Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Angkara Bara [On Going]

Status
Please reply by conversation.
***
KARAKTER

Bara Geni, 25 tahun (MC)

Ratu Geni, 44 tahun (Bunda Bara.)

Arkana Geni, 3 tahun (Anak Ratu, entah siapa siapa ayahnya.)

***
Bestie:

Romi Raffael aka Rombeng, 25 tahun

Sangkala Gema aka Bogel, 25 tahun

Tegar Jagal Bilawa aka Kopek, 25 tahun

Mapanji Garasakan aka Panjul, 25 tahun

***
Korban keganasan Ular Kobra Bara:

Dinda Oktaviani aka Dinda, 19 tahun (Primadona Gang Singo. Anak agen toko sembako.)

Atikah Novianti aka Bu Tika, 37 tahun (Istri pemilik agen toko sembako. Memiliki fantasi ngentot di ruang publik.)

Siti Nur Syarifah aka Mbak Sari, 25 tahun (Janda anak satu yang bekerja menjadi streamer aplikasi enak-enak.)

Sumiati aka Budhe Sum, 46 tahun (Istri pemilik Warkop Bayar Keri. Menjaga warung hanya kedok untuk dirinya menjual diri.)

Marlena aka Bu Mar, 42 tahun (Istri tukang becak. Tukang pijat nomer wahid.)

Rosidah aka Bu Ida, 39 tahun (Istri Pak RT. Bidan Gang Singo.)

Ainun aka Umi, 50 tahun (Istri Pak Haji. Wanita berumur yang suka tidak pakai dalaman saat di luar rumah.)

Restu Aprillia aka Mbak Restu, 28 tahun (Istri Sekdes. Memiliki usaha konter pulsa.)

Ovie Jingga Maharani aka Mbak Rani, 30 tahun (Istri pengusaha tambak udang. Ibu muda hedon.)

Saumia Eka Syabana aka Sau, 19 tahun (Mahasiswi. Sahabat Dinda di kampus.)

Nuraini aka Ustadzah Aini, 34 tahun (Istri Pak Ustadz. Ustadzah kondang yang kerap dimanfaatkan.)

Ulfa Wulandari aka Ning Ulfa, 32 tahun (Istri kuli bangunan. Buruh pabrik konveksi yang jarang dibelai.)

Ambar Saraswati aka Bu Ambar, 35 tahun (Suami kang gendang group musik dangdut. Biduan idola kawula muda pecinta emak-emak.)

***
Para garangan:

Paidi aka Lik Di, 49 tahun (Pemilik Warkop Bayar Keri. Suami Budhe Sum. Pemancing ulung.)

Darto aka Cak To, 45 tahun (Tukang becak. Suami Bu Mar. Menambah penghasilan kebutuhan sehari-hari dengan berjualan minuman keras.)

Subakir aka Pak Bakir, 44 tahun (Pak RT. Suami Bu Ida. Kader partai.)

Abu Bakar aka Abah, 55 tahun (Pak Haji. Suami Umi. Pemilik usaha mebel dan cabul.)

Imron aka Pak Imron, 40 tahun (Pemilik agen toko sembako. Suami Bu Tika. Dewa catur.)

Agung aka Mas Agung, 29 tahun (Sekertaris Desa. Suami Mbak Vina. Diam-diam menikah lagi dengan janda kampung sebelah.)

Heru aka Mas Heru, 31 tahun (Pengusaha tambak udang. Suami Mbak Rahma. Sponsor utama setiap acara yang diadakan Gang Singo.)

Ayep aka Pak Ayep, 38 tahun (Pak Ustadz. Suami Ustadzah Aini. Pendakwah kondang aliran sayap kiri.)

Suratman aka Cak Man, 35 tahun (Kuli bangunan. Suami Ning Ulfa. Tukang sabung ayam.)

Purbagyo aka Cak Pur, 37 tahun (Kang gendang group musik dangdut. Istri Bu Ambar. Pemberi info anti hoax.)

NB:

JIKA ADA TAMBAHAN KARAKTER KE DEPANNYA UNTUK KEPENTINGAN CERITA, AKAN SEGERA DITAMBAHKAN DI SINI.





Salam genjot, semprot, dan moncrot!
 
Terakhir diubah:
***
CHAPTER 1

POV BARA

Minggu

Gang Singo punya cerita.

Dipimpin oleh ketua RT pecinta batu akik, Pak Bakir, ada sekitar 51 KK di kampung ini. Dimulai dari rumah sederhana pertama yang ditinggali nenek tua dan cucu laki-lakinya, hingga rumah kontrakan satu petak minimalis paling pojok yang dihuni pendatang dari luar kota.

Berbicara soal pendatang. Ada kiranya tiga tahun rumah itu ditempati. Rencananya akan memperpanjang untuk tahun keempat kalau sudah ada dana. Di samping lingkungan yang asri, rukun, nan ceria, membuat betah siapa pun tinggal di RT 07.

Adalah aku, Bara. Pemuda 25 tahun yang bekerja serabutan tak menentu, setelah sebelumnya memutuskan berhenti kuliah untuk sebuah alasan yang tak ingin kuceritakan.

Pagi sampai menjelang petang aku banting tulang menghidupi dua anggota keluargaku lainnya. Siapa lagi kalau bukan ibuku, Ratu, 44 tahun tahun, dan Kana, adik perempuanku yang berusia 3 tahun lebih sedikit.

Tentang bagaimana aku keluar dari zona nyamanku di Surabaya sampai bisa berakhir di tempat ini tak lepas dari eksistensi adik imutku. Masa lalu yang sedikit suram untuk kembali meracuni pikiranku yang sekarang sudah sedikit lebih baik. Namun, aku tak lagi memusingkan hal itu. Fokusku jelas. Tujuanku pas. Yaitu kerja keras demi masa depan Kana.

Di pagi hari Minggu yang kelabu, aku beraktifitas seperti biasa. Mengumpulkan nyawa sejenak di atas kasur kapuk bersprei tim kebanggan sejak kecil -Manchester United- aku mengamati keadaan sekitar. Suara rintik air hujan di jendela kamar mulai terdengar. Aroma hujan terbawa angin terasa menenangkan. Begitu sejuk dan damai.

Sedikit gelap. Memang. Aku kalau tidur benci terang. Kalau pun lampu menyala saat aku tertidur, itu jelas ulah Bundaku. Iya, aku memanggilnya Bunda. Sudah kebiasaan sedari kecil, sih. Lagipula, wajar aku memanggilnya Bnda karena ia ibu kandungku. Kalau aku memanggilnya sayang, lain cerita, dong. Bajingan.

Jarum jam menunjukkan angka 4.50. Nyawaku sudah terkumpul. Sebagian. Sudah waktunya untuk menjalankan kewajiban.

Bangun. Merenggangkan otot-otot kaku akibat semalam pulang larut. Bukan tanpa alasan. Agen toko sembako tempatku bekerja selama dua tahun ini memaksaku mengirim pesanan pelanggan yang tengah menggasakan hajatan di kampung sebelah. Beras tiga karung. Tepung terigu, kanji, dan gula, yang masing-masing satu karung. Aku muat jadi satu di atas motor matic second yang kubeli murah dari sahabatku.

Belum lagi saat pulang aku harus menuntun motor bututku beberapa kilo jauhnya karena bannya kempis. Kurang angin akibat kelebihan muatan.

Kretek! Kretek! Tek!

Ah!

Nyaman sekali. Bunyi pinggang serta leherku ketika kugerakkan ke kanan-kiri.

Bertelanjang dada dan menggenakan celana dalam dibalik celana kolor pantai, aku mengambil rokok kretek dan korek gas warna hijau murahan yang ada di atas nakas. Berikut ponsel yang aku charger semalaman kucabut.

Membuka pintu. Pemandangan pertama yang menyambutku adalah Bunda yang kebetulan keluar bersamaan dari kamar belakang. Ia memakai daster motif bunga lengan pendek. Bongkahan payudaranya yang besar nan mengkal tanpa bra gundal-gandul saat ia berjalan menenteng handuk melewatiku yang berdiri menjulang di depan pintu kamar belakang.

Pemandangan sebagus ini sayang untuk dilewatkan. Tapi mengingat jika aset berharga milik Bunda pernah dijamah orang lain, tetiba dadaku bergemuruh marah. Segera aku membuang muka jauh-jauh.

"Pagi, Mas." Bunda berhenti untuk menyapa. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

"Hm." Aku menyahut singkat. Lalu, melengos meninggalkannya menuju teras depan. Terlebih dahulu aku putar kunci. Menyingkirkan ganjalan pintu di atas dan di bawah pintu, lalu menarik handle pintu sampai mentok. Iya. Kalau tidak mentok, handle pintu ini suka merajuk. Maklum, rumah lama yang sudah lama kosong.

Kriet!

Nah, kan? Dengar sendiri, bukan?

Aku berjalan menuju sisi kanan teras yang bersebelahan dengan kamar Bunda dan Kana. Duduk di kursi panjang dari anyaman bambu. Mulailah aku ritual pagi. Membakar rokok dan menghidupkan ponsel.

Baru saja data ponsel kunyalakan, benda pipih di dalam genggaman tanganku sudah bergetar sampai lemot. Aku geser kiri-kanan sampai lancar. Setelah itu, aku membuka sosmed pertama: WhatsApp. Ada banyak pesan sejak semalam yang belum terbaca. Salah satunya dari wanita pujaanku yang sudah dua tahun ini mengisi kekosongan hatiku.

Dinda.

Gadis imut berkacamata yang tahun ini resmi menjadi mahasiswa. Umurnya 19 tahun, 6 tahun lebih muda dariku.

Kontak Dinda tertera paling atas. Sebab, hanya kontak Dinda yang aku sematkan. Dari luar room chat, dapat kubaca pesan terakhirnya.

Dinda
Good night, Mas

Berbunga-bunga hatiku. Bila diibaratkan taman bunga Wonderland, bisa dilihat jika semua bunga bermekaran indah nan mengeluarkan bau wangi sampai ke gorong-gorong. Bajingan.

Tanpa minta pendapat Dewa Marmut, segera kubuka chat dari Dinda dan membalasnya.

Bara
Pagi, Tuan Putri. Maaf semalam nggak bales. Udah tidur aku

Kirim.

Centang satu.

Jangan berekspektasi lebih jika langsung dibalas. Centang satu tandanya ponsel Dinda mati. Artinya gadis cantik anak agen toko sembako tempatku bekerja itu belum bangun. Seperti yang sudah-sudah, tentu saja.

Berikutnya ada chat dari group pelawak yang dinamai Wolulas, alias Wong Tulus Korban Janda Ganas. Group yang berisikan lima manusia jahanam -termasuk aku- banyak sekali spam dari anggotanya. Spam paling banyak adalah seseorang yang kontaknya kuberi nama Panjul. Hanya panggilan keseharian. Yang tak lain dan tak bukan memiliki arti Panji Bajul. Panji namanya, bajul julukannya. Bajul alias buaya. Menjadi ciri Panjul yang suka sekali tebar pesona dan menyebar benih ke seantaro bumi Blitar. Kalau minta info cewek ke dia, ya, asu.

Aku baca dari atas sampai bawah 300 chat di group ini. Menggelikan. Empat garangan saling debat perkara video porno yang tengah viral. Mana video itu di share pula sama si Panjul. Gendeng!

Rokok aku bakar. Asapnya membumbung tinggi saat kukeluarkan melalui hidung dan mulut. Pantasnya disebut cerobong asap berjalan saking banyaknya.

Asap tembakau kretek mengebul, menyatu dan bersinergi dengan angin hujan. Mengikuti ke mana angin itu berembus. Pun membawa pikiranku melalang buana.

Video porno berdurasi 8 menit sudah aku lihat sampai habis. Bukan rasa sange yang kudapat, justru rasa kesal karena adegan di dalam video itu adalah seorang ustadzah cantik bin anggun di Blitar yang sedang dientot seorang lelaki muda di sebuah hotel.

Awalnya, aku mengagumi bagaimana cara si ustadzah dalam berdakwa. Cara bicaranya yang lembut. Wajahnya yang ayu. Sampai suaranya yang merdu. Tetapi, akhirnya bagaimana? Ya seperti sekarang ini. Hilang sudah respect-ku. Menyisakan sesak di dada.

Satu batang. Dua batang. Tiga batang rokok sudah dicabut siap disulut. Bersamaan dengan hadirnya sosok wanita yang paling kubenci. Benci sekali. Ia sudah mandi. Semerbak wangi sabun, bedak murahan, dan sedikit parfum menyandera hidungku. Yang kontan membuat mataku terpaku padanya yang tengah menggenakan pakaian rumahan sederhana: kaus putih gambar buah semangka kebesaran dengan bawahan terbungkus celana culottes warna coklat pudar.

Tak dapat dipungkiri jika wanita ini memiliki daya tarik secara seksual. Tanpa make up berlebihan, pancaran inner beauty-nya kentara menyilaukan. Apalagi kalau sudah bersolek? Bocah SD pun jelas paham jika wanita peranakan Surabaya-Madura-Arab ini laksana permata yang tersembunyi dibalik batu karang.

Rambut hitam panjang sedikit bergelombang karena hampir tak pernah terjamah salon. Wajah cantik nan manis dengan alis hitam tebal dan bentuk matanya yang menyerupai kacang almond, bundar besar dan sedikit naik di bagian outer-corner. Hidung mancung dan bibir lebih tebal yang atas. Begitu senada akan lekuk tubuh montok ginuk-ginuk dengan dua lipatan di perut. Jangan lupakan pula onderdil kebanggaan kebanyakan wanita: buah dada dan pantat. Dua itu jelas aku tak bisa berkata-kata. Maunya sih langsung diremas dan ditampar sampai merah. Bajingsn.

Tapi sekali lagi, rasa benciku kepadanya jauh lebih besar ketimbang rasa hormat.

Bunda.

Aku hanya mampu mengucap namanya di dalam hati. Lidahku terasa Kelu dan aneh jika mengucapkan namanya secara langsung. Tak peduli jika aku dianggap childish karena masih terjebak di masa lalu. Faktanya, memang begitu.

Tangan kanan Bunda membawa secangkir kopi hitam racik sedikit gula yang kepulan asap panas pada cangkir keramik menyatu padu dengan aroma pagi hari yang terasa menenangkan.

"Hari ini mau dimasakin apa, Mas?" Bunda mencoba mengajak ngobrol.

Tapi sayang, aku tak ada minat untuk menanggapinya. Hanya satu kata andalan seperti biasa yang aku ucapkan, "Terserah."

"Kamu ini kayak cewek, lho. Masa dari dulu jawabnya terserah mulu?" imut suara Bunda, meski usianya sudah memasuki kepala empat.

"Terus kenapa?" aku menukas sewot.

Bunda geleng kepala. "Astaga. Kamu ini kenapa sih nggak bisa bersikap lembut dikit gitu sama Bunda, Mas?"

"Tanyakan pada rumput yang bergoyang coba."

"Hai, rumput yang bergoyang. Berikanlah saya jawaban bagaimana caranya membuat anak saya tidak berani sama orang tua."

"Melawak."

Setelah mengatakan itu, aku membakar rokok. Dilanjutkan menyeruput kopi. Enak. Manisnya pas. Apalagi saat mataku mencuri pandang ke arah wajah Bunda yang pagi ini terlihat berbeda. Lebih cerah dari biasanya. Kulitnya kuning langsat. Masihlah mulus untuk ukuran wanita yang sudah dua kali turun mesin.

Entah gerangan bra model apa yang dikenakan Bunda, dua bongkahan besar itu nampak membusung dan menantap.

Ah, setan!

Mengapa pikiranku jadi ke mana-mana, sih? Harusnya aku tidak berpikir yang aneh-aneh kepada Bunda. Harusnya. Tapi ... ah, sudahlah!

"Nggak usah masak banyak-banyak. Aku sarapan di luar. Nanti siang baru makan di rumah." Aku bersuara memecahkan kebekuan.

Wajah Bunda cemberut, tapi ia mencoba tersenyum. Biar terpaksa, manisnya sama sekali tak berkurang. Yang kemudian, Bunda mengangguk-angguk. "Oke. Bunda masak sayur bening, tongkol pedes, sama beli kerupuk aja, ya?" putusnya, tanpa bertanya terlebih dahulu.

"Terserah," jawabku singkat.

"Ih! Kamu jawabnya kok pendek-pendek gitu, sih, Mas? Panjangin dikit, napa."

Aku mendelik. "Minta digoreng?"

Bunda justru terkekeh. "Digoreng, tiriskan, lalu makan. Hap!"

"Jangan sok imut. Jijik."

"Bunda kan imut. Dan ... cantik." Kerling Bunda, centil.

"Ngomong sana sama spion Tossa galon."

"Udah. Katanya Bunda lagi mekar-mekarnya. Untung Bunda rendah hati, jadi Bunda cuma ngomong kalau Gal Gadot lebih cantik dari Bunda."

"Senang mendengarnya."

"Kamu ini, hm!" Bunda tanpa aba-aba mencubit pinggangku. Agak kuat memang. Payudaranya sampai sedikit merapat di lenganku untuk menjangkau diriku yang mencoba mengelak.

"Apaan, sih?" sungutku, seraya menampik pelan tangan Bunda. "Dilihat orang kan malu."

"Emang Bunda sejelek itu ya sampai kamu malu kalau deket sama Bunda?"

"Bukan malu lagi. Tapi jijik."

"Hm. Mas masih merajuk ya gara-gara semalam?"

Dadaku seketika menghangat manakala Bunda memanggilku dengan panggilan yang membuat salah tingkah. Tapi, yang keluar dari mulutku justru decakan. "Nggak usah dibahas."

"Iya, iya. Bunda minta maaf, ya, Mas. Bunda juga nggak nyangka kalau tiba-tiba haid."

"Hm."

"Mas." Bunda mengamit lenganku. Menyandarkan kepalanya yang wangi shampoo di pundakku. Sebelah tangannya terulur mengelus lembut rahang kokohku sebelah kanan. "Semalam pasti kentang, kan? Mau Bunda kocokin, nggak?" bisiknya, serak. Kemudian, tangannya perlahan turun dan berhenti tepat di dada bidangku yang tanpa kaus.

Merinding aku dibuatnya. Darahku sampai berdesir. Jantungku berdebar tak karuan. Bisa-bisa melompat keluar dari dadaku kalau dibiarkan terlalu lama.

Lalu, aku mendengus, "Kenapa pagi-pagi udah mancing-mancing segala, sih?"

"Bunda nggak mancing. Bunda cuma nawarin."

"Hm. Bara sebentar lagi ke toko."

"Cuti sehari aja apa nggak bisa? Kan Mas sekarang udah jadi orang kepercayaan Pak Imron."

"Mau Bunda apa?"

"Mau Bunda ini." Agresif tangan Bunda bergerak cepat mendarat di bagian kejantananku yang mulai menggeliat bangun dari tidurnya. "Ih, takut."

"Mau tapi takut. Dasar aneh."

"Maksud Bunda, Bunda takut kalau kontol Mas diambil orang lain. Bunda nggak mau kontol Mas masuk ke lubang yang salah."

Serrrr!

Darahku berdesir lagi. Kali ini mendidih. Yang langsung tersambung ke aliran darah pada otak yang mulai dikuasai hawa nafsu.

Kubuang rokok. Segera kutarik tangan Bunda tergesa menuju ke dalam rumah. Di belakangku, Bunda hanya cekikikan. Ia tak mencoba menolak. Malah semakin gencar menggodaku.

Aku tahu apa yang ingin aku lakukan ini salah. Hanya saja, pesona Bunda sama sekali tak bisa dilawan. Bunda terlalu berharga untuk disia-siakan.

Di dalam kamarku, aku membaringkan Bunda di atas kasur kapuk. Suasana kamarku masih sama. Hanya diterangi cahaya yang masuk dari sela-sela jendela dan pintu. Hawa dingin yang menusuk tergantikan rasa hangat saat aku menubruk dan menindih Bunda.

Cup!

Tanpa banyak bicara, aku mencium bibir Bunda buas. Penuh nafsu. Kedua tanganku kugunakan untuk menarik ujung kaus Bunda hingga leher.

Sudah barang tentu terpampanglah bongkahan besar tertutup bra jenis nursing yang memiliki desain untuk mempermudah ibu menyusui bayi, dengan modifikasi dapat menurunkan cup ke bawah, yang semalam sempat kurasakan. Dan untuk kedua kalinya, payudara berukuran 38D ini kembali menyapaku.

Dua kissmark berwarna merah agak gelap di masing-masing daging padat putih bersih itu adalah ulahku.

Cup!

Aku hentikan ciuman bibir kami. Kurasakan deru nafas Bunda mulai memburu. Matanya sayu menatapku penuh nafsu.

"Mas mau nenen?" tanya Bunda, parau.

"Iya."

Tanpa babibu, segera kuturunkan cup bra Bunda. Buah dada yang sedikit turun namun masih padat dan kenyal itu berhiaskan areola kemerahan dengan dua puting besar tegak menantang senada. Mataku nanar memandangi keindahan gunung raksasa Bunda.

Segera aku arahkan bibirku menyosor puting kiri Bunda. Membuat badan Bunda sedikit menggelinjang. Desahannya tertahan karena Bunda tengah menggigit bibir bawahnya yang basah.

Cup! Cup! Cup!

Slurp, slurp, slurp!


Penuh nafsu menggebu, aku mengulum puting Bunda. Menghisap. Kujilat. Sesekali kuberikan gigitan kecil. Lalu, aku menguatkan sedotan hingga mancurlah ASI Bunda ke dalam mulutku, dan langsung masuk ke dalam tenggorokanku.

Aku sedot-sedot tanpa menurunkan intensitas. Untuk menambah rangsangan, aku gerakkan kedua tanganku untuk menangkup dari bawah buah dada Bunda. Kuremas kuat. Kugoyang-goyangkan ke kanan-kiri benda kenyal ini.

"Ahhhh ... ahhhh ... hmmm ... Masss ...." Hanya itu erangan yang keluar dari mulut Bunda. Matanya pun sudah terpejam rapat mendapatkan perlakuan mesum dariku, putranya sendiri.

Sejurus, tangan Bunda seperti tak sabaran. Ia mencari kontolku. Meremasnya kuat dari balik celana kolor.

Sambil tetap menyusu, yang kini berganti ke puting kanannya, aku membantu Bunda melepaskan celana kolorku, berikut celana dalam yang menutupinya.

Tuing!

Penuh kesombongan Ular Kobra-ku terangguk-angguk menantang Bunda. Mata Bunda seketika terbuka. Desahannya kembali keluar. Panas tubuhnya menguar. Aroma tubuh dan kelamin santer tercium dari tubuh molek Bunda.

Setelah menuntaskan dan menghabiskan ASI Bunda yang hampir 90 persen keluar dan masuk ke dalam lambungku, kami berciuman lagi. Saling pagut. Sedot bibir. Silat lidah. Panas nan tabu.

Dapat kurasakan debaran jantung Bunda keras terdengar. Geliat tubuhnya pun seperti cacing kepanasan.

"Ayo, beri Bara yang terbaik dari yang bisa Bunda lakukan," ucapku, setelah menyudahi ciuman kami.

"Mas rebahan, ya?" pinta Bunda, halus.

Tanpa disuruh dua kali, aku loloskan celanaku yang masih tersangkut di mata kaki. Setelahnya, aku mengganjal kepalaku dengan bantal. Memposisikan diri senyaman mungkin.

Lalu, mulailah Bunda menjalankan tugasnya. Ia sedikit beringsut ke bawah, kemudian memiringkan badan merapat di badanku. Sebelah susunya menggencetku yang masih menetes ASI membasahi lenganku. Paha berisinya menindih paha sampai kakiku.

Sambil melakukan kontak mata denganku, tangan lembut Bunda mulai menggenggam batang kontolku. Jempolnya dimainkan di lubang kencingku. Kemudian, Bunda melepaskan genggaman, lalu meludahi telapak tangannya sendiri. Dan kembali Bunda memegang kontolku. Meratakan ludahnya di sepanjang tubuh si Ular Cobra yang panjangnya melebihi pusarku. Bunda mulai mengocok lembut. Tatapan matanya sama sekali tak berpaling dari wajahku. Mataku.

Bajingan! Kali ini sensasinya dua kali lebih nikmat. Aku sampai mendesah tanpa sadar.

"Hm, Bunda," panggilku, sambil mendekatkan wajah.

"Ya, Mas?" suara Bunda begitu menggoda. "Enak, Mas? Bunda cepetin, ya?"

Aku mengangguk kaku. Seiring tangan kiri Bunda dengan lihainya mempermainkan batang kontolku. Kadang cepat, kadang lambat. Sesekali Bunda melakukan remasan dan memainkan jempolnya sekaligus di lubang kontolku. Pun jemari tangan kanan Bunda ikut bermain di bibirku. Merabanya lembut, yang kemudian mencoba masuk.

Aku menghisap satu jari Bunda penuh nafsu. Satu jari lagi masuk. Benar-benar gila. Kegiatan yang tak seharusnya dilakukan oleh orang normal dan berakal. Namun, kenakalan bersama Bunda memiliki sensasi berbeda ketimbang bersama wanita lain. Ada rasa nyaman dan kesenangan tersendiri.

Clek! Clek! Clek!

Sudah lebih dari 10 menit Budna mengocokku tanpa mengeluh sedikit pun. Ia masih tetap pada posisi. Tapi lambat laun, kurasakan Bunda mulai terengah-engah. Matanya semakin redup.

Tiba-tiba, Bunda mengecup dadaku. Memutari areola coklatku, lalu Bunda mulai menjilati putingku. Menghisap-hisap lembut dengan mata melirikku nakal.

Bajingan!

Ini luar biasa!

Aku semakin tidak tahan.

Badan Bunda, aku peluk dengan tangan kiri. Sementara tangan kananku menekan kepala Bunda di putingku.

"Bun ... Bunda ... ahhhhh ... sssshhh ... Bara nggak tahan ... ahhhh ... ahhhhh ... lebih cepet ngocoknya, Bun!" dengusku dengan suara berat. Terbata-bata merasakan gelombang dahsyat yang mulai menerjang. Badanku sampai bergetar saat di mana kontolku semakin mengeras dan berdenyut.

"Uhmm ... hmmm ... keluarin, Mas, keluarin peju Mas ... kontol Mas besar ... ahhhh ... keluarin di memek Bunda, Mas. Ayo, Mas!" Bunda meracau diiringi desahan guna menyemangatiku. Ia percepat kocokan tangan dan hisapan di putingku.

Dan sedetik ...

"Ohhhhh! Bundaaaa!" lolongku panjang.

CROT! CROT! CROT! CROT!

Spermaku meledak. Menembak kuat lebih dari empat. Tembakan pertama dan kedua mengenai rambut Bunda yang berada di dada kiriku. Sebagian meluber di perutku dan tangan Bunda. Begitu banyak, kental, dan bau pandan.

Aroma ruangan seketika dipenuhi bebauan kelaminku bercampur bau badan kamu berdua.

"Ughhh! Mas!" Bunda ikut mengerang. Gerakan tangannya mulai pelan. Pelan. Kemudian berhenti total. Hanya elusan jemari tangannya di kepala kontolku yang membuatku menggelinjang ngilu.

"Bunda ... hhh ... hhhh ...." Aku memanggil, sembari mengelusi punggung Bunda.

"Idih, keluarnya banyak banget, sih, Mas? Mana kontol Mas masih ngaceng, hihihi." Bunda meledek sambil cekikikan.

Bibirku manyun. "Salah Bunda sendiri bikin Bara keenakan."

"Baru sama tangan aja udah muncrat, belum aja kena mulut atau memek Bunda." Bunda berkata sarkas.

"Wajar, dong. Kan crot pertama," elakku. Mencari pembenaran.

Bunda tersenyum malu-malu. "Iya, sih." Sembari menaikkan badan untuk mendekatkan wajahnya padaku, Bunda kembali berkata, "Bunda cinta kamu, Mas."

Tatapanku melunak. Untuk pertama kalinya, aku memberikan senyuman terbaikku kepadanya. "Bunda tahu jawaban Bara."

Mata Bunda berkaca-kaca. Tangisnya pecah tanpa aku ketahui alasannya. Kepalanya menelusup ke dalam ceruk leherku. Bunda menangis sambil memelukku dengan tangan masih penuh lelehan sperma.

Aku tak peduli.

Kuangkat Bunda untuk rebah di atas tubuhku dengan sempurna. Tak lagi ada nafsu saat aku balas memeluknya erat. Hanya kasih sayang yang mulai tumbuh untuknya. Rasa sayang terdalam yang diikuti luapan cinta luar biasa untuk wanita cantik yang melahirkanku 25 tahun yang lalu. Tak peduli apa kata dunia, wanita ini, Ratu Geni, aku ... mencintainya.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd