Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
RIP intan, namamu akan selalu dikenang di taman eden :mabuk:

lanjutkan karyawisatanya, brad :jempol: semoga suatu saat nanti burungnya esa bisa jadi besar dan bikin lalila kelojotan dah :pandaketawa: sebagai balasan karena dulu pernah bilang "imut" :pandajahat:

Wakakaka... bakal keren banget itu developmentnya si Esa, dari cowok beta jadi pejantan alpha.
 
Hmm, tabir misteri mulai terkuak...

What am awesome story' Master....
 
kayak pernah liat di film di pasang2 in gini
 
esa kasih nenen tuh ma si Laila biar cpet gede biar jadi pejantan tangguh yg bisa nglindungin Laila nantinya muehehehe
 
Mantap banget ceritanya...
Ditunggu update nya...
Jangan kasih kendor...
 
MyntlNyA_o.png

Hari telah berganti, mentari masih belum terbit tapi aku sudah membasuh diri di air yang dingin. Kugosok sela-sela ketiak dengan daun yang aromanya wangi, lalu ke lipatan bawah dada, perut dan pantat. Membersihkan daki dan kotoran yang menempel.

Suara guyuran air mengagetkanku, kepala berambut coklat almond menyembul dari dalam kolam lalu melirik ke arahku dengan senyum tertahan.

“Duh, Esa! Ngagetin mbak aja!”

Kususul ADAM-ku itu dengan melompat ala cannonball ke kolam, menciptakan hentakan besar. Kami tertawa sesudahnya, saling mencipratkan air, bermain-main di kolam dan melepas beban pikiran serta stress yang mengganggu semalaman ini.

“Mbak…”

“Hmm?”

“Sebenernya aku nggak tahu harus bilang apa, tapi makasih Mbak, buat yang kemarin…”

“Oh, gimana tititnya? Udah mendingan?”

Esa yang sedari tadi membiarkan tubuhnya mengambang santai langsung gelagapan dan mengubah posisinya, bisa kulihat dia salah tingkah ketika menatapku.

“Umm… Anu Mbak, aku bukan anak kecil lagi…” gumam Esa pelan, "jadi bisa nggak Mbak Laila nggak memperlakukanku kayak anak SD?”

Senyumku mengembang, kupeluk Esa hingga wajahnya terbenam di dadaku.

“Maafin mbak ya, Sa… Mungkin mbak cuma terlalu excited aja kemarin…”

Excited?”

Kusandarkan punggungku ke batu di tepi kolam, “kamu baca kan? Kamu tahu kan mbak ini kaya gimana?”

“Maksudnya apa, Mbak?”

Sebenarnya aku tak ingin menggunakan kata-kata yang kotor atau menjurus hal seksual, tapi melihat Esa yang tak mengerti juga, aku mulai sedikit kesal. Kucubit pipi tembemnya, lalu kugoyang-goyangkan sampai anak itu mengaduh kesakitan.

“Fetish… Kelainan seksualnya mbak!” bentakku dengan suara terkontrol.

“Owh… Maksudnya, Mbak Laila beneran pedofilia?”

Kini kutarik hidungnya karena dengan polos anak itu berkata demikian. Kukecup keningnya, lalu mengadah melihat langit yang masih gelap.

“Aku… Juga ndak tahu apa mbak ini pedofil atau bukan, tapi eksibisionis, frotteuris, dua kata itu mungkin yang bikin mbak dilabeli pedofil sama sistem dalam kristal ini…”

“Eksibisionis, maksudnya, Mbak… Anu, suka…”

Aku mengangguk, “iya, terkadang kalau temen-temennya Reilo main, mbak sengaja keluar ndak pakai daleman, sekedar bawain minuman, ato kadang nemenin main, sengaja nempelin badan mbak ke temen-temennya… Kayanya itu yang namanya frotteurism.

Aku teringat kedua adikku di rumah, walau rasanya sesak, tapi aku sudah tak ingin menangis, aku tak bisa terus-terusan menggantungkan bebanku pada bahu kecil Esa. Dia telah menanggung cukup banyak.

Esa membisu, tak merespon apa-apa, bahkan tersenyum saja tidak. Dia hanya menatapku kosong dan itu membuatku tak nyaman.

“Sa… Esa! Kamu kenapa, mikirin kakakmu?”

“Ah, nggak apa-apa, Mbak… Dia mungkin nggak peduli kalau aku hilang…”

Pemuda itu hanya tersenyum kecut, aku merasa ada sesuatu yang tak beres. Kupikir Esa adalah orang yang sangat dekat dengan kakaknya, makanya dia begitu clingy padaku. Awalnya kukira dia melampiaskan perasaan rindu itu padaku, tapi sepertinya aku salah.

“Ada yang mengganjal di pikiranmu ya, Sa?”

Anak itu terbelalak kaget, ekspresinya begitu mudah diterka.

"Mbak tahu kok kalau ada orang yang lagi ada masalah, udah biasa jadi tempat curhat adik-adik, dan temen-temen mbak yang lain…” bisikku, “kalau kamu percaya sama mbak, kamu bisa cerita, Esa…”

Aku tersentak kaget saat anak itu tanpa sengaja menyentuh payudara kiriku, menekannya seperti bakpau daging sehingga air susuku muncrat dan mengalir di kolam. Tentu saja Esa langsung minta maaf dan tertunduk malu.

“Aku gak cukup jantan… Kurasa kenapa aku melihat Mbak Laila sebagai kakakku, hanya sebagai pelampiasan…”

“Pe-pelampiasan??”

Aku mulai ada perasaan tak enak, jangan-jangan benar dugaanku kalu Esa ini memilik sister complex dan melakukan hubungan yang tak sehat, bahkan tabu dengan saudarinya.

“Kakakku sangat membenciku…”

“Eh? Maksudnya?”

“Orang tuaku meninggal karena aku, Mbak… Semenjak itu semua orang menyalahkanku, aku nggak bisa melawan, dan saat Mbak Laila baik sama aku, aku ngerasain sensasi yang bener-bener aku rindukan, perasaan untuk diperhatikan dan punya keluarga.”

Kubekap lebih erat pemuda itu, kubelai rambutnya yang basah. Kini aku tahu, Esa bukan memiliki aura figuran karena tak punya kharisma atau semacamnya, tetapi karena dia menekan segala yang ia punya untuk tampil tak mencolok. Dia takut menjadi mencolok, dan ketakutan adalah satu-satunya perasaan yang tumbuh lama bersamanya. Tanpa sadar, dia telah meremehkan dirinya sendiri.

“Mbak Laila begitu baik denganku, aku nggak mau jadi pengecut terus-terusan, aku ingin jadi laki-laki yang jantan yang bisa ngelindungin Mbak Laila…” bisiknya.

Tanganku melilit di bahunya, kuangkat kakiku dan membiarkan air menahan masa tubuhku, memeluk bagian bawah tubuh Esa yang terendam, menariknya hingga kemaluan kami bertemu.

“Mbak… Mbak Laila, ngapain? Ini kayaknya udah berlebihan, Mbak!”

“Kenapa, karena kamu anggap aku ini kakakmu?” bisikku menggoda, membuat Esa memalingkan wajahnya malu.

“Aku ndak mau nyakitin Mbak Laila… Aku ndak mau kita berdua kecewa…”

“Esa… Kamu boleh kok anggap mbak ini kakakmu, aku senang malah… Tapi jangan lupa, kamu tetaplah laki-laki, mbak tetap seorang wanita, kita tetap punya kebutuhan masing-masing.”

“Maksud Mbak Laila?”

“Kamu pernah denger istilah friend with benefit?”

Pemuda itu mengangguk pelan.

“Gimana kalo kita bangun hubungan sibling with benefit?” bisikku mesra, “mbak yang akan bikin kamu jadi laki-laki yang jantan, Sa…”

Perut kami saling berhimpitan, penisnya yang mulai mengeras menggesek bibir vaginaku. Aku sudah tak bisa berpikir lurus lagi, atau mungkin bisa dibilang aku tak peduli dengan citraku. Semenjak aksi blowjob kemarin sore, aku yakin dia menyadari aku bukanlah perempuan sepolos yang dia kira. Maaf Esa, tapi libidoku ini besar! Dan kamu adalah orang paling tepat untukku melampiaskan semuanya.

“Mbak… Boleh nggak aku… Umm… Dadanya Mbak Laila…”

Aku mengangguk pelan, melihatnya malu-malu dan minta ijin untuk sekedar memegang payudaraku. Tanpa ragu dia meraih dua pepaya kembar itu dan meremasnya. ASI-ku keluar cukup deras dari areola lebar berwarna coklat muda, mengalir di tangan kecilnya. Esa menonton pemandangan itu dengan takjub, tak menyangka seumur hidupnya bisa melihat tubuh wanita dewasa menyemburkan susu dari payudaranya pada jarak dekat.

“Kamu mau coba susuku, Sa?”

“Eh? Bo-boleh, Mbak?”

Dengan ijin yang kuberikan, Esa mengangkat kantung ASI yang sebelah kanan lalu menelan pentil yang setengahnya tenggelam dalam kulit kecoklatan. Lidahnya seperti berusaha mengongkel puting susuku, mulutnya mengenyot kuat, sesekali dia mengigit sekitar kulit areolaku sehingga membuatku meringis.

Ini pengalaman pertamaku menyusui, dan aku bahkan belum pernah melahirkan. Bayi besar yang menetek padaku tampak begitu tenang, begitu nyaman dan membuatku tak ingin mengganggunya. Aku hanya membelainya dengan lembut, mewakili kasih seorang ibu yang secara natural dimiliki tiap wanita.

“Gimana, Sa? Enak?”

Dia tak menjawab, matanya menoleh kepadaku, mengangguk sambil terus mengenyot puting susu milikku. Aku hanya tersenyum kecut melihat tingkahnya. Persis seperti Reillo, yang walau nakal dan berisik, tapi sangat suka bermanja-manja pada kakak-kakaknya.

“Mbak Laila mau ngerasain?” Esa tersenyum padaku, masih ada sisa ASI mengalir di samping bibirnya.

“Ah.. Umm, mu-mungkin…”

Sebenarnya aku juga sedikit penasaran apakah ini ASI sungguhan dan bagaimana rasanya. Dengan canggung kuambil dada satunya yang masih menggantung bebas, mengangkatnya agar putingku bisa kuraih dengan mulut. Sungguh merepotkan lagi rasanya terutama karena lemaknya makin menggunduk sehingga leherku tertahan dan tak bisa menggapai ujung kecoklatan belahan gunungku.

“Mbak, sini…”

Jari Esa menarik pipiku dan dengan cepat dia langsung menyambar bibirku. Kurasakan sesuatu yang hangat, Esa memuntahkan air susu yang ditampungnya ke dalam mulutku layaknya induk burung memberi makan anaknya. Rasanya gurih, sedikit terasa manis di belakang, seperti susu sapi kemasan yang biasa kubeli, bahkan setelah bercampur dengan ludah Esa. Jadi ini rasanya? Tak heran Esa sangat menyukainya, ASI-ku memberi perasaan yang nyaman, membuatku ingat dengan rumah.

Dahi kami saling bertemu, aku hanya menatap matanya dalam-dalam, Esa pun demikian. Jantungku berdegup begitu cepat, rasa gugup, takut, senang, semangat, semuanya jadi satu. Apa-apaan perasaan ini? Bahkan saat aku jadian dengan pacarku, rasanya tidak seperti ini. Inikah yang namanya cinta?

Aku… Jatuh cinta dengan Esa?

“Hiiiy!” jeritku ketika ujung penis Esa tepat berada di hadapan vaginaku. Hanya butuh satu hentakan pelan agar daging itu masuk ke liang peranakanku.

“Kenapa Mbak?!”

“Ah… Ndak… Mbak cuma kaget…”

Ini adalah kali pertama aku dan Esa melakukan hubungan suami istri sungguhan, persenggamaan yang benar-benar melibatkan kemaluan kami. Tapi perasaan yang kurasakan malah membuatku ragu. Aku gemetaran, jari-jariku mencengkeram punggung Esa kuat, tentu saja dia menyadarinya.

Esa tersenyum lalu memejamkan matanya, “Mbak… Kita belum siap untuk ini…”

“Eh?”

“Mbak Laila ragu-ragu, kan? Nggak apa-apa kok, aku juga paham perasaan Mbak.”

Esa menarik badannya menjauh dariku lalu keluar dari kolam dan mengeringkan diri. Aku terus melihatnya dari belakang, walau terkesan plain, Esa memiliki wajah babyface yang imut, posturnya juga mungil, bahkan untuk ukuran anak SMA, mungkin tingginya cuma 160an sentimeter. Tapi bukan itu yang menjadi daya tarik utamanya, apa yang membuatku jatuh hati pada anak ini adalah kebesaran hatinya. Jauh lebih besar dari apa yang bisa ditampung badan kecil itu.

Bahkan pada situasi tanpa aturan dan moral, dia masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianutnya, bahkan saat aku dirasuki birahi yang tak mampu kukontrol lagi, dia menarikku kembali dan mengingatkan siapa aku sebenarnya. Dia menghormatiku dan tak mengambil kesempatan dari situasi ini. Esa adalah laki-laki yang langka, pacarku yang selalu memanfaatkanku tak mungkin memiliki apa yang dimiliki anak ini.

CHIVALRY.

Sebuah kombinasi kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang kesatria yang ideal. Kombinasi antara keberanian, kehormatan, sopan santun, rasa keadilan dan kesiapan untuk berkorban. Sejak stage pertama hingga sekarang dia telah menunjukan semuanya, namun sayangnya dia sendiri tak menyadari itu semua.

Aku dan Esa kini hanya bersantai di bukit kecil sembari menunggu matahari terbit. Kuapit badannya dengan pahaku dan dia menyandarkan punggungnya di perutku, sudah berpakaian rapi dan tinggal menunggu Hendra dan Wulan.

sYVlGAHC_o.jpg

“Reilo sama Tania kira-kira udah makan belum ya…” gumamku lirih.

“Reilo dan Tania itu adiknya Mbak Laila?”

“Iya, Reilo yang paling kecil, masih SMP, kalo yang tengah namanya Tania, udah mau lulus SMA, mbak rasa kamu seumuran sama dia!”

“Mbak, deket banget ya sama mereka?”

Aku hanya tersenyum, “mereka itu ya, Sa… Ndak ada yang bisa masak, pada susah diatur, apalagi yang paling kecil, bandel banget!”

Kami akhirnya saling berbagi kisah tentang kehidupan masing-masing dan tanpa kusadari kami jadi benar-benar dekat. Bias pelangi berbentuk heksagonal tiba-tiba muncul di ujung cakrawala dan menyebar ke langit, membentuk kubah raksasa yang membungkus kota ini, lalu diikuti cahaya terang berbentuk horizontal. Samasekali tak ada yang natural dengan itu semua.

“A-apa ini?” gumam Esa keheranan.

“Itu lampu… Bukan matahari!” timpalku.

“Artinya, kita… Seluruh kota ini masih ada dalam ruangan?”

Gila memang! Orang seperti apa yang bisa membuat kota sebesar ini dalam ruangan? Di mana sebenarnya kami berada? Fasilitas ini tak mungkin dikelola satu orang, setidaknya ada orang dengan kekuasaan dan sokongan dana yang besar di balik ini semua!

Sepintas kulihat ada sesuatu yang bergerak dari balik hutan di samping kami. Dari bayang-bayang sinar kecil berwarna pink dan biru muda berkedip pelan.

Itu… Kristal sensor! Celaka, jika pemburu Hendra dan Wulan adalah Markus yang sudah mati, itu artinya sensor tersebut ditujukan untuk kami! Mereka adalah orang yang memburu Buah Terlarang nomor 13!

“MBAK LAILA, AWAS!!!

Belum sempat aku bereaksi, sebuah benda keras menghantam kepalaku. Aku langsung jatuh dengan posisi menyamping. Pandanganku buram, kepalaku pening, bahkan untuk bersuara saja aku tak sanggup. Samar-samar bisa kudengar Esa memanggil namaku, berusaha menggendongku dengan susah payah, hingga akhirnya gelap menyelimuti.

*****​

“Fuwah!!!”

Kesadaranku kembali sepenuhnya ketika wajahku diguyur air. Aku terbatuk-batuk dan berusaha menangkap kepingan-kepingan ingatan sebelum pingsan. Di hadapanku ada seorang wanita dengan rambut pirang dikuncir dua, bentuk wajahnya memancarkan aura bule yang cukup kuat. Blasteran? Jika tak salah ingat, dia adalah gadis yang kainnya terlepas ketika kami dikumpulkan, Namanya? Otakku terus memproses informasi yang kacau karena benturan tadi.

Mataku masih terus bergerak menyisir objek-objek di sekitar kami dan akhirnya berhenti ketika melihat tubuh yang meringkuk, penuh memar dan darah.

“ESA!!”

Aku merangkak ke arah Esa yang sudah babak belur, namun wanita tadi menjambak rambutku lalu menendang perutku. Sakitnya tak seberapa, namun rasa mual karena masih pusing dari cedera kepala semakin berlipat-lipat jadinya.

Bitch! Dimana lo simpen Buah Terlarang yang nomor 13?!”

Dia melempar bola kristal merah ke samping wajahku, benda itu menggelinding hingga memperlihatkan ukiran nomor empat di sisinya. Benar juga! Yang kami bawa adalah milik Hendra dan Wulan! Berarti yang nomor tujuh dan tiga belas milik kami masih ada di mereka berdua! Dan sepertinya wanita ini tak menyadari ada goa di balik air terjun. Saat ini kami berada di semacam tempat pembuangan barang rongsokan. Aneka benda elektronik yang sudah menyatu dengan tanah bertebaran di sekitar area.

Aku merayap ke arah Esa yang dijaga oleh laki-laki kurus dengan potongan rambut emo, namun wanita tadi menginjak punggungku lalu menjambak rambutku sambil berteriak marah. Melempar semua umpatan dan nama-nama penghuni kebun binatang ke arahku.

“Udah, Melisa! Dia ga bawa apa-apa lagi!” seru pria kurus di samping Esa.

“Eh, lo di pihak siapa sih? Jelas-jelas sensornya nyala! Dia ini target kita, morron!”

Kini aku ingat, wanita ini bernama Melisa, cewek blastera Indonesia-Amerika yang punya tendensi sadistik dan dominasi. Sementara ADAM-nya bernama Arjuna, programmer yang sering melakukan aksi voyeur dan merekam wanita-wanita di toilet. Mereka adalam ADAM dan EVE nomor tiga.

“Cuma ini yang kami punya...” erangku.

“Lo pikir gue percaya, heh?! Gue tau lo itu yang bikin heboh di tepat kita kumpul, kan? Lo si nomor 13, kan? Serahin Buah Terlarang lo kalo gak mau mati!”

Melisa menarik kain yang menutupi payudaraku hingga dadaku menyembul keluar, tanpa sengaja air susuku muncrat dan jatuh di pipi perempuan bule itu karena tertekan.

FUCK! DISGUSTING!!!”

Wanita itu melemparku ke tanah lalu menginjak perutku keras.

“Oghhh!! Aghh!”

Fucking die! Die! Die!!”

Dengan membabi buta Melisa menumbuk perut berlemakku berkali-kali. Rasanya mengerikan, organ dalamku seperti digiling, air mata dan liurku mengalir karena menahan sakitnya. Aku bahkan tak bisa mengontrol gas yang keluar dari duburku karena usus yang tertekan, hanya masalah waktu sampai sesuatu yang lain keluar dari sana. Aku sungguh tak ingin membayangkannya.

“Menjauh… Dari Mbak Laila!”

Esa terhuyung, berusaha menjaga keseimbangannya dengan bertopang pada mesin cuci tua. Tubuhnya mungkin terlihat lemah, walau anak itu menangis, tapi aku bisa merasakan tatapan tak gentar darinya.

“Ini si cengeng masih hidup aja!” gerutu Melisa, “Juna!”

Arjuna mengambil pipa besi dan mengayunkannya ke arah Esa hingga ambruk. Jadi selama ini, ketika aku tak sadarkan diri, Esa mati-matian melindungiku? Jika dibandingkan luka-lukanya, apa yang kualami tidaklah parah. Esa sudah menjadi tamengku hingga babak belur!

“Buah Terlarangnya… Ndak ada di tangan kami!”

You think I’m stupid, bitch? Even kalau harus bedah perut gembrot lo ini, gue bakal lakuin!” bentak Melisa sambil menjambak bagian belakang rambutku, “Juna! Give me that!”

Seperti sapi yang dicucuk hidungnya, Arjuna menurut saja pada cewek berengsek ini. Melisa merampas pipa besi berdiameter sepuluh sentimeter itu.

“Pegangin, you perv!”

“Eh? A-apa yang kamu lakukan?! Lepasin!”

Aku meronta-ronta saat Arjuna menarik pahaku, membuat pantatku menghadap langit dan mengekspos lubang-lubang vital di sekitar sana. Aku yang kini dalam posisi terbalik menghadap ke arah selangkangan Arjuna yang berjongkok, penisnya mengeras ketika melihat kemaluanku. Kami sempat bertatap muka, dia tersenyum mengerikan, seperti pria mesum yang sedang mengintip wanita pipis di toilet.

“Hiiy!!”

Sesuatu yang dingin terasa di mulut anusku, perlahan menusuk saluran berakku makin dalam. Sesekali dia menghentak-hentakan pipa tersebut, mendorong limbah makanan yang tak sempat kubuang kembali ke usus besarku.

“Jangan-jangan… Auhh!! Ndak ada di sana! Hey! Mana mungkin aku simpan itu di sana!” jeritku ketika menyadari intensi Melisa.

Gadis kuncir dua itu sedang menggeledah anusku, seolah aku kurir narkoba yang menyimpan sabu-sabu di dalam sana. Desisan tertiup dari celah-celah liang tinjaku, aku tak bisa menahan kentut lagi.

Fuck! It smell awful bitch!!”

Dengan sekuat tenaga Melisa menusukan pipa yang tersisa ke dalam duburku, aku menjerit dan mengejan hingga kencingku keluar dan menyemprot wajah Arjuna. Tak sampai situ saja, laki-laki itu membuka mulutnya, wajahnya mendekat ke arah vaginaku dan melahapnya. Kulihat tenggorokan Arjuna berkedut dari bawah sini. Astaga! Dia menegak air seniku!

Aku menoleh ke arah Esa yang masih berusaha merangkak meraihku. Jarak kami sekitar tiga meter, tapi rasanya begitu jauh.

“Ck! Kosong!”

“Tu-tunggu! Kalau dicabut sekarang-“

Melisa tak mengindahkan kata-kataku dan langsung menarik pipa yang tertancap dengan kecepatan tinggi. Dinding dalam duburku yang panas mulai perih saat udara masuk menyentuhnya. Kurasakan sesuatu berusaha menyeruak keluar. Aku tak bisa mengontrolnya, otot-ototku tak mau menutup, tak merespon perintah otakku!

“Jangan lihat!! Esa… Jangan lihat!!!” jeritku panik karena tak tahu harus bagaimana lagi.

Gelondongan lembek kekuningan terdorong kuat, melompat dari anusku ke udara diiringi suara decak cepat yang menjijikan. Melisa langsung menghindar sambil mengumpat.

PK7hchcr_o.jpg

Tak perlu menunggu lama sampai kami bisa mencium aroma busuknya. Kotoranku itu terus keluar dan sebagian jatuh ke perutku karena saat ini aku berak dalam posisi terbalik. Kulihat Esa yang melongo, dia pasti kecewa, dia pasti jijik melihat sosok yang dianggapnya kakak menunjukan hal sekotor ini. Aku ingin menangis rasanya.

Arjuna akhirnya melepas pegangannya, membuat pantatku berayun jatuh dan menindih tahiku sendiri. Kentut-kentut kecil disertai kotoran mencret masih mengalir di sela isakan tangisku.

“Esa… Jangan… Lihat…”

Kututup wajahku, ini adalah aib. Kubiarkan orang yang kucintai melihat hal paling memalukan, paling menjijikan dariku. Aku ingin mati saja!

Sesuatu meraba perutku, kuintip apa itu, ternyata Arjuna yang kini telah melepas kain di pinggangnya. Membiarkan penisnya yang kurus namun panjang menggantung tegang.

“Oh… Aphrodite sang dewi kesuburan...!”

“Eh?”

Lelaki itu mengambil kotoran yang jatuh di perutku lalu mengoleskannya di penisnya sendiri, menggunakannya sebagai lubricant untuk onani. Arjuna lalu mincium bibirku, aku masih syok dan tak tahu apa yang terjadi.

“Terimakasih telah membawa dewi kesuburan padaku,” bisiknya.

Apa ini? Apa yang terjadi? Laki-laki ini pengidap delusi akut? Seorang dengan gangguan jiwa? Apa maksudnya dewi Aphrodite?? Terlebih lagi Arjuna samasekali tak merasa jijik!

Sick! You’re all sick!” hujat Melisa.

“Persetan denganmu, aku udah muak!”

Arjuna berjongkok dan mengambil gelondongan kotoranku yang paling besar, lalu berjalan ke Arah Melisa yang ketakutan. Perempuan itu terjungkal sehingga pipa besi yang dipegangnya terlepas.

“Kamu juga akan membawakan dewi kesuburan buatku kan, Melisa?” racau Arjuna sambil menyodorkan tinja di tangannya.

Don’t get close to me you sick fuck!!! Pergi, Juna!!!”

Melisa akhirnya muntah saat melihat ADAM-nya meremas kotoranku di hadapannya. Laki-laki itu langsung berdiri dan tanpa aba-aba menendang perut Melisa sebagaimana dia memperlakukanku sebelumnya.

“Ahg…. Ahg…”

“Berani sekali kamu lancang pada Aphrodite…”

What… Do you want..?” erang Melisa.

Lelaki bermata sayu itu tersenyum lalu membelai bahu gadis itu dengan tangan yang belepotan tinja.

“Oh Melisa, aku mau kamu memberi persembahan untuk Aphrodite…”

What do you mean?”

Pelan-pelan Arjuna menyingkap rok dari kain kafan yang dikenakan Melisa, tangannya yang sudah licin dan berbau busuk melewati vagina plontos bule itu lalu salah satu jarinya menusuk ke dubur Melisa.

“Juna, please… Don’t… Uhggg!”

Satu persatu jarinya diselipkan pada anus Melisa hingga semuanya berada di dalam. Pelan-pelan, didorongnya lengan kurus itu.

“Auhhhhh!!!”

Melisa melenguh kencang saat dianal fisting oleh ADAM-nya. Gundukan kecil terlihat di permukaan perut perempuan itu, sepertinya Arjuna mengaduk apa yang ada di dalamnya. Bibir kemaluan Melisa kembang kempis, membuka dan menutup mengekspos daging pink di dalamnya.

Juna… Take it ouuuut!!”

Arjuna lalu menarik tangannya yang disambut semburan mencret berwarna coklat, beberapa detik tangan lelaki itu tersangkut akhirnya lepas juga, kotoran setengah encer yang begitu banyak menyembur seperti limbah pabrik, baunya bahkan jauh lebih busuk dariku. Arjuna berdiri dan tersenyum pada apa yang diambilnya dari Melisa. Sebuah kotoran padat dan keras berwarna coklat gelap yang tampaknya menyumbat segala limbah mencret bule berengsek itu.

Melisa hanya kejang-kejang sambil menyelesaikan bisnisnya, menangis terisak, menyedihkan. Sementara Arjuna kini berjalan mendekati Esa yang masih tak berdaya.

Arjuna Mahatmajaya, 24 tahun, seorang programmer yang pernah dipergok melakukan aksi voyeur di toilet wanita. Fetishnya adalah urophagia dan coprophagia.

Aku tak tahu apa artinya, tapi kini aku tahu. Orang itu bukan melihat wanita sebagai objek seksual. Apa yang dikeluarkan dari tubuh wanita itulah yang dianggapnya sebagai pelampiasan seksual. Kupikir yang berbahaya di sini adalah Melisa, tapi tampaknya aku salah…

Arjuna mungkin tak kalah berbahayanya dengan Markus!

iY3XjbI5_o.png
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd