Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Chapter 5:

A Little Thing Called Beginning


Andai aku bisa mengubah semuanya...


Tahun 2009


"Rik, kamu bisa dateng, kan?"

"Wah, harinya sama kayak pengumuman hasil tes tahap tiga hari ini tuh."

"Yang kemaren-kemaren kan hasil tesnya diumumin via website, emangnya yang ini kudu dateng langsung ya?"

"Awalnya gitu, tapi katanya ada masalah ama server, jadinya website-nya gak bisa diupdate. Makanya disuruh datang langsung, soalnya ntar kalau lolos langsung tes kesehatan di tempat."

"Oh, ya udah deh. Tapi lama gak, kira-kira?"

"Moga-moga sih nggak lama, kan cuman pengumuman, ama kalau lolos ya tes kesehatan, paling nggak banyak. Bisa lah aku nyusul ke sana."

"Ya, diusahain ya, Rik, biar kamu bisa ketemu ama mama dan papa aku juga."

"Pasti, ntar aku usahain."

"Aku doain yang terbaik ya, buat kamu."

"Iya, makasih, Met."



Meski begitu, aku tetap bisa mendengar nada kekhawatiran meski dari balik telepon. Ya, Metta hari ini meneleponku karena dia ingin aku datang dan menemaninya di hari wisudanya, yang kebetulan jatuh pada hari yang sama dengan pengumuman hasil tes tahap ketiga dan terakhir dari Broadcasting Management Program di RBTV. Itulah hari penentuan apakah aku akan mendapat kesempatan untuk bekerja di Jakarta, atau malah aku akan dipaksa pulang.


"Ya sudah. Eh, kamu nggak siap-siap berangkat? Udah hampir jam 8 lho."

"Iyaa, ini aku udah siap-siap, tinggal berangkat."

"Ingat ya, Sayang, berdoa. Ntar aku juga ngedoain kamu, biar kamu bisa lolos dan lulus, jadi bisa ndampingin aku di wisuda."

"Iya, Sayang, don't worry. Eh, aku berangkat dulu ya, Sayang."

"Ati-ati di jalan, ya, Sayang. Aku juga mau langsung kerja dulu. I love you."



Telepon pun ditutup. Aku hanya mendengus. Ngakunya love you, tapi diajakin pacaran koq nggak mau. Ya, aku memang masih mencintai Metta, namun kata-katanya jujur membuatku kesal saat terakhir kami bertemu.

Kenapa harus menunggu sampai aku lulus atau lolos? Kenapa tidak terima saja pernyataan cintaku? Karena itu juga ada bagian dari diriku yang malas-malasan saat Metta mengajakku untuk datang menghadiri wisudanya dia. Tidak, pekerjaan ini lebih penting, supaya aku bisa membanggakan pada Metta bahwa aku sudah bisa mencari uang juga. Setelah aku mendapatkan pekerjaan ini, lihat saja, aku akan jadi orang hebat. Begitulah kata dari egoku yang masih terbakar.




Suasana tes hari ini agak berbeda dengan dua tahapan tes sebelumnya. Apabila sebelum-sebelumnya semua peserta dites dalam sebuah grup besar, pada tes kali ini, karena memang sesuai dengan spesifikasi, maka kami semua dipisah-pisahkan dalam beberapa grup kecil. Dari hasil tes psikologi awal, aku diarahkan untuk memilih antara Cameraperson atau Production Director. Di sinilah aku mulai agak bimbang, harus memilih yang mana. Hingga...


"Hei, lo diarahinnya dapet apa?"


Aku agak terkejut tiba-tiba ditanyai seperti itu, karena dalam dua tahapan tes sebelumnya, aku nyaris tak berinteraksi dengan para peserta lain, sehingga tentu saja aku terkejut ketika seseorang tiba-tiba datang padaku dan menanyakan hal itu, apalagi orang itu adalah seorang wanita, tinggi semampai, cantik, walau tak secantik Metta, dengan mulut mungil, dan rambut diikat dua.


"Aku?" tanyaku agak heran.

"Iya, elo, siapa lagi yang di sini kalau bukan elo?"


Belum sempat aku menjawab, dia langsung duduk saja di sebelahku dan melongokkan kepalanya melihat ke arah kartu pilihanku, lalu mengangguk-angguk, seolah kami sudah kenal lama.


"Cameraperson ama Production Director juga ya? Sama dong ama gue." kata gadis itu lagi.

"Oh, sama?"

"Iya, nah, so, elo pilih mana, camera person apa production director?"

"Kamu sendiri?"

"Hehehe, gue bingung, makanya nanya."

"Um, aku tertariknya ke camera person sih, tapi..."

"Tapi?"

"Entah ya, aku punya bakat gak ya jadi kameramen? Kalau Production Director kayaknya sih lebih nyambung ke sana, tapi aku gak gitu tertarik ke sono."

"Hoo, gitu ya."



Aku melihatnya lucu saat gadis ini mengangguk-angguk dengan polos. Entah bagaimana tiba-tiba saja jantungku berdebar dan sebingkai senyum terbentuk di ujung bibirku.


"So, jadi pilih mana nih?" tanyaku.

"Umm..."


Sekali lagi dia menunjukkan ekspresi wajah polos dan lucu saat berpikir. Tapi, kenapa aku suka melihatnya? Kemudian dia meneruskan perkataannya.


"Katanya sih, kalau kita mau milih sesuatu, kan kudu berdasar passion ya, artinya kita milih sesuatu yang kita suka, supaya nggak berat. Kalau elo suka jadi camera person ya pilih aja jadi camera person, ntar tinggal belajar caranya dari sono. Eh, gitu nggak sih?"

"Hmm, masuk akal sih. Kamu sendiri suka apa?"

"Gue? Campers."

"Campers?"

"Iya, campers, cameraperson."

"Ooh, I see, so, mau milih campers aja kita? Gimana?"

"Nah, baru gue mau ngusulin gitu. So, kita sama-sama milih campers, nih ya."

"Oke. Done, lagian kayaknya mereka butuh banyak campers ya, so, kemungkinannya lebih gede keterima."

"Ah iya, koq nggak kepikiran gitu ya gue, wah, elo pinter deh."

"Eh, kan kamu yang pertama nyebut soal passion, aku cuman nambahin logika doang. So, demi passion?"

"Demi passion, deal."



Kami tertawa-tawa saat sama-sama melingkari pilihan cameraperson sembari menggantungkan harapan bahwa kami sama-sama akan lolos. Aku sama sekali tidak tahu pada hari itu, bahwa ini awal dari sebuah jalur baru pada hidupku.


"Oh ya, omong-omong, namaku Erik, Erik Setiyadi. Kamu siapa?"


Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman, dan dia dengan amat antusias menyambutnya sambil tersenyum lebar.


"Gue? Gue Rini, Rini Widianti."


==========

Tahun 2021

"CRRIIIIIITTT!!!! GUBRAAAAAKKK!!!!"



Aku jatuh tergulung-gulung menghantam aspal saat motorku jatuh akibat jalanan yang basah dan licin. Hujan sudah tidak sederas tadi, namun masih cukup seperti sebuah gerimis deras. Untunglah jalanan sepi, sehingga saat aku jatuh, tidak tertabrak dari kendaraan di belakang.

Ada beberapa detik aku terbaring di aspal sebelum akhirnya dengan tubuh yang kesakitan, berdiri dan memeriksa motorku. Luar biasanya, meski terasa cukup brutal, motorku hanya korban spion kiri patah saja, juga lecet pada stripingnya, namun tak ada kerusakan berarti. Saat kucoba starter juga masih menyala, namun tak lagi kunyalakan, melainkan hanya kutuntun ke sebuah halte bus terdekat.

Aku menghempaskan diri di bangku pada halte itu. Di jam ini, tidak akan ada bus yang lewat, apalagi hujan-hujan begini. Helm full face kubuka, kacanya tampak retak besar. Kepalaku masih pusing akibat dipukul oleh Rini tadi, ditambah lagi harus jatuh tergulung-gulung di jalanan. Sepertinya aku harus duduk dulu dan menenangkan diri atau menunggu hujan reda sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana. Kemungkinan aku akan menuju ke sebuah hotel kapsul murah yang dekat dengan kantorku untuk tidur.

Hape kubuka. Layarnya masih pecah, namun tetap bisa beroperasi dengan baik, sehingga rencana besok akan kuservis terlebih dahulu. Ada banyak sekali missed call dan pesan dari Rini, intinya adalah dia minta maaf dan memintaku pulang, kecuali pada pesan terakhir yang berbunyi:


"Mas, gpp deh kl mas gk mw plg dl, tp tlg kasih tau mas mw tdr di mana mlm ini, biar ak gk kepikiran pls. Itu aja. Ak gk bkl nyusul, ak bkl ksh km waktu, ak jg mw introspeksi dl knp td bs kejadian gt. Ak syg ama km mas, kt slsin ini ntr kl km udh tenang, ya. Aku ama Vino bkl nungguin km di sini. Semoga mlm ini mas baik2 aja n bs dpt tpt enak bwt tdr. Love u, mas
😢
😢
"


Aku hanya mendengus lalu menutup kembali layar hapeku. Saat inilah aku ingat kehangatan di apartemen milik Metta, namun aku sedang tak ingin ke sana, karena ingin cooling down. Aku juga tak ingin memberi tahu Bella bahwa aku minggat dari rumah, karena aku tahu Bella pasti akan kepikiran bila kuberi tahu begitu. Mungkin besok di kantor, tapi bukan malam ini.

Berkendara di malam hari sambil hujan-hujan rupanya cukup untuk meredakan amarah dan membuat pikiran sedikit jernih. Kalau dipikir-pikir, memang keterlaluan yang kulakukan dengan merusak dapur dan ruang makan, serta beberapa kali melemparkan Rini seperti itu. Mengingat yang bisa kulakukan saat murka itu membuatku ngeri sendiri akan betapa aku benar-benar menjadi monster saat marah. Namun aku belum mau pulang dulu, karena, ya, memang aku belum mau saja. Nanti saja, mungkin satu atau dua hari lagi setelah semua pikiranku jernih, baru aku akan pulang.


"Kopi, Pak! Kue donat, dipilih-dipilih!"


Aku melihat ke arah suara itu, dan dari ujung jalan ada seorang nenek-nenek yang menuntun sepeda dengan segala macam minuman dan makanan di tempat boncengannya, yang biasa kita sebut sebagai "starling" atau "Starb*ck Keliling". Wajah nenek-nenek itu teduh, sehingga membuatku tenang saat menatapnya. Dia juga berpakaian biasa, baju blouse terusan dengan warna hijau bunga-bunga di balik jas hujan putih transparan. Sejenak kuperhatikan kakinya, oh, ternyata menapak tanah, jadi jelas bukan hantu.


"Mau kopi atau kue donat, Pak? Dibeli, masih seger kuenya."


Dia berhenti tepat di depanku. Melihat kontainer berisi kue donat itu, perutku tiba-tiba meronta. Ya, aku tadi memang hanya makan sedikit waktu bertengkar hebat dengan Rini, sehingga kini perutku kembali lapar.


"Donatnya berapa, Bu?"

"Murah koq, Pak, dua ribuan satu."



Nenek itu lalu menstandarkan sepedanya, melepas pengikat pada kontainer dan membawanya ke dalam halte supaya tidak kehujanan. Tak banyak memang yang tersisa, hanya sekitar 10 buah kue donat. Semuanya tampak lezat bagiku yang tengah lapar.


"Silakan, Pak, dipilih kuenya, sampeyan mau yang mana?"

"Semuanya deh, Bu, sekalian ngabisin."



Nenek itu tampak diam melongo saat kutaruh selembar uang 100.000 di tangannya.


"Kebanyakan ini, Pak, tolong 20.000 aja, saya nggak ada kembalian ini."

"Udah, nggak apa-apa, Bu, saya juga nggak ada uang kecil, Ibu ambil aja semuanya."

"Wah, rezeki ini, terima kasih ya, Pak. Moga-moga sampeyan ditambah rezekinya ya."

"Aamiin, Bu."

"Pak, boleh saya di sini dulu duduk bareng sampeyan? Capek saya dari tadi nggenjot sepeda ujan-ujan."

"Oh iya, silakan, Bu. Kalau ada yang mau ambil aja kuenya, Bu, pasti Ibu lapar juga."

"Wah, makasih lho, Pak. Tadi saya udah makan, koq. Sampeyan aja silakan habisin semuanya, kayaknya malah sampeyan yang lapar."

"Ya, temenin saya makan aja, Bu."



Nenek itu tertawa renyah, lalu kami mengambil masing-masing sepotong donat dan memakannya. Perutku serasa amat bersyukur akhirnya ada makanan yang masuk ke dalamnya, dan memang rasa donat itu amat lezat.


"Enak, Bu, donatnya, bikinan sendiri, ya?"

"Iya, Pak. Syukur kalau sampeyan suka."

"Koq malem-malem masih jualan sih, Bu?"

"Biasanya sih jam segini udah abis, Pak, tapi karena hujan jadi kayaknya orang males beli. Ini aja untung ada sampeyan, kalau gak, sayang soalnya kue dibuang-buang."

"Setiap hari bikin baru, Bu?"

"Iya, kan biar orang kalau beli kualitasnya bagus. Kalau kopi karena instan, jadi bisa buat sok-besok. Oh ya, sampeyan sendiri malem-malem di sini abis pulang kerja terus neduh dulu apa gimana?"



Aku menggeleng sambil memakan porsi kue keduaku.


"Saya minggat, Bu, dari rumah."

"Lho, koq minggat? Dhe' remmah, Pak? Kenapa?"

"Ada masalah di rumah, dan ya, begitulah."

"Oalah, ya namanya di rumah ya gitu lah, Pak, tapi ya jangan sampai minggat juga, nggak baik, Pak."

"Saya udah gedhek soalnya, Bu. Jadi mau cooldown dulu."

"Ya sudah, tenangin diri aja dulu, Pak. Kalau soal masalah ya pasti di mana-mana ada, tapi sebaiknya sebisa mungkin diselesaikan. Kecuali kalau sampeyan berdua udah nggak saling cinta."

"Entah ya, Bu."



Aku kemudian menceritakan semua yang terjadi kepada si Nenek Penjual Kopi.


==========


Tahun 2009


Hari ini adalah hari pengumuman hasil tes terakhir, dan akhirnya aku tinggal selangkah lagi untuk menggapai impianku bekerja di sini. Namun bukan hanya itu, karena ini adalah juga hari wisuda Metta. Aku melihat di FS bahwa Metta sudah mengupload fotonya dengan makeup dan jubah toga yang membuatnya tampak cantik dan pintar. Di bawahnya ada caption berbunyi:

"Finally, the graduation day. I'm very happy, and wish we could celebrate our success together"

Itu sebuah caption yang jelas ditujukan padaku. Namun, alih-alih memberi komentar, aku hanya menekan tombol "like" saja. Semenjak pembicaraan itu, jujur aku agak malas mengomentari setiap postingan dari Metta, hal yang sebelumnya hampir tak pernah absen kulakukan. Sekaranglah saatnya bagiku untuk meraih kesuksesanku sendiri, dengan catatan, semuanya lancar...




Namun saat aku sampai di sana, yang terjadi bukanlah apa yang aku harapkan. Ya, namaku tak ada di mana-mana dalam pengumuman. Aku merutuk setengah mati. Segala sesuatu dan rencana yang telah kususun dengan matang kini runtuhlah sudah. Kemudian aku merasa semua bagai melayang pergi dariku.

Andai saat itu aku bisa berpikir lebih jernih, mungkin aku akan langsung menghubungi Metta, lalu berangkat ke tempat wisudanya saat itu juga dan memenuhi janjiku. Namun dalam kekalutan itu, yang kulakukan malah mencari lagi di daftar itu, bukan namaku, karena mustahil namaku bisa muncul begitu saja dalam kertas, melainkan nama Rini, gadis yang baru saja kukenal pada hari terakhir tes. Setelah melihat sejenak, ternyata Rini pun senasib denganku. Namanya tak ada dalam daftar, dan entah dari mana logikanya, aku malah mengembuskan nafas lega karena ada teman yang sama-sama tidak lulus. Mungkin ini maksud dari pepatah "misery loves company", bahwa kita cenderung menyukai orang-orang yang sama tak beruntungnya dengan kita.


"Hei, Erik, lo udah ngelihat hasilnya?"


Aku melihat ke samping dan, speak of the devil, Rini ada di sana, dengan senyum dan raut mukanya yang ceria, persis seperti ketika pertama kali aku melihatnya. Entah kenapa aku malah merasa tak suka dan ingin menghapus senyum itu dari wajahnya.


"Udah." jawabku dengan nada dingin.

"Oh, terus? Elo lolos, kan? Pasti lolos dong?"

"Sayangnya enggak, kamu juga enggak lolos, tadi udah aku cari..."



Rini membelalak, namun alih-alih kesal atau sedih, dia hanya memonyongkan bibirnya hingga terlihat lucu, lalu kembali tersenyum sambil melihat kembali ke daftar.


"Wah iya, nggak masuk juga ternyata. Hh, ya sudahlah..."


Aku agak tertegun melihatnya. Dia tak tampak kesal atau sedih, hanya terlihat sedikit kecewa, lalu kembali tersenyum meski tak selebar tadi. Bukan hanya itu, dia juga menepuk dan mengelus-elus bahuku, sambil mengatakan supaya aku sabar.


"Sabar ya, kita coba lagi lain kali."

"Nggak tahu aku, Rin, kesel aku jujur."

"Kesel kenapa? Hei, yang ndaftar ini ribuan lho, se-Indonesia. Bisa lolos sampai tahap terakhir aja udah keberuntungan luar biasa."



Nada bicaranya yang ringan, elusan dan tepukannya yang lembut serta tulus, dan aura positifnya yang terpancar darinya walau tengah mendapatkan hasil buruk, mau tidak mau turut juga mempengaruhiku. Aku pun menjadi lebih tenang dan akhirnya pikiranku bisa agak terang sedikit.


"Kayak gini sih bakal ada terus tiap tahun, Rik, so kita bisa coba lagi tahun depan, oke?"

"Kamu optimis sekali ya?"

"Iya dong, masa gitu aja nyerah sih? Gak bakal bisa idup di Jakarta ntar."

"Hmm, iya juga sih."

"Eh, lo bukan orang Jakarta kan ya? Ya udah, biar nggak cemberut-cemberut amat, gue traktirin ya, oke?"

"Traktir? Di mana?"

"Udah, ikut aja!"



Rini kemudian menarik tanganku ke sebuah minimarket merangkap kafe, 7-*leven, yang kebetulan berada dekat dengan gedung RBTV, hanya beberapa menit saja berjalan kaki. Pada tahun itu, minimarket/kafe ini merupakan hal yang cukup hype di kalangan anak muda Jakarta. Banyak orang yang menongkrong di sini, dan pemandangannya jelas berbeda sekali dengan apa yang pernah kulihat di kota asalku, karena memang ini hanya sesuatu yang ada di Jakarta.

Aku masih ingat saat itu aku terheran-heran ketika Rini menggamit tanganku ke beberapa counter ambil sendiri. Pandangan mata orang-orang melihat kami seolah kami tengah berpacaran, karena memang Rini royal sekali dalam menggandeng, menggamit, atau memegang pundakku, hal yang masih jarang dilakukan oleh gadis di kota asalku, apalagi di depan umum.

Boleh dibilang aku amat takjub dengan apa pun di sana. Mengambil kopi panas sendiri langsung dari mesin, menuangkan sendiri saus tomat, sambal, keju, dan acar pada hotdog, menemukan minuman setengah cair setengah beku bernama Sl*rpee, hingga memakan camilan keripik kentang yang sudah dicampur saus keju dengan menggunakan sumpit. Karena belum terbiasa, mulutku sampai belepotan, dan Rini dengan santainya mengambil tissue untuk mengelapnya sambil tersenyum. Apabila ada yang bertanya kapan pertama kali aku mulai jatuh cinta pada Rini, maka aku akan menjawab pada saat itu, di S*vel, ketika dia menyeka mulutku sambil tersenyum. Untuk sejenak pada saat itu, keberadaan Rini membuatku lupa akan kegagalanku, rasa kesalku, bahkan lupa juga bahwa aku harus datang ke acara wisuda Metta.


"Gimana? Enak, kan?" tanya Rini dengan pipi menggembung karena mengunyah hotdog.

"Ya, enak sih. Di kotaku nggak ada sosis segede gini, yang rasanya seenak ini."

"Makanya, pindah sini kalau lo mau rasain sosis kayak gini terus."

"Ntar lah, abis skripsi kelar."

"Oh, lo belum selesai skripsian?"

"Belum, orang dosennya resek. Gonta-ganti judul mulu."

"Sabar ya, emang dospem tuh kayak gitu, kebetulan aja lo dapet yang zonk."



Saat berkata begitu, Rini memegang pergelangan tanganku seolah menenangkan. Jantungku pun dag dig dug tak karuan. Terakhir aku merasakan ini adalah saat bersama Metta beberapa hari lalu. Kenapa ini? Apa aku tiba-tiba jatuh cinta dengan gadis unik ini?


"Kamu sendiri gimana?" tanyaku.

"Gimana apanya?"

"Kamu udah lulus?"

"Ya, tergantung maksudmu lulus sih. D3 iya, lulus, tapi rencananya gue mau nerusin ke S1 tengah tahun ini. Yah, sementara nungguin, gue ngelamar ke sini aja, kan kalau diterima lumayan, gajinya bisa gue pake buat biaya kuliah S1, biar bokap gue nggak kesusahan."

"Hoo, I see."

"Eh, omong-omong lo abis ini ada keperluan lagi? Apa mau langsung balik kampung?"

"Nggak ada sih, ya nggak balik kampung juga lah. Besok paling aku baru balik."

"Hoo... Mau dianterin ke stasiun?"

"Eh, nggak usah, aku bisa koq."

"Takutnya elo nyasar. Nggak lucu lho, nyasar di kota segede Jakarta."



Rini tertawa kecil, dan mau tak mau aku pun ikut tertawa juga mendengarnya. Gadis ini punya daya tarik yang berbeda dari Metta. Apabila Metta orang yang anggun dan elegan, maka Rini adalah orang yang lugu dan ramah serta bersahabat. Saat ini tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa dia bisa saja begini pada semua orang, karena aku merasa sikapnya padaku ini membuatku dianggap sebagai sesuatu yang penting.


"Kamu sendiri abis ini langsung balik?" tanyaku.

"Ya, iyalah, kan gue ada rumah di sini. Tapi ntar, bukan sekarang. Gue lagi nungguin bokap ngejemput."

"Oh, dianterin bapak kamu?"



Rini mengangguk.


"Bokap gue hari ini pengen nganter jemput gue, soalnya tumben dia bisa dapet libur pas hari kerja macem gini. Kemaren-kemaren gak bisa, karena jatah liburnya nggak pas ama jadwal gue tes."

"Oh, dijemput jam berapa ntar?"

"Sekarang jam berapa ini? Kayaknya sih jam 10-an gitu."

"Jam 10? Sekarang aja udah jam setengah 12."

"Enggak ah, baru jam... Oh shit, jam gue mati!"



Tiba-tiba Rini merasa panik dan langsung mengobrak-abrik tas clutch yang dibawanya dengan raut muka khawatir. Dia mengeluarkan beberapa benda seperti lipstik, parfum, sisir, dompet, sebelum akhirnya ketemu yang dia cari, sebuah hape kecil merek N*kia 2100 warna purple. Dia tampak terkejut melihat layarnya.


"Bokap gue udah beberapa kali nelpon ama SMS ternyata, udah dari tadi ternyata. Duh, gimana ini?"

"Ya, telpon lagi aja lah, kasih tahu kamu lagi di sini."

"Oh iya, oke."



Rini kemudian menelepon, sementara aku membantu memasuk-masukkan kembali barang-barang ke dalam tasnya.


"Halo, ini Rini, Pak? // Bapak di mana? // Oh, di seberang? Koq Bapak bisa di seberang? // Tadi ada yang bilang Rini di seberang? Enggak lah, mana berani Rini nyeberang jalanannya kayak gitu. // Ya, ini Rini lagi di S*vel nih ama temen, ini udah selesai ini, Rini ke sana sekarang, ya. // Kenapa, Pak? Bapak yang mau ke sini? Jauh, Pak, muternya. // Oh gitu. // Hehe, iya, gagal lolos, Pak. Yah, mungkin emang belum rezeki nih. // Eh, lho, Bapak nelpon sambil jalan, ya?? Ati-ati, Pak, jalanannya lagi..."


Tiba-tiba Rini berjengkit seolah mendengarkan sesuatu yang amat mengejutkan. Matanya membelalak penuh kengerian, lalu kulihat tangannya yang memegang hape gemetaran, hingga akhirnya hapenya jatuh ke lantai. Aku langsung menunduk dan mengambil hape itu, yang mengeluarkan bunyi dengungan keras. Hampir seketika itu juga bunyi klakson motor dan mobil terdengar menggila di luar. Mau tak mau, aku berpikir yang terburuk...


"Kecelakaan, woy!! Kecelakaan!!"


Orang-orang berteriak dan menghambur dan dengan pandangan kosong, Rini langsung turut pula berlari ke luar. Mulai dari sini, ingatanku pada kejadian itu agak-agak kabur karena memang banyak hal yang kulihat dan kudengar, namun aku bisa ingat bahwa di jalanan, ada seseorang yang terbaring, di sebelah motor yang tergeletak dengan roda masih berputar. Orang-orang mengerumuninya, dan Rini berteriak histeris berusaha menghampirinya, namun segera kutahan karena lalu lintas saat itu masih ramai. Baru setelah si korban dibawa ke tepi jalan, kulepaskan Rini yang langsung menuju ke arahnya.


"BAPAAAAKKK!!!! BANGUN, PAK!!!! BANGUN!!!!!"


Banyak yang melintas di pikiranku saat ini. Kulihat tak ada darah di jalanan, dan ini biasanya pertanda bagus, namun bapak Rini tidak sadarkan diri, jadi kurasa ini tidak bagus. Aku segera saja menggebrak kaca mobil K*jang yang sepertinya menabrak motor bapak Rini.


"Woy, Pak! Tanggung jawab, Pak! Tolong bawa ke rumah sakit!!" begitu teriakku pada si sopir.

"Ta-tapi, saya..."

"Cepetan, Pak!! Bantu saya, cepet!!"



Si sopir dengan gugup turun dari mobilnya, lalu kami, dibantu orang-orang segera mengangkat bapak Rini yang masih tak sadarkan diri ke dalam mobil. Rini duduk mematung, gemetaran, bahkan saat aku menghampirinya dan mengajaknya untuk ikut, dia masih amat syok. Karena tak bisa menunggu, aku segera saja membopong Rini supaya ikut masuk ke dalam mobil, yang langsung menuju ke rumah sakit terdekat. Rini masih bisa diajak untuk turun dan berjalan, namun pandangannya kosong, dan dia langsung duduk meringkuk di bangku ruang tunggu IGD, sementara aku dan si sopir mengurus admisi untuk bapak Rini.

Entah berapa lama waktu berlalu, namun aku akhirnya baru bisa benar-benar lega setelah dokter mengatakan bahwa mereka berhasil menstabilkan keadaan bapak Rini, meski masih harus mengamati dahulu kondisinya. Aku kemudian beralih ke Rini yang masih meringkuk. Kulepas jaketku dan kutangkupkan padanya. Dia agak berjengkit ketakutan saat jaket itu menyentuhnya, namun setelah melihat bahwa itu aku, dia kembali agak tenang. Kuminta Rini untuk menelepon keluarganya untuk mengabarkan hal ini, tapi Rini hanya menggeleng-geleng ketakutan, sehingga dengan terpaksa, akulah yang menelepon mereka menggunakan hape Rini.

Setelah itu, aku pun duduk di sebelahnya, dan tiba-tiba dia mencengkeram lenganku dengan keras, tak mau melepaskannya. Kurasakan tangannya gemetaran, dengan mukanya ketakutan, dan dia masih tak bisa diajak bicara. Aku lalu menepuk dan mengelus kepalanya, hingga dia akhirnya menjadi semakin tenang dan menyandarkan kepalanya pada bahuku, sambil masih terus menggamit kencang lenganku. Tak lama kurasakan napasnya semakin tenang dan melambat, dan akhirnya dia tertidur di bahuku. Entah bagaimana, aku pun ikut pula tertidur sambil menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku.

Aku terbangun saat seseorang yang mengaku dia paman Rini membangunkanku. Rupanya beberapa anggota keluarga Rini sudah hadir pula di sini. Mereka bertanya bagaimana keadaan bapak Rini, lalu menepuk pundakku dan berterima kasih padaku karena telah sigap. Sepanjang itu, Rini masih tertidur pada bahuku dan menggamit lenganku. Entah bagaimana kelihatannya hal ini di mata mereka, namun aku tak begitu mempedulikan soal itu. Pada akhirnya, mereka memilih membiarkan Rini sendiri dulu bersamaku hingga dia tenang lagi nanti.

Jam di dinding menunjukkan sudah lewat pukul 3, dan dengan keluarga Rini berdatangan, aku mulai agak tenang, meski belum bisa melepaskan pegangan Rini dari lenganku. Saat itulah aku ingat bahwa seharusnya aku pergi ke acara wisuda Metta siang ini, dan acaranya seharusnya selesai jam 1. Kuambil hapeku sendiri, dan ada beberapa missed call dari Metta, namun tak ada SMS. Aku langsung saja menghubunginya. Sekali dua kali, sambungan terputus begitu saja, baru saat kucoba untuk ketiga kalinya, telepon diangkat.


"Metta?"

"Hmm."

"Maaf, aku..."

"Kamu ngapain telpon? Nggak tahu kamu udah jam berapa sekarang?"

"Iya, aku mau ke sana sekarang..."

"Nggak usah, acaranya udah selesai, aku udah pulang."

"Aku minta maaf, Met, tapi tadi itu..."

"Kamu kalau emang nggak bisa datang, atau NGGAK MAU datang, paling enggak bisa kasih kabar, kan? Hape ada kan? Pulsa ada kan?"

"Iya, masalahnya tadi itu..."

"Sekarang, kamu lolos apa enggak?"

"E-enggak, Met."

"Enggak lolos? Dan kamu nggak langsung ke sini saat itu juga? Kecewa aku, Rik."

"Met, just listen to me..."

"Kamu tahu nggak aku udah nungguin kamu dari awal sampe akhir, nungguin kabar dari kamu, kirain kamu itu nyasar atau ada kenapa-kenapa di jalan. Nggak cuman aku, Rik. Papa ama mama aku juga nungguin, mereka pengen ketemu ama kamu. Malu aku Rik, ama mereka. Aku tahu kamu masih kesel ama aku soal yang aku omongin kapan hari itu, tapi ya nggak kayak gini juga dong, Rik. Susah amat disuruh ngasi kabar gitu aja, emangnya kamu pikir aku ini apa?"

"Tapi, Met..."

"Udahlah, terserah, aku nggak mau lagi ketemu atau ngobrol ama kamu saat ini. Terserah kamu mau pulang kapan, ati-ati aja di jalanan ntar. Aku udah kecewa ama kamu. Bye!"



Panggilan terputus. Saat aku mencobanya kembali ternyata tidak tersambung, entah karena panggilan ditolak atau Metta langsung memblokirku. Aku hanya menarik napas panjang saja. Saat itu kurasakan Rini bergerak di lenganku, dan saat kupalingkan pandangan ke arahnya, dia tampak juga melihatku dengan pandangan mata bersalah.


"Maaf ya, Erik..." katanya lirih.


Aku hanya bisa terdiam tanpa menjawab, hanya sekali menghela napas panjang. Lalu kurasakan Rini kembali menangis di lenganku. Ini hari panjang bagi kami berdua.

Singkat ceritanya, setelah itu, aku langsung pulang ke kota asalku. Sampai di sana aku baru mendapat kabar bahwa bapaknya Rini akhirnya meninggal setelah beberapa hari koma. Aku merasa bersalah tidak bisa datang waktu pemakamannya.

Lalu hubunganku dengan Metta makin lama semakin renggang. Kami memang pernah beberapa kali mengobrol entah chatting di *IRC atau Y*hoo! M*ssenger atau F*cebook, namun sudah tak seintens biasanya, dan setiap kali semakin sebentar dan semakin pendek, hingga akhirnya, bahkan sebelum 2009 berakhir, kami boleh dibilang sudah putus kontak, meski sama-sama masih saling mengikuti sosmed masing-masing dan tak saling blokir.

Sementara itu, komunikasiku dengan Rini justru semakin intens. Ya, Rini-lah yang mengisi kekosongan setelah Metta menjauh. Dia dengan aktif mendorongku untuk mengerjakan skripsiku, tak seperti Metta yang terkesan lebih menyerahkan padaku. Dari sini aku pun tahu bahwa Rini membatalkan rencananya untuk lanjut kuliah ke S1, dan mencari kerja sebagai tulang punggung keluarga, setelah bapaknya meninggal, walau itu berat karena dia hanya lulusan D3. Kami saling menguatkan walau terpisah jarak, hingga akhirnya aku pun berhasil lulus dan wisuda, serta mendapat pekerjaan di Jakarta. Dan orang pertama yang kukabari semua itu adalah Rini, bukan Metta. Yang artinya Rini sudah menggantikan posisi Metta dalam hatiku.

Bagaimana dengan Metta? Komunikasi terakhirku dengan Metta adalah pada pertengahan 2010, ketika dia bertanya padaku lewat FB, kenapa aku tidak memberitahunya bahwa aku sudah lulus dan mendapat pekerjaan di Jakarta. Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya, sehingga kubiarkan saja pesan itu tak terjawab hingga sekarang. Setelah itu tak ada kabar lagi dari Metta, begitu pula aku tak mengupayakan menghubunginya lagi lewat media apa pun, hingga akhirnya status FB-nya tidak aktif lagi pada tahun 2012. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi apakah Metta punya Instagram atau sosial media lain, dan jujur aku malas mencari tahu. Karena saat itu sudah ada wanita lain yang mengisi hidupku.

Ya, aku akhirnya berpacaran dengan Rini, tak lama setelah aku bekerja di Jakarta, pada pertengahan 2010. Dari sinilah aku tahu bahwa kehidupan pacaran ternyata tak seindah bayangan para jomblo atau single. Banyak drama pasang dan surut, namun setiap kali kami berusaha bertahan, hingga akhirnya kami pun menikah pada pertengahan 2012. Itulah mungkin saat terakhir aku melihat Rini benar-benar bahagia dengan amat tulus. Setelah itu, semakin banyaknya kami merasakan asam garam kehidupan, Rini menjadi semakin ketus, tertutup, dan negatif, serta semakin mudah marah dan cemburu, gampang bermain tangan atau mengucapkan perkataan yang menyakiti hati, jauh panggang dari Rini yang pertama kukenal sebelum tragedi pada 2009 itu.


==========

Tahun 2021

Semua cerita tertumpah dan mengalir begitu saja, mengenai Rini, mengenai bagaimana dia berubah, juga soal pertengkaran itu. Tak terasa, aku sudah pada donat terakhir saat sampai di akhir cerita.


"Jadi gitu, Bu. Wah, ampe habis ini kuenya."

"Wah, saya seneng malah kalau sampeyan sampai habis gitu makannya. Kalau soal masalah itu, ya harus diselesaikan, lah. Namanya juga suami istri, Pak. Istrinya sampeyan adalah yang bakal nemenin sampeyan nanti sehidup semati."

"Iya, semoga ya Bu."

"Koq semoga, ya harus. Emangnya sampeyan udah nggak cinta lagi ama istrinya?"

"Ya masih cinta lah, Bu, cuman..."

"Cuman apa?"

"Cuman penasaran aja, apa iya saat itu saya bikin keputusan yang bener, ya?"

"Omong apa ta, sampeyan ini? Ya pasti bener lah. Lagian mau bagaimanapun kan itu udah kejadian, gak bisa diulang lagi. Jadi ya, usahakan yang terbaik aja. Oh ya, sampeyan doyan kopi, Pak?"

"Doyan, Bu."

"Item apa putih?"

"Putih, Bu, kalau saya."

"G**d Day mau ya? Bentar, saya bikinin."

"Halah, Bu, gak usah repot-repot."

"Ndak repot ini, Pak. Sampeyan tadi kan udah bayar lebih, jadi sekarang saya kasih bonus. Sekalian biar badannya anget abis ujan-ujanan."



Si Nenek lalu kembali ke sepedanya, mengambil sebuah tumbler plastik yang tampak seperti hadiah produk, lalu satu sachet minuman kopi instan merek "G**d Day". Namun alih-alih langsung diseduh, dia memasukkan kopi dan air panas pada tumbler, ditutup, lalu dikocok. Saat dituangkan ke dalam gelas plastik, tampak kopinya berbusa seperti kopi tarik.

Dia lalu memberikan gelas kopi itu padaku. Aku langsung saja meminumnya, dan rasa hangat pun menjalar pada tubuhku yang agak menggigil kedinginan. Si Nenek tersenyum melihatku menghabiskan kopi itu, bagai seorang ibu yang senang melihat anaknya makan dengan lahap. Tanpa terasa, begitu kopi itu habis, hujan pun turut berhenti.


"Eh, Pak, ujannya udah berhenti, nih, saya langsung jalan lagi ya, makasih sampeyan udah borong semuanya ini."

"Iya, Bu, sama-sama. Kebetulan saya belum makan, eeh Ibu pas lewat."

"Hehehe, takdir kali, Pak. Ya sudah, saya jalan dulu, ya Pak! Makasih udah beli donat saya."



Kemudian aku berpamitan dengan si Nenek Penjual Kue. Dengan perut kenyang dan hujan sudah berhenti, aku memacu motorku menuju ke hotel kapsul di dekat kantorku.

Setelah mendapatkan kamar, aku segera mandi kembali dengan air hangat karena memang tadi basah kuyup akibat hujan. Kuperiksa juga luka di kepalaku akibat pukulan, dan sepertinya pendarahannya pun sudah berhenti dan tidak ada kerusakan apa pun. Bagus lah, dan pusingnya pun sudah hilang. Saatnya aku merebahkan diri di kasur, dan beristirahat. Sungguh hari yang penuh naik turun bak roller coaster, ada beberapa yang membuatku amat menyenangkan, namun ada juga yang amat menyebalkan. Pelan-pelan, aku pun menutup mataku dan mencoba untuk tidur di bawah mood lighting dari hotel ini. Aku hanya berdoa, semoga semua bisa lebih baik besok pagi.






"TUUT-TIIT!! TUUT-TIIT!! TUUT-TIIT!!!"


Ah, berengsek alarmnya siapa sih itu, berisik banget? Tapi kenapa suaranya dari kamar ini? Apa itu alarmku? Apa nada yang sudah ku-set untuk alarm ini ke-reset kembali? Aku menggeliat dan membuka mata, namun semuanya tampak gelap. Hmm, aneh sekali, terakhir kali kuingat, hotel ini ada mood lighting yang tidak kumatikan sepanjang malam. Selain itu kasurnya tak seempuk saat kuingat semalam, begitu pula aku bisa merasakan guling, yang normalnya tak ada dalam sebuah hotel. Lho? Apa ini sebenarnya?

Lalu secara refleks aku menjulurkan tanganku ke atas. Kosong, tak ada apa-apa, padahal seingatku ini adalah hotel kapsul yang jarak langit-langitnya bisa kujangkau dengan lengan. Kenapa sekarang kosong? Kulihat ke atas, dan dalam kegelapan, aku bisa sayup-sayup melihat langit-langit eternit dengan lampu neon yang mati. Aku juga baru sadar tengah berada pada kasur yang diletakkan begitu saja di lantai. Suasananya agak panas dengan suara kipas angin yang menyala, alih-alih AC. Aromanya pun entah kenapa tidak asing bagiku. Siluet barang-barang pun terlihat begitu saja berantakan di kamar ini.


"TUUT-TIIT!! TUUT-TIIT!! TUUT-TIIT!!"


Alarm berengsek itu berbunyi lagi, dan aku segera menggali bantal untuk mencarinya. Ternyata benar, ini dari hapeku. Aku segera menggeser layarnya untuk mematikannya, namun anehnya beberapa kali pun kucoba, layarnya sama sekali tidak bergerak. Lho? Apa hapeku rusak? Saat kugerakkan jariku, aku pun merasakan beberapa hal yang seharusnya tak ada dalam sebuah smartphone. Ya, ternyata di sana ada tombol hijau dan merah, tombol navigasi, tombol tab, dan keypad. Aku mengucek mata beberapa kali dan baru menyadari sesuatu, bahwa ini bukanlah hape S*msung Galaxy A72 milikku, melainkan sebuah N*kia N73! Aku langsung saja melompat dan entah bagaimana aku langsung bisa menemukan tombol lampu.

Saat kunyalakan lampu, aku amat terkejut, karena entah bagaimana aku bisa ada di kamar kosanku yang lama. Segalanya sama persis, namun pada versi ini tidak ada begitu banyak barang di sini selain dari barang bawaan asli kosan ini, hanya sebuah ransel yang kutaruh di pojokan. Jangan-jangan ini adalah...

Dengan gemetaran aku mengangkat hape N*kia N73 itu. Warna, detail, termasuk cacatnya jelas menunjukkan bahwa ini adalah hape N73 yang pernah kumiliki. Mustahil! Hapeku yang ini sudah rusak sejak 10 tahun lalu dan aku sendiri tak tahu ke mana rimbanya. Kutekan tombol navigasinya, dan kulihat tanggal yang tertulis pada layarnya...


29 Juli 2009...

Next >>> Return
 
Terakhir diubah:
Okey.. sepertinya suhu suka baca light novel shg mencoba utk membuat cerita regression... Bagus hu.. semangat..

Lebih tepatnya suka nonton drama Korea ane hu wkwkwk...

Tp emg dr dulu pengen bikin alur regresif sih, biar variasi dari biasanya pake progresif
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd