Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Pada milih Rini karena Rini dlunya istri Erik. Sedangkan Metta punya tabiat selingkuh di timeline yang baru. Ya emng bener sih kata TS hahaha
 
Yang pilih rini karena istriable, yang pilih metta karena binal :lol:

Klo awal2 mungkin kebalik, bakal bnyk yg pilih metta karena kasihan & punya masalalu manis sama erik :dance:
 
Chapter 18:

A Little Thing Called Agreement



29 Juli 2012
Sebuah Hotel di Kawasan Jakarta Selatan
19:12 WIB



"Kamu mau ke mana, Baby?"


Langkah Metta terhenti ketika aku bertanya itu padanya. Dia sudah berdandan rapi dengan gaun belahan dan make up yang lumayan tebal.


"Eh, Bebeb, koq udah bangun?"


Aku hanya menggeliat di atas tempat tidur yang berantakan, masih dalam keadaan telanjang setelah pergumulan kami sepanjang sore ini. Kepalaku agak pusing dan mataku terasa berat, rasanya seperti baru tidur setelah lama tidak tidur.


"Masih capek banget nih... Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke supermarket sebentar, Beb, ada yang mau aku beli."

"Supermarket? Koq kamu pake dandan ke supermarket?"

"Ya, namanya juga cewek, Beb, ke supermarket juga wajib dandan lah."

"Ke supermarket apa nemuin cowok lain?"



Metta mendadak tercekat saat aku berkata begitu.


"Ih... Eng-Enggak lah, ya ke supermarket... Koq Bebeb ngomong gitu, sih?"

"You are so pretty... I don't want to lose you."



Kulihat Metta tersenyum, lalu dia berjalan ke arahku, duduk di ranjang sambil mengelus kepalaku dengan lembut.


"You won't lose me, Beb. Aku akan selalu ama Bebeb forever and ever."

"Beneran?"



Metta mengangguk sambil tersenyum.


"Bebeb masih ngantuk nih, bobok lagi, gih. Ntar aku cuman sebentar koq."


Aku langsung memeluk perutnya dengan manja.


"Ikut..."

"Ih, Bebeb apaan sih, kayak anak kecil aja."



Namun Metta mengatakannya sambil tetap tersenyum dan mengelus kepalaku. Pelan-pelan terdengar suara merdunya mengalun lirih.


"Rock-a-bye Baby on the treetops
When the wind blows, the cradle will rock
When the bough breaks, cradle will fall
And down will come baby, cradle and all"



Perlahan-lahan, dengan suara dan belaian lembutnya, aku pun mulai mengantuk kembali dan akhirnya mendengkur ringan. Aku masih agak sadar saat kurasakan dia mencium keningku dan berkata.


"I'm sorry, Baby... I promise I won't be long."


Kemudian dia memelukku dengan badannya yang terasa hangat, sebelum akhirnya dinginnya AC kamar kembali menyergap. Aku bisa mendengar suara ketukan langkah sepatu stiletto-nya yang menghilang di balik suara pintu tertutup.

Tampaknya baru beberapa menit aku kembali tidur saat bunyi notifikasi hape muncul dan membuat mataku langsung terbuka lebar saat itu. Aku duduk di ranjang sambil mengusap mukaku, sendirian di kamar ini, di hari yang penting ini. Kepalaku masih terasa pusing, entah kenapa ini. Aku lalu membaca layar hapeku dan mendengus kencang.


"Babe... I really wish you don't do that..."


Hape langsung kutaruh di ranjang dan aku pun bangun untuk ke kamar mandi sambil mulutku melantunkan kutukan. Pada layar hape itu masih terbuka pesan dari Adam yang berfungsi.


"I've fulfill my promise. Come to L*ngham room *** and see it for yourself, Bro. Minta kuncinya di resepsionis, and please, don't bother to knock."



Beberapa Jam Sebelumnya


"Happy Anniversary!!"


Metta bertepuk tangan saat kue yang kami pesan tiba. Kami kemudian tersenyum melihat lilin yang menyala sebelum akhirnya meniup semua lilinnya bersamaan, sambil kami berpegangan tangan. Semua orang di sana langsung bertepuk tangan begitu seluruh lilin telah mati. Untungnya ini bukan jenis lilin yang kalau ditiup akan mati sebentar sebelum menyala kembali. Gosh, I hate those candles.


"Yang ini buat Bebeb tercinta."


Metta memberikan potongan pertama kue vanilla itu padaku di dalam piring sambil tersenyum lebar. Aku menerimanya dengan senyum yang juga tak kalah lebar.


"Makasih bebebku, cantikku, manisku, cintaku."

"Moga-moga kita langgeng ya, Beb, till death do us part."

"Amin, amin. Just stay with me, Okay, things are going to get better hereafter."

"Iyaa, Beb. I'll be with you always, forever and ever. You are the only man in my heart, Beb."

"Makasih, Metta. I love you."



Andai saja aku bisa membalas sebagaimana apa yang dikatakan oleh Metta, namun tidak bisa. Ya, setelah Rini datang, mau tak mau Rini telah mengisi sebagian ruang di hatiku, yang dulu 100 persen kuberikan untuk Metta. Seharusnya aku bisa saja berbohong, namun agak sulit untuk mengingkari sesuatu yang oleh hatimu dijadikan sebuah kebenaran.


"Buka mulutnya, Aaaa..."


Aku membuka mulut dan Metta menyuapkan sesendok kue itu kepadaku. Sayangnya, dia memotongnya terlalu besar, sehingga kuenya langsung memenuhi mulutku. Dia tampak geli melihat pipiku yang menggembung karena kue itu.


"Hihihi, maaf ya, Beb, kegedean ya?"

"Hmmhhh iyaa nhhhihhghh..."

"Gak apa-apa, sekali-sekali, biar cepet gede."

"Khamu nigh.. Gakh ngerasain mulut penuh gini..."

"Enak aja, ya pernah lah. Tapi bukan kue."



Metta tampak tersenyum nakal. Lalu dia mendekat ke telingaku dan berbisik.


"Kepenuhan ama si Kontol Imut Lucu Kesayangan Metta."


Aku hampir saja tersedak mendengarnya bicara begitu, sampai-sampai kue di dalam mulutku menghambur keluar. Metta pun harus memberikanku gelas berisi air untuk kuminum agar kerongkonganku lega.


"Gila kamu, masih siang lho ini."

"Ih, napa emangnya? Tinggal naik ke kamar ini. Hihihi."

"Ya bentar lah, at least nunggu dessert."

"Nggak usah, kita naik aja, dessert-nya kita bawa ke atas."

"Terus makannya gimana?"



Metta berdiri lalu berputar, kemudian menunjukkan badannya kepadaku.


"On me, you eat from my naked body."


Aku tertegun mendengarnya. Jarakku dengan Metta saat itu amat dekat sehingga aku bisa mendengarnya walau dia berkata dengan lirih. Hanya saja, ini adalah waktu makan siang, di restoran hotel yang tengah banyak orang, jadi wajar saja aku cemas kalau ada yang mendengarnya.


"Damn, Babe, ini masih siang lho..."

"Terus kalau masih siang kenapa? Nggak mau?"



Metta mendekatkan dirinya padaku sambil menggerakkan telunjuknya pada dadaku. Sial, kenapa dia jadi seperti ini sih? Ke mana Metta yang dulu masih malu-malu itu? Kalau begini caranya, bisa-bisa orang-orang memperhatikan kami karena gesture-nya yang bitchy. Buru-buru aku meminta supaya dessert yang kami pesan, beserta kue hari jadi ini dibungkus, dan setelah membayar, kami langsung buru-buru menuju ke lift. Metta terus menggamit tanganku sambil tersenyum sepanjang perjalanan.


"Busyet, kamu ini kesambet apa sih, Met?"


Aku bilang begitu padanya begitu pintu lift tertutup.


"Kesambet setan cinta aku padamu, Bebebku sayang..."


Metta berusaha menciumku, namun aku coba menghindarinya, karena lift, apalagi di tempat umum, adalah tempat paling buruk untuk berbuat mesum. Ini karena CCTV pada lift memiliki jarak yang cukup dekat untuk mengenali orang.


"Sabar, Met, baru di lift."

"It's okay, nobody cares with just a kiss."



Dia kembali memelukku dan mengecup bibirku, dan kini aku membalasnya meski hanya ciuman sopan biasa.


"Hihihi, bibir Bebeb bau latte."

"Ya, kan aku tadi minum latte, Beb. Ntar aku sikat gigi dulu deh."

"Gak apa-apa, aku suka koq. As long as it comes from you."



Kami kembali berciuman erat, bahkan sambil berpelukan. Karena tanganku membawa bungkusan berisi kue dan dessert, maka Metta-lah yang lebih agresif. Aku bahkan sudah tak mempedulikan ada CCTV di lift ini. Begitu lift membuka kami segera keluar, dengan aku menggendong Metta di punggung menuju ke kamar kami. Sepintas kami berpapasan dengan sepasang pasutri bule yang hanya geleng-geleng kepala saja sambil tersenyum.


"They must be newlyweds."


Begitu kata si suami bule saat kami melewati mereka. Nope, bukan newlywed, hanya anniversary kami berpacaran, mister.

Begitu kami berhasil masuk kamar, aku langsung meletakkan bungkusan di tanganku di atas meja, lalu langsung memeluk dan mencium Metta sambil menggendongnya di depan. Setelah kembali ke 2009, aku memang jadi rajin nge-gym sehingga kini badanku lumayan bagus, tak sebuncit diriku tahun 2021, dan aku pun jadi bisa menggendong dan mengangkat Metta sesukaku, karena bobotnya jadi terasa ringan di tanganku.

Tanganku lalu menyelusup dan menyingkap di balik rok Metta, lalu meremas pantatnya yang menggoda itu hingga dia berteriak keenakan. Kumasukkan ke dalam celana dalamnya dan mulai meremas serta menggelitik anusnya yang terasa berkerut di ujung jari telunjukku.


"Ih, Bebeb nakal!"

"Tapi kamu suka, kan?"



Metta mengangguk, lalu kembali menciumku memompakan liurnya banyak-banyak ke dalam mulutku lalu menyedotnya kembali sambil lidahnya bergulat dengan lidahku. Saat ciuman kami terputus, tampak ludahnya membentuk pipa transparan tipis yang kemudian putus dan menempel pada dagu, leher, serta dadanya.


"Bebeb, bersihin si Kontol dulu dong."

"Kenapa? Bukannya kamu suka kalau si Kontol masih kotor gini ya?"

"Aku lagi pengen aja..."

"Hmm, ada sesuatu nih, pasti. Oke, aku ke kamar mandi dulu yaa."



Aku bangkit dan mencium Metta di bibir sebelum bergerak ke kamar mandi. Biasanya memang Metta tak pernah memintaku mencuci kontol, karena dia pernah bilang lebih suka bila si kontol apa adanya, karena baunya lebih menggairahkan. Jadi bila dia meminta begini, pasti ada sesuatu yang lain, bukan sekadar ingin main dengan kontol bersih saja.


"Udah belum??"


Tanyaku dari balik kamar mandi.


"Belum, bentar lagi!"


Aku sudah dalam posisi membuka semua bajuku hingga telanjang bulat. Di depan cermin besar, sejenak kukagumi badanku sendiri. Ya, ini badan yang berbeda dengan aku yang menikah dengan Rini. Perutku sudah lebih rata dan berotot, bukan lagi buncit berlemak. Andai saja Rini melihatku seperti ini, tentu dia akan lebih senang. Yah... Damn, kenapa aku memikirkan Rini lagi?? Sudah jelas aku berubah seperti ini bukan untuk Rini, tapi untuk Metta. Sadar, Erik, sadar! Kamu sudah meninggalkan Rini pada 2009 lalu, dan memilih Metta! Be consistent with your choice!


"Oke, Bebeb, ayo ke sini."


Suara Metta itu sontak membuatku tersadar dari lamunan. Kupantas-pantaskan diriku yang telanjang, sambil kutimang-timang kontolku yang berukuran standar namun pernah menikmati berbagai macam meki wanita-wanita cantik. You've done good this timeline, begitu kataku pada kontolku seolah dia adalah entitas yang bernyawa. After all, rata-rata feedback yang kudapatkan pun bagus, misal Vinny yang lebih memilihku daripada Samuel yang senjatanya lebih besar.


"Bebeb!!"

"Coming, dear!"



Aku keluar kamar mandi dalam keadaan bugil dan kontol yang setengah tegang. Apa yang kulihat membuatku semakin bersemangat. Metta tiduran di ranjang, tak memakai apa-apa selain balutan pita warna marun yang bahkan tak menutupi apa-apa. Seluruh tubuhnya terlihat mulus, termasuk mekinya yang memerah tanpa rambut. Sepertinya untuk hari ini Metta sudah bertindak habis-habisan untuk perawatan dirinya, untukku. Kue anniversary kami tampak ada di ranjang di sampingnya. Saat melihatku, Metta mengambil kue itu dengan tangannya dan melepetkan frostingnya pada tubuhnya.


"You want to eat from me, Master?"

"Wah, kayaknya bakal bayar denda laundry lagi nih..."

"Hahaha, kapan sih kita kalau nginep di hotel nggak bayar denda laundry?? Come on, follow the flow, lah."

"Oke, oke. Aku mau."

"Ke sini dong, kalau mau..."



Metta mengedipkan mata lalu memberi isyarat dengan telunjuknya supaya aku mendekat. Aku pun bergerak mendekat, dan saat akan naik ke ranjang, tangannya menghentikanku, jadi aku hanya berdiri tepat di tepian ranjang.


"Is that a present for me, Master?"


Metta mengatakannya dengan pandangan mata nakal dan memain-mainkan ujung kontolku dengan jarinya. Rasanya agak geli saat kukunya bersentuhan dengan lubang kencingku.


"If you behave well..."

"You want me to be good or to be bad?"



Dia lalu memegang kontolku dan menggelitiki lubang kencingnya dengan ujung lidahnya. And that is so... Damn! Susah menggambarkan rasanya dengan kata-kata. Kombinasi tangan lembutnya, gelitikan lidahnya, serta hembusan nafas hangatnya pada kepala kontolku membuatnya langsung tegang.

Metta lalu menghentikannya dan mengambil sebuah pita merah berenda, lalu mengikatkannya pada kontolku.


"Sekarang baru keliatan kayak hadiah. Hihihi."


Oh fuck! Aku sudah tidak kuat dan ingin segera menerkamnya, namun Metta menghentikanku. Dia terus memainkan ujung kepala kontolku, dicium, digelitiki lubangnya dengan lidah, hingga batangnya digosokkan pada mukanya seolah itu produk perawatan wajah. Cairan precum-ku pun melekat pada beberapa tempat di mukanya.

Kemudian dia memasukkan kepala kontolku dalam mulutnya dan menghisap-hisapnya sambil tangannya memijat zakarku. Itu membuatku kelojotan hingga lututku terasa lemas untuk berdiri. Aku sampai memegang pundak Metta supaya tidak jatuh, dan tentu dia pun gelagapan karena aku lebih berat daripadanya.


"Ati-ati, Beb, jangan ampe jatuh."

"Iyaa, habisnya kamu sedot gitu berasa langsung kopong lututnya."

"Hihihi, kayak disedot nyawanya gitu ya?"

"Hooh..."



Metta tersenyum lalu dia memain-mainkan kepala kontolku dengan lidahnya sambil zakarku diremas-remas pelan. Ugh, gila sekali rasanya, kenikmatannya benar-benar menggelegak hingga ke ubun-ubun. Kuintip sebentar dan bagian selangkangannya terlihat mengkilap, sepertinya ini pun membuat basah Metta.

Setelah itu, Metta berhenti memainkan kontolku lalu dia tiduran di kasur. Sekali lagi dia mengambil sebongkah kue dengan tangannya dan dioles-oleskan pada tubuhnya, sehingga kulit Metta yang mulus kini dikotori oleh remahan dan frosting dari kue itu.


"The cake is ready, Master."

"Yes, Master will taste now."



Aku mulai merangkak di atas kasur untuk menghampiri Metta. Saat ini aku tidak bisa memutuskan mana yang lebih membuatku tergiur: Metta, kuenya, atau fakta bahwa Metta mengoleskan kue itu pada tubuhnya. Sudahlah, bodo amat... It's time to eat my cake!

Dengan ganas aku mulai menjilat dan mengelamut remahan kue dan frosting dari perutnya, menjilati hingga ke dasar pusarnya yang bersih tanpa kotoran itu. Metta tampak terkikik kegelian, namun saat aku ingin turun ke bawah dan menjilat bukit mekinya yang mulus, Metta menahanku.


"Save the best for later, Babe. Makan kuenya dulu, yuk?"


Baik, bila memang itu maumu. Aku lalu mengelamut naik meninggalkan suara seperti "chomp, chomp, chomp" saat mulutku merumput sisa-sisa remahan kue. Kuangkat susunya dan mengelamut dasar bukit itu, sambil Metta terus meracau. Kucubit-cubit areolanya yang licin karena buttercream pada frosting, sambil aku terus menghabiskan remahan kue di area perut dan bagian bawah dada.


"Aaahh... Yaahh... Terus, Babe... Aaahhh... Babe.."


Rasanya tentu saja cukup nano-nano. Kue dan frosting yang manis dengan bau vanilla berpadu dengan wewangian serta aroma alami tubuh Metta yang entah bagaimana bisa berpadu dengan amat baik menggelitik indra penciumanku. Metta benar-benar memikirkan semuanya dengan amat saksama, dari pakaian, pita, kue, hingga parfum dan wewangian yang dia pakai dari pagi sehingga pada momen ini berpadu dengan amat sempurna. Aku benar-benar memujinya yang melakukan ini hanya untukku. Sementara itu aku terus merumput hingga sampai ke puncak payudaranya. Kujilati semua frosting yang ada di sana dan menyedotnya hingga Metta beberapa kali harus menghela nafas dalam tertahan. Kue, frosting, kini belepotan di mana-mana, di badan Metta, di badanku, rambut kami berdua, seprai, selimut, hingga bantal, namun kami tak peduli. Bau manis kue pun mulai bercampur dengan keringat Metta yang mulai bercucuran, menciptakan kombinasi aroma yang memabukkan.


"AAAHH!!! BEBEB!!!"


Metta berteriak karena dengan kasar aku mengambil sebagian kue yang kini bentuknya sudah tidak beraturan, dan kulumurkan di ketiaknya yang terbuka lebar sehingga mau tak mau dia harus menjaga supaya ketiaknya tetap terbuka. Dia sudah tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya sehingga mukanya tampak bersungut-sungut walau matanya tak bisa menyembunyikan bahwa dia menantikannya.


"Hmmpphhh... Choommpp... Sluurppp..."

"Ahahahahaha... Ahaaah... Ahaah... Bebeb!! Geli ketek aku, Bebeb!! BEBEB!!"



Aku terus menjilat dan mengecup ketiak Metta, walau sudah tak lagi ada kue tersisa. Metta sendiri berusaha mempertahankan posisinya seolah sedang terikat. Tak lupa tanganku memegangi salah satu susunya dan menjepit serta memainkan pentilnya dengan ibu jari dan telunjukku. Lama-lama Metta pun kelojotan juga dengan rangsangan ini.


"Bebeb!! Bebeb!! Udaaah... Hgghh... Aaaahh... Udaaaah, Bebeeeeb!!!"


Aku berhenti. Metta tampak tersengal-sengal dan kurasakan detak jantungnya cepat memburu. Raut mukanya pada saat ini benar-benar sensual dan amat menggairahkan dengan duck face yang lucu, hingga membuatku ingin menyetubuhinya. Itu baru muka, belum badannya yang memang luar biasa seksi.


"Want some cake?"


Metta mengangguk. Aku segera mengambil segenggam kecil kue dan kumasukkan ke dalam mulutku. Kukunyah-kunyah sebentar, dan tampaknya Metta tahu apa yang akan kulakukan, karena mulutnya kini terbuka lebar dengan lidah terjulur. Lalu pelan-pelan kudekatkan mulutku padanya, dan kuludahkan kue yang sudah kukunyah itu ke dalamnya. Metta langsung menyambutnya, bukan hanya pasif menunggu lumatan kue jatuh, dia juga mengangkat kepalanya dan memburu kue lumat yang jatuh dari mulutku hingga akhirnya mulut kami saling beradu. Dengan liar, Metta menggerakkan lidahnya menjelajahi bagian dalam mulutku, mencoba mengambil sisa-sia rasa manis kue vanilla yang tersisa. Aroma manis itu kini berubah menjadi aroma ludah yang membuatku bergairah. Kami saling melumat mulut selama entah berapa lama, karena aku ingin sekali merasakan dan menaklukkan setiap inci dari mulut Metta, hingga dia seperti kehabisan nafas.


"CPAAK!!"


Bunyi kecipak saat kedua mulut kami yang beradu terpisah terdengar amat keras, bahkan sampai-sampai Metta harus menarik napas dalam-dalam hingga terdengar suara lenguhan. Aku menunggu hingga Metta mulai bernafas stabil sebelum akhirnya mulai mendekat dan berdiri di atasnya. Kutarik pita yang mengikat badan Metta itu, dan dalam sekali tarik saja pita merah marun itu pun lepas, menunjukkan Metta yang kini tak memakai apa-apa lagi, dengan kulit yang putih mengkilat karena ludahku saat memakan setiap inci kue yang menempel di sana. Mata kami saling bertatapan, seolah sedang melakukan pembicaraan tanpa suara.

Aku kemudian menarik Metta hingga dia berada di posisi duduk sambil kakinya pun bersila. Posisi kepalanya tepat berada di depan kontolku yang masih terikat oleh pita. Tanpa dikomando, Metta pun membuka pita itu, bagaikan seorang anak yang tengah membuka sebuah hadiah ulang tahun. Dia berhenti sejenak dan melihat kontolku yang kini berdiri nyaris tegak, menyentuh dan mengelusnya layaknya itu piaraan yang amat berharga.



"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, aku cuman selalu suka ama si Kontol, nggak tahu kenapa..."

"Yakin?"



Metta hanya mengangguk.


"Kayak the best aja gitu, lucu, nggak gede, tapi selalu bisa bikin aku puas."

"The best... Emangnya kamu bandinginnya ama siapa, hayo?"

"Ih, jangan salah paham, Beb, maksudku kayak kontol-kontol di bokep-bokep gitu... Kayaknya kalau dilihat-lihat bagusan si Kontol banget."

"Masa?"

"Iya... Aku sayang banget deh ama si Kontol ini."

"Kalau sayang mau diapain?"

"Ya, disayang, dielus-elus, dicium-cium macem gini."



Aku tersenyum saja saat Metta mengelus dan menciumi kontolku. Bukan hanya dengan tangan, dia bahkan menempelkannya ke pipi, lalu diciumi dari lubang, kepala, leher, hingga batang dan kedua bolanya. Dielus, dicium, dibelai perlahan, hingga terasa geli sekaligus berat karena tegang, namun juga hangat dan lembut karena pipi Metta. Aku sendiri kadang heran karena dia suka sekali melakukan ini, apa skincare-nya tidak luntur ya, berganti sama bau kontolku?


"Rasanya gimana sih?"

"Ya, lembut aja, kenyel-kenyel gimana gitu, ama lucu, bisa gerak-gerak sendiri... Duh, cepet mbanget ini kerasnya, udah kayak pentungan aja."



Semakin kontolku mengeras, elusan Metta pun berubah menjadi kocokan ringan, dari pangkal ke ujung, ujung ke pangkal, masing-masing dengan tekanan dan tempo yang berbeda. Metta sudah amat terbiasa dengan kontolku sehingga dia bisa mengetahui ritmenya. Yah, unlike what others' thinking, ngaceng atau ereksi bagi cowok secara normal bukanlah perkara yang mudah. Ada tempo, ada fase, ada window of opportunity. Masing-masing fase memiliki tempo, tingkatan, dan perlakuan yang berbeda pula. Bila ritmenya benar, ereksi bisa dijaga sedemikian rupa, but if you missed your chance, ya kentang, karena sekali lemas, membangkitkannya kembali bakal agak susah, apalagi bila itu partner lama, kecuali dia amat sangat expert. Hence, mungkin ini juga penyebab cowok punya kecenderungan untuk "jajan", ya karena seiring waktu, mereka akan menganggap skill partner mereka sebagai monoton atau droning, melakukan tempo yang salah pada fase yang salah sehingga tak lagi terasa nikmat, di samping makin lama si partner mulai tidak lagi meng-upgrade penampilan. Itulah yang kualami bersama Rini, namun tidak begitu dengan Metta. Kemampuan Metta untuk seolah bisa berkomunikasi dengan kontolku membuatnya selalu bisa menyesuaikan tempo pada tiap fasenya, entah itu dengan tangan, lidah, mulut, bahkan meki.


"Aku tuh suka soalnya kayak pas aja gitu..."


Terasa hangat dan lembab saat Metta memasukkan kontolku ke mulutnya, rasanya seperti masuk ke dalam sebuah kenyamanan yang nikmat. Dia menyepong kontolku sebentar hingga basah, kemudian mengocoknya dengan tangan sambil tertawa.


"Tapi kan si Kontol nggak gede."

"Nggak apa-apa, suka aku malahan, enak buat ngemutnya, kayak pas di mulut gitu."

"Di mulut?"

"Di meki juga, pas aja gitu, gak kelebihan, gak kekurangan..."

"Koq tahu?"

"Temen... Temen aku pernah cerita kalau dia maen ama bule kontolnya kegedean, jadinya sakit gitu... Beneran, ada temen aku cerita gitu."



Sebelum aku merespons, Metta kembali memasukkan dan menyedot kontolku kali ini dengan kuat hingga aku merasa seperti tersetrum sepanjang saluran di dalam kontol, dari lubang ke pangkal prostat lalu menjalar bak petir ke seluruh tubuh, membuat seluruh sendiku berasa lemas dan bergoyang akibat kehilangan kekuatan. Sensasi ini benar-benar sulit digambarkan dengan kata-kata, apalagi Metta pun meremas-remas zakarku bagai squishy dan juga menusuk anusku dengan telunjuknya. Aku merasa seolah tulang panggulku hendak lepas dari tempatnya dan hilang begitu saja, hingga kontolku pun melesak amat jauh menyenggol cincin tenggorokan Metta. Kurasakan bibir dan hidungnya menghantam selangkanganku dengan kontolku yang semakin panas.


"Hihihi... Enak, Beb?"

"Ennnaaaaggghhhhhh... Enak bhangeeeeeet..."

"Ampe geter gitu, padahal belum keluar lho..."

"Iyaa, sepongan kamu bikin pinggulku jadi kayak copot."



Metta tersenyum, sepertinya dia senang bila dipuji begitu. Dia terus mengocok kontolku dengan tempo yang makin lama makin cepat. Aku sendiri tertegun, tidak biasanya Metta melakukan ini seolah ingin aku ejakulasi di luar. Dia biasanya selalu ingin aku menumpahkan sperma entah di rahim, di anus, atau di mulutnya.


"Met, mau ngapain? Bentar lagi keluar nih, Sayang."

"Iyaa, tenang, diem aja."

"Tapi..."

"Ssst... Diem, oke?"



Aku langsung berhenti protes. Kocokan Metta semakin kencang, menyesuaikan dengan fase kekerasan kontolku, dan jelas terlihat bahwa dia ingin mengeluarkan itu di sini saat ini. Build up pun terjadi, aku yakin Metta bisa merasakan pangkal kontolku yang menegang dan batangnya yang siap berkedut. Saat itulah dia berhenti, mengambil kue yang tinggal sisa amat sedikit di piring, lalu hanya dalam jeda sedetik dia kembali mengocoknya lebih keras hingga terasa tekanan naik dari pangkal menuju ke ujung lubang.


"I'm... cummiiiiiiiiiiinnnnngggggg!!!"


Spermaku meledak seperti keran hidran yang terbuka, meluncurkan batch pertama ke arah wajah dan rambut Metta yang hanya tertawa saja menerimanya. Setelah itu dia mengarahkan ujung kontolku pada piring kue yang dibawanya hingga spermaku menyemprot ke kue dan piring bagaikan sebuah vla. Metta memastikan dia memerah hingga tetes terakhir, membuat kontolku terasa ngilu hingga ke bokong, dan aku pun ambruk.

Nafasku masih terengah-engah satu dua ketika kulihat Metta memakan sisa-sisa kue sambil mencocolkannya pada spermaku. Caranya memakannya benar-benar dibuat-buat seolah menggodaku, dengan lidah terjulur panjang, lalu kue bersperma itu diangkat hingga spermanya menetes-netes ke dalam mulutnya sebelum dimasukkan semuanya dengan bunyi dengungan "hmmm" seolah itu sesuatu yang amat nikmat. Tak lupa dia pun menjilati ujung-ujung jarinya yang belepotan kue dan sperma. Semua kulihat terjadi seolah dalam gerakan lambat, atau mungkin memang Metta melakukannya dalam tempo lambat??


"Enak lho ini, Bebeb mau?"


Aku menggeleng. Makan kue dengan saus spermaku sendiri?? Tidak, terima kasih. Namun aku yang masih lemas tidak bisa berbuat apa-apa selain menggeleng saja, dan Metta tahu itu.

Dengan nakal, Metta melihat ke arahku, lalu dia mengambil sebongkah kue, melapisinya dengan lebih banyak spermaku, dan ketika aku sedang membuka mulutku untuk bernafas, dia tiba-tiba menjejalkannya ke dalam mulutku.

Aku tentu saja terkejut dan berusaha untuk melawan, namun dia langsung mencium mulutku supaya tidak memuntahkannya sambil tangannya yang bebas menahan pipiku agar tidak bergerak. Sial! Bukannya dia juga baru makan kue bersperma?? Aku tak bisa berbuat apa-apa selain akhirnya memakan dan menelan kue berlapis spermaku sendiri. Rasanya seperti bau pembersih atau kaporit yang melapisi lidahku dengan rasa gurih yang ganjil dan tiba-tiba tenggorokanku terasa kering dan seret untuk menelannya, namun Metta memompakan banyak liurnya ke dalam mulutku hingga banjir, membuatku tak punya pilihan lain.

Bagaimana rasa sperma? Sebenarnya menurutku tidak ada rasanya, hanya bau seperti pemutih atau kaporit yang agak kuat, apalagi dimakan bersama dengan kue yang manis, yang entah apakah ini sungguhan atau hanya dalam pikiranku saja, membuatnya terasa agak sedikit gurih. Jujur saat Chandra meminum spermaku yang kutumpahkan di meki Nindy, aku agak-agak penasaran, namun tidak sampai taraf benar-benar ingin mencoba juga. Kalaupun terasa kesat dan panas, mungkin itu hanya pemikiranku karena menelan spermaku sendiri.


"Enak, kan?"


Aku tidak menjawab, hanya memelototi Metta yang tertawa melihat reaksiku.


"Bebeb harus coba juga walau cuman sekali, soalnya buat aku sperma Bebeb itu enak banget rasanya, hihihi."


Kutelan ludah sekali lagi, hanya untuk membersihkan sisa spermaku yang masuk ke kerongkongan. Sial, mungkin aku akan mulas malam ini. Pemikiran tentang spermaku sendiri menari-nari di dalam perutku membuatku geli, sekaligus juga jijik. Entah bagaimana Metta bisa tahan berkali-kali meminum dan menelan spermaku, aku harus memberinya penghargaan akan itu.


"HMPPHH!!"


Aku kembali tak sempat berpikir karena Metta langsung mengangkangi dan menggosok-gosokkan kontolku pada mekinya yang basah. Dia mulai dengan gerakan seperti orang mengendarai kuda, namun yang dikendarai bukan kuda, melainkan kontolku yang masih belum begitu tegang setelah keluar tadi. Entah karena memang sudah tahu temponya atau bagaimana, kontolku lambat laun semakin mengeras, dan menjadi licin karena cairan meki Metta yang kental itu. Tentu saja Metta mengetahui perubahan ini, karena kulihat dia tersenyum.


"Ih, si Kontol udah bangun lagi... Bebeb suka ya?"


Aku hanya mengangguk. Metta memberiku pandangan mata hangat sambil tangannya menumpu pada badanku. Gerakan pinggul Metta lama-lama berubah menjadi seperti menangkup dan kurasakan kepala kontolku mulai sering membentur sesuatu. Ya, itu adalah mulut meki Metta. Dengan keahlian gerakan Metta, lama-lama aku merasa kepala kontolku mulai masuk, mulai masuk, mulai masuk, dan...


"BLESSS"

"AAAAAAGGGGGHHH... Enaaaakkkk..."



Lenguhan panjang Metta yang kencang menandakan bahwa kini kontolku sudah bersarang sempurna di dalam mekinya. Dia melakukan beberapa gerakan penyesuaian sehingga makin lama kontolku menancap dengan semakin sempurna. Dinding meki Metta pun kurasakan mulai mencengkeram batang kontolku, bukan seperti meremas, tapi seperti memberikan pelukan yang hangat serta mesra.


"Fit like a glove!"


Aku hanya tertawa saja. Namun bila dipikir-pikir memang benar, karena aku merasa dengan Metta ini kontolku benar-benar bisa pas seolah memang sudah tercipta sebagai pasangan bak keris dan warangka-nya. Walau bisa jadi aku berpikir begini karena memang sugesti saja dari Metta yang terus menerus mengatakan itu karena toh, bukankah meki wanita mana pun pasti akan bisa pas pada kontol kita??


"Aaahhhh... Issshhhh..."


Metta mulai menggenjot dengan kontolku ada di dalamnya. Gerakan kontolku yang masih agak tertahan oleh liang meki Metta benar-benar luar biasa. Sudah berapa lamakah aku bercinta dengan Metta, dan mekinya masih saja terasa legit sebagaimana pertama kali kami melakukannya. Well, mungkin tidak tepat juga bila dibilang begitu, namun rasanya memang seolah mekinya tak melebar sama sekali. Pas di posisi itu, pas untuk batang kontolku, dan seperti dia bilang, like a glove. Aku melirik sebentar ke bawah dan kontolku tampak berlumuran cairan meki yang putih seperti sedang dilumuri busa sabun, dan tampak agak menggelikan sekaligus menjijikkan.


"Ngapain ngeliatin... Aaah..."

"Enggak... aah... Kayak geli aja ngeliatin si Kontol kalau pas kayak gitu..."

"Ih, bukannya dari dulu emang kayak gitu ya? Aaahh... Ugghh..."

"Jarang lihat aku... Isshh... Jelek gitu jadinya..."

"Biarin aja jelek... aahh... Yang penting bisa bikin aku puas..."



Metta turun dan aku pun mendekapnya. Kami berciuman sambil kedua pinggul kami masih terus saling menggenjot. Untuk sesaat, yang terdengar hanyalah suara tumbukan pinggul kami bersama-sama, dengan disertai suara kecipak becek dan kesatan kontolku yang bergesekan dengan dinding meki Metta. Pada saat itulah aku merasa Metta dan aku menjadi satu tubuh.

Setelah agak lama, aku pun berbalik dan mengubah posisi sehingga kini Metta terbaring di bawah, dan kakinya kunaikkan hingga ke bahuku, dan pinggulnya pun terangkat, membuat kontolku kini bisa menumbuk dengan lebih dalam. Kupegangi mata kaki Metta yang tampak tersenyum. Ya, bila wanita saat bercinta biasa menutup mata serta membuat ekspresi menahan sakit, Metta berbeda karena selalu tersenyum seolah dia benar-benar menikmatinya, menikmati setiap tumbukan kontolku dengan mekinya, dan itulah yang amat menarik dari Metta, karena membuatku merasa bahwa aku benar-benar membahagiakannya. Terkadang aku berhenti sejenak ketika kurasakan pinggulnya menegang dan bergetar tanda dia orgasme, sebelum berlanjut kembali saat badai orgasme itu berlalu.

Entah berapa lama aku terus menggenjot Metta sambil berganti gaya tanpa melepas kontol atau mengendurkan temponya. Kini kusetubuhi Metta dalam posisi miring, yang membuat mekinya tambah kencang meremas kontolku, dan senyumannya pun mulai menyusut, hanya wajah dengan ekspresi yang sange, mulut terbuka, mengeluarkan kata-kata tanpa suara, hanya suara nafas yang bergetar terguncang.

Kamar ini dingin oleh AC, namun keringat kami terus bercucuran, menetes dan menyatu, dengan aroma yang bermacam-macam, dari kue, frosting, wewangian Metta, wewangianku, dan bau feromon alami kami berdua yang membentuk miasma yang susah dijelaskan. Metta menjulurkan tangannya dalam posisi miring itu dan memegang tanganku erat-erat. Ototnya yang menegang bisa kurasakan tanda dia menahan sesuatu yang amat berat dalam tubuhnya.


"You're cumming??"


Metta tak menjawab, hanya mengangguk kencang sambil coba menahan desahan. Dalam kondisi ini, artinya dia ingin aku segera menyudahinya. Lagi pula sudah berapa lama pula kami bersetubuh? Aku sudah tak lagi memperhatikan waktu, yang kutahu kini hanyalah hasrat primal untuk melepaskan birahi. Semakin kencang dan dalam kontolku kubenamkan, Metta pun semakin erat dalam memeluk kontolku dengan mekinya. Lalu rangkaian otot yang menegang pun dimulai, Metta menarik tangannya dengan amat kuat seperti mengambil ancang-ancang.


"Bebeb!! I'm cumiiiiiiiiiinnngggggg!!!!"


Getaran pinggul Metta yang entah berapa skala Richter menggoyang kontolku yang ada di dalamnya, merangsangnya untuk juga segera melepaskan amunisinya. Badan Metta menegang, kaku di beberapa tempat, namun berguncang di tempat lain dengan suara lenguhan tertahan dan mata yang hanya terlihat bagian putihnya. Saat dia mulai mengendur, saat itu pula kontolku melepaskan amunisi dan segera saja merangsang Metta untuk kembali menegang demi menerima semprotan demi semprotan sperma. Kubenamkan dalam-dalam hingga kedutannya memudar dan berakhir dan membuat rahim Metta terasa penuh, sebelum kulepaskan hingga spermaku meleleh mengalir keluar dari mekinya yang melebar dan berkedut-kedut.


"Damn..."


Begitu rutuk Metta sambil menuntaskan sisa badai orgasme dan menstabilkan nafasnya. Kakinya masih tertekuk ke samping sementara lelehan spermaku masih memaksa otot pinggul Metta untuk sesekali melakukan spasm. Baru setelah nafasnya stabil, Metta pun duduk dan memeriksa mekinya, melihat lubangnya yang melebar dan spermaku yang masih mengalir.


"Gila, banyak banget sih, Beb, spermanya? Anget lagi rasanya..."

"You like it?"



Metta hanya tersenyum lalu dia menggosok-gosok perut bagian bawahnya sambil bergumam.


"Moga-moga jadi ya, moga-moga jadi..."


Aku mengambil air mineral dari meja dan membawakannya pada Metta yang langsung menenggak hingga separuh botol tanpa jeda. Sepertinya dia lelah dan haus sekali. Setelah menarik nafas lega, kembali Metta menggosok perutnya dan menggumamkan perkataan yang sama. Aku hanya tersenyum saja.


"Emang kalau jadi maunya dapet apa?"

"Umm, apa ya? Pengennya sih cowok, tapi kayaknya dapet cewek lucu juga. Kamu sendiri?"

"Apa aja boleh, tapi kalau boleh sih cewek."

"Hayo, mau kamu namain pake nama mantan kamu ya?"

"Mantan apaan? You are my first and only love, Met."

"Beneran?"



Aku mengangguk, dan ini membuat Metta tersenyum senang.


"Metta Prameswari Liunata, you are the most beautiful grace of God that ever been bestowed to me, now and forever, and ever, and ever."


Aku lalu menciumi pipinya hingga Metta menggeliat seperti kegelian. Dia kemudian berbalik menghadapku dan menyentuh mukaku, seolah ingin meneranya. Aku mencium telapak tangannya saat sampai di depan bibirku, telapak tangannya yang selalu hangat dan lembut.


"Kamu juga, Beb... You're the best man that ever been in my life, and I'll be forever grateful to have you, Erik Setiyadi. So let us stay together, forever."

"No matter what?"



Metta mengangguk. Aku kemudian mencium bibirnya, dan kami berciuman dengan mesra dan hangat selama beberapa saat. Metta yang selalu indah dan rapuh, Metta yang selalu kusayang, dan pada saat ini seluruh pikiranku hanya berfokus pada makhluk cantik yang ada di depanku ini, yang hangat tubuhnya terasa menyelimutiku dengan nyaman, di mana aroma parfum di seluruh dunia ini tak sebanding dengan aroma alaminya yang tegas menggelitik hidung.


"TIIT!! TIIT!! TIIT!! TIIT!!"


Mendengar bunyi itu, tiba-tiba kulihat ekspresi muka Metta berubah, seolah ada semburat kemurungan yang kini mengisi raut mukanya. Rupanya hapenyalah yang berbunyi, sepertinya bukan panggilan atau notifikasi, hanya alarm.


"Sudah jam 5 sore..."

"Terus kenapa?"

"Nggak apa-apa, aku emang selalu set alarm jam 5 sore, soalnya itu jam pulang kantor di KSI."

"Nakal ya, bukannya alarmnya dipasang jam masuk kerja."

"Eh, ya terserah dong. Kan aku juga mau tenggo, hihihi."



Metta tertawa, kemudian mencium kedua pipiku dan keningku.


"We haven't eat the dessert."

"Ah iya... Mau dibantu diolesin?"

"Nggak ah, dimakan biasa aja, capek."

"Oke, aku ke kamar mandi dulu, ya."



Aku mencium Metta sekali lagi, kemudian beranjak ke kamar mandi. Di sana, aku langsung cuci tangan, cuci muka, pipis, dan mandi membersihkan sisa-sisa persetubuhan kami tadi. It's been a wonderful day, dan so far, Metta menunjukkan komitmennya untuk 100 persen berada bersamaku pada hari ini, hari besar bagi kami berdua. Hanya saja, masih ada 7 jam lagi sebelum hari ini berakhir, dan entah kenapa tiba-tiba terpikir olehku mengenai Adam. Berengsek, kenapa si bajingan itu harus muncul di pikiranku saat aku tengah berdua dan bahagia dengan Metta begini?? Bayangan Adam yang mengejek dan menertawaiku tampak muncul dari bayangan tembok kaca yang terkena air.


"SETAAANNN!!!"

"BRAAAKKK!!!"



Aku meninju tembok kaca tebal yang membatasi shower booth di kamar mandi ini. Tentu saja tidak pecah, karena ini semacam kaca antipeluru. Memecahkan kaca setebal ini tak bisa bila hanya menggunakan bogem mentah saja. Hanya saja suaranya terdengar cukup keras hingga keluar kamar mandi. Buru-buru Metta masuk ke kamar mandi dengan raut muka yang khawatir.


"Kenapa, Beb?? Ada apa??"

"Oh, nggak apa-apa..."



Aku mengangkat tanganku yang terlihat kemerahan, dan melihat itu, Metta tampaknya bisa menyimpulkan apa yang terjadi.


"Kamu kebentur tembok kaca???"

"I-Iya, kepeleset tadi..."

"Ya ampun... Sakit? Yang mana yang sakit?? Kakinya?? Tangannya??"


Dengan nada khawatir yang tulus, Metta pun memeriksa semua badanku. Tidak ada yang salah, hanya tanganku saja yang kesakitan. Entah apa Metta akan merasa janggal atau tidak dalam situasi ini.


"Kamu itu bisa nggak sih, hati-hati, Beb?? Kemaren di pulau ampe keseleo, sekarang kena lagi."

"Nggak apa-apa kalau yang ini."

"Nggak apa-apa gimana?? Merah gini, liat."

"Nggak sesakit yang kemarin, paling ntar udah sembuh."


Metta hanya mendengus dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia lalu melepas kimono yang menutupi badannya sehingga dia kembali telanjang, kemudian dia menyuruhku duduk, dan dengan mengambil kepala shower lalu membasuh semua badanku.


"Met... Aku bisa mandi sendiri..."

"Nggak boleh, ntar kamu kepeleset lagi."

"Tapi..."

"Udah diem aja, nurut, biar nggak kenapa-kenapa!"



Jadilah akhirnya aku dimandiin oleh Metta, dia dengan telaten, walau agak kasar, mencuci, menggosok, menyabuni, bahkan mengeramasi rambutku. Saat menyabuni kontolku, dia melakukannya agak lama, mungkin karena secara umum Metta memang gemar bermain-main dengan kontolku, karena dia memang suka, namun tak ada lagi ronde tambahan. Melihat kesungguhannya dalam memandikanku ini aku jadi merasa amat bersalah. Kenapa aku masih saja berburuk sangka bahwa dia akan mendatangi Adam hari ini? Ah, sudahlah, mungkin memang ini hanya ketakutanku saja. Sejujurnya aku memang menikmati momen ini, hingga ketika Metta mengeringkan badanku dengan handuk.


"Sudah, Bebeb sekarang ke depan aja, gantian aku yang mandi."

"Oke, Babe, makasih."

"Aku bikinin kopi tuh tadi, diminum ya, mumpung masih hangat. Tiramisu-nya juga ada, udah aku buka di sebelahnya."



Aku mengedipkan mata lalu memberi cium jauh sebelum aku keluar dan membiarkannya mandi. Dari situ aku langsung ke meja yang menghadap ke jendela besar berisikan pemandangan kota Jakarta. Setelah bercinta dengan hebat dan mandi air hangat, sepertinya minum kopi bersama dengan tiramisu sambil melihat pemandangan adalah hal yang amat nikmat. Aku duduk di kursi, menyendok tiramisu kemudian memakannya dan menyesap kopi. Menurutku, kopi terenak masih merupakan buatan Rini, namun ini pun tak masalah. Lagi pula aku harus terbiasa dengan kopi buatan Metta, karena aku akan menjalani kehidupan panjang dan bahagia bersamanya.

Aroma nikmat kopi menyeruak ke hidungku disertai dengan rasa hangat yang menjalar di kerongkonganku sembari menikmati matahari sore. Aah, andai semua hari bisa semenyenangkan dan sesantai ini, tak perlu mengurus dan memikirkan ini dan itu. Suasananya terasa nyaman dan relaks, dan tanpa sadar aku pun menguap. Kenapa tiba-tiba aku merasa mengantuk ya, jam segini? Sungguh tidak biasa. Mungkin karena aku terlalu lelah saat persetubuhan tadi. Kembali aku menguap lebar, dan mataku terasa berat. Kuletakkan kopi itu di meja dan aku berjalan ke tempat tidur. Rasanya aku ingin memejamkan mata dan tidur sejenak. Langkahku menjadi agak tertatih-tatih sebelum akhirnya aku ambruk di tempat tidur dengan masih memakai kimono mandi.






29 Juli 2012
Sebuah Hotel di Kawasan Jakarta Selatan
19:20 WIB



Aku keluar dari kamar mandi dan mengamati keadaan sekitar. Metta baru saja pergi, dan dia bilang akan ke supermarket, namun aku sama sekali tidak percaya. Ya, ini karena aku baru saja mendapatkan pesan dari Adam yang menyuruhku datang ke sebuah hotel dalam satu jam, karena Adam ingin sekali menunjukkan bahwa dia berhasil menaklukkan Metta dan merebutnya dariku hari ini.

Dengan terburu-buru aku mengambil pakaian dan memeriksa sekitar. Kunci mobil masih ada di kabinet dekat TV, artinya Metta tidak pergi menggunakan mobil, mungkin dengan taksi. Jarak antara hotel ini dengan hotel yang diberikan oleh Adam sebenarnya tak begitu jauh, namun pada jam ini, aku tak mau ambil risiko terkena macet. Segera aku meninggalkan kamar dan langsung turun ke parkiran. Kubuka mobil Metta, yang untuk saat ini sudah seperti mobilku sendiri. Kuperiksa bagian belakangnya, dan di situ ada sebuah gym bag dengan merek salah satu gym terkenal di Indonesia. Sejak pindah ke rumah Metta, aku memang selalu menaruh tas-nya di sini, biasa berisi peralatan dan pakaian untuk berganti bila aku akan nge-gym, namun untuk hari ini, isinya agak berbeda.


Mobil pun akhirnya kupacu menuju lokasi yang telah ditentukan oleh Adam. Bila Metta berangkat dari tadi dan jalanannya cukup lancar, seharusnya dia sudah sampai di sana. Karena penasaran, kembali aku membuka aplikasi mata-mata itu, dan kupasang mode untuk mengaktifkan mikrofon pada hape Metta. Dengan begini, maka aku akan bisa menyadap apa saja pembicaraan Metta dengan si Adam itu. Hape kutaruh pada dudukan di mobil dan kupasang pada mode speaker.


"TING!"


Bila dilihat dari suara itu, sepertinya Metta baru saja keluar dari lift. Lalu suara berikutnya adalah suara langkah sepatu heels Metta yang menggema dari koridor hotel. Dari suara langkahnya, sepertinya Metta tidak begitu terburu-buru, bahkan cenderung seperti berusaha mengulur-ulur waktu, kadang tak berhenti, kadang seperti menyeret langkahnya, hingga akhirnya suara langkah itu berhenti.


"Hufftt..."

"TOK! TOK! TOK!"



Suara pintu diketuk terdengar, artinya Metta sudah sampai pada kamar Adam. Tak terdengar ada jawaban. Metta pun mengetuk kembali, namun kali ini terdengar lebih kasar. Sejenak kemudian terdengar suara kenop pintu dibuka. Lalu suara yang amat kubenci itu terdengar cukup jelas.


"Halo, Manis, akhirnya kamu datang juga."

"Nggak usah sok kecakepan gitu. Mana videonya?"

"Sabar dong, buru-buru amat, Non? Let's have fun."

"Dam, gue lagi gak niat buat lama-lamaan nih."

"Semakin lo nggak segera masuk, semakin lama juga urusannya selesai."



Lalu terdengar dengusan kesal Metta yang khas, suara langkah sepatunya yang menghentak keras ke lantai, lalu pintu pun ditutup. Gaung dari koridor pun berhenti terdengar, berganti dengan tenangnya kamar.


"Gimana, Manis? Lama ya kita nggak ketemu?"


Suara dengusan Metta kembali terdengar. Dari kerasnya suara Adam, sepertinya dia berbicara cukup dekat dengan Metta.


"Udah deh, risih gue ama lo. Lagian ngapain sih buka pintu cuman pake handuk doang gitu??"

"Ya, katanya lo gak pengen buang-buang waktu, Sayang?"



Terdengar suara tamparan ringan.


"Nggak usah pegang-pegang! Risih gue!"

"Halah, dulu gue pegang-pegang lo mau-mau aja?"

"Berapa kali gue bilang, it's only fling, just for fun, Dam."

"Well, gue nggak pengen fun ini berakhir. Lo mestinya tahu itu saat berhadapan ama seorang Adam Gabriel Hanggono. Lagian, lo gak ingat, kan lo juga yang mbatalin kencan ke pulau ama cowok lo cuman buat bisa ngentot full dua hari ama gue, kan?"

"Dam! That was a mistake!"

"Mistake apa? Ide biar pura-pura ada seminar itu juga ide lo, kan?"




Saat itulah aku merasa terhenyak. Aku selalu membayangkan bahwa Adam pasti punya sesuatu untuk memaksa Metta supaya tidak ikut ke pulau, bahwa semua itu adalah mastermind dari Adam. Mendengar bahwa itu ide Metta benar-benar membuatku tak habis pikir. Pada saat itulah kudengar suara isak tangis di sana. Ya, Metta menangis.


"That was not supposed to happened... Nyesel gue ngikutin kemauan lo."

"Nyesel koq malah lo datang ke sini sendiri."

"Dam, lo udah bilang kalau yang kemaren itu yang terakhir! Gue juga mau karena gue udah males lo gangguin mulu ampe gue nggak bisa kerja! Lo pikir keren gitu nyebar-nyebarin isu kalau kita pacaran di kantor?? Biro Surabaya ama Jakarta ampe pada tahu semua, Dam! Don't you know how that made my life there harder??"

"Halah, lo kayaknya fine-fine aja. Jangan bilang ya kalau lo nggak suka ama gue. Gue masih inget gimana moaning lo waktu gue sodok pake kontol gue. Damn, that's one of the most beautiful scream in my life. Gak mungkin lo bisa moaning kayak gitu kalau lo gak nikmatin. Atau..."



Mereka terdiam sejenak.


"Dam, apa-apaan, sih!? Tutup gak!"

"Come on, don't say that you don't miss this?"

"Dam..."



Tidak terdengar suara lagi, namun seperti ada suara menampar-nampar.


"You like it this way, do you? Gue bisa ngerasain, Met... Pandangan mata lo beda."

"Please, stop..."



Namun suara tampar-tamparan itu semakin terdengar keras. Bukan, itu bukan suara tamparan badan dengan tangan. Ya, itu tamparan kontol.


"Nah, gitu dong, dipegang... Ohh... Mantep bener mulut kamu, Met."

"Mmmpphh... Hmmmpphh... Glok... Glok... Uh-gh..."

"Yang dalem dong, dulu lo aja bisa koq ampe mentok. Kenapa? Udah lupa caranya ya, soalnya keseringan nyepongin kontol pacar lo yang kecil itu ya?"

"Hgggghhhh... Glokglokglokglokk... Ooowwwwhhhhh... Hukk glokglok..."

"Ah, pinter banget ini lonte gue yang satu ini, terbaik deh."


"PLAAKK!!"



Terdengar lagi suara tamparan, namun kali ini lebih keras. Mustahil ini kontol, pasti Adam baru saja menampar Metta.


"Kangen ya, Met? Kangen gue kasarin, kan?"


Tidak ada jawaban, hanya suara Metta yang sepertinya sedang menyepong kontol Adam.


"Lo suka kan, ama kontol gue? Lebih suka mana lo, kontol gue atau kontol cowok lo?"


Metta tampaknya tak menjawab, hanya meneruskan sepongannya.


"AAHH! AAHH!! ADUUHH!! Jangan dijambak!! Sakit, Dam!!"

"Makanya kalau ditanya itu jawab! Suka mana, kontol gue apa kontol cowok lo??"

"K-Kontol lo, gue suka kontol lo!"

"Bagus, itu baru namanya lonte gue. Kenapa lo lebih suka ama kontol gue daripada kontol cowok lo?"



Metta tak segera menjawabnya seperti tadi.


"ADUUUHH!!! DAM!! SAKIIIT!!!"

"Jawab! Kenapa lebih suka kontol gue daripada kontol cowok lo??"

"K-Kontol lo gede, panjang... *hiks* Kalau nyodok bisa dalem banget... *hiks* Mentok banget..."

"Kalau cowok lo?"

"Dia kecil... Jelek... *hiks*... Kalau ngentotin gue nggak puas... *hiks*..."

"Nggak usah nangis lo, itu lo ngomong jujur, kan?"

"Iya, gue jujur... *hiks*..."



Aku memukul-mukul roda setir mendengar Metta berkata begitu. Baru siang tadi dia mengatakan bahwa kontolku adalah kesayangannya, kini dia malah memuji-muji kontol milik cowok lain. Amarahku pun serasa memuncak.


"TIIIINNNNNN!!!!!!"
"CIIIIIIITTTTT!!!!"


"HEE!!! ****** LOO!!!"



Setir segera kubanting ketika aku sadar hampir menabrak mobil lain. Untunglah kecelakaan bisa kuhindari, hanya lolos dengan sumpah serapah dari si pengemudi mobil yang hampir kutabrak tadi. Berengsek, tidak bisa begini terus. Mendengarkan percakapan mereka hanya membuat pikiranku panas dan tidak konsentrasi mengemudi di tengah suasana jalanan yang ramai ini. Aku mematikan hape dan berkonsentrasi untuk mengemudi saja. Semakin cepat aku sampai di sana semakin baik, walau kenyataannya, dengan kondisi jalan yang ramai walau di hari Minggu ini, aku baru bisa sampai di sana setengah jam kemudian.






Sesampainya di sana, aku langsung memarkirkan mobil, menenteng gym bag yang telah kupersiapkan, kemudian aku menuju ke resepsionis. Sebagaimana dikatakan oleh Adam dalam pesannya, resepsionis sudah menyiapkan sebuah kunci tambahan untukku, supaya aku bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk pintu. Dugaanku Adam tak suka bila harus membuka pintu saat sedang bercinta, namun ya, jujur saja, siapa yang suka??

Pintu lift terbuka pada lantai tempat kamar Adam berada. Aku pun berjalan menyusuri koridor menuju salah satu kamar paling ujung, dengan pemandangan terbaik. Aku berhenti sejenak di depan pintu kamar itu dan mendengus.

Tidak ada suara apa-apa yang terdengar dari balik pintu kamar. Ya, jelas saja, insulasinya memang bagus, padahal aku tahu seberapa berisiknya Metta bila sedang bercinta. Jadi bila Adam bilang bahwa moaning Metta amat keras saat bercinta dengannya, well, itu bukan sesuatu yang istimewa. Saat bersamaku pun dia juga begitu. Mungkin benar seperti dikatakan Om Darwin bahwa keturunan keluarga ibunya ini memang istimewa.

Sejenak aku agak ragu, namun kemudian, dengan mengeraskan hatiku sendiri dan bertekad untuk siap hadapi apa pun yang ada di balik pintu ini, aku pun meletakkan kunci kartu pada kenop.


"CKLEK!"


Begitu pintu dibuka sedikit, barulah suara desahan Metta terdengar dengan amat keras bagiku.


"AAAHH!! YESSHH!! HARDER!!! AAAHHH... AAAAHHHH... AAAAAAHHHHHH... IISSSHHH..."


Aku berhenti sejenak. Tanganku gemetaran mendengar suara Metta yang tengah disetubuhi itu.


"I'M... *plok*... GONNA... *plok*... FUCK... *plok*... YOU... *plok*... HARDER!!"


Suara tepukan antarpinggul itu membuatku bergidik ngeri. Kenop pintu kugenggam amat erat, karena aku tak berani membukanya lebih lebar lagi.


"Yessss... Aaaahhh... Fuck me... Yess... Fuck me..."


Cukup sudah! Lagi pula aku memang ke sini untuk ini. Segera saja pintu kubuka dan aku pun masuk, bersiap untuk apa pun yang menyambutku di sini.

Saat itulah aku tertegun. Metta berada pada posisi doggy, bugil tanpa sehelai benang pun. Gaun, lingerie, dan blazer yang tadi dia pakai berserakan di mana-mana. Tangannya terikat oleh sebuah borgol khusus seperti yang dipakai dalam BDSM, sementara engkelnya terikat pada sebuah batang besi hingga mengangkang, dan ada semacam butt plug bentuk ekor menancap pada anusnya. Kemudian pada lehernya ada sebuah benda mirip dog collar yang terpasang dengan rantai yang menyambung pada borgol di tangannya. Sebuah liontin bertuliskan "Slutty Metta" menggantung pada dog collar itu. Matanya tertutup oleh sebuah penutup mata hingga dia tak bisa melihat apa-apa. Tubuhnya mengkilat, sepertinya bukan sekadar keringat, namun ada semacam minyak begitu, entah itu bodybuilder oil atau nuru oil, sehingga tampak amat menggairahkan di bawah lampu.

Sementara itu di belakang Metta, dengan pinggulnya yang menempel pada bokong Metta yang mulus namun penuh tanda tamparan merah berbentuk tangan, adalah Adam, dengan sikapnya yang meraja dan ekspresi muka penuh kemenangan.

Harus kuakui bahwa badan Adam jauh lebih bagus daripadaku, setelah kini melihatnya langsung. Ototnya benar-benar terbentuk dari core hingga extremities, bisep, trisep, bokong, otot paha, betis, semuanya tampak gempal dan kekar. Rambut pada tubuhnya pun tampak ditata dengan baik, pada lengan bawah, paha, juga bawah dada memanjang ke perut pada pubic yang tertata rapi, seolah dia memang sengaja mengatur agar rambut badannya enak dilihat, dengan tatto ular warna ungu yang seolah merayap dari dada kiri melingkari lengan atas kirinya. Aku bisa melihat bahwa siapa pun wanita yang dirayunya pasti akan tertarik dengan tatto yang menambah kesan kemachoan dan kejantanan dalam diri si playboy profesional ini. Namun, creme de la creme, the cherry on top dari semua itu adalah kontolnya yang panjang, besar serta keras dengan kepala yang meruncing bak tombak, a perfect phallic shape. Bahkan Adam saja sampai perlu dua tangan untuk bisa memegang keseluruhan batangnya. And yes, dia sengaja mengeluarkannya sejenak dari meki Metta untuk memamerkan kontol itu padaku. Saking besarnya, hingga Metta pun berjengkit dan mengejang saat kontol itu keluar, dan kembali berjengkit saat Adam kembali memasukkannya setelah puas memamerkan itu padaku.

Aku hanya melihatnya dengan pandangan sinis sambil berjalan pelan ke arah kursi. Dengan amat susah payah, aku berusaha untuk tetap tenang dan tak terlihat gemetaran karena amarah. Sayangnya melihat Metta disetubuhi seperti itu, kontolku kembali mengkhianatiku dengan mengeras. Dasar kontol berengsek! Padahal pawangnya sedang menikmati kontol lain, bisa-bisanya dia malah ikut-ikutan keras.

Adam meletakkan jari telunjuk pada bibirnya, tanda dia memintaku agar tidak bicara atau membuat suara, kemudian memberiku isyarat supaya aku langsung duduk. Ada hape tergeletak di sana, hape yang tempo hari dipakai oleh Adam untuk mentransfer video. Namun tentu saja, ada orang lain datang tak mungkin Metta tidak tahu walau dia sama sekali tak bisa melihat apa-apa, terbukti dari kepalanya yang langsung mendongak seperi meerkat begitu aku mendekati tempat duduk.


"Ada siapa, Dam??"

"Ada temen gue di sini, I invited him."

"DAM!? Lo gila ya!?? Bukan ini yang kita sepakatin!!"

"Calm down, dia cuman pengin tahu aja gimana pas gue ngentotin lo."

"Ya tetep aja!! Gue gak suka kalau lo seenaknya gini! Gue kudu cepet-cepet balik, Dam!! Please, cowok gue bisa aja udah bangun sekarang!"


"PLAAKK!!"



Kembali Adam menampar Metta, namun berbeda dengan tamparan yang digunakan untuk menambah kesenangan dalam seks, tamparan ini lebih mirip sebagai tamparan untik menyakiti. Ya, karena pada lokasi tamparan itu terdapat bekas tanda merah yang bagai membara.


"Sakiit, Dam... *hiks*..."

"Biar lo tahu di mana posisi lo, Lonte!"

"Lo jahat, Dam... *hiks*... This is not fun... *hiks*..."

"Hah? Fun? Lo pikir lo datang ke sini buat have fun??"

"Aggghhh... Hggghhh... Dhamh... sakghiiithhh... lhepbhasinnhh..."



Metta langsung terlihat tersiksa karena Adam menarik rantai pada collar-nya hingga dia terlihat seperti tercekik. Mukanya memerah dan lidahnya menjulur sambil dia menggeliat berusaha menarik nafas. Aku sendiri hanya diam saja melihatnya sambil mengutak-atik hape yang diberikan oleh Adam itu. Benar, sebagaimana dibilang oleh Adam, isinya hanya satu video saja, sepertinya ini entah di Surabaya, Banyuwangi, atau Bali, aku tidak paham mengenai lokasinya. Tapi pastinya itu dilakukan malam-malam, di pinggir jalan yang walau lengang tapi tetap ada kendaraan yang lewat, serta hanya mobil Adam yang menutupi mereka. Metta membungkuk dengan menumpu pada kursi belakang, sementara kakinya berdiri di luar dari pintu terbuka, bugil tanpa sehelai benang pun, dengan Adam berdiri di belakangnya dalam posisi doggy seperti yang saat ini di depanku, namun dia masih memakai baju, hanya celana saja yang diturunkan.

Aku tak terlalu fokus untuk melihatnya, hanya scroll saja pada video berdurasi 20 menit itu. Adam tampaknya sengaja ingin pamer video itu hingga bahkan dia pun menyediakan headset untukku. Aku bisa mendengar bagaimana Metta amat khawatir tindakan mereka ini ketahuan, namun Adam dengan kharisma buayanya malah terus memuji Metta sambil tak berhenti menggenjot. Kupercepat beberapa menit dan tampaklah di posisi 3/4 video, mereka sudah selesai dan Metta ingin mencari bajunya.


"Nggak usah dipakai dulu bajunya."

"Eh, tapi, Dam..."

"Udah, bugil aja di mobil, udah malem juga, gak bakal ada yang liat."

"Beneran nih?"

"Bener, ayolah."

"Oke, hihihi, deg-degan aku."

"Emang belum pernah kayak gini?"



Metta menggeleng.


"Pacar kamu kurang imajinatif, kalau aja kamu yang jadi pacar aku, udah pasti aku banggain ke mana-mana. Kupamerin badan kamu ke mana-mana, Met."

"Heh! Emangnya aku ini apaan??"



Namun Metta malah tertawa dan tak terlihat marah sama sekali, dia bahkan langsung menurut duduk di kursi depan dalam keadaan bugil tanpa sehelai baju pun. Dengan kesal aku kembali scrolling hingga hampir selesai, dan posisi kamera berada di laci pintu Adam menghadap ke arah Metta yang bugil. Gilanya adalah kontol Adam pun sudah tampak keluar, sepertinya Adam menyetir dalam posisi tanpa celana atau celananya dipelorotkan.


"Ih, gila, kontolnya tuh nggak sopan, dipamerin ke mana-mana."

"Lah, kamu sendiri? Badan bugil udah kayak lonte gitu dipamerin ke mana-mana."

"Hehehe."

"Met, lagi dong."

"Masih belum puas nih yang tadi? Bukannya tadi udah ngecrot ya?"

"Kan ngaceng lagi liat kamu bugil."

"Huuu, dasar."



Tangan Metta pun terjulur dan dia memegang kontol Adam, awalnya hanya di bagian kepalanya, lalu pelan-pelan dia mulai mengelus-elus seluruh kepala hingga batang dan mengocoknya halus.


"Hihihi, gede ya, kontol kamu?"

"Suka?"



Metta mengangguk.


"Punya pacar kamu gimana?"

"Nggak segede gini... Ih, keras pula, kayak megang kayu."

"Ini yang namanya kontol pria sejati. Aku yakin kamu pasti nggak puas maen ama pacar kamu yang kontolnya kecil itu."

"Enggak tuh, puas-puas aja."

"Tapi enak mana kalau dibandingin kontol ini?"



Metta tak menjawab, hanya tersenyum saja, namun tangannya terus mengocok dan mengusap kontol Adam yang kini tampak mengkilat akibat lendir precum itu.


"Masih ngilu tapi meki aku..."

"Tapi enak, kan?"



Metta mengangguk.


"Sepongin dong, Met."

"Sepongin? Di sini?"

"Iyalah, di mana lagi?"



Tanpa diperintah dua kali, Metta langsung beranjak dan membungkuk untuk menyepong kontol Adam. Ini membuat darahku kembali mendidih. Seumur-umur belum pernah Metta melakukan itu padaku, dan bila aku memintanya dia selalu saja menolak. Ternyata saat bersama Adam begini kelakuannya, bahkan keberatan pun tidak.


"Smile for the camera!"


Metta lalu tampak membuat tanda peace sambil menghadap ke kamera dengan pandangan mata senang. Kepala kontol Adam dijepit dengan gigi seolah-olah Metta hendak menggigitnya.


"Halo, aku lagi ngemutin kontol gede nih... Cheers..."

"Lonte baru ketemu kontol gede ya gini nih... Gimana ntar kalau analnya diperawanin?"

"Hehehe, iya, gaes, ntar analku bakal diperawanin ama kontol gede ini. Stay tune!"

"Bagus, gitu baru namanya lonte yang baik. Daripada kamu cuman gitu-gitu aja ama pacarmu yang nggak imajinatif dan super boring itu, mending ama aku kan? Bisa ngerasain ampe seventh heaven."

"Iya, iya, emang punya kamu istimewa, tapi udah ah, jangan ngejekin gitu terus. Gitu-gitu dia kan pacar aku, Dam. Eh, iya, ntar dihapus lho videonya."

"Iya, tenang, entar aku hapus. lanjutin deh nyepongnya."

"Hehehe, iya, iya..."



Aku mematikan video itu, sudah malas aku melihatnya. Bukan hanya Metta menurut pada Adam hal yang dia tolak dariku, bahkan keperawanan anal Metta pun rupanya Adam dulu yang mencicipinya, meninggalkanku hanya sisa-sisa. Yang lebih mengesalkan lagi adalah bahwa kontolku malah ngaceng sengaceng-ngacengnya. Dasar pengkhianat! Namun bagaimana pun juga, aku tetap membuka retsletingku dan mengeluarkannya lalu mengocoknya. Bukan, bukan karena terangsang, hanya saja punya kontol ngaceng di dalam celana bukanlah hal yang nyaman. Adam tampak tertawa saat aku mengeluarkan kontolku. Ya, sepertinya dia menertawakan ukuran kontolku yang tak sebesar kontolnya, yang kini dengan gagah sedang merojok meki Metta.


"Lo ngapain ngeloco di situ, Bro?? Sini, biar mulut si lonte ini yang nyepongin lo ampe keluar."

"Dam, udah ah... Janjinya kan nggak kayak gini..."
protes Metta.

"Sorry, I made the rules, Babe. And my rule is, tonight you are my lonte."

"Udah jam berapa ini, Dam?? Gue mau pulang ke hotel, cowok gue jangan-jangan udah bangun!"



Adam hanya tertawa saja, tentu, karena Metta tidak tahu bahwa aku saat ini ada di ruangan ini bersamanya. Aku perlahan bergerak mendekat, sambil salah satu tanganku diam-diam menenteng gym bag yang kubawa. Kontolku masih kujulurkan keluar dari retsleting, menegang, dan seolah tahu pawangnya ada di sini, tampak seperti tengah menunjuk ke arah Metta.


"Lagian ngapain sih lo, cowok loser gitu masih aja lo pertahanin. Lo lebih suka ngentot ama gue, kan? Gue juga kan yang bisa ngasih lo kepuasan, bukannya cowok lo??"

"Dam, please, kita ini nggak ada apa-apa... Gue cinta ama cowok gue, mau gimana pun diAAAAHHHH... ADUUUHHH..."



Aku terkejut karena sekali lagi Adam menjambak rambut Metta hingga Metta berteriak kesakitan. Dari nada suaranya, Metta benar-benar kesakitan, ini bukan akting sensual. Air mata merembes keluar dari penutup matanya.


"Daripada lo ngebacot gitu, Lonte, mending lo nyepongin temen gue, biar urusannya cepet kelar. Kasian dia, baru aja ditinggalin ama ceweknya, jadi cuman bisa ngeloco, HAHAHAHA!!"


Adam memberi isyarat agar aku mendekat, kemudian masih dengan mencengkeram rambut di ujung kepalanya, dia menggerakkan kepala Metta hingga mengarah ke kontolku. Kudengar Metta seperti menangis, tapi dia berusaha menahannya. Metta adalah orang yang amat ekspresif, jadi bila dia menahan tangisannya, artinya ada sesuatu yang salah. Pipinya yang merah, entah akibat bercinta atau karena ditampar, tampak basah dengan air matanya yang terus merembes keluar dari penutup mata. Pelan-pelan kudekatkan kontolku ke mulut Metta yang terbuka, dan begitu bibirnya menyentuh ujung kepala kontolku, dia langsung melahapnya. Namun ketika kontolku sudah masuk setengah ke mulut Metta dan Metta memijat dengan lidahnya, tiba-tiba raut mukanya menegang seolah ketakutan. Segera saja dia melepaskan kontolku seperti memuntahkannya.


"KAMU SIAPA!???"


Metta berteriak dengan panik. Ya, Metta sudah sedemikian seringnya bercinta denganku dan mengulum kontolku hingga sepertinya dia bisa mengenalinya bahkan dalam posisi tanpa melihat sekalipun.


"JAWAB! KAMU SIAPA!??? Dam, dia ini siapa, DaAAAAHHHHH..."

"Diem lo, Lonte! Gue suruh sepongin dia ya lo sepongin dia!! Lonte macem apa lo berani-beraninya nggak sopan ama klien!!"

"Dhaahmmhh.. syyudhhhaahh... akghuuuuh ghhaakk bhsshaa nafhaaassshhh..."



Namun Adam terus saja menjambak sambil menarik rantai Metta hingga Metta benar-benar tercekik. Lidahnya terjulur dan mukanya sudah bukan lagi memerah, bahkan kini hampir membiru. Adam terus menyiksa Metta sambil tertawa-tawa seolah Metta bukan merupakan manusia, hanya boneka untuk dia mainkan. Cukup sudah, aku sudah tak bisa menahan ini lagi. Kugenggam erat sling pada gym bag-ku, dan...


"BLETAAAKKKKK!!!"


Gym bag itu kuayunkan dan membentur Adam dengan sangat keras hingga Adam tersungkur dan jatuh dari ranjang. Metta tampak melenguh dan berjangkit saat kontol Adam dicabut paksa dari mekinya, kemudian dia terbatuk-batuk dan mencoba bernapas, namun agak susah dengan posisinya yang terikat.


"Dam... Adam??"


Secara refleks sepertinya Metta memanggil nama Adam yang merupakan pria terakhir yang dia lihat sebelum matanya tertutup. Aku jijik sekali mendengar Metta memanggil namanya.


"Panggil aja terus namanya, dasar pelacur!!"


Metta langsung tegang mendadak begitu aku akhirnya berbicara.


"E-Erik... Be-Bebeb?? Bebeb, kamu..."


"PLAAAKKK!!!"



Aku langsung menampar pipi Metta dengan kekuatan penuh hingga Metta tersungkur di tempat tidur. Dengan kasar penutup matanya kutarik lepas, dan Metta langsung membelalak ketakutan melihatku yang tengah dikuasai api amarah ini berdiri di hadapannya.


"JANGAN PANGGIL GUE BEBEB LAGI, NGERTI!!??"

"Beb... Erik... Aku bisa jelasin semuanya..."

"DIEM LO!!"

"Bebeb... Erik..."



Metta mulai menangis, namun aku tak menghiraukannya. Aku malah berjalan sambil menyeret gym bag yang baru saja kupakai untuk menghantam Adam, ke tempat Adam yang masih tersungkur di lantai. Dia tampak agak sempoyongan dan syok karena tak menduga aku akan menyerangnya. Dia lalu melihatku dengan pandangan mata tak percaya sambil menyeka darah dari ujung bibirnya.


"What the fuck, Bro??"

"I'm cancelling the deal!!"



Tanpa ampun, Adam kuhantam untuk kedua kalinya dengan gym bag-ku yang berat ini. Dia kembali tersungkur dan tak bisa bangun lagi walau masih sadar. Kubuka gym bag-ku yang isinya adalah uang, bergepok-gepok uang dalam jumlah yang banyak sehingga membuat gym bag itu berat.


"Lo itu mau duit, kan?? Nih duit! Nih duit! NIIHH DUITT!!!"


Kuambil beberapa gepok lalu kulemparkan dengan keras ke arah Adam hingga dia mengaduh kesakitan ketika tiap gepok menghantam badan atau kepalanya. Kemudian kutuangkan seluruh isi dari gym bag itu ke badan Adam hingga dia seperti tertimbun uang. Lembar demi lembar uang pun beterbangan ke seluruh ruangan hingga akhirnya seluruh isi gym bag itu kosong. Setelah semua habis, aku pun meludahi Adam.


"Dan itu pembayaran kompensasi dari gue!! Sekarang lo enyah dari kehidupan kami selamanya! SELAMANYA!!!"


Seolah belum puas, kutendang bagian rusuk Adam hingga Adam berteriak kesakitan. Setelah itu aku mengambil kunci borgol Metta dari meja nakas di sebelah ranjang, dan membuka hanya salah satu borgol yang membelenggu tangan Metta. Metta lalu memegangi bajuku dengan tangannya yang bebas.


"Lepasin tangan lo!"

"Bebeb... Erik... Please, Beb..."


"PLAAAKKKK!!!"



Sekali lagi kutampar Metta hingga dia kembali tersungkur di ranjang, namun kali ini dengan salah satu tangannya sudah bebas. Metta buru-buru berusaha membebaskan semua ikatan pada tubuhnya. Aku langsung menyampirkan gym bag-ku dan berjalan keluar kamar dengan gontai.


"Bebeb, tunggu!! Tungguuuu!! Bebeeeeebbbbb!!!"


Pintu kamar kututup, dan aku berjalan ke lift, untuk kemudian turun dan masuk ke parkiran untuk mengambil mobilku. Karena marahnya aku, bahkan aku tak melepaskan seluruh ikatan Metta ataupun mengajaknya untuk turun. Tidak, aku sudah sedemikian marah dan muaknya pada Metta hingga akhirnya menjatuhkan vonis pilihan pada Metta. Aku bahkan tak peduli dia mau menyusulku atau justru malah ingin bersama si Adam bercinta semalaman dengan pria yang baru saja mendapat uang banyak ini.

Aku terdiam sejenak saat sudah masuk ke dalam mobil dan berada di belakang roda setir. Alasan apa yang harus kukatakan pada Om Darwin dan Tante Melly bahwa aku ingin keluar dari rumah mereka? Apakah seharusnya kuceritakan saja perbuatan Metta itu, toh Om Darwin pun pasti sudah tahu. Tapi bagaimana dengan Tante Melly?? Ah sudahlah, yang nanti dipikir nanti.

Mesin kunyalakan, dan aku mulai mengendarai mobil keluar parkiran hingga...


"CIIITTTT!!!"


Rem segera kutekan dalam-dalam hingga mobil berhenti mendadak. Metta ada di sana, di depanku, bergelimang cahaya dari lampu depan mobil, merentangkan tangannya untuk menghentikannya. Karena terburu-buru, dia hanya sempat memakai lingerie dengan blazer saja, bahkan dia tak memakai sepatunya. Dengan kesal kutekan klakson dengan agresif, namun Metta tetap tak bergeming.


"MINGGIR!!!"


Metta menggeleng dengan muka yang basah oleh air mata.


"LO MINGGIR, ATAU GUE TABRAK!!"

"TABRAK AJA, RIK! I deserved that..."



Metta kemudian bersimpuh dan berlutut di depan mobil sambil menangis sesenggukan.


"Jangan kira gue gak berani nabrak lo, ya!!"

"Tabrak aja, Rik!! Tabrak!! Tabrak aja biar gue mati... Gue pantes mati, Rik! Gue pantes mati!!"



Semua keributan itu tampaknya menarik perhatian satpam, namun mereka tak berani mendekat karena ini adalah urusan antara aku dengan Metta. Standoff ini berlangsung agak lama, dan Metta benar-benar bergeming dari posisinya bersimpuh. Aku memukul roda setir dengan keras hingga terdengar seperti suara resin patah. Setelah itu, tanpa mematikan mesin, aku keluar dari mobil dan berdiri di hadapan Metta yang masih bersimpuh.


"Gue salah, Rik... Gue pantes mati..."

"Lo tahu lo salah, kenapa lo masih mau dateng ke tempat bajingan itu, heh!??"



Metta tak menjawab, namun raungan tangisnya menjadi semakin keras.


"JAWAB!! Karena lo kangen ama kontolnya yang LEBIH GEDE dari punya gue itu, hah!??"

"Enggak, Erik, enggak... Kamu itu selalu nomor satu, Rik..."

"Alah, udah ketahuan aja baru ngomong gini! Tadi-tadi ke mana aja!!?? KEMAREN-KEMAREN KE MANA AJA!??"

"Maafin gue, Rik... Maafin gue..."

"Maaf, maaf... Basi lo... LO ITU NAJIS, TAHU GAK!? Lo tahu kan ini hari apa!?? LO TAHU, KAN!??"



Metta meraung semakin keras hingga dia seperti bersujud menjura menyembahku. Kepalanya dihantam-hantamkan ke lantai beton. Sialan, kalau begini caranya aku yang malah tidak tega.


"Udah berhenti lo... BERHENTI GAK!!?"


Metta berhenti menghantamkan kepalanya ke lantai beton. Aku berlutut kemudian memegang dan mengangkat dagunya. Muka Metta tampak tidak karuan karena menangis tanpa henti. Aku hanya menatapnya dengan pandangan mata murka.


"Maafin gue, Rik..."

"Lo itu pathetic, tahu gak??"



Dengan itu, aku lalu berdiri dan berjalan kembali ke mobil. Saat membuka pintu dan akan masuk, aku melihat sekali lagi ke arah Metta yang masih bersimpuh di depan mobil. Kembali aku mendengus dan menghela nafas panjang.


"Ngapain lo masih di sono?? Masuk mobil!"

"Erik..."

"Lo mau masuk ya masuk, lo mau di sini ya gue tinggal. Your choice."



Aku masuk dan menutup pintu mobil sambil mencoba menormalkan nafasku yang memburu. Metta masuk tak lama kemudian dan duduk di kursi penumpang. Dia tak bicara apa-apa, hanya diam saja, bahkan menatapku saja dia tidak berani. Mobil kupacu meninggalkan parkiran itu sambil kuberi tips agak banyak pada satpam, yang sepertinya lega bahwa drama kami bisa berakhir tanpa ada yang luka.


Kami berkendara dalam diam, dengan suasana yang sedingin es di dalam. Aku masih terlalu kesal untuk memulai pembicaraan, dan Metta pun merasa terlalu bersalah untuk mulai. Untuk pertama kalinya dia benar-benar tak berani menatapku, apalagi memegang tanganku, seperti yang biasa kami lakukan dalam keadaan normal. Jalanan mulai gelap dan asing saat kami meninggalkan kota Jakarta. Ya, aku sedang tak ingin langsung kembali ke hotel, hanya ingin berkendara malam tak tentu arah untuk menormalkan emosi. Harus kuakui bahwa atmosfer malam memiliki kekuatan magis untuk sedikit bisa menenangkan hati yang panas.


"Lo udah makan?"


Metta hanya menggeleng tanpa suara. Adam benar-benar hanya berpikir untuk bercinta dengan Metta saja tanpa memesankan makanan atau minuman sama sekali. Aku melihat jalan lengang yang biasa dipakai oleh muda-mudi Jakarta saat night ride ke arah Puncak untuk berpacaran. Di sini tak ada kafe atau restoran atau bistro tempat biasa Metta makan. Yang pertama kutemui hanyalah sebuah tenda gerobak kaki lima abang-abang yang menjual nasi goreng dan mie goreng. Aku menepi agak jauh dari sana, di tempat yang tak terjangkau oleh lampu tenda itu.


"Lo di sini aja, jangan turun mobil."


Kulihat Metta mengangguk dengan air mata berlinangan. Aku pun menutup dan mengunci pintunya, berjaga-jaga supaya Metta tidak keluar. Ya, Metta tak memakai pakaian yang pantas karena terburu-buru, jadi lebih aman apabila dia tetap di mobil saja, sekaligus makan di sana. Tak lama aku kembali membawa satu baki berisikan dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis hangat. Aku masuk dan memberikan satu piring padanya.


"Makan nih, ya emang bukan fine dining sih, tapi lumayan buat ngganjel perut."

"Nggak apa-apa..."



Metta hanya menjawabnya dengan lirih. Dia memakan nasi gorengnya pelan-pelan sambil terus menangis, sementara aku justru makan dengan lahap, karena semua yang terjadi pada hari ini benar-benar menguras energiku. Tak terasa, dalam sekejap aku sudah habis setengah piring, sementara nasi pada piring Metta masih banyak.


"Lo kalau nggak suka ya gak apa-apa, paling enggak makan lah sesendok dua sendok biar lo gak sakit."

"Enggak, aku suka koq..."



Ya, masalahnya memang bukan pada nasi goreng, karena ini bukan pertama kalinya aku mengajak Metta makan nasi goreng abang-abang. Namun jelas bahwa sebelumnya suasananya lebih ceria. Sementara kali ini, Metta terlihat seolah hanya ingin mengeluarkan air mataya saja. Bahkan dia beberapa kali kulihat mengelus dada, pertanda bahwa situasinya sekarang membuat menelan saja sulit.


"Minum aja tehnya, biar lebih legaan dikit."

"Iya..."



Metta pun menelan nasi, lalu meminum teh yang masih hangat, dengan mata yang membengkak karena menangis terlalu lama. Hingga akhirnya aku sudah selesai makan sementara nasi di piring Metta tinggal separuh. Aku mengambil piring Metta dan menumpuknya di atas piring kosongku bersiap untuk keluar dan mengembalikannya ke warung ketika Metta tiba-tiba memegang tanganku.


"Maafin gue, Erik..."


Tangisan Metta pun akhirnya pecah, bukan tangis tertahan yang dia lakukan sedari tadi, namun tangis yang benar-benar meraung-raung seolah ingin mencurahkan semua perasaan yang tertahan. Melihat itu pun rasa amarahku pun luluh, dan aku mendekapnya. Malam itu, akhirnya Metta menceritakan semuanya kepadaku, bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Adam, serta bagaimana bahkan Metta pun tidak bisa menolak untuk jatuh ke dalam pesona Adam. Walau begitu, aku pun mendapatkan beberapa fakta mengejutkan, pertama, dan ini seharusnya bisa kuduga sebelumnya, Adam ternyata bisa mendapatkan Metta pertama kali dengan menggunakan obat bius. Ya, obat bius sama yang diberikan untuk membiusku tadi. Fakta ini pun rupanya juga baru diketahui oleh Metta saat Adam memberikan sebagian obatnya untuk membiusku.

Setelah itu, yah, Metta pun mengakui bahwa selama hubungan gelap itu, dia pun menikmatinya. Itu adalah saat-saat ketika aku dan Metta masih berjauhan dan belum begitu sering bertemu untuk bercinta, sehingga dia menganggap bercinta dengan pria lain adalah sebuah "rekreasi". Pria lain? Ya, karena Adam memang bukan satu-satunya. Metta akhirnya mengakui kalau dia pernah melakukan semacam softcore dengan Pak Adnan, bekas supervisor-nya di kantor lama saat mereka bertugas ke Bandung, lalu dia mengakui juga kalau pernah membuka semacam akun untuk pamer tubuh di sebuah situs forum dewasa dengan pseudonim "Rika_Akana". Konon banyak sekali yang memberi like dan menyawernya hanya untuk konten, namun baru satu orang saja yang pernah benar-benar bertemu dengannya, yaitu orang dengan pseudonim "Dash-2-Tankuro". Metta tak pernah tahu siapa nama lengkapnya, namun dia sangat kasar saat booking sehingga membuat Metta ketakutan dan trauma dan langsung menutup akunnya. Namun semua itu terjadi pada rentang tahun 2009-2010. Begitu intensitasku dan Metta semakin sering bertemu, Metta sudah meninggalkan dunia itu sepenuhnya.


"Lalu gimana dengan yang di pulau?"

"Aku selalu nganggepnya Surabaya itu fling, just for fun, makanya aku nggak pernah sama sekali approve atau nge-add akun sosmed-nya si Adam. I think, what happened in Surabaya stays at Surabaya. Tapi ternyata Adam nggak berpikir gitu."



Metta lalu bercerita bahwa dia mengira affair-nya dengan Adam sudah selesai begitu dia meninggalkan Surabaya, namun ternyata tidak. Dia bilang bahwa dia memang tahu Adam merekam beberapa sextape dari mereka, namun Metta selalu memastikan Adam menghapusnya setelah selesai. Sayangnya, dia tak tahu bahwa Adam punya backup untuk semuanya, dan saat di pulau itu, Adam mengeluarkan salah satunya untuk memaksa Metta melayani nafsunya saat dia ke Jakarta. Adam juga punya kecenderungan untuk berusaha menguasai Metta sepenuhnya, bukan hanya tubuh namun juga hati, karena baginya, bisa memisahkan seorang wanita dari kekasihnya adalah puncak dari prestasi tertinggi bagi bajingan semacam dia, dan Metta adalah yang paling sulit. Ya, karena Metta benar-benar mencintaiku, dan bukan Adam. Bahkan bagi Metta, ketertarikan pada Adam hanyalah sebatas fisik saja, namun tanpa adanya chemistry pada perasaan dan emosi, maka selepas Surabaya, Adam sudah tak lagi menarik. Ditambah lagi Metta tak suka dengan gaya Adam yang sering kasar, tidak perhatian, dan cenderung sering merendahkan wanita, dan yang lebih parah lagi adalah Adam sendiri orangnya mata duitan.

Jadi rupanya, saat yang tidak ikut ke pulau itu, Metta-lah yang membayar semua biaya hotel, tiket pesawat, bahkan apa pun yang Adam beli, hingga dia tak mengeluarkan uang sepeser pun, bahkan Metta pun juga memberi uang untuk Adam naik taksi pulang/pergi dari kosannya ke bandara di Surabaya. Mengesalkannya lagi, itu bukan satu-satunya, sepanjang masa "fling" di Surabaya itu entah berapa kali Metta harus mengeluarkan uang untuk Adam, bahkan hari ini pun, hotel yang disewa oleh Adam ini Metta pula yang membayarnya, termasuk peralatan BDSM yang dipakai oleh Adam, semua dibeli dengan uang Metta.


"Bebeb, aku emang udah bikin kesalahan gede, tapi apa bisa Bebeb maafin aku..."

"Itu... kita lihat nanti aja, tapi kamu juga kudu ngejelasin ini sama Om Darwin."

"Papa??"

"Iya, Om Darwin juga udah tahu."

"Hah?? Tapi koq Papa bisa tahu??"

"Ya pikir ajalah, kamu beli kamar hotel mewah ama penerbangan kelas bisnis pake CC yang masih kesambung ama kartunya Om Darwin, dan kamu ngarepin Om Darwin bakal nggak tahu apa-apa?? You owe him an explanation."

"Duh... Eotteokke..."

"Sudahlah, dipikir nanti aja... Buat sekarang, aku juga ada yang mau aku omongin ama kamu."

"Kamu?"



Ya, aku pun akhirnya berterus terang juga mengenai perjanjian laknatku dengan Adam, dan juga bahwa aku sudah pernah beberapa kali berselingkuh darinya: dengan Friska, Sheila, Nindy, dan juga Vinny. Metta tampak terkejut mendengarnya, namun sepertinya dia pun sudah menduga hal itu. Aku pun akhirnya minta maaf juga mengenai itu, dan dalam posisi kami yang sama-sama bersalah, momen "pengakuan dosa" ini menjadi amat mengharukan. Aku tak akan menceritakan bagaimana detailnya, hanya saja kami akhirnya sama-sama mengeluarkan rahasia yang selama ini kami simpan. Setelah momen penuh air mata, akhirnya Metta dan aku bisa mengobrol dengan dada yang telah sama-sama bebas dari beban.


"Tapi, Beb, kalau aku boleh tahu, itu duit kamu dapet dari mana?"

"Yang buat nggebuk Adam?"

"Iya, itu banyak lho, berapa itu?"

"Sekitar... 150 apa 175 juta gitu, lupa aku."

"Ya ampun, Beb!! Itu banyak bangeeet. Itu duit kamu semua???"

"Iya, ada beberapa akun yang kepaksa aku tutup buat cairin sebesar itu. Tadinya mau aku pake buat DP rumah ama mobil tahun depan, tapi ya..."

"Tetep aja itu banyak banget, Beb!?? Kenapa nggak kamu simpen aja sih???"

"Because you are worth it, Met... Apa gunanya rumah ama mobil kalau nggak ada kamu di sisi aku? So, buat aku, kamu layak buat ditebus sebesar itu. Dan demi mendapatkan kamu, duit segitu itu murah."

"Bebeb..."



Metta kembali menangis lalu memukul-mukul pundakku.


"Bebeb, kamu kenapa sih Beb, jadi orang bisa baik banget!?? Jahat dikit napa, Beb!?? Aku lebih suka kamu namparin aku, mbentak aku, mukulin aku, bahkan bunuh aku aja gak apa-apa, tapi jangan begini, Beb!? Sakit banget aku, Beb... Jahat dikit bisa nggak sih, Beb??"


Aku lalu memeluk Metta, yang langsung menangis di dadaku. Yah, in the end, aku tetap tak bisa jahat pada Metta. Butuh waktu lama hingga akhirnya Metta berhenti menangis sesenggukan dan kami hanya berpelukan di dalam mobil, di antah berantah. Aku lalu melihat jam pada mobil yang menunjukkan pukul 23:55.


"It's not yet midnight, you know?" kataku sambil mengelus kepala Metta.

"So, masih tanggal 29 Juli kah sekarang?"

"Iya... Gimana kalau kita mulai lembaran baru? Lalu 29 Juli bakal menjadi starting point-nya."



Metta mengangguk.


"Aku janji, Beb. Setelah ini, apa pun yang terjadi, aku nggak bakal khianatin kamu lagi."

"Iya, aku juga..."



Aku mencium kening Metta sebagai tanda ikrar kami ini, untuk memaknai arti baru pada tanggal 29 Juli bagi kami. Sebuah lembaran baru, halaman sejarah yang baru, aku dan Metta, meninggalkan kelamnya masa lalu dan melangkah ke masa depan kami yang indah bersama-sama. Hanya saja, ada satu hal yang tidak adil. Ya, meski aku sudah mengaku dosa padanya mengenai Friska, Sheila, Nindy, dan Vinny, masih ada satu hal yang kusembunyikan: Rini. Aku tak pernah mengakui pada Metta mengenai kenyataan antara aku dengan Rini, apalagi lebih parah lagi karena dengan Rini, yang terjadi bukan hanya fisik namun sudah melibatkan perasaan. Kenapa aku tak bilang? Entahlah, mungkin aku hanya berharap bahwa dengan aku memilih jalan ini, maka perasaanku pada Rini akan lama-lama memudar, sehingga aku dan Metta tak akan perlu lagi menghadapinya. Meski begitu, ada satu sisi dalam diriku yang tak ingin hal itu terjadi. Ada sisi dalam diriku yang masih tetap ingin memilih dan memiliki Rini, bukan Metta.


Next >>> Closure
 
Terakhir diubah:
wah menarik selanjutnya gimana nih setelah chapt18, tkyu updatenya

Ane juga pengen tahu, soalnya udah hari Rabu dan Chapter 19 belum beranjak dari bagian mukadimah alias pengantar :D

Ga waras ini, gila...

Mathab bgt suhu ceritanya, marathon sampai chapter 14 ga kuat godaan buat komen

Baca di malam hari ditemani rokok dan kopi, beuh manthab gila

Alurnya, konfliknya keren

Komen aja hu, gpp, malah seneng ane kalau ada yang komen :D

Pada milih Rini karena Rini dlunya istri Erik. Sedangkan Metta punya tabiat selingkuh di timeline yang baru. Ya emng bener sih kata TS hahaha

Dari awal udah pengen sih, karena udah mbayangin gimana pergerakan pilihan para warga semprot. Sayangnya poll pertama kudu ane pake buat pertanyaan lain, plus rasanya nggak adil kalau ngasih poll soal Rini dan Metta tapi informasi soal Rini masih dikit. Lagian, kalau dibikin polling sebelum Chapter 13, itu major spoiler banget

Terbukti sih, dari komen di awal2 kan hampir semua pada ngedukung Metta, hingga Rini muncul :D
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd