yang lain meremas-remas susunya yang indah itu. Mungkin karena susu Metta lebih besar daripada susu istriku, sehingga terasa lebih empuk dan lembut di tanganku, namun pentilnya jelas lebih keras dan mencuat, meski awalnya agak masuk. Kedua pentil itu sungguh menghipnotisku untuk bergerak semakin mendekat, dan...


"Aaaaahhhhh... Yessshhh... Yessss, Erik, harder... Aaaaahhhhh... Mmmmhhhh..."

"Slurrrrpppp... Emmmmmhhh.... Hmppph... Aghhh... Hmppph... Sluuurppph... Eggghhhh... Egmmmhh..."



Kepalaku terbenam pada dada Metta, dengan mulutku menangkup ujungnya, serta memainkan pentilnya yang keras dengan lidah, bibir, atau kugigit lembut karena gemasnya. Selain itu aku juga menjilat dan menciumi dada Metta, termasuk menyedot ketiaknya hingga Metta kegelian. Kurasakan pinggulnya semakin menekan ke bawah, ke arah batang kontolku yang masih dijepit oleh bibir memeknya, belum bisa untuk tegak karena terhimpit sempurna di selangkangan Metta. Aku merasa kontolku semakin kebas, namun tekanan, rasa hangat, dan rasa lembap semakin terasa, membuat kontolku berkedut-kedut menggila.

Sambil menciumi dadanya, tanganku kuletakkan di ujung pinggiran rok blazzer Metta untuk melepasnya, namun dia menepis dengan menampar kecil lenganku.


"Aku yang layanin, kamu diem aja dan nikmatin."


Aku mengangguk, seperti anak kecil yang baru dilarang oleh ibunya.


"Udah pengen ama memekku ya?"


Aku mengangguk.


"Pengen apa pengen banget?"

"Pengen banget..."

"Hihihi, mau lihat sekarang
?"


Aku mengangguk semakin kencang. Metta hanya tersenyum lalu berdiri, melepaskan tekanan dari kontolku sehingga dia bisa lepas dan berdiri tegak. Namun bukannya langsung melepas roknya, yang menjadi kain terakhir pada tubuhnya, Metta justru kembali duduk bersimpuh di depanku. Dia menunduk, lalu menyentil kepala kontolku, dan mengamatinya dengan ekspresi wajah riang.


"Halo, Kontol, gimana? Enak gak tadi dipeluk ama memek?"


Aku hampir tergelak melihatnya, bagaimana tidak, Metta berbicara dengan nada yang ringan, ceria, dan manja pada kontolku, seolah itu adalah benda yang punya nyawa sendiri. Sembari berbicara, dia memegang lubang kontolku dengan ujung jari telunjuknya, sambil sesekali memutar-mutarkannya.


"Koq kamu jadi agak layu gini sih, Tol? Kamu sedih ya gak dipeluk memek lagi?"


Aku terdiam, bersikap wait-and-see atas permainan Metta ini.


"Eh, Kontol, kalau ditanyain itu ngejawab, apalagi kalau yang nanya cewek cakep."

"I-Iya..."
jawabku dengan suara yang ditinggikan seolah menjadi suara untuk kontolku.

"Iya apa?"

"Iya, Kontol sedih karena nggak dipeluk ama Memek."

"Oh, sedih. Kalau Kontol dipeluk Memek lagi mau?"

"Kontol mau."

"Mau apa?"

"Kontol mau dipeluk ama Memek lagi..."

"Mau aja atau mau banget?"



Aku agak meringis karena kali ini Metta agak menekan lubang pipisku dengan ujung jarinya, sehingga pinggiran kukunya terasa tajam pada bagian kontolku yang memang sensitif.


"M-mau bangeeet..."

"Hihihi, Kontol koq ada suaranya ya? Pasti bukan kontol nih, tapi Erik, ya kan? Sekarang Kontol jawab dong, kalau mau ngangguk aja, okey?"



Metta lalu melepaskan kontolku, dan entah bagaimana secara refleks aku menegangkan otot-otot selangkanganku sehingga kontolku jadi seperti manggut-manggut naik turun.


"Hihihi, bagus, Kontol emang anak lucu, nggemesin deh..."


Aku kembali agak berjengkit, karena Metta mencubit kepala kontolku yang tengah sensitif. Metta hanya tertawa saja.


"Uuu... Sayang, Kontol sakit ya? Maafin Metta ya Kontol, sini Metta cium biar gak sakit lagi."


Metta merendahkan kepalanya lagi, sementara tangan kirinya sudah kembali menggenggam pangkal kontolku. Mulutnya tampak agak monyong sambil mendekat ke arah kepala kontolku, kemudian...


"CUUH!"


Sekali lagi Metta meludah, kali ini diarahkan pada kepala kontolku. Aku tertegun melihat ludah yang putih bening kental dan berbuih itu turun dari mulut Metta ke kepala kontolku, menyisakan garis kemilau yang membentang antara mulutnya dengan kontolku. Kemudian dengan riang, Metta mengusap-usapkan ludahnya hingga merata pada kontolku dengan tangannya yang satunya. Dari metodenya, terlihat bahwa Metta tahu betul apa yang dia lakukan. Usapannya kasar, namun juga merangsang beberapa titik pada batang dan kepala kontolku sehingga menjadi lebih keras kembali.

Setelah kontolku tegang sempurna, Metta mendekatkan bibirnya sambil menjulurkan lidah ke arah kepala kontolku. Berbeda dengan lidah istriku yang melebar dan tumpul, lidah Metta terlihat kecil dan meruncing. Pelan-pelan ujungnya disentuhkan pada lubang kontolku sambil ditekan pelan, hanya ujungnya saja, yang langsung membuatku agak berjengkit.


"Mm-hmm"


Metta menjilat bibir mungilnya seolah baru mencicipi sesuatu yang lezat. Sambil tersenyum, kemudian dia kembali mendekat dan menutul-nutulkan ujung lidahnya pada lubang kontolku kembali, diselingi dengan mengusap-usapkannya pada area helm di sekitarnya. Aku meremas seprai, berusaha menahan agar tidak kelojotan, namun rasanya memang bagai disengat ribuan volt listrik, langsung pada lubang urethra masuk ke dalam dan menjalar ke seluruh tubuh. Apalagi Metta juga terkadang menciumi dengan bibirnya, lalu mengokop bagian helmnya sebelum ditarik sambil disedot, seolah dia tengah meminum menggunakan kontolku sebagai sedotannya.


"SLUUUURP... CEPOK!!"


Suaranya terdengar keras saat bibir Metta lepas dari kepala kontolku, dan aku seolah ikut tersedot hingga pinggangku berjengkit dan ambruk. Aku memang tak pernah bisa tahan kalau disepong dengan amat dalam seperti itu, sehingga meski aku menyukainya, aku tak pernah membiarkan Rini melakukannya terlalu lama, apalagi sampai sedalam yang dilakukan Metta barusan. Aku bahkan merasakan cairan mengalir keluar dari kontolku, tapi ini jelas bukan mani, apakah precum kembali? Tapi sudah berapa kali kontolku mengeluarkan precum saat ini? Jelas skill Metta bukan main-main.

Metta hanya tertawa saja melihatku ambruk. Bukan tertawa jumawa atau meremehkan, lebih seperti orang yang gembira setelah berhasil melakukan sesuatu, tawa riang polos yang kurindukan dalam 12 tahun ini. Dia lalu menjilati cairan yang keluar dari kontolku ini dengan lahap, sampai beberapa kali menyedot dari lubang sumbernya. Aku hanya bisa berjengkit karena lenganku tiba-tiba terasa lemas dan gemetaran untuk bangun.


"Hihihi, Erik enak ya?"

"Iya, enak banget? Kamu kayak suka banget gitu ngejilatinnya."

"Iya, hehehe. Habisnya punya Erik enak sih, ada manis-manisnya gitu. Aku jadi suka aja, apalagi kontolnya Erik juga pas di mulut, nggak bikin sakit."

"Masa iya enak?"

"Gak percaya?
"


Metta tiba-tiba menunduk kemudian melakukan french kiss kembali padaku, yang masih belum siap. Aku terkejut karena belum lama Metta menjilati precum-ku sehingga pasti masih ada sisa-sisanya di mulutnya. Aku tak tahu harus berpikir apa, aku berusaha untuk memberontak, namun badan Metta menahanku, dan salah satu tangannya juga menggenggam kontolku dengan kencang sambil dimain-mainkan sesuai dengan bagaimana otot pada kontolku bergerak. Dia mengendalikan ereksiku! Sangat piawai hingga aku tak punya pilihan selain menikmati apa pun yang ada di mulutnya.


"Nah, enak, kan?"

"Aaaaaaahhhhh..."



Aku melenguh karena Metta meremas kontolku agak memijitnya dari pangkal ke ujung, sehingga kepalanya terasa amat keras.


"Enak, kan?"

"Iya, Met, enak..."

"Am I your good little slut?"

"Y-Yes... You're a good little slut..."

"Does a good little slut do this?"



Metta lalu melepaskan kontolku, kemudian dia berdiri, mengangkangiku. Pelan-pelan dia bergoyang mengikuti musik sambil roknya diturunkan. Aku sudah tak peduli musik apa yang bermain saat ini, karena semua fokusku kini hanya pada Metta yang tengah menelanjangi dirinya sendiri. Lalu akhirnya terlihatlah, pinggulnya yang padat, paha yang putih mulus, dengan memek yang tanpa bulu, kecuali segaris di atas klitoris yang aku yakin itu disebut potongan "landing strip". Menyaksikan pemandangan yang biasanya hanya kulihat di video JAV benar-benar membuatku takjub sekaligus bergairah. Terutama saat Metta, dengan wajah chindo-nya, membuatnya mirip seperti artis JAV cantik, yang aku sendiri lupa siapa.

Rok itu pun akhirnya lepas sudah, dilemparkannya ke sudut lain ruangan. Metta kini berdiri telanjang, bak dewi, dengan tubuh putih mulus pualam berpemanis titik-titik hitam tahi lalat di berbagai tempat di tubuhnya. Dia mengangkat sedikit kakinya, lalu mengeluskan telapaknya pada kontolku. Tidak, dia tidak menginjaknya, hanya mengelusnya lembut, kemudian sekali lagi mencepit batangnya dengan jari kakinya.


"How about now? Am I still good little slut?"

"No, you're now bad little slut, kamu nakal, Metta!"

"Aku nakal, Erik? Benarkah?"

"Ya, kamu nakal, karena berani menggoda aku."

"Maaf kalau aku nakal, what can I do to make it right?"



Metta pun bersimpuh di depanku, saat aku kembali duduk. Posisinya saat ini membuatku tak bisa melihat memeknya yang tertutup oleh paha yang terlipat.


"Buka paha kamu, I want to see your pussy..."


Metta mengangguk, lalu sambil bersandar ke belakang, dia pun membuka paha dan kakinya pelan-pelan, dengan tempo yang membuat darah lelaki manapun akan memanas melihatnya. Lalu terlihatlah, bibir memeknya yang tembem memerah, merekah, dengan gelambir kecil pada labianya. Semenjak istriku malas mencukur jembutnya, baru ini pertama kali aku bisa melihat memek secara langsung setelah sekian lama. Aromanya pun menyebar wangi dan segar, laksana aroma memek yang amat terawat. Aku lalu mendekatkan wajahku ke memek Metta yang setelah 12 tahun akhirnya terbuka untukku.


"Can I taste it?"

"Boleh... Taste it, eat it, chomp it, apa pun yang kamu mau, karena memek ini hari ini adalah milikmu, Erik. Yours, and yours alone."

"Milikku?"

"Semua yang di tubuhku ini hari ini adalah milikmu... Lakukan, Erik, lakukanlah, Sayang..."



Segera kulahap memek Metta yang merah merekah itu dengan beringas. Metta mendesah dengan imut saat bibir dan lidahku menyapu itilnya, mirip sekali seperti desahan Miho Tsuno, aktris JAV favoritku, namun jelas Metta lebih cantik. Lidahku kugerakkan memutari bibir memeknya yang tembem sambil sesekali kugerakkan ke atas sepanjang garis memeknya sebelum kucucup tudung atas gelambirnya, yang terasa keras seperti kacang.


"Aaaaahhhh... Aaaahhhh... Iyaaahh... Terusshhh... Terussshhh, Erik... Oh God... Aaaahhh..."


Tanpa terasa, pinggul Metta pun turut bergoyang naik turun sesuai dengan irama sedotan dan jilatanku pada memeknya. Tangannya mengelus memberantakkan rambutku sambil sesekali meremas menjambaknya saat kusedot itilnya dengan agak kencang. Otot-otot bibir memeknya terasa berkedut, dan basahan yang tadinya hanya dari ludahku kini terasa berbeda, terasa lebih kental dan lengket, dan aromanya pun berbeda, bukan tengik ludah melainkan sangit memek dengan sedikit aksen mirip santan atau pandan. Cairan itu terasa anyir namun juga gurih pada lidahku, dan kuhirup semuanya, sambil menahan napas karena kini hidungku kubenamkan seluruhnya ke dalam lubang surgawi milik Metta.


"Ooooohhhh... Aaaaahhhh... Erikh... Aaah... Kamhu nghaphain... Aaaah... Aaaahh... Jangh....aaaaannn... Aaahhh... Yesshhh... Terushhh... Ooh baby, fuck me, don't stop, yes baby, suck my pussy... Oooooohhhh..."


Racauan Metta membuatku semakin bersemangat mengoral memeknya. Terkadang, seperti orang menyelam, kuangkat sedikit kepalaku untuk menarik napas, sebelum akhirnya membenamkan kepalaku kembali ke liang yang hangat dan lembap itu. Pandangan mataku semakin kabur, karena cairan kurasakan kemakin banyak dan semakin membasahi wajahku. Lalu Metta pun tak lagi meracau melainkan membuat suara dengungan seperti tengah mengejan, ditambah dengan otot sekitar pinggul dan paha yang kurasakan menjadi amat tegang, dan lidahku yang kutempelkan ke dalam pun terasa dijepit. Kontan saja aku langsung mengokop klitoris itu sambil kusedot kencang, dan...


"AAAAAHHHHH!!!!!!! YES, BABY!!!!!! Aaaaarrggghhhhh..."


Suara Metta mulai tak jelas karena badannya mulai berguncang, dan dia malah menekan kepalaku amat dalam seolah ingin membekapku dengan memeknya. Aku bertahan, mengencangkan peganganku pada pahanya yang bergetar dengan keras. Otot memeknya berkedut kencang dan setiap kedutan terasa seperti air yang muncrat, langsung ke wajahku.

Aku menutup mata, menahan napas, walau semakin sesak sementara pinggul Metta menegang mengangkat di tengah badannya yang bergetar semakin kencang, kakinya berjinjit kencang sebelum akhirnya seperti tiba-tiba kehilangan tenaga dan langung ambruk ke kasur. Getaran yang semula kencang itu kini hanya tinggal satu-satu, namun setiap kali membuat tubuhnya berjengkit bagai kejang. Aku menjauhkan wajahku yang kini basah penuh dengan cairan memeknya, yang bahkan sampai menetes dari daguku. Sementara Metta meringkuk dalam posisi fetal, dengan kedua tangannya dijepit oleh kakinya menutupi memeknya yang masih mengalirkan cairan. Sesekali seluruh tubuhnya mengejang hebat, dan dia tampak berusaha mengatur napas.

"Bagaimana?" tanyaku setelah kejangnya selesai dan napasnya mulai teratur kembali.

"E-enak..."

"Beneran?"



Metta tidak menjawab, hanya mengangguk, dengan raut muka yang tulus.


"This is one of the best cum I ever had... Dan baru dari mulut kamu aja..."


Dia lalu membuka matanya kemudian melihatku dengan pandangan sendu. Puppy eyes semacam ini selalu saja membuat jantungku dag-dig-dug tak keruan.


"Am I no longer bad slut, Erik?"

"No, you're no longer bad, Metta."

"Tapi kamu beri aku kepuasan, I must show my gratitude... Let me worship you."



Aku hanya mengangguk dalam diam, penasaran ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Metta untuk perkara "worship" ini. Saat itulah Metta menegakkan tubuhnya, menjulurkan tangannya ke atas hingga terlihat kedua ketiak yang mulus serta dadanya yang tegak jadi terlihat membulat sempurna. Setelah itu, dia langsung menjura, seperti orang yang tengah bersujud takzim dalam drama sejarah Korea, dengan kedua tangan ditumpuk di depan kepala. Dia melakukannya sebanyak tiga kali, semua dengan imbuhan desahan imutnya yang menggairahkan, dan pada sujud ketiga, kedua tangannya ditangkupkan di atas kontolku.

Tanpa jeda, dia melanjutkan dengan memegang kontolku, lalu menciuminya, mirip seperti orang yang sedang sungkem, hanya saja yang disungkemi ini adalah kontol, bukan tangan. Apa yang awalnya hanya menciumi batangnya lalu kecupannya menjalar hingga ke kepala, leher, batang atas, batang bawah, daerah antara kontol dan kantung zakar, hingga akhirnya kantung zakarku dikulum sambil disedot.


"AAARRRGGGGHHHH!!!"


Aku mengerang, karena linunya sungguh luar biasa, setelah dua kali menyedot kuat-kuat kedua biji zakarku, Metta masih melanjutkan dengan mengulum serta mencium dan menjilati kedua kantungnya, membuatku masih terasa ngilu, tapi sekaligus enak, hingga aku menahan napas karena perasaan yang campur aduk ini.


"Gimana, Rik?"


Aku terengah-engah, berusaha mengatur napas sebelum akhirnya menjawab.


"Gila, ngilu tapi enak banget..."


Metta tertawa, dan wajahnya tampak lucu karena saat itu kontolku tengah menempel di tengah-tengahnya hingga ke dahinya. Aku tertegun karena tidak biasanya kontolku menjadi sekeras dan sepanjang ini saat bersama istriku.


"Mau lagi?"

"Eh jangan, bagian itu kan kotor."



Metta menggeleng, sehingga batang kontolku menepuk-nepuk mukanya.


"Enggak tuh, malah enak, kayak aroma-aroma manly gitu, aku suka koq."

"Hehehe, ih lucu kamu kalau kontolku di wajah kamu."

"Iya nih, si Kontol maunya nempel mulu, ukuran berapa sih, Rik, kayaknya koq gede banget gini?"

"Hmm, berapa ya? Terakhir ngukur kayaknya standar deh, 14 apa 15 senti gitu."

"Masa sih? Hmm, kayaknya lebih deh."



Lalu Metta mengukur kontolku dengan jengkalnya. Dia tampak serius saat melakukannya.


"Iya, kayaknya sih lebih, tapi gak banyak."

"Hmm, mungkin ya, kayaknya pas ama kamu baru kontolku bisa sekeras ini."

"Wah, masa sih? I'm flattered. Or maybe, Kontol gak pernah di-treat dengan baik nih. Poor baby, ikut ama Tante Metta ya?"

"Yah, kalau Kontol ikut kamu ntar aku gimana dong?"

"Ya sekalian lah, ikut."

"Beneran?"

"Enggak lah, Erik kan udah ada yang punya, mending aku ama Kontol aja, lucu."



Setelah berkata begitu, Metta kembali memasukkan kontolku ke dalam mulutnya, sambil kedua tangannya memegang pangkal kontolku. Dari awalnya dia hanya mengeluar-masukkan kontolku begitu saja, hingga kemudian dia memasukkan kontolku lebih dalam lagi sehingga kepalaku menyentung ujung kerongkongannya yang terasa amat panas.


"Hggghhhh... Ahhhhkkk... Glggghhhh..."


Metta tampak terlihat agak panik, sambil berusaha menahan refleks untuk menarik napas. Dari yang kurasakan pada kepala kontolku, aku bisa tahu bahwa kontolku kini benar-benar muat pada kerongkongannya, yang tentu saja ini menutup jalan napasnya. Ini pertama kalinya aku merasakan deepthroat, karena sebelumnya Rini tak pernah mau melakukannya hingga sedalam ini.


"Met, kalau nggak kuat..."

"Hmmmpppphhh... Mmmhhhh..."



Metta menggeleng sambil mengatupkan mulutnya untuk mencegah aku menarik kembali kontolku. Air mata dan ingus mulai mengalir dari mata dan hidungnya, sementara matanya menjadi memerah, namun dia tampak berusaha untuk bertahan. Kedua tangannya lalu mencengkeram pinggangku, seolah melakukan ancang-ancang, dan...


"Unggghhhhhhhhh..............................."


Batang kontolku masuk lebih dalam lagi ke kerongkongannya. Aku bisa merasakan seolah ada sesuatu yang membuka dan udara panas seolah menyergap kontolku. Ini bukan panas tubuh biasa, jauh lebih panas lagi, bagai terbakar. Aku menahannya sebisa mungkin sementara Metta berusaha menggerakkan maju mundur, namun baru tiga kali genjotan saja, dia sudah tidak kuat dan langsung menarik mulutnya dengan keras. Kontolku yang tadi dibekap oleh kerongkongannya langsung tiba-tiba bebas dan merasakan hawa dingin dari luar ruangan.


"HUUEEEEKKKKK!!!!"


Aroma isi perut langsung menyergap saat Metta memuntahkan cairan kuning ke arah lantai. Rasanya pasti tidak nyaman, dan mungkin, seperti aku, Metta antara tidak pernah atau jarang sekali melakukan deepthroat sehingga bereaksi begitu.


"Are you okay?"

"Y-Yeagh... Ahm oghey..."



Kembali Metta meludahkan sisa-sisa dari cairan lambungnya ke lantai, yang pasti terasa amat asam di mulutnya.


"Teraghir akhu deepthroath... Ghontolnyha lhebih khejhil dhari puhnya khamhu..."

"Hei, relax, okay. Don't force it."



Sekali lagi Metta meludahkan sisa-sisa ludah asamnya ke lantai. Sejujurnya, aku awalnya prihatin melihat Metta muntah dan meludah seperti itu, namun melihat posisinya saat ini, hampir menungging di depanku, memperlihatkan dua pantatnya yang bulat merekah bak bola voli menyingkapkan lubang boolnya yang merah penuh kerutan, berseberangan dengan bibir mekinya yang masih basah, terhubung oleh perineum yang bersih dari bulu sehelai pun meski lebih gelap warnanya dibanding kulit di sekitarnya, jujur rasa prihatinku berubah menjadi gairah. Apalagi kulihat ada titik hitam tahi lalat juga dekat dengan boolnya, yang mungkin hanya bisa dilihat pada posisi begini.


"KYAAAAA!!!"


Metta berteriak panik, karena aku tiba-tiba mencolokkan jari telunjukku ke dalam boolnya. Kuputar sedikit telunjukku itu sebelum kutarik kencang hingga dia berjengkit.


"Ih Erik, apaan sih, gitu..."


Belum sempat Metta bereaksi, aku langsung menarik pinggulnya sambil merebahkan diri, sehingga posisi kami seperti posisi 69 dengan tubuhnya di atas. Kuludahi jari jempol kiriku sebelum kutancapkan dengan keras ke boolnya hingga masuk seluruhnya. Metta berteriak kesakitan namun dengan nada yang amat seksi. Kutahan pinggulnya, kemudian kuturunkan hingga mekinya tepat berada di mulutku.


"Ahahaaahhhh... Hhhhaaahhh... Hggaaaahhh... Erikkh... K-khamhu nghapaainh... Aaahh..."


Aku tidak menjawab, hanya suara mulutku yang tengah memainkan meki Metta saja yang terdengar, seperti vakum yang menyedot permukaan basah.


"Slaap... Slaap... Slaap... Slurrrrppppphhhhh... Kecipakk!! Kecipaakkk!!"


Metta semakin liar dalam mendesah dan meracau, apalagi saat lidahku mencoba menjalar jauh memasuki relung memeknya yang basah dengan cairan kental. Jempolku yang masih tertanam di bool Metta kumain-mainkan, antara kuputar-putar, atau keluar-masukkan. Sementara itu beberapa kali kutampar pantat bulat itu dengan tanganku yang tersisa hingga terasa panas saat disentuh. Yah, aku selalu gemas dengan pantat yang kencang seperti punya Metta. Itu karena pantat Rini sendiri sudah turun dan mengempis setelah melahirkan. Satu-satunya perempuan lain dengan pantat kencang adalah Bella, namun dia tak sebesar Metta, dan aku tak pernah berani bertindak jauh kalau dengan Bella. Aku bukan pria yang suka berselingkuh, dan yang saat ini kulakukan dengan Metta, adalah baru yang pertama kali sepanjang hubunganku dengan Rini. Ah, sial, kenapa aku memikirkan soal ini lagi? Tak terasa waktu sedetik itu malah membuat aksiku di pantat Metta terhenti sejenak, sementara kurasakan pinggulnya bergerak-gerak seolah menginginkan lebih.

Tiba-tiba sebuah rasa hangat yang basah menjalar di kepala kontolku. Ya, dalam posisi 69 ini, Metta kembali berusaha untuk memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Namun, karena Metta lebih pendek daripadaku, sehingga saat posisi memeknya kukunci pada mulutku, wajahnya tidak tepat berada di kontolku, sehingga hanya kepalanya saja yang bisa masuk hingga setengah batang, setidaknya tak akan membuatnya tersedak kembali. Suara sedotan, seruputan, dan kecipak pun terus terdengar hingga entah berapa lama. Seingatku sudah beberapa lagu berlalu, dan kurasakan Metta sudah menyemburkan cairan hangatnya di wajahku dua kali, sementara aku masih bisa bertahan, karena dalam posisi hanya setengah kontol yang bisa masuk, maka Metta kurang bisa maksimal dalam menyepongnya.

Lama-lama kurasakan lidahnya semakin memelan, begitu pula hisapan dan sedotannya, sepertinya mulutnya sudah tidak kuat lagi, begitu pula aku. Lidahku yang sedari lama kupaksakan menegang untuk mengorek hingga relung terdalam memek Metta kini jadi kelu, begitu pula sisi-sisi mulutku. Akhirnya kami berdua pun ambruk dalam posisi saling bertumpuk berkebalikan. Pinggul Metta pada dadaku, sementara kepalanya bersandar pada pangkal pahaku. Kami bisa merasakan bagaimana kami sama-sama mengatur napas, peluh dan keringat yang keluar dari tubuh kami seolah menjadi lem yang menyatukan kulit kami berdua, lengket, namun tak selengket cairan memek Metta yang masih mengalir membasahi dadaku, menyebarkan aroma gabungan pandan, santan, dan asam dari keringat, serta sedikit aksen asam/anyir bekas muntahan Metta yang kini mulai terasa.

Kurasakan Metta tergelak. Dadanya terasa naik turun pada pinggulku. Sementara dia kembali memegang kontolku, walau tidak dalam tekanan atau remasan untuk merangsangnya, hanya memegang dan memainkan saja kontolku yang kali ini pada posisi 7/8 tegang.


"Gila ya, Kontol masih belum keluar juga," kata Metta dengan nada manja seolah bicara pada mainan favoritnya.

"Emang biasanya gimana?"

"Nggak tahu, kayaknya belum pernah aku foreplay bisa selama ini. Kamu emang bener-bener hebat, Rik. Udah kontolmu gede, gayamu juga enak banget."

"Hmm, masa sih?"

"Istri kamu pasti beruntung banget ya?"

"Entah, mungkin kali ya."



Aku menghela napas. Baru Metta-lah yang memuji mengenai ukuran kontol maupun staminaku saat ML, dan dengan nada yang terdengar amat tulus. Rini tentu saja pernah melakukannya, namun itu sudah lamaaaaaaa sekali, hingga aku tak ingat lagi kapan kami ML sambil memberikan pujian-pujian seperti ini, karena setelah itu, seks bagi kami menjadi tak lebih daripada rutinitas atau kewajiban belaka. Kadang dengan berbagai alasan malah Rini selalu meminta supaya jangan lama-lama, entah karena capek, atau karena takut membangunkan anak kami, sehingga pola percintaan kami lebih hanya seperti sebuah "quickie yang diperpanjang". Ya, memang aku sampai orgasme, begitu pula Rini, namun aku belum puas, aku selalu saja masih ingin 2-3 kali lagi memuntahkan lahar putihku, namun Rini selalu berhenti setelah dia mencapai orgasme, sehingga lebih banyak napsuku dituntaskan dengan tangan setelahnya.

Sekali lagi aku terhenyak dari pikiranku, karena kontolku kini terasa dijepit oleh dua bongkahan lembut yang hangat. Ya, tampaknya Metta berusaha melakukan tit-job kepadaku, meski dengan penuh perjuangan, karena mungkin dia tak begitu terbiasa dengan ini. Namun susunya yang berukuran 34B, lebih besar daripada milik istriku, jelas membuat tit-job-nya terasa cukup mantap. Kontolku pun kembali tegang dengan sempurna untuk kesekiankalinya di atas ranjang ini.


"Udah keras nih, Rik, masukin aja ya?"

"Yakin nih, Met?"



Metta diam sejenak, kemudian dia bergerak memutar tubuhnya, namun tanpa beranjak dari tubuhku, sehingga aku bisa merasakan tekstur badan Metta saat dia berganti posisi, kulit kami yang saling bergesekan dengan keringat kami sebagai pelumasnya, dan tahu-tahu saja wajah imut Metta sudah ada di hadapanku. Dia tersenyum, napasnya masih agak tersengal, sehingga aku bisa merasakan hembusan hangatnya pada wajahku. Tangannya kemudian mengusap wajahku dan juga bibirku, seolah ingin menjelajahinya. Halus dan mungil sekali kurasakan tangan itu pada wajahku. Matanya tampak nanar sayu, dan hembusan napasnya semakin cepat, disertai dengan detak jantungnya yang terasa menggedor-gedor dadaku. Angin hangat pun semakin tersembur mendekat, dan...

Sekali lagi kami berciuman, bukan dengan nafsu, melainkan ciuman dalam yang romantis. Baik aku dan Metta sama-sama menutup mata, karena kami berdua ingin menikmati saat-saat keintiman ini dengan penuh kekhusyukan. Sambil kami tak melepaskan pagutan pada bibir masing-masing, aku mendekap Metta, kemudian berusaha bangun, hingga kini posisi kami seperti orang berpangkuan namun saling berhadapan. Bibir kami masih menyatu, saling memagut, saling mengait, hangat, basah, dan penuh gairah, sementara aku terus mendekap tubuh hangat Metta yang terasa lembut pada dadaku. Muncul perasaan aneh bahwa aku sudah tak mau lagi melepaskan Metta setelah 12 tahun kami berpisah.


"CPAKKK!!"


Sebuah kecipak keras mengakhiri sesi ciuman romantis kami, dan Metta langsung beringsut turun dan berbaring telentang. Tanpa dikomando, dia langsung membuka kedua pahanya kemudian melipat tungkainya, mirip seperti posisi kupu-kupu (atau ayam yang sedang dibekakak). Posisi ini memperlihatkan seluruh asset Metta tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dadanya yang lembut dan mancung, perutnya yang rata, jembutnya yang hanya segaris, lalu mekinya yang tembam memerah dan tampak lembab, bahkan lubang boolnya yang tadi sempat kucicipi pun tampak pula. Ini seperti simbol sebuah ketaklukan total gadis yang 12 tahun lalu selalu kuinginkan dan menghias mimpi-mimpi terpanasku.


"Ayo, Erik... Fuck me, please. Today, I'm yours."


Aku menegakkan tubuhku dengan kaki terlipat pada kasur. Perlahan aku bergeser mendekatinya sehingga ujung kontolku yang tegak sempurna tepat sejajar dengan memek Metta yang merona. Kutempelkan kepala kontolku pada permukaan lubang mekinya, dan dia tampak sedikit berkedut. Kutowel-towel sejenak, kemudian kugesek-gesekkan, makin lama makin dalam. Metta mendesah setiap kali kepala kontolku melewati bagian itilnya. Sembari kontolku semakin mengeras, lubang meki Metta turut pula semakin membuka dan basah, hingga beberapa kali ujung kepala kontolku bisa mengetuk-ngetuk sedikit masuk ke gerbang itu. Metta tampak menggigit bibir bawahnya, mungkin menahan birahi yang tengah meledak-ledak.


"Ayo, Erik, masukin aja..."


Tanganku yang tadinya memegang batang kontol kini kulepas dan bertumpu kedua-duanya pada tangan Metta yang menjulur. Posisi kontolku saat ini adalah kepalanya sudah masuk dijepit oleh bibir meki Metta. Dengan keadaan yang sebasah dan selicin ini, tak akan perlu waktu lama untuk kontolku bisa menyelinap masuk dan menyempurnakan persetubuhan kami ini. Bila hal itu terjadi, maka Metta akan menjadi wanita kedua yang setelah Rini yang bisa kumasuki kontolku!

Namun pada saat itulah hati nuraniku menjerit dengan suaranya yang lirih. Tidak, Erik, ingatlah, kau masih punya istri di rumah! Istrimu adalah Rini, bukan Metta. Persetubuhanmu ini bukan hanya salah, namun juga sebuah dosa besar! Ya, terlepas dari hobiku yang suka berselancar di situs porno, ikut forum mesum, hingga menonton film bokep, namun belum pernah sepanjang hidupku aku berselingkuh dengan wanita lain; tidak saat berpacaran dengan Rini, apalagi setelah kini kami menikah. Senakal apa pun diriku, aku tetap harus menjadi suami dan ayah dan baik, maka berhentilah...

Tidak! Ini bukan suatu kesalahan. Rini sudah lama tak bisa memuaskan birahimu, dan ini artinya dia gagal memenuhi nafkah batinmu. Begitu kata suara setan di dalam diriku. Lihat ini, di depanmu, wanita yang selalu kau idamkan selama 12 tahun, kini menyerahkan dirinya pasrah di hadapanmu! Tidakkah dalam masturbasimu kau pernah membayangkan bagaimana bila ngentot dengannya?? Dia lebih cantik, lebih seksi, lebih bergairah, dan pastinya lebih pandai ngentot daripada istrimu yang kini sudah dekil dan buluk itu. Ayolah, kapan lagi ada kesempatan sebaik ini?? This is better than booking a whore, Erik! Jangan sia-siakan dia.

Ya, benar sekali, kapan lagi ada kesempatan seperti ini? Apabila mengingat bagaimana jahatnya Rini yang menghapus data di hapeku, hingga data-data pentingku hilang dan hari ini aku harus keteteran di kantor. Orang bilang dalam kemalangan ada keberuntungan, mungkin mendapatkan Metta ini adalah keberuntunganku. Cantik, baik, dan dia sudah lama kuimpikan. Dengan kepalaku yang terasa mendidih, aku mulai menggoyangkan pinggulku untuk memasukkan kontolku lebih jauh.


"Masukin, Erik... I love you..."

"Yes, Metta, I love you too..."



Metta menutup matanya dengan tangannya menggenggam erat tanganku. Dia bersikap seperti perawan yang tengah mempersembahkan tetesan darah pertamanya kepada sang kesatria. Aku tak tahu apakah Metta sengaja berakting begitu, ataukah ini karena aku, yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya. Aku tak peduli, aku menyukainya, sikap Metta seperti ini membuatku tambah bersemangat ingin menyarangkan kontolku pada liang yang baru, liang yang lebih sempit, wangi, dan hangat daripada liang istriku. Pinggulku pun kutarik ke belakang, mengambil ancang-ancang. Kami berdua sudah siap melakukan keniscayaan ini, dan...


Next >>> Regret
 
Terakhir diubah:

Matur nuwun updatenya bosz....

Sama2 hu

Detail sekali, jarang ada yg menulis seperti ini

Ane malah ngerasa kayaknya kurang detail nih hu :D

Mantaaap suhu

Makasih atas apdetnya om @fleur_mirage
:beer: :beer:

Sama2 suhu2 sekalian, mohon kl ada kritik sarannya juga

Izin baca maraton

Silakan hu

mantab updatenya suhuu....

Bro @fleur_mirage
Thæñkÿøû

Terima kasih dan mohon kritik sarannya suhu2 sekalian
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd