Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Dapet Pertamax kah ???
Untung camilannya ane umpetin dulu :D:baris:
Gilaaaakkkkk.... ampun kali aku ama imajinasi Suhu ini. Untung gak makan apa2 aku. Klo gak dah jackpot aku... hahahahahahaaha
Benar2 parah2 gak kebayang yg macam itu kelainannya. Tp boleh jg alurnya lanjut lg deh :beer::beer::beer::beer:

Wakakaka, cumpa sampe chapter ini doank kok Hu, minggu depan boleh sambil ngemil lagi.
Memang ini cerita ekspos fetish2 ekstrim di luar nalar sih.

Melissa :panlok1: twintail bertaring yg jahat.... :jempol: kok gemesin yahhhh :panlok4:

tapi ane ngakak brad liat mukanya Juna :pandaketawa: sebel bgt liat rambut ama kontienya ahahahaha.
Wah demennya tipe2 tsundere ya, om?

Tq Suhu updateannya… masih loh kayanya kurang panjang...
Maaf hu, memang rada kepepet sih ini hahaha.

Mulai ada perlawanan nih. Goo laila
Hell yeah!
 
pLVsVwff_o.png

Seperti hilang tulang-tulang yang menopangnya, tubuhku merosot dan duduk bersimpuh dibelakang barikade rak lapuk.

“I-itu kampak?”

Mata kami terfokus pada benda besar yang dibawa Markus di tangan kanannya. Matanya terbuat dari batu pipih dan diikat pada tongkat kayu. Tak terlihat tajam, namun tak mengurangi aura intimidasi yang dipancarkan Markus.

“Dia punya senjata, walau kita menang jumlah, tapi ini terlalu beresiko!” bisik Hendra.

“Eng… Gimana kalau kita sergap dia? Kaya tadi Kak Hendra dan Kak Wulan lakuin ke kami…”

“Mbak ndak yakin kita bisa ngelakuin itu lagi, Sa…. Maksudku, coba deh lihat…,” kuanggukan dagu ke arah Markus yang tampak awas di jalan raya. Posturnya siaga, semua inderanya terlihat waspada.

Samar-samar terlihat lampu kebiruan menyala dari tengkuknya, berbarengan dengan lampu merah jambu pada leher Intan yang digendongnya. Tentu saja radarnya menyala, target Markus adalah Hendra dan Wulan.

“Kita ga bisa sembunyi terus-terusan! Setidaknya kita harus bisa ngelawan!”

Wulan benar, hanya menunggu waktu sampai akhirnya laki-laki bongsor itu menemukan kami. Hendra mengadah ke langit-langit, kepalanya bergerak cepat seperti memindai puing-puing Indomaret yang jadi markas sementara kami.

“Mungkin Esa ada benarnya!” gumam Hendra, kini perhatiannya kembali pada kami, “mungkin di tempat ini, kita bisa jebak Markus!”

Lelaki itu menjelaskan rencananya, simpel tapi kurasa cukup efektif untuk sebuah serangan dadakan. Aku yakin Markus tak akan mengira bahwa kami membentuk aliansi, jadi kami harus benar-benar memanfaatkan ini dengan baik.

Hendra memberi isyarat dengan telunjuknya, aku dan Esa mengangguk, lalu pelan-pelan berjalan ke belakang rak yang posisinya berhadap-hadapan dan menyembunyikan badan kami di antara pohon dan semak yang tumbuh.

Kuacungkan jempol sebagai penanda bahwa kami telah siap. Hendra mengangguk lalu melirik Wulan yang siap melempar kaleng-kaleng kornet kosong.

Suara aluminium yang beradu menggema, menarik perhatian pria berperawakan tinggi besar tersebut. Bak antagonis film slasher, Markus berjalan ke arah Hendra dan Wulan dengan emosi datar. Kapak di tangan kanannya berayun, masih ada noda darah membekas di permukaannya yang tak rata.

Dia melewatiku, sepertinya benar-benar tak menyadari keberadaanku dan Esa yang masing-masing bersembunyi di balik rak berkarat. Kini bisa kulihat apa yang digendong Markus di punggungnya, Intan sudah bak ransel daging yang sekarat, tanpa kaki, tanpa tangan. Matanya kosong, torsonya belepotan darah yang sebagian sudah mengering. Vagina Intan menganga dan ada noda kecoklatan di sekitar anusnya. Markus benar-benar tak menganggap EVE-nya sebagai manusia, apakah di luar sana banyak pasangan lain seperti ini?

Kaki Wulan mundur dengan pelan, semakin dekat dengan Hendra yang bersiap di belakangnya. Dia ketakutan, tentu saja, siapa yang tak takut? Bahkan aku saja gemetaran melihatnya. Pria bongsor itu mengangkat kapaknya, siap untuk menebas Wulan menjadi dua, tapi dengan sigap Hendra mendorong bahu pasangannya ke samping dan mengayunkan tangan kanan yang disembunyikannya di punggung. Melempar bongkahan batu besar tepat ke kening Markus.

“SEKARANG!!!”

Lengkingan Hendra menggema, menyelimuti tubuh Markus yang terhuyung tak seimbang. Sesuai instruksinya, Esa mendorong rak dihadapannya. Onggokan besi dan kayu tebal itu menimpa Markus, bisa kudengar erangan Intan samar-samar, mungkin terkena beberapa serpihan kayu.

Markus masih berusaha berdiri, tak peduli dengan Intan yang kesakitan di punggungnya. Sekarang seharusnya giliranku mendorong rak ini, tapi aku tak sanggup. Rintihan Intan terus terngiang di gendang telingaku, mereka manusia. Aku sangat-sangat tak biasa menyakiti suka menyakiti orang lain, bahkan jika ada masalah aku cenderung memendamnya sendiri, sampai adikku mengatakan bahwa aku terlalu lembek.

“Ngaipain kamu, Laila!” bentak Wulan.

Jemari lentik meraih tepian rak itu dan menariknya hingga menimpa Markus dan Intan, mengunci posisi ADAM dan EVE nomor tujuh itu. Aku hanya menatap Wulan bingung, wanita itu tampak kesal dengan sikapku yang plin-plan. Terang saja, aku hampir mengacaukan rencana mereka.

“Cepat! Ambil Buah Terlarangnya lalu pergi dari sini!”

Aku dan Esa menangguk lalu mengulurkan tanganku ke sela-sela rak. Berusaha mengambil bola merah yang digantungkan di leher Intan.

“Bu... Nuh… A… Ku…”

Bagai disayat pisau hati ini mendengar bisikan putus asa dari wanita berambut pendek itu. Mataku dan mata Intan saling beradu. Bisa kulihat kekosongan yang ada di dalam sana, Intan sudah menyerah, dia hanya ingin penderitaanya berakhir.

“Aku dapat, Mbak!”

Esa menarik bola merah yang digantung di leher Markus. Kami bergegas untuk meninggalkan tempat itu dan menjauh dari jangkauan lelaki menyeramkan yang bisa mengamuk kapan saja ini.

“Auhh!! Tolong!”

Wulan tersungkur, tangan kekar markus menarik pergelangan kaki perawat tersebut. Kudorong dadaku, lalu kupeluk Wulan, berusaha menariknya agar terlepas dari cengkeraman sang penjagal karena memang saat ini akulah yang paling dekat.

Badan Wulan seperti tertelan tumpukan rak, seiring tubuh Markus yang tertarik keluar. Kain kafan yang dililitnya seperti gaun malam naik hingga ke punggungnya, mengekspos paha jenjang dan perut rata nan seksi sebagai makanan pembuka sebelum sang pemangsa melahap kemaluan yang berhias rambut tipis terawat miliknya.

“Lepasin! Lepasin!!”

Wulan menendang-nendang wajah Markus, namun dia tak bergeming, ekspresinya tak berubah sedikitpun. Aku yang telah melilitkan tangan di bawah dada Wulan pun ikut tertarikk, tenaga kami berdua tak cukup kuat untuk mengimbangi apalagi melampaui Markus.

Susunan rak penjebak raksasa itu akhirnya runtuh, Markus berhasil keluar. Situasi kini berbalik 180 derajat! Jalur pelarianku dan Wulan tertutup sudah, dan satu-satunya yang bisa kami andalkan adalah para laki-laki di belakang Markus.

Siluetnya menjulang bak Titan pada mitologi Yunani. Lengan berototnya menjulur ke bawah dagu kami. Aku terlalu syok dan takut hingga tak dapat bereaksi ketika jemari besar Markus melilit leherku.

“Aghhh!”

“Kahh!!!”

Aku dan Wulan terbatuk-batuk, berusaha mencari celah agar bisa bernapas. Lidah Wulan menjulur keluar karena hampir kehabisan oksigen. Pandanganku mulai buram, merasa pening dan sesak.

“Apa yang kamu lakuin ke Mbak Laila!!! Pergi dari sana!!”

Samar-samar bisa kudengar amukan Esa, begitu juga suara kerikil-kerikil kecil yang jatuh di sekitar kami. Sepertinya Esa melempari Markus dengan batu.

Aku merasakan tubuhku berayun, cukup cepat sebelum mendapat hantaman keras yang mengembalikan kesadaranku secara penuh. Aku dan Wulan dibanting ke tanah dengan posisi menungging. Wajah kami menghadap ke bagian luar Indomaret, menatap langsung Esa dan Hendra yang jaraknya sekitar lima meter dari kami.

Pria berpostur tinggi besar itu berjalan ke arah Hendra dan Esa sudah dalam posisi melawan. Dari belakang yang bisa kulihat hanyalah Intan yang tanpa tangan dan kaki menempel di punggungnya, kepalanya terayun lunglai seiring Markus menghajar ADAM-ADAM kami berdua.

SRAKK

Esa tersungkur di hadapanku, keningnya berdarah dan menangis ketakutan.

“Mbak… Maafin aku… Maafin aku…,” bisiknya sebelum Markus menendang biji kemaluan Esa dengan keras.

Lengkingan Esa menggema memekakan telinga siapapun di reruntuhan minimarket itu. Matanya seperti terbalik, berusaha melihat bagian dalam tengkoraknya. Mulutnya mengeluarkan busa dan hidungnya mimisan.

Aku sering mendengar jika testis laki-laki mendapat trauma akibat hantaman, rasa sakitnya setara dengan melahirkan, namun karena terjadi begitu singkat, itu seperti jika bayi meluncur dari rahim sang ibu dalam kecepatan tinggi. Aku belum pernah melahirkan, juga tak pernah menjadi lelaki, jadi tak begitu paham bagaimana rasanya. Namun melihat bagaimana Esa menjerit hingga pingsan mengenaskan, pasti seperti siksa neraka.

“Hendra!! Di belakangmu!” teriak Wulan sambil berusaha berdiri.

“Tetap di sana! Jangan mendekat!”

Hendra mengambil balok kayu dan berjalan ke arah Markus, keduanyapun terlibat pertikaian hebat. Kami ada harapan! Badan Hendra tak semungil Esa, jadi dia pasti punya kesempatan!

ADAM dari Wulan itu mengayunkan kayu di tangannya ke leher markus hingga patah, namun lelaki itu tak menunjukan rasa sakit, apalagi mundur dari pertarungan. Dia terus maju seakan memiliki ilmu kebal atau semacamnya.

“Bajingan! Kami tak akan mati di sini!!!”

Hendra meluruskan kayu yang tersisa di tangannya, menghunuskan patahan tajam tepat ke dada Markus, namun sebelum itu menyentuh kulitnya, Markus meraih leher Hendra dan membantingnya ke arah kami.

“Ahhhg!!!”

“Hendra!!!”

Belum sempat berdiri, rambut pengacara itu dijambak oleh sang titan, dihujamkannya kepala Hendra berkali-kali ke tanah.

Aku dan Wulan menjerit sejadi-jadinya melihat pembantaian itu. Dahi lelaki itu mengucurkan darah, dia berhenti bergerak! Apa Hendra telah tewas? Aku tak tahu, tapi yang jelas badanku kini gemetaran karena diselimuti teror.

“Mundur! Jangan mendekat!”

Wulan berusaha berdiri, ingin melawan dan membalas dendamnya, namun Markus menginjak punggung perawat itu hingga kembali dalam posisi menungging. Kami tak punya kesempatan melawan!

BRUK

Sesuatu terjatuh tepat di antara tubuhku dan Wulan. Kami berdua melotot melihat pemandangan yang tak lebih dari empat puluh senti dari wajah. Itu Intan, dibuang begitu saja layaknya bantal. Balutan kain di tangan kirinya terlepas, mengekspos interseksi lengan yang termutilasi, lukanya seperti telah tertutup karena darah sudah tak mengucur lagi. Apa itu normal? Apa luka sebesar itu bisa tertutup begitu saja dalam satu malam?

“Bangsat! Enyahlah!!!” Wulan meraih batu di sampingnya, berusaha menghantam Markus dengan sedimen tersebut.

“Wulan! Jangan!!”

Tapi terlambat, Markus menendang wajah Wulan dengan keras, membuatnya menengadah ke atas karena impact yang diberikan. Darah melayang dan jatuh di belakang kami, mengalir dari mulut wanita langsing tersebut.

Wulan menyeka sedikit darah yang ada di bibirknya, masih syok karena tendangan tak pandang bulu Markus.

“Pak Markus, to-tolong jangan sakiti mereka!” gumamku pelan, “Kalau bapak mau Buah Terlarang kami, ambil saja! Ada di kantongnya Esa… Tapi jangan bunuh kami!”

Laki-laki berkulit hitam itu mendengus ke arah kami lalu tangannya dibelitkan di perutku juga Wulan. Markus membungkuk untuk mengambil ancang-ancang, lalu mengangkat tubuh kami berdua ke pangkuannya. Tak lupa ia menarik Intan yang menggeliat di tanah.

Markus melepas kain yang melilit pinggangnya. Gelondongan besar berwarna hitam pekat menggantung dan perlahan berdiri menantang. Kepalanya merah menyala dengan rambut keriting yang sangat lebat di pangkalnya. Cairan putih kekuningan yang kental dan bau keluar bak lava, berjatuhan di pahaku, di perut Wulan bahkan mengalir di rambut Intan.

PuQ5Yqao_o.jpg

Mulutku menganga tak percaya, jadi itu penis Markus?! Sebesar itu?! Aku memang tak banyak melihat kemaluan pria lain, tapi aku tahu penis manusia tak mungkin sebesar itu! Itu benar-benar terlihat artificial!

“A-apa kamu mau memperkosa kami?”

Aku takut, gemetaran melihat ekspresi datar Markus, jadi kupalingkan wajahku. Tapi tiba-tiba kurasakan hembusan hangat di buah dada, tepatnya di sekitar areolaku yang masih berbalut kafan tipis. Belum sempat menoleh, Markus melahap puting susuku bulat-bulat.

Markus bak raja di sebuah cerita harem, raja dengan tiga selir yang memuaskan nafsu binatangnya secara bersamaan.

Lidah markus terus menekan puting kiriku, mengenyotnya kuat membuat pentilnya yang setengahnya terbenam tertarik keluar. Sensasi bak ditusuk jarum terasa, membuatku meringis kesakitan.

“Uh… Apa ini?”

Kusentuh dadaku yang sebelah kanan, kain yang membalutnya sedikit basah. Saat kusingkap juga terlihat cairan putih mengalir dari ujung pentilku.

“Ini… Susu? Apa aku hamil?” bisikku tak percaya.

Aku syok ketika Markus berhenti menghisap payudaraku, melepaskannya dan membiarkan air susu muncrat ke arah Esa dan Hendra yang melongo dan tak berani mendekat. Seharusnya aku belum bisa memproduksi ASI! Aku tidak sedang hamil, bisa kupastikan itu!

“Auh!!! Lepaskan! Lepaskan!!” Kudorong leher lelaki itu, namun cengkeramannya terlalu kuat.

“Hey!! Sakit!! Hentikan!”

Kini Wulan yang menjerit, aku melihat sang perawat di sisi seberangku mengejan. Pinggulnya bergerak cepat karena Markus menusuk anusnya dengan jari-jari besar.

“Huhhh…!!! Ahhh!!” Wulan mendesah.

Wanita langsing itu bersandar lemas di dada Markus, tak punya tenaga untuk melawan apalagi kabur. Pria bongsor itu mencabut jari yang kini berlapis kotoran kekuningan Wulan.

Diraihnya leher Intan yang bersandar di depan kami, Markus mengangkatnya seperti jemuran dan memposisikannya di atas ujung penisnya.

“Hnngghhh!”

Erangan Intan membuatku Wulan bergidik ngeri! Melihat perempuan itu gelagapan karena lubang paling intimnya ditikam seonggok daging yang sama besarnya dengan lenganku. Wanita itu terengah-engah kesakitan, gundukan kecil terlihat dan perlahan mengarah ke pusarnya, menunjukan bahwa liang peranakannya tak sanggup menampung kontol besar itu.

“A-apa yang kamu lakukan..? Dia… Dia ndak mungkin bisa bertahan… Dia bisa mati!” gumamku di balik horor yang menyelimuti saat melihat Intan kejang-kejang.

“Auhhh!!!!”

Aku dan Wulan menjerit ketika bongkahan pantat kami diremas oleh telapak tangan kasarnya. Jari-jarinya menelusuk ke celah kancut dan menusuk ke dalam anusku.

“Fuuwahhh!! Hentikan… Jangan… Uhgggh!!!”

Markus memutar-mutar jarinya di saluran pembuanganku, menarik-narik tepiannya keluar dan membuat lubang sempit itu makin lebar. Aku merasa jijik pada diriku sendiri karena merasa terangsang ketika duburku diobok-obok seperti itu.

Angin lambungku tertiup karena Markus membuka lobang pantatku lebar-lebar. Aku tak pernah dipermalukan seperti ini sebelumnya! Seperti tak cukup menghinaku, jemarinya terus masuk makin dalam dan mengaduk ampas makananku seperti sebuah blender.

Lelaki itu menarik tangannya dan menunjukan jari yang belepotan gumpalan coklat berbau busuk padaku, tentu saja langsung kupalingkan wajah karena jijik.

Fokusnya kembali pada fleshlight organiknya di tengah kami, dengan buas pria itu menghajar vagina Intan, kulit disekitarnya memerah seperti buah persik, tegang karena terus ditarik-ulur. Kencingnya mengalir di sela-sela jeritan pilu mohon pengampunan.

“Hentikan… Bunuh saja aku!!! Aku mohon!!!”

Jeritan dan racauan keluar dari mulut wanita itu. Penis yang menancap di vagina Intan berkedut tak normal seolah Markus mampu mengontrolnya, pinggulnya juga bergerak maju mundur, menggesek memek Intan yang tak mampu menampung kontol hitamnya.

CPRRTT!!

Sangat jelas suara itu terdengar ditelingaku, Markus menembakan spermanya di dalam vagina Intan. Cairan kental mengalir dari sela-sela memeknya.

Seperti anak kecil yang telah bosan dengan mainannya, Markus mendorong Intan begitu saja ke tanah, membuat kontolnya tercabut dan menyebarkan aroma pesing menyengat yang menusuk hidung.

Kepalaku pening karena baunya, kutoleh markus yang kini mengangkat Wulan ke tengah. Mengarahkan bibir kecil perempuan itu ke ujung penisnya.

“Hah!!! Bajingan! Jangan harap aku mau ngelakuin ini!”

Wulan meronta-ronta, kepalanya menggeleng kuat karena tak ingin mencium benda menjijikan di hadapannya. Namun pukulan keras di perut memaksa sang perawat untuk membuka mulutnya.

Tanpa membuang kesempatan, Markus mendorong kepala Wulan dan memasukan kontol yang masih tegang itu ke tenggorokan mainan barunya.

“Gahhggg! Gahhg!!”

Hanya suara tersedak yang bisa kudengar dari Wulan, Markus juga tak tinggal diam. Dijilatinya vagina Wulan lalu dihisapnya kelentitnya seperti bagaimana dia menghisap puting susuku. Jari-jari kekar Markus menusuk ke liang senggama Wulan. Perempuan itu tampak kesulitan melihat apa yang terjadi pada bagian bawah tubuhnya karena posisi hampir terbalik, sementara aku bisa melihatnya dengan jelas. Pertama jari telunjuk, lalu jari tengah dan jari manis, hingga akhirnya kepalan tangan Markus terbenam dalam vagina Wulan.

“T-tunggu! Kalau kamu lakukan itu nanti Wulan bisa-”

Belum selesai kalimatku, perawat itu sudah muntah karena Markus mendorong tangannya. Gundukan yang sama seperti apa yang kulihat di perut Intan muncul di bawah pusar Wulan. Mustahil rasanya penetrasi bisa dilakukan sedalam itu, dengan objek sebesar itu. Ini aneh, terlalu tak wajar malah!

Seolah apa yang kupelajari di biologi saat SMA semuanya tak ada artinya di sini….

Kecuali….

Tubuh kami telah dimodifikasi agar mampu melakukan ini semua!

Penis kuda Markus, ASI yang keluar sebelum waktunya, kapasitas anal dan vagina, area sensitif yang meningkat! Itukah kalibrasi yang dimaksud?

Tangan kanan Markus melepas cengkeramannya dari pinggulku, membuat tubuhku yang sudah lemas jatuh tengkurap di samping Intan. Kini kulihat jelas ekspresi Wulan yang tersiksa. Matanya hampir tertutup, mulutnya menganga dengan lidah menjulur dan terus memuntahkan isi perutnya.

Hingga akhirnya Wulan kehilangan kesadarannya tepat ketika Markus menarik uterus Wulan keluar dari tempat seharusnya. Wanita cantik itu kembali muntah lalu jatuh sejajar dengan kami, mengekspos onggokan daging rahimnya yang kini mengalami ambrol keluar dari vaginanya.

Kini hanya aku, Intan dan Markus yang masih sadar sepenuhnya. Entah siksaan apa yang akan monster itu berikan padaku. Aku takut, sangat takut!

“Bunuh aku… Kumohon… Cuma itu satu-satunya cara…”

Bisikan Intan kini terdengar berbeda, lebih tenang dan damai. Dia menatap mataku mantap, menembus kacamata berlapis debu yang kukenakan. Sementara Markus yang masih belum puas meremas pahaku, tangannya meraih kapak batu yang ada disampingnya.

Aku akan dimutilasi!

Aku harus bertindak, sekarang atau tidak sama sekali!

Entah apa yang merasukiku, tapi tubuhku seperti bergerak sendiri. Kupeluk wajah perempuan dengan potongan cowok itu, membekapnya di antara dadaku.

“Terimakasih…”

Suara dan napas Intan bergetar tepat di jantungku, tanpa sadar air mataku mengalir. Sunyi menjadi musik pilu di telingaku, gemeretak tulang yang patah terdengar nyaring dan memecahkan hatiku berkeping-keping.

BRUK

Kapak itu terjatuh dari tangan Markus berikut dengan tubuh bongsornya. Lelaki itu kejang-kejang seperti ketika Irma melanggar batas jarak EVA dan ADAM. Perlahan kudorong tubuh Intan yang kini telah lunglai, lehernya terpelintir namun ekspresinya begitu damai. Siksaannya telah selesai, kini perempuan itu bisa tenang… Aku telah membunuhnya.

Aku duduk meringkuk lututku kutekuk dan menggencet payudara besar ini, kupeluk dengan erat dan kubenamkan kepalaku di sana.

“Hiks…. Hiks...,” hanya isakan yang keluar namun semakin lama rasa sedih bercampur marah, takut, penyesalan, kekecewaan seperti akan menyeruak keluar.

“HAAAAAAAAAA!!!!”

Aku menjerit, menangis sejadi-jadinya. Aku baru saja membunuh seseorang, manusia yang beberapa detik lalu masih bernapas!

Aku….

Seorang pembunuh…

****​

Langit telah berubah warna menjadi kemerahan, Hendra dan Wulan menggeliat dan mendesah pelan. Akhirnya tersadar setelah hampir satu jam pingsan. Keduanya terkejut ketika melihat Markus telah ambruk tak bernyawa, begitu juga pasangan EVE-nya.

“Laila, kamu yang melakukan ini?”

Hendra menoleh kearahku yang meringkuk di ujung rak. Aku tak meresponnya, terlalu takut mengakui bahwa aku adalah pembunuh! Wulan berjalan kearah Intan dan memeriksa leher serta detak jantungnya, berikut tubuh Markus.

“Mereka mati…” bisiknya.

Perawat itu berjalan dan berjongkok di sebelahku, memegang bahuku namun aku tak berani menatapnya.

“La… Apa… Apa kamu yang ngebunuh Markus?”

“Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku… Maafkan aku…”

“Sudah! Laila, hentikan!”

Wulan menamparku, ekspresinya tampak begitu khawatir. Hendra yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum kecil, lalu menggeser tubuhnya. Memperlihatkan Esa yang baru saja berdiri, berusaha tersenyum sambil menahan rasa sakit. ADAM-ku itu berlutut di hadapanku, memegang kedua tanganku dengan kuat, memberikan senyuman terhangat yang dia bisa.

“Syukurlah Mbak nggak kenapa-kenapa…”

Air kembali berlinang di kelopak mataku. Kupeluk Esa dengan erat hingga kudengar detak jantungnya. Pemuda itu juga membalas pelukanku membiarkan aku menangis di dadanya.

Kami berjalan menyusuri hutan, menghindari jalan utama karena menurut kami terlalu berbahaya untuk sekarang, terutama jika semuanya sedang terluka begini. Mungkin sudah setengah jam berlalu, Esa masih belum bisa berjalan dengan benar, masih terpincang karena ngilu di selangkangannya. Wajah Hendra masih berselimut darah dan daging cervix masih menyeruak dari vagina Wulan.

“Lihat, itu ada sungai, kita bisa membasuh diri di sana!”

Hendra menunjuk ke arah aliran air terjun di depan kami. Melihat oasis tersembunyi yang dikelilingi tebing kecil dan pepohonan rimbun, perasaanku jadi sedikit lebih baik melihat pemandangan asri tersebut. Aku memapah Esa untuk berjalan lebih cepat. Kami capek, kami haus, kami hanya ingin lepas dari segala stress yang melanda.

Aku duduk bersimpuh di tepi sungai, airnya bening dan merefleksikan wajahku secara sempurna. Beda sekali dengan air-air di perkotaan. Kuraup dengan telapak tangan dan kuseruput. Segar, dingin, benar-benar menyapu dahaga.

“Lho, kalian ga ikutan mandi?” tanya Wulan yang sudah telanjang bulat.

“E-eh? Mandi?”

Wulan mengernyitkan alis, “masa bilang kalian masih malu, bahkan setelah yang tadi itu sih?”

Perempuan itu memang ada benarnya, selama dua hari ini, Esa sudah melihat hampir segalanya dariku, begitu juga sebaliknya. Seharusnya aku tak perlu menutup-nutupinya lagi, apalagi setelah melihat Markus dan Intan. Tempat ini tak punya hukum, norma dan moral yang menjadi standar sosial tak lagi berlaku. Yang kami punya hanyalah saling percaya pada partner kami.

“Ayo, Sa… Mandi dulu yuk…” bisikku.

“Eh, Mbak? Ta-tapi!”

Esa gelagapan ketika melihatku perlahan melepas kain yang menopang gunung kembar ini. Tentu saja aku malu, tapi melihat reaksinya yang polos justru membuat hasrat untuk menggodanya makin besar.

Aku kini sudah berdiri telanjang bulat di hadapannya, masuk ke air sedalam lutut dan menarik tangan Esa untuk ikut turun. Kubentangkan tanganku dan meraih ikatan kain yang melilit leher serta dadanya. Ukuran tubuhnya yang lebih pendek dariku membuat payudaraku beberapakali menabrak wajahnya, tentu saja itu memang sengaja kulakukan untuk membuatnya semakin terangsang.

Kini tak ada sehelai benangpun yang menempel di badan kami. Pelan-pelan kugiring dia berjalan ke arah air terjun. Memasuki aliran air yang lebih dalam namun tenang, menyusul Wulan yang kini sedang memeriksa luka-luka di dahi Hendra.

“Ini kok lukanya mu udah nutup semua, Ndra?”

“Eh? Ada apa?”

“Luka-lukanya Hendra, sudah hilang… Padahal aku lihat sendiri Markus ngehajar dia habis-habisan! Kamu juga lihat kan, La?”

Aku mengangguk, rasanya memang tak mungkin luka-luka Hendra kecuali asumsiku tadi benar. Tubuh kami sudah mengalami modifikasi genetika supaya bisa menerima perlakuan-perlakuan tak wajar yang dilandasi fetish seks tanpa harus meregang nyawa. Regenerasi minor mungkin salah satunya.

“Ah, engg… Kak Wulan, a-apa itu normal?”

Esa menunjuk onggokan daging pink berbentuk telur dari film Alien yang menggantung terbalik di antara paha Wulan. Aku langsung mencubit Esa karena begitu kasual menunjukannya, tapi sepertinya memang sedari tadi Wulan tak sadar bahwa rahimnya keluar.

“Ah! Kenapa ini?! Sejak kapan?! Kamu kok gak bilang dari tadi, La?!” jerit Wulan marah, sementara aku hanya tersenyum kecut.

“Kenapa, Lan?” tanya Hendra bingung.

Uterine prolapse! Ini pasti gara-gara difisting sama Markus sialan itu!”

“Uterin, apa? Hah?”

Wulan duduk di atas lempengan batu di bawah air terjun, membuka kakinya dan menunjukan apa yang terjadi pada vaginanya pada kami. Hendra dan Esa terkejut melihat itu, tentu saja, pada dasarnya cervix tak seharusnya ada di luar seperti itu.

“Uhh!! Kondisi dimana, hnngg! Rahim wanita melorot dari tempatnya, ugghhh!! Ahhh… ahhh…” erang Wulan, “biasanya karena otot pelvis gak kuat, akibat post-menopause atau syok, kaya yang dilakuin Markus tadi, auhhh!”

Perawat itu berusaha memasukan kembali daging itu sambil menjelaskan secara medis. Itu membuat kami bergidik ngeri, tapi para laki-laki juga tampaknya terangsang melihat atraksi Wulan yang bahkan tak segan menunjukan itu semua di hadapan kami.

“Sakit, Lan?”

“Ketimbang sakit, rasanya lebih kayak geli…,” perawat itu tersenyum nakal pada Hendra, “mau bantu aku masukin gak?”

“Eh?”

Aku dan Esa hanya melongo layaknya orang bodoh saat dua pasangan ADAM dan EVE itu naik ke arah air terjun. Tak jauh dari kami memang sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas tiap detil dan tiap dari apa yang mereka lakukan pada tubuhnya. Wulan dan Hendra saling membasuh diri mereka secara erotis, menari-nari kecil, saling menggelayut di tubuh pasangannya. Menunjukan betapa mereka berdua memiliki passion dan sangat mengapresiasi seksualitas partnernya.

Aku ingin seperti itu!

Aku ingin diperlakukan begitu!

Aku iri!

Kami hanya menonton Hendra yang membelai rambut kemaluan Wulan, tangan kanan perempuan itu mengarahkan penis sang ADAM sementara tangan kirinya meremas gelondongan cervixnya.

“Hnnnghhh….”

Wulan mendesah ketika Hendra melakukan penetrasi langsung ke rahimnya, ekspresinya seolah mengejekku, mengatakan bahwa itu adalah sensasi paling nikmat sejagat raya. Hendra menopang paha Wulan yang kini berdiri dengan satu kaki. Lehernya dibelit oleh kedua tangan Wulan dan mereka bercumbu mesra. Pelan-pelan, Hendra mendorong masuk uterus EVE-nya hingga kembali ke tempat seharusnya. Dilanjutkan dengan persetubuhan sambil berdiri di bawah air terjun.

Jantungku berdegup kencang, memekku sudah gatal ingin dimasuki sesuatu. Kutoleh kontol Esa yang sudah ngaceng namun tak punya wadah untuk pelampiasan. Penisnya butuh tempat yang hangat untuk bersarang, seperti di dalam vaginaku misalnya.

“Esa… Esa juga ada terluka, ndak?”

Sengaja kusenggolkan payudaraku ke lengannya, berusaha membangun chemistry birahi antar kami berdua. Kulepas tali kepangan, membuat rambut panjang sepunggungku terurai dan bergerak bebas di air. Aku ingin dia melihatku sebagai wanita dengan sex appeal sungguhan, bukan seorang kakak yang polos dan baik hati seperti bagaimana selama ini dia memandangku.

“Ah… Umm… Aku nggak apa-apa, Mbak…”

“Jangan bohong! Tadi kamu jalan aja sampai pincang-pincang gitu! Di mana lukanya?”

“Tapi, Mbak-“

Dengan cepat kutarik tangan Esa ke tepian, ada dataran berumput tebal yang sepertinya cukup nyaman untuk merebahkan diri di sana. Kududukan pemuda itu di sana, akupun bersimpuh didepannya. Esa terus menutupi kemaluannya dan tak berani melihat ketelanjanganku terang-terangan. Ahhh!! Reaksi seperti inilah yang kucari! Anak cowok bertampang babyface dan malu-malu layaknya anak kecil.

“Mana sakitnya? Sini mbak lihat!”

“Anu, Mbak… Jangan…”

“Ndak apa-apa, Esa! Ayo sini kasih lihat tititnya!”

Pelan-pelan anak itu membuka cakupan tangannya, jujur ini pertama kalinya aku melihat milik Esa sedekat ini. Bentuknya dan ukurannya jelas tak seperti milik Markus, bahkan lebih kecil dari Hendra. Rambut yang tumbuh di pangkalnya juga tidak lebat.

“I-imutnya…”

“Eh?! Imut?!” bisik Esa sendu.

Astaga, aku keceplosan! Ukuran penis sepertinya memang dianggap sebagai harga diri bagi laki-laki, semakin besar penismu, kau semakin kau merasa dirimu sebagai pejantan alpha! Jika ada yang bilang “imut” pada penis laki-laki, jelas membuat hatinya hancur berkeping-keping.

“Ah! Maksud mbak, tititnya Esa ngingetin sama adiknya mbak yang paling kecil!”

“Mbak… Aku udah hancur, tolong jangan diinjak-injak lagi…”

Aku hanya meringis melihat tampang suram Esa. Kutatap dalam-dalam tongkat daging yang telah disunat itu. Testisnya memang terlihat sedikit merah, tak sampai bengkak namun perbedaannya terlihat cukup jelas walau tanpa kacamata.

“Kalau begini sakit ndak?”

Kuremas lembut telur puyuh Esa, pemuda itu mengaduh, mengejan dan menembakan sedikit pejuhnya ke wajahku.

“Ah!! Maaf, Mbak! Aku nggak sengaja!”

“Iya, ndak apa-apa, tapi kamu ini ngerasa sakit kan kalo dipegang?”

Esa mengangguk, kuseka cairan kental di pipiku dan kutarik dadaku hingga sejajar dengan penisnya.

“Tititnya mbak kompres ya…,” gumamku sambil melempar senyum termanis yang kubisa.

“Ko-kompres, tapi dapat kompres darimana, kita nggak punya air hangat??”

“Aku baca dulu, pakai panas tubuh juga bisa…”

Alisnya mengkerut mendengar perkataanku. Tentu saja aku bohong, yang kutahu adalah menghangatkan tubuh dengan saling berpelukan sambil telanjang saat kedinginan, bukan mengkompres bagian tubuh yang memar. Tapi anak itu sepertinya tidak meragukanku saat aku pura-pura memeriksa suhu tubuhku sendiri dengan punggung tangan, menempelkannya di leher dengan ekspresi serius.

Seakan melihat sesuatu yang luar biasa ekspresi Esa ketika kuapit kontolnya di antara payudaraku. Antara kaget, tak percaya, takut. Kau tak menyangka seorang kakak perempuan melakukan ini pada adik laki-lakinya kan, Esa? Kau lupa! Begini-begini aku ini adalah EVE-mu, partner yang ditakdirkan untuk memuaskan hasrat seksualmu, bukan pengasuh apalagi kakakmu!

Walau kuakui, aku sangat menikmati bertindak layaknya seorang kakak, setidaknya itu bisa mengobati kekosongan di hati, tapi untuk kekosongan di birahi itu beda cerita!

Terus kupijat daging kembar berlemak dengan permata besar kecoklatan di ujungnya itu, digencet dan diputar searah jarum jam. Tekanannya membuat air susu terperas keluar dan membasahi perut Esa, sekaligus mencegah penis Esa tertidur lemas.

“Uhhh… Mbak Laila, itu keluar…”

“Susu, iya mbak tahu! Mbak juga kaget pas tahu-tahu mbak udah memproduksi ASI.”

“Tapi bukannya cuma ibu hamil dan menyusui yang bisa? Jangan-jangan Mbak Laila…”

“Hei! Biar badannya mbak kayak tante-tante gini, tapi mbak ndak pernah melahirkan, apalagi hamil! Mbak ini belum nikah, tau!”

“Maaf, Mbak, habisnya pinggulnya Mbak… Lebar banget, cocok buat ngelahirin bayi…”

Senyumku mengembang mendengar lelucon Esa. Pinggulku lebar katanya, cukup lama waktu yang diperlukan agar Esa tak sungkan lagi padaku, untuknya melontarkan lelucon kotor. Walau sebenarnya garing dan tidak bisa dikategorikan jorok, tapi aku sedikit tersanjung. Artinya Esa benar-benar tertarik dan melihatku sebagai wanita, bukan kakak.

“Mbak kok senyum-senyum sendiri?”

“Eh? Ah! Ndak kok…,” aku gelagapan panik, lalu kembali fokus memijat kontolnya dengan tetekku.

“Auhhh!!!” Esa kembali mengejan.

Sperma segar kembali kembali menyembur dan jatuh melapisi kulit buah dadaku. Walau berkali-kali Esa menentangnya, mensugesti diri untuk tak memperkosaku, tapi tubuhnya tak bisa bohong! Esa terangsang melihat tubuh ini!

Ujung penisnya terlihat begitu menggemaskan di sela-sela dadaku. Aku ingin merasakannya, bertindak lebih nakal dan melampiaskan fantasi seksku pada daging itu! Sesuatu yang terlalu takut kulakukan pada pacarku sehingga membuat hubungan kami seperti mayat hidup.

xCLZVs8D_o.jpg

Perlahan bibirku mendekat ke kepala penis Esa, kukecup layaknya mencium dahi adik kecilku, kujilat bak es krim, dan akhirnya kulahap kontolnya ke dalam mulutku.

“Aduh! Mbak, itu kotor!”

Tak kupedulikan pringatannya. Aku terus mengulum penisnya, memutar-mutar lidahku dan mengajak daging kemaluannya itu menari dalam rongga mulutku. Pelan-pelan kepalaku begerak maju dan mundur, sesekali kusibak rambut yang jatuh menutupi pipiku. Kini kontol Esa benar-benar ada dalam kendaliku.

“Mbak Laila, kalo kaya gini terus… Aku… Aku mau keluar…”

Akhirnya Esa menyerah dan menerima aksi blowjob yang kulancarkan padanya. Pemuda itu menekan kepalaku kuat-kuat. Cairan hangat dengan rasa asin dan gurih membanjiri mulutku dan kutelan semuanya tanpa sisa.

“Gimana? Udah main dokter-dokterannya?”

Aku dan Esa terperanjat melihat Wulan yang jongkok di samping kami. Perawat itu tersenyum puas dan sepertinya sudah menonton apa yang kami lakukan cukup lama.

“Ah! Umm! E-Esa, sudah ayo, kita mandi dulu!”

Dengan canggung kutarik Esa ke arah air terjun, rasa malu kembali merasuk ke seluruh aliran darahku.

“Ciye yang penganten baru mesra amat mandi bareng!” ledek Wulan, sementara Hendra hanya tertawa melihat kami berdua salah tingkah saat membasuh diri. Walau begitu aku senang…

Sedikit demi sedikit, aku dan Esa telah membuka diri satu sama lain.

****​

Langit sudah gelap, kami memutuskan bermalam di goa kecil di balik air terjun. Kami berempat masih telanjang bulat karena kain-kain yang jadi pakaian kami baru saja dicuci. Untunglah Hendra bisa menyalakan api dari daun dan ranting kering yang kami kumpulkan. ADAM dan EVE nomor empat ini memang pasangan yang membuatku iri. Hendra begitu tampan, baik, tenang dalam situasi genting, dan sangat bisa diandalkan, sementara Wulan adalah pribadi yang ceria, blak-blakan menyampaikan apapun yang dia mau, terlebih pengetahuannya soal seks ataupun ilmu medis sangat membantu untuk bertahan hidup di Eden Game, setidaknya begitu mereka menyebut kompetisi sinting ini.

“Buah Terlarang ini ternyata ada nomornya, ya!”

“Eh? Masa? Coba sini lihat!”

Wulan merampas bola merah yang dipegang Hendra, aku dan Esa juga masing-masing mengambil Buah Terlarang yang ada di depan kami. Hendra benar, ada angka bertuliskan nomor urut kami sebagai ADAM dan EVE terukir kecil di sana.

“Menurut Kak Wulan sama Kak Hendra, sebenarnya apa tujuan kita diculik untuk ikut Eden Game ini? Siapa pelakunya?”

Esa membuka pertanyaan sambil menimang-nimang kristal merah di tangannya.

“Hmm, aku sempat berpikir kalau pelakunya orang yang punya dendam denganku!” gumam Hendra.

Pria itu mengubah posisi dan duduk bersila, tak lagi tiduran santai sambil memeluk Wulan.

“Di pekerjaanku, musuh itu gampang didapat, orang yang benci denganku sangat banyak.”

“Aku juga mikirnya gitu!” timpal Wulan, “sebenernya, aku sama Hendra sempat berteori kalau kita ada di semacam permainan orang-orang kaya! Semacam sabung ayam, namun yang diadu adalah manusia!”

“Benar, kalian juga lihat sendiri kan? Teknologinya jauh lebih maju dari apa yang bisa kita lihat di pasaran, asumsiku kita ada di semacam fasilitas yang dijalankan organisasi underground sih, semacam mafia begitu.”

Aku dan Esa manggut-manggut, sebenarnya aku memang punya pikiran kesana juga, tapi rasanya konyol saja saat apa yang terlintas di kepala kami adalah penculikan alien.

“Kejam sekali… Memaksa orang-orang ndak bersalah untuk kepuasan pribadi, memodifikasi tubuh kita agar bisa terus disiksa…”

“Eh? Modifikasi?”

Wulan dan Hendra melotot heran ke arahku.

“Ka-kalian masa belum sadar? Markus tadi, anunya besar banget… Memangnya ada manusia yang punya barang segede itu? Trus luka-luka kita sembuhnya juga cepat, lalu rahimnya Wulan bisa melorot dengan mudah, terus…”

Aku memencet puting susuku hingga ada ASI yang mengalir.

“Aku bisa memproduksi air susu sebelum waktunya, kurasa kita mengalami modifikasi genetis…”

“Tapi kenapa mereka malah modifikasi tubuh kita buat hal-hal bodoh begini?” tanya Esa.

“Dulu aku baca kalau NAZI Jerman pernah ngelakuin eksperimen-eksperimen begini untuk bikin manusia super, atau mau masuk ke tahap evolusi manusia yang lebih advance,” timpalku tenang, “adam, Eve, Eden, Buah Terlarang itu biblical banget ya kesannya, seolah-olah kita sedang diuji untuk jadi cikal bakal manusia yang baru!”

Hendra termenung, matanya terlihat sangat serius dan syok, “Laila, tadi terakhir kamu bilang apa?”

“Eh? Seolah-olah kita sedang diuji untuk jadi cikal bakal manusia yang baru?”

Napas panjang berhembus dari mulut Hendra, dia menatap kami bertiga secara bergantian.

“Maaf, mungkin ini personal tapi aku mau mengkonfirmasi! Apa kalian orang tua kalian masih hidup?

Wulan, Esa dan aku menggeleng secara bersamaan.

“Setelah mereka meninggal, bagaimana kalian menyambung hidup? Apa ada yang menafkahi?”

“Aku kerja jadi penulis lepas dari SMA, tapi sebagian besar biaya hidupku dan adik-adikku ditutupi sama uang yang dikirimkan paman yang tinggal di Inggris.”

“Aku juga selalu dapat kiriman dari tanteku!”

Semuanya mengkonfirmasi bahwa biaya hidup mereka semenjak menjadi yatim piatu dikirim oleh kerabat.

“Kalian pernah ketemu sama mereka? Pernah lihat secara langsung mereka ngasi uangnya?”

Jika dipikir-pikir, Hendra benar juga. Aku tak pernah bertemu dengan paman yang mengirimi kami uang selama ini. Dia menelpon kami saja tak pernah, tahu-tahu setiap bulan rekeningku selalu terisi bahkan ketika aku sudah bisa mencari nafkah sendiri. Kami hanya mendapat surat satu kali, sebuah surat dengan amplop hitam yang mengatakan bahwa dia adalah saudara ayahku yang tinggal di London.

“Saat kematian orang tua kalian, apa kalian mendapat amplop hitam juga?” tanya Hendra pada akhirnya.

Seperti mau copot jantungku, bagaimana dia bisa tahu? Aku melirik Wulan dan Esa, sepertinya semua memiliki pengalaman yang sama.

“Ndra, jadi maksudmu ini apa?” tanya Wulan yang mulai tak nyaman.

Hendra terdiam, lalu berjalan ke tepian goa. Memandang hutan yang membentang di hadapannya.

“Sepertinya kita tidak diculik secara acak, kita memang didanai dan dipelihara khusus untuk dikirim ke permainan terkutuk ini!”

sr2SJxJ3_o.png
Semakin menarik sodarah sodarah
 
MyntlNyA_o.png

Hari telah berganti, mentari masih belum terbit tapi aku sudah membasuh diri di air yang dingin. Kugosok sela-sela ketiak dengan daun yang aromanya wangi, lalu ke lipatan bawah dada, perut dan pantat. Membersihkan daki dan kotoran yang menempel.

Suara guyuran air mengagetkanku, kepala berambut coklat almond menyembul dari dalam kolam lalu melirik ke arahku dengan senyum tertahan.

“Duh, Esa! Ngagetin mbak aja!”

Kususul ADAM-ku itu dengan melompat ala cannonball ke kolam, menciptakan hentakan besar. Kami tertawa sesudahnya, saling mencipratkan air, bermain-main di kolam dan melepas beban pikiran serta stress yang mengganggu semalaman ini.

“Mbak…”

“Hmm?”

“Sebenernya aku nggak tahu harus bilang apa, tapi makasih Mbak, buat yang kemarin…”

“Oh, gimana tititnya? Udah mendingan?”

Esa yang sedari tadi membiarkan tubuhnya mengambang santai langsung gelagapan dan mengubah posisinya, bisa kulihat dia salah tingkah ketika menatapku.

“Umm… Anu Mbak, aku bukan anak kecil lagi…” gumam Esa pelan, "jadi bisa nggak Mbak Laila nggak memperlakukanku kayak anak SD?”

Senyumku mengembang, kupeluk Esa hingga wajahnya terbenam di dadaku.

“Maafin mbak ya, Sa… Mungkin mbak cuma terlalu excited aja kemarin…”

Excited?”

Kusandarkan punggungku ke batu di tepi kolam, “kamu baca kan? Kamu tahu kan mbak ini kaya gimana?”

“Maksudnya apa, Mbak?”

Sebenarnya aku tak ingin menggunakan kata-kata yang kotor atau menjurus hal seksual, tapi melihat Esa yang tak mengerti juga, aku mulai sedikit kesal. Kucubit pipi tembemnya, lalu kugoyang-goyangkan sampai anak itu mengaduh kesakitan.

“Fetish… Kelainan seksualnya mbak!” bentakku dengan suara terkontrol.

“Owh… Maksudnya, Mbak Laila beneran pedofilia?”

Kini kutarik hidungnya karena dengan polos anak itu berkata demikian. Kukecup keningnya, lalu mengadah melihat langit yang masih gelap.

“Aku… Juga ndak tahu apa mbak ini pedofil atau bukan, tapi eksibisionis, frotteuris, dua kata itu mungkin yang bikin mbak dilabeli pedofil sama sistem dalam kristal ini…”

“Eksibisionis, maksudnya, Mbak… Anu, suka…”

Aku mengangguk, “iya, terkadang kalau temen-temennya Reilo main, mbak sengaja keluar ndak pakai daleman, sekedar bawain minuman, ato kadang nemenin main, sengaja nempelin badan mbak ke temen-temennya… Kayanya itu yang namanya frotteurism.

Aku teringat kedua adikku di rumah, walau rasanya sesak, tapi aku sudah tak ingin menangis, aku tak bisa terus-terusan menggantungkan bebanku pada bahu kecil Esa. Dia telah menanggung cukup banyak.

Esa membisu, tak merespon apa-apa, bahkan tersenyum saja tidak. Dia hanya menatapku kosong dan itu membuatku tak nyaman.

“Sa… Esa! Kamu kenapa, mikirin kakakmu?”

“Ah, nggak apa-apa, Mbak… Dia mungkin nggak peduli kalau aku hilang…”

Pemuda itu hanya tersenyum kecut, aku merasa ada sesuatu yang tak beres. Kupikir Esa adalah orang yang sangat dekat dengan kakaknya, makanya dia begitu clingy padaku. Awalnya kukira dia melampiaskan perasaan rindu itu padaku, tapi sepertinya aku salah.

“Ada yang mengganjal di pikiranmu ya, Sa?”

Anak itu terbelalak kaget, ekspresinya begitu mudah diterka.

"Mbak tahu kok kalau ada orang yang lagi ada masalah, udah biasa jadi tempat curhat adik-adik, dan temen-temen mbak yang lain…” bisikku, “kalau kamu percaya sama mbak, kamu bisa cerita, Esa…”

Aku tersentak kaget saat anak itu tanpa sengaja menyentuh payudara kiriku, menekannya seperti bakpau daging sehingga air susuku muncrat dan mengalir di kolam. Tentu saja Esa langsung minta maaf dan tertunduk malu.

“Aku gak cukup jantan… Kurasa kenapa aku melihat Mbak Laila sebagai kakakku, hanya sebagai pelampiasan…”

“Pe-pelampiasan??”

Aku mulai ada perasaan tak enak, jangan-jangan benar dugaanku kalu Esa ini memilik sister complex dan melakukan hubungan yang tak sehat, bahkan tabu dengan saudarinya.

“Kakakku sangat membenciku…”

“Eh? Maksudnya?”

“Orang tuaku meninggal karena aku, Mbak… Semenjak itu semua orang menyalahkanku, aku nggak bisa melawan, dan saat Mbak Laila baik sama aku, aku ngerasain sensasi yang bener-bener aku rindukan, perasaan untuk diperhatikan dan punya keluarga.”

Kubekap lebih erat pemuda itu, kubelai rambutnya yang basah. Kini aku tahu, Esa bukan memiliki aura figuran karena tak punya kharisma atau semacamnya, tetapi karena dia menekan segala yang ia punya untuk tampil tak mencolok. Dia takut menjadi mencolok, dan ketakutan adalah satu-satunya perasaan yang tumbuh lama bersamanya. Tanpa sadar, dia telah meremehkan dirinya sendiri.

“Mbak Laila begitu baik denganku, aku nggak mau jadi pengecut terus-terusan, aku ingin jadi laki-laki yang jantan yang bisa ngelindungin Mbak Laila…” bisiknya.

Tanganku melilit di bahunya, kuangkat kakiku dan membiarkan air menahan masa tubuhku, memeluk bagian bawah tubuh Esa yang terendam, menariknya hingga kemaluan kami bertemu.

“Mbak… Mbak Laila, ngapain? Ini kayaknya udah berlebihan, Mbak!”

“Kenapa, karena kamu anggap aku ini kakakmu?” bisikku menggoda, membuat Esa memalingkan wajahnya malu.

“Aku ndak mau nyakitin Mbak Laila… Aku ndak mau kita berdua kecewa…”

“Esa… Kamu boleh kok anggap mbak ini kakakmu, aku senang malah… Tapi jangan lupa, kamu tetaplah laki-laki, mbak tetap seorang wanita, kita tetap punya kebutuhan masing-masing.”

“Maksud Mbak Laila?”

“Kamu pernah denger istilah friend with benefit?”

Pemuda itu mengangguk pelan.

“Gimana kalo kita bangun hubungan sibling with benefit?” bisikku mesra, “mbak yang akan bikin kamu jadi laki-laki yang jantan, Sa…”

Perut kami saling berhimpitan, penisnya yang mulai mengeras menggesek bibir vaginaku. Aku sudah tak bisa berpikir lurus lagi, atau mungkin bisa dibilang aku tak peduli dengan citraku. Semenjak aksi blowjob kemarin sore, aku yakin dia menyadari aku bukanlah perempuan sepolos yang dia kira. Maaf Esa, tapi libidoku ini besar! Dan kamu adalah orang paling tepat untukku melampiaskan semuanya.

“Mbak… Boleh nggak aku… Umm… Dadanya Mbak Laila…”

Aku mengangguk pelan, melihatnya malu-malu dan minta ijin untuk sekedar memegang payudaraku. Tanpa ragu dia meraih dua pepaya kembar itu dan meremasnya. ASI-ku keluar cukup deras dari areola lebar berwarna coklat muda, mengalir di tangan kecilnya. Esa menonton pemandangan itu dengan takjub, tak menyangka seumur hidupnya bisa melihat tubuh wanita dewasa menyemburkan susu dari payudaranya pada jarak dekat.

“Kamu mau coba susuku, Sa?”

“Eh? Bo-boleh, Mbak?”

Dengan ijin yang kuberikan, Esa mengangkat kantung ASI yang sebelah kanan lalu menelan pentil yang setengahnya tenggelam dalam kulit kecoklatan. Lidahnya seperti berusaha mengongkel puting susuku, mulutnya mengenyot kuat, sesekali dia mengigit sekitar kulit areolaku sehingga membuatku meringis.

Ini pengalaman pertamaku menyusui, dan aku bahkan belum pernah melahirkan. Bayi besar yang menetek padaku tampak begitu tenang, begitu nyaman dan membuatku tak ingin mengganggunya. Aku hanya membelainya dengan lembut, mewakili kasih seorang ibu yang secara natural dimiliki tiap wanita.

“Gimana, Sa? Enak?”

Dia tak menjawab, matanya menoleh kepadaku, mengangguk sambil terus mengenyot puting susu milikku. Aku hanya tersenyum kecut melihat tingkahnya. Persis seperti Reillo, yang walau nakal dan berisik, tapi sangat suka bermanja-manja pada kakak-kakaknya.

“Mbak Laila mau ngerasain?” Esa tersenyum padaku, masih ada sisa ASI mengalir di samping bibirnya.

“Ah.. Umm, mu-mungkin…”

Sebenarnya aku juga sedikit penasaran apakah ini ASI sungguhan dan bagaimana rasanya. Dengan canggung kuambil dada satunya yang masih menggantung bebas, mengangkatnya agar putingku bisa kuraih dengan mulut. Sungguh merepotkan lagi rasanya terutama karena lemaknya makin menggunduk sehingga leherku tertahan dan tak bisa menggapai ujung kecoklatan belahan gunungku.

“Mbak, sini…”

Jari Esa menarik pipiku dan dengan cepat dia langsung menyambar bibirku. Kurasakan sesuatu yang hangat, Esa memuntahkan air susu yang ditampungnya ke dalam mulutku layaknya induk burung memberi makan anaknya. Rasanya gurih, sedikit terasa manis di belakang, seperti susu sapi kemasan yang biasa kubeli, bahkan setelah bercampur dengan ludah Esa. Jadi ini rasanya? Tak heran Esa sangat menyukainya, ASI-ku memberi perasaan yang nyaman, membuatku ingat dengan rumah.

Dahi kami saling bertemu, aku hanya menatap matanya dalam-dalam, Esa pun demikian. Jantungku berdegup begitu cepat, rasa gugup, takut, senang, semangat, semuanya jadi satu. Apa-apaan perasaan ini? Bahkan saat aku jadian dengan pacarku, rasanya tidak seperti ini. Inikah yang namanya cinta?

Aku… Jatuh cinta dengan Esa?

“Hiiiy!” jeritku ketika ujung penis Esa tepat berada di hadapan vaginaku. Hanya butuh satu hentakan pelan agar daging itu masuk ke liang peranakanku.

“Kenapa Mbak?!”

“Ah… Ndak… Mbak cuma kaget…”

Ini adalah kali pertama aku dan Esa melakukan hubungan suami istri sungguhan, persenggamaan yang benar-benar melibatkan kemaluan kami. Tapi perasaan yang kurasakan malah membuatku ragu. Aku gemetaran, jari-jariku mencengkeram punggung Esa kuat, tentu saja dia menyadarinya.

Esa tersenyum lalu memejamkan matanya, “Mbak… Kita belum siap untuk ini…”

“Eh?”

“Mbak Laila ragu-ragu, kan? Nggak apa-apa kok, aku juga paham perasaan Mbak.”

Esa menarik badannya menjauh dariku lalu keluar dari kolam dan mengeringkan diri. Aku terus melihatnya dari belakang, walau terkesan plain, Esa memiliki wajah babyface yang imut, posturnya juga mungil, bahkan untuk ukuran anak SMA, mungkin tingginya cuma 160an sentimeter. Tapi bukan itu yang menjadi daya tarik utamanya, apa yang membuatku jatuh hati pada anak ini adalah kebesaran hatinya. Jauh lebih besar dari apa yang bisa ditampung badan kecil itu.

Bahkan pada situasi tanpa aturan dan moral, dia masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianutnya, bahkan saat aku dirasuki birahi yang tak mampu kukontrol lagi, dia menarikku kembali dan mengingatkan siapa aku sebenarnya. Dia menghormatiku dan tak mengambil kesempatan dari situasi ini. Esa adalah laki-laki yang langka, pacarku yang selalu memanfaatkanku tak mungkin memiliki apa yang dimiliki anak ini.

CHIVALRY.

Sebuah kombinasi kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang kesatria yang ideal. Kombinasi antara keberanian, kehormatan, sopan santun, rasa keadilan dan kesiapan untuk berkorban. Sejak stage pertama hingga sekarang dia telah menunjukan semuanya, namun sayangnya dia sendiri tak menyadari itu semua.

Aku dan Esa kini hanya bersantai di bukit kecil sembari menunggu matahari terbit. Kuapit badannya dengan pahaku dan dia menyandarkan punggungnya di perutku, sudah berpakaian rapi dan tinggal menunggu Hendra dan Wulan.

sYVlGAHC_o.jpg

“Reilo sama Tania kira-kira udah makan belum ya…” gumamku lirih.

“Reilo dan Tania itu adiknya Mbak Laila?”

“Iya, Reilo yang paling kecil, masih SMP, kalo yang tengah namanya Tania, udah mau lulus SMA, mbak rasa kamu seumuran sama dia!”

“Mbak, deket banget ya sama mereka?”

Aku hanya tersenyum, “mereka itu ya, Sa… Ndak ada yang bisa masak, pada susah diatur, apalagi yang paling kecil, bandel banget!”

Kami akhirnya saling berbagi kisah tentang kehidupan masing-masing dan tanpa kusadari kami jadi benar-benar dekat. Bias pelangi berbentuk heksagonal tiba-tiba muncul di ujung cakrawala dan menyebar ke langit, membentuk kubah raksasa yang membungkus kota ini, lalu diikuti cahaya terang berbentuk horizontal. Samasekali tak ada yang natural dengan itu semua.

“A-apa ini?” gumam Esa keheranan.

“Itu lampu… Bukan matahari!” timpalku.

“Artinya, kita… Seluruh kota ini masih ada dalam ruangan?”

Gila memang! Orang seperti apa yang bisa membuat kota sebesar ini dalam ruangan? Di mana sebenarnya kami berada? Fasilitas ini tak mungkin dikelola satu orang, setidaknya ada orang dengan kekuasaan dan sokongan dana yang besar di balik ini semua!

Sepintas kulihat ada sesuatu yang bergerak dari balik hutan di samping kami. Dari bayang-bayang sinar kecil berwarna pink dan biru muda berkedip pelan.

Itu… Kristal sensor! Celaka, jika pemburu Hendra dan Wulan adalah Markus yang sudah mati, itu artinya sensor tersebut ditujukan untuk kami! Mereka adalah orang yang memburu Buah Terlarang nomor 13!

“MBAK LAILA, AWAS!!!

Belum sempat aku bereaksi, sebuah benda keras menghantam kepalaku. Aku langsung jatuh dengan posisi menyamping. Pandanganku buram, kepalaku pening, bahkan untuk bersuara saja aku tak sanggup. Samar-samar bisa kudengar Esa memanggil namaku, berusaha menggendongku dengan susah payah, hingga akhirnya gelap menyelimuti.

*****​

“Fuwah!!!”

Kesadaranku kembali sepenuhnya ketika wajahku diguyur air. Aku terbatuk-batuk dan berusaha menangkap kepingan-kepingan ingatan sebelum pingsan. Di hadapanku ada seorang wanita dengan rambut pirang dikuncir dua, bentuk wajahnya memancarkan aura bule yang cukup kuat. Blasteran? Jika tak salah ingat, dia adalah gadis yang kainnya terlepas ketika kami dikumpulkan, Namanya? Otakku terus memproses informasi yang kacau karena benturan tadi.

Mataku masih terus bergerak menyisir objek-objek di sekitar kami dan akhirnya berhenti ketika melihat tubuh yang meringkuk, penuh memar dan darah.

“ESA!!”

Aku merangkak ke arah Esa yang sudah babak belur, namun wanita tadi menjambak rambutku lalu menendang perutku. Sakitnya tak seberapa, namun rasa mual karena masih pusing dari cedera kepala semakin berlipat-lipat jadinya.

Bitch! Dimana lo simpen Buah Terlarang yang nomor 13?!”

Dia melempar bola kristal merah ke samping wajahku, benda itu menggelinding hingga memperlihatkan ukiran nomor empat di sisinya. Benar juga! Yang kami bawa adalah milik Hendra dan Wulan! Berarti yang nomor tujuh dan tiga belas milik kami masih ada di mereka berdua! Dan sepertinya wanita ini tak menyadari ada goa di balik air terjun. Saat ini kami berada di semacam tempat pembuangan barang rongsokan. Aneka benda elektronik yang sudah menyatu dengan tanah bertebaran di sekitar area.

Aku merayap ke arah Esa yang dijaga oleh laki-laki kurus dengan potongan rambut emo, namun wanita tadi menginjak punggungku lalu menjambak rambutku sambil berteriak marah. Melempar semua umpatan dan nama-nama penghuni kebun binatang ke arahku.

“Udah, Melisa! Dia ga bawa apa-apa lagi!” seru pria kurus di samping Esa.

“Eh, lo di pihak siapa sih? Jelas-jelas sensornya nyala! Dia ini target kita, morron!”

Kini aku ingat, wanita ini bernama Melisa, cewek blastera Indonesia-Amerika yang punya tendensi sadistik dan dominasi. Sementara ADAM-nya bernama Arjuna, programmer yang sering melakukan aksi voyeur dan merekam wanita-wanita di toilet. Mereka adalam ADAM dan EVE nomor tiga.

“Cuma ini yang kami punya...” erangku.

“Lo pikir gue percaya, heh?! Gue tau lo itu yang bikin heboh di tepat kita kumpul, kan? Lo si nomor 13, kan? Serahin Buah Terlarang lo kalo gak mau mati!”

Melisa menarik kain yang menutupi payudaraku hingga dadaku menyembul keluar, tanpa sengaja air susuku muncrat dan jatuh di pipi perempuan bule itu karena tertekan.

FUCK! DISGUSTING!!!”

Wanita itu melemparku ke tanah lalu menginjak perutku keras.

“Oghhh!! Aghh!”

Fucking die! Die! Die!!”

Dengan membabi buta Melisa menumbuk perut berlemakku berkali-kali. Rasanya mengerikan, organ dalamku seperti digiling, air mata dan liurku mengalir karena menahan sakitnya. Aku bahkan tak bisa mengontrol gas yang keluar dari duburku karena usus yang tertekan, hanya masalah waktu sampai sesuatu yang lain keluar dari sana. Aku sungguh tak ingin membayangkannya.

“Menjauh… Dari Mbak Laila!”

Esa terhuyung, berusaha menjaga keseimbangannya dengan bertopang pada mesin cuci tua. Tubuhnya mungkin terlihat lemah, walau anak itu menangis, tapi aku bisa merasakan tatapan tak gentar darinya.

“Ini si cengeng masih hidup aja!” gerutu Melisa, “Juna!”

Arjuna mengambil pipa besi dan mengayunkannya ke arah Esa hingga ambruk. Jadi selama ini, ketika aku tak sadarkan diri, Esa mati-matian melindungiku? Jika dibandingkan luka-lukanya, apa yang kualami tidaklah parah. Esa sudah menjadi tamengku hingga babak belur!

“Buah Terlarangnya… Ndak ada di tangan kami!”

You think I’m stupid, bitch? Even kalau harus bedah perut gembrot lo ini, gue bakal lakuin!” bentak Melisa sambil menjambak bagian belakang rambutku, “Juna! Give me that!”

Seperti sapi yang dicucuk hidungnya, Arjuna menurut saja pada cewek berengsek ini. Melisa merampas pipa besi berdiameter sepuluh sentimeter itu.

“Pegangin, you perv!”

“Eh? A-apa yang kamu lakukan?! Lepasin!”

Aku meronta-ronta saat Arjuna menarik pahaku, membuat pantatku menghadap langit dan mengekspos lubang-lubang vital di sekitar sana. Aku yang kini dalam posisi terbalik menghadap ke arah selangkangan Arjuna yang berjongkok, penisnya mengeras ketika melihat kemaluanku. Kami sempat bertatap muka, dia tersenyum mengerikan, seperti pria mesum yang sedang mengintip wanita pipis di toilet.

“Hiiy!!”

Sesuatu yang dingin terasa di mulut anusku, perlahan menusuk saluran berakku makin dalam. Sesekali dia menghentak-hentakan pipa tersebut, mendorong limbah makanan yang tak sempat kubuang kembali ke usus besarku.

“Jangan-jangan… Auhh!! Ndak ada di sana! Hey! Mana mungkin aku simpan itu di sana!” jeritku ketika menyadari intensi Melisa.

Gadis kuncir dua itu sedang menggeledah anusku, seolah aku kurir narkoba yang menyimpan sabu-sabu di dalam sana. Desisan tertiup dari celah-celah liang tinjaku, aku tak bisa menahan kentut lagi.

Fuck! It smell awful bitch!!”

Dengan sekuat tenaga Melisa menusukan pipa yang tersisa ke dalam duburku, aku menjerit dan mengejan hingga kencingku keluar dan menyemprot wajah Arjuna. Tak sampai situ saja, laki-laki itu membuka mulutnya, wajahnya mendekat ke arah vaginaku dan melahapnya. Kulihat tenggorokan Arjuna berkedut dari bawah sini. Astaga! Dia menegak air seniku!

Aku menoleh ke arah Esa yang masih berusaha merangkak meraihku. Jarak kami sekitar tiga meter, tapi rasanya begitu jauh.

“Ck! Kosong!”

“Tu-tunggu! Kalau dicabut sekarang-“

Melisa tak mengindahkan kata-kataku dan langsung menarik pipa yang tertancap dengan kecepatan tinggi. Dinding dalam duburku yang panas mulai perih saat udara masuk menyentuhnya. Kurasakan sesuatu berusaha menyeruak keluar. Aku tak bisa mengontrolnya, otot-ototku tak mau menutup, tak merespon perintah otakku!

“Jangan lihat!! Esa… Jangan lihat!!!” jeritku panik karena tak tahu harus bagaimana lagi.

Gelondongan lembek kekuningan terdorong kuat, melompat dari anusku ke udara diiringi suara decak cepat yang menjijikan. Melisa langsung menghindar sambil mengumpat.

PK7hchcr_o.jpg

Tak perlu menunggu lama sampai kami bisa mencium aroma busuknya. Kotoranku itu terus keluar dan sebagian jatuh ke perutku karena saat ini aku berak dalam posisi terbalik. Kulihat Esa yang melongo, dia pasti kecewa, dia pasti jijik melihat sosok yang dianggapnya kakak menunjukan hal sekotor ini. Aku ingin menangis rasanya.

Arjuna akhirnya melepas pegangannya, membuat pantatku berayun jatuh dan menindih tahiku sendiri. Kentut-kentut kecil disertai kotoran mencret masih mengalir di sela isakan tangisku.

“Esa… Jangan… Lihat…”

Kututup wajahku, ini adalah aib. Kubiarkan orang yang kucintai melihat hal paling memalukan, paling menjijikan dariku. Aku ingin mati saja!

Sesuatu meraba perutku, kuintip apa itu, ternyata Arjuna yang kini telah melepas kain di pinggangnya. Membiarkan penisnya yang kurus namun panjang menggantung tegang.

“Oh… Aphrodite sang dewi kesuburan...!”

“Eh?”

Lelaki itu mengambil kotoran yang jatuh di perutku lalu mengoleskannya di penisnya sendiri, menggunakannya sebagai lubricant untuk onani. Arjuna lalu mincium bibirku, aku masih syok dan tak tahu apa yang terjadi.

“Terimakasih telah membawa dewi kesuburan padaku,” bisiknya.

Apa ini? Apa yang terjadi? Laki-laki ini pengidap delusi akut? Seorang dengan gangguan jiwa? Apa maksudnya dewi Aphrodite?? Terlebih lagi Arjuna samasekali tak merasa jijik!

Sick! You’re all sick!” hujat Melisa.

“Persetan denganmu, aku udah muak!”

Arjuna berjongkok dan mengambil gelondongan kotoranku yang paling besar, lalu berjalan ke Arah Melisa yang ketakutan. Perempuan itu terjungkal sehingga pipa besi yang dipegangnya terlepas.

“Kamu juga akan membawakan dewi kesuburan buatku kan, Melisa?” racau Arjuna sambil menyodorkan tinja di tangannya.

Don’t get close to me you sick fuck!!! Pergi, Juna!!!”

Melisa akhirnya muntah saat melihat ADAM-nya meremas kotoranku di hadapannya. Laki-laki itu langsung berdiri dan tanpa aba-aba menendang perut Melisa sebagaimana dia memperlakukanku sebelumnya.

“Ahg…. Ahg…”

“Berani sekali kamu lancang pada Aphrodite…”

What… Do you want..?” erang Melisa.

Lelaki bermata sayu itu tersenyum lalu membelai bahu gadis itu dengan tangan yang belepotan tinja.

“Oh Melisa, aku mau kamu memberi persembahan untuk Aphrodite…”

What do you mean?”

Pelan-pelan Arjuna menyingkap rok dari kain kafan yang dikenakan Melisa, tangannya yang sudah licin dan berbau busuk melewati vagina plontos bule itu lalu salah satu jarinya menusuk ke dubur Melisa.

“Juna, please… Don’t… Uhggg!”

Satu persatu jarinya diselipkan pada anus Melisa hingga semuanya berada di dalam. Pelan-pelan, didorongnya lengan kurus itu.

“Auhhhhh!!!”

Melisa melenguh kencang saat dianal fisting oleh ADAM-nya. Gundukan kecil terlihat di permukaan perut perempuan itu, sepertinya Arjuna mengaduk apa yang ada di dalamnya. Bibir kemaluan Melisa kembang kempis, membuka dan menutup mengekspos daging pink di dalamnya.

Juna… Take it ouuuut!!”

Arjuna lalu menarik tangannya yang disambut semburan mencret berwarna coklat, beberapa detik tangan lelaki itu tersangkut akhirnya lepas juga, kotoran setengah encer yang begitu banyak menyembur seperti limbah pabrik, baunya bahkan jauh lebih busuk dariku. Arjuna berdiri dan tersenyum pada apa yang diambilnya dari Melisa. Sebuah kotoran padat dan keras berwarna coklat gelap yang tampaknya menyumbat segala limbah mencret bule berengsek itu.

Melisa hanya kejang-kejang sambil menyelesaikan bisnisnya, menangis terisak, menyedihkan. Sementara Arjuna kini berjalan mendekati Esa yang masih tak berdaya.

Arjuna Mahatmajaya, 24 tahun, seorang programmer yang pernah dipergok melakukan aksi voyeur di toilet wanita. Fetishnya adalah urophagia dan coprophagia.

Aku tak tahu apa artinya, tapi kini aku tahu. Orang itu bukan melihat wanita sebagai objek seksual. Apa yang dikeluarkan dari tubuh wanita itulah yang dianggapnya sebagai pelampiasan seksual. Kupikir yang berbahaya di sini adalah Melisa, tapi tampaknya aku salah…

Arjuna mungkin tak kalah berbahayanya dengan Markus!

iY3XjbI5_o.png
What the fuck story penyakit jiwa macam apalagi ini...
 
Mantul huuu.. lanjutkann
Ditunggu updateny.. seru banget..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd