Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Asli mantap banget sih, apa si surya nantinya punya peran besar dlm kisah hidup erik nantinya?
 
Semangat suhu. Cepetin updatenya, penasaran gw 😅😅😅
 
keren...njirr...ceritanya...
(sory bukan sekedar postingan nyampah...tapi asli keren..........ini bacanya marathon.....asli baru dari kemaren)
 
Habis marathon cerita yang sangat menarik. Terima kasih suhu. Tolong update terus sampai tamat
 
Wah hu, karya selevel gini harusnya dapet exposure lebih. Lanjutin sampe beres ya hu. Btw Metta sama Adam belum ada penyelesaiannya ya?
 
Bimabet
Chapter 16:

A Little Thing Called Consequences




13 Juli 2012
ASV Agency



Setelah kejadian dengan Rini di kamar hotelku tempo hari, hubunganku dengan Rini menjadi agak canggung. Aku tak begitu banyak bicara kepadanya kecuali urusan pekerjaan, dan itu pun biasanya hanya seperlunya saja. Aku juga tak makan di kantin bila Rini sedang ada di sana, atau duduk di samping Rini setiap kali rapat. Pokoknya sebisa mungkin aku berusaha menghindari Rini. Kenapa? Ya, bila terjadi kejadian seperti saat itu memangnya kalian bisa bicara secara kasual dengan si partner seolah tak terjadi apa-apa? Mungkin yang menjadi faktor paling besar adalah karena setelah kejadian itu aku menjadi bingung, mungkin Rini merasakan hal yang sama. Kami sama-sama bingung dengan perasaan kami masing-masing, dan di luar itu kami berdua sudah sama-sama punya pasangan: aku dengan Metta, dan Rini dengan Reyhan, well, walau untuk soal ini jujur aku tidak tahu apakah benar Reyhan sudah berpacaran dengan Rini, namun mereka memang sering bercanda dan mengobrol berdua, serta kadang-kadang Rini memposting bahwa dia sedang pergi bersama Reyhan di kala libur, jadi mau tak mau aku mengasumsikannya begitu. Jujur saja kini aku tak tahu mana yang lebih menyiksa, saat melihat tanda-tanda Metta di sosmed Adam, atau saat melihat Rini pergi bersama Reyhan.

Omong-omong soal Metta, keputusannya untuk memproklamirkan hubungannya denganku di media sosial mendapat banyak tanggapan. Rata-rata teman kantor Metta tahu bahwa Metta sedang punya pacar, namun baru kali ini mereka tahu bahwa akulah pacarnya, begitu pun di kantorku, karena aku dan Metta memang bukan jenis orang yang suka memamerkan hubungan kami, apalagi di media sosial. Namun kuperhatikan juga bahwa semenjak Metta melakukan itu, Rini pun agak bersikap canggung kepadaku, tapi, masa Metta melakukan ini hanya semata-mata karena ada Rini? Metta tak pernah kenal Rini sebelumnya, dan aku baru approve friend request Rini di F*cebook setelah dia bekerja di sini. So, ditinjau dari segi mana pun, mustahil Metta bisa tahu Rini, apalagi sampai merasa terancam olehnya. Ataukah sebenarnya ada sesuatu yang terjadi namun aku tidak tahu?


Pintu pun terbuka dan Rini masuk sambil membawa beberapa buah dokumen.


"Ini proposal dan analisa data soal KSI Company, Pak, juga rekomendasi dari Tim Marketing 3 untuk di-acc dan ditindaklanjuti."

"Oke, makasih, Rin, taruh aja di meja."



Rini menaruh dokumennya di meja dan aku langsung melihatnya, tanpa sekalipun melirik ke arah Rini. Ini juga salah satu yang menjadi beban pikiranku, proposal kerjasama strategis KSI Company, perusahaan tempat di mana Metta bekerja sekarang. Di timeline originalku, proposal ini baru akan muncul tahun 2018, karena Tim Strategi Marketing pada dasarnya tidak bisa memberikan rekomendasi, hanya menentukan apakah project plan yang diusulkan Tim Marketing bisa dilaksanakan atau tidak. Namun pada 2018 itu, Surya sudah banyak menempatkan orang-orangnya di posisi-posisi penting ASV, sehingga bila dia punya agenda untuk menjadikan KSI sebagai mitra strategis, itu akan mudah. Untungnya, karena kemudian Surya mengalami skandal dengan pegawai magang, manajemen pun melakukan intervensi dan banyak dari proyek yang seharusnya dikerjakan di bawah Tim Marketing yang menjadi kepanjangan tangan Surya, ditunda untuk kemudian dicabut atau dilimpahkan ke tim lain yang masih netral, termasuk timku. Terlepas dari adanya permainan atau tidak, KSI Company tetaplah sebuah perusahaan besar dan berpengaruh, sehingga bodoh bila ASV tak menanggapi ini.


"CKLEEK!"


Suara pintu dikunci pun terdengar. Aku melirik dan ternyata Rini sudah berjalan kembali ke arahku dengan muka agak ketus.


"Rin, kamu boleh ke..."

"Erik, aku mau ngomong."



Dia agak menggebrak meja saat melakukan itu. Aku terkejut karena aku tahu raut muka itu, artinya Rini tengah memendam sesuatu. Namun biasanya Rini hanya berkata "terserah" atau "nggak apa-apa", bukan mengkonfrontasi seperti ini.


"What are you doing?? Kayaknya aku udah pernah bilang supaya kita rahasiakan kejadian itu dan bersikap biasa-biasa aja, kan?"

"Lho, aku kan bersikap biasa-biasa aja."

"Biasa-biasa aja apaan!? You make it obvious something has happened!"



Rini mengatakan itu sambil menggebrak meja. Untunglah ruanganku bila pintu ditutup agak kedap suara, sehingga kecuali orang menguping sampai mepet ke pintu, maka tak akan ada suara yang keluar.


"Coba lo pikir aja, biasanya kita ngobrol-ngobrol, nongki-nongki, makan bareng, lalu tiba-tiba lo ngehindar dari gue, gak bareng lagi ama gue, bahkan sampai nggak kontak mata sama sekali... Helloooww!? Lo pikir semua orang buta, apa??? Reyhan aja ampe tanya, gue ada masalah apa ama lo. Geese..."

"Reyhan gak pernah bilang gitu ke aku..."

"Ya nggak bakal lah Reyhan ngomong ke lo, Erik, lo itu atasannya dia, sungkan dia mau ngomong ke lo. Yang lain juga sama gitu, akhirnya siapa yang ditanyain? Gue!"



Rini menghela nafas panjang dengan nada kesal. Mukanya tampak memerah, seolah dia sudah lama memendam hal ini. Aku pun langsung berdiri dan mendekatinya.


"Pokoknya gue nggak mau tahu ya, lo bikin alasan apa sono, kerjaan kek, dokumen kek, gue bikin kesalahan kek, intinya lo mikir deh alasan kenapa lo kemaren-kemaren hindarin gue, jangan sampai nanti malah berkembang rumor kalau kita... Err... Kalau kita..."

"Pacaran?"

"Yes! Lo nggak nyadar apa, kalau status lo di F*cebook itu bikin orang jadi ngelihat gue kayak seolah-olah gue ini wanita nakal yang pengen ngerebut lo dari si Metta. Lalu setelah itu lo ngehindarin gue, gimana coba kesannya, hah??"

"Maaf, tapi tempo hari itu aku..."

"I don't care, mau kamu khilaf, mau kamu sengaja, but please, don't make me confused on what happened!"

"Confused? Kamu confused soal apa?"

"Erik, please, jangan ngubah topik ya..."

"Enggak, ini masih topik yang sama. Kamu confused soal apa?"

"Erik..."



Aku mendekatinya, dan sekali lagi dia mematung sambil menatapku nanar. Tangannya diletakkan di jantungnya, seolah takut jantungnya akan berdetak terlalu kencang hingga melompat keluar. Aku tahu Rini. Aku tahu bila dia memang tidak setuju dengan sesuatu, dia pasti akan menunjukkannya, entah dengan perkataan atau dengan tindakan, seperti ketika dia memukul Desy tempo hari. Aku memegang pipinya, dan dia bergidik memalingkan muka, namun tak melawan atau mundur.


"Kamu suka ya sebenernya?"

"Eng-Enggak..."

"Look into my eyes, lalu bilang kalau kamu nggak suka."

"Erik, jangan aah..."



Rini berusaha memalingkan mukanya lagi, tapi aku menahannya. Pandangan mata kami sekali lagi bertemu. Walau mulut Rini menolak, namun aku tahu bahwa di dalam hatinya, dia menyukainya. Perlahan-lahan aku semakin mendekatinya, dan tangan Rini pun ada di dadaku, terlalu setengah hati untuk menolak. Nafasnya tersengal berat dengan desahan lirih yang khas, lalu aroma mulutnya yang segar pun mulai terasa semakin kuat hingga...


"Hmmmpphh... Hmmmhh... Hhh..."


Bibir kami kembali menyatu, dan Rini langsung membalas gerakan lidahku, menyambutnya dengan saling menyapu. Beberapa kali bibirnya dimajukan untuk memagut bibirku. Kami melepas pagutan sejenak, dan dia memandangku dengan pandangan mata yang seolah tak mengerti.

Sejujurnya, aku tak tahu kenapa aku mencium Rini barusan. Tempo hari oke, aku sedang kalut, dan Rini memberiku kenyamanan dari kekalutan ini. Tapi hari ini? Entahlah... Mungkin karena aku merindukan sosok Rini melebihi sisi baik yang dia tunjukkan padaku. Aku merindukannya saat dia marah dan murka kepadaku, hal yang tak kukira akan bisa kulakukan. Di saat ini aku hanya menganggap Rini sebagai Rini, bukan Rini 2009 atau Rini 2021, karena ini adalah orang yang sama, walau dengan fasad yang berbeda. Tapi akal sehatku pun kembali berteriak, aku sudah punya Metta, di dunia ini, pasanganku adalah Metta. Rini hanyalah seorang wanita lain dalam dunia ini. Tak seharusnya di sini aku memilih masa lalu dan mengabaikan masa kini serta kemungkinan masa depanku...


"Maaf, Rin... Aku..."


Rini meletakkan jari-jarinya pada mulutku. Jarinya yang halus dan indah, bergetar terkena hembusan nafasku. Kami hanya diam saja saling menatap mata. Kemudian tanpa bicara dia pun maju, tangannya diletakkan pada pipiku dan menarik kepalaku mendekatinya hingga bibir kami menempel kembali.

Ya, kami berciuman kembali. Namun kali ini bukan ciuman yang khilaf atau romantis, melainkan ciuman birahi. Kami pun meledakkan bahan bakar birahi yang seolah telah lama kami tahan, berubah menjadi api yang berkobar menyala-nyala. Entah siapa yang mulai, namun kemeja kami sudah lepas dan tanggal dari badan, berjatuhan di lantai karpet. Kini aku sudah bertelanjang dada, sementara Rini hanya memakai beha satin berenda warna toska. Tak ada kata-kata, hanya kecipak mulut kami beradu, dan lenguhan serta desahan lirih yang membalut nafas kami. Ruangan ini dingin oleh AC, namun yang kami rasakan adalah hangat yang basah dan membara, bagai hujan muson yang jatuh menghapus kemarau.

Kami bergulingan di lantai, Rini berada di bawahku, dengan setiap inci dari tubuhnya kini menjadi target dari ciumanku. Dengan kemampuanku, segera kulepas pengait behanya lalu kulemparkan entah ke mana. Kini Rini telanjang dada di depanku, hanya ada kalung dengan liontin berbentuk kupu-kupu, dan rok span plus pantyhouse hitam. Dia menatapku pasrah, kali ini tak ada penolakan atau usaha untuk menutupi aurat atasnya yang kini terbuka. Putingnya yang berwarna cokelat kemerahan itu mengacung menantang, seolah memintaku untuk mencicipinya agar bisa tahu apa bedanya dengan puting hitam yang dulu pernah sering kurasakan. Rini mendesah seolah menahan sesuatu dan tangannya mencengkeram pundakku dengan keras, menahan supaya kepalaku tetap berada di dadanya.


"Yess... Erik... Ahh... Terus... Terus..."


Aku terus mengelamuti susu Rini itu, sambil tanganku di bawah bergerilya memasuki roknya dan menggesek mekinya yang terbungkus pantyhouse dan celana dalam. Rini lalu menahan tanganku supaya tak bergerak lebih jauh, dengan kepalanya menggeleng.


"Jangan disobek... Aku belum beli pantyhouse lagi..."


Aku tertawa mendengarnya.


"Ntar aku beliin lagi."


Rini masih menggeleng, dan sekali lagi menelan ludah, karena aku masih menyerangnya secara agresif. Selangkangannya mulai membuka, memberi kesempatan pada tanganku untuk terus menggaruknya. Dia kemudian agak mengejan sebentar, apakah dia kena klimaks secepat ini? Mungkin... Dia menutup mekinya, menyuruhku jangan melanjutkan dulu, sementara nafasnya memburu bagai orang yang baru lari maraton. Kubiarkan dia sebentar hingga kejangnya berhenti, kemudian dengan cepat kulepas pantyhouse-nya sehalus mungkin. Rini malah mengangkat pinggulnya seolah membantuku. Tak sampai lama, pantyhouse dan CD-nya telah berhasil kulepaskan, hingga kini Rini hanya memakai rok saja, tanpa pakaian apa pun lagi.

Aku berada di atasnya, kubuka celanaku hingga akhirnya kontolku yang sedari tadi sudah tegang pun mencuat. Rini hanya melihatnya setengah takjub setengah takut. Pelan-pelan kutempelkan kontolku di bibir mekinya yang masih mulus itu dengan rambut yang sedikit. Dia langsung menahan pinggulku supaya tidak maju lagi.


"Erik, please..."


Dia menggeleng, dan ada air mata menetes di pipinya. Aku lalu mencium keningnya, namun saat ingin menekan kontolku kembali, Rini kembali menahannya.


"Please... Not that..."


Aku mendengus. Tampaknya Rini benar-benar tak ingin diambil perawannya terlebih dahulu. Sebenarnya ini wajar, karena di timeline original, walau kami pernah beberapa kali petting, namun Rini baru mau coitus pada malam pertama kami setelah menikah. Berbeda dengan Metta yang cenderung go with the flow, Rini ini lebih punya pengendalian diri serta prinsip yang kuat dalam hal ini.


"Mau anal?"


Entah dari mana tiba-tiba aku mengusulkan ide gila itu. Kusebut gila, karena secara normal, mustahil aku mengusulkannya. Mungkin karena aku pernah lakukan anal pada Vinny, Metta, serta Nindy yang membuat ini menjadi salah satu arsenalku.


"It won't pop your cherry..."


Rini melihatku tampaknya tengah mengukur seberapa gilakah aku sampai mengusulkan ini padanya. Bila aku mengenal Rini dengan baik, dia tentu akan langsung menolaknya. Bahkan selama menikah saja aku tak pernah bisa mengusulkan agar dia mencoba alternatif lain semacam anal.


"Sakit bukan?"

"Sedikit..."

"Kamu pernah?"

"Beberapa kali..."

"She liked it?"

"Yes..."



Kembali Rini terdiam sambil menggigit bibir bawahnya. Tampaknya Rini di timeline ini punya pemikiran lebih terbuka dibanding Rini-ku.


"Aku takut..."

"I'll be there for you."

"Nggak akan pecah perawan kan?"

"Enggak, tenang aja."



Aku mencium Rini kembali untuk menenangkannya. Walau masih agak ragu, kulihat Rini mengangguk, tampaknya dia pun penasaran. Aku kemudian membalikkannya hingga posisinya menghadapku, lalu kuarahkan dia untuk menghadap kontolku. Seolah sudah tahu apa yang harus dia lakukan, Rini langsung memegang dan melahap kontolku. Kembali aku menyibakkan rambutnya karena entah kenapa aku lebih suka melihat wajah Rini saat dia menyepongku, walau tekniknya tak sebagus Metta.


"Ampe basah?"


Aku mengangguk sambil mengusap kepalanya, dan bagaikan anak kecil yang kegirangan mendapat mainan baru, Rini langsung melahap dan menjilati kontolku.


"Kamu suka banget ya?"


Rini mengangguk masih dengan kontolku di dalam mulutnya. Dia keluar masukkan sambil memijat pangkalnya pelan-pelan. Setelah agak basah, dia mengeluarkannya lalu menggosok untuk mencampurkan ludahnya dengan precum yang keluar.


"Nggak tahu ya, kayak suka aja gitu..."

"Hayo, sering ya kamu?"

"Nggak, kata siapa? This is my first... Tapi kayak familiar aja gitu..."

"Familiar?"



Rini mengangguk sambil masih terus meratakan cairan pada kontolku.


"Iya, kayaknya pas pertama liat kontol kamu itu rasanya... I don't know... Kayak something I've missed so long..."

"Oh ya?"



Rini mengangguk lagi. Aku diam saat melihatnya memainkan kontolku, betapa antara dia takjub atau kagum, tapi dari caranya mencium dan menjilatinya, ada semacam kerinduan, persis seperti yang dia katakan, sesuatu yang lama dia rindukan. Mungkinkah...


"CUUH!"


Rini meludahi kontolku kembali lalu meratakannya.


"Udah kali ya?"

"Ya, udah kayaknya. Nungging gih."



Rini menurut dan membelakangiku lalu menunggingkan pantatnya sehingga lubang anus dan mekinya terlihat. Meki itu terlihat tembam dan tanpa gelambir dengan mulutnya membuka berwarna pink, dan aku melihat isi bagian dalamnya masih rapat. Aku menghembuskan nafas, sudah lama aku tak melihat meki Rini dalam kondisi seperti ini, terutama setelah dia mulai malas mencukur bulu jembutnya. Ini bahkan lebih indah daripada meki Metta saat ini.


"KYAAA!!"


Aku langsung menutup mulut Rini saat dia tak sengaja berteriak gara-gara aku menjilat bibir mekinya. Kuberi isyarat agar dia diam, dan dia pun mengangguk. Aku tidak mau mengambil risiko ketahuan meski aku tahu ruangan ini kedap suara. Kujilati kembali mekinya dan kali ini Rini bisa menahan untuk tak berteriak. Aku hanya ingin mengambil sedikit cairannya untuk kemudian kutaruh pada lubang anusnya untuk pelumasan tambahan.


"Rik, jangan salah lubang ya, awas kamu..."

"Tenang, aku nggak bakal salah."

"Cepetan, takut nih aku..."

"Tenang aja. Tahan dikit ya."



Badan Rini berjengkit ketika kutempelkan kepala kontolku pada lubang anusnya. Dengan satu tangan kupegang pinggulnya, dan dengan tangan lain kurangsang klitorisnya sebelum akhirnya kumajukan kontolku.


"Oh my God!!"


Rini berteriak setengah berbisik. Tubuhnya gemetaran saat kontolku merayap masuk ke dalam liang anusnya. Dia berusaha untuk bergerak namun kutahan pinggulnya, hingga dia hanya bisa berteriak tertahan, seperti orang yang sedang mengeluarkan BAB yang amat keras.


"Nggak apa-apa?"


Kuhentikan gerakanku saat kepalanya sudah masuk dan kini bagian tertebal dari kontolku akan bersiap memasuki liang anus Rini. Dia terengah-engah dan menghembuskan nafas dengan berat dan keras.


"Huft... Huft... Huftt... Hhhgghh..."


Rini lalu mengangguk walau tak bisa bersuara, tanda aku mendapt lampu hijau untuk meneruskan. Pelan-pelan kutusukkan lagi dan Rini mengejang, dengan punggung menekuk ke atas, dan mulutnya terbuka lebar namun tak ada suara yang keluar, mirip seperti rintihan yang amat lirih. Dia lalu meninju-ninju lantai karpet, menunjukkan bahwa dia tengah mengalami sakit yang luar biasa. Aku kembali berhenti, tepat setelah bagian paling tebal dari kontolku masuk, dengan masih terus mengocok klitorisnya hingga benar-benar becek. Kutunggu hingga Rini kembali tenang, sambil memanfaatkan gerakan otot liang anusnya, kusorongkan kontolku hingga masuk semua.


"AAAGGHHH!!"


Aku kembali menutup mulut Rini. Sepertinya dorongan terakhir terlalu keras hingga dia tak bisa menahan teriakan lagi. Dalam hati aku berharap semoga saja ruangan ini benar-benar sekedap suara itu sehingga teriakan Rini tak terdengar hingga ke luar. Kurasakan liang anusnya memijat-mijat dan meremas kontolku.


"Damn, Rik... Ini sakit banget... Tariiikkk... Hggh..."


Kucium pipi dan keningnya dari belakang, lalu kugenjot perlahan dan Rini pun tumbang dengan mata terpejam dan tangis tertahan. Tiap kali kontolku kugenjotkan, dia berteriak dalam diam. Ini tak terjadi sebelumnya baik pada Metta, Vinny, atau Nindy. Mungkinkah ambang rasa sakit Rini tak sekuat mereka? Baru saja aku akan menarik kontolku tiba-tiba.


"CKLEEKK!!"

"HMMPFFHH!!"



Suara orang yang memutar kenop pintu membuatku secara reflek menghujamkan kontolku lebih dalam hingga Rini pun berteriak tertahan. Sedetik dua detik kami menunggu, tak ada yang masuk, karena memang pintu sudah dikunci tadi oleh Rini. Bayangkan bila tidak...


"TOK!! TOK!! TOK!!"


Suara pintu diketuk, namun kami tak menjawab, hanya diam dalam ketakutan dan rasa was-was. Tak ada jendela di pintu atau ruangan, jadi mustahil siapa pun itu akan bisa melihat ke dalam. Aku menutup mulut Rini, yang tampaknya kini semakin tegang karena nafasnya terasa memburu, bahkan tubuhnya pun gemetaran karena tiap detakan jantung seakan memukulnya keras-keras. Keringat dingin memenuhi sekujur tubuhnya pertanda dia memang tak terbiasa dengan adrenaline rush macam ini. Sedangkan aku? Ada beberapa kali waktu aku hampir ketahuan, so aku bisa lebih mengendalikan diri.


"Eh, Han, Pak Erik lagi nggak ada ya?"


Suara itu tampak familiar, dan memang, karena itu suara Nindy. Dia tampaknya bertanya pada Reyhan yang entah sejak kapan sudah ada di sana.


"Nggak tahu ya, Mbak, saya soalnya baru nyampe juga di sini abis tadi ngurus pajak motor."

"Pas lo datang udah dikunci gini pintunya?"

"Iya kayaknya, saya nggak meriksa sih. Tapi si Rini juga nggak ada sih, so mungkin mereka lagi ada urusan keluar."

"Emangnya Pak Erik kalau keluar pasti kantornya dikunciin gini ya?"

"Biasanya sih gitu, Mbak, soalnya kan banyak dokumen sensitif di ruangan, makanya ama Rini pasti dikunciin."



Sayangnya hari ini bukan dokumen sensitif yang ada, tapi justru dua orang yang sedang melakukan sesuatu yang pastinya tak pantas dilakukan di sebuah kantor, siang-siang begini. Dalam posisi ini, entah kenapa, mungkin saking tegangnya, anus Rini serasa semakin keras menggerumuti kontolku hingga pada titik tanpa perlu digerakkan pun anusnya seolah memerah kontolku untuk cepat keluar. Aku lalu mulai menggerakkan pinggulku dengan gerakan pendek tapi cepat, Rini melihat ke belakang dengan pandangan mata marah dan menggelengkan kepala, namun aku malah memberinya isyarat agar tetap dia sambil tak menghentikan gerakan pinggulku.


"Yakin lo mereka lagi pergi, bukannya berduaan pacaran di dalam?"


Degg! Jantung kami serasa berhenti, namun entah karena pengaruh setan atau apa, aku malah tidak berhenti menggenjot Rini, dan dalam saat yang bersamaan, Rini pun mulai menunjukkan tanda-tanda build up. Apa iya Rini akan build up hanya karena anal?? Tak mau peduli, aku kembali mengocok klitoris Rini dengan kencang hingga terdengar suara kecipak.


"Ya yakin lah, Mbak. Mana mungkin Pak Erik ama Rini pacaran di dalam, Pak Erik kan bukan orang macem gitu."

"Hmm, ya siapa tahu aja, Han."

"Enggak lah, Mbak. Kan Pak Erik itu orangnya sopan, lagian kalau ada apa-apa juga Rini pasti bisa membela diri, walau nggak yakin sih, soalnya kan mereka saling respek gitu. Ya, walau akhir-akhir ini kayaknya lagi ada slek dikit sih."

"Oh ya? Aku juga denger lho. Slek apaan sih?"

"Ya nggak tahu, Mbak. Soal kerjaan kali, tapi nggak ada yang pernah cerita ke saya sih."

"Dasar bego, kalau soal kerjaan ya mana mungkin lah mereka cerita ke lo. Emang lo siapa?"

"Iya juga ya, Mbak."

"Ya udah deh, ntar kalau Pak Erik datang suruh ke ruangan aku ya. Oh ya, katanya lo pacaran ya sama si Rini?"

"Baru pedekate, Mbak."

"Lho? Kirain udah lo tembak?"

"Belum, Mbak. Ya, pelan-pelan aja lah. Kasih si Rini waktu juga."

"Jangan kelamaan, ntar ditikung ama cowok lain nyesel lo."

"Siap, Mbak! Eh, tapi koq Mbak Nindy bisa tahu?"

"Informasi kayak gitu justru gue harus tahu, soalnya ada aturan di sini nggak boleh suami istri satu kantor, jadi gue kudu memperkirakan siapa di antara lo berdua yang bakal resign ntar kalau udah serius."

"Hehehe, kirain Mbak Nindy perhatian."

"Ya sudah, ntar kasih tahu Pak Erik aja, oke? Ada sesuatu yang penting buat diomongin, paham?"

"Siap, Mbak. Paham!"



Tepat ketika pembicaraan itu berakhir, tubuh Rini menyentak dan dia mendapatkan klimaksnya, yang mencengkeram kontolku amat erat, sehingga ketika cengkeramannya mengendur, kontolku pun turut pula menyentak keluarkan isinya. Kami berdua ambruk di lantai setelah orgasme kami yang dibalut dengan adrenalin itu. Aku langsung memeluk Rini dari belakang, dan Rini memegang lenganku seolah tak ingin aku melepasnya. Kami berpelukan dalam diam selama beberapa saat, hanya ingin merasakan kehangatan dan detak jantung dari masing-masing. Dan untuk beberapa saat itu, kami merasa terpisah dari dunia dan masuk ke alam bahagia.


Entah untuk berapa lama kami diam, hingga akhirnya kurasakan Rini mengeluarkan air matanya, hangat menetes padaku.


"Are you okay?"

"Why are we doing this?"

"Hmm?"

"Ini kedua kalinya, Rik... Kenapa sih kita pada akhirnya selalu gini?"



Aku mendengus, karena jujur aku tak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu, sekaligus aku juga tak tahu bagaimana harus menjawabnya.


"I mean... Lo itu udah punya pacar, Rik... I'm not supposed to get near you, but I can't..."

"Ya aku nggak tahu, Rin..."

"No, Erik, this is wrong! Tapi kenapa aku merasanya bahwa ini nggak salah?? Kenapa, Erik?? Why can't I get you out of my head!?"



Aku tak bisa menjawab, dan hanya memeluknya lebih erat sambil membiarkannya menangis di bahuku. Aku sendiri juga tak tahu kenapa ini bisa terjadi. Mungkinkah ini efek dari karena sebelumnya memang aku telah menikah dengan Rini, sehingga aku tak merasa bahwa ini salah? Jelas ini berbeda sekali dengan saat bersama Sheila, atau Vinny, atau Nindy, di mana aku tahu bahwa aku telah berselingkuh. Tapi bersama Rini aku tak merasa begitu. Aku merasakan sesuatu yang bahkan tak kurasakan dengan Metta, padahal dalam timeline ini aku sudah memilih untuk bersama Metta.


"Rik, tell me..."

"Hmm?"

"Is there a hope for us? Ada nggak sih kemungkinan kita bisa bersatu, Rik?"



Tidak. Jawabannya adalah tidak. Kau sudah bersama dengan Metta, Erik. Kau sudah memilih Metta sebagai pasanganmu, dan secara sadar meninggalkan Rini pada hari itu. Jadi, tidak, kau harus tetap setia bersama Metta, karena itulah jalan yang telah kau pilih. Namun entah kenapa yang terucap dari mulutku adalah...


"Entahlah..."


Rini tidak merespons jawaban "entahlah"-ku dengan respons yang jelas. Dia hanya menekankan kepalanya di dadaku sambil memelukku erat. Astaga, apa yang sebenarnya aku lakukan? Kenapa aku bisa terjebak dalam paradoks ini? Kenapa aku tidak bisa memberikan jawaban yang lebih baik daripada sekadar "entahlah"?

Kami terdiam sebentar, lalu Rini melepaskan pelukannya dan bangun. Air matanya sudah berhenti mengalir, dan ada kesan dingin syahdu pada wajahnya.


"We have to stop this..."

"I know..."

"Nggak, Erik, aku serius, kita harus berhenti lakuin ini. Aku nggak bisa tiap kali berduaan ama kamu terus tiba-tiba ini selalu terjadi. I just can't."



Aku terdiam menanti apa yang akan Rini katakan selanjutnya.


"Kamu sudah punya Metta, dan hubungan kalian sudah mulai serius. Aku juga bakal terima Reyhan, jadi kita sama-sama bakal punya pasangan. This way, none of us would be wanting on each other. Kita akan punya jalan kehidupan sendiri-sendiri, tidak akan saling mengganggu."

"Rin..."

"This is for the best. Menginginkan sesuatu yang menjadi milik orang lain adalah dosa, Erik. Aku nggak bisa berbuat begitu ama Metta. I can't put her on misery for what I did. Aku sendiri juga pasti nggak mau kalau ada cewek lain yang lakuin itu."



Aku hanya bisa terdiam saja, sementara Rini mulai mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan memakainya kembali. Bila memang ini adalah jalan terbaik bagi semua orang, kenapa terasa tidak benar bagiku? Pada akhirnya, aku pun memakai kembali pakaianku, dalam posisi yang berjauhan dengan Rini.


"Mari kita mulai lagi dari awal, Rik... Secara profesional, atasan dengan bawahan. Kamu adalah atasanku, and that's it. Let's draw the line there."

"Oke."

"And don't ignore me like the last time, paham? We do know each other, kalau ditutupi malah orang bakal ngiranya kita ada apa-apa."

"Oke, aku usahain."

"Dan..."

"Dan?"

"Aku bakal resign nanti setelah nikah ama Reyhan, so there won't be anymore temptation."

"Okay, tapi..."

"Tapi?"

"Until that time, don't go from under my wings. Banyak yang bakal kubutuhin dari kamu dan aku hanya bisa ngandalin kamu dalam hal ini, professionally speaking, of course."



Aku dan Rini terdiam.


"Oke, deal."

"Deal?"

"Mm-hmm. Deal."



Rini mengulurkan tangannya, yang langsung kujabat dengan erat. Walau jujur saja, rasanya agak berat waktu itu, seolah dipaksa untuk melepaskan sesuatu yang telah lama menjadi milikku. But I'm a man of mission, dan nggak boleh ada hal lain yang mengganggu termasuk berseminya kembali perasaan lamaku pada Rini, karena bagiku, misi ini mungkin jadi satu-satunya alasanku ada di timeline ini, dan itu untuk Metta, bukan untuk Rini.






Sorenya...


Aku duduk di mejaku sambil membaca semua materi yang telah dipersiapkan dalam proposal kerjasama strategis dengan KSI Company, sementara Rini duduk di hadapanku menunggu apa yang akan kukatakan. Di atas kertas, itu adalah sebuah proposal yang bagus, karena KSI Company adalah salah satu perusahaan investasi dengan ruang operasi terbesar di Asia Tenggara, meskipun induk perusahaan itu, KSI Group, berada di Ulsan, Korea Selatan. This is the deal of a lifetime, an offer we cannot refuse, begitu kalau kata Marlon Brando dalam The Godfather. Di timeline originalku, demi bisa menggolkan proyek ini, aku memang sengaja melewatkan beberapa kecemasan yang menurutku kurang penting, karena aku tahu bahwa bila proyek ini gol maka aku akan mendapatkan promosi, lagi pula, Bella, yang saat itu kutugaskan mempelajari dan mengkaji mengenai proyek ini pun sudah memberikan lampu hijau, dan aku percaya penuh pada penilaiannya.

Hanya saja, kalau aku tak salah ingat, walau memberi lampu hijau, Bella juga melampirkan beberapa catatan mengenai beberapa hal kecil yang menjadi kecemasannya. Karena aku berkepentingan segera menggolkan proyek itu, aku mengesampingkan catatan yang dibuat oleh Bella itu karena kuanggap tidak begitu signifikan. Dan, karena kuanggap tidak signifikan, maka aku pun tidak ingat sama sekali apa yang ditulis oleh Bella dalam catatan itu. Andai saat itu aku memperhatikannya dengan lebih baik. Ingin sekali aku bisa kembali ke timeline original untuk bisa tahu apa saja yang ada dalam catatan Bella itu, namun itu mustahil. Hal yang ditulis oleh Bella itu bisa jadi merupakan kunci yang kucari selama ini, tentang mengapa Surya merasa bahwa kerjasama strategis antara ASV dan KSI amat penting untuk diwujudkan. Tanpa itu, aku mungkin akan berjalan dengan buta dan dalam ketidakpastian.

Aku menutup pulpen dan map tanpa menandatangani apa pun dalam dokumen itu, yang membuat Rini merasa amat heran.


"Pak Erik nggak jadi mau acc sekarang?"


Aku menggeleng.


"Masih ada yang aku ragu, Rin."

"Mau diperiksa sekali lagi?"

"Kalau bisa iya, dan tolong secara menyeluruh, periksa dengan semua data yang ada."

"Bakal makan waktu lho, Pak."

"I know."

"Aku juga denger Board udah pengen kesepakatan ini cepet-cepet dieksekusi."

"Yes, aku juga tahu soal itu."

"So, there must be a solid reason, right?"



Aku mengangguk.


"Something doesn't feels right. Aku udah bilang ke Pak Adrian sih, dan dia backup kalau kita mau lakuin pengkajian lagi just to be sure. Yes, ini kesepakatan besar, so dia juga nggak mau kita gegabah begitu saja."

"Okay. Tapi, what should I look for?"

"Anything amiss, gak peduli sekecil apa pun. Mungkin tingkat signifikansinya di bawah 20%, atau 10%, atau mungkin cuman 1% kemungkinan, it's okay, aku mau tahu semuanya. Aku mau tahu segala macam hal yang berpotensi menjadi Horcrux."

"Horcrux?"

"Ya, hal-hal kecil yang..."

"Yes, yes, I know what a horcrux is. Okay, I'll do it."

"Thank you, Rin."

"But before that..."



Rini lalu menatapku dengan pandangan mata yang tajam dan curiga. Aku berusaha menahan senyumku, karena entah dia tahu atau tidak, itu membuatnya terlihat menggemaskan di mataku.


"Tell me, off the record, ini bukan karena apa yang kita omongin tadi siang, kan?"

"Nope, this is strictly professional."

"So, why me?"

"Ya, karena kamu emang punya kapabilitas buat ini, kamu juga teliti dan thorough, makanya kupercayakan tugas ini ama kamu. I won't risk a job of this importance in the hand of anyone else."



Rini tampak tersenyum saat aku memujinya.


"Okey, terus, satu hal lagi."

"Hmm?"

"Pacar kamu, Metta, dia ada di KSI, kan? Kenapa kamu nggak minta inside look dari dia?"

"Dia masih baru, belum punya akses. Her view won't be any better than yours. Lagian ini bisa membahayakan dia juga kalau dia nekat menyelidiki lebih jauh."

"Oke, so, anggep aja aku menemukan kalau ada hal yang off, how should I proceed?"

"Tulis aja apa adanya, sesuai yang memang ada di sana."

"Then how will you proceed?"

"Sesuai dengan apa yang kamu temukan."

"Wow, berat di aku ini jadinya."

"Aku nggak bakal minta bantuan kamu kalau kamu kuanggap nggak mampu, Rin. Please, this is very important."

"Well, okay, I'll do my best."

"Oh ya, satu lagi yang harus kamu inget..."

"I know, be discreet, kan?"

"Yes, gimana pun juga, Tim Marketing 3 pasti mengamati progress proposal ini apalagi karena ini penting bagi mereka. Apalagi ada Board yang pengen ini dipercepat, aku nggak mau mereka melakukan hal-hal yang bisa melangkahi kewenangan investigasi kita."

"Yes, itu bagian tersulitnya."

"Kamu pasti bisa, ama kalau mau nyari apa-apa..."

"I know, pake akses username ama password kamu, kan? Tenang aja kalau itu, aku udah apal."

"Itu penting karena buat keamanan kamu juga. Dengan begitu aku bisa took all responsibilities kalau ada masalah apa-apa."



Rini mendengus dan mengangguk. Dari apa yang kuperhatikan, Rini ini orangnya cepat belajar, cepat tanggap, dan cepat memahami situasi, tapi di saat yang sama masih mau menurut kepadaku, persis seperti Bella. Bukan, bukan mirip, Rini bahkan setingkat lebih baik daripada Bella. Ini membuatku yakin bahwa apa pun yang ditemukan oleh Bella di timeline original-ku, pasti akan juga ditemukan oleh Rini dalam timeline ini. Semoga saja Rini juga bisa menemukannya secepat mungkin.


"Saranghae neol i neukkim idaero
geuryeo watdeon haemae ime kkeut
i sesang sogeseo banbokdweneun
seulpeum ijen annyeong!"



Hapeku berbunyi tak lama setelah Rini keluar dari ruangan. Aku tersenyum melihat foto Metta yang tersenyum muncul di layarnya. Yah, in the end of the day, Rini benar, kami memang harus berjalan di jalan masing-masing, dan sekarang Metta adalah masa kini sekaligus masa depanku. Bila melihatnya saja sudah bisa membuatku tersenyum, mungkin memang kini aku sudah bisa mencintainya melebihi Rini. Tak ingin membuatnya berlama-lama, aku pun langsung mengangkat teleponnya.


"Halo, Beb? Tumben sekali nelpon jam segini?"

"Napa? Nggak suka ya aku telpon jam segini? Kamu lagi ama siapa, hayo??"

"Eh, bukan begitu, cuman..."



Lalu terdengar suara Metta tertawa dengan renyah di balik telepon.


"Bercanda, Beb, bercanda. Ya iyalah aku kan emang nggak pernah telpon jam segini soalnya hape biasa dikumpulin."

"Nah iya itu..."

"Hihihi, tapi aku suka lho denger kamu ampe panik gitu, nggemesin aja dengerinnya, hahaha."

"Kirain kamu marah atau apa. Eh, tapi koq bisa telpon jam segini? Bukannya kamu belum pulang ya?"

"Udah, aku sengaja leave early hari ini, kebetulan udah kelar semuanya, makanya bisa ambil hape."

"Wah, koq kamu nggak bilang, kan aku bisa leave early juga."

"Jangan bercanda ya, justru aku leave early biar bisa pas nyampe di kantor kamu pas kamu pulang."

"Hah? So lagi di jalan nih, kamu?"

"Iya, paling 45 menit lagi nyampe di kantor kamu. Pas kan, soalnya kamu sejam lagi balik, kan? Ada kerjaan gak?"

"Gak ada sih, udah kelar semua."

"Asyiik! Bisa tenggo dong?"

"Bisa, mau ajakin ke mana nih kamu?"

"Refreshing aja, besok Sabtu juga."

"Hmm, asyik nih, ke Lido yuk?"

"Ih, udah ngajakin ke Lido aja."

"I heard there's new resort there, jadi pengen coba."

"Boleh, lagian suntuk banget di kerjaan, pengen refreshing dulu. Bisa check-in agak maleman kan ya? Aku pengen makan dulu ama beli baju kan nggak bawa apa-apa kita."

"Emang kita butuh baju di sono?"

"Huu, dasar mesum. Bener ya bugil-bugilan, awas aja kalau ampe masuk angin lagi."

"Yeee, bercanda, Beb. So, mau makan di mana ntar?"

"Ada restoran baru yang aku pengen coba. Udah aku cek menunya koq, kamu pasti suka."

"Okay, as long as I'm the one who pay, for everything."

"Hah?? Gila kamu, sebanyak itu ya matengnya?"

"Gak banyak, tapi cukup lah, setidaknya bisa kita nikmati dulu buat awalan. Beside, it's you who need to refresh, so kamu nggak perlu pusing ngeluarin duit."

"Makanan ama belanjanya aku aja deh, soalnya kan aku yang usul, ntar hotel kamu karena kamu yang usul. Kalau semuanya di kamu malah tambah pusing aku, kayak jadi ngerasa gak ada kontribusinya."

"Iya, whatever suit you aja. Yang penting kamu bisa seger dan refreshed lagi."

"Hehehe, thank you, Bebeb. Kamu emang bebeb aku yang terbaik."

"Terbaik, emang ada bebeb yang lain?"

"Kan aku udah ama yang terbaik, ngapain ama yang lain?"

"Iyaaa, percaya."

"Ya udah, eh, aku masuk tol dulu ya, well meet at your office, okay? Love you, Bebeb."

"Love you too, ati-ati di jalan nyetirnya!"



Kami pun saling berciuman via telepon sebelum akhirnya sama-sama menutup teleponnya. Aku melihat jam dan sepertinya Metta akan sampai di bawah 40 menit lagi, untung semua pekerjaanku sudah diselesaikan. Kalau dipikir lagi aku memang bodoh, sudah ada Metta yang amat luar biasa, kenapa pula aku masih terpikat pada Rini yang kini statusnya adalah masa lalu? Lebih baik fokus, menatap ke depan, jangan lagi menoleh ke belakang, lupakan semua masa lalu, dan...


"Saranghae neol i neukkim idaero
geuryeo watdeon haemae ime kkeut
i sesang sogeseo banbokdweneun
seulpeum ijen annyeong!"



Hapeku berbunyi kembali. Aku melihat layarnya dan tak ada foto, hanya sebuah nomor telepon yang tak dikenal. Ah, sudahlah, ini pasti kalau bukan penipuan undian atau sales asuransi, ya pasti sales kartu kredit. Kuputuskan untuk tak mengangkatnya dan membiarkannya mati sendiri sembari aku membereskan barang-barang dan bersiap pulang.


"Saranghae neol i neukkim idaero
geuryeo watdeon haemae ime kkeut
i sesang sogeseo banbokdweneun
seulpeum ijen annyeong!"



Kembali hapeku berbunyi, nomor yang sama. Hmm, buat seorang sales, dia benar-benar gigih. Tapi ya, kalau aku tahu mengenai telemarketer, mereka ditarget selain dari penawaran yang closed juga dari success call, jadi mungkin orang ini sedang mengejar success call. Sudahlah, biar kuangkat saja, nanti akan kutolak apa pun yang dia tawarkan, setidaknya dengan begitu aku berbaik hati memberinya satu catatan success call.


"Ya, halo?"

"Halo, Bro? We talked at last."



Aku tertegun. Tidak ada suara ramah khas telemarketer, hanya ada suara seorang pria yang berat dan terkesan mengintimidasi dengan cara yang agak meremehkan. Aku benar-benar tidak suka hanya dengan mendengar nada bicara orang ini.


"Ini siapa?"

"Kita memang belum bertemu, tapi gue yakin lo udah tahu siapa gue."

"Ini siapa??"



Aku mengatakannya lagi dengan nada yang dalam dan asertif, namun tampaknya dia terkekeh saat mendengarku melakukannya. Satu hal yang pasti adalah suara ini, aku seperti pernah mendengarnya, dan apa pun itu, jelas bukan suara orang yang ingin kudengar sampai kapan pun.


"Oh, ayolah. Lo gak bisa nebak emangnya?"

"Shit! Lo Adam!??"

"Bingo! Benar sekali, Bro. Gue Adam... Adam Gabriel Hanggono..."


Next >>> Enemy
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd