Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Agak kaget pas cek akun sendiri ternyata daftar dari 2012🙃
 
Chapter 4:

A Little Thing Called Regret

Metta menutup matanya dengan tangannya menggenggam erat tanganku. Dia bersikap seperti perawan yang tengah mempersembahkan tetesan darah pertamanya kepada sang kesatria. Aku tak tahu apakah Metta sengaja berakting begitu, ataukah ini karena aku, yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya. Aku tak peduli, aku menyukainya, sikap Metta seperti ini membuatku tambah bersemangat ingin menyarangkan kontolku pada liang yang baru, liang yang lebih sempit, wangi, dan hangat daripada liang istriku. Pinggulku pun kutarik ke belakang, mengambil ancang-ancang. Kami berdua sudah siap melakukan keniscayaan ini, dan...


"Saranghae neol i neukkim idaero
geuryeo watdeon haemae ime kkeut
i sesang sogeseo banbokdweneun
seulpeum ijen annyeong!"



Di saat-saat kritis itu, lagu yang tak asing itu terdengar, membuatku terkejut sekaligus mengutuk. Ya, karena petikan refrain dari lagu "Into The New World" - Girls' Generation itu juga kupakai sebagai ringtone hapeku. Saat Rini menghapus semua data di hapeku, baru ini yang berhasil kuatur ulang, karena sudah sedemikian terbiasanya dengan ringtone itu sehingga penting untuk membuatnya lagi. Aku menghela napas sedikit frustrasi, dan Metta mengetahui itu.


"Kenapa?"


Rasanya tak perlu aku menjawab untuk Metta bisa tahu alasannya.


"Itu ringtone kamu, kan?"

"Iya..."

"Nggak kamu angkat?"



Aku terdiam hanya mendengarkan nada refrain itu berulang sebelum akhirnya berhenti. Aku kembali menarik napas. Keterkejutan akan bunyi hape itu cukup merusak tempo dan momentum foreplay antara aku dengan Metta.


"Saranghae neol i neukkim idaero
geuryeo watdeon haemae ime kkeut
i sesang sogeseo banbokdweneun
seulpeum ijen annyeong!"



Ringtone berengsek itu menyala kembali, dan itu membuatku kesal. Aku berusaha mencari-cari di mana hape sialan itu, namun tak bisa menemukannya. Metta pun beringsut hingga kepala kontolku yang melemas lepas dari jepitan mekinya, lalu ikut mencari, dan menemukannya di balik seprai yang terlipat.


"Dari Bella."

"Udahlah biarin aja..."

"Jangan gitu, Bella ini berarti kantor kan? Siapa tahu penting."



Berengsek! Kenapa Bella malah meneleponku pada saat-saat kritis seperti ini?? Namun di sisi lain aku juga setuju dengan Metta bahwa apabila sampai Bella meneleponku artinya ada sesuatu yang tak bisa dia tangani, dan bila ada yang tak bisa dia tangani, berarti itu bukan hanya penting, namun juga darurat! Dengan enggan, aku pun mengambil hapeku dari tangan Metta.


"Halo, ada apa, Bel?"

"Halo, Pak, sorry nih ngeganggu, tapi Bella mau nanya dulu, Bapak masih lama enggak ke kantornya?"

"Kenapa, Bel? Apa ada masalah?"

"Iya, Pak, sekali lagi maaf banget ini ngegangguin reuninya. Cuman Pak Surya ini ke sini, Pak, dia ada di ruangan."

"Hah? Ngapain dia ke ruangan?"

"Dia minta file gitu, cuman kan kita lagi narik data juga nih, jadi gak bisa cepet."

"Oh, ya sudah bilang aja ke Pak Surya biar balik dulu ke ruangannya, ntar file-nya kita kirim ke sono."

"Udah, Pak, Bella udah bilang gitu ke Pak Surya."

"Terus?"

"Orangnya bilang malah dia pengen nunggu aja di ruangan sampai prosesnya kelar dan data yang dia cari udah dapet."

"Lho, gak bisa gitu dong, koq aneh."

"Nah, makanya Pak Erik mending cepet balik kantor dulu deh, ya, please, Pak. Bella takut nih, cuman ada dia ama Bella doang di ruangan, mana dia tadi minta blind ditutup lagi, ya Bella bilang aja blind-nya macet, jadi gak bisa ditutup. Ini Bella nelponnya dari kamar mandi, gak berani Bella nelpon dari ruangan."

"Oke, tahan dulu di sono ya, jangan berduaan ama Pak Surya, kalau mau balik ke ruangan ajakin siapa gitu. Aku langsung ini balik."

"Oke, Pak. Sekali lagi Bella minta maaf banget ya, Pak, kalau nggak darurat juga Bella nggak bakal nelpon Bapak."

"Iya, udah, gak apa-apa. Inget ya, cari temen buat ke ruangan."

"Siap, Pak!"



Sambungan telepon pun langsung ditutup. Surya, nama lengkapnya Surya Lesmana, sebenarnya adalah supervisor senior tingkat divisi yang secara jabatan ada di atasku, namun secara fungsional, departemenku tidak menginduk langsung padanya. Hanya saja, karena kami berada pada satu divisi, maka secara teori Surya masih membawahiku. Orangnya sebenarnya seusia denganku, namun pangkatnya lebih tinggi karena dia lebih senior daripadaku, masuk beberapa bulan sebelum aku masuk. Surya ini terkenal sebagai salah satu breadwinner terbaik, sehingga di mata para pimpinan, dia punya prestasi luar biasa. Itu memang benar, dulu, tapi sekarang setelah menduduki posisi di atas, dia lebih sering bersikap bossy dan selalu menyerahkan apa-apa kepada bawahannya, langsung atau tidak langsung, dengan selalu dia yang taking credit, serta mengecilkan usaha-usaha para bawahannya, dan bila ada masalah dia tak pernah membantu bawahannya menyelesaikan dan selalu dilimpahkan pada para bawahannya atau departemen lain di bawah divisinya, yang jika berhasil, tentu saja dia lagi yang tampil sebagai pahlawan.

Namun hal yang paling parah lagi darinya adalah bahwa Surya ini mata keranjang. Rasa-rasanya hampir semua karyawati di kantor kami pernah dirayu atau diajak kencan oleh Surya, bahkan pernah juga dia terkena kasus karena diduga mencabuli anak magang, namun entah bagaimana kasusnya menguap begitu saja. Setelah Bella masuk ke departemen kami, tentu saja dia menjadi incaran dari Surya, karena kecantikannya. Namun sejauh ini aku selalu bisa melindungi baik Bella maupun karyawati lain di bawahku, karena Surya cukup segan untuk mencari masalah denganku. Untungnya, karena HRD sudah tahu mengenai kelakuan Surya, dia di-blacklist dengan tidak lagi diberikan karyawan putri untuk bekerja langsung di bawahnya demi mencegah supaya tak terjadi skandal lain, karena itu kalau sedang tak ada kegiatan, Surya sering berkeliling ke divisi-divisi, dengan alasan "memeriksa pekerjaan", padahal semua tahu itu semata-mata dilakukan karena dia ingin mendekati para karyawati di sana.

Aku melirik ke arah Metta, yang sudah menutupi ketelanjangannya dengan selimut tebal, dan duduk di tepi tempat tidur. Tampaknya walau aku tak bilang pun dia tahu apa yang akan terjadi. Waktu kebersamaan kami yang singkat telah berakhir.


"Kamu kudu balik sekarang, ya?"


Aku mendengus sambil mengangguk. Rasanya lidah ini bahkan terasa kelu untuk mengucapkan perpisahan pada Metta. Andai saja kami bisa diberi waktu sedikit lebih lama, karena untuk pertama kalinya aku kembali merasakan persetubuhan yang dilandasi oleh cinta, setelah sekian lama berlalu.


"Aku anterin ke kantormu ya, Rik."

"Nggak apa-apa, Met, aku bisa naik taksi dari sini, jadi kamu nggak usah repot-repot."

"Eh, nggak apa-apa, Erik, kamu tunggu dulu ya, aku mau dandan ama ganti baju dulu. Just wait, jangan pesen taxol dulu, oke?"



Metta kemudian berdiri dari tempat tidur dan beranjak ke dalam kamar mandi en suite yang ada di dalam kamar. Dia tidak mengambil pakaian atau selimut saat berjalan, membiarkanku melihatnya dalam keadaan telanjang, bak naturisme di zaman Yunani-Romawi. Metta terlihat amat nyaman di sini, seolah ini adalah rumahnya sendiri.


Sebenarnya, bila dipikir kembali, memang Metta melakukan segala hal di sini seolah ini merupakan rumahnya sendiri, bukan seperti ini asset yang dipasrahkan oleh perusahaan kepadanya. Tentu saja ini membuatku berpikir. Aku melihat ke sekitarku sambil mencari-cari bajuku untuk kukenakan, hingga...


"PLETAK!!"


Terdengar sesuatu yang jatuh tak jauh dariku. Kutengok sejenak kiri-kanan mencari tahu apa yang jatuh. Saat kulihat ke bawah, ada sebuah benda warna hitam yang terbuat dari plastik dengan dimensi yang amat kukenal. Yah, itu adalah remote, dilihat dari bentuk tombolnya, bisa dipastikan itu remote TV. Sesuai kebiasaan di rumah, aku pun reflek mengambil remote itu untuk diletakkan di tempat lain yang lebih mudah terlihat. Namun secara tak sengaja, aku memencet tombol remote yang memang agak sensitif itu, sehingga televisi di kamar itu menyala.

Aku tertegun saat melihat pada televisi itu. Ada sebuah video yang dibiarkan dalam keadaan pause di sana, dan dari gambar yang berhenti itu aku bisa mengenali Metta, menggunakan baju cheongsam warna merah dengan bunga-bunga putih, dan tengah tersenyum lebar, sepertinya dia amat gembira. Yang menarik perhatianku adalah tangan Metta tengah digandeng oleh seorang cowok, yang kuduga usianya hampir sama denganku, dan si cowok ini memakai jas dengan warna yang senada dengan warna cheongsam Metta, dan yang mencolok lagi adalah adanya cincin berlian pada jari manis kanan Metta. Dari posisi semua orang di sana, terlihat bahwa Metta dan si cowok ini berada pada pusat perhatian, yang artinya hanya satu...

Sangjit, ya, semacam acara pertunangan atau perkenalan dua keluarga besar suku Tionghoa, dan Metta tengah bertunangan dengan si cowok yang juga tersenyum ini. Kulihat timecode pada video itu, yang menunjukkan Desember 2017. Namun sangjit biasanya hanya berjarak 6 bulan atau setahun dari pernikahan, dan Metta yang kutemui tadi tak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sudah menikah, bahkan dia pun tidak menyinggung soal itu selama kami mengobrol. Cincinnya yang dikenakan pada video ini bahkan tak ada pada jarinya. Alih-alih dia memakai cincin emas tanpa mata yang kutahu sudah ada padanya sejak 12 tahun lalu. Apakah yang terjadi? Dan, kenapa video ini bisa ada di sini, pada televisi apartemen yang katanya adalah asset perusahaan?

Entah apa yang kupikirkan, aku malah menekan tombol play pada remote itu sehingga video itu pun berlanjut.


"Ci Metta, Koh Steven, foto dong, lebih mesra lagi!" kata seseorang yang merekam video ini.

"Kayak gini, Mey?" orang yang disebut Koh Steven itu merangkul Metta, yang memberikan reaksi seperti bergidik namun tersenyum lebar.

"Ci Metta, jangan kayak orang ketakutan gitu dong, kan udah mau jadi istrinya Koh Steven!"

"Eh, nggak ketakutan ini, gue kan nggak biasa diginiin."
balas Metta.

"Ye, di depan umum aja ngomong gitu, pas sepi malah dia nih, yang agresif." tukas Steven.

"Ih, sembarangan kamu, kalau aku nggak nembak kamu duluan mana kamu mau jadi pacar aku."

"Iyaa, iyaa, cium dulu dong."



Metta mencubit pipi Steven sebelum akhirnya mengecup bibirnya, diikuti dengan sorakan semua orang yang ada di sana. Suasananya tampak amat bahagia, penuh tawa dan keriangan, sehingga aku penasaran apa yang sebenarnya terjadi.


"Sudah puas ngeliatnya, Erik?"


Aku terkejut dan melihat ke belakang. Metta berdiri menatapku yang tengah menonton video itu. Tubuhnya masih basah, dan dia keluar hanya dengan handuk yang tak ditutupkan, sehingga tubuh telanjangnya terlihat.


"Eh, maaf, Met, aku nggak sengaja nyalain TV..."


Situasi agak canggung untuk sementara. Metta terdiam, namun bukan tampak seperti orang kesal, melainkan seperti orang yang memendam kesedihan yang amat besar. Aku pun berdiri, kemudian perlahan-lahan aku berjalan mendekatinya. Dia tidak menyingkir atau menolak, dan kubuka tanganku padanya, dan entah bagaimana dia langsung menjatuhkan dirinya ke pelukanku sambil menangis tersedu sedan hingga kemejaku pun basah oleh hangat air matanya.


"Aku nggak kuat, Erik, please take me out of here..."

"Metta..."



Aku hanya menepuk-nepuk punggungnya saja, tak tahu harus bereaksi apa, kutunggu hingga dia menumpahkan seluruh air matanya di dadaku.




Setelah dia selesai menangis, barulah Metta menceritakan kisahnya padaku. Pria itu bernama Steven Santijoso. Metta mengenalnya karena dia adalah teman sekelas Metta saat di SMP dan SMA dulu, dan ternyata sejak SMA itu, Metta pernah memendam rasa suka pada Steven karena memang Steven saat itu cukup terkenal walau tak populer, dia pintar dan juara dalam Matematika dan Bahasa Mandarin, dan Metta saat itu adalah satu-satunya yang dekat dengannya, namun mereka lalu sempat putus kontak saat Steven pindah sekolah ke Shenzhen hingga kemudian mereka bertemu kembali saat Metta pindah bekerja dari sebuah biro reksadana ke KSI Company.

Ternyata, Steven sudah terlebih dahulu ada di sana dan menjabat sebagai manajer investasi, dan Metta secara kebetulan ditempatkan di bawahnya, itu sekitar tahun 2012. Metta bercerita bahwa dalam 3 tahun pertama, tak ada interaksi berarti dalam hubungan mereka, persis seperti atasan dan bawahan biasa saja. Namun Metta pun mengakui bahwa Steven benar-benar baik dan amat perhatian, itu membuat rasa suka Metta pada Steven bersemi kembali.

Hingga ketika tahun 2015, Steven diumumkan akan diangkat sebagai Direktur Investasi, menggantikan Mr. Kim yang ditarik kembali ke Korea. Dalam sebuah pesta untuk merayakan promosi jabatannya, Metta, yang menurut pengakuannya, saat itu sudah tipsy karena miras, tiba-tiba menghampiri Steven saat suasana sudah sepi dan menyatakan rasa cintanya kepadanya. Setelah itu Metta mengaku tak begitu ingat apa yang terjadi. Dia hanya ingat bangun dalam keadaan pusing, sendirian, telanjang, di sebuah kamar hotel mewah. Sebuah kopi kalengan beserta sebuah surat tampak berada pada meja di sampingnya, surat yang hingga kini masih disimpan oleh Metta, yang berbunyi:


"Dear Metta, first of all, I'm sorry if I'm not here by the time you're awake. Pagi ini Ms. Park minta diadakan rapat direksi pagi, dan sebagai pengganti Mr. Kim, aku harus cepet-cepet datang ke kantor, so I'm sorry.

Then I must say, kalau jujur aku seneng banget waktu kami nembak aku semalem. Aku juga udah lama suka sama kamu, Met. Andai aja aku tahu kamu suka juga ama aku, hari ini mungkin akan datang beberapa tahun lebih cepet. But yes, I accept your love.

Lalu aku juga minta maaf yang sebesar-besarnya, rightly after, karena jujur aku khilaf, dan akhirnya bikin kamu kehilangan sesuatu yang amat berharga due to my foolishness. Untuk itu aku amat menyesal, tapi satu hal yang aku nggak nyesel adalah akhirnya aku ngedapetin kamu dan kita akan meniti cinta kita bersama, selamanya.

With all my love, Steven.

PS: Aku udah bilang ke HRD kalau kamu hari ini sakit, so enjoy your free day. Room is on me, jadi nikmatin aja sepuasmu, aku nanti balik ke sana kalau semua urusan ama Ms. Park udah beres.

PPS: Drink some coffee, biar pusing kamu ilang. Aku nggak tahu kamu suka kopi apa, jadi aku tinggalin black aja. Hope you like it, my love."



Setelah membaca surat itu, barulah Metta menyadari bahwa ada bercak darah yang tampak mencolok pada seprai ranjang yang putih. Bercak ini, ditambah kemaluan Metta yang kini mulai terasa sakit agak mengganjal, hanya bisa berarti satu hal. Ya, malam itu, keperawanan Metta akhirnya terenggut sudah. Penyadaran akan fakta itu membuat Metta merasakan sebuah perasaan menyesakkan pada dada yang akhirnya meledak dalam bentuk tumpahan air mata. Mungkin itulah kali pertama Metta menangis sejadi-jadinya seperti itu. Namun, dia bukan menangisi keperawanannya yang hilang, melainkan bahwa pada saat yang seharusnya amat sakral bagi semua gadis itu, justru hampir tak dia ingat sama sekali akibat pengaruh minuman keras.




"Jadi itu yang pertama?" tanyaku.

"Iyaa, dan nggak ada siapa-siapa waktu aku nangis."


Aku mengelus bahu telanjangnya, dan entah bagaimana, dia malah langsung menyenderkan kepalanya pada bahuku.


"Lalu dia balik lagi?"

"Iya, dia balik lagi malemnya. Terus dia minta maaf sambil bersujud kalau udah ngambil virgin aku. Dia bilang nggak tahu kalau aku masih perawan, jadi yaa..."



Metta diam sejenak tanpa meneruskan. Ya, dalam posisi seperti itu mungkin aku sendiri akan melakukan yang dilakukan Steven pada hari itu.


"Terus? Kamu maafin dia?"

"Iya, dan malem itu, akhirnya menjadi yang kedua buat aku having sex with a man. Ya walau beda aja dibanding pas temen-temen cerita gimana pas mereka lepas segel. Nggak ada ragu atau malu-malu, kayak aku ngerasa, oh ya udahlah. Jadi aku pengalaman malam pertama itu ya buat aku kayak ilang gitu aja, gak sempet aku alamin. Padahal aku selalu yakin, married or not, that first time has to be memorable, and yet I have no memory about it whatsoever."

"Kamu terlalu mabok kali?"

"Ya mungkin juga, jujur sih aku lupa malem itu minum berapa banyak, tapi yaa, sudahlah..."

"Kalian langsung pacaran dua tahun ya sebelum sangjit?"

"Satu setengah tahun, tepatnya. Dan ya, jujur aja, I have no complaint in dating Steven at that time. Dia itu baik, royal, perhatian, penyabar, makanya pas pertama kali dia ngelamar aku, I instantly said yes, almost no brainer. I was very happy at that time, dia memberi aku segalanya, bahkan termasuk apartemen ini, yang seharusnya menjadi rumah kami berdua."

"Jadi ini bukan asset perusahaan, tapi rumahmu?"

"Tergantung bagaimana kamu memandangnya, Erik."

"Maksudnya?"

"Ya, apartemen ini memang salah satu yang diberikan oleh Steven saat sangjit, dan itu membuatku senang, karena itu berarti Steven memikirkan soal masa depan kami, namun sayangnya, sangjit itu juga terakhir kalinya aku bahagia selama pacaran ama Steven."

"How come?"





Cerita selanjutnya benar-benar membuatku terkejut, karena berbeda 180 derajat dari apa yang terjadi sebelum peristiwa sangjit itu. Dimulai ketika Steven mengajak Metta untuk berlibur di Bali, dan entah bagaimana ceritanya, saat itu Metta bisa sampai tidur dengan orang lain, dan Steven menganggap Metta berselingkuh. Lebih parah lagi, Steven mengancam untuk membatalkan pernikahan atas dasar itu, karena entah dari mana dia bisa mendapat rekaman saat Metta bersetubuh dengan orang itu. Karena pembatalan pernikahan adalah sesuatu yang memalukan, maka Metta meminta supaya Steven tidak melakukannya, dan untuk itu, Steven meminta imbalan yang amat mahal. Ya, Steven, yang memang berambisi untuk menduduki posisi puncak di KSI Company Indonesia, ingin Metta untuk membantunya melakukan "lobi" pada beberapa pejabat dan klien KSI Company, dan ya, itu artinya Metta harus "melacurkan diri" supaya Steven bisa menduduki jabatan tertinggi di kantor KSI Company di Indonesia. Mungkin itu sebabnya aku menemukan body chain dengan nipple ring di laci meja depan. Itukah yang harus dikenakan oleh Metta saat melayani para bos-bos?

Metta tak menceritakan secara detail mengenai ketika dia harus menjadi "pelacur" itu, namun dari situ akhirnya Metta tahu bahwa Steven memang sudah merencanakan semua ini semenjak Metta pertama masuk ke KSI Company. Metta saat itu merupakan salah satu wanita tercantik di perusahaan, namun sekaligus yang paling susah didapatkan. Aku menyamakannya seperti Bella pada kantorku, dan sebagaimana Bella juga yang lekat padaku, Metta hanya lekat pada seseorang di sana, yaitu Steven. Karena itu Steven membuat sebuah rencana yang dia jalankan dalam tempo bertahun-tahun untuk membuat Metta akhirnya "menembak dirinya". Steven memang sudah tahu dari awal bahwa Metta pernah dan masih menyukainya, dari salah satu teman dekat Metta sekaligus gundik rahasianya di kantor yang bernama Jessica, dan Jessica ini memegang peran penting dari rencana ini, mulai dari mencoba mendekatkan Metta pada Steven dan mengipasi supaya rasa suka itu berkobar, hingga yang paling vital adalah memberikan sebuah miras bercampur obat yang membuat Metta menjadi amat mabuk sehingga dia "menembak" Steven. Dari situ barulah Steven mengambil alih, meng-grooming hubungannya dengan Metta, membuat Metta terbuka pada seks, hingga berujung pada sangjit, yang merupakan titik lepas landas dari rencananya untuk memanfaatkan Metta.




"Jadi, apa si Steven itu masih ada di kantormu?"


Metta mengangguk.


"Posisi Steven saat ini adalah wakil direktur utama, yang bisa dia dapetin dengan bantuanku. Yang tersisa di atasnya hanya Ms. Park Myung-hee, yang memang ditugaskan langsung dari Korea. Aku nggak tahu gimana caranya dia mau ngejegal Ms. Park, tapi jujur aku nggak mau tahu. Selama Steven masih megang hasil rekamanku, aku nggak bisa ninggalin dia, dan harus tunduk di sini. Steven ngebolehin aku nerima siapa saja di sini, dia nggak peduli aku gimana, yang penting aku nggak boleh pergi dan harus selalu siap kalau dia perluin. Itu kesepakatan aku ama dia, sampai nanti dia mendapatkan posisi puncak di KSI."

"Lalu Steven sendiri sekarang tinggal sama siapa?"'

"Di apartemennya sendiri, jauh dari sini, dia lebih milih tinggal sama si Jessica itu. Aku emang nggak diawasi CCTV di sini, tapi penjaga di bawah selalu ngelaporin ke dia kalau aku bawa cowok ke sini. Jadi ya, dia pasti tahu kamu ada sama aku, tapi aku nggak yakin dia peduli. Dia nggak pernah peduli kalau cuman kencan sekali. Lagian tiap minggu aku juga bawa cowok beda-beda ke sini, cuman biar aku nggak frustrasi aja di sini sendirian, nggak boleh ke mana-mana selain ke kantor. Hape aja dia sadap, jadi kalau aku nelpon atau kirim pesan ke siapa aja dia tahu, dia juga tahu aku pergi ke mana aja dari tracker GPS di hapeku, jadi kalo aku ke tempat yang gak biasa, dia pasti bakal langsung telepon."



Aku terhenyak mendengarnya. Walau bebas, Metta kini bagaikan orang yang terbelenggu. Apartemen yang tadinya diberikan kepada Metta sebagai hadiah, kini ternyata diambil kembali oleh Steven dalam nama perusahaan, sehingga meski Metta masih menempatinya, dilarang ada hal-hal yang menunjukkan kepemilikan pribadi. Meski apartemen ini selalu ditata dengan rapi, tapi tak terasa bagai rumah untuk Metta, karena tak ada barang-barang yang menunjukkan bahwa itu adalah rumahnya. Foto dan kenangan lain hanya boleh disimpan di televisi, yang menjadi hiburan bila Metta ingin mengenang masa lalu yang indah, sementara, meski Steven bersepakat ini hanya sampai nanti setelah Steven menduduki posisi puncak di KSI, tetap tak ada kejelasan kapan atau apakah Metta dan Steven akan menikah, dan bagi Metta, dia sudah nyaris menerima nasib ini. Hal yang kemudian tak bisa dimaafkan adalah ketika Steven, yang setelah sangjit dipercayakan mengelola asset perusahaan ayahnya Metta, malah menggunakannya untuk mendapatkan leverage di KSI, sehingga perusahaan itu kini semakin menurun dan nyaris kolaps. Ini membuat ayah Metta terkena stroke, dan Metta tak bisa apa-apa untuk membantunya lebih jauh, karena semua keputusan kini di tangan Steven. Aku sampai mencengkeram seprai hingga robek akibat saking geramnya, sementara Metta hanya bisa menangis di bahuku.

Entah berapa lama Metta menangis, hingga kemejaku basah oleh air mata. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Bila itu terjadi dulu, aku pasti akan bisa usahakan sesuatu, tapi sekarang? Di saat semua sudah terlanjur begini? Tak ada yang bisa dilakukan. Perusahaan ayahnya sudah hampir kolaps, ayahnya terkena stroke, dan kini semua asset keluarga Metta berada di tangan Steven, tak mungkin untuk bisa membalikkan semua itu.


"Eh, maaf ya, Rik, kamu kan udah ditelpon suruh balik kantor ya, tadi."

"Oh, eh, gak apa-apa."

"Bentar ya..."



Metta lalu mulai mengambil bajunya yang berserakan, kemudian mengenakannya. Aku memperhatikannya selama dia berpakaian, dan berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, Metta masih bisa bersikap elegan.


"Btw, Rik..."

"Ya, Met?"

"Makasih ya udah udah ndengerin curhatan aku, makasih juga buat the best foreplay, walau maaf, gak bisa lama, dan gak sempet masuk juga."

"Oh ya, gak apa-apa, namanya juga force majeur, di luar perkiraan. Tapi kamu makasih buat apa?"



Metta hanya mengangkat bahunya saja.


"Entah kenapa pas ama kamu kayak ada sesuatu yang beda aja. Padahal udah bukan pertama kali aku ML ama orang, tapi tadi aku akhirnya ngerasain yang sering diceritain ama temen-temenku pas pertama ML. So makasih, akhirnya aku bisa rasain sensasi itu."


Aku hanya mengangguk, kemudian Metta meneruskan memakai blouse-nya. Aku masih memperhatikan Metta, dan saat itulah aku teringat bahwa ada sesuatu yang selama ini telah mengusikku, sebuah pertanyaan yang selalu menggelayuti pikiranku 12 tahun ini.


"Met, Met..."

"Mm-hmm?"

"Yang kamu omongin ke aku saat terakhir kali kita ngomong langsung 12 tahun lalu, kalau saat itu aku terus ngejar kamu, walau semua yang kamu bilang, apa kamu bakal terima aku?"

"Itu udah lama lewat, Erik, nggak ada pengaruhnya sekarang."

"Please, I need to know the answer."


Metta lalu berhenti mengancingkan blouse-nya. Dia menatapku dengan pandangan mata aneh, sayu namun penuh dengan sesal.


"Iya, Erik, malahan dulu aku berharap kamu mau berontak dan tetep nembak aku. Aku yang saat itu pasti langsung luluh dan terima. Aku penasaran aja, kalau saat itu kita pacaran, apa semua juga akan tetap begini? Tapi udah gak ada gunanya lagi sekarang, kan, Erik? Waktu nggak bisa diulang kembali."



Pernyataan terakhir Metta sungguh menohokku. Ya, andai saja saat itu aku lebih tenang dan mau berusaha lebih keras pada Metta, mungkin aku akan...

Ah, sudahlah, benar kata Metta, "waktu tidak bisa terulang kembali."


==========


Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 19.30, sudah satu setengah jam dari seharusnya kami semua pulang, namun aku masih ada di kantor, melacak data-data yang dihilangkan oleh Rini, istriku. Namun, aku tak sendiri, karena Bella masih ada di sini menemaniku, dan itu membuatku agak bersemangat. Bagaimana pun juga, Bella sudah terlihat agak kelelahan. Beberapa kali terdengar dia menguap dengan suara dan desahan yang jujur agak seksi, apalagi kami hanya berdua, dan aku jujur agak kentang dengan kejadian bersama Metta tadi siang.

Namun aku tak mau larut berpikir macam-macam. Ya, mau bagaimana pun juga, aku masih punya Rini yang menungguku di rumah, dan dia tetaplah istriku sebagaimana pun mengesalkannya. Jujur saja saat Bella menelepon tadi siang dan menggagalkan upaya persetubuhanku dengan Metta, ada sisi dalam diriku yang merasa lega dan bersyukur. Mungkin ada yang menjagaku sehingga mencegahku melakukan tindakan perselingkuhan. Ya, aku tetap bersalah atas setiap ciuman, rabaan, dan sentuhan yang kulakukan atas Metta, tapi setidaknya tak ada penetrasi, dan tak ada penetrasi artinya aku tidak berselingkuh. Itulah yang terus menerus kuulang pada kepalaku.


"HOAAHHEM..."


Bella kembali menguap dengan suara kecilnya yang mendesah.


"Kamu udah ngantuk itu, Bel, pulang aja lah."

"Bapak sendiri nggak pulang?"

"Sebentar, masih selesaiin ini dulu."

"Masih banyak kali, Pak, mendingan Bapak aja pulang dulu."

"Nggak ah, kasihan kamu kudu kerja sendiri, kan ini kesalahanku."

"Iya, tapi Bella kan masih single, Pak, mau lembur juga gak masalah, tinggal bawa aja ke kosan ntar Bella kerjain dari sono. Pak Erik kan udah ada istri, kasihan lho, Pak, pasti udah ditungguin di rumah."

"Ah paling juga enggak, Bel."

"Lagi ada masalah emang di rumah, Pak?"



Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan Bella itu, tak ingin menjawabnya, karena sebagaimana juga Rini istriku, aku pun tak terlalu nyaman membicarakan masalah rumah tanggaku kepada orang lain, apalagi Bella. Namun entah bagaimana sepertinya Bella bisa membaca sikapku ini.


"Apalagi kalau lagi ada masalah di rumah, Pak, justru Bapak kudu cepet-cepet balik, biar masalahnya juga cepet bisa dikelarin."

"Wah, bisa bijak juga kamu ya, Bel?"

"Iyalah, kan Bella diajarin ama orang tua Bella. Udah lah, Pak, walau Bella seneng ada yang nemenin, tapi mending sih Bapak pulang aja dulu, paling kalau udah ngantuk banget Bella juga pulang."

"Malah aku yang seneng kalau kamu nemenin aku, Bel. Bikin nggak bosen."

"Hihihi, makasih, Pak."



Bella tersenyum dengan lebar dan manis. Anak ini memang aneh, karena aku sering mendengar Bella bersikap ketus kalau ada karyawan lain yang bercanda seperti itu padanya. Tapi kalau aku yang bercanda, dia malah seperti senang, bahkan terkadang membalas candaanku dengan sama gayengnya. Awalnya aku tak berpikir macam-macam, namun setelah perkataan Metta tadi siang, aku jadi berpikir jangan-jangan Bella ini...


"Coba tadi gak ada si Pak Surya kampret itu, pasti Bella udah bisa selesaiin lebih banyak daripada ini."

"Ngganggu banget ya, dia tadi."

"Mbanget, Pak, bayangin aja ngapain dia di sini terus-terusan padahal Bella udah coba usir dengan alus, pake ngerayu-ngerayu Bella gitu lagi, modus amat itu om-om ganjen, heran."

"Heh, usianya sama kayak aku lho, kalo kamu bilang dia om-om ganjen berarti aku juga."

"Yee, beda lah, Pak, iya Bapak emang om-om, tapi kan nggak ganjen kayak dia. Mau Bella tinggal aja sebenernya, tapi Bapak tahu dia kan? Bella takutnya dia mbaca-mbaca atau ngambil dokumen penting, itu aja, makanya tadi Bella manggil Tasya ama Reyhan buat nemenin."

"Tapi tadi aku datang dia udah pergi?"

"Iya, pas Bapak tadi bilang udah mau nyampe kantor, Bella bilang gitu aja ke dia, langsung pergi orangnya. Pak Surya kan nggak pernah mau urusan ama Bapak langsung, makanya Bella yakin pas dia tahu Bapak gak ada di tempat, dia cari-cari alasan aja buat ngerayu Bella."

"Suka kali ama kamu, kan soalnya kamu cantik, Bel."



Tiba-tiba raut muka Bella langsung berubah, tak lagi muram karena ada sesungging senyum muncul di wajahnya.


"Makasih, Pak, Bella seneng deh dibilang cantik ama Bapak."

"Ehhm, eh, iya..."



Malah gantian aku yang salah tingkah, salah sepertinya aku membercandai Bella dengan pujian. Salah lagi dalam situasi seperti ini, hanya berdua saja di kantor begini. Tentu saja sebagai pria normal, aku menyukai Bella, siapa yang tidak? Namun kalau diteruskan dalam situasi ini, bisa-bisa jebol beneran ama Bella.


"Eh, ya sudah, Bel, udah malem juga, lagian. Mending kita pulang aja yuk, lanjutin besok."

"Oh, iya, Pak, bentar, Bella siap-siap dulu ya, Pak."

"Iya, santai aja, kita keluarnya barengan aja ntar."

"Wah, mau dong, Pak, enak kayaknya keluar barengan."

"Heh, apa??"

"Eh, iya, itu, kan koridor udah dimatiin lampunya biasanya, Pak, jadi Bella kadang takut gitu kalau jalan sendirian."

"Oh, maksudnya itu."

"Hehehe, iya, Pak, maksud Bella itu."



Aku dan Bella pun segera bersiap-siap untuk segera pulang. Sial, dia sudah menanggapi seperti ini berarti bahaya sekali. Sejenak aku teringat percumbuanku dengan Metta, hangat bibirnya, lembut kulitnya, putih bak pualam, dengan toket yang kencang dan pentil cokelat; dan Bella pun sepertinya memiliki tipe yang sama dengan Metta, apakah bibirnya juga terasa sama hangat, kulitnya sama lembut, toketnya sama kencang? Aku pun bisa membayangkan diriku mencumbui Bella di kantor yang sepi ini, merasakan napasnya di mulutku, mengisap lidahnya yang basah, dan...


"Pak, Bella udah selesai, nih."


Khayalanku langsung buyar, dan Bella memang sudah berdiri di dekat mejanya sambil membawa tasnya. Layar komputernya masih menyala biru, sedang dalam proses untuk shut down. Aku berdehem kemudian menghampiri Bella, namun saat aku mendekat, tiba-tiba raut mukanya berubah.


"Kenapa, Bel?"


Bella tidak menjawab, namun dia mendekatkan wajahnya pada dadaku, dan menghirup aromanya. Aku bisa merasakan hembusan napas hangatnya begitu dekat, yang kini membuat darahku berdesir. Namun otakku masih bisa berpikir dengan jernih dan menahan gejolak birahi yang mulai membara.


"Pak, bentar dulu deh, Pak."

"Kenapa?"

"Bapak bau parfumnya Bu Metta."



Aku mengernyit, lalu mencium lengan atasku sendiri, tapi tak terasa apa-apa.


"Enggak ah."

"Iya ini, kerasa banget. Kalau Bapak pulang dalam keadaan gini, bisa-bisa Bapak diamuk ama Ibu di rumah."

"Ah, ntar paling kena keringat pas di kereta juga pasti ilang."

"Enggak bisa, Pak, parfumnya Bu Metta itu parfum jenis mahal, dia bisa nempel lama di badan mau berkeringet kayak gimana juga. Bapak emang abis ama Bu Metta nggak mandi dulu?"

"Abis ama Bu Metta, gimana maksudmu?"

"Ahh, udah deh, Pak, kita udah sama-sama gede ya, Bella nggak peduli Bapak tadi ngapain aja ama Bu Metta, tapi kalau nggak kita urus ini, bisa Perang Dunia entar. Buka baju, deh, Pak."

"Eh, apa??"



Tanpa menunggu jawabanku, Bella segera saja melepaskan tas ranselku, kemudian jaketku, dan akhirnya berusaha melepas kemejaku meskipun aku terus menolaknya. Tangan Bella yang menyentuh kulitku sama lembutnya seperti tangan Metta, dan itu membuat nafsuku semakin membara, menggelora berusaha menjebol pertahanan rasionalitas otakku. Bella kemudian pergi ke mejaku dan mengambil sebuah botol parfum di sana. Aku memang menyimpan botol parfum di kantor, berjaga-jaga kalau tiba-tiba harus meeting atau bertemu orang, namun karena agak malas memakainya, jadi Bella yang selalu mengingatkanku. Bahkan dia juga yang tahu di mana botol itu disimpan pada mejaku. Saat dia mengocok botol itu, aku melihat tampangnya agak masam, seperti cewek yang tengah cemburu. Apakah Bella cemburu karena parfum Metta sampai menempel pada tubuhku? Tapi aku tak pernah melihat tampang kecemburuan itu saat bercerita soal istriku, atau melihat fotoku dengan istriku.


"FWOOOSSHHHH!!!"


Bella menyemprotkan parfumku agak banyak pada bagian kulitku yang terbuka, hingga ruanganku menjadi penuh dengan bau parfumku. Biasanya aku tak pernah memakai parfum sebanyak ini, namun Bella meyakinkanku bahwa perlu sebanyak ini parfumku untuk menutupi aroma parfum Metta. Setelah menyemprotkannya, dia kembali mengendus badanku. Meski tak menyentuh, aku bisa merasakan hangat badannya, hangat napasnya yang lembap mengelus badanku, dan waktu terasa seperti berjalan amat lambat.


"Udah ilang?"

"Belum, masih ada dikit, bentar."



Bella kemudian mengeluarkan sesuatu dari kalung name-tag-nya, sebuah benda panjang dan tipis yang kukenali sebagai vape pod. Meskipun Bella tidak merokok, namun sesekali di waktu istirahat bisa kulihat dia mengisap pod-nya, walau tak begitu sering. Pod itu kemudian dinyalakan, dan Bella menunggu sebentar sebelum akhirnya mengisap pod itu, dan menyemburkan asapnya langsung ke badanku. Aku merasa seperti sedang diberi mantra oleh dukun.


"Nah, kalau baunya nyampur-nyampur gini, paling gak Bapak bisa alibi di kereta berdiri sebelahan ama cewek."


Dia tampak tersenyum senang dengan hasil kerjanya menyamarkan bau parfum Metta dari badanku. Tangannya lalu dikibaskannya pada badanku, seolah ingin meratakan aroma baru yang dia berikan padaku, namun sentuhan itu membuat birahiku semakin menjadi-jadi, apalagi ketika jarinya tak sengaja menyentuh puting susuku, yang bagai memberikan sensasi setrum langsung ke dada. Jantungku berdetak semakin tak terkendali, dan kini pertahanan rasional otakku pun bobol sudah. Tanpa berpikir aku langsung menyosorkan kepalaku ke arahnya, tapi dengan cepat Bella mundur.


"Hayo, Bapak mau ngapain!?"


Melihat reaksi itu, aku pun langsung ikut mundur, dan segera memasang sendiri kancing pada kemejaku.


"Maaf, Bel, aku..."

"Bapak mau ngapain dulu?? Koq nyosor-nyosor?? Mau nyium Bella, ya??"

"I-I... Aku..."



Perkataanku terpotong karena tiba-tiba justru Bella yang bergerak maju dan langsung melumatkan bibir ranumnya pada bibirku. Waktu terasa berhenti, dan kenangan saat bercumbu dengan Metta pun muncul kembali. Ciuman Bella terasa hangat dan lembut, dan aku meresponsnya dengan sama bergairahnya. Ujung lidah kami pun sedikit bersentuhan, namun hanya itu saja. Tak ada lalu lintas ludah seperti saat aku mencium Metta, hanya ciuman french kiss yang halus. Entah berapa lama kami berciuman, dan saat Bella melepaskan bibirnya, aku merasa seperti bayi yang disapih saat tengah menyusu. Aku hendak maju, namun Bella meletakkan dua jarinya pada bibirku, mencegahku berbuat lebih jauh lagi. Bella menatap mataku dengan pandangan aneh, seperti berkaca-kaca dan sayu, namun ada birahi lembut di sana.


"Sudah ya, Pak, cukup segini saja. Inget ya, Pak, Bapak itu udah punya istri."

"Bel..."

"Ini supaya kita nggak penasaran lagi, Pak. Dan Bella juga percaya, apa yang terjadi di sini, Bapak bakal simpen tetep di sini."

"Bel..."

"Promise me, Sir, please."



Bella menggenggam kerah kemejaku dengan kencang, dengan tubuh bergetar seolah berusaha menahan tangis.


"I promise..."


Begitu kata itu keluar, Bella segera memelukku dalam-dalam sejenak. Aku diam saja, bahkan seperti membeku. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap, karena semua ini terasa canggung bagiku. Berbeda dengan Metta yang memang pernah kucintai, Bella ini bagiku lebih seperti seorang adik yang harus kusayangi dan kupedulikan, namun untuk mencintainya sebagai seorang wanita, meskipun aku mau, tetapi aku tidak bisa. Tidak dengan adanya istriku, juga Metta. Akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah mengelus lembut rambutnya.


"Bella cuman pengen ungkapin perasaan Bella aja, Pak. Jujur udah lama Bella suka ama Bapak, tapi Bella juga tahu kita mustahil buat bersatu. Bella juga cemburu Bapak bisa sama Bu Metta, tapi ya, Bella nggak bisa apa-apa. Tolong, biarin Bella ungkapin perasaan Bella sama Bapak, supaya nggak ada yang ngeganjel di dada, dan nggak ada yang Bella sesali."


Aku diam saja dan hanya mendengus sambil mengelus kepalanya. Ingin rasanya aku berkata bahwa aku meminta maaf dan menyesal tidak bisa membalas perasaannya, dan mendoakan semoga dia bisa menemukan seorang pria yang bisa dia cintai sebagaimana dia mencintaiku, juga bisa membalas cintanya, tak seperti diriku. Namun semua itu hanya ada di dalam hati, tak ada yang sampai terucap keluar. Meski begitu aku merasa Bella bisa memahami apa yang tidak aku ucapkan, karena napasnya perlahan terasa kembali tenang. Dia lalu melepaskan pelukannya, mengusap sisa air matanya, lalu berdiri menghadapku dan tersenyum, kembali menjadi Bella yang biasa kukenal, yang ceria dan positif, dan selalu menjadi anak buahku yang selalu kusayangi. Kami saling bertatapan, karena memang itulah status kami hingga nanti seterusnya: seorang atasan yang baik dan penyayang, serta seorang anak buah yang setia dan bisa diandalkan.


"Yuk, Pak, kita pulang. Bella udah ngantuk."

"Ya, ayolah. Aku juga ngantuk nih."



==========

Setelah hari yang penuh dengan naik turun bak roller coaster, aku pun kembali ke rumah yang dingin. Hujan turun deras di luar, dan saat aku masuk, istriku Rini tak menyambutku, bahkan makanan di meja pun tidak ada, padahal dia tahu bahwa aku selalu makan malam di rumah. Sudahlah, kuanggap saja dia sedang menidurkan Vino. Jujur saja setelah anakku lahir, aku agak cemburu padanya, karena perhatian istriku hanya pada Vino, Vino, dan Vino seorang. Dia sudah tak lagi memperlakukanku dengan mesra sebagaimana dulu. Tentu, aku juga sayang dengan Vino, tapi perhatian istriku Rini kepadanya menurutku sudah amat berlebihan. Rini tak pernah lagi memanjakan atau melayaniku dengan antusias, selalu dengan muka yang masam atau ditekuk. Setiap kutanya, dia pasti menjawab bahwa dia selalu kelelahan karena mengurus rumah dan merawat Vino. Namun aku berusaha untuk menahannya, karena bila Vino nanti sudah bisa apa-apa sendiri, lalu promosiku berhasil, pasti kami akan kembali bisa mesra berdua seperti dahulu lagi.

Aku pun mandi dan langsung mengambil dan memasak mie instan. Tak ada suara, jadi Vino pasti sudah tidur, mungkin Rini juga. Makan sendirian begini tanpa ditemani Rini sudah menjadi bagaikan rutinitas bagiku. Bahkan apa-apa untukku selalu kulakukan sendiri, karena Rini pasti selalu antara sibuk menidurkan Vino, atau dia sendiri sudah tidur. Namun saat memasak mie, aku merasa ada yang berjalan di belakangku. Kutengok dan itu Rini, dengan rambut berantakannya. Dia menatapku sejenak, lalu melengos berjalan ke kamar mandi. Bahkan aku belum sempat menyapanya. Sudahlah, mungkin dia sedang kebelet. Aku segera menyelesaikan masakanku, lalu menaruh panci berisi mie pada tatakan di meja makan. Saat makan mie sendiri, aku memang lebih suka memakannya langsung pada panci, untuk menghemat cucian piring, tentu saja.

Baru saja aku memasukkan sumpit ke dalam panci dan mengambil suapan pertama ketika Rini keluar dari kamar mandi, dan langsung duduk di depanku. Aku pun senang, tumben sekali akhirnya dia mau menemaniku makan. Meskipun dengan wajah yang kusam dan rambut berantakan, namun aku masih ingat bagaimana cantiknya dia dulu, dan pada saat inilah aku sebenarnya merasa agak bersalah setelah yang kualami dengan Metta dan Bella, dan semua yang kurasakan pada mereka pun sirna saat di depan istriku, berganti dengan rasa sayangku pada Rini.


"Mau makan juga?" tanyaku.

"Enggak..."

"Ntar aku bikinin kalau..."

"Dibilangin enggak..."



Aku terdiam. Sudahlah, dia sudah berbaik hati mau menemaniku makan, sebaiknya jangan membuatnya marah. Namun meski senang, aku merasa ada yang aneh dengan caranya duduk dan menatapku, seolah dia ingin memakanku hidup-hidup. Aura yang dipancarkan oleh Rini ini tidak membuatku senang, karena amat ganjil dan meresahkan, dan segera saja kekhawatiranku kembali, bahwa pasti ada apa-apa.


"Kenapa diem gitu?" tanyaku.

"Hmph..."



Tatapan matanya padaku benar-benar mengerikan. Apa dia hanya sedang tidak enak hati, atau dia merasakan sesuatu? Aku jadi merasa gugup, apalagi mengingat yang kulakukan tadi siang dan malam ini. Sebuah perasaan bersalah tiba-tiba menyergapku, dan entah bagaimana sumpitku jatuh dan membentur panci. Karena sumpit yang kumiliki terbuat dari logam, maka suaranya berdenting amat kencang.


"Ih, berisik banget, sih!? Bisa nggak sih lo makan nggak berisik!?"

"Iya, maaf..."

"Lo ngapain emangnya? Biasanya juga lo jago pegang sumpit. Gugup ya? Kenapa? Lo ngerasa salah gue liatin?"

"Enggak, apaan sih? Meleset aja, panas soalnya."

"Halah, alesan. Udah pulang telat, sampe rumah berisik banget tinggal makan doang."

"Kan aku udah bilang kalau aku balik telat, Ma, soalnya ada kerjaan kudu diselesaiin."



Aku sengaja tidak bilang bahwa alasanku lembur adalah karena data yang dia hilangkan, karena tak ingin memicu pertengkaran lagi.


"Yakin ada kerjaan? Atau ada kencan? Parfumnya koq kenceng banget baunya?"

"Ada meeting juga tadi, jadi ya aku pake parfum."

"Nggak biasanya lo pake parfum sebanyak itu? Napa? Bella kebauan ya ama lo?"

"Ih apaan sih, Ma, orang nggak ada apa-apa. Aku kan emang biasa kalau mau meeting selalu pake parfum, apalagi ini tadi meeting di luar."

"Di luar mana? Hotel H? Atau Apartemen A?"



Aku terkejut, karena memang aku ke dua tempat itu. Sebuah restoran di Hotel H untuk makan siang dan di Apartemen A untuk, ya begitulah...


"Kenapa? Kaget ya, koq gue bisa tahu? Gue konekin maps lo ke hape gue, jadi gue tahu lo ke mana aja."

"Ya, emang meetingnya ke dua tempat."
jawabku berbohong.

"Lama ya, tapi?" katanya sinis.

"Namanya juga meeting, ya mana tahu waktunya bakal lama."


Suaraku mulai naik untuk menutupi bahwa aku berbohong.


"Heh, biasa aja dong njawabnya, mau ampe si Vino bangun? Kan gue cuman nanya gitu doang."

"Ya, nadanya kalau nanya jangan gitu dong. Aku tadi ada rapat buat closing klien baru, makanya lama."

"Ditemenin ama Bella?"

"Y-Ya iyalah, kan dia anak buah aku, yang pegang semua datanya."

"Pantesan betah ya."

"Ma, ini tu profesional doang, nggak ada apa-apa."

"Ya, emang gue nuduh lo ada apa-apa? Koq malah lo yang kebakaran jenggot? Hayo, ada apa, coba ngaku?"

"Kagak ada apa-apa, itu cuman..."



Hapeku yang kuletakkan di meja tiba-tiba berbunyi, ada notifikasi pesan yang masuk secara push. Dan seolah semesta tidak membantuku, itu adalah pemberitahuan email dari Metta. Tentu saja nama "Metta Prameswari Liunata" tampak jelas pada kolom pengirim, dan itu adalah nama yang amat dikenal oleh Rini. Aku berusaha mengambil hapeku, namun Rini lebih cepat meraihnya karena memang lebih dekat padanya.


"Dear, Erik. The board are glad with the result of our meeting today and have decided to expedite the process of forging our cooperation..."

"Mana, sini, kasihin ke aku!"



Aku berusaha merebut hapeku dari tangan Rini, namun Rini langsung menjauhkannya. Itu memang hanya sebuah email bisnis biasa, namun adanya itu menunjukkan siapa yang kutemui pada siang tadi, dan itu bukan hal yang kuinginkan untuk diketahui Rini saat ini, ketika suasana hatinya sedang tidak baik ini.


"Tunggu, Metta Prameswari Liunata, ini Metta yang itu, kan? Mantan pacar lo?"

"Iya, emang. Dia jadi representative dari perusahaan..."

"Koq lo nggak bilang kalau ketemuan ama mantan pacar lo? Lo nyembunyiin apa lagi dari gue?"

"Nggak ada apa-apa, kita juga baru ketemu hari ini, aku juga baru tahu..."

"Bohong, pasti ada kontak sebelumnya, mana mungkin meeting cuman sekali bisa langsung gol?"



Rini lalu dengan agresif menggeser inbox email, berusaha untuk menemukan bukti email dari Metta. Tentu saja tidak akan ketemu, karena memang, secara tak biasa, semua bisa diputuskan dalam sekali pertemuan. Namun ini justru membuat Rini semakin murka.


"Koq nggak ada? Lo pasti udah hapus-hapusin, ya? Ngaku lo."

"Kagak ada, ya emang sekali ketemu itu langsung gol, Ma."

"Bohong banget, terus abis ini gol, lo yang pegang kerjasamanya, gitu?"

"Iya, buat jadi..."

"Enggak, enggak, gak ada cerita. Tolak sekarang juga kerjasamanya."

"Ya nggak bisa lah, ini kan buat perusahaan, lagian kalau aku nggak pegang, credit-nya ntar..."

"Gue gak peduli, itu bukan masalah gue. Tolak kerjasamanya, SEKARANG!"

"Enggak!"



Aku pun sengit menolak, karena selain itu mustahil setelah situasinya dieskalasi ke tingkatan perusahaan, juga memegang akun ini akan mempercepat promosiku yang sudah kuusahakan dengan amat gigih selama beberapa tahun ini. Melepaskan KSI Company berarti akan membuat semua yang telah kuraih terbuang sia-sia, sehingga memang aku sengit menolaknya. Rini terus mengomel dengan bahasa yang semakin lama membuat kupingku semakin panas, namun aku tetap bertahan.


"Lo rupanya lebih milih mantan lo itu daripada istri lo sendiri..."

"Bukan gitu, Rin, biar kujelasin, kalau aku gak pegang..."


"BRAAAKKKK!!!!"



Perkataanku terputus tiba-tiba saat kurasakan sesuatu menghantam kepalaku dengan amat keras. Terdengar seperti bunyi sesuatu yang pecah, dan aku pun langsung terjatuh dari kursiku ke lantai. Pandanganku berkunang-kunang, dan telingaku berdenging keras. Sejenak kepalaku terasa kebas, dan saat kuusap, terasa agak perih, darah pun membasahi jariku. Aku berusaha bangkit, dan kulihat Rini berdiri, melihatku dengan pandangan seperti anak kecil yang baru saja tantrum lalu merusak sesuatu. Di tangannya ada hapeku, layarnya sudah pecah, dan ada bercak darah di sana. Ternyata Rini baru saja menghantamku dengan hapeku sendiri hingga layarnya pecah. Entah karena memang emosiku yang sudah memuncak, atau karena pengaruh dari rasa sakit di kepalaku ini, aku kini melihat semua hal dengan api kemarahan.


"KYAAA!!!"


Rini berteriak kencang saat aku merampas secara paksa hapeku dari tangannya, mungkin jarinya secara tak sengaja tergores oleh pecahan kaca pada layarnya.


"Erik! Lo kenapa, sih?? Sakit ini..."


"BRAANNGG!!! KLONTAAAANG!!!"



Rini kembali berteriak, karena aku dengan raungan kemarahan membanting panci berisi mie kuah ke meja. Kuahnya masih panas, namun entah kenapa aku bisa memegangnya tanpa merasa sakit. Sebagian kuah itu sepertinya memercik ke arah Rini hingga dia menjerit kepanasan.


"Erik! Nyebut, Erik!! Erik!"


"BRAAAKKK!!!!"



Kali ini giliran kursi makan yang tidak tahu apa-apa kubanting hingga hancur. Rini berteriak histeris melihatku mengamuk, kemarahannya tadi sudah berubah menjadi tangis ketakutan melihatku menjadi seorang monster yang mengamuk. Patahan kaki kursi yang kupegang kugunakan sebagai gada untuk memukuli barang-barang yang ada di dekatku, barang-barang yang kubeli dengan uangku, dan kini di hadapanku tampak tak berharga dan layak dihancurkan. Untunglah ada sisi dari diriku yang masih menahan supaya aku tak melampiaskannya pada Rini. Sayup-sayup dari kamar terdengar tangisan Vino yang sepertinya terbangun akibat keributan yang kubuat.

Melihatku berhenti sejenak, Rini segera beringsut ke arahku dan memegang kakiku sambil menangis.


"Iya, Mas, aku minta maaf, Mas, tolong tenang, Mas, nyebut, Mas..."


Namun aku yang sudah kalap tak lagi mendengarkan kata-katanya dan menjentikkan kaki dengan kasar sehingga membuatnya terlempar hingga membentur dinding. Aku ingin merusak lebih banyak barang lagi untuk memuaskan amarahku, namun tangis Vino yang semakin kencang membuatku sedikit tenang. Sudahlah, aku tak ingin lagi berada di rumah ini. Dengan kasar aku mengambil beberapa baju dari jemuran, lalu memasukkannya ke dalam ransel kerjaku dengan kasar. Rini segera berlari ke arahku dan berusaha mengeluarkannya lagi, namun aku segera mendorongnya hingga terlempar dan tersungkur di lantai. Aku lalu menutup ransel, tak mempedulikan apa saja yang sudah kubawa di dalamnya, lalu mengambil kunci motor.

Saat aku ingin keluar, sekali lagi Rini berlari dan menghalangi pintu sambil menangis. Sisi diriku ini, sisi monsterku yang penuh amarah, baru kali ini dia lihat, karena biasanya aku tak pernah melawan apa pun yang dia lakukan padaku.


"Jangan pergi, Mas..."

"MINGGIR!!"

"Mas, jangan..."



Dengan kasar aku meraih Rini, dan entah dapat kekuatan dari mana, aku tiba-tiba bisa melemparnya hingga dia terjengkang jatuh membentur di atas sofa. Hujan turun dengan deras di luar, tapi aku tak peduli. Kuambil jaket kulit, letakkan ransel pada bagasi motor, ambil helm, kemudian menyalakan motor. Saat aku hampir keluar pagar, Rini kembali muncul dari ambang pintu, kali ini sambil menggendong Vino yang menangis, mungkin untuk membuatku luluh.


"Mas, mau ke mana? Hujan! Jangan pergi!"


Sayangnya, aku sudah amat dipenuhi dengan kemarahan sehingga tak lagi mengindahkannya. Aku pun langsung menarik gas dan pergi berkendara menembus hujan, hingga suara Rini yang terus berteriak memanggilku tak lagi kudengar karena tertelan oleh hujan. Aku masih belum tahu ingin ke mana, hanya saja, di pikiranku saat ini, di mana pun masih lebih baik daripada di sini. Bagiku, tindakan Rini tadi sudah keterlaluan. Rini yang kukenal tak akan memukulku sekeras itu... Ah, Rini yang dulu sudah tidak ada lagi, hanya ada Rini yang menyebalkan bagiku di sini. Inikah yang kudapat setelah menikah dengannya?


Andai aku bisa mengubah semuanya...

Next >>> Beginning
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd