Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 26

Suara gaduh di kamar sebelah telah lama berhenti. Hening dan Sunyi. Ana menundukkan kepalanya dalam dalam, membiarkan air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Ia pulang untuk mengambil beberapa keperluan menginap di Rumah Sakit untuk menemani adik dan ibunya, namun apa yang ia saksikan sungguh diluar dugaannya.
Satpam telah memberitahukan keberadaan Eveline saat ia membukakan pintu gerbang untuk Ana. Tidak perlu Ana menyaksikan dengan matanya apa yang sedang terjadi, suara Alex dan Eveline yang ia dengar dari luar kamar sudah menggambarkan dengan jelas apa yang terjadi. Rasa sakit di hatinya mengalahkan rasa sakit yang ia rasakan pada perutnya. Ia telah memberikan segalanya untuk Alex. Alex telah meninggalkannya untuk suatu ketidak jujuran yang telah Ana lakukan. Namun kini Alex justru melakukan pengkhianatan diatas kesetiaan yang telah Ana jaga selama ini.
Ana merebahkan tubuhnya diatas kasur, tempat ia pernah merasakan kehangatan yang Alex berikan. Namun semua kini terasa dingin. Sepi sendiri. Alex telah memilih kembali memberikan kehangatan itu kepada Eveline. Ana meringkuk, membiarkan tangis melegakan rongga dadanya yang sesak. Ia mencoba meyakinkan diri untuk terus bertahan sebentar lagi.

Alex membuka pintu kamarnya, menoleh sesaat pada tubuh tanpa busana Eveline yang masih terlelap diatas tempat tidurnya. Ia melangkah menuju meja makan, mencium bau masakan yang merangsang rasa lapar perutnya.
Alex membuka tudung saji diatas meja, menemukan sepiring nasi goreng dengan omelet sayur, segelas juice jambu merah dan sebuah box kecil berisi obat dan vitamin yang harus ia minum pagi ini. Alex mengernyitkan dahinya. Ana seharusnya yang menyiapkan semua ini setiap pagi untuknya. Apakah semalam ia ada disini? Tapi Eveline berkata bahwa Ana tidak ada dirumah. Kalau bukan Ana, lalu siapa?
Alex bergegas meraih telepon internal yang menghubungkannya dengan pos satpam di gerbang depan.
"Apakah ibu tadi malam pulang?" tanya Alex kepada Satpam melalui sambungan telepon.
"Siap Pak .. sekitar pukul 1 pagi ibu Ana pulang, dan pergi kembali pukul 7 tadi" jawab Satpam dengan tegas.
Alex menutup sambungan telepon. Ia tercenung. Entah berapa lama ia melakukan sex dengan Eveline semalam. Apakah Ana mengetahui keberadaan Eveline di kamarnya ?
Alex melangkah menuju kamar Ana, membuka pintunya yang tidak terkunci. Kamar Ana, kamar mereka dulu, terlihat tertata rapi. Alex membuka pintu yang menuju balkon kamar, membiarkan udara pagi memasuki ruangan kamar. Ia memandang sekeliling. Entah sudah berapa bulan lamanya ia tidak menemani Ana di kamar ini. Alex memandang foto berbingkai besar yang tergantung di dinding kamar. Foto pernikahannya dan Ana. Ana tampak sangat cantik dan anggun, tersenyum memandang mesra pada Alex di sampingnya.
Sebersit rasa menyelinap di hati Alex. Ia merindukan Ana. Alex kembali melangkah, menuju meja rias Ana yang bercermin besar. Sebuah foto kecil tertempel pada kaca nya. Alex meraihnya. Foto USG kandungan Ana. Gambar janin yang dikandung Ana berwarna Hitam Putih. Walau Alex tidak mengerti maksud gambar didalamnya, namun ia bisa melihat sosok bayi mungil dalam kantung lonjong tengah meringkuk nyaman.
Alex merasakan matanya tiba tiba basah. Ia menempelkan kembali foto itu di kaca meja rias Ana dan bergegas keluar. Ia meraih HandPhone yang sedari tadi diletakkannya di meja makan.
Text dari Ana pada layar HandPhone nya menunjukkan waktu pukul 7 lebih 10 menit pagi tadi. Alex membukanya.
"Sarapan sudah tersedia di meja makan, sayang .. jangan lupa obat dan vitamin paginya ya ... tetap sehat, tetap semangat .."
Tidak ada yang aneh. Text yang sama yang selalu dikirimkan Ana setiap pagi untuknya.
Alex menghela nafas. Ia berasumsi Ana tidak memgetahui apa yang ia lakukan semalam bersama Eveline. Mungkin Ana datang saat mereka telah selesai bergulat dengan nafsu. Atau Ana bahkan sudah terlelap tidur saat ia dan Eveline bertempur semalam.
Tapi hendak kemana Ana keluar rumah sepagi itu tanpa pamit? Walaupun mereka tengah berjauhan, Ana tidak pernah lupa mengirimkan berita keberadaannya kepada Alex. Alex selalu tahu kemana Ana akan pergi. Tapi tidak malam tadi dan pagi ini. Alex memang tidak pernah sekalipun menanggapi isi text yang selalu Ana kirimkan, namun ia merasa Ana tidak pernah jauh darinya.

Alex mencoba menekan nomor ponsel Ana, namun segera ia urungkan. Hatinya masih bimbang. Separuh hati ia tiba tiba merindukan Ana dan buah hatinya pagi ini, namun hatinya yang lain masih menyimpan amarah. Alex meraih piringnya, duduk menyantap makanan yang telah disiapkan Ana. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang Ana.
Sebuah pelukan erat dari arah belakang dirasakan Alex. Ia menoleh. Eveline tersenyum padanya, mengenakan kaos Alex yang tampak terlalu besar untuknya.
"Selamat pagi sayang ..." sapa Eveline mesra. Ia mengecup pipi Alex. "Permainanmu sungguh luar biasa tadi malam ..."
Alex tersenyum kecil. Eveline duduk dihadapan Alex, meneguk jus Jambu milik Alex sampai habis.
"Enak walau tidak terasa manis ..." ujar Eveline memandang gelas kosongnya. "Kamu yang menyiapkannya untukku?"
Alex tidak menjawab. Ia mengunyah nasi goreng dan omelet nya perlahan sambil memandang gelas kosong yang diletakkan Eveline diatas meja.
"Selesaikan cepat sarapanmu, dan aku tunggu kamu di kamar mandi." Eveline bangkit, mengerling nakal pada Alex dan melangkah menuju kamar kembali.


Pagi itu Rumah Sakit tempat kejadian perkosaan Ratih terlihat sangat ramai. Dua mobil polisi terlihat berjaga di pintu utama. Mereka tengah melakukan rekonstruksi ulang kejadian perkara. Ana baru saja selesai melakukan perannya sebagai saksi yang menemukan keberadaan Ratih. Ia kini berada di Ruang Direktur, bersama seluruh dewan direksi, beberapa orang Polisi dan Dewo yang duduk tertunduk dengan tangan borgol di tangannya.
"Sementara berkas perkara akan kami selesaikan, dan tersangka akan kami amankan terlebih dahulu di tahanan kami" ujar seorang petugas Polisi kepada seluruh orang yang berada di ruangan tersebut. Ana menatap tajam Dewo yang tampak lunglai.
"Sebentar Pak ..." sergah Ana. "Ijinkan saya menyampaikan sesuatu kepadanya."
Ana mendekati Dewo, berdiri di hadapannya. Dewo memandang Ana dengan pandangan menyesal,
"Maafkan aku Ana .. sampaikan permohonan maafku juga kepada Ratih" bisik Dewo. Suaranya bergetar.
"Nasi sudah menjadi bubur" ucap Ana menahan emosi. "Entah setan apa yang merasuki pikiranmu sampai kamu tega menghancurkan masa depan keluargaku dan terutama masa depanmu sendiri"
Dewo menunduk pasrah. Ana kembali berbisik.
"Kamu akan mempertanggungjawabkan apa yang sudah kamu lakukan. Semoga kamu menyadari kesalahanmu selama ini."
Ana mundur, membiarkan Polisi membawa Dewo meninggalkan ruangan. Direktur Utama Rumah Sakit mendekatinya, menyentuh pundaknya sambil menghela nafas panjang.
"Atas nama Rumah Sakit kami sampaikan permohonan maaf sebesar besarnya, Dokter Ana . Adalah kelalaian kami pihak Rumah Sakit, membiarkan kejadian seperti ini ada di Rumah Sakit kami" ujar Direktur, "Kami pastikan Adik Dokter menerima perawatan paripurna sampai sembuh seperti sedia kala."
Ana mengangguk resah. Ia mengigit bibirnya gugup. Rika, sahabatnya yang saat itu menemaninya mendekat, menggenggam tangannya mencoba memberikan kekuatan kepada Ana.
"Saya harap ini .. tidak terjadi lagi kepada yang lain" gumam Ana lemah. Ia merasa pusing, dan segera duduk di sebuah kursi terdekat.
"Ana .." ujar Rika cemas "Apa yang kamu rasakan?"
Ana menggeleng. Ia merasa hampir tidak kuat lagi menerima cobaan bertubi ini.
"Tidak .. aku tidak apa apa .. antarkan aku keruangan tempat Adikku dirawat, Rika .." bisik Ana.
Rika bergegas meminta seorang perawat mengambilkan kursi roda pasien, dan mendorong Ana menuju ruangan Ratih.
Payah nih ana.......cerita bagus cm trlalu lebay...hehe...
 
Bagian 27

Bu Seno menarik selimut menutupi tubuh Ana hingga dadanya. Ditatapnya wajah Ana yang pucat dengan mata terpejam. Selang infus bergantung di lengannya. Dokter Rika memutuskan untuk merawat Ana di ruangan yang sama dengan Ratih. Kondisi Ana semakin memburuk. Tekanan Darahnya naik drastis sehingga sempat terjatuh tak sadarkan diri. Namun seberapa keraspun Rika mencoba membujuk Ana untuk mengeluarkan bayinya, Ana tetap menolak menandatangani Informed Concent yang disodorkan padanya.
Bu Seno telah mendengar semua cerita tentang Ana dari dokter Rika. Semalaman ia tak henti menangis, menyesali perlakuannya pada Ana selama ini. Ia tidak tahu betapa berat penderitaan yang harus Ana alami.
Kondisi Ratih semakin membaik. Ini hari ketiga setelah kejadian mengerikan yang dialaminya, namun berkat dukungan Bu Seno dan Ana kepadanya, dan dengan ketegaran yang dimilikinya, Ratih menunjukkan perbaikan fisik maupun mental yang luar biasa. Kini ia duduk di kursi rodanya memegang tangan Ana erat erat. Tidak semenitpun ia beranjak dari samping Ana. Seperti halnya Bu Seno, Ratih pun sangat ingin meminta maaf kepada Ana atas kesalah pahaman yang terjadi diantara mereka selama ini. Namun belum sempat ia ucapkan, Ana sudah terbaring sakit.

Sidang terakhir kasus tuntutan mereka kepada Pak Wiwaha akan digelar besok. Semalam, Bu Seno diam diam telah menghubungi Sandra, pengacara Pak Wiwaha, untuk melakukan kesepakatan kesepakatan baru. Bu Seno dan Ratih berniat untuk menarik gugatan mereka kepada Pak Wiwaha.
"Diatas kertas, Ibu memang tidak akan bisa memenangkan gugatan ini karena tidak cukup bukti yang diajukan pengacara terhadap keterlibatan Pak Wiwaha yang menyebabkan hilangnya nyawa Pak Seno" jelas Sandra kepada Bu Seno melalui sambungan telepon. "Tapi kami pun sebetulnya belum sepenuhnya memiliki cukup bukti untuk menyanggah keterlibatan Pak Wiwaha. Saksi kunci untuk kedua belah pihak adalah keterangan Ratih, putri ibu, sebagai saksi kunci yang mengetahui dengan pasti kejadian sebenarnya."
"Ratih anak saya sedang mendapatkan perawatan di Rumah Sakit saat ini" sesal Bu Seno, tanpa menjelaskan apa yang telah menimpa Ratih. "Saya tidak tahu apakah Rumah Sakit akan mengizinkannya bersaksi di Pengadilan besok."
"Bagi kami tidak masalah .." sambung Sandra dengan sabar. "Tanpa kesaksian Ratih, pengadilan tidak akan memenangkan kasus ini untuk ibu."
"Terimakasih ..." ujar Bu Seno lega. Ia ingin segera mengakhiri perseteruan ini.
"Ibu !!!" jeritan Ratih menyadarkan lamunan Bu Seno "Lihat Bu ...!"
Ratih menunjuk sprei putih tempat tidur Ana yang berubah memerah. Bu Seno terkesiap. Darah segar mengalir membasahi bagian bawah tubuh Ana dengan cepat.
"Ya Tuhan .. Ana!!" jerit Bu Seno. Ia berlari keluar kamar memanggil perawat yang berjaga. Beberapa perawat dengan sigap masuk dan memeriksa kondisi Ana. Satu diantaranya kemudian menghubungi dokter Rika melalui sambungan telepon.
"Ana .. Sayang .. ada apa denganmu Nak .." ratap Bu Seno memeluk Ratih sambil melihat dari jauh seluruh Perawat yang panik mengatasi kondisi Ana. Sprei yang ditiduri Ana semakin memerah. Wajah Ana semakin pucat, tidak bergerak. Ratih dan Bu Seno menangis putus asa.
Beberapa menit berlalu, dokter Rika berlari masuk dan segera memeriksa kondisi Ana. Wajahnya terlihat pucat karena panik. Ia memerintahkan Perawat untuk membawa Ana segera ke Ruang Operasi.
"Ibu .." ujar dokter Rika pelan "Saya harus segera mengeluarkan bayi yang Ana kandung. Saya perlu tanda tangan persetujuan operasi dari suaminya."
"Lakukan apapun yang terbaik Dok .. selamatkan nyawa anak saya ..." tangis Bu Seno pecah.
"Jika saya tidak berhasil menghubungi suami Ana .. bersediakan ibu menandatangani persetujuannya?" tanya Dokter Rika lagi.
"Saya akan lakukan apapun asal Ana selamat, Dok ..." jawab Bu Seno. Dokter Rika mengangguk.
"Mari ikut saya .." ujar Dokter Rika lagi. Bu Seno mendorong Kursi Roda Ratih dan bersamanya mengikuti langkah dokter Rika dengan cepat.

Senja belum beranjak malam saat Alex memacu kendaraannya meninggalkan Rumah Tahanan Polisi. Ia harus segera mencari Ana. Dadanya sesak setelah mendengar semua penjelasan dari mulut Dewo beberapa saat lalu. Siang tadi seusai makan bersama Eveline, seseorang dari kantor Polisi meneleponnya, menyatakan bahwa ada permintaan dari seorang tahanan yang ingin bicara dengannya.
Alex awalnya tidak mengenali suara Dewo di sambungan telepon. Namun setelah Dewo menjelaskan siapa dirinya dan apa keperluannya bicara dengan Alex, Alex kemudian menyanggupi untuk datang menemui Dewo.
"Aku hanya diberi satu kesempatan untuk melakukan sambungan telepon, dan aku memilih untuk menghubungimu" ujar Dewo saat itu. "Karena aku berhutang kepada Ana, isterimu, untuk memperbaiki semua kehancuran yang aku sebabkan kepada keluarganya, termasuk kepadamu, suaminya."
"Apa maksudmu?" tanya Alex tajam.
"Datanglah temui aku. Hal penting seperti ini, tidak bisa aku jelaskan melalui telepon. Apalagi jika ada Eveline bersamamu" ujar Dewo lagi.
Dan kemudian semua menjadi jelas. Alex datang menemui Dewo, penjelasan gamblang dan terperinci diberikan Dewo kepadanya. Tiba tiba saja mata Alex terbuka. Sepanjang penjelasan Dewo, tidak hentinya ia mengutuk dirinya sendiri karena telah menyalahkan Ana akan apa yang terjadi selama ini.
"Ratih dengan jelas menggambarkan kecelakaan itu kepadaku saat aku masih membimbingnya melalui sesi terapi" ujar Dewo pelan. "Ayahmu tidak bersalah. Semua murni kecelakaan yang terjadi karena Pak Seno lalai mengemudi. Ana lah satu satunya orang yang sangat meyakini hal itu. Ia mati matian mendampingi Pak Wiwaha dalam masa sulitnya."
Wajah Alex memucat. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Tiba tiba ia sangat membenci dirinya sendiri.
"Eveline adalah kunci hancurnya hubungan kekeluargaan kalian" lanjut Dewo. "Ia dengan dendamnya, masuk pada celah sakit hati Bu Seno dan keluguan Ratih, untuk akhirnya memisahkan kalian berdua. Eveline juga yang membuat aku begitu yakin bahwa harta bisa menyelesaikan semua permasalahanku dalam mencapai mimpiku. Tapi lihat apa jadinya ..."
Sambil memacu kendaraanya secepat mungkin, Alex menerka nerka dimana keberadaan Ana. Dan pikirannya hanya tertuju pada Rumah Sakit tempat Ratih dirawat seperti yang dijelaskan oleh Dewo. Ana seharusnya ada di sana. Alex tahu Ana sangat menyayangi ibu dan adiknya. Ia tidak mungkin meninggalkan mereka sendiri.
Sepanjang perjalanan alex terus berusaha menghubungi ponsel isterinya. Namun Ponsel Ana tidak aktif. Serasa berhari hari dilalui Alex sampai akhirnya ia tiba di Rumah Sakit, memarkir kendaraannya dan menerobos menuju meja informasi.
"Ruang Rawat Nona Ratih .. pasien korban .. perkosaan kemarin .." ujar alex terengah engah kepada resepsionis.
"Maaf Pak .. Nona Ratih tidak bisa dijenguk siapapun kecuali keluarga atau seizin pihak kepolisian, karena kasusnya saat ini ..."
"Saya Kakaknya .. Kakak kandung Ratih" ujar Alex tegas.
"Maaf Pak .. tapi tidak bisa begitu saja ..." jawab resepsionis.
Alex hampir meluapkan emosinya kepada resepsionis tersebut saat ponselnya berdering.
"Alex ..." suara seorang wanita di sambungan teleponnya "Saya Rika .. dokter kandungan sekaligus teman Ana, isterimu."
Jantung Alex berdegup kencang.
"Segera datang ke Rumah Sakit .. ini berkaitan dengan kondisi kandungan Ana .." lanjut Rika lagi.
"Saya .. saya sudah di Rumah Sakit .. dokter, apa yang terjadi dengan isteri saya?" tanya Alex panik.
"Temui saya di ruang operasi lantai dua" ujar Rika cepat dan menutup teleponnya. Secepat kilat Alex berlari menaiki tangga menuju ke ruangan operasi yang dimaksud dokter Rika. Ia ingin segera menemui Ana, isterinya tercinta.

Alex menatap sekeliling, kenangan membawanya kembali saat pertama kali ia menerima lamaran Ana. Di ruangan yang sama, ruang ICU tempatnya dirawat dulu, namun kini kondisi mereka berbalik. Kali ini, Alex yang menemani Ana yang tergolek tak sadarkan diri di ruang ICU. Ia telah menjalani operasi untuk mengeluarkan bayi dari dalam kandungannya. Bayi perempuan mungil Alex dan Ana lahir dengan selamat dan sehat. Namun kondisi Ana semakin memburuk. Ia banyak kehilangan darah, dan eklampsi yang dideritanya membuat ia mengalami keracunan kehamilan dan jatuh dalam kondisi koma.
Alex tidak pernah melepaskan tangannya dari tangan Ana. Ia menggenggam erat tangan Ana yang terkulai lemah. Dengan izinnya pula dokter akhirnya memasang ventilator, alat bantu pernafasan yang tetap membuat jantung Ana berdetak. Dua hari setelah operasinya, Ana belum juga sadarkan diri.
"Prognosisnya sangat buruk" jelas Rika setelah selesai melakukan operasi Ana kepada Alex. "Hanya keajaiban yang bisa membawanya kembali sehat"
Alex seperti merasa setengah jiwanya pergi. Terutama saat Rika menjelaskan betapa Ana telah berjuang mempertahankan bayinya seorang diri tanpa Alex disampingnya. Alex tahu Rika sangat kecewa padanya.
"Sebuta itukah kamu sampai tidak bisa melihat kondisi isterimu sendiri, yang setiap saat tidak berhenti memikirkanmu?" tanya Rika datar.
Alex tidak dapat berkata apa apa. Terutama saat ia harus berhadapan dengan Bu Seno dan Ratih. Alex bersujud, mencium kaki dan tangan Bu Seno, memohon ampun atas apa yang ia lakukan hingga Ana menderita.
"Tidak tersisa lagi marah kami kepadamu, Kak ..." ujar Ratih mewakili Bu Seno yang terus menerus menangis. "Kak Ana sudah mengajarkan betapa mahalnya sabar .. betapa buruknya dendam .. Saat ini kami hanya ingin ia sembuh dan bisa merawat bayinya."
Alex menatap wajah pucat Ana. Selang besar pada mulutnya tersambung ke mesin ventilator. Alex mengusap lembut punggung tangan Ana. Ana bahkan belum sempat melihat bayi mungilnya lahir ke dunia.
Alex tidak menyaksikan sidang terakhir Ayahnya karena ia menolak meninggalkan Ana sendiri. Namun setelah putusan bebas, Pak Wiwaha dan Sandra segera menemuinya di Rumah Sakit.

"Dia selalu ada untuk Papi .. Papi bahagia, tidak salah memberikan seorang isteri yang sangat setia kepadamu dan sangat menyayangi Papi" ujar Pak Wiwaha kepada Alex. Alex tak henti mengutuk dirinya, mengingat apa yang telah ia lakukan dengan Eveline selama Ayahnya menderita di tahanan dan Ana berjuang dengan sakitnya.
Tidak ada lagi yang lebih penting selain Ana saat ini bagi Alex. Sandra menceritakan bahwa Eveline sangat frustrasi karena kekalahannya dalam sidang putusan Kasus Pak Wiwaha. Ini kali pertama ia kalah, kalah telak dari seorang pengacara yang dipandang sebelah mata pada awalnya. Alex tahu Eveline beberapa kali mencoba menemuinya, namun Alex tidak perduli. Ia berniat melupakan Eveline, membuangnya jauh jauh dari hidup Alex.

"Ana .. Bunda ..." bisik Alex dengan suara tersendat. "Aku dan Alana membutuhkanmu .. kembalilah .. Kembali untuk aku dan Alana, anak kita ..."
Air mata jatuh di pipi Alex. Ini kali pertama Alex mengajak Ana berbicara. Alex berharap Ana bisa mendengarnya.
"Maafkan Ayah, Bunda ..." bisik Alex lagi, "Kalau Bunda kembali, Ayah akan menebus semua kesalahan Ayah pada Bunda .. kita besarkan Alana bersama ya Bunda .. Ayah janji .. tidak akan meninggalkan Bunda lagi sampai kapanpun .. Aku cinta kamu, dokter Ana .. isteriku .."
Alex larut dalam tangisnya. Ia menunduk, mencium punggung tangan Ana berlama lama.
Sebuah gerakan kecil dirasakan Alex pada tangannya. Ia mendongak, melihat Ana tersenyum namun dengan mata tetap tertutup. Alex terkesiap. Beberapa detik kemudian ia melihat detak Jantung Ana bertambah cepat pada layar. Sangat cepat.
"Dokteerr .. Susteeerr ..." Alex berteriak keras "Kenapa isteriku .. tolong .."
Dokter jaga dan Perawat segera mengelilingi Ana. Alex diperintahkan untuk menunggu di luar saat mereka memberikan penanganan kepada Ana.
"Alex! Kenapa Ana?" tanya Bu Seno yang menunggu di luar ruang ICU dengan panik.
"Kak Ana kenapa Kak??" tanya Ratih tak kalah panik.
Alex tidak menjawab. Tangisnya tertahan. Ia berjalan hilir mudik, menunggu kabar keadaan Ana dengan tidak sabar. Alex melihat dokter Rika berlari memasuki ruang ICU untuk memeriksa kondisi Ana. Alex tidak dapat melihat jelas apa yang dilakukan pada Ana karena ia sama sekali tidak diizinkan masuk.
Beberapa menit berlalu, pintu ruang ICU terbuka dan dokter Rika berdiri di ambang Pintu. Alex dan Bu Seno berlari mendekat.
"Dokter .. bagaimana keadaan Ana?" tanya Alex cepat.
Dokter Rika menunduk, menghela nafas dan berkata "Maaf Alex .. Semua sudah berakhir .. Ana sudah pergi .. kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain ..."
Alex mundur beberapa langkah, terduduk di kursi tunggu ruang ICU. Matanya kosong. Untuk beberapa saat ia tidak sadar apa yang telah terjadi. Ia tidak percaya apa yang telah didengarnya dari dokter Rika. Tangis Bu Seno dan Ratih yang bersahutan baru menyadarkan Alex bahwa ia telah kehilangan Ana untuk selama lamanya.
Alex berteriak panjang melepas kesedihannya, menggema di seluruh lorong Rumah Sakit yang kosong. Dokter Rika dengan mata berkaca kaca mendekatinya dan berkata
"Tuhan telah mengakhiri semua penderitaan Ana .. masuklah .. temui isterimu untuk terakhir kalinya ..."
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd