Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Akhirnya bisa nemu lagi penulis yg bner2 bisa membawa emosi penulisanya ke pembaca, ditunggu kelanjutanya suhu @fleur_mirage
.Gw ngerasa sebegitu kita rubahnya masalalu kita akan tetap bersama dgn org yg ditakdirkan bersama kita hnya saja bila kita tak menjaga jalanya dgn baik, maka kita akan hidup bersama takdir kita dngn menanggung konsekwensi itu ., hufft milikmu tetaplah milikmu
 
Bimabet
Chapter 17:

A Little Thing Called Enemy



13 Juli 2012
ASV Agency
14:07 WIB



"Lo mau ketemu gue, Nin?"


Nindy melihatku saat aku memasuki ruangan HRD, lalu dengan tanpa bicara, dia bangkit dari tempat duduknya dan menyuruhku untuk langsung mengikutinya. Aku tak bertanya lagi dan langsung berjalan bersama dengan Nindy menuju ke sebuah ruangan pada lantai di bawah, atau yang biasa kami sebut sebagai "Lantai Empat". Resminya ini adalah Lantai 3A, karena biasanya gedung jarang pernah menamai lantai 4 sebagai "lantai 4" sehubungan dengan adanya takhayul mengenai angka nahas. Lantai ini sendiri bernuansa lebih gelap dan lebih temaram dibanding lantai-lantai lain yang pernah kukunjungi. Aku sendiri tak pernah ke sini karena "Lantai Empat" adalah tempat dari divisi yang bernama "General Support", yang mengurus segala macam hal mengenai gedung ini secara khusus. Ruangan yang aku kunjungi bersama Nindy kali ini adalah ruangan CCTV Support, yang tugasnya adalah mengawasi dan menyimpan segala macam hal mengenai CCTV di seluruh bangunan ini. Dalam hati aku bersyukur bahwa ruangan para manajer sama sekali tak dipasangi CCTV, kecuali bagi manajer yang berstatus "dalam pengawasan khusus".


"Ngapain kita ke sini?" tanyaku.

"Yang pernah gue omongin tempo hari, soal si Surya."

"Iya, soal yang rumor itu?"

"Yes, nah, gue kemaren dapet laporan incognito nih soal anak magang yang nggak disebutkan namanya tapi ngakunya pernah dicabulin ama Surya."

"Nggak bisa dilacak ya siapa orangnya?"

"Ah elah, Rik, lo kayak kagak tahu aja tiap bulan berapa sih anak magang yang keluar masuk ASV. Ya udah gue narrow-down sih, tapi intinya begini, lokasi pencabulan biasanya dilakuin di Lantai 5."

"Lantai 5 itu Library ama Server, kan?"

"Yes, walau info itu nggak ngasih tahu di ruangan mana, tapi setelah gue periksa kemaren ternyata memang ada beberapa ruangan yang CCTV-nya rusak. Ada, tapi rusak, hanya saja emang nggak diinfokan, sengaja tetap dipasang buat plasebo, biar orang nggak macem-macem di sono."

"Kalau pencabulan dilakukan di salah satu ruangan itu, ya make sense kalau nggak ada buktinya. Cuman, dengan dia tahu mana ruangan yang CCTV-nya rusak..."

"Berarti ada orang dalam General Support yang mbocorin soal ini ke Surya. Makanya aku kerja sama ama Head dari General Support, Pak Rommy, buat ngelacak siapa yang bocorin dari lantai ini."

"Dia bisa dipercaya?"

"Gue kenal ama Pak Rommy jauh sebelum lo ama Surya masuk sini, Rik. And yes, gue percaya penuh ama dia. In fact, mungkin dia satu-satunya orang di GS yang bisa gue percaya buat masalah ini."

"So, kita bakal ketemu dia sekarang?"

"Yes, dan harus sekarang, soalnya semua orang di ruang CCTV lagi pada istirahat, jadi pada nggak ada di tempat masing-masing."

"Terus bukannya kita kudu ngajakin pak Adrian sekalian?"



Nindy tak menjawab, hanya menunjukkan pesan BBM dari Pak Adrian yang menyerahkan semuanya ke dia dan aku. Kami pun lalu masuk ke ruangan itu, dan Pak Rommy, nama lengkapnya Rommy Hidayat, sudah menunggu kami. Dia menyalamiku dan Nindy. Ruang itu penuh dengan layar kecil yang menunjukkan CCTV di seluruh 8 lantai gedung ASV. Namun memang terlihat jelas ada beberapa layar yang kosong, rata-rata dari lantai 5 dan 6.


"Gimana, Pak Rommy? Udah ketemu orangnya?"

"Udah, ya dia masuknya bareng sama si Surya, jadi sering nongkrong bareng, dan katanya dia kelepasan waktu bilang koridor mana aja yang gak ada CCTV-nya."

"Udah langsung disidang?"

"Enggak lah, Nin. Kita biarin aja dulu dia di situ. Kalau dia disidang sekarang, Surya bisa jadi bakal cari spot yang kita nggak tahu di mana."



Dari pembicaraan mereka, sepertinya Nindy dan Pak Rommy sudah merencanakan sesuatu.


"Lalu apa rencananya sekarang, Pak Rommy?" tanyaku.

"Oh ya, maaf, lupa, ini Erik, Manajer Strategi Marketing yang baru, secara fungsional dia di bawah Pak Adrian," kata Nindy, "Rik, ini Pak Rommy, kepala GS di sini."


Kami pun bersalaman.


"Jadi, Pak Erik, rencananya kami akan mengaktifkan beberapa CCTV yang tadinya mati."

"Tapi bukannya kalau kayak gitu entar temennya si Surya itu bakal jadi tahu ya, kalau layar yang tadinya mati tiba-tiba hidup."

"Sudah saya atur. Nanti yang dihidupkan bakal di route langsung ke server di sebelah ruangan, jadi di sini tetep kelihatan kosong. Ruang server CCTV nggak sembarangan orang bisa akses, cuman saya saja. Nanti Nindy sama Pak Erik bakal saya kasih akses temporary biar bisa ke sono."

"Jadi ini semacam sting operation, ya?"

"Begitulah."



Nindy lalu menyenggolku dan berbisik.


"Sting operation itu apa?"

"Penjebakan."

"Ih, jangan pake istilah yang rumit lah."



Setelah menjelaskan dengan sederhana, akhirnya Nindy memberikan surat petunjuk sebagai otorisasi legal dari operasi ini. Tanda tangan Pak Adrian sudah ada di sana, sehingga tinggal aku, Nindy, dan Pak Rommy yang membubuhkan tanda tangan di dalam. Setelah acara formalitas itu, aku dan Nindy segera turun kembali. Namun Nindy tak langsung ke ruangannya, dia malah mengajakku ke ruang merokok yang terhubung dengan balkon. Karena di lantai ini jarang ada yang merokok, jadi tempat ini hampir selalu sepi. Kulihat sepertinya ada yang ingin Nindy katakan, namun dia seperti bingung bagaimana mengutarakannya.


"Kenapa?" tanyaku.

"Will this work?"

"Bukannya ini rencana lo ya dari awal?"

"I know, tapi... Di tempat asal lo gimana kejadiannya?"

"Tempat asalku?"

"Please, Rik, gue udah nonton The Avengers. Dan Jeremy Renner jadi jahat di sono."

"Jadi sekarang kamu percaya?"

"Arthur Conan Doyle bilang, 'if you rule out the impossible, the remaining answer, no matter how improbable, is the truth'."

"Well, it's still impossible thing, but I'm here."

"Okay, lalu si Surya di tempat asalmu, gimana dia bisa ketahuan?"

"Yang dia cabulin ngelapor, tapi itu kejadian tahun 2018, sebelum itu hanya ada rumor tanpa bukti."

"Kenapa aku di tempatmu nunggu ampe 2018?"

"Karena emang sama sekali nggak ada bukti. Di tempat asalku, posisi Surya dan aku kebalik, dia jadi Manajer Strategi Marketing dan aku ketua Tim Pemasaran 3. Dan di sono Surya punya banyak koneksi di Board."

"Dia dipecat?"

"Enggak, too much complication kalau mau memecat dia. Boleh dibilang almost all member of Board owe him something. Tapi kamu ngehukum dia dengan nggak ngasih staf cewek sama sekali."

"That's not even close to punishment..."

"Tapi emang cuman itu yang bisa dilakukan."

"Geese... So is that the reason why you are here? Lalu lo juga di posisi Surya sekarang? Supaya Surya nggak punya power sebesar di tempat asal lo?"



Aku mengangguk.


"Demi Bella..."

"Bella itu siapa lagi?"

"She's not here. Tapi Rini pun juga nggak seharusnya di sini."

"Maksudmu?"

"Seharusnya aku menikah sama Rini tahun 2012."

"WHAT!?? Tapi ini 2012, kan?"



Aku mengangguk.


"Lalu pacar lo sekarang Metta, kan?"


Aku kembali mengangguk.


"Wait, jangan bilang kalau di tempat asal lo, pacar lo seharusnya bukan Metta, tapi Rini."

"Indeed."



Nindy langsung tergelak tiba-tiba.


"Now that make some sense."

"Maksudmu?"

"Just be careful, ya. Lo tahu sendiri kan kantor ini gimana? Nggak semua orang itu buta atau look the other way soal kamu ama Rini. But after a second thought, lo ama Metta kan belum nikah ya? Jadi harusnya nggak masalah, cuman ya bakal jelek aja namanya Rini. INGET YA, yang jelek itu ntar namanya RINI. Lo mah bodo amat."

"Makanya gue udah sepakat ama Rini buat tempuh jalan masing-masing, cuman profesional aja di sini."

"Busyet, bisa lo?"

"Harus bisa, I have to do something for Metta... Perasaan aku ke Rini nggak boleh ngehalangin sama sekali."



Nindy melihatku dengan tajam dari balik kacamatanya.


"Gue nggak tahu 'something' itu apaan, tapi perasaan gue nggak enak, Rik. Just be careful. You're messing with things that no man shouldn't mess with."






Sebuah Restoran Fine Dining di Sebuah Hotel di Jakarta
25 Juli 2012



Aku makan di sebuah restoran mewah terkenal yang berada di dalam sebuah hotel berbintang di Jakarta. Jujur saja, aku tak biasa makan di tempat seperti ini, karena aku biasa lebih memilih restoran yang lebih sederhana. Tempat macam ini biasa hanya kudatangi bila ingin merayakan sesuatu di sana. Well, kalau menjamu seseorang bisa disebut "merayakan", walau ini jauh sekali dari sebuah perayaan. Bukan, aku tak sedang makan dengan Metta, atau Rini, bahkan tidak tepat juga ini disebut menjamu, lebih ke bahwa aku "dipalak" untuk ke sini. Ya, karena yang tengah duduk di depanku ini sama sekali bukan teman, melainkan seorang musuh. Musuh dalam selimut dalam pengertian yang harfiah: Adam Gabriel Hanggono.


"So, Pak Adam Gabriel Hanggono..."

"Oh, please, Bro. Panggil aja gue Adam. After all, kita ini sodaraan, kan?"

"Sodaraan?"

"Sodara seperlubangan, if you know what I mean."



Adam tertawa dengan mesum, yang jelas saja bagiku tidak lucu. It's Metta he's talking about. Kesan pertamaku saat bertemu dengan Adam adalah, yes, he's an asshole. Bahkan dari sikap, cara bicara, cara berpakaian, sampai omongan pun semuanya menunjukkan bahwa dia adalah bajingan. Namun harus diakui bahwa dia adalah bajingan dengan gaya, yang menginvestasikan diri untuk memaksimalkan penampilannya: perawatan tubuh, gym, baju, aksesoris, dan parfum branded, serta kebiasaannya travelling baik ke dalam maupun ke luar negeri, membentuk citra pada medsos-nya sebagai seorang womanizer berkelas. Ya, dia bahkan tidak mem-branding dirinya sebagai gentleman atau jomblo berkualitas. Dia selalu membentuk citra sebagai seseorang yang gampang dekat dengan wanita namun bagaimana itu malah bisa menarik perhatian wanita kepadanya, aku masih belum paham. Salah satu wanita itu bahkan adalah Metta, kekasihku sendiri.


"Can we skip to the point..."

"Woaa, Bro, relaks, don't rush it. Mari kita menikmati dulu makanan di sini, it's delicious, you know?"

"Especially when you're not the one who pays."

"Hey, ada adab di tempat gue bahwa tuan rumah adalah yang menjamu tamunya. Gue baru dari Surabaya, so you are the host."

"Really? Gue kira lo udah 2 minggu ini di Jakarta."



Adam tertawa keras sambil bertepuk tangan hingga semua orang melihat ke arah kami.


"Bravo! Bravo! Semuanya, My Bro di sini ini adalah orang yang amat luar biasa! Tolong beri tepuk tangan buat My Bro!"


Kembali Adam bertepuk tangan seolah tengah memandu massa, dan entah bagaimana semua orang langsung ikut bertepuk tangan. Gila, harus kuakui itu pertunjukan kharisma yang luar biasa. Adam benar-benar punya charm dan bakat yang unik untuk mengendalikan orang lain, cowok saja bisa menurut, apalagi cewek. Ya, seperti yang aku bilang, Adam memang sudah dua minggu ini di Jakarta, karena dia menggantikan posisi yang kosong setelah ditinggal oleh Metta ke KSI. Tapi jangan salah, aku berani jamin bahwa Adam tak menghubungi Metta dengan cara apa pun, karena selain metode rahasia mereka menggunakan BB sudah tidak bisa (Metta mengembalikan BB yang merupakan properti kantor), juga karena aku mengawasi dengan ketat semua telepon dan sosial media yang dimiliki oleh Metta (tanpa sepengetahuannya).


"You are very clever, Bro! I like it... I like it."

"Skip to the chase... Kenapa lo minta gue nemuin lo di sini?"

"Ah, lo kaku banget sih, Bro. Santai dikit kenapa? Where's the fun if you rush things over?"

"I don't come here for fun... I come here because you said you have something on Metta."

"Ah yes, pacar lo. Bentar."



Adam mengambil hapenya dari dalam sakunya, kemudian menunjukkan sesuatu kepadaku. Itu adalah sebuah file video, namun hanya ada satu di dalam direktori itu. Walau begitu, dari gambar awalnya saja sudah jelas ada Metta di sana. Dia kemudian memutarnya.

Video itu hanya berdurasi 20 detik, dilihat dari latarnya, sepertinya itu bukan di Bali atau Jakarta, mungkin pada salah satu hotel murah atau kos-kosan yang, entah kenapa Metta bisa mau saja diajak ke sana. Dalam video itu, Metta duduk di ranjang dengan tubuhnya terbalut selimut dengan raut muka yang tak jelas kulihat karena posisi kamera yang agak jauh dan sepertinya ini tak menggunakan hape dengan kamera yang bagus. Seorang pria yang hanya memakai handuk mendekatinya. Walau kepalanya terpotong batas atas video, tapi dari badannya dan juga tato ular yang membayang pada dadanya, aku bisa menebak bahwa itu Adam.


"Halo, Bidadari Cantik, udah mendingan?"

"Masih agak pusing..."

"Halah, lo udah mendingan nih, lanjut yuk second round?"

"Gak, Dam, gue mau balik ke hotel."

"You sure? And missed this?"



Adam membuka handuknya, dan kontolnya mengacung ke arah Metta. Bajingan ini punya kontol yang lebih besar daripada punyaku, dan kepalanya mengacung bengkok ke atas. Metta tampak melihatnya seperti terhipnotis.


"Gimana? You like it?"


Metta tidak menjawab, hanya mengangguk, dan itu membuat hatiku remuk redam. Fakta bahwa tanpa paksaan Metta menyukai kontol milik pria lain selain diriku.


"Lebih enak ini kan daripada punya cowok lo yang LEMAH itu?"


Metta terdiam sejenak. Aku berharap dia menggelengkan kepala, atau setidaknya tetap diam dan tak menjawab pertanyaan Adam itu, namun bukan itu yang terjadi. Metta malah mengangguk-angguk seolah membenarkan perkataan Adam bahwa dia lebih baik dariku.


"You know what to do, right?"


Walau terlihat agak malas-malasan, Metta menjulurkan tangannya dan mengelus kontol besar itu sebelum menggenggam dan mengocoknya. Hatiku terasa panas saat tangan mungil itu, yang seharusnya hanya milikku, kini malah mengocok kontol milik orang lain.

Tak hanya mengocok, Metta pun menciumi kepala kontol Adam dan menjilati batang hingga ke bijinya, sebagaimana dia biasa memperlakukan kontolku. Melihat itu kontolku bereaksi dengan mulai menggembung. Berengsek memang! Bisa-bisanya kontol ini mengkhianatiku di saat ini, di tengah seluruh bagian tubuh lain antara prihatin atau membara akibat cemburu. Namun tak sepertiku, Metta tak melakukan rimming atau menjilat bagian lain, hanya batang dan kepala serta terkadang kantung zakar. Bila itu aku, biasanya Metta sudah mengulum kantung zakar, memainkan kepala dengan lidah, melakukan rimming, bahkan menusuk anusku dengan jari lentiknya.

Pada saat itu, 20 detik selesai dan video itu berhenti. Adam lalu mematikan layar hapenya.


"Gimana, Bro? Bagus, kan?"

"Kapan ini?"

"Pas pacar lo lagi tugas di Surabaya, and believe me, there's more where it came."

"Metta tahu lo ngerekam ini?"

"Of course not, gue juga nggak bego sampai ngebiarin pacar lo itu tahu kalau gue ngerekam adegannya."

"Terus ngapain lo lihatin ini ke gue? Lo bisa aja pake video ini buat meres Metta, kan?"

"Yes, but where's the fun in just that? Gue bisa untung besar kalau gue jual eceran di Tw*tter. Apalagi body cewek lo kayak gini, beuh... People will pay millions, you know!"

"Itu rencana lo?"

"Tadinya, gue emang pakai ini buat bargain biar Metta mau layanin gue, dan pas gue udah bosen ama Metta lagi, gue udah rencanain buat ngejualin ini... Like the rest of them."

"Them?"

"Metta bukan satu-satunya, lo pasti tahu itu, Bro. Tapi gue gak mau ngelepas dia segampang ini, she's top of the top! Mau gue nikmatin ampe assetnya habis nggak bersisa lagi buat lo atau cowok lain nikmatin."



Aku menggenggam pisau makan dengan amat erat saking geramnya mendengar cara dia berbicara. Andai cuma ada kami berdua, pasti saat ini pisau itu sudah menggorok lehernya. Namun aku berusaha untuk tidak membiarkan emosiku mengambil alih, jadi kupotong saja steak-ku dengan potongan keras, menganggap bahwa itu tenggorokannya.


"But don't worry, Bro. Setelah tahu kalau lo pacarnya Metta, I have a better plan."

"Go on."

"Gue inget kalau lo udah ngikutin FB gue dari sejak Metta di Surabaya, so udah hampir pasti lo juga pasti tahu kalau dalam album gue, yang 'Quickie in Bali', impossible lo yang clever ini bakal nggak tahu kalau ada Metta di sono."



Aku berhenti, memberi sebuah penanda jelas bahwa yang Adam katakan itu benar. Dia tampak tersenyum penuh kemenangan.


"So maksud lo apa?"

"Lo tahu cuckold kan, Bro? What so called, 'kelainan' di mana seorang cowok atau suami suka melihat cewek atau istrinya ML ama..."

"Yes, gue tahu apa itu cuckold. Maksud lo apa sih?"

"Wooaa... Sabar, jangan emosi, Bro. There's no wrong in that, we all have preference, right? Lo suka cuckold, dan gue suka ama cewek cantik, kayak Metta, and I also loves money..."



Adam memberi isyarat menggosokkan ujung jempol dan telunjuknya.


"So, lo mau gue bayar lo?"

"Whooaa... Jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat, Bro. Kayak gue bilang tadi, I have a better plan, and more fun."

"Jelaskan."

"Now you're talking. Okay, gue pengen lo bayar gue buat nonton gue ngentot ama cewek lo yang cantik itu, gimana??"

"Lo..."



Aku menggenggam pisau dengan erat hingga pisau itu tampak gemetaran di tanganku.


"Kalau gue menolak bayar?"

"Gue sebar video itu dan video lainnya ke Tw*tter ama forum-forum dewasa, full-face, so orang bakal tahu siapa itu seorang Metta Prameswari. I'm not sure that's what you want, Bro."

"Kenapa lo lakuin ini? Kenapa gak gue bayar aja lo dan lo pergi dari kehidupan gue dan Metta?"

"No, no, no. On my terms. Like I said, gue nggak mau lepasin si Metta gitu aja. She's too beautiful, too sexy, and too adorable. This is win-win, lo bisa save face si Metta, lalu gue bisa nikmatin Metta, dan Metta can get a better sex than you. Semua senang."

"Better sex than me? Lo bercanda ya."

"Emangnya alesan apa lagi cewek nyari another dick to ride on? She's just not satisfied with you, Bro. So leave her to the expert, ya. Dia akan bersyukur ke lo karena udah izinin dia buat dapetin kenikmatan. And, she'll love you for that."



Aku mengangguk-angguk saja.


"Berapa duit?"

"Karena gue baik ama lo, gue minta satu juta per video, ntar gue rilis satu-satu, so lo gak berat mbayarnya."

"Lalu selama itu lo bakal bikin video terus? I don't think so."

"Gue janji gak bakal bikin video lagi sampai lo selesai mbayar semuanya. Kalau lo gak percaya, gue kasih kontrak materai sekarang juga."



Adam kemudian mengambil sebuah dokumen dari dalam tas yang dibawanya.


"Gue orang legal, Bro, gue tahu gimana caranya bikin dokumen yang punya kekuatan hukum. Materai udah ada, silakan lo baca kalau masih takut, dan begitu lo udah puas ama isinya, lo tanda tangan di atas materai, gue juga. Gue bakal rekam juga kesepakatan kita, ntar lo bawa satu, gue bawa satu."


Adam lalu meletakkan dokumen, pena, dan alat perekam di meja. Rini biasanya cukup ahli dalam memeriksa dokumen semacam ini, namun karena Adam membuatnya cukup simpel, maka aku bisa dengan mudah memahaminya.


"Nominalnya bisa diperiksa lagi kalau..."

"Gue nggak percaya lo better sex daripada gue. I need to see that in person."

"Bro, kenapa lo..."

"5 juta untuk pembayaran pertama: video berikutnya dan gue bisa lihat langsung."

"Wow, lo bukan orang yang suka basa-basi ya. But I like you, Bro. Oke, deal, ntar gue maen ama Metta dan lo bisa lihat langsung pada..."

"29 Juli."

"Apa?"

"Harus 29 Juli, atau kesepakatan batal. Masukin ke klausul tambahan di kontrak."

"What?? But 29 Juli itu..."

"Empat hari lagi, yes, I know."

"Lo nyuruh gue nyiapin semuanya dalam 4 hari, apa lo gila?"

"That's not my problem. Kan lo yang klaim bisa kendaliin Metta. Gue mau lihat."

"Tapi..."

"4,5 juta."

"What!???"

"Semakin lama lo mutusin, semakin kecil penawaran gue. 4 juta."

"Tapi Bro..."

"3,5 juta."

"Deal, deal!"

"Nah, gitu dong, coba dari tadi, bisa dapet 5 juta lo."



Aku pun lalu mendiktekan klausul baruku ke dalam kontrak. Sebenarnya, yang tak diketahui oleh Adam, aku pun terlatih dalam hal dokumen legal ini, sehingga aku bisa tahu kalau dia mencoba macam-macam.


"Awalnya gue kira lo itu loser, Bro, tapi jelas you put up a good fight. I've underestimated you."


Aku tak menjawab, hanya melihatnya saja. Setelah selesai, Adam pun membacakan isinya kata demi kata dengan direkam. Inti dari kontrak ini adalah bahwa Adam akan menjual video yang dia ambil saat ngentot dengan Metta, satu per satu kepadaku seharga masing-masing video 1 juta rupiah. Selama proses ini, Adam boleh untuk ngentot dengan Metta atas sepengetahuanku, namun dilarang mengambil video lagi sampai habis. Aku menambahkan klausul untuk melihat bahwa Metta benar-benar lebih puas dengan Adam daripada denganku pada tanggal 29 Juli 2012, atau semua kontrak akan batal dan kuanggap sebagai wanprestasi. Aku juga memberikan klausul (yang disetujui) bahwa saat semua berakhir, Adam harus pergi selamanya dari kehidupan Metta, dan bahwa semua video sudah tak ada lagi salinannya yang bisa dimanfaatkan. Sayangnya, Adam selalu menolak untuk membubuhkan berapa lama jangka waktu pembelian video ini akan dilakukan, sehingga secara notabene, Adam akan bisa terus ngentot dengan Metta, kali ini atas sepersetujuanku, sampai waktu yang tidak ditentukan. Ini jelas tidak bagus, namun bagaimanapun aku tetap tak bisa memaksakannya, hingga akhirnya aku dan Adam menandatanganinya.

Setelah kami menandatangani perjanjian laknat itu, aku pun mengambil hape Adam yang tadi digunakan untuk memutar video laknatnya bersama Metta.


"I take it that this is free?"

"Iya, itu free sample doang, cuman teaser, Bro."

"Hah? Bukan video pertama?"



Adam menggeleng sambil tertawa.


"Mana ada video cuman 20 detik? Lo mau versi full video pertama ya lo bayar lah."


Tawa Adam tiba-tiba berhenti saat aku meletakkan segepok uang di meja.


"Ini 1 juta, berikan versi full video pertama SEKARANG!"


Merasa kalah, Adam lalu mengeluarkan hape lain kemudian menyambungkannya dengan bluetooth ke hapenya yang dia pakai untuk memutar video.


"Kenapa nggak langsung aja ke hape gue?"

"No, no, no. Gue nggak mau lo ngelacak hape ini. I'm not taking the risk."



Setelah transfer file selesai, baru dia memperlihatkannya lagi dan ternyata video itu berdurasi 20 menitan lebih. Bukan durasi yang terlihat mengancam bagiku, namun tetap saja, itu video dia ngentot dengan pacarku! Tanpa memutarnya kembali, aku langsung mengirimkannya via bluetooth ke hapeku.


"Gak mau lo puter lagi, Bro?"

"Gak, gue percaya ama lo, gentlemen's agreement. Lagian kalau misal lo curang, inget ya, kita udah sepakat perjanjian."

"Wow, I salute you, Bro. Lo emang bener-bener beda dari cowok bego yang biasa. Sekarang gue paham kenapa Metta lebih milih lo dari semua cowok di dunia ini."

"I take that as compliment, no?"

"Anggep aja begitu, tapi lo tetep kudu inget, bahwa in the end, Metta bakal balik ke kontol gue, karena cuman kontol gue yang bisa kasih dia kenikmatan sempurna, hahaha."



Aku hanya melihatnya dengan pandangan mata dingin. Andai saja aku bisa memakai pisau steak ini untuk merobek senyum di mulutnya itu. Adam hanya selesaikan makannya, lalu mengambil mawar putih dari vas bunga di meja, berdiri, memberi salam takzim padaku, kemudian dia berjalan pergi dengan gayanya yang perlente namun memuakkan itu. Tak lupa, dalam langkah seorang playboy sejati, dia memberikan mawar putih yang dia ambil kepada seorang wanita yang duduk di ujung koridor. Dari segi kharisma memang Adam seorang yang luar biasa. Adalah bakat alam untuk bisa menaklukkan orang seperti itu, hingga aku pun merasa wajar saja bila Metta sampai kesengsem dengan orang semacam itu. Aah... Memikirkannya membuatku merasa ingin memukul meja ini sampai hancur.

Saat itulah aku merasa sebuah tangan lembut memegang tanganku, sangat lembut dan hangat hingga genggamanku yang menegang perlahan-lahan mengendur.


"Hey, breathe..."


Aku menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya, sambil orang itu terus mengelus tanganku. Pelan-pelan detak jantungku menurun dan kemarahan serta rasa panas yang dari tadi menguasai hati dan pikiranku perlahan sirna. Pisau steak yang kugenggam erat pun kuletakkan kembali dengan perlahan di atas piring, meninggalkan bekas kemerahan pada telapak tanganku. Aku membuka mataku, dan Rini sudah ada di sana, duduk di depanku sambil masih memegang tanganku.


"Are you okay?"

"Yes, I'm okay."



Rini melihat telapak tanganku dan menyentuh bekas kemerahan akibat aku menggenggam pisau steak terlalu keras.


"Sakit?"


Aku menggeleng. Sebenarnya memang sakit, hanya saja aku tak mau bilang, karena saat ini ada hal lain yang lebih menyakitkan. Aku memang sudah mengetahui bahwa Metta berselingkuh dengan Adam, hanya saja kukira aku ini kuat, hingga aku melihat sendiri buktinya. Bagaimana Metta langsung menyambut kontol Adam dengan semangat seolah itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Ini sungguh menyakitkan dan tiada terkira. Rasanya seperti hatiku ini tengah disayat-sayat dengan pisau yang bergerigi, yang membuat luka fisik menjadi seolah tidak berarti.


"That bastard..." kataku geram, "I have to admit, though, he has style."

"Ah, nggak juga, B aja."

"Really? Kamu liat tadi gimana dia bisa pengaruhin orang-orang, kan?"

"Iya, tahu, but that doesn't impress me much. Orang kayak gitu biasa flexing gitu to compensate something he's lacking in another department. Cakep iya, tapi ya kalau sikapnya gitu orang juga lama-lama ilfeel."



Aku hanya tersenyum melihat bagaimana ternyata ada juga orang yang tak terpengaruh oleh kharisma Adam, yaitu Rini. Oh ya, kenapa Rini bisa ada di sini? Ya, aku memang mengajaknya untuk menjadi back-up saat menemui Adam. Ini karena aku merasa tak aman apabila aku menemuinya sendiri, dan adanya Rini di sekitarku bisa membuatku sedikit tenang dan terkendali. Bila aku tak ingat ada Rini, mungkin aku sudah mencongkel mata Adam dengan garpu dan merobek-robek mulutnya untuk menghapus senyum dan tawa menyebalkan itu. Namun Metta akan selamanya menyalahkanku bila aku melakukan kekejaman itu.


"I'm so sorry..."


Rini mengucapkan itu sambil terus mengelus bagian tanganku yang sakit, dan aku merasa semakin tenang dalam sentuhannya.


"Kenapa? Bukan kamu yang salah, koq?"

"Gak apa-apa, aku cuman ikut prihatin kamu kudu ngadepin masalah kayak gini."

"It's okay, aku udah lama tahu koq... But it didn't hurt till it punch you in the face."

"Udah lama tahu? Tapi kenapa..."

"Belum cukup bukti... Metta bakal selalu menyangkal kalau aku nggak pake bukti yang cukup. Dia nggak pernah suka dituduh, terlepas dari bener atau enggaknya dia ngelakuin."



Rini mengangguk-angguk.


"I see... Iya sih, kadang walau kita beneran salah pun kecuali ditunjukkan buktinya kita bakal terus menyangkal."

"Aku udah sering bertengkar ama Metta perkara yang lebih sepele dari ini jadi aku tahu kudu gimana untuk pendekatan masalah ini."

"Tapi... Kamu tetep kudu bilang ke Metta, Rik. Kecuali kamu nggak pengen mempertahankan hubungan kalian lagi."

"I know..."

"But seriously, emang kamu masih mau pertahanin hubungan kamu, Rik?"

"Maksudnya?"

"Dia itu udah khianatin kamu, apa lagi sih yang masih mau kamu pegang???"



Aku melihat ke Rini, dan jelas ada sinar amarah memancar dari matanya.


"I can't..."

"Kenapa nggak bisa?? Erik, cowok itu yang dipegang kehormatannya! Dengan Metta berbuat begitu, dia udah nginjak-injak kehormatan kamu, Rik. Please, sadar dong."

"I just can't... Masalah aku ama Metta itu complicated..."

"Geese... Dia megang kartu apa sih dari lo? You are not a fool, Erik. Lo itu pinter, seharusnya orang sepintar lo bisa ngelihat kalau gak ada apa-apa yang bisa diharapkan dari dia."

"Enggak... Ada yang masih bisa diharapkan, Rin."

"APA!?? Geese, Erik, APA!?? Apa yang masih lo harapkan dari dia??"

"Aku udah bilang, Rin... Ini complicated, a-aku nggak bisa ngomong ama kamu... Kamu nggak bakal paham..."

"Try me! Ngomong sekarang, apa, apa yang bikin gue nggak bakal paham?"



Rini menyilangkan tangannya di meja dan menatapku, mengharapkanku untuk mengucapkan sesuatu. Aku ingin sekali bilang bahwa aku dari masa depan dan aku ingin menyelamatkan Metta dari nasibnya di masa depan. Namun tak ada yang terucap. Karena bila bercerita begitu, maka aku akan bercerita bahwa kami adalah suami-istri, bahwa Metta hanyalah seorang cinta pertama. Bila aku berkata begitu, maka aku harus bilang padanya bahwa aku meninggalkan dia, meninggalkan pernikahan kami, keluarga dan anak kami, semuanya demi Metta... Ya, demi pertanyaan mustahil yang kuucapkan di tahun 2021. Bisakah kau bilang begitu!? Tegakah kau berkata seperti itu!?? Lalu apa arti 10 tahun pernikahan bila hanya demi satu hari aku bisa meninggalkannya begitu saja?? Aku meninggalkan Rini dua kali, pertama pada malam tahun 2021 itu, dan kedua adalah pada tanggal 29 Juli 2009 saat aku memilih Metta. Adilkah bila sekarang Rini mendengar hal itu?? Ini bukan hanya gila, tapi sudah sinting. Bahkan aku pun tak sanggup harus mengakui dosa terbesarku itu, dosa pada Rini, juga dosa pada Vino, dan segala yang terjadi selama 12 tahun kami saling mengenal. Tidak, aku tidak sanggup...


"Ngomong, Rik!"


Aku tetap diam. Pada akhirnya, tetap tak ada yang bisa kuucapkan. Segala sesuatu yang ada di dalam kepala dan dadaku seolah berhenti di ujung lidah, tak kuasa untuk meneruskan.


"Maaf, Rin, aku nggak bisa bilang..."


Aku tertegun, karena kulihat Rini menangis. Dia masih memegang tanganku dengan erat, mengalihkan matanya dari pandanganku, namun dia menangis. Aku sama sekali tak paham pada saat itu kenapa dia menangis, dan entah apakah aku akan tahu alasannya. Suasana itu terpecah ketika hape Rini tiba-tiba berbunyi. Rini menghapus air matanya dan mengatur nafasnya sejenak sebelum akhirnya dia mengangkatnya. Aku sedikit memperhatikan hape milik Rini itu, N*kia Lumia (meski aku tak tahu seri Lumia berapa) dengan casing biru dan gantungan bentuk kepala Kerokerokeropi. Aku agak tersenyum karena aku selalu tahu dari dulu Rini selalu suka Kerokerokeropi.


"Ya, halo, ada apa, Bang?"


Jantungku serasa berhenti. Ya, aku tahu siapa yang meneleponnya, yang selalu disebut oleh Rini sebagai "Abang" itu, tiada lain adalah Reyhan, tangan kananku sendiri. Entah kenapa aku selalu tidak suka bila Rini mengobrol dengannya. Bukan, aku tak pernah membenci Reyhan, bahkan kami sebenarnya cukup akrab, bukan hanya sebagai atasan dan bawahan, namun juga sahabat, karena kami melalui shift malam bersama-sama. Reyhan juga selalu menjadi orang yang bisa kuandalkan. Masalahnya hanyalah karena dia sedang mendekati Rini, bahkan bisa jadi kini mereka sudah jadian, sehingga mau tak mau aku cemburu.

Ini pertanyaan yang sebenarnya menggelitik diriku. Kenapa aku masih saja cemburu pada Rini ketika didekati oleh Reyhan? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sudah berkali-kali meyakinkan diriku bahwa Rini bukan siapa-siapa bagiku, karena kekasihku kini adalah Metta, dan hanya Metta. Bahkan, bukankah aku kembali ke masa ini untuk bersama dengan Metta? Aku sudah memberikan Rini jalan yang terbaik. Aku telah selamatkan ayahnya, dan berkat itu, kehidupan Rini bisa jadi lebih baik, lebih berwarna, dan lebih tidak sengsara dibandingkan apabila bersamaku. Bila aku tetap mengejarnya, tak akan adil bagi Rini, juga bagi Metta. Pikiran rasional itulah yang coba kuulang dan kuulang lagi, meyakinkan dan mensugesti diriku bahwa masa kini dan masa depanku adalah bersama Metta, bukan Rini. Namun saat aku sedang bersama Rini, semua pemikiran rasionalku mendadak sirna. Aku langsung kembali menjadi Erik tahun 2021 yang telah menikah selama 10 tahun bersama Rini, menganggap Rini sebagai istriku.


"Si Abang nanya, urusan kita udah selesai apa belum."

"Koq si Reyhan nggak nanya langsung ke aku?"

"Katanya udah WA tadi, tapi kamu nggak mbales."

"Oh iya, aku silent soalnya."

"Ah, Abang juga nitip pesen ke kamu buat ngecek WA. Katanya ada sesuatu yang kudu diomongin."

"Oh, oke."

"Abang ama kamu lagi ada apa sih? Koq kayaknya rahasia banget?"

"Ntar kalau udah waktunya, aku bakal kasih tahu kamu."

"Kenapa? Ini sesuatu yang aku nggak bakal paham juga?"

"Enggak, kalau soal ini, aku pasti bakal kasih tahu, soalnya aku bakal perlu bantuan kamu."

"Lagi? Bantuan macem gini?"

"Lebih. Tapi pertama-tama, sebelum itu, kamu harus cari dulu soal kenapa ASV ama KSI harus membentuk kerjasama strategis. Apa yang dibutuhin KSI dari ASV yang nggak ada di tempat lain, itu aja dulu."



Rini memandangku dengan ganjil.


"Kalau aku udah cari tahu itu, apa kamu beneran bakal kasih tahu apa itu?"

"Iya, aku janji."

"Tolong kasih tahu aku semuanya ntar, bahkan termasuk hal yang kamu bilang aku nggak bakal paham."

"Rin..."

"Please! Tolong semuanya, Rik. I need to know."

"Rin..."

"PLEASE!"



Aku menghela nafas.


"Okay. I'll tell you everything, but only when I'm ready."

"Iya, gak apa-apa, Rik. I need to know, kita harus hadapin apa, dan aku nggak bisa bantuin kamu dengan maksimal kalau aku nggak tahu."

"Don't worry. Udah, kita balik kantor sekarang."



Rini mengangguk, lalu dia mengikutiku saat aku membayar semuanya.






"Kamu kenapa sih, Beb, kayaknya lagi ada yang dipikirin?"

"Hmm?"

"Kamu diem aja dari tadi, ada masalah di kantor?"



Sore ini aku sedang pulang bersama Metta di dalam mobilnya. Setelah aku diusir dari kosan Ci Lily, untuk sementara aku tinggal di rumah Metta. "Sementara" yang kini sudah hampir 3 bulan lamanya. Karena itulah kini Metta selalu mengantar jemput aku tiap hari, karena menggunakan mobil bisa lebih cepat dan lewat tol walaupun Metta harus memutar agak jauh.


"Lagi agak hectic aja di kantor. Banyak yang kudu diurus."

"Oh ya?"



Aku jelas tak akan bilang pada Metta bahwa siang tadi aku bertemu dengan Adam dan membuat sebuah perjanjian laknat dengannya. Walau sebenarnya ada bagian dari dalam hatiku yang bilang, "Sudahlah, Erik, come clean saja dengan Metta, tunjukkan semuanya, babar semuanya, lalu kalau dia masih ingin bertahan, kalian pergilah berdua. Pergilah jauh, mau ke Korea, Jepang, Swiss, Belanda, Amerika, terserah mau ke mana, lalu mulailah hidup baru di sana, lupakan semua intrik yang ada di sini." Pemikiran ini pun akhir-akhir ini bergaung makin keras di dalam kepalaku. Lupakan rencana besar, lupakan semuanya, pergilah bersama Metta ke sebuah tempat yang jauh dan mulai hidup baru di sana. Ya, memang sebuah pemikiran yang masuk akal, bukan? Namun ada hal menggelayut yang mencegahku melakukannya: aku tak mau merusak timeline ini lebih banyak hingga akhirnya tak bisa lagi kukendalikan. Musuh besarku masih ada, sudah muncul lagi musuh kecil, dan aku tak bisa beristirahat dengan tenang sebelum keduanya hancur, dan membawa ketenangan dalam kehidupan Metta, Metta-ku.

Tiba-tiba aku terkejut karena tanganku yang ada di tuas transmisi otomatis dipegang oleh Metta. Aku menoleh dan dia tersenyum padaku dengan senyum yang amat manis. Senyuman yang benar-benar tulus dan tanpa dosa.


"Semangat ya, Bebeb. Semoga semua cita-cita kita bisa tercapai, ya!"


Aku hanya mengangguk, bahkan tak tersenyum balik. Sentuhan yang tulus itu kini bagiku terasa kasar dan kotor. Tangannya yang menyentuhku, entah sudah pernah menyentuh apa saja tangan itu. Aku membayangkan tangan ini membelai kepala, dada, bahkan kontol dari seorang Adam Gabriel Hanggono, dan mungkin entah siapa lagi. Memikirkan itu membuat tanganku merasa jijik dipegang olehnya. Telapak tangan yang seharusnya lembut dan halus itu kini terasa panas dan lengket, sisa-sisa dari badan pria lain, pria yang kini terasa menertawakan kebodohanku.


"Bebeb? Koq diem? Are you okay?"


Ucapan Metta ini mendadak menyadarkanku dari gelapnya pemikiranku sendiri. Kulihat mukanya, dan itu adalah raut muka yang tulus mengkhawatirkanku. Bagaimanapun, aku sudah cukup mengenal Metta untuk tahu kapan dia menunjukkan perasaannya yang tulus itu. Metta adalah sebuah buku yang terbuka, dia bukan orang yang bisa menyembunyikan atau menutupi apa hal yang sebenarnya dia rasakan. Melihat ketulusan itu, hatiku pun kembali luluh.


"Maaf..."

"Kamu nggak apa-apa, Beb? Mau ke tempat dr. Sara lagi?"

"No, it's okay... Besok weekend aja."

"You sure? You don't look okay."

"Gak apa-apa, cuman banyak pikiran aja."



Metta tersenyum lalu mengelus pundakku. Tubuhku secara refleks bergidik dengan sentuhan Metta ini, tapi tampaknya dia tak menyadarinya.


"Don't worry, Beb, I know. Kan aku udah bilang, jangan terlalu dipikirin, mengalir aja."

"Heh?"

"Kamu pasti pusing mikirin soal anniversary ya? Nggak usah terlalu muluk ampe pusing-pusing lah, Beb. Bisa ama kamu aja aku udah seneng banget. Kamu udah siapin dua kali anniversary cukup bagus, so yang sekarang nggak usah terlalu ribet gak apa-apa. Just you, and me, cola and chips, udah cukup... Or nonton aja pas itu."

"Hehehe, yeah..."



Ya, beberapa hari lagi memang adalah anniversary kami, 29 Juli. Itu juga merupakan hari yang telah kusepakati bersama dengan Adam untuk membuktikan bahwa Metta lebih memilih Adam daripadaku. Aku punya alasan kenapa memilih hari itu, karena selama ini Metta selalu mengosongkan semua kegiatannya pada hari itu hanya untuk bisa bersamaku seharian penuh. Dia bahkan akan mengambil cuti bila kebetulan itu hari kerja. Pendek kata itu adalah satu-satunya hari di mana Metta akan berfokus hanya padaku. So, aku mengharapkan itu pula yang akan terjadi pada hari Minggu nanti. Bila itu terjadi, maka Adam akan wanprestasi dan dengan begitu semua foto dan video Metta yang dia pegang akan bisa kudapatkan tanpa perlu bersusah payah.


"You'll be with me, right?" tanyaku.

"Hmm?"

"Pas hari Minggu."

"Hah? Ya iyalah, Beb, that is our anniversary, kan? I won't miss it for the world!"

"Promise?"

"Promise! Astaga, Beb, kapan sih aku pernah nggak nemenin kamu pas anniversary?? That is our day, Beb. Itu hari bersejarah bukan cuman buat kamu, atau kita, tapi aku juga. I'll be yours for the whole day."

"For the whole day?"

"FOR THE WHOLE DAY!"



Metta mengatakannya dengan amat antusias, sebelum akhirnya mencium pipiku. Yah, aku tak punya alasan sebenarnya untuk meragukan Metta. Memang dia pernah membatalkan untuk ikut wisata ke Pulau Harapan di menit-menit terakhir, namun dia tak pernah absen untuk anniversary. Bahkan semua hal akan dikalahkan oleh dia demi anniversary bersamaku. Dari sini aku yakin bahwa, ya, Metta akan bersamaku pada hari itu, jadi sebaiknya kupesankan akomodasi terbaik. Bila nanti, amit-amit, dia ternyata memilih bersama Adam, maka, ya, mungkin memang sudah ditunjukkan bahwa Metta bukan yang terbaik bagiku. Bagaimanapun juga, empat hari ini akan menjadi empat hari yang menyiksa bagiku.






26 Juli 2012
ASV Agency



"Udah dicoba, Pak?"


Reyhan menatapku dengan pandangan mata serius, disertai sedikit pancaran ketakutan. Aku mengangguk dan bukannya lega, dia malah tampak agak senewen.


"Calm down, kalau dibandingin ama yang dulu, ini easier target."

"Tetep aja, Pak. Kita belum dapat otorisasi buat pengujian, so itungannya ini ilegal."

"Anggep aja ini soft-experiment."

"Astaga, Pak, Pak Erik malah bikin saya tambah nggak tenang."

"Tenang, kamu udah periksa semuanya, kan? Nggak bakal gagal, kan?"

"Iya sih, tapi kalau dicoba di luar gini saya yang pusing, takutnya progenitornya kepegang ama orang lain. Kalaupun nggak bisa di-trace balik ke kita, ada kemungkinan bisa dikembangkan menjadi varian baru mereka sendiri. Bisnis virus ama worm itu gede, Pak."

"Tapi cuman kita yang punya antidote-nya, kan?"

"Itu dia kekhawatiran saya. Kalau ternyata orang tahu cuman kita yang punya antidote, ASV bisa jadi target pemeriksaan besar-besaran."

"Tenang, hanya satu subjek koq."

"Mending sekalian 10, Pak, jadi bisa evolve, mengurangi kemungkinan ketahuan. Tapi ya, moga-moga aja si subjek ini, kayak orang Indonesia lain, terlalu songong buat sadar bahwa gadget-nya kena virus, sampai ntar terlambat."

"Sudah, sudah, diminum kopinya dulu, biar kamu tenang."



Reyhan mengangguk lalu meminum kopi yang ada di depannya.


"Record-nya masih masuk ke laptop kamu, kan, via server kantor?"

"Iya, jadi masih saya yang kendaliin."

"Tenang, kalau udah selesai pasti aku self-destruct."

"Moga-moga aja nggak ada masalah soal ini ya, Pak."



Aku hanya tertawa dan menepuk pundak Reyhan. Dia tampak masih belum tenang, namun setidaknya tak sesenewen tadi.


"Omong-omong, tumben kamu hari ini nggak makan bareng ama Rini?"

"Orangnya lagi riset, Pak."

"Riset? Riset apa?"

"Lho, bukannya Pak Erik yang nyuruh? Dia sih nggak bilang riset apa, pokoknya ada aja yang harus dia cari."

"Terus ngorbanin waktu makan siang?"

"Ya, gitu lah, Pak, dia. Kalau lagi fokus apa aja nggak bakal ada yang lewat."

"Termasuk makan bareng pacar?"

"Siapa?"

"Rini, lho, emang kalian belum pacaran?"

"Belum, saya masih belum mau maksain dia. Lagi pula..."



Reyhan tampak agak ragu.


"Lagi pula kenapa, Rey?"

"Nggak jadi deh, Pak."

"Rahasia?"

"Ya, begitulah."

"Oke, aku paham. Ya udah, makan, Rey, aku traktir."



Reyhan pun menyantap makanan yang ada di depannya. Saat itulah Nindy tergopoh-gopoh datang menghampiriku.


"Hei, Nin, ayuk makan dulu."

"No time, Rik. Lo ikut gue sekarang."

"Kenapa? Koq mendadak?"

"Gak usah banyak tanya, ikut sekarang!"



Aku segera pamit pada Reyhan dan langsung mengikuti Nindy. Dari jalannya yang terburu-buru dan sikapnya yang gusar, aku bisa menduga bahwa terjadi sesuatu, karena Nindy bukanlah orang yang biasa segusar itu.

Baru setelah kami masuk ke lift dan hanya ada kami berdua, Nindy baru berani bicara.


"CCTV nunjukin kalau si Surya lagi ada di Lantai 5."

"Lantai yang kita pasangin jebakan?"

"Yes, dan dia hampir nggak pernah ke sono kecuali dia bawa orang ke sana."

"Orang?"

"Cewek, Rik, kayak lo gak tahu aja."

"Iya tahu, tapi... Maksudnya si Surya mau ambil kesempatan lagi, gitu?"

"Maybe, dan kalau emang beneran, kita mungkin bisa dapet bukti kuat dari sini. Masalahnya..."

"Masalahnya?"

"Buat bisa bikin efek gede, we need smoking gun, artinya kita kudu bisa ngerekam pas Surya beneran lakuin sesuatu ke cewek itu. Bukan cuman pendekatan."

"Gila, tapi itu kan artinya..."

"Yes, kita harus diem aja ampe beneran terjadi sesuatu."

"Shit, Nin, that was cold, even for you."

"I know, I don't like it either, but there's no other way."



Aku terdiam.


"Eh lalu si Surya bawa siapa ke sono?"

"Masih belum tahu, Pak Rommy langsung hubungin gue begitu dia lihat si Surya di CCTV, dan gue langsung nyamperin lo."

"Someone we know?"

"Kan gue bilang kalau gue belum tahu, Rik. Ntar aja kita liat sama-sama."



Entah kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak mendengar ini. Jangan-jangan itu Rini, karena tadi Reyhan bilang kalau Rini sedang riset perkara proposal kerjasama strategis ASV dan KSI. Tapi Rini sudah bilang bahwa dia bakal rahasiakan ini dari Tim Marketing 3, so seharusnya nggak mungkin kalau lalu dia ama Surya pergi ke Lantai 5. Semoga saja ini orang lain.

Kami langsung menuju ke dalam ruangan Pak Rommy, di mana dia sudah menunggu dengan wajah yang tampak gusar. Nindy langsung bertanya kepadanya.


"Gimana, Pak? Bisa?"

"Bisa, Nin, tapi ada masalah?"

"Masalah apaan??"



Pak Rommy lalu menunjukkan layar yang di sana ada gambar Surya tengah berbicara dengan seseorang di balik lemari buku.


"Lha?? Koq bisa ketutupan lemari gini?? Nggak ada sudut lainnya emang??"

"Nggak ada, Nin. Dari dulu emang CCTV-nya cuman itu doang. Kalau mau pasang lagi kudu pengadaan baru, dan baru bisa tahun depan."

"Terus, ini juga koq nggak ada suara??"

"Ya, rata-rata CCTV mana ada suaranya, Nin."

"Astaga, terus kalau gini gimana kita bisa dapet bukti??"



Di layar kulihat Surya tampak terus menghalangi siapa pun itu untuk keluar dari halangan lemari. Antara Surya memang super hati-hati atau ada yang membocorkan lagi bahwa kamera di sini sudah berfungsi kembali. Namun bila begitu, pasti dia tak akan mengambil risiko. Aku benar-benar ingin tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini, sehingga aku mulai memeriksa seluruh layar untuk petunjuk. Saat itulah mataku tertuju pada sebuah hape yang terletak pada meja di sudut layar.


"Pak Rommy, bisa di-zoom hape yang di atas meja?"

"Tapi, Pak Erik, kalau dia lihat CCTV-nya gerak, dia bisa curiga."



Pada saat itulah terlihat Surya mulai merangsek pada apa pun yang ada di depannya hingga dia pun tertutup oleh lemari.


"Cepetan, Pak! Sekarang!"


Dengan buru-buru, Pak Rommy segera lakukan fokus dan zoom pada hape yang kutunjuk itu. Itu adalah sebuah hape N*kia Lumia dengan casing warna biru dan sebuah gantungan hape berupa kepala Kerokerokeropi. Aku tentu saja mengenal hape itu, karena itu adalah hape milik Rini.


"Shit!! Nin, itu si Rini!!"


Saat aku hendak bergerak, Nindy mendadak mencegahku.


"Rik, we have no solid evidence, yet!"

"Tapi itu Rini! Dia bisa diperkosa ama Surya..."

"I know, tapi kalau lo ke sana sekarang, semua yang kita usahakan bakal sia-sia!"

"So lo lebih milih dia diperkosa??"

"I wish there's another way..."



Aku yang geram lalu mengambil hapeku dan berusaha menghubungi Rini, namun hanya ada pesan operator bahwa nomor yang kuhubungi berada di luar jangkauan area servis.


"Sia-sia, Pak Erik, lantai 5 ama 6 itu dilindungi jammer, semua hape di sono nggak bakal bisa menghubungi atau dihubungi," kata Pak Rommy.

"Sial! Gue ke sana sekarang..."

"Erik! Lo gak denger tadi gue bilang apa??"
jerit Nindy.

"Gue gak peduli! This is Rini we're talking about!!"


Aku segera melepas tangan Nindy dan langsung berlari keluar. Sambil jalan, aku langsung menghubungi Reyhan.


"Rey, ke lantai 5 sekarang! Ruang Library 2."

"Hah? Kenapa, Bos?"

"Rini dalam bahaya! Cepetan!"

"Siap, Bos!!"



Tombol lift kutekan-tekan dengan liar. Sial! Dari semua hari kenapa liftnya memilih hari ini untuk merayap dengan lambat?? Tak sabar, aku langsung menuju ke tangga darurat dan berlari menaiki tangga ke lantai lima. Aku sudah tak bisa berpikir lagi, satu-satunya yang kupedulikan adalah secepatnya menolong Rini. Bahkan aku tak menunggu Reyhan tiba saat membuka pintu library dengan kode aksesku, walau aku tahu Surya pasti akan tahu saat aku membukanya. Benar saja, ketika pintu berhasil kubuka, yang pertama kulihat adalah Surya keluar dari bilik lemari yang menghalangi CCTV itu, bajunya berantakan sepertinya dia tergesa-gesa memakainya tanpa sempat merapikan.


"Halo, Bro, ada apa..."

"BERENGSEK LO!!!"



Bogem mentahku langsung menghajar Surya hingga dia tersungkur menghantam lemari penuh dokumen. Buru-buru aku memeriksa ke balik lemari yang sedari tadi menutupi CCTV, dan apa yang kulihat di sana membuat darahku mendidih. Rini tampak tergolek sambil menutup bajunya yang tampak dibuka dengan paksa, bahkan pantyhouse-nya pun sampai sobek dan celana dalamnya sudah meluncur keluar dari roknya. Aku segera menghampirinya sambil membuka jasku untuk menutupi tubuh Rini.


"Rini! Kamu nggak apa-apa??"


Rini tampaknya masih terlalu syok untuk menjawab, hanya menggeleng sembari gemetaran. Dalam kondisi marah itulah aku beralih pada Surya yang masih tergolek dan memukulinya berkali-kali tanpa memberinya kesempatan untuk bangkit atau membela diri. Aku sudah kalap melihat perbuatan Surya di CCTV hingga yang ada di dalam pikiranku sekarang hanyalah bagaimana membuatnya membayar perbuatannya.


"Erik! Sudah! Sudah!!"


Nindy yang sudah tiba di sana menahan tinjuku, mencegahku menghajar Surya lebih banyak.


"Lepasin, Nin! Lepasin!!"

"Enggak, cukup!! Biar aku yang urus dari sini!! Inget, Rik, ada Rini di sini!!"



Aku yang masih kesal akhirnya berhenti memukuli Surya yang sudah kepayahan, kemudian berhenti dan meludahinya. Kemudian aku beralih pada Rini yang masih gemetar ketakutan meringkuk di balik jasku. Saat aku berlutut di depannya untuk memeriksa keadaannya, Rini langsung memelukku sambil menangis. Nindy segera menyuruhku untuk mengevakuasi Rini secepatnya, sehingga aku langsung memapah Rini keluar dari sana. Tanpa menunggu Reyhan, aku mengambil barang-barang Rini dan langsung membawa Rini kembali ke ruanganku. Tentu saja semua orang tampak terkejut melihatku datang membawa Rini dalam keadaan seperti ini. Namun saat ini yang kupikirkan hanyalah untuk segera menenangkan Rini.


"Kamu nggak apa-apa?"

"Iya, Rik... Untung kamu cepet datang. Tadi Pak Surya..."

"Ssst... Jangan ngomongin soal dia dulu. Apa dia udah..."

"Belum... Tapi kalau kamu datangnya telat lima menit aja, aku nggak tahu lagi bakal gimana..."

"Yang penting kamu nggak apa-apa. Itu aja."



Aku merapikan rambut Rini yang berantakan dengan lembut, sambil Rini menatapku. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu wajah kami semakin mendekat, dan akhirnya kami pun berciuman. Ini bukan ciuman pertamaku dengan Rini pada timeline ini, tapi entah kenapa yang ini terasa berbeda. Terasa lebih rapuh, seolah dia tengah mencari perlindungan dan kehangatan dariku. Rini yang rapuh adalah juga salah satu sisi Rini yang kurindukan. Sosok yang meski kini telah mandiri dan kuat, namun ternyata masih memerlukanku untuk melindunginya, bukan karena dia lemah, namun karena kami saling mengandalkan secara setara.


"TOK! TOK! TOK!"


Ciuman kami terlepas karena mendengar suara ketukan di pintu. Rini segera merapikan rambutnya sendiri sementara aku mempersilakan siapa pun pengetuknya untuk masuk. Begitu pintu kubuka, Reyhan pun masuk dan tampak agak heran melihat kami berdua.


"Saya tadi ke lantai lima tapi katanya Mbak Nindy Pak Erik sudah ke sini. Katanya Pak Surya tadi coba..."

"Iya, untung ada Pak Erik datang, Bang,"
balas Rini.

"Syukur deh kalau kamu nggak apa-apa, Neng. Makasih ya, Pak, udah nolongin Rini."

"Kalian itu di bawah aku, jadi ya kalian tanggung jawabku, sudah kewajibanku buat ngelindungin kalian,"
jawabku.


Pembicaraan kami terhenti karena Nindy juga datang. Aku segera menyuruh Reyhan untuk membawa Rini, dan Reyhan memegangi tangan serta merangkul pundaknya saat membawa aku keluar. Aku sedikit cemburu melihatnya, namun Nindy segera masuk dan menutup pintu.


"Rini baik-baik aja?"

"Dia baik-baik aja. Maaf tadi gue..."

"Sudahlah, yang penting Rini baik-baik aja."

"Lalu Surya gimana?"

"Pak Rommy sudah amankan rekamannya sebagai barang bukti. Semoga aja Board mau pertimbangin fakta bahwa Surya yang mengajak Rini ke Library."

"Syukurlah, semoga bisa lancar."

"But I got to be honest with you, this doesn't looks good, and things are going to be heated up next week."



Aku hanya diam saja.


"Yang nanti kita hadapi nanti saja, Nin."

"Ya, mau gimana lagi? Pastinya, enjoy your weekend, for next week will gonna be a hell of a week."



Next >>> Agreement
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd