Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
29 Juli 2009
"The Day That Will Live in Memory"


Jam baru saja berdentang dua belas kali, bergema di koridor gelap rumah. Aku ingat benar-benar menghitungnya, dari satu hingga dua belas, tanda hari yang membahagiakan ini berakhir. Ya, ini hari saat aku wisuda, juga hari saat aku akhirnya menerima pernyataan cinta Erik, dan juga...

Aku menggosok seprai yang kini terdapat noda darah, tepatnya, darah keperawananku. Ya, akhirnya mahkota itu kupersembahkan pada Erik, yang baru beberapa jam lalu kami berpacaran. Seketika itu pula air mataku kembali jatuh, bercampur dengan noda darah itu.

"I'm sorry..."

Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Erik. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Apakah aku menyesal? Tidak, karena kehormatanku telah kuberikan pada pria yang kucintai, dan juga mencintaiku.

"I'm not."

Begitu jawabanku sembari mencium bibirnya. Kami masih bertelanjang dengan tubuh kami masih bercucuran keringat akibat pergumulan kami tadi. Erik membalas dengan ciuman paling indah yang pernah kurasakan, paling hangat dan juga paling lembut dan penuh cinta.

"I've robbed you from your innocence."
"It's okay, since you're the one who took it. It's my gift for you."
"Such gift that is so precious, that it felt like a grace."
"Then considered yourself be blessed, my Love."


Aku menggosokkan kepalaku pada dada Erik. Rasanya berbeda, sungguh nyaman, membuatku seolah terlindungi. Dia lalu merangkul dan memelukku, dan seketika semua kegalauan dan kecemasan pun sirna. Air mataku serasa berhenti, dan aku merasa di dalam lindungannya, tak ada yang bisa menyakitiku.

"Aku sudah membuatmu kotor."
"Tidak, ini tidak kotor, ini suci, karena ini cinta."
"Terima kasih, atas hadiah suci yang tak ternilai ini..."


Erik kemudian mencium keningku. Aku tersenyum, namun tiba-tiba air mataku menetes kembali. Ada satu hal yang tiba-tiba agak mengganjal, semakin meradang dengan pelukan hangat Erik pada tubuhku. "Tidak, Metta," begitu kata hati kecilku, "Kamu tidak sesuci itu..."




Sudah rilis yak :D

Chapter 15 ntar Minggu (8/1) di KK, Rabu (11/1) di sini :D
 
Maaf Hu, perbedaan antara versi KK dgn yg disini apa ya? Apakah hanya jam tayangnya yg lebih cepat saja? ataukah mmg lebih panjang di KK?

Keep us the good work Hu
 
Maaf Hu, perbedaan antara versi KK dgn yg disini apa ya? Apakah hanya jam tayangnya yg lebih cepat saja? ataukah mmg lebih panjang di KK?

Keep us the good work Hu

Lebih cepet di KK, lebih panjang juga di KK
Ada beberapa petunjuk dan adegan yg tidak ada di sini tapi ada di KK
 
Setelah sampai pada titik ini, baru ane berani bertanya kepada para pembaca sekalian:

Choose Your Fighter



Rini vs Metta
(Gambar hanya sebagai ilustrasi belaka dan bukan merupakan perwujudan tokoh dalam cerita)


Manakah karakter yang lebih kalian suka? Boleh disertakan alasannya.
 
Chapter 15:

A Little Thing Called Setback



28 Mei 2012
Kosan Ci Lily



2012 adalah tahun yang menarik bagiku. Menarik di sini tentu saja disertai banyak tanda kutip. Metta akhirnya memutuskan pindah dari kantornya yang lama menuju ke KSI Company, kantor Metta di timeline original. Seharusnya dia akan aman di sana hingga tahun 2015, namun setelah melihat beberapa kejadian yang mengindikasikan perubahan timeline, mau tidak mau aku harus mengupayakan agar rencanaku bisa secepatnya dilakukan.

Menarik kedua adalah datangnya Rini di kantorku, masuk menjadi asisten di timku, posisi yang dulu diduduki oleh Bella. Dalam posisinya ini, Rini dan aku menjadi cukup dekat dan komunikasi di antara kami berdua pun intens. Aku bilang menarik, karena Rini yang ini jelas berbeda dari Rini istriku, dan bohong bila aku bilang tidak tertarik. Aku selalu mencintai Rini meski apa pun keadaannya, apalagi bila Rini bisa berubah sedrastis ini, hal yang dari dulu aku inginkan. Masalahnya adalah, satu, di hatiku kini juga sudah ada Metta, dan kemunculan Rini bagaikan menerbitkan matahari kembar di sana. Sementara, dua, kecantikan dan sifat Rini yang baru ini jelas menarik perhatian yang tak diinginkan dari cowok lain, yaitu Reyhan. Awalnya aku coba diam saja dengan Reyhan secara intensif mendekati Rini, tapi lama-lama aku tak bisa untuk tidak merasa cemburu. Setiap Rini dan Reyhan mengobrol, entah kenapa hatiku selalu jadi panas, dan akhirnya aku selalu merecoki pembicaraan, hanya untuk menghentikan mereka saling mengobrol.

Namun 2012 juga menjadi tahun yang tak menyenangkan dalam kehidupan kosan. Sheila dan Friska sudah pergi, dan pada akhir 2011 ada anak baru bernama Desy. Awalnya biasa, hingga dua orang cewek lagi, Anin, Putri, dan Yuni, bergabung. Mereka bertiga ini teman Desy di kantor. Dari situ semua masalah pun dimulai. Dimulai dari mereka yang melakukan sesuatu dengan ceroboh seperti memarkirkan motor pada posisi yang menghalangi motorku untuk masuk atau keluar, tidak membersihkan peralatan masak sehabis dipakai, hingga seenaknya meninggalkan pembalut di kamar mandi. Ketika aku protes pada mereka, mereka tidak terima, dimulailah teror padaku, antara lain dengan sengaja membuang sampah di depan pintuku hingga Ci Lily memarahiku karena mengotori jalan, berlama-lama di kamar mandi saat tahu aku harus mandi dan berangkat ke kantor, hingga yang paling parah adalah menuduhku mencuri barang-barang mereka hingga pernah dua kali Ci Lily menggeledah kamar kosku, yang tentu saja, tak ditemukan barang yang dimaksud itu.

Pada timeline asli, aku bisa bertahan hingga pertengahan 2012 saat aku cabut karena menikah dengan Rini. Namun di sini tidak bisa, karena aku belum ada planning menikah dengan Metta, yang masih ingin mapan dulu di KSI. Sehingga, aku pun berusaha untuk bertahan semampuku.


"Lo kenapa sih gak berani konfrontir tu bocah-bocah? Kan elo di pihak yang bener?"


Begitu Nindy bertanya padaku pada salah satu sesi hang out telanjang kami.


"Ribet lah ntar urusannya, Nin. Mana mereka dibelain mulu ama Ci Lily."

"Iyalah, mereka kan berempat. Kalau mereka cabut, ya Ci Lily ilang penghasilan. Mana mereka mbayarnya pake rate baru, kan?"

"Itu dia. Makanya susah."

"Ya tetep aja kudu dilawan. Napa sih lo? Sungkan ya? Sini biar gue aja yang maju. Serahin urusan cewek ama cewek."

"Tetep aja kudu dirancang mateng-mateng biar gak mental."

"Halah, kecil itu. Ada alesan kenapa gue bisa jadi calon manajer HRD."

"Gak perlu, kemampuan lo bakal sia-sia kalau cuman dipake buat ngeladenin trik picisan mereka. You'll need that for something else."

"Oh, something else, ya?"



Nindy tampak manggut-manggut dan raut mukanya berubah. Sepertinya ada sesuatu yang telah lama ada dalam pikirannya, namun selalu dia pendam sendiri saja.


"Anything to say?"

"Enggak sih... Well, not my business sebenernya, tapi semua ini... Kenapa ya koq gue ngerasa lo itu tahu sesuatu sebelum kejadian?"

"Maksud lo gue macem peramal gitu?"

"Maksud gue lo itu selalu aja lakuin sesuatu yang misterius yang entah gimana bisa konek. Tapi gue nggak bisa tahu kenapa lo lakuin itu sebelumnya. Perkara kantor, lalu soal pacar lo Metta, lalu gue juga tahu kalau lo udah ngasih wanti-wanti ke Friska buat ati-ati soal bolos..."

"Ya wajar aja kan, soalnya dia sering bolos, makanya gue ingetin."

"Nggak dalam kesan seolah lo udah tahu ini bakal terjadi juga, kan? Jujur deh ama gue, lo tahu kan semua ini bakal kejadian? Jangan bohong."



Aku menatap mata Nindy yang tampaknya mengharapkan sebuah jawaban. Haruskah aku memberitahunya jawaban yang jujur namun terdengar gila, atau haruskah kuberikan jawaban yang lebih masuk akal namun berisiko menambah kecurigaannya akan diriku? Aku terus menimbang-nimbang mana yang harus kuberikan pada Nindy. Bagaimana pun juga, aku sudah mempercayai Nindy sebagaimana dia mempercayaiku.


"Kalau gue ngomong yang sebenernya, lo pasti gak bakal percaya."

"Bullshit ah, try me."

"Okay, sebenernya gue berasal dari masa depan yang balik ke badan Erik tahun 2009, makanya gue bisa tahu apa yang bakal terjadi."



Nindy melihatku dari balik kacamatanya. Dia seolah menelitiku dari atas ke bawah.


"Gue tahu lo itu gila, Rik, cuman gue nggak nyangka aja kalau lo beneran segila ini. Kalau mau ngibul bisa yang lebih masuk akal lagi gak, sih lo?"

"Ya udah kalau lo gak percaya."

"Emang enggak, lo pikir gue ****** apa? Lo pikir keren gitu bohongin gue pake cerita ala ala Back To The Future gitu?"

"Bukan Back To The Future, tapi Days of Future Past."

"Hah?? Film apaan tuh?? Jangan ngaco lo."

"Ada itu, sekuelnya X-Men, yang maen James McAvoy ama Patrick Stewart."

"Hah?? Mereka jadi apaan?"

"Ya jadi Professor X lah, belum tayang itu, ntar tayangnya."

"Ngaco ah, lo. Gue telponin Grogol nih biar lo dibawa."



Seperti kuduga, Nindy terlalu kritis untuk percaya pada perkataanku. Mustahil untuk membuatnya paham bahwa aku mengatakan yang sebenarnya.


"Lo suka nonton Marvel, kan, Nin? Lo mau nonton The Avengers ntar kalau tayang di sini?"

"Oh iya lah, jelas. Gue kan pengen nonton pacar gue, Jeremy Renner."

"Ntar jangan kaget ya."

"Kaget kenapa?"

"Kan Jeremy Renner ntar jadi jahat, dan ngebantuin penjahatnya buat menyusup ke Helicarrier."

"Bohong! Gak mungkin ayang Renner jadi jahat. Memang mengadi-ngadi lo."

"Ya, liat aja... Hmm, omong-omong soal ayang..."



Aku menunjuk ke arah Chandra yang datang sambil membawa minuman dan snack. Kami lalu menggelar tikar dan matras lalu duduk bertelekan di lantai. Aku membuka kaleng Root Beer saat Chandra menelanjangi dirinya sendiri. Ya, kini Chandra sudah masuk kuliah, dan Nindy jadi semakin terbuka mengenai hubungannya dengan Chandra. Aku sebenarnya agak geli, karena Chandra ini, meski badannya sedikit banyak hampir sebesar Samuel, pacarnya Vinny, namun dari segi kontol beda jauh. Kontol Chandra boleh dibilang kecil, masih lebih kecil daripadaku, dan Nindy sendiri juga bilang overall dia lebih suka main denganku dibandingkan dengan Chandra, namun Nindy mencintai Chandra di luar perbedaan usia atau ukuran kontolnya, karena, menurut pengakuan Nindy sendiri, Chandra ini orangnya dewasa dan mengayomi, dan ini yang tak ditemukan Nindy dari cowok lain. Atau mungkin sebenarnya Nindy memang menyukai cowok bertipe "puppy" macem Chandra ya?

Jadi bagaimana hubunganku dengan Chandra ini? Ya, anggap saja seperti kakak-adik. Apalagi kini Chandra semakin sering ikut "acara nudis" kami begitu dia masuk kuliah. Ya, awalnya dia malu-malu, namun dengan keberadaanku, lama-lama dia menjadi biasa. Kadang bahkan hanya Chandra dan Nindy saja yang bugil, aku tidak, bila cuacanya terlalu dingin. Kami bahkan pernah sama-sama ngentot dengan Nindy, semacam threesome begitu.


"Gimana kuliah kamu, Chand?" tanyaku sambil menyesap Root Beer.

"Lumayan, Ko. Belum sampai yang capek-capek banget, sih."

"Masih semester awal ya masih enak. Gimana? Ceweknya cakep-cakep nggak, di sono?"

"Cakep, tapi nggak ada yang kayak Ci Nindy."



Kulihat Nindy tampak menyombongkan diri sambil meminum bir kalengan. Setiap kali bertemu, selalu saja hanya Nindy yang minum bir atau M*xMax, sementara aku dan Chandra minum Root Beer atau softdrink saja.


"Lo itu gue perhatiin gak pernah minum ya, Rik, at least beer gitu?"


Aku menggeleng.


"Had once, never like the taste. Kalau legen atau tuak pernah, tapi ya gak sering. Turns out I prefer to be sober more. Lagian biar Chandra juga ada temennya."

"Dia mah udah bukan vegetarian lagi, almost like a monk. Gak makan daging, gak minum miras, makanya spermanya enak, ya, punya kamu enak juga sih, tapi nggak seenak punya Chandra."



Chandra tampak salah tingkah saat Nindy berkata begitu. Aku langsung tertawa dan menepuk pundaknya, tanda bahwa Chandra tak perlu merasa tidak enak.


"Santai aja, Chand. Itu kan keunggulan kamu."

"I-Iya, Ko."



Nindy kemudian menggelayut pada bahu Chandra dan bersikap manja, tak menunjukkan bahwa dia lebih tua daripada Chandra.


"Baby, masa Erik bilang kalau Ayang Jeremy Renner bakal jadi penjahat di Avengers."

"Hah? Emang iya, Ko?"



Aku mengangguk sambil menyesap minumanku.


"Ko Erik tahu dari mana? Ada bocoran di C*nemagz ya?"

"Hahaha, aku mana pernah baca C*nemagz, Chand. Ya aku tahu aja. Kalau nggak percaya ntar nonton aja deh sendiri. Ada Hulk berantem ama Thor segala."

"Hah?? Masa iya? Menang siapa, Ko??"



Nindy memukul pelan pundak Chandra sambil merengut.


"Baby, koq kamu malah belain Erik sih? Belain aku dong."

"Maaf, Ci, soal ini aku ngikut ama Ko Erik."

"Ih, Baby ngeselin banget. Lagian kan aku udah bilang, jangan panggil Cici kalau berdua kenapa? Kan kesannya aku tua banget."

"Lho, kan kita nggak berdua, Ci, ada Ko Erik..."

"Erik itu kan tahu kita, nggak diitung lah! Ih kesel, pacar kamu itu aku apa Erik sih, By??"

"Ya, Ci Nindy lah..."

"Cici lagi!!"

"Eh iya, maaf. Maksud aku, Ayang Nindy."

"Nah, gitu dong. Emang kita masih belum pantes kalau berdua ya, Rik?"



Nindy merangkul pundak Chandra.


"Pantes koq, kayak sugar auntie ketemu sugar baby."

"Aaaaa Erik kebiasaan, bikin kesel... Baby, aku kesel, entodin aku, please..."



Chandra yang tampaknya sudah menunggu hal ini lalu duduk tegak dan menunjukkan kontolnya yang masih lemas. Nindy segera maju dan mengulumnya. Gerakannya sengaja dibuat untuk menggodaku, dan benar saja, tak lama kontolku pun mulai membesar. Posisi Nindy saat mengoral kontol Chandra adalah seperti orang bersujud dengan pantat menungging, sehingga meki dan anusnya menghadap ke arahku. Saat Nindy masih asyik mencoba membesarkan kontol Chandra, aku diam-diam mendekatinya dan menempatkan diri di belakang pantatnya. Nindy sudah basah pada saat itu, sehingga aku langsung menyelinap dan menusukkan kontolku ke mekinya.


"EHHH!!! Erik nakal!! Itu kan buat Chandra!!"

"Chandra kan masih belum keras, jadi gue panasin dulu."

"Ah, elah, ERIIIIK!!! Entar melar, elaaah!!"

"Gimana, Chand? Melar dikit nggak apa-apa, kan?"

"Gak apa-apa, Ko... Issshh... Enak koq kalau agak longgar... Ssshh..." jawab Chandra yang masih menikmati dioral oleh Nindy.



Entah mungkin karena sudah paham, Chandra langsung menahan posisi kepala Nindy hingga tidak bisa lepas dari mengulum kontolnya, sementara aku memegang pinggulnya sehingga posisi Nindy tepat ditusuk di antara kami berdua, hanya bisa meracau tak jelas karena mulutnya tersumpal kontol Chandra. Meki Nindy selalu berasa hangat setiap kali kumasuki, mungkin paling menyenangkan ketiga setelah Metta dan Vinny. Beberapa kali Nindy menepuk paha Chandra, tanda bahwa dia kesulitan bernapas, dan langsung saja aku tarik rambutnya dari belakang hingga dia lepas dari kontol Chandra, kuberi kesempatan dua kali tarikan napas, baru kubenamkan lagi di kontol Chandra, semua itu dengan aku masih menggenjot mekinya.


"Isshh... Ko Erik koq bisa gitu sih, ampe Ci Nindy nurut gitu?"


Nindy langsung protes teredam kontol.


"Panggil Ayang kali, Chand."

"Oh iya... Issshh... Ayang Nindy."

"Perlakuin aja dengan hormat, Chand, dikerasin tapi jangan disakiti... Teorinya sih gitu..."

"Oh, gitu ya, Ko. Aduh... Ko, jangan kenceng-kenceng nggenjotnya, sakit nih kena gigi mulu..."

"Bukannya kalau Nindy sering dikenain gigi ya?"

"Iya, tapi kalau pas Ko Erik ndorong kayak kegigit gitu."

"Oh, oke, maaf ya."



Aku lalu menggenjot Nindy dengan posisi agak pelan. Kutampar pantatnya beberapa kali hingga memerah.


"Lihat, Chand, nampar pantat ini ada tekniknya juga lho, jadi si Nindy nggak kerasa sakit."

"Sama sekali nggak sakit gitu, Ko?"

"Sakit, tapi bukan yang sakit mbanget, sakit-sakit enak gitu... Aahhh fuck, anget banget ini meki..."

"Hihihi, iya, mekinya Ayang Nindy emang anget ya, Ko?"

"Kamu juga suka, Chand?"

"Iyaa, Ko."

"Kalau susunya suka, nggak?"

"Suka juga, Ko."

"Kecil gak apa-apa?"

"Gak apa-apa, Ko. Bagus susunya Ayang Nindy."

"Kalau bagus diremes dong."



Dengan patuh, Chandra pun meremas susu Nindy yang menggantung. Walau Nindy sering bugil di kosan, aku tahu dia merawat dadanya dengan baik sehingga tidak mengendur pada posisi ini. Sepertinya Nindy ingin protes sesuatu namun suaranya teredam oleh kontol Chandra, hanya mirip seperti lenguhan yang tak jelas. Tempoku kuganti dengan tidak terlalu cepat namun sekali sodok kusodokan amat dalam. Dari suara seperti tersedak yang dikeluarkan oleh Nindy, aku tahu bahwa kontol Chandra pasti sudah amat keras hingga setiap kali kusodok, kontolnya pun masuk dalam ke tenggorokan Nindy. Entah sudah berapa kali pula kurasakan Nindy sudah orgasme, namun kini aku yang merasakan build-up pada pangkal selangkanganku.


"Chand, keluarin dalem apa luar?"

"Dalem aja, Ko."

"Okay."



Aku lalu mempercepat genjotanku walau si Nindy protes, dan dengan segera kutekan kontolku dalam-dalam memompa sebanyak mungkin sperma ke dalam rahimnya. Dari raut wajah si Chandra, kuduga dia pun juga sudah ngecrot di mulut Nindy. Chandra lalu mencabut kontolnya diikuti hirupan nafas dalam Nindy, pada saat itulah dia baru sadar kalau kontolku sudah menekan dalam ke meki Nindy dengan pinggulku yang bergetar.


"Gila... Ko Erik keluarin di dalem juga??"

"Gimana sih, katanya suruh keluarin dalem?"

"Kirain itu aku yang keluar, Ko."

"Waduh, gimana ini, udah keburu keluar ampe luber-luber gini, Chand."



Chandra buru-buru ke belakang dan melihat hasil perbuatanku pada meki Nindy. Aku dengan bangga memperlihatkan padanya meki yang kini menganga dan mengeluarkan bekas cairan sperma yang tadi masuk di dalam. Sepertinya Nindy merutuk lemah dengan berbagai kata umpatan, namun aku tak begitu merisaukannya. She loves that, cuman ya, caranya menunjukkan ya dengan ngomel-ngomel begitu.


"Ya udah, kamu olah deh, Chand, udah aku longgarin gitu."

"Asyiik... Makasih, Ko."

"Dasar kakak adek gila kalian berdua!"
rutuk Nindy.


Aku tertawa sambil duduk di kursi dan menggelar kontolku yang masih setengah keras walau sudah keluar ini. Kukira Chandra akan langsung memasukkan kontolnya ke meki Nindy yang kini sudah longgar itu, namun...


"HEH!! CHAND!!?? KAMU NGAPAIN!!??"


Saat kulongok ternyata Chandra malah menjilmek meki Nindy, yang padahal penuh dengan spermaku. Aku tentu saja kaget, karena itu berarti Chandra sedang meminum spermaku yang ada di dalam meki Nindy. Bahkan tak hanya kaget, aku pun takjub melihatnya, begitu pula Nindy. Dia hanya diam saja mematung saat lidah Chandra mengorek liang kemaluannya cukup dalam.


"Iya, bener kata Ayang Nindy, punya Ko Erik enak..."


Agak geli saja melihat seorang cowok mengatakan itu padaku, apalagi dengan spermaku yang belepotan pada mulutnya.


"Gila lo, Chand, udah jadi homo lo??" jerit Nindy.

"Enggak sih, Ay, cuman ada temen cerita, dia suka kalau ngelihatin ceweknya maen ama cowok lain, terus pas abis keluar, spermanya si cowok lain itu dia jilatin dari vaginanya si cewek."

"Temen lo siapa sih, Chand?? Kayaknya lo salah pergaulan deh."

"Dari sejak ketemu ama lo juga udah salah pergaulan, Nin,"
tukasku, "bocah SMA koq udah diajarin ngentot ama cewek mid-20s."

"Biarin! Sirik aja sih lo!"

"Wah, ada bibit-bibit cuckold nih berarti,"
kataku.

"Iya, persis nih sama, kakak adek, dasar emAAAAAANNNNGGGGHHHHH..."


Nindy menjerit karena Chandra langsung memasukkan kontolnya ke meki yang pasti sudah amat basah itu. Pernah kuajari untuk ikut merangsang klitoris Nindy, sehingga meskipun agak longgar, tetap memberikan serangan rasa pada Nindy, hal yang kupelajari saat ngewe dengan Vinny, ketika dia masih rajin bersama Samuel. Hmm, bagaimana kabar mereka ya, aku penasaran.


"Hufft... Hufft... Hufft... Koq Ayang Nindy bilang gitu sih, Ko? Emangnya Ci Metta gitu juga?"

"Maksudnya?"

"Yaa... Hegh... Kan Ko Eric orangnya dominan banget yah... Aggh... Masa sih ngebolehin Ci Metta maen ama orang lain... Aggh..."

"Aku nggak ngebolehin, Chand..."

"Lalu?"

"Cuman belum aku tindak aja..."

"HEH!! KALIAN KALAU MAU DEEPTALK JANGAN PAS NGENTOTIN GUE YA, SETAAAANNN!!" jerit Nindy.

"Heh, Bitch, diem!!"



Seketika itu pula Nindy diam mendeking saat kuhardik. Semenjak dari kejadian di loteng pertama kali itu, kini setiap kali ML aku bisa mengendalikan Nindy sesukaku, karena memang dia sudah declare dirinya sendiri sebagai bitch-ku. Namun hanya saat ML saja, di luar itu ya kami berteman biasa.


"Mulut koq nggak dijaga, gue analin, nih..."

"Hah? Ko Erik pernah anal?"

"Iya, pernah lah, ama Metta, terus ama Vinny juga."

"Ama Ayang Nindy pernah juga?"

"Pernah gak ya? Nin, pernah gak sih kita anal?"

"LO JANGAN NGASI IDE ANEH-ANEH YA, BABIIII!!" teriak Nindy lagi.

"Udah dibilangin kalau punya mulut itu dijaga... Chand, balikin dia."

"HEH!? MAU NGAPAIN LO!?? BERANI BALIKIN GUE AWAS AJA YA, CHAND!?? Hmmmppfff... Hmmmmppppppffffff..."



Nindy membelalak saat Chandra membalikkannya hingga posisinya kini seperti WOT. Dia bahkan lakukan french-kiss pada Nindy agar Nindy diam. Aku beralih ke belakangnya dan kutahan punggung Nindy hingga dadanya menempel pada Chandra.


"Naikin dikit bokongnya, Chand."


Dengan patuh, Chandra mengubah posisi kakinya sehingga pantat Nindy agak menungging mengarah padaku. Kebetulan juga kontolku kini sudah kembali keras.


"Rik, please, Rik... Gue udah lama nggak gituan di sono, sakit kan?"

"Udah diem, kalau berontak tambah sakit lho. Chand, kencengin..."



Chandra menaikkan temponya hingga Nindy pun mendesah-desah, lalu dengan hanya mengandalkan pelumas alami kontolku saja, aku pun mulai menempelkan kepalanya di lubang anus Nindy. Aku bahkan tak perlu terlalu keras menekan, karena genjotan Chandra di bawah membantu penetrasi kontolku ke anus Nindy.


"HHHHHGGGHHHHH... INNNGGGGGG..."


Suara mendeking Nindy benar-benar terdengar amat menggairahkan, diikuti teriakan dari Chandra.


"AAAAHHH... Penisku kayak digencet, Ko... V-nya Ayang jadi sempit..."

"Gimana? Enak, kan?"

"Enak banget, Ko. Ayang enak gak??"



Nindy tidak menjawab, hanya mengeluarkan dekingan lirih panjang. Chandra tampak menarik nafas pendek beberapa kali, karena kini meki Nindy jadi tak selonggar sebelumnya saat anusnya kumasuki kontol. Kudiamkan sejenak hingga Nindy mulai menyesuaikan diri dengan dua kontol di dalam badannya.


"Chand, perhatiin tempoku ya, kamu ikutin aja. Aku masuk kamu masuk, aku keluar kamu keluar..."

"Siap, Ko."



Aku memulai dengan menarik lalu mendorong kontolku diikuti oleh Chandra. Awalnya sengaja kugerakkan pelan dan kutunggu hingga Chandra benar-benar bisa mengikuti tempoku sebelum kupercepat sedikit demi sedikit hingga akhirnya tubuh Nindy terguncang-guncang akibat genjotan penis kami berdua.


"Wuih, matanya Ayang jadi putih gitu, Ko."

"Keenakan tuh dia tandanya, Chand. Yuk ah, terus."



Nindy meracau entah bersumpah serapah atau malah menggumam keenakan, namun aku tak peduli. Kutarik dan benamkan kontolku hingga sebagian kulit anusnya tertarik mengikuti gerakannya. Andai ada orang kantor ada yang tahu apa yang kulakukan pada Nindy, pasti aku akan disembah bagaikan raja. Dalam posisi ini beberapa kali kaki Nindy mengejang menendang-nendang tanda dia mendapatkan orgasmenya. Aku sendiri cukup kagum karena kini Chandra sudah bisa bermain dengan tempo agak lama, tak seperti waktu awal-awal yang hanya beberapa menit saja. Dalam hati aku jadi merasa seperti guru yang senang saat muridnya lulus dengan nilai terbaik.


"Udah mau keluar kamu, Chand?"

"B-Bentar lagi, Ko, udah mau di ujung."

"Oke, aku duluan ya."

"Hah?? Maksudnya?"

"Relaks, jangan dipikirin, nikmatin aja."



Aku yang memang sudah merasakan build-up besar pun langsung menekan kontolku dalam-dalam ke pantat Nindy dan langsung memompakan spermaku. Chandra tampak kaget, dan dengan cepat dia pun mengejang tanda dia mendapatkan orgasmenya. Aku menahan posisi Nindy dan Chandra hingga mereka berkelejotan, dan setelah gelombang orgasme itu berakhir, langsung kucabut hingga berbunyi "plop". Kontan saja, bagaikan granat yang habis dicabut pinnya, Nindy dan Chandra langsung terlontar terpisah. Keduanya terengah-engah berbaring di lantai semen, sementara sperma mengalir keluar dari meki dan anus Nindy, serta lubang kontol Chandra. Aku hanya tertawa terkekeh saja melihat mereka.


"Gimana?"

"Gila... Aku bisa ngerasain lho pas Ko Erik cum, makanya aku kaget terus kayak kepancing ikutan cum juga... Hgggh... Huft... Ajib emang..."

"Keren, kan?"

"Keren, Ko. Beda mbanget daripada kalau sendiri. Apalagi, maaf ya, Ko, pas Ko Erik nggenjot Ayang Nindy, bijinya Ko Erik juga kayak ngelus bijiku gitu."

"Ah, kampret lo, Chand! Jangan mbahas yang itu napa??"

"Ih, serius, Ko. Emang Ko Erik nggak ngerasa beda gitu ya?"

"ENGGAKK!! Aaahh berengsek, jadi kepikiran, kan??"

"Hehehe, maaf, Ko. Soalnya temen aku juga bilang kalau kayak gitu itu enak."

"Mending lo jauhin temen lo deh, Chand, serius. Lama-lama bisa jadi homo kamu kalau gaul terus ama dia."

"Ah, nggak lah, aku masih doyan ML ama cewek koq, Ko. Maksudnya ML ama Ayang Nindy."

"Bagus deh, inget aja, jangan mbelok ya."

"Siap!"

"Anyyyjbbbannjyybmmmeghhmmbhhlgweeekrshhhshhbbbgghhh..."
kata Nindy tidak jelas.


Aku merenggut rambut Nindy lalu menariknya hingga kepalanya terangkat dan dia berteriak kesakitan.


"Kenapa? Ngomong itu yang jelas..."

"Mhemhegh amwa bwohol ghewe gherasha shobhegghh..."

"Apa?"

"Memegh ama bohol guweh kerasha sobeeegg..."

"Oh, memek ama bool lo kerasa sobek?"

"Hiyaahahahaaahh..."



Suara Nindy saat yang terakhir sudah amat gemetaran, mungkin karena dia pun telah lemas. Aku pelan-pelan meletakkan kepalanya di lantai dan membiarkannya beristirahat. Kuangkat Nindy dan meletakkannya pada matras lalu kututupi dengan jaket besar yang memang kubawa dari bawah. Aku dan Chandra pun duduk dan meminum soft drink kami sambil mengobrol ringan. Chandra tampaknya antusias sekali ingin mengobrol denganku, maklum, sebagai anak satu-satunya, dia jarang ada kesempatan mengobrol dengan sesama pria, mano y mano. Mulai dari bicara soal kuliahnya, kesempatan karier, bahkan hubungannya ke depan dengan Nindy. Aku sendiri takjub karena anak ini ternyata punya visi ke depan yang cukup jelas. Pada saat seusianya, aku hanya hidup berdasarkan "go with the flow" alias tak membuat rencana apa-apa, hingga aku pun baru tersadar saat sudah waktunya skripsi, dan sedikit banyak membuat pengerjaannya kacau karena aku harus memikirkan mengenai skripsi dan rencana ke depan sekaligus. Kembali ke masa ini membuatku sedikit banyak bisa menata hidup lebih baik lagi, tak seperti Erik 2021 yang memang tidak sampai miskin, namun tetap saja kesusahan.

Tiba-tiba saat itu kami mendengar suara orang yang naik ke tangga. Buru-buru aku dan Chandra segera memakai kembali celana kami. Kulihat kepala dan kaki Nindy masih menonjol dari balik jaket besar yang kututupkan padanya, jadi buru-buru kami menekuk kakinya, lalu menutupinya dengan baju kami. Setelah itu kami mengambil softdrink dan bersikap seolah sedang minum-minum sambil bertelanjang dada, toh kami juga sama-sama cowok dan kebetulan cuaca agak panas.


"Siapa di sana, ya?"


Sebuah suara familiar yang menyebalkan, karena aku tahu itu Desy. Dia kemudian melongok sejenak dan melihat kami dengan banyak camilan dan botol minuman di sana.


"Kenapa, Des?"


Aku bertanya sekadar basa-basi, namun entah kenapa dia tidak menjawab, hanya melengos lalu memakai mesin pengering, mungkin untuk mengeringkan sesuatu. Dalam hati aku berpikir, ini orang kenapa nggak ada sopan santunnya sama sekali, at least kalau ditanya itu ya jawab lah. Kalau dari segi wajah sih dia lumayan cantik, tapi attitude nol besar, masih lebih memilih Vinny aku, yang masih ada sopan-santun. Segera setelah pengeringan selesai, dia mengibaskan kain entah apa, lalu turun masih tanpa menyapa.


"Udah pergi orangnya?"


Kudengar Nindy berbicara dengan lirih di balik tumpukan kain yang menutupinya.


"Udah kayaknya. Untung tadi lo gak bangun, Nin."

"Udah bangun sebenernya gue, tapi denger suaranya si Desy gue jadi nggak berani gerak."

"Untungnya sih dia cuman pengen ngeringin sesuatu."

"Nggak yakin aku, pasti ntar bakal ada buntutnya nih."



Aku hanya mendengus saja. Entah bagaimana aku pun merasa urusan kami malam ini dengan Desy pasti tak akan sekadar sampai di sini saja.





19 Juni 2012


Beberapa minggu pun berlalu, dan sepertinya tak ada apa-apa yang terjadi. Mungkin kami hanya paranoid akibat si biang kerok Desy yang tiba-tiba datang begitu saja ke atap. Nyatanya, setelah beberapa lama, semua masih baik-baik saja. Hanya saja entah kenapa aku merasa tiap kali lewat Desy atau teman-temannya, mereka menatapku dengan pandangan aneh. Aku sih cuek saja, hanya memang agak dongkol dan tidak nyaman. Ditambah lagi karena mereka liburnya bergantian, aku jadi tidak bisa main ke tempat Vinny sesering sebelumnya, plus Vinny juga mulai sibuk melakukan pekerjaan part-time sebagai syarat yang kuberikan padanya untuk mengumpulkan modal dan merintis bisnisnya sendiri, sehingga kini dia mulai jarang di kosan.

Bagaimana denganku? Ya, aku sendiri pun sibuk, selain dari pekerjaan di kantor pada posisiku yang baru, beberapa investasiku yang telah kutebar sejak 2009 pun mulai matang pada tahun ini, sehingga aku menjaga supaya profitnya tetap tinggi dan tidak flop. Dengan berbekal pengetahuan dari masa depan, aku tentu tahu harus berinvestasi di mana, kapan harus masuk, dan kapan harus keluar. Ini sebenarnya cara agak curang, namun tak ada jalan lain untuk bisa bertahan dan melaksanakan rencanaku. Dengan ini sudah kubagi-bagi peruntukan profitnya: sebagian akan kuberikan pada Vinny sebagai investasi modal atas usaha barunya, sebagian tentu saja kupakai sebagai asset pribadi dan tabungan untuk rumah serta mobil, sementara sisanya, well, katakanlah ada rencana sendiri yang membutuhkan semua investasi itu berada pada posisi yang menguntungkan, dan untuk yang terakhir ini, uang penting namun bukan masalah utama.

Matangnya investasiku membuat aku punya uang lebih untuk bisa dihabiskan. Biasanya aku mentraktir anggota timku entah itu pizza atau ayam goreng, namun satu hal unik yang kulakukan adalah setiap kali rapat tim, kecuali untuk hal yang amat urgen, kami biasa melakukannya di luar kantor, biasanya di restoran sambil makan siang. Hitungannya tetap bekerja hanya saja sambil refreshing supaya pikiran tidak suntuk akibat selalu di kantor saja. Kebiasaanku ini jadi amat terkenal hingga kudengar banyak staf lain yang iri dengan tim kami.

Hari ini aku kembali melakukan tradisi itu bersama anak-anak timku. Dari yang awalnya hanya dua orang saja, Reyhan dan Rini, kini sudah menjadi 10 orang di bawah sayapku. Rata-rata semua memang anak baru, namun aku bersyukur karena Reyhan dan Rini bisa mengimbangi sepak terjangku hingga timku menjadi cukup solid.

Di meja ini, aku mengamati Rini yang duduk di sisi kananku, sementara yang lain bercengkerama. Dia tampak cantik sebagaimana biasa, dengan riasan yang tak pernah terlalu menor, terlihat minimalis namun mengeluarkan aura kecantikan yang luar biasa. Setahuku hanya Metta yang bisa seperti itu. Satu hal yang membuatku agak tidak senang hanyalah Reyhan yang duduk di sebelahnya tampak terus berusaha mendekati Rini.

Awalnya aku coba menghibur diri bahwa ini adalah hal biasa, lagi pula aku sudah memilih Metta, wajar bila Rini berpacaran dengan pria lain, namun lama-lama, mau tidak mau aku cemburu juga. Aku menikah dengan Rini selama 10 tahun, bohong kalau kubilang bisa menghapuskan semua kenangan dan rasa itu hanya dalam beberapa tahun saja. Selama ini Metta memang bisa mengisi peran itu, namun baru setelah Rini kembali maka aku sadar bahwa api cinta itu ternyata belum mati, hanya bagai bara di ladang gambut, diam-diam menyala menunggu berkobar kembali di saat yang tepat.

Saat sedang panas itulah, hapeku berbunyi. Aku memang menyuruh semua orang untuk tidak mematikan hape pada saat rapat tim, karena siapa tahu ada yang harus diurus saat itu juga. Namun telepon ini bukan dari kantor, melainkan dari Ci Lily di kosan.


"Halo, Ci?"

"Halo, ini Erik ya?"

"Iya, Ci, kenapa-kenapa? Koq tumben tiba-tiba telepon?"

"Err... Gimana ya Cici ngomongnya... Rik, kamu bisa pulang ke kosan sekarang juga?"

"Pulang ke kosan? Ada apa ya, Ci?"

"Tolong barang-barangmu segera dibereskan, Rik... Saat ini juga kamu keluar dari kosan."

"HAH!!??"



Bagaikan geledek yang terdengar di siang hari bolong, sebegitu mengejutkan itulah perkataan Ci Lily padaku. Aku diusir dari kosan?? Bahkan semua orang pun terkejut mendengar teriakanku.


"Tapi apa alasannya, Ci?"

"Udahlah, kamu ke sini dulu sekarang, kita omongin di sini."



Ci Lily menutup teleponnya, dan aku pun kalut hingga tanganku gemetaran. Aku melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, dan pada saat itu aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Melihatku seperti itu Rini langsung mendekat dan memegang tanganku, dan entah kenapa aku langsung tenang.


"Pak Erik kenapa? Ada masalah?"


Rini bertanya dengan nada yang amat lembut. Aku yang tadinya kalut pun jadi sedikit bisa mengendalikan diri.


"Aku kudu balik ke kosan, Rin, beresin barang-barang, Ibu Kos nyuruh aku pindah."

"Hah?? Sekarang, Pak?"

"Iya, sekarang."

"Tapi kenapa, Pak? Ada masalah apa sampai bisa diusir?"

"Justru itu yang aku nggak ngerti, Rin. Makanya aku kudu ngomong langsung dulu."



Reyhan pun turut mendekat.


"Koq bisa sih, Pak?" tanya Reyhan.

"Itu yang aku nggak tahu, Rey. Aku mau balik dulu."

"Ayo, Pak, biar saya anter."



Rini tiba-tiba menghentikan Reyhan.


"Jangan, Bang, mending aku aja yang ikut ama Pak Erik naik taksi. Kalau akhirnya perlu beres-beres, aku bisa ngebantuin."

"Yakin, Neng?"

"Iyaa, Bang Rey tanganin tim di sini aja."

"Ya sudah kalau gitu, duh, mana Mbak Nindy lagi jalan ke Tangerang pula, kalau nggak kan dia bisa bantuin Pak Erik."



Aku menepuk pundak Reyhan.


"Gak apa-apa, Rey, si Nindy gak perlu turun tangan soal ini. Kasihan dia kalau apa-apa kudu turun tangan."

"Tapi kan..."

"Jangan sampai si Nindy tahu ya, Rey, please. Ntar biar aku sendiri yang ngomong ke dia."



Reyhan pun mengangguk. Rini kemudian mendampingiku meninggalkan tempat itu, lebih tepatnya dia seperti memanduku, karena pikiranku terlalu penuh saat ini untuk melakukan apa pun. Dia juga mengingatkanku untuk membayar dulu sebelum pergi, hingga memesankan taksi untukku dan menemaniku sepanjang perjalanan. Saat aku tengah kalut itulah Rini seolah menjadi kompasku, memanduku supaya tak kehilangan arah, sebagai cahaya di saat segala sesuatunya terlihat gelap. Bahkan, sepanjang di taksi, Rini tak lepas memegang dan menggamit lenganku, sehingga sopir taksi mengira kami adalah sepasang kekasih atau suami istri.


"Tenang ya, Pak, aku yakin semua bakal baik-baik saja."

"Iya, Rin... Makasih ya."



Entah refleks atau tidak, Rini mengusap rambutku dengan tangannya yang masih bebas. Dia biasa melakukan ini di timeline original, saat aku sedang terlalu bingung, kalut, atau lelah untuk melakukan apa-apa. Sentuhan serta belaiannya yang lembut membuatku hatiku tenang dan jantungku berdebar-debar. Aku ingin sekali bisa bersandar di bahunya atau bermanja di pangkuannya, namun aku tahu itu tak mungkin, karena di timeline ini kami bukan siapa-siapa, hanya kepala tim dan anak buahnya, itu saja.


"Bu Metta udah ditelpon, Pak?"

"Udah aku SMS tadi, Rin."

"Kenapa di-SMS, Pak? Kenapa nggak ditelpon aja?"

"Di tempat kerjanya yang baru, dia dilarang bawa handphone pas jam kerja. Aku telpon juga sia-sia, pasti nggak bakal diangkat. Kalau aku SMS paling enggak nanti pas dia istirahat atau pulang, dia bisa baca."



Rini mengangguk-angguk saja.


"Emangnya sekarang Bu Metta kerja di mana, Pak?"

"Di KSI Company, baru aja masuk."

"KSI itu yang dari Korea bukan ya, Pak?"

"Iya. Kamu tahu?"

"Oh, kemaren ada usulan proposal kerjasama dari Tim Marketing 3 buat ke KSI Company soalnya, tapi belum sempet dibahas."

"Oh..."

"Eh iya, maaf ya, Pak, saya malah bahas kerjaan di sini."

"Enggak, gak apa-apa..."



Aku diam tapi masih tetap memegangi tangan Rini. Aku tak ingin melepasnya karena saat Rini memegang tanganku, kekalutanku hilang dan bebanku seolah terangkat, dan aku takut bila kulepas, maka mendung itu akan kembali menggelayut. Bagaimana pun, aku memikirkan juga apa kata Rini. ASV Agency dan KSI Company memang akan bekerja sama, tapi itu tahun 2021 nanti, dengan aku sebagai perwakilan ASV dan Metta sebagai perwakilan KSI. Saat itu, proposal ini diajukan oleh Tim Strategis Marketing untuk ditindaklanjuti oleh Tim Marketing 3 yang saat itu kukepalai. Kenapa kini usulannya justru masuk dari Tim Marketing 3? Lebih menarik lagi adalah Manajer Strategis Marketing timeline 2021 dan Kepala Tim Marketing 3 timeline 2009 adalah orang yang sama: Surya Lesmana. Apakah sebenarnya Surya memang punya agenda mengenai aliansi strategis ASV dan KSI? Ah, entahlah, untuk saat ini aku masih terlalu kalut untuk berpikir.




Kosan Ci Lily
30 Menit Kemudian



"Jadi karena ada isu saya nge-homo??"

"Iya, Rik. Dan beberapa orang udah bilang gitu."

"Ci Lily kan tahu kalau saya punya pacar, bahkan Ci Lily juga udah pernah ketemu."

"Iya, Erik, Cici tahu, tapi masalahnya kan di tempat Cici cowok cuman ada dua, kamu ama Chandra. Cici nggak mau aja kalau isu ini berkembang lalu akhirnya Chandra dibawa-bawa."



Aku memegangi kepalaku, pusing dan ingin meledak marah-marah. Sudah bisa kuduga, ini pasti gara-gara Desy, dan merupakan imbas dari apa yang dia lihat tempo hari. Itu orang ada dendam apa sih sama aku?? Hanya karena aku ingatkan beberapa kebiasaan buruknya dia sampai tega nggak cuman isengin tapi juga memfitnahku macam gini??


"Karena demi Chandra atau biar Cici nggak kehilangan 4 orang makanya Ci Lily ngorbanin saya??"

"Erik, kamu tahu kan Cici nggak mungkin berbuat begitu, tapi kalau kesebar rumornya ntar nama kosan juga bakal jadi jelek."

"Pasti dari Desy, kan?"

"Nggak cuman anak sini aja, Rik. Tukang nasi goreng depan, satpam depan, juga pada bilang begitu. Awalnya Cici nggak mau urusan, tapi lama-lama tambah kenceng. Jadi ya mau nggak mau..."



Berengsek. Ada banyak kata sumpah serapah yang ingin kutumpahkan pada Ci Lily saat ini, namun tak bisa kukatakan. Sebagai pemilik bisnis, wajar bila Ci Lily mengedepankan prospek usahanya dan membuang satu orang yang sekiranya bisa membawa noda pada nama baiknya. Aku hanya tak habis pikir, kenapa dia tak lebih dahulu mendengarkan cerita dari semua sisi dan memilih untuk langsung mengusirku saat ini juga?? Mana Nindy, Vinny, dan Chandra juga sedang tidak di tempat, karena mereka bertiga bisa jadi saksi yang meringankanku.

Pada timeline lalu, karena aku memang cenderung menutup diri, maka permasalahannya tak pernah sampai separah ini. Aku hanya memilih tak bertemu orang-orang, lalu pada saatnya ketika aku menikah dengan Rini, aku langsung keluar dari kosan ini pada akhir-akhir 2012. Rupanya di timeline ini aku memang harus keluar dari kosan ini lebih cepat. Apa yang terjadi pada kosan ini pasca-2012 aku tidak tahu lagi, sehingga aku tak bisa merancang langkah untuk menanggulangi hal ini. Sehingga saat ini, tak ada cara lain bagiku selain keluar dari sini. Tak masalah, setidaknya di timeline ini uangku jauh lebih banyak daripada di timeline original-ku, jadi aku bisa mencari akomodasi di tempat lain. Selain itu aku masih punya opsi untuk tinggal di rumah Metta, karena memang Om Darwin dan Tante Melly sudah menawarkan itu padaku sejak lama. Intinya, keluar sekarang pun nasibku tidak akan langsung luntang-lantung di jalanan, cuman yaa, ngeselin aja sih.

Aku lalu menarik nafas panjang...


"Ya sudah kalau begitu, Ci. Demi kebaikan bersama, saya bakal pindah sekarang juga."

"Iya, Erik, sekali lagi Cici minta maaf kudu ambil keputusan ini, soal deposit ama kelebihan bayar kamu..."

"Oh, nggak usah, Ci. Simpen aja deposit ama kelebihannya."

"Tapi..."

"Udah nggak apa-apa, anggep aja itu tanda kalau saya tidak keluar dari sini karena merasa bersalah, tapi karena ada fitnah."

"Erik..."

"Saya nggak nyalahin Cici memutuskan begitu, tapi semoga suatu hari nanti Cici bisa lihat siapa yang sebenarnya bersalah dalam hal ini."



Aku pun menyalami Ci Lily, meski dengan rasa gondok yang amat besar. Ci Lily hanya menunduk saja, tampaknya dia memang merasa bersalah mengambil keputusan. Ya, memang salah! Aku tak akan berpura-pura bahwa Ci Lily tak bersalah atau bahwa keputusannya itu bisa diterima.


"BERENGSEK LO YA!!!"


Tiba-tiba terdengar suara yang kencang dari luar tempat Ci Lily. Aku buru-buru turun dan di sana, di depan kamar kosanku, Desy tampak memegangi pipinya yang memerah, sementara Rini berdiri dengan tangan terkepal menunjukkan kemarahan. Hmm, padahal seingatku tadi Rini menunggu di luar, sejak kapan dia masuk ke dalam kosan?


"Coba lo bilang sekali lagi yang tadi lo bilang!" teriak Rini sambil menunjuk ke arah Desy.

"Oh, ternyata lo temennya si homo ini??"


"PLAAAKKKK!!!"



Rini menampar pipi Desy dengan amat keras hingga dia tersungkur hampir menabrak rak sepatu. Sebagai orang yang pernah merasakan sendiri bagaimana kerasnya Rini memukul ketika marah, aku bisa tahu bahwa tamparan tadi bukanlah main-main.


"Dasar lonte homo!!"

"KURANG AJAR LO YA!!"



Rini langsung merangsek dan memukuli Desy yang masih tersungkur sambil menarik dan memberangus mulut Desy. Tampak Desy berusaha melawan, namun dia kalah tenaga dari Rini yang saat ini dalam mode marah. Aku buru-buru menarik Rini dan menahannya supaya dia tidak menghajar Desy lagi, sementara Ci Lily langsung membantu Desy bangkit.


"Jangan tahan gue!! Biar gue sobek mulut lonte begundal ini!! Lepasin, Erik!! Lepasin!!"

"Diem, Rin!! Udah, diem!!"

"Tapi dia tadi bilang..."

"DIEM BISA NGGAK!!??"



Rini langsung diam mendengarku menghardik begitu.


"Please, don't make things worse."

"Tapi, Erik, dia..."

"Sudahlah, aku udah milih buat keluar dari sini, nggak usah buang tenagamu buat ngurusin dia. Tenang..."

"But that's not fair! Aku bakal bilang ama ibu kos kamu buat..."

"Udah! Mending kamu bantu aku beres-beres. We're leaving this place..."



Rini mendengus tidak puas, namun akhirnya dia menurut dan membantuku membereskan kamarku. Ci Lily tampaknya sudah kembali ke tempatnya begitu selesai melerai. Mungkin karena dia merasa bersalah sehingga dia tak ingin melihatku beres-beres. Sudahlah, aku juga tak mau berlama-lama di sini. Aku mulai mengeluarkan barang-barangku dari lemari, sementara Rini merapikan yang ada di meja beserta barang-barang yang sudah kukeluarkan. Tak terlalu banyak sebenarnya, hanya saja semua perlu dirapikan agar bisa muat, karena aku hanya punya sebuah koper dan ransel untuk membawanya. Kulihat Rini masih bersungut-sungut sambil membereskan barang-barangku.


"Emang tadi Desy bilang apa sama kamu?"


Dia melihatku sejenak, lalu dengan nada kesal, dia pun bercerita apa yang terjadi.


"Aku kan tadi di luar, si Desy itu pas datang, dan dia ngira aku cewek mau cari kosan. Ya bilang lah dia kalau ada tempat di sini, yang orangnya bentar lagi mau keluar soalnya dia cowok sendiri. Aku ikut masuk lah, dan dia cerita kalau sebenernya dia nggak suka ada cowok di sini."

"Lucu, padahal udah tahu kalau ini kosan campur."

"Nah iya, kan?? Pak Erik dulu juga bilang kalau kosannya campur, kan? Tapi dia itu bilangnya ibu kos nerima Pak Erik karena lagi kosong aja, biar ada orang. Nah dia juga bilang kalau Pak Erik itu orangnya suka turut campur, bawel, mereka ngerasa nggak bebas gitu, kayak dikekang padahal bukan siapa-siapa, ibu kos aja nggak bawel."

"Enak aja, teori dari mana tuh?? Aku kan sering ingetin mereka karena sering nggak buang sampah yang udah bau, sering ninggalin pembalut di kamar mandi, nggak nyuci alat masak abis dipake, ama mereka markirnya sembarangan, jadi sering ngalangin motorku kalau mau keluar, mana kalau mereka udah ngumpul ngobrolnya berisik banget ampe Nindy aja teriak-teriak."

"Serius tuh, Pak?"

"Iyalah. Ci Lily mah emang jarang turun, dan lebih sering perginya, makanya dia nggak gitu tahu anak-anak gimana. Aku semua itu yang akhirnya mberesin, kadang ama Nindy, makanya Ci Lily nggak pernah sampai liat yang pas parah. Terus gimana ceritanya kamu bisa sampe nggebukin dia gitu?"

"Habisnya setelah itu dia bilang kalau dia emang sengaja bikin Pak Erik cepet keluar, dengan nyebarin berita kalau kosan dipakai jadi tempat homo-homoan soalnya dia ngelihat Pak Erik ama cowok lagi telanjang di loteng."

"Astaga ya ampun..."

"Emang bener ya?"

"Bener tapi nggak semuanya. Pertama itu aku ama anaknya ibu kos yang emang udah kenal, makanya kami sering duduk-duduk ngobrol di loteng. Itu juga buka baju doang karena panas, nggak nyampe buka celana."

"Nah, dia ternyata ambil foto gitu, Pak. Emang nggak jelas sih, tapi dia bilangnya, cukup foto nggak jelas ini lalu asal bisa ngolah cerita dengan baik, pasti Pak Erik akhirnya bisa dipaksa keluar. Cuman kalau kayak gitu kan jatuhnya fitnah ya, Pak? Makanya aku langsung ngamuk, rasanya pengen aku robek beneran mulutnya dia. Hih!"



Aku hanya tersenyum saja sambil meletakkan barangku di lantai untuk dirapikan oleh Rini.


"Dia juga bilang Pak Erik suka mabuk-mabukan malem-malem, padahal selama aku kenal, nggak pernah aku tahu Pak Erik mabuk-mabukan, paling minum juga soft drink, kopi, ama air putih."

"Dari mana kamu bisa yakin?"

"Ya tahu lah, Pak, kan di keluarga besar aku ada orang yang suka mabuk-mabukan juga, jadi aku tahu lah gimana dia kalau abis mabuk-mabukan bentukannya, wajahnya."

"Sepupu kamu?"

"Iya... Eh, koq Pak Erik bisa tahu??"



Sial, aku kelepasan lagi.


"Ya... Nebak aja sih, ternyata bener."



Rini menatapku dengan pandangan mata yang aneh.


"Kayaknya bener deh aku bilang dulu... Pak Erik ini kayak Trelawney, bisa ngeramal."

"Busyet, masih inget aja omongan 3 tahun lalu?"

"Kalau orangnya istimewa, aku biasanya inget, Pak."

"Istimewa?"

"Eh, bukan gitu maksudnya... Jadi... Yaa... Gitulah pokoknya."



Aku tersenyum dan mengusap kepala Rini secara refleks, dan entah kenapa raut mukanya tiba-tiba canggung saat tanganku menyentuhnya.


"Kenapa?"

"Oh, nggak apa-apa, Pak, cuman aku kayak ngerasa..."

"Ngerasa apa?"

"Nggak deh, nggak mungkin juga... Oh ya, buku-buku ini dibawa juga, Pak?"



Rini lalu menunjukkan sebuah buku notebook berwarna merah. Ada gambar kunci warna hitam pada sampulnya.


"Oh iya, itu dibawa aja, kalau lainnya tinggal deh."

"Oh? Satu ini doang? Emang isinya apaan, Pak?"

"Itu buku harian aku."

"Hah? Pak Erik masih suka nulis di buku harian?"

"Iya, kenapa?"

"Wow... Kayak, isn't that a 90s thing?"

"Ada banyak hal yang masih susah digantiin ama teknologi, buku harian salah satunya. Ya nggak setiap hari juga sih, tapi kalau pas pengen aja."

"Aku boleh lihat isinya nggak, Pak?"

"No, I'm sorry. It's my privacy."

"Oh, oke."



Rini mengangguk lalu memasukkan buku itu ke ransel beserta barang-barang lain. Pada akhirnya kami hanya membawa yang muat dalam sebuah koper dan sebuah ransel plus sebuah tas laptop. Sisanya aku tumpuk di ranjang, barang dan baju yang memang terlalu berlebihan dan jarang kupakai atau sudah rusak. Aku berpamitan pada Ci Lily sekaligus mengembalikan kunci, setelah itu aku keluar kosan dan memperhatikan kosan ini untuk terakhir kalinya sementara Rini memesan taksi. Aku tak akan langsung pergi ke rumah Metta, melainkan akan menginap barang satu atau dua malam di hotel untuk menenangkan diri. Saat itulah seseorang memanggilku...


"Ko Erik! Mau ke mana??"


Aku berpaling dan melihat Vinny yang baru saja pulang kuliah tampak terkejut melihatku memakai koper dan ransel serta tas laptop yang dibawa oleh Rini. Aku sendiri tidak tega mengatakannya kepada Vinny.


"Enggak, enggak, jangan bilang Ko Erik mau pindah hari ini..."

"Iya, Nik, aku memang mau pindah hari ini."

"Hah?? Enggak bener, kan? Ko Erik pasti bercanda, kan?? Tolong bilang deh kalau Ko Erik bercanda, soalnya nggak lucu, Ko."

"Enggak, aku nggak bercanda, emang aku pindahan hari ini."

"Hah!?? Tapi koq Ko Erik nggak bilang ama aku!??"

"Aku juga nggak ada rencana sebenarnya, tapi kepaksa aja..."

"Kepaksa?? Diusir gitu?? Tapi kenapa?? Please deh, Ko, becandaannya nggak lucu banget."



Namun melihat raut mukaku yang serius, Vinny pun akhirnya sadar bahwa aku memang tak bercanda.


"Tapi kenapa, Ko?? Ko Erik kan nggak ngapa-ngapain?? Koq bisa??"

"Ya bisa lah, Nik. Alasan kan emang bisa dibikin."

"Nggak! Ini nggak bener! Aku bakal bilang Ci Lily..."

"Nik, udah, please, nggak usah diperpanjang."



Mata Vinny seketika itu pula berkaca-kaca. Dia kemudian langsung memelukku dan menangis. Aku agak canggung saat dia melakukannya, apalagi dengan Rini yang melihatku.


"Jangan pergi, Ko... Kalau Koko mau pergi, aku ikut..."

"Udahlah, Nik. Just let me go, ya?"

"Nggak mau! Aku nggak mau kalau nggak ada Koko... Kita kan punya janji, Ko... Ko Erik tega ninggalin aku sendiri??"

"Aku bakal tetep nepatin janji aku, Nik. Kita akan bertemu ketika saat itu tiba, tapi buat saat ini, aku nggak bisa tetep di sini, Nik. Don't make things gets more difficult, Nik."

"Kalau Ko Erik pergi aku lalu gimana, Ko??"

"Do what I've told you. Kerja yang baik, earn more money for your dream. Perluas referensimu, soalnya target pasar kamu adalah yang selama ini nggak pernah dilirik sama produsen kontemporer, so kamu harus siap buat mengisi niche itu. Pakai baju rancanganmu tiap kali ke pantai atau kolam renang, dan foto lalu masukin Inst*gram atau F*cebook, buat produk kamu dikenal jauh sebelum dipasarin, buat publik penasaran. I'll always help you if you have problems, but not from here."



Aku menepuk pundak Vinny yang masih menangis sesenggukan sambil memelukku. Yah, dibandingkan dengan saat aku keluar kosan di timeline original, kali ini terasa amat berat. Itu karena di timeline ini aku mengenal para penghuni kosan dengan cara yang lebih dekat dan lebih intim, karena aku sekarang bukanlah aku yang selalu bertapa dan mengurung diri di kamar. Aku yang sekarang adalah aku yang telah mengenal dan mengetahui kelebihan, kekurangan, sisi terang, sisi gelap, mimpi, dan cita-cita para penghuni kosan, mulai dari Friska, Sheila, Nindy, Vinny, bahkan Chandra. Dari semuanya, perpisahan dengan Vinny adalah yang paling berat, karena Vinny selalu menjadi yang paling dekat denganku, yang ceritanya paling kukenal, dan yang paling kuanggap sebagai adik sendiri. Tanpa terasa, Rini pun mendekat kepadaku.


"Pak Erik, taksinya udah datang."


Aku mengangguk lalu melepas pelukan Vinny, yang tampaknya masih belum rela melepasku. Dia memegangi tanganku, mencegahku untuk memasuki taksi, namun akhirnya, mau tak mau, dia pun melepaskanku. Setelah menaruh barang-barang ke bagasi, aku dan Rini pun masuk ke dalam taksi, dan kami berangkat diiringi dengan teriakan menyayat hati Vinny yang memanggil-manggil namaku. Aku sebenarnya tidak tega dan hatiku pun bergetar berguncang hebat seolah ada luapan perasaan yang akan keluar. Namun entah bagaimana, seolah tahu apa yang sedang kurasakan, Rini kembali memegang dan menepuk serta mengelus tanganku, dan itu langsung membuat luapan perasaan yang ada di dalam diriku itu seolah langsung menyurut dan tenang kembali.. Dari raut mukanya, terlihat bahwa Rini amat mengetahui apa yang kini kurasakan.


"Pak Erik boleh sandaran di bahu aku kalau mau..."


Rini pun bergeser hingga bahunya kini terbuka untukku, dan pelan-pelan, dengan agak takut-takut, aku mendekatkan kepalaku padanya. Begitu kepalaku menyentuh bahunya, aku mendadak seperti merasakan sebuah kenyamanan yang luar biasa, seolah bahu Rini ini menjadi tempatku untuk melepas segala kepenatan akibat masalah hari ini, dan bahwa di bahu Rini ini, aku boleh untuk melepas sikap tangguhku dan kembali menjadi diriku yang paling rapuh.


"Rin..."

"Ya, Pak?"

"Ini udah di luar kantor, nggak usah panggil 'pak', panggil aja aku Erik..."

"Tapi..."

"Please."



Walau tampak canggung, Rini pun mengangguk, dan dia menepuk kepalaku untuk membuatku lebih tenang. Dia pun kemudian berbisik di telingaku.


"Yang kuat ya, Erik... This too shall pass."


Aku mengangguk. Sementara, taksi mulai memasuki pelataran sebuah hotel berbintang 4 yang memang menjadi tujuanku selanjutnya. Walau tadi sewaktu di kosan aku sudah bisa merasa tenang dan jernih, entah kenapa setelah perpisahan pahit dengan Vinny tadi, hatiku kembali merasa galau dan kalut. Kembali Rini yang mengurus semuanya, mulai dari check in hotel, pemilihan kamar, dan memindahkan barang-barang dari taksi, aku hanya tinggal tanda tangan pada kartu saja. Tiba-tiba saja aku jadi teringat masa-masa ketika menikah dengan Rini, selalu dia yang mengurus semuanya karena dia suka memperhatikan dengan detail sementara aku cenderung cuek dan sering memilih hal yang salah. Aku sendiri pun lebih nyaman begitu, karena pilihan Rini dijamin memuaskan.

Sekali lagi, pilihan Rini terbukti moncer. Kamar suite yang aku tempati saat ini amat bagus apabila dikomparasi dengan harga, meskipun yah, biaya semalam di sini hampir menyamai biaya sewa kosan sebulan. Rini menuntunku untuk duduk saja di ranjang sementara dia memeriksa semuanya, fasilitas, air panas, bahkan amenitas hotel, lalu menelepon entah ke restoran atau lobby. Dia membuka gorden lalu mengeluarkan beberapa pakaian bersih dari koperku dan ditaruh di meja.


"Rik, aku udah siapin baju ya, kamu nanti mandi lalu pakai aja terus istirahat. Aku udah ngasih tahu HRD kamu leave-early hari ini, so, just take a rest. Aku juga udah pesen restoran buat siapin makanan sore nanti, I don't know what you like, so semoga kamu suka yang aku pilihin yak. At least kamu harus makan, oke? Kalau perlu apa-apa, aku..."

"Rin..."

"Hmm?"

"Bisa temenin aku sebentar aja, please?"



Rini menaruh tasnya, lalu tanpa membantah duduk di sampingku, dan memegang tanganku.


"Maaf ya, Rik, padahal kamu tadi pas beres-beres udah keliatan normal, tapi kayaknya abis perpisahan amat temenmu jadi gini lagi. Dia pasti penting mbanget buat kamu."

"Si Vinny itu udah aku anggep adik sendiri di sono..."

"Oh, poor you."



Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba saja Rini memelukku. Aku pernah dipeluk oleh beberapa wanita, namun pelukan Rini selalu terasa berbeda. Selalu terasa lembut dan menenangkan, dan bahwa saat berada di dalamnya, aku tak perlu takut pada dunia. Secara fisik, tubuhku di tahun 2009 memang belum pernah merasakan dipeluk oleh Rini, tapi mungkin jiwaku yang merindukannya. Aku balas memeluknya, merasakan hangat tubuhnya, wanginya, dan semua yang ada padanya membangkitkan kenangan saat kami menikah, kenangan dari masa-masa kami bahagia.

Kupegang pipinya, dan kami pun saling bertatapan. Mata Rini terlihat jernih dan indah. Bisa kurasakan detak jantungnya yang semakin kencang saat tatapan mataku tajam menusuk matanya. Dia memegang tanganku, seolah ingin mencegah, namun terlalu lemah atau terlalu tidak ada kuasa. Tatapan matanya membangkitkan kerinduanku selama bertahun-tahun, lalu entah bagaimana, naluri mengambil alih. Lehernya mengkaku seolah memberi penolakan yang tak berarti, namun matanya menjadi nanar, dan bibirnya sedikit membuka, nafasnya memburu dengan aroma mint yang menggelitik saraf rasaku. Dunia pun mendadak diam dan menjadi hitam putih, bagaikan dalam gelembung tanpa suara yang masuk, hanya detak jantung kami berdua yang memompa keras bagaikan genderang yang ditabuh.

Ketika bibir kami saling bersentuhan, saat itu aku merasakan bagaikan sentakan listrik mengalir ke seluruh tubuhku, memberikan kehangatan yang aneh namun familiar. Awalnya dia diam, mulutnya berusaha merapat, namun dengan semakin aku bergairah menciumi dan menggedorkan lidahku ke dalamnya, perlahan-lahan mulutnya semakin terbuka dan lidahnya pun mulai merespons. Ya, ini Rini. Aku menyetubuhi Rini selama 10 tahun, dan seperti inilah cumbuannya, diam dan cenderung kaku di awal, pelan-pelan namun pasti menambah dan meningkatkan tempo. Rasa lidahnya, giginya, sedotannya, aromanya yang keluar masuk dari langit-langit mulutku, terasa amat berbeda dan amat khas.


"Aaahh... Hmmpfh... Emmh..."


Dia lalu mendorongku hingga ciuman pada bibir kami lepas. Matanya menatapku dengan membelalak, setengah ketakutan, dan tubuhnya tampak gemetaran terasa dalam pelukanku. Sepertinya apa yang kulakukan padanya membuatnya syok. Namun gemetar dan nafasnya yang berat ini bukanlah karena ketakutan, dan sinar matanya menunjukkan bahwa dia tidak mengerti apa yang terjadi.


"Erik... Kenapa?"

"Kamu cantik banget, Rin..."

"Ehehe, jangan ya, Rik, ingat, kamu udah punya pacar, kamu..."

"Shhh shh shh..."



Aku meletakkan jariku di bibir Rini yang siang itu merona indah merah oranye. Jantungnya berdetak kencang yang membuat tubuhnya semakin gemetaran, dan tenggorokannya tampak seperti menelan ludah dengan nafas seperti agak tersengal-sengal. Pandangan matanya sayu dan nanar menatapku, dan walau dia menggeleng, matanya seolah memintaku untuk melakukan lebih. Kuusapkan jariku pada bibirnya dan dia malah membuka bibir sambil menyentuhkan ujung lidahnya pada jariku, lalu memalingkan muka saat sadar apa yang dia lakukan. Ya, dia menginginkannya, namun sekaligus dia menolaknya. Tangannya berusaha mendorongku lebih jauh, namun aku mengkakukan tanganku hingga dia tak bisa menjauh.


"Please, Rik, jangan, kamu... HMMMPPHHH..."


Sekali lagi kupagut bibir indahnya itu hingga mulut kami terdengar berkecipak. Kali ini tak ada perlawanan, dan dia langsung mengikutinya saja tanpa suara. Matanya tertutup, lidahnya menari-nari bersama dengan lidahku, dan tangannya mencengkeramku, lebih pada bahwa dia tak ingin aku melepasnya. Rini memang nyaris tak pernah bersuara setiap kali kusetubuhi, hanya desahan-desahan lirih, tak pernah sampai seribut Metta. Namun bagaikan diesel, semakin lama kurangsang dia, semakin dia akan merespons. Dari yang awalnya penolakan malu-malu kini berubah menjadi dia semakin mengikuti tempoku. Kami berpelukan dengan dia duduk pada pangkuanku menghadap ke arahku dengan mulut kami tak pernah berpisah. Roknya terangkat hingga ke pinggul dan aku merasakan bibir mekinya yang terbungkus oleh CD dan pantyhouse warna kulit menggesek gundukan kontolku yang masih ada dalam sarangnya. Kurasakan kontolku pun mengeras hingga sakit karena masih di dalam celana.

Aku pun lalu sedikit membantingnya hingga dia terhempas jatuh ke ranjang dan ciuman kami pun terputus. Kutatap mukanya yang kini berantakan dan penuh dengan liurku. Kami berpandangan, nafas kami terdengar sama-sama berat. Ya, dia menginginkannya, sebagaimana aku juga menginginkannya, namun ada binar ragu dalam matanya. Sebelum dia berubah pikiran, aku langsung memegangi tangannya dan langsung memagut lehernya hingga dia berteriak.


"Erik... Please..."

"Yes, I'm going to please you, Baby..."

"Aaaahhh... Nooo.. Erik, ini salah... Hggh... Erik..."

"I missed you a lot..."

"Aaaggghhh... Erik... Er... Hgggh..."



Aku terus menyerang lehernya sambil sesekali kukulum juga cupang telinganya yang imut itu. Kuremas pula dadanya dari balik blus putihnya. Rasanya agak berbeda dari dada Rini yang kukenal, namun aku tahu bahwa ini benar Rini, karena memang seperti inilah bentuk dadanya waktu pertama kali aku menyentuhnya di malam pengantin kami. Dia memegangi tanganku, kukira dia ingin menepisnya, namun ternyata dia seolah meminta supaya aku meremasnya lebih kencang, hingga pakaiannya pun tidak karuan.

Kemudian aku berhenti sejenak dan Rini masih melihatku dengan pandangan gemetaran menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Dengan cepat aku pun membuka kancing bajuku hingga aku hanya mengenakan singlet saja, dan Rini menatapku dengan pandangan setengah takut, setengah penasaran, dan menanti kepastian. Saat kulepas singletku, baru dia seperti sadar apa yang akan kulakukan.


"Erik, jangan, please! Inget, Rik... Aaaaaahhhhh... Kyaaaa..."


Kubetot blusnya lalu kutarik paksa hingga kancingnya lepas berjatuhan. Rini berusaha menutupi dadanya yang masih tertutup beha dan kamisol, namun aku kembali mementangkan tangannya hingga dia tak bisa bergerak. Dada berukuran 32C yang indah itu menyembul ditutupi oleh beha Victoria's Secret warna lilac. Ini benar-benar sebuah upgrade, karena tak pernah sekalipun Rini membeli beha bermerek di timeline originalku. Kubalikkan dia sambil kulepas blusnya dan walau dia "melawan", aku tetap berhasil melepasnya. Ini seperti adegan dalam film JAV di mana sebuah "perlawanan" tidak bisa disebut sebagai perlawanan karena terlalu lemah dan setengah hati. Begitu pun Rini sekarang, karena aku pernah melihat bagaimana jadinya apabila Rini benar-benar melawan dengan serius. Seolah ada sisi dalam dirinya yang mengizinkanku melakukannya sehingga aku tak merasa tengah memperkosanya, we just do a very rough sex, that's all.

Kuciumi kembali Rini, dari wajah, bibir, hingga leher dan belakang telinga hingga dia berteriak kegelian. Sembari dengan sekali tarik, kamisol sekaligus behanya kuturunkan hingga ke perut dan terpampanglah susu yang telah lama tak pernah kulihat ini. Tak seperti bentuk susu Rini di timeline originalku yang sudah agak kendur dengan pentil membesar dan menghitam akibat hamil dan menyusui, susu Rini di sini masih tegak mengacung dengan pentil dan areola yang mungil dan berwarna cokelat tua. Langsung saja kuremas susu yang menggemaskan itu sambil terus kuciumi leher Rini. Lama kelamaan rontaannya pun berubah menjadi seperti rontaan akibat kegelian saja, dan Rini tak lagi melawan saat kulepas paksa kamisol dan behanya hingga kini dia telanjang dada, hanya menggunakan rok dan pantyhouse-nya saja.

Rini meringkuk sambil terengah-engah. Pergulatan ini sepertinya menguras tenaganya hingga dia tak bisa atau tak mau untuk lari. Aku dengan cepat segera melepas celanaku hingga terlihat celana dalamku dengan kontolku yang mengintip dari balik lubangnya. Dia amat terkejut melihatnya, namun seolah terpaku dan tak bisa bergerak. Aku langsung melepas celana dalamku hingga kontolku pun mencuat keluar, bebas dari kungkungannya.


"Rik... Jangan ya, please..."


Namun ratapannya itu justru bagai undangan bagiku untuk bertindak lebih. Dia hanya bisa menggeleng saat aku kembali menyerangnya, kali ini kusedot kedua susunya hingga dia menegang menggelinjang. Sensasi yang dirasakan oleh Rini pastilah amat luar biasa pada saat ini, karena aku tahu bahwa dada juga merupakan kelemahannya, sesuai dengan pengalamanku yang telah 10 tahun menjelajahi tubuhnya, ditambah pengalamanku bersetubuh dengan Metta, Nindy, dan Vinny. Kaki Rini menggelepar hingga akhirnya menegang membuka, menunjukkan camel toe dari mekinya yang masih terbungkus celana dalam satin warna senada dengan behanya. Kucoba mengelus belahan yang menggoda itu, dan dia langsung menegang, membuat dadanya terbusung.

Saat Rini masih dalam posisi kaku, bingung dengan apa yang terjadi, aku pun cepat beralih ke bagian bawah, membuka kaitan ritsleting di belakang rok kerjanya, sambil dari belakang kupeluk dan kuremas dadanya, sambil kumainkan dengan jariku. Rini menggelinjang kegelian, namun hanya melenguh tertahan saja, tidak ada desahan atau rintihan yang lepas. Saat dalam kondisi trance ini dengan cepat pantyhouse-nya kurobek serta rok dan celana dalamnya kulucuti. Tentu saja dia terkejut saat celana dalamnya sudah turun dari posisinya, namun bukannya melawan dia malah mengangkat sedikit pahanya, seolah mempermudah agar aku menelanjanginya.

Jadilah kami di sini, telanjang berdua di atas ranjang dengan keringat mulai bercucuran. Bau feromon kami berdua pun mulai semerbak menyatu memenuhi ruangan. Aku masih memeluknya dari belakang, satu tangan meremasi susunya, dan tangan lainnya memainkan mekinya. Meki Rini di sini masih sempit, dengan gundukan tembam mulus dan gundul tanpa ada jengger yang keluar. Aku tak ingat kapan terakhir kali Rini mencukur gundul mekinya, mungkin hanya pada malam pertama itu sebelum menikah, katanya untuk memudahkan. Potongannya pun rapi, tanpa adanya sisa-sisa bulu yang mencuat, berarti bahwa Rini rajin lakukan perawatan untuk ini, hal yang sedari dulu kusuruh dia untuk lakukan, namun selalu ditunda atas alasan "duitnya bisa dipakai untuk keperluan lebih penting" hingga akhirnya semakin tahun berlalu, Rini jadi semakin malas merawat diri, apalagi ketika Vino lahir.


"Agghh..."


Rini kembali menegang saat ujung jariku mulai memasuki liang mekinya. Kencang, dan terasa ada perlawanan di bawah, namun jelas sudah becek, dan tangannya tak lagi menahan tanganku untuk menolak, hanya supaya aku bergerak lebih pelan dan lebih hati-hati. Jantungnya yang berdetak lebih kencang bisa kurasakan oleh tanganku yang meremasi dadanya. Masih kencang, hanya saja ritmenya sudah mulai beraturan, tanda dia sudah tenang. Kontolku yang tegang kusodok-sodokkan pada belahan pantatnya, dan aku yakin dia merasakannya, karena tangannya digerakkan ke belakang untuk memegangnya, sekaligus menahan agar tidak maju lebih jauh.


"Ahhh... Isshhh..."


Aku mendesah saat tangan Rini melingkari kontolku. Lembutnya tangan ini mirip seperti tangan Metta, berbeda dari tangan yang kasar pada timeline originalku. Jari-jari Rini memang tak sepanjang dan selentik Metta, namun terasa lebih familier bagiku, dan kontolku pun merespons dengan lebih mengeras lagi saat Rini mengocoknya kasar; aku bilang kasar karena mungkin pada tahun ini dia belum begitu berpengalaman, apalagi mengocok kontol dalam posisi membelakangi jelas lebih susah. Bagaimana pun juga, ini cukup untuk membuat ritme kocokanku pada meki dan susunya jadi agak kacau.


"Erik..."

"Hmm?"

"Jangan keras-keras ya, sakit..."



Rini mengatakannya dengan nada lirih serak, hampir seperti desahan, namun ini adalah tanda bahwa akhirnya Rini meresponsku, dan memberi lampu hijau untuk melanjutkan langkah. Aku kembali mencumbui leher dan belakang telinganya, memainkan puting dan areolanya dengan lebih aktif serta merangsang meki dan klitorisnya dengan lebih sistematis. Ini membuat Rini mulai mendesah dan mengerang, dan kali ini ganti kocokannya pada kontolku jadi tidak beraturan, terlebih saat aku mulai merasakan build-up pada pinggulnya. Ini lumayan cepat, tapi bila Rini belum pernah melakukannya sama sekali, maka timingnya pun pas. Tunggu, apa iya Rini di timeline ini juga masih perawan??

Baru saja aku berpikir begitu, tubuh Rini tiba-tiba menyentak dan mengirimkan getaran kencang tanda dia mencapai orgasmenya. Kocokannya pada kontolku terasa terlepas, dan aku langsung menyodokkannya hingga menggesek bibir mekinya, mungkin juga itilnya, karena tiba-tiba saja dia menegang dan berteriak kencang. Aku yang agak terkejut langsung menahan tubuh Rini yang mencapai badai orgasme dalam posisi menegang dan bergetar seperti vibrator alih-alih menyentak-nyentak sebagaimana normalnya.


"Hei, hei, are you okay??"


Rini tidak menjawab, dia tumbang dari pelukanku ke kasur. Nafasnya terengah-engah, dan setiap berapa kali tarikan nafas, tubuhnya akan mengejang. Selama 10 tahun aku belum pernah melihat Rini begini, sehingga aku jujur agak khawatir.


"Setrum..." katanya lemah.

"Apa?"

"Kayak kesetrum..."



Dia berbalik pelan ke arahku, dan sekali lagi kulihat wajahnya yang cantik dalam balutan keringat yang memenuhi wajahnya, membuatnya mengkilat. Sesekali dia mengecap bibirnya di tengah-tengah nafasnya yang mulai stabil. Kami tidak berbicara, namun ada yang aneh dari caranya melihatku.


"Kamu nggak apa-apa?"


Rini tak menjawab, namun tiba-tiba saja dia menerjang ke arahku dan melumat bibirku. Aku tentu saja agak kagok dengan perubahan sikapnya ini. Lidahnya yang tadinya masih kaku dan hanya mengikuti gerakan lidahku kini seperti mengambil inisiatif, daging lembut itu kini menjelajahi seluruh relung mulutku, sambil bibirnya memagut bibirku. Desahan uap panas dari hidung dan mulutnya seolah membakar birahi gairahku yang berusaha untuk kembali mengambil kendali.


"CPAAAKKK!!"


Begitu suara ketika mulut kami terpisah, meninggalkan jejak ludah yang bening mengkilat, menipis lalu putus di tengah. Rini menghela nafas dan terkekeh, dan kulihat seperti ada uap yang muncul dari nafasnya. Tangannya kemudian meraih kontolku, meremas dan memainkannya perlahan hingga dari yang tadinya setengah mengeras kini menjadi mengeras penuh, dan kali ini gantian dia yang menahanku, seolah memaku tubuhku pada ranjang, dan dengan agresif dia mengulum dan menjilati putingku.


"Arrrrghhhhh... Aaaaagghh... Issshhhh..."

"Kamu ternyata berisik ya?"

"Enak banget, Rin... Ughh..."

"Mau yang lebih enak lagi?"



Aku mengangguk. Rini kembali mengulum putingku, kiri lalu kanan, kemudian dia meremas kontolku yang sudah mengeras, dan saat itulah aku merasakan kontolku seperti masuk ke dalam sebuah gua yang hangat, basah dan lembab. Kulirik dan ternyata Rini sudah mengulumnya hingga bibirnya membulat mengikuti bentuk diameter kontolku. Jari-jari Rini masih menggenggam pangkal kontolku, dan dengan koordinasi yang baik antara tangan dan kepalanya, dia menstimulasinya hingga membuatku menggelinjang.


"AAAHHHH... Aaaaa... Hhggghhhh..."


Aku memegang kepala Rini dan menyibakkan rambutnya. Mukanya tampak imut saat dia tengah mengulum kontolku, dan entah kenapa pandangan matanya jadi amat menggoda melihatku tengah mengaguminya.


"Suka?"

"Iya..."



Dia tampak kegirangan mendengar jawabanku. Aku lalu menarik tangannya, dan mencoba memutarkan tubuhnya.


"Lho? Mau ngapain?"

"Aku mau 69, Rin."

"Ih, jangan ah, kan itu kotor..."

"Enggak, coba dulu deh, kalau kamu nggak suka, ntar stop aja gak apa-apa."

"Tapi..."



Namun Rini tidak menolak dan malah mengikuti arahanku yang membalikkannya hingga kini posisi pinggulnya ada di atas kepalaku. Dia tampaknya terlalu fokus karena takut menduduki kepalanya hingga melupakan kontolku yang masih dia pegang.


"Sit on my face..."

"Nggak mau!"

"Coba dulu..."



Mulutnya tampak manyun saat aku bersikeras agar dia mencoba. Pelan-pelan kupegang pinggulnya dari bawah dan menurunkannya ke wajahku. Aroma kewanitaannya sudah tercium memabukkan bahkan sebelum menyentuh hidungku, tidak ada bau tengik sebagaimana terakhir aku menciumnya, hanya aroma segar bak tuak yang manis. Mekinya pun tampak menggoda, pink rapat dan tembam, yang lama sekali tak kulihat dari dekat. Kepalaku pun naik dan dengan nakal kusentil klitorisnya yang memerah menggunakan lidahku.


"KYAAAA!!"


Aku tertawa.


"Kamu tuh ngagetin, tahu gak??" protes Rini dengan nada manja.

"Tapi suka, kan?"

"Tauk ah, aneh..."


Walau melengos, namun dia malah menurunkan pinggulnya sehingga mekinya kini tepat berada dalam mulutku dan langsung kusikat dengan kuluman dan jilatan. Tak hanya bergidik, punggung Rini bahkan sampai menekuk saat kumainkan mekinya itu. Mungkin rasa gelinya amat tak tertahankan hingga dia memegang kontolku yang mengeras dengan kencang seperti sebuah safety handle.


"Geli aaah... Geliiii..."


Aku tak menggubrisnya, karena mulutku sibuk mengulum dan menjilati serta menyapu area mekinya, dari luar ke dalam, bahkan sampai kusapu perineumnya dengan lidahku lalu menusukkan ujungnya ke area kerutan anus, yang membuatnya kembali berteriak.


"Aaahhh... Kamu resek!!"


Tak mau kalah, Rini membalasnya dengan memainkan kontol dan buah zakarku dengan tangannya, sambil mulutnya menciumi dan menyapu seluruh bagian kontolku. Selangkanganku terasa menegang dan rasanya bagaikan disengat oleh aliran listrik hingga membuatku ngilu, dan mungkin Rini pun tengah merasakan hal serupa, namun entah, mungkin karena dia belum begitu berpengalaman sehingga dia belum bisa mempertahankan tempo rangsangannya pada kontolku hingga akhirnya dia menyerah dan hanya mengocok kontolku acak saja karena tengah menghayati rangsangan hebat pada tubuh bagian bawahnya.


"A... A... Aku cum... Aaaaahhh..."


Langsung kugencarkan seranganku dan merasakan ototnya yang mengeras menjalar dari selangkangan naik ke torso dan turun ke kaki sebelum akhirnya berbalik kembali seperti sebuah ketapel ke mekinya. Kutahan erat-erat pinggulnya yang mulai menghentak, dan rasanya seperti dipukuli dengan lap basah di muka, namun bukan air melainkan cairan seperti tuak manis. Kucoba menyedot cairannya sebisanya, namun terlalu banyak yang keluar hingga aku merasa seolah akan tenggelam. Bukan, Rini tidak squirt, dia tak pernah bisa squirt walau sekeras apa pun aku mencobanya di timeline-ku. Orgasmenya ya seperti ini, hanya seperti air dan cairan putih kental yang merembes saja. Setelah hentakan pinggulnya melemah, baru aku bisa menarik napas. Gila, rasanya seperti baru saja menyelam di kedalaman lautan tuak. Sebagian cairan yang masuk ke dalam hidungku membuat kepalaku pusing, seperti dimasuki paku dari hidung. Kami pun melepaskan diri dan saling meringkuk. Aku sampai batuk-batuk karena hampir tersedak cairan Rini, sementara Rini tampak berusaha menenangkan tubuhnya yang masih gemetaran dan sesekali mengejang. Namun saat kulirik, sepertinya dia tersenyum.

Meski tak sampai orgasme, tetap perlu beberapa saat sebelum aku akhirnya bisa bangkit. Rini masih meringkuk dalam posisi fetal dan tubuhnya kini sudah tenang, dan nafasnya, walau masih berat, telah stabil. Segera aku berdiri di hadapannya dan membalikkannya hingga dia telentang. Pandangan mata kami saling bertemu, terlihat jelas ada pancaran ketakutan dalam matanya karena dia tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Berkali-kali dia mengalihkan pandangan dari muka ke kontol, muka ke kontol, sementara aku mengocoknya agar mengeras sempurna, baru kemudian kutempelkan pada bibir meki Rini. Tangan Rini tiba-tiba merentang dan seolah mencegahku maju lebih jauh.

"Jangan... Aku belum pernah..."

"Kamu masih perawan?"



Rini mengangguk setengah ketakutan, namun juga ada raut muka penasaran. Kugesekkan kepala kontolku membelah bibir meki Rini, dan menggeseknya, membuat raut muka Rini pucat karena panik.


"Don't worry... I'll be gentle..."


Aku lalu menciumi bibir, mulut dan wajahnya dengan satu tanganku memainkan putingnya dan tanganku yang lain mengarahkan kontolku untuk menggali melalui gerbang meki Rini. Perlawanan Rini menjadi agak ulet, namun tak ada yang cukup serius untuk menghentikan usahaku. Kepala kontolku sudah masuk dan menjepit di mulut liang meki Rini, dengan sekali dorong, maka aku akan mendapatkan perawannya untuk kedua kali. Kaki Rini mengaku dalam posisi membuka, dan entah bagaimana seolah memberi jalan bagi kontolku untuk melakukan sebuah keniscayaan.


"Tahan ya, Rin..."


Rini menggeleng dan menangis.


"Mas... Jangan, Mas..."


Tiba-tiba saja, jauh di dalam kepalaku, perkataan Rini itu terngiang bergema bagaikan lonceng, dan pandangan mataku menjadi gelap.


"Mas... Jangan, Mas..."


Suara itu kembali bergaung, dan aku tak lagi melihat kamar hotelku, melainkan pemandangan seperti yang kulihat saat aku pingsan tempo hari. Sebuah rumah yang berantakan dan genangan darah. Pandangan mataku kabur saat kulihat sesosok gelap terbaring di lantai di tengah kolam darah dengan bau anyir menyeruak. Siapa?? Siapa itu?? Di mana ini?? Aku merasa pusing dan tiba-tiba pikiranku terasa panik dan kalut seolah kabut tebal menutupinya.


"Mas..."


Suara itu kembali terdengar, namun kali ini berbeda, kali ini seolah datang dari tempat lain untuk menarikku keluar. Semakin keras suara itu terdengar, aku semakin tertarik keluar dari rumah penuh darah yang mengerikan itu, yang semakin mengecil hingga lama-lama hilang.


"Erik!! Kamu nggak apa-apa!??"


Pandanganku kembali terang, dan aku langsung melihat sekeliling. Aku tengah terbaring di kasur, keringat dingin menutupi sekujur tubuhku. Nafasku tersengal-sengal bagai orang ketakutan, dan untuk sementara aku tak bisa bicara, hanya bisa mengerang. Rini sudah ada di atasku, memegangi kepalaku sambil menangis khawatir. Kami masih telanjang, dan saat itu aku baru teringat bahwa sebelum ini aku tengah bercumbu dengan Rini.


"Ri... Rin... Rini..."

"Iya, Erik... Ini aku, Rini..."
"Thank's God, you're back!"



Lidahku yang tadinya terasa kelu akhirnya lama-lama melemas dan Rini pun memelukku sambil menghembuskan nafas lega. Dia memelukku dengan amat erat seolah tak ingin kehilangan diriku. Namun, apa yang sebenarnya terjadi??






"Jadi aku tadi pingsan?"


Rini mengangguk.

Kami masih duduk di ranjang, namun Rini sudah mulai memakai pakaiannya kembali, setidaknya yang bisa dia pakai, karena pantyhouse-nya sudah kurobek, sementara blus-nya sudah hilang semua kancingnya. Aku sendiri masih telanjang, berbalut selimut, dengan kepala bersandar di bantal karena Rini menyuruhku istirahat.


"Kejadiannya kayak pas di kantin. Kamu tiba-tiba aja pingsan. Aku langsung takut, soalnya kan cuman ada kita berdua di sini. Untung kamu cepat bangun..."


Aku menarik nafas panjang. Aku pingsan lagi, tapi kenapa?


"Kamu nggak apa-apa? Apa perlu aku panggilin ambulans?"

"Nggak, Rin, nggak usah. Aku udah baikan koq..."

"Syukur deh..."



Rini menghela nafas panjang seolah baru saja mengalami hari yang berat. Ya, aku tak menyalahkannya, aku hampir saja merenggut keperawanannya dan kemudian pingsan dalam posisi hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia pasti amat panik. Aku lalu duduk dan menepuk pundaknya, Rini kembali menarik nafas dan dia memegangi tanganku yang berada di bahunya.


"I'm sorry..."

"Eh? For what?"

"For making you worry... Juga karena tadi... Aku khilaf..."

"Oh, ya... Gak apa-apa, aku paham koq... Tapi lain kali jangan bikin aku takut lagi kayak tadi..."



Aku mengangguk. Rini kemudian melihat jam di tangannya, sepertinya hari sudah cukup sore. Dia lalu memakai sweater bolero untuk menutupi blus-nya yang kancingnya sudah lepas semua itu. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya, dan kuduga dia pun ingin berkata sesuatu padaku, namun kami sama-sama diam dan malah menahan diri untuk tak bicara. Sesaat, suasana pun berubah canggung.


"Ya sudah, Pak, aku mau jalan balik dulu ke kantor ya, soalnya aku cuman izin sebentar tadi seharusnya."

"Eh, tunggu, Rin."

"Ya? Ada yang Pak Erik perluin lagi?"

"Tadi, sebelum aku pingsan... Kamu manggil aku 'mas', kenapa kamu manggil aku gitu?"

"Errh... Masa iya sih, Pak?"

"Iya, serius..."

"Nggak tahu ya, kayak keucap gitu aja... Aku juga nggak tahu apa alesannya, beneran... Aku aja bahkan nggak nyadar udah manggil Pak Erik gitu."



Kami terdiam. Sepertinya Rini benar-benar tak tahu kenapa dia tiba-tiba memanggilku begitu. Mungkin itu tercetus begitu saja dalam situasi trance akibat persetubuhan itu, dan itu memicu halusinasi mengerikan yang membuatku pingsan untuk kedua kalinya.


"Pak, kalau nggak ada apa-apa lagi, aku balik ke kantor dulu ya... Ama, please, Pak, yang terjadi hari ini di sini, tolong simpan di antara kita saja ya, Pak... Kita cuman lagi sama-sama khilaf hari ini. Lagian kita sama-sama udah punya pasangan, jadi nggak ada gunanya kekhilafan ini buat diperpanjang..."


Aku mengangguk dan Rini pun membungkuk untuk pamit padaku sebelum keluar dari kamar. Sembari menutup pintu, masih kulihat dia mengintip ke arahku entah untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja, atau memang dia ingin menoleh sebelum pergi. Begitu pintu tertutup, suasana tiba-tiba suci dan hening. Aku masih memikirkan apa yang Rini katakan tepat sebelum aku pingsan. Kenapa aku begitu memikirkannya? Karena 'mas' adalah panggilan yang diberikan padaku oleh Rini tahun 2021. Sebelum ini, Rini sama sekali tak pernah memanggilku begitu, hanya Erik atau Pak Erik. Kenapa tiba-tiba dia memanggilku begitu. Ah, sudahlah, lebih baik aku mandi...

==========

Kamar sudah kurapikan dari bekas-bekas pergumulanku dengan Rini, tak lupa kusemprotkan parfumku untuk mengusir bau-bau yang aneh. Aku baru saja selesai mandi air hangat, dan duduk di meja makan sambil membuat teh hangat, dengan masih memakai kimono mandi. Mandi air hangat dan segelas teh rupanya cukup untuk meredakan kegalauan dalam pikiranku. Aku bahkan sudah tak lagi terpikirkan perkara diusirnya aku dari kosan, karena banyak alternatif yang bisa dituju. Matahari sudah terbenam dan kini pemandangan di luar jendela adalah lanskap malam kota Jakarta yang penuh dengan lampu indah berkelap-kelip, dengan jalan raya yang macet akibat jam pulang membentuk sungai dengan sinar merah. Untuk sesaat, semua ini memberiku ketenangan. Aah, andai saja biaya menginap semalam di sini tak semahal biaya kos sebulan, aku mau-mau saja tinggal terus di sini.


"TOK! TOK!"


Pintu diketok dengan keras, dan aku segera berjalan membukanya. Apakah Rini kembali lagi? Sepertinya tidak mungkin, karena dia sudah mengurus semuanya, termasuk memesankan makan malam untukku. Saat kubuka, orang di baliknya langsung menghambur dan memelukku. Ya, dia Metta, yang akhirnya pulang dari kantornya. Aku memang memberi tahu Metta bahwa aku akan ke hotel ini lengkap dengan nomor kamarnya, namun menginga hapenya harus dikumpulkan di kantornya, jadi wajar saja bila dia baru datang jam segini.


"Kamu nggak apa-apa kan, Beb? Aku langsung ke sini begitu terima SMS kamu. Kesel banget aturan pake hape kudu dikumpulin segala... Kalau tahu lebih cepet kan aku bisa ke sini lebih cepet."

"Nggak apa-apa... Aku seneng koq kamu akhirnya ke sini."

"Kamu nggak apa-apa? Koq bisa diusir sih, Beb?? Emang ada masalah apa?? Gimana ceritanya??"

"Iya-iya, udah, duduk dulu, ntar aku ceritain."



Metta pun duduk bersamaku di meja makan, lalu aku mulai menceritakan semua yang terjadi pada hari itu. Tentu saja bagian ketika aku pingsan dan mencumbui Rini di kamar ini tak ikut kuceritakan. Bisa-bisa terjadi perang dunia kalau aku sampai kelepasan. Tentu saja Metta jelas ikut geram, karena dia juga kenal dengan Nindy dan Vinny, juga Sheila, sehingga dia tak habis pikir kenapa bisa ada orang toxic masuk ke kosan itu yang membuatku terusir.


"Kalau aku tadi di sono, nggak cuman aku pukul tuh orang, aku bikin cacat permanen wajahnya... Kesel banget!"

"Ya sudahlah, namanya juga musibah."

"Terus si Rini udah pulang ke kantor lagi?"

"Udah, tadi abis nganterin ke sini dia langsung balik lagi ke kantor."



Tentu saja, itu adalah jawaban bohong.


"Jadi kamu sendirian dong, Beb?"

"Iya, tapi kan udah ada kamu. Nginep, kan?"

"Iyalah, nginep. Tapi ntar jalan ke mall dulu ya, soalnya aku nggak bawa baju ganti. Deket sini ada mall, kan ya?"

"Ada, ya udah, mandi aja dulu lalu makan, abis ini kita turun terus ke mall."

"Okay, aku mandi dulu, ya."



Metta lalu menciumku, kemudian dia pergi ke kamar mandi. Aku duduk kembali di meja makan untuk meneruskan minum teh sambil menunggu makanan dari restoran hotel tiba. Karena satu dan lain hal, dari tadi aku belum sempat memeriksa hapeku, jadi aku langsung memeriksanya untuk tahu ada berita apa saja yang aku lewatkan. Banyak chat di grup, SMS, promosi, lalu Nindy mengirimkan SMS panjang soal betapa dia ingin membunuh Desy saat itu juga dan mengomeliku karena langsung pergi tanpa menunggunya, namun yang menarik perhatianku adalah adanya sebuah notifikasi F*cebook dari Metta. Saat kuperiksa, ternyata Metta telah mengubah status hubungan kami menjadi "In a Relationship" alias sedang berpacaran, dia bahkan mengubah foto profilnya menjadi foto ketika kami berdua.


"Bebeb, lupa, tadi aku ganti foto profil ama relationship status, kamu juga ganti ya, pake foto kita yang berdua," kata Metta dari balik kamar mandi.

"Oh iya, Beb. Aku baru cek ini, bentar, aku ganti dulu."



Aku lalu menerima permintaan mengubah hubungan dari Metta sehingga kini kami sama-sama berstatus "In a Relationship", lalu mengambil foto kami berdua yang terbaik di hapeku dan mengganti foto profilku. Aneh, kenapa ya, tiba-tiba saja Metta melakukan ini, padahal selama beberapa tahun ini kami sudah cukup nyaman menjaga hubungan kami tetap low-profile. Bahkan tak pernah ada omongan sebelumnya untuk mengganti status quo ini sebelumnya, lalu kenapa tiba-tiba saja... Ah, sudahlah, tak perlu dipikirkan sekarang. Aku masih harus memikirkan lebih banyak hal yang lebih penting daripada sekadar ini. Hanya saja, entah kenapa aku merasa bahwa konsekuensi dari hal ini akan segera muncul, lebih cepat dari yang kuperkirakan.

Next >>> Consequences
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Waaaah... jadi galau nih metta apa rini ya, klo dipikir2 ya rini yg udh teruji ya, udh lebih memahami tinggal memang perlu ad bbrp polesan lah, klo metta kan masih sebatas angan gimana klo jd pasangan...
Hmmmm.... semakin pinisirin euy
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd