Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Awal mula Istriku

Chapter 9 : The Aftermath

Setelah event itu kehidupan sex kami berjalan normal. Masalah disfungsi ereksiku pun sudah menghilang. Sebelum bercinta kami hanya perlu mengobrol, bercerita dan sedikit foreplay. Menonton film panas sudah hilang dari rutinitas sex kami. Kenangan event malam itu sudah cukup menjadi bahan bakar percintaan kami. Istriku juga tidak sesering sebelumnya memintaku untuk berhubungan sex. Saat ini istriku juga memiliki tambahan kesibukan baru.

Baru-baru ini, Nia mendaftar langganan bulanan di fitness center di dekat rumah, bukan berlatih gym tapi mengikuti latihan workout seperti poundfit, zumba, yoga atau cardio. Katanya biar ada kesibukan dan juga sekaligus menjaga kesehatan. Di awal-awal mendaftar, Nia berangkat hampir setiap hari. Jika berlangganan bulanan, memang kita bisa mengikuti semua latihan berapapun jumlahnya. Namun bukannya sehat, Nia malah mengeluh cedera di punggung dan lututnya.

Aku sudah mengingatkannya untuk tidak berangkat setiap hari, badan juga perlu diistirahatkan untuk pemulihan apalagi badan Nia juga belum terbiasa berolahraga. ‘Sayang kalau tidak dimanfaatkan, sudah bayar’ kilahnya. Nia orangnya memang sederhana, bagi dia mengeluarkan uang ratusan ribu untuk berolahraga termasuk mahal. Di awal dia ragu untuk ikut, aku mendorongnya “Gapapa cuma ratusan ribu nanti papa tambahin uang belanjanya.” ujarku.

Istriku memang berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani sedangkan Ibunya dosen di sebuah universitas swasta. Nia mewarisi kecerdasan dari ibunya, sedangkan pengaruh Ayahnya lebih banyak ke karakternya yang sederhana, sabar dan menerima keadaan. Meskipun hanya seorang petani aku sangat menghormati ayah mertuaku. Orangnya bijak dan penyabar. Aku tidak pernah melihatnya marah dalam situasi apapun. Ibu mertuaku juga sangat menghormati dan patuh pada suaminya. Saat menikah ibu Nia masih menjadi guru honorer di sekolah menengah atas. Ayah mertuaku lah yang mendukung dan membiayai sekolah ibu mertuaku hingga bisa menjadi dosen. Mereka menikah di usia cukup muda umur 20an. Mereka cukup lama mendapatkan momongan. Nia yang merupakan anak tunggal jelas menjadi anak kesayangan.

Aku sendiri anak bungsu dari 3 bersaudara. Saat menikah ayahku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit diabetes. Karena itu aku sejak beberapa tahun lalu sudah menjaga pola makanku, apalagi umurku sudah mendekati kepala empat. Aku hanya makan 2 kali dengan porsi nasi juga hanya sedikit. Keyakinan orang dulu banyak makan makin sehat tidaklah relevan. Pola makan 3 kali sehari pun sebenarnya baru terbentuk di abad 17. Orang-orang sekarang sebenarnya mengalami overnutrisi. Lebih banyak nutrisi yang masuk dan tidak diimbangi dengan energi yang dikeluarkan. Jaman dahulu orang makan dengan berburu, mereka makan beberapa hari sekali saat mendapatkan hewan buruan. Tidak seperti orang jaman sekarang, makan bisa lebih dari 3 kali sehari, aktivitaspun kebanyakan di kantor. Berdasarkan penelitian, pola hidup orang jaman dahulu justru lebih sehat untuk kita bisa memiliki umur yang lebih panjang (coba tonton Limitless Chris Hemsworth yang jadi Thor di Avenger).

Saat ini ibuku tinggal sendiri di sebuah kota kecil di Jawa Timur, Madiun. Keluarga besarku ada disana. Usia ibuku jauh lebih tua dari orang tua Nia, hampir memasuki umur 70. Cucunya sudah berjumlah 5 dari kedua kakakku. Namun begitu, aku ingin sekali ibuku bisa menggendong cucu dari aku dan Nia. Sebenarnya yang sangat ingin segera merasakan menggendong cucu justru orang tua Nia.

Impian kami saat nanti aku sudah pensiun adalah tinggal di desa tempat Nia berasal. Aku pun sejak dulu bermimpi menghabiskan masa tua di kehidupan pedesaan. Aku berencana pensiun lebih awal di bawah umur 50. Kami membayangkan kehidupan desa yang damai bersama dengan kakek nenek dari anak-anak kami.

Orang tua Nia tinggal di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah. Mertuaku sudah menyiapkan sebidang tanah di dekat rumah mereka untuk tempat tinggal kami nanti. Kami sudah mencicil membangun rumah tersebut secara bertahap. Selain bersama dengan orang tua Nia, aku juga mempertimbangkan lokasinya yang relatif dengan kota tempat keluarga besarku, hanya sekitar 3 jam perjalanan.

Kembali ke keseharian Nia. Setelah kejadian cedera itu, saat ini Nia hanya latihan seminggu 2 kali. Jadwalnya berbeda-beda kadang pagi, sore atau malam tergantung jenis latihan apa yang ingin diikuti.

Aku yang makin sering keluar kota tidak memiliki banyak waktu untuk memuaskan Nia. Latihan olahraga jelas membantu untuk mengalihkan libido Nia. Aku menyadari Nia juga melakukan ‘workout’ di rumah. Terkadang saat membuka lemari aku melihat letak kotak tempatku menyimpan dildo sedikit berubah. Ketika kubuka ada tanda-tanda bekas digunakan.

Sudah 3 bulan istriku berlangganan di fitness center. Selain menambah kesibukan hal positif lainnya ialah tubuh istriku menjadi semakin seksi. Perutnya sudah mulai rata, lekuk tubuhnya makin terlihat proporsional. Aku selalu membayangkan tubuh istriku dilirik laki-laki di tempat gym, apalagi ketika mengenakan pakaian olahraga ketatnya.

Pernah suatu ketika aku meminta istriku untuk mengenakan pakaian olahraganya saat kami bercinta, istriku menurutinya. Di bagian atas ia mengenakan manset base layer. Payudara bulatnya tercetak dengan sempurna, putingnya terlihat menonjol. Tentu saja ketika berangkat ke fitness center tidak terlihat, khusus untukku saja Nia tidak mengenakan bra. Di bagian bawah celana legging dengan rok pendek menutupi bokongnya.

“Di tempat latihan ada member cowok juga ma?”

“Jarang sih pa yang kalau yang work out, paling satu dua, itupun agak melambai”

“Yang banyak di tempat nge-gym" tambah istriku

“Mama g mau nyoba ngegym?” aku mulai berfantasi

“Pernah nyoba sekali sih pa, lebih seru workout senam. Lagian bayar personal trainernya mahal”

Untuk membayar biaya langganan ratusan ribu saja Nia masih berpikir dua kali, apalagi bayar trainer yang harganya jutaan.

Sambil mengobrol aku mulai mencumbuinya, tidak tahan melihat payudaranya yang seksi. Meremas-remasnya sambil menciumi lehernya.

“Ada yang ganteng trainernya ma?” bisikku sambil mencumi bagian belakang telinga Nia.

“Hmm, g ada. Biasa aja sih pa. Tapi badannya bagus-bagus"

“Kekar-kekar ya? Pasti menarik ngeliat badannya ya ma” aku mulai memancing istriku ke dalam fantasiku.

“Iya pa, badannya berotot. Kontolnya juga kekar kali ya pa?” istriku mengikuti permainanku. Tangannya mengenggam penisku.

“Mau nyoba ma?“

Istriku mengangguk. Aku membuka celanaku dan menarik legging istriku.

“Masukin pa” pintanya

Tanpa ba-bi-bu penisku menyodok masuk vagina Nia.

“Kalau bayar trainernya mahal, dibayar pakai ini (sex) pasti mau deh ma.”

Kami bersetubuh sambil membayangkan Nia sedang melayani trainer di tempat gym.

“Ah.. Ah...” istriku menikmati sodokanku.

“Nia bayarnya pakai ini ya mas Rio (salah satu nama trainer)” ucap istriku sambil berkonstrasi menggerak-gerakkan dinding vaginanya. Penisku terasa dipijat-pijat oleh dinding vaginanya.

"Enak banget mbak” aku melanjutkan fantasi kami.

Pijatan-pijatan di penisku membuatku tidak bisa menahannya lagi.

“Ahhh, mbak aku keluaar...”

Nia menggerak-gerakkan pinggulnya, kita sama-sama mengejar orgasme.

Kedutan penisku diiringi dengan semprotan sperma ke dalam rahim Nia. Bersamaan dengan itu Nia juga mengalami orgasme.

“ahh, iya mas.. siram Niaa...”

Setelah sama-sama orgasme kami berbaring berpelukan bersiap untuk tidur.

“Makasih ma, mama makin jago deh melayani papa” pujiku

“Misal kejadian tadi beneran mama mau?”

“Ah, enggak mau pa. Lagian g mungkin juga terjadi” jawabnya

“Eh kok g mungkin. Kan mungkin aja, cowok mana yang g mau kalau ngeliat mama”

“Gini pa. Trainernya memang ada yang ganteng sih pa, badannya juga gagah. Tapi mama liat waktu pulang gym, mereka naik motor gede boncengan yang belakang duduknya sambil meluk yang depan. Hihi..”

“Ealah, h*m* ternyata. Haha” ucapku sambil tertawa.

Sudah beberapa kali sebenarnya aku memancing istriku untuk mengadakan event lagi seperti waktu itu. Istriku selalu menolak. Katanya “Mama sudah merasa cukup dengan papa. Papa juga sudah g ada masalah lagi sekarang.” Alasan utama kita melakukan event itu juga sebenarnya soal kesulitanku ereksi. Memang sekarang masalah kesulitan ereksi sudah tidak pernah terjadi lagi.

=========================================================

Semakin lama Nia semakin pandai bermain peran dalam fantasiku.

“Pa, mama mau cerita tapi jangan papa marah” kata-kata ini biasanya menjadi awal cerita fantasi kami.

“Iya ma, enggak akan marah, tapi tegang boleh ya”

Istriku tersenyum mendengarnya.

“Papa inget minggu lalu waktu papa ikut pertemuan warga di balai RW?” istriku memulai ceritanya.

Menuju ke kejadian seminggu lalu.....

Chapter 10: Fiksi Fantasi

Malam itu ada pertemuan rutin pengurus warga di balai RW perumahan. Aku sebagai bendahara RT juga wajib hadir di pertemuan itu. Untuk konsumsi pertemuan, biasanya dari kami secara sukarela menyumbang berupa makanan dan minuman ringan.

Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 20.05

“Ma, papa berangkat ke balai ya, sudah mulai katanya. Nanti untuk snacknya papa minta pak satpam aja ngambil”

Istriku masih belum selesai menggoreng pisang dan mempersiapkan kopi.

“Iya pa. Bentar lagi selesai”

Lokasi balai RW kami ada di depan perumahan di dekat pos satpam. Yang berjaga shift malam ini adalah mang Asep, satpam paling senior di kompleks kami. Terlihat mang Asep sedang duduk di kursi plastik sambil bermain game domino di hp.

“Pak Asep, nanti nitip ambilin pisang goreng sama kopi ya di rumah. Masih digoreng, paling 5 menit lagi siap”

“Siap pak” jawab mang asep sambil memberi gesture memberi hormat.

Mang Asep merupakan satpam pertama di kompleks kami. Ia penduduk asli di sekitar perumahan kami. Usianya sudah 50-an, rambutnya cepak tipis berwarna putih uban, giginya beberapa sudah tanggal. Ketika tersenyum akan terlihat giginya yang bogang, 2 gigi depannya sudah hilang. Badan mang Asep tergolong kecil, bahkan tingginya lebih pendek dari istriku. Namun tidak ada yang berani dengan dia. Konon kabarnya dulunya adalah jawara di kampung sebelah. Ia menjadi preman di masa mudanya. Di masa itu kompleks perumahan kami masih berupa rawa, belum ada bangunan sama sekali. Ia berhenti menjadi preman ketika sudah berkeluarga. Kebetulan kompleks perumahan kami baru selesai dibangun, ia mendaftar menjadi satpam disini. Meskipun mantan preman, mang asep orangnya baik walau kadang sedikit usil. Justru mang asep satpam yang paling sigap membantu jika ada warga yang membutuhkan bantuan.

“Permisi...” mang Asep mengucap salam, tangannya hendak mengetuk pintu rumahku.

Belum terketuk, pintu sudah terbuka. Mang asep sedikit berjinjit, kaget pintu tiba-tiba terbuka.

“Kenapa mang?” istriku tersenyum melihat reaksi mang asep.

“Kaget non, tiba-tiba pintu terbuka muncul perempuan cantik“ mang asep menjawab dengan keusilannya. Istriku saat itu mengenakan kemeja berbahan kaos seperti piyama, seragam dengan celana pendeknya yang hanya sepaha.

“ah, ibu-ibu sekompleks juga mamang bilang cantik”

“hehe” mang asep terkekeh. Memang mang Asep kadang iseng menggoda ibu-ibu kompleks. Ibu-ibu juga sudah terbiasa dengan gombalannya. Semuanya sudah pernah dibilang cantik oleh mang Asep.

“Mau ngambil snack ya. bentar mang duduk dulu“ istriku mempersilahkan mang asep duduk di kursi di depan rumah kami.

“Cicip dulu kopinya mang” di meja sudah siap satu piring pisang goreng yang ditutupi beberapa lembar tissue dan satu teko kopi.

“Bentar saya ambilin gelas dulu” istriku masuk ke dalam rumah.

Istriku keluar membawa gelas, menuangkan sedikit kopi ke dalamnya.

“Coba dulu mang, barangkali kurang manis”

Mang Asep meneguk kopi yang disuguhkan istriku.

“Mantap non, kopi susu buatan non memang enak”

Istriku selalu menambahkan susu kental manis ketika membuat kopi, karena aku menyukainya.

“Kopinya apa susunya yang enak mang?” tanya istriku dengan nada menggoda.

Mang Asep yang sedang meneguk kopi tersedak mendengar pertanyaan istriku.

“Susunya non, eh, kopi susunya yang enak” jawab mang Asep agak salah tingkah.

Istriku tersenyum melihatnya salah tingkah.

“Kalau kurang manis saya tambahin susunya mang” ucap istriku sambil menunjuk kaleng susu kental manis merk cap nona di atas meja.

“oh, resepnya pakai susu kental manis ya non”

“iya mang, kesukaannya mas Andre. Kalau dibuatin kopi harus kasih susu”

“Pantesan enak, susunya cap nonia (Non Nia).” mang Asep sedikit mengubah pelafalan merknya. Istriku malu, mang Asep membalas godaannya tadi dengan telak.

“Cap Nona mang, bukan non nia. Kalau yang non nia rasanya sepet, g manis” sungut istriku.

“Manis ada sepet-sepetnya malah enak non. Hehe”

Candaan dewasa ini makin berlanjut. Istriku mulai membayangkan fantasi-fantasi yang selama ini kutanamkan. Istriku mengingat aku pernah memintanya untuk membuka beberapa kancing bajunya saat lewat depan pos satpam. Ketika membuka kaca mobil untuk menyapa, satpam bisa melihat sebagian dadanya yang putih mulus. Mungkin ini kesempatan melanjutkan fantasi mas Andre, pikir Nia.

“Mang Asep mau nyoba?”

“Eh, nyoba apa non?” kaget dengan tawaran istriku.

“Nyoba yang manis-manis sepet. Kalau mau di dalam” Nia melangkah masuk ke dalam rumah.

Mang Asep menelan ludah membayangkan maksud perkataan istriku. Ia pun mengikuti masuk ke dalam rumah.

“Duduk dulu mang” istriku mempersilahkan mang Asep duduk di sofa ruang tamu kami.

Istriku menuju ke kamar mandi. Ia melepas branya, membasuh lalu menyeka payudaranya dengan handuk. Ia malu dadanya penuh keringat selepas menggoreng pisang tadi.

Kembali ke ruang tamu Nia kembali bertanya.

“Beneran mau mang?” tanyanya sambil memegang kancing bajunya.

“Mau non” mang Asep asal menjawab. Sebenarnya ia masih tidak percaya dengan tawaran dari istriku. Mungkin maksudnya yang lain, bukan ditawari susu asli, pikirnya.

Istriku mendekati mang Asep, membuka kancing kemejanya satu per satu. Menyodorkan susunya di depan wajah mang Asep.

Mang Asep yang sebelumnya hanya terduduk kaku tiba-tiba bersemangat. Ia langsung melahap susu yang ditawarkan istriku. Mimpi apa aku semalam pikirnya.

Puting Nia dikenyot-kenyot di antara giginya yang sudah hilang.

“Gimana mang rasanya?”

“Enak non, manis..” sambil menghisap puting Nia, tangannya sibuk meremas-remas payudara Nia seolah sedang memerah susunya agar keluar.

“Jangan dihabisin mimiknya ya mang, nanti mas andre g kebagian” tangan Nia meremas rambut mang Asep.

“Mimiknya enak non. Habis mimik jadi kepengen memek” tangannya mulai menuju kemaluan istriku.

“Jangan mang. Mamang sudah ditunggu loh di balai.” Nia memegang tangan Mas Asep, menahannya.

“Bentar aja non” meskipun lebih kecil dari istriku, dengan mudah ia membalik istriku. Ia membuat Nia menungging berpegangan di sofa. Mang Asep menarik turun celana istriku. Istriku hanya bisa diam pasrah, ia tahu tidak bisa melawan kekuatan Mang Asep. Meskipun lebih pendek dari istriku, mang Asep dikenal kuat. Tato bergambar mawar di lengannya membuktikan titelnya sebagai mantan preman. Tato yang seharusnya sangar, tapi sering menjadi candaan bapak-bapak warga perumahan. “Pantesan mawarnya subur, akarnya lebat” menyindir bulu ketiak mang Asep yang kelewat lebat. Saat membicarakan mang Asep, istriku juga pernah kuceritakan soal lebatnya bulu mang Asep. Istriku memiliki perspektif yang berbeda, “Hmm, kalau akarnya lebat berarti batangnya kuat. hihi” komentar istriku.

Kali ini istriku akan membuktikan sendiri kebenarannya. Mas Asep melepas sabuknya, menjatuhkan celana panjang, dan menarik celana dalamnya sebatas lutut. Tangan kirinya memegang pinggang istriku, sementara tangan kanannya mengarahkan batangnya ke kemaluan istriku. Bless..., penis kecil mang Asep masuk dengan mudah ke dalam vagina istriku. Nia hanya memejamkan mata, tangan dan kepalanya bersandar di sofa.

Mang Asep menggenjot istriku dengan tempo cepat. Sesuai janjinya akan berlangsung sebentar. Tidak sampai lima menit ia mengerang.

“Enak banget non memeknyaa..”

Ia memegang kontolnya, melepasnya dari kemaluan Nia. Crot...croot... cairan putih tersembur beberapa kali mengenai paha istriku, sofa dan sebagian tercecer di lantai.

Begitu selesai ejakulai mang Asep segera mengenakan kembali celananya.

“Makasih ya non. Mamang pergi dulu, sudah ditunggu“ ujarnya sambil nyelonong keluar lalu mengambil nampan berisi gorengan dan kopi.

Bersamaan dengan itu aku mengeluarkan spermaku di dalam vagina istriku. Istriku mengakhiri cerita soal kejadian minggu lalu.

“Minggu lalu beneran sama mang Asep?”

Istriku hanya menjawab dengan senyuman sambil menatapku. Tak perlu bertanya pun sebenarnya aku bisa mengecek kejadian itu di CCTV. Aku menikmati bagaimana istriku memainkan perannya di fantasiku.

Belakangan aku bisa membedakan cerita istriku benar terjadi atau hanya karangan fantasi saja. Setiap kutanya istriku akan menjawab dengan tersenyum. Perbedaannya jika kejadiannya benar terjadi, ia tersenyum namun matanya akan menunduk, tidak berani menatapku.
 
Chapter 10: Roleplay Realplay

Malam itu malam sabtu, aku baru sampai di rumah sekitar pukul 20.00. Pekerjaan di kantor membuatku pulang lebih larut. Jumat malam menjadi salah satu waktu paling sering kami berhubungan, karena esok harinya aku libur. Sejak siang Nia sudah memberi kode melalui pesan WA, meminta nafkah batinnya malam ini.

Sesampai di rumah, Istriku menyambutku dengan membukakanku pintu rumah.

“Maaf kemaleman ma, tadi ada pekerjaan kantor mendadak yang harus diselesaikan hari ini” ucapku sambil melepas sepatuku.

“Sudah makan malam?” tanya istriku

“Sudah tadi di kantor” aku tadi sudah makan malam bersama anak buahku di kantor, memesan melalui aplikasi.

“Eh, lampu depan sudah diganti ma?” aku melihat lampu teras rumahku sudah menyala dengan normal. Kemarin malam aku menjanjikan untuk menggantinya sore ini. Aku sudah membeli lampu pengganti semalam namun urung kupasang karena kemarin sudah terlalu larut.

“Iya tadi sore dibantu mas Doni” jawab istriku sambil tersenyum

Aku menatapnya mencoba membaca raut muka Nia.

“Sudah-sudah, papa mandi dulu gih” ucap Nia sambil mendorongku ke dalam rumah.

Aku bersih-bersih dulu bersiap untuk pertempuran malam ini.

Selesai mandi kulihat Nia di atas kasur sambil menonton TV. Ia mengenakan daster pendek dengan kancing di bagian dada. Daster itu berwarna putih dengan motif kartun snoopy.Istriku memang menyukai pakaian yang lucu-lucu. Memang Nia masih tergolong muda dibanding aku. Ditambah cara ia berpakaiannya, membuat Nia terlihat lebih muda lagi. Terkadang jika bertemu orang asing disangka istriku masih anak kuliahan.

Aku naik ke atas kasur duduk di samping istriku.

“Gimana tadi lampu teras kok bisa diganti mas Doni?” tanyaku sambil senyum-senyum. Nia tau, aku ingin dia menceritakan soal lampu teras tadi sebagai awalan malam ini.

Nia mematikan TV sebelum menjawab pertanyaanku.

“Oh, jadi gini...” Nia memulai ceritanya.

“Sore tadi mama mau coba ganti lampu teras sendiri” Nia memang wanita yang mandiri dan suka mencoba sesuatu yang baru, termasuk kali ini. Sore tadi aku sudah memberi tahu istriku kalau akan pulang terlambat. Istriku akhirnya berinisiatif untuk mencoba mengganti lampu teras sendiri.

“Mama sudah ambil tangga, tapi tetap tidak sampai ternyata”

“Nah, waktu mama masih di atas tangga mas Doni kebetulan lewat, dia menawarkan diri untuk membantu”

“Terus gimana ma?”

“Ya akhirnya mas Doni yang ganti lampunya. Agak lama gantinya, soalnya dudukan lampunya juga rusak.”

Memang dudukan lampu teras kami posisinya sudah miring hampir jatuh, sekrupnya ada yang terlepas.

“Waktu benerin lampu mas Doni sering melirik-melirik mama. Jadi makin lama ngerjainnya”

“Beneran ma?” istriku mengangguk sambil tersenyum, matanya menunduk.

Aku mengambil hpku, membuka aplikasi CCTV yang posisinya persis menyorot garasi rumahku. Aku playback ke ke waktu jam 5 sore tadi. Kami menonton kejadian tadi sore bersama. Sewaktu mas Doni berada di atas tangga istriku berada di bawahnya membantu memegang tangga agar tidak goyah. Beberapa kali terlihat mas Doni menoleh ke arah Nia, apalagi setelah Nia beberapa kali membungkuk mengambil obeng dan sekrup yang tidak sengaja dijatuhkan mas Doni.

Istriku mengenakan daster yang sama ia kenakan sekarang. Jika kuperhatikan di rekaman CCTV, 2 buah biji kancing daster Nia terbuka memperlihatkan sebagian dadanya yang putih. Ketika Nia memperhatikan mas Doni yang sedang bekerja, mas Doni tidak lagi menoleh namun terlihat mencuri-curi pandang ke dada Nia.

“Mama baru sadar setelah mas Doni pergi. Kalau kancing daster mama terbuka dan hmmm.... mama juga lupa kalau belum pakai BH” ucap istriku malu-malu.

“Kira-kira kelihatan enggak ya pa?”

Aku lalu mengusulkan untuk mempraktekkan kejadian tadi sore. Aku berdiri di atas kasur, sedangkan istriku berdiri di lantai. Istriku melepaskan BH-nya agar sama seperti kejadian tadi sore.

Pemandangan dari atas sungguh mencengangkan. Dada putih Nia telihat jelas, aku bisa melihat belahan payudaranya di antara kancing yang terbuka. Istriku lalu memperagakan beberapa kali saat ia membungkuk mengambil barang di bawah.

Woow, sekilas puting coklatnya terlihat ketika Nia membungkuk lalu berdiri. Selesai mereka ulang TKP Nia bertanya.

“Dadanya duma kelihatan sedikit kan ya pa? Mama kan maluu..”

“eh iya ma, cuma dikit kok”

“Eh, iya kan bener” ucapnya sedikit lega

“Iya ma, keliatan dikit” aku memberi jeda perkataanku . “Putingnya..” tambahku

“Hah? Beneran pa?” terlihat wajah istriku panik bercampur malu

“Gpp ma, anggap aja rejeki buat mas Doni karena sudah membantu tadi” ucapku santai sambil memulai mengecup leher istriku dan memilin putingnya dari balik daster.

“Mau roleplay ma?” aku mengajak Nia bermain peran dalam fantasiku. Ia mengangguk.

Aku mengambil blindfold dari laci meja.

“Mama pakai ini ya. Jadi ceritanya papa manggil mas Doni kesini karena sudah membantu tadi. Mama nanti layani mas Doni sebagai ucapan terima kasih.”

“Papa keluar dulu ya manggil mas Doni” permainan roleplay kami dimulai. Aku keluar kamar seolah pergi menemui mas Doni. Nia menutup pintu kamar. Bersiap.

Selang beberapa menit, aku membuka pintu kamar.

“Ma.. Ini ada mas Doni. Katanya mama mau bilang sesuatu” ucapku seolah mas Doni sedang berada di sini, bersamaku masuk ke kamar.

Istriku berbaring di atas kasur tanpa sehelai benang pun. Matanya tertutup blindfold.

“eh, mas Doni. Makasih ya tadi sore sudah bantuin Nia.”

“Ah, bukan apa-apa dek” aku membuat suaraku lebih berat, meniru suara mas Doni.

“hmmm, Nia mau ngasih sesuatu sebagai balasannya. Mas Doni mau kan?” istriku mengatakan itu sambil membuka kedua pahanya. Tangan kirinya mengelus kemaluannya, sedangkan tangan kanannya memainkan satu sisi payudaranya. Aku menanggalkan seluruh pakaianku mendekati Nia dan menindihnya.

“Mas Doni boleh cicipi ya” aku yang berperan sebagai mas Doni meminta ijin.

“Silahkan mas” aku langsung memasukkan payudara Nia ke dalam mulutku, menjilati putingnya dengan lidahku. Nia menggelinjang.

Jariku mengelus-elus kemaluannya. Sudah sangat basah.

Tanpa berlama-lama aku mengarahkan penisku ke vagina Nia. Dengan sedikit dorongan penisku menyeruak masuk ke dalam.

“hhnngghhh...” Nia menggigit bibirnya. Tangannya memelukku erat.

“Makasih dek.. Memekmu legit” mataku merem melek menggoyang tubuh Nia.

Aku berusaha mengatur nafasku. Situasi ini terlalu panas, aku merasa pertahananku akan jebol dalam waktu singkat.

Puting kanan Nia aku hisap kuat, sementara yang kiri aku pilin dengan jariku. Aku berusaha agar istriku bisa orgasme juga.

“Aahh, aku mau keluar dek”

“Semprot Nia mass...” tampaknya Nia juga akan orgasme.

Aku tak tahan lagi, dengan beberapa sodokan aku memancarkan spremaku di dalam vagina Nia.

“hhhhnnnghhhhh...” jari NIa mencengkeram punggungku

Tampaknya ia juga mengalami orgasme, aku merasakan cairan hangat di bagian kemaluanku.

“Terima kasih mas Doni” bisik Nia di telingaku.

Malam itu sekali lagi kami menghadirkan mas Doni di ranjang kami.

==========================================================================

Sabtu pagi esok harinya.

Pagi ini aku hendak ke kantor SAMSAT untuk mengurus perpanjangan SIM. Istriku tengah menggoreng pisang untuk sarapan ringan sebelum aku berangkat. Handuk sudah melingkar di leherku. Setelah mengambil handuk biasanya aku tidak langsung masuk ke kamar mandi tapi masih mengerjakan hal-hal lain entah itu nonton TV, main hp, atau sekedar tiduran di sofa. Istriku selalu mengomentariku soal itu. Seperti saat ini, aku masih asik menonton berita di televisi yang tengah ramai tentang iklan jual rumah bonus menikahi pemiliknya.

“Permisii..” terdengar ada tamu memberi salam.

“Eh, mas Doni, ada apa mas?” tanyaku sambil menyambut tamu di depan pintu yang ternyata adalah mas Doni.

“Mau melunasi iuran mas”

Iuran yang dimaksud adalah iuran bulanan RT. Aku sebagai bendahara RT bertugas mengumpulkan iuran RT dari warga. Rumah mas Doni yang berada di ujung gangku masih termasuk anggota warga RT kami, RT 05.

“Masuk-masuk mas, duduk dulu” aku mempersilahkan mas Doni duduk di sofa single di ruang tamu kami.

“G pernah keliatan mas akhir-akhir ini?” tanyaku.

“Iya mas, 2 minggu ini saya pulang kampung. Baru datang kemarin lusa. Ini ada sedikit oleh-oleh” mas Doni menyerahkan kresek putih.

“Pulang kampung kemana mas?”

“Palembang mas”

Kuintip sekilas kresek yang di bawa tadi berisi camilan khas daerah, salah satunya kerupuk kemplang ikan.

“oh, mas Doni asli Palembang. Istri saya paling suka tuh Pempek Palembang”

“Tau gitu saya bawakan juga tadi mas. Nanti saya ambilin di rumah”

“Ah, g usah repot-repot mas” aku menjawab dengan basa-basi khas Jawa.

“Maaf ya mas, saya lagi buru-buru. Pembayaran iurannya sama istri saya ya. Saya mau mandi dulu, mau mengurus perpanjangan SIM ke Samsat takut tutup kalau kesiangan.”

Memang kantor Samsat hanya buka setengah hari di hari Sabtu, namun sebenarnya aku hanya beralasan agar istriku bisa berduaan dengan mas Doni. Barangkali akan ada cerita baru.

Aku masuk ke kamar mengambil tablet Ipad Air 2 tempat aku mencatat daftar orang yang sudah membayar iuran.

“Ma, sini dulu” aku memanggil istriku masuk ke kamar.

“Ini pencatatan iurannya, mama yang urus ya” aku menunjukkan bagaimana aku mencatat iuran. Aku membagi bulan di tiap sheet. Di masing-masing sheet sudah ada daftar nama dan nomor rumah warga tinggal memasukkan nilai iuran di kolom sebelahnya.

Istriku menerima ipad itu. Kemudian aku membuka 4 kancing daster istriku. Nia masih mengenakan daster yang sama ia kenakan kemarin. Jika kemarin hanya 2 kancing yang terbuka, sekarang aku membuka semua kancingnya. Istriku melotot ke arahku, protes. Aku hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah mataku.

“Papa mandi dulu” aku menuju ke kamar mandi.

Walapun protes, istriku tidak mengancingkan kembali dasternya. Ia langsung menuju ke ruang tamu.

Istriku duduk di sofa panjang sebelah mas Doni. Membuka Ipad-ku.

“Berapa mbak yang harus dibayar?”

Mas Doni memang jarang membayar iuran, biasanya dirapel beberapa bulan sekali.

Istriku mengklik tiap sheet mencari nama mas Doni dengan keterangan sudah bayar. Ia menemukannya, mas Doni belum membayar sejak 6 bulan yang lalu.

“6 bulan mas yang belum dibayar. Total satu juta dua ratus ribu” Iuran di RT kami sudah all in termasuk iuran sampah, gaji satpam, iuran PKK dan lain-lain.

“Eh, bentar mas, takut gosong pisangnya” istriku mencium wangi pisang goreng yang sudah matang.

“Mas tulis sendiri aja ya” Nia menyodorkan ipad di atas meja di depan mas Doni sambil mengajari cara inputnya. Bukannya fokus ke ipad, mata mas Doni malah fokus ke arah yang lain.

Setelah meniriskan pisang yang sudah matang, sekalian istriku menuangkan lagi pisang yang sudah di beri adonan ke dalam penggorengan. Sambil menggoreng istriku bercakap-cakap dengan mas Doni.

Rumahku tidak terlalu luas, berukuran 6 x 15 meter. Masuk dari pintu depan langsung menemui ruang tamu dengan sofa yang menghadap ke televisi 50 inch yang terpasang di tembok. Ruangan setelahnya adalah dapur yang hanya terpisah sekat semacam meja dan almari. Dari ruang tamu orang bisa melihat ke dapur secara langsung.

“Goreng pisang apa mbak?” mas Doni memulai percakapan.

“Pisang tanduk mas, buat sarapan mas Andre”

“Baru denger saya nama pisang tanduk. Jangan-jangan bisa nyeruduk pisangnya itu. hehe” ujar mas Doni bercanda.

“Dapet darimana mbak?” lanjutnya, khawatir candaannya garing.

“Kalau yang bisa nyeruduk bukan pisang yang ini mas.. Hihi.” Istriku menjawab. Mas Doni tersenyum tidak menyangka candaannya ditanggapi.

“Dikasih kenalan kemarin. Ada teman baru pulang dari Lumajang.”

“Mas Doni suka pisang goreng?”

“Suka aja mbak”

“Kalau mas mau nanti saya anterin.”

“G usah mbak, ngerepotin”

“G kok mas, barangkali nanti saya bisa dapat oleh-oleh pempek” ucap istriku tersenyum sambil mengeluarkan lidahnya sedikit di antara bibirnya.

Istriku mendengar percakapanku dengan mas Doni tadi. Iseng berharap bisa mendapat pempek kesukaannya.

“Pasti saya kasih mbak. Masih ada banyak di rumah mbak, saya sendiri yang makan g bakal habis.”

Setelah mengisi data di ipadku mas Doni mengambil dompetnya.

“Wah, uangnya kurang 300 ribu.” ucap mas Doni sambil mengecek kembali dompet dan merogoh-rogoh kantong celana dan baju polonya.

“Gpp mas. Catat aja dulu. Bayar sisanya nanti, atau bisa transfer juga. Lagian kenapa g transfer aja mas kayak biasanya.”

“Enak ketemu langsung. Sekalian mau ngasih oleh-oleh, sama sekalian mau pamit.”

“eh, pamit.. mau kemana mas?”

“Saya mau pindah ke Kalimantan. Hari ini packing, besok sudah berangkat”

“ooh” istriku hanya manggut-manggut. Mulutnya membentuk huruf O.

Aku pernah mendengar kalau kontrakan mas Doni 2 bulan lagi habis dan tidak diperpanjang. Kabarnya akan pindah. Aku sempat menceritakannya ke istriku semalam. Namun tidak menyangka sudah akan pindah dalam waktu dekat ini.

Mas Doni asli Sumatera, ia sudah mengontrak disini selama hampir genap 3 tahun. Sewaktu datang pertama kali ia tinggal bersama dengan 2 orang kawannya. Sebelumnya ia sudah menikah, namun bercerai. Kabarnya dia di-PHK dari salah perusahaan tambang batubara local di Sumatera sana.

Disini, bersama 2 temannya tadi, ia merintis usaha sendiri, tetap di bidangnya yang ia kuasai yakni trading batu bara. Di Jakarta peluang sangat banyak untuk mencari relasi dan investor. Mimpinya ke depan setelah menemukan investor yang cocok dia akan membeli tambang batu bara dan membangun perusahaan tambang batubara sendiri. Aku mendengar ceritanya sewaktu malam-malam nongkrong di depan pos satpam.

“Bayar sisanya nanti saja ya mbak. Kayaknya mas Andre masih lama ya?”

“Lama dia kalau mandi mas”

“Ya sudah saya pamit dulu kalau gitu. Salam sama mas Andre”

-----------------------------------------

“Mas Doni sudah pulang ma?” aku keluar dari kamar. Aku sudah berganti pakaian, siap berangkat. Istriku baru selesai menggoreng pisangnya, terlihat sedang meniriskan gorengan yang terakhir.

“Sudah pa. Eh tadi mas Doni pamit ngasih kabar kalau besok pindahan” istriku menceritakan obrolannya tadi termasuk kemana arah pandangan mata mas Doni.

“Mama ijin, nanti habis mandi mama mau ke rumah mas Doni, ngasih pisang goreng. Sama tadi dijanjiin oleh-oleh pempek”

“Iya ma, kalau bisa nanti coba godain lagi ma. Kesempatan terakhir sebelum pindah”

Istriku mengeleng-gelengkan kepalanya.

“Awas kalau kebablasan nanti papa yang nyesel loh”

“Kebablasan juga gpp ma.” jawabku tersenyum meringis menampakkan gigiku.

“Papa berangkat dulu”

----------------------------------------------------------

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian istriku menuju rumah mas Doni. Letak rumah mas Doni berada di paling ujung, menghadap ke arah yang berbeda dari rumah kami.

Tok. . Tok… Tok…

Nia mengetuk pintu rumah. Mas Doni membuka pintu. Di hadapannya terlihat istriku yang berdiri membawa sepiring pisang goreng. Mas Doni menatap istriku dari bawah ke atas, tampilannya lebih bersih daripada tadi pagi yang masih kucel saat menggoreng pisang. Wajahnya berdandan tipis-tipis, hanya bedak dan pelembab bibir. Pakaiannya lebih rapi daripada tadi. Daster putih persis di bawah lutut bermotif bunga-bunga. Di bagian dada tidak ada kancing, namun terdapat resleting berbahan plastik putih yang tertutup penuh.

“Masuk dulu mbak. Kebetulan pempeknya sebagian sudah saya hangatkan”

Mas Doni pergi ke belakang mengambil sesuatu. Istriku menunggu, duduk di sofa. Di atas meja sudah ada beberapa biji pempek hangat dan semangkuk cuko, saus dari pempek.

“Mumpung masih hangat mbak” dari belakang mas Doni membawakan piring dan garpu, di tangan satunya ia membawa kresek berisi sekotak kecil pempek dingin dari kulkas.

“Ini yang masih beku untuk dibawa pulang”

“Saya ambil ya” istriku memilih pempek lenjer. Di atas piring hampir semua jenis pempek tersaji, ada kapal selam, adaan, kulit, termasuk juga lenjer favorit istriku.

Sambil mengobrol mas Doni mengambil pisang goreng yang dibawakan istriku.

Sambil makan mas Doni bercerita tentang kota asalnya, juga makanan-makanan khasnya. Dia menyebutkan merk-merk pempek yang terkenal di kotanya, kalau-kalau kami sempat berkunjung kesana.

“Ini pempek candy, menurut saya yang paling enak di Palembang. Mas Andre juga doyan pempek mbak?"

“Suka mas, tapi lebih suka yang g pakai ‘P’ ” jawab istriku sambil mengunyah

Mas Doni hanya tersenyum, tidak menangkap candaan istriku. Ia memilih mengalihkan obrolannya.

“Baru pertama saya coba pisang jenis ini. Besar-besar ya ukurannya. Jenisnya tadi apa namanya mbak?”

“Pisang Tanduk namanya, memang besar-besar dan panjang. Yang paling besar bisa seukuran lengan. Paling enak dijadikan pisang goreng” jawab istriku

Potongan pisang goreng yang dibuat istriku panjangnya hanya seukuran telunjuk namun dibiarkan utuh tidak dibelah, diameternya masih utuh. Sehingga potongannya jadi terlihat besar.

“Wah mbak Nia sukanya pisang yang besar dan panjang ya” mas Doni kembali bercanda ala bapak-bapak.

“Iya mas, pisangnya kalau makin besar makin enak”

Mendengar jawaban istriku pikiran mas Doni traveling keliling kota.

Mas Doni menggeser duduknya lebih dekat. Dia mengambilkan 1 biji pempek kapal selam. Mas Doni dari tadi memperhatikan istriku belum mengambil pempek jenis ini.

“Cobain yang ini mbak” ucapnya sambil menaruh pempek kapal selam ke piring Istriku.

“Omong-omong (btw) saya dipanggil mbak. Kayak saya sudah tua aja”

“Eh, mbak Nia umur berapa memangnya? Maunya dipanggil apa?”

“Umur mas Doni berapa?”

“Saya 38 tahun”

“Beda 10 tahun mas dengan saya”

“eh..” mas Doni menghitung umur Nia di kepalanya.

“Saya sudah kelihatan tua ya mas” ucap istriku melihat ekspresi terkejut di wajah mas Doni

“Enggak mbak, eh dik. Saya selama ini memang heran, mas Andre seumuran dengan saya tapi istrinya kelihatan muda banget. Ternyata memang muda” mas Doni mulai menyebut istriku dengan panggilan adik, karena usia yang terpaut jauh.

Istriku tersenyum disebut terlihat muda. Mas Doni menatap senyuman istriku yang manis. Hmmm.. masih muda dan cantik dek Nia ini, pikirnya.

Setelah menggeser duduknya, kini mas Doni bisa memperhatikan istriku lebih dekat. Wangi vanilla sekilas tercium olehnya. Wangi parfum yang sering dipakai istriku selepas mandi. Kubelikan di matahari sewaktu promo buy 1 get 1. Ukurannya botol besar, makanya dia pakai setiap hari, itu pun tidak habis-habis sudah beberapa bulan ini.

Dari jarak ini mas Doni baru menyadari, ia dapat melihat puting istriku yang tercetak dari balik dasternya. Apakah dek Nia tidak memakai bra? Mas Doni bertanya-tanya.

Suasana hening, belum ada obrolan lagi. Istriku masih sibuk mengunyah pempek kapal selam separuh jalan. Ini yang terakhir, ia sudah merasa kenyang makan beberapa biji pempek.

“Beneran enak mpempeknya mas” istriku mengacungkan jempolnya.

Mendengar komentar istriku mas Doni teringat perkataan Nia sebelumnya. Pempek Palembang yang tidak pakai ‘P’. Dia baru menyadari pelafalan istriku yang merupakan orang Jawa dalam menyebut pempek. Istriku menyebutnya (m)pempek. Tanpa huruf P berarti….

Nalurinya berkata jika berusaha ia akan mendapat sesuatu kali ini dari Nia.

“Rasa pisangnya memang unik ini ya dek” ia memulai kembali pembicaraan

“Lebih manis, warnanya kuning, teksturnya juga lebih lembut” ia mengomentari pisang goreng yang sedang dimakannya. Pisang tanduk memang daging buahnya warnanya lebih kuning dan teksturnya agak lembek kalau digoreng.

“Kalau saya biasanya makan pisang susu, beli di mang Ali di depan” tangannya menunjuk ke luar. Mang Ali merupakan penjual pisang di depan ruko dekat perumahan yang juga langganan istriku.

“Daging buahnya putih, teksturnya juga lebih padat” ia melanjutkan mendeskripsikan pisang susu.

“Kalau yang daging buahnya putih saya juga ada mas”

Nalurinya benar, Nia mengambil umpannya.

“Sekarang dibawa g dek?” pancingnya lagi.

“Dibawa sih mas. Mas Doni mau cobain?”

Glek.. Mas Doni menelan liurnya. Ia mendekat, kali ini memindahkan duduknya persis di sebelah Nia. Mereka saling bertatapan. Nia meletakkan piring yang tersisa separuh pempek kapal selam di atas meja.

“Dimana dek buahnya?” mas Doni pura-pura tidak tahu maksud Nia.

“Dari tadi sudah mas liatin kayaknya”

Sejak melihat puting yang tercetak di balik daster, pandangan mas Doni memang tidak bisa lepas dari dada istriku.

“Buahnya belum dikupas tapi, kalau mau kupas sendiri”

Mas Doni menganggap kata-kata Nia merupakan sebuah ajakan yang memberinya ijin untuk bertindak lebih jauh.

Tangan mas Doni mulai menyentuh buah yang dimaksud. Buah dada istriku. Istriku diam saja, dadanya membusung, kedua tangannya disamping tubuhnya. Tangan kanan mas Doni menarik resleting di dada istriku. Kemudian menarik dasternya sampai ke ujung pundak. Pundak kiri istriku terlihat.

Benar ternyata. Nia tidak memakai bra. Ketika kain daster di atas dadanya disingkap, muncullah bulatan payudaranya. Terlihat ranum, menggiurkan. Di bagian ujungnya terdapat biji buah yang berwarna cokelat.

Tak tahan melihatnya, mas Doni memasukkan puting Nia ke dalam mulutnya. Istriku memejamkan mata, mendesah.

“aaangghhh…..”

“Buah yang ini lebih enak dek”

Mas Doni semakin asyik menikmati buah terlarang milik istriku. Sementara desahan istriku semakin keras.

Tangan istriku mulai meremas-remas bagian kemaluan mas Doni.

“Kalau yang ini pisang apa masss?”

“Yang ini pisang Raja dek. Yang ini beneran bisa nyeruduk” jawab mas Doni sambil terus meremas dan melahap buah dada istriku.

Bibir mas Doni mulai menelusuri leher istriku. Sambil berbisik ia bertanya.

“Mas Andre g nungguin di rumah dek?”

“sshhh, katanya kira-kira baru pulang setelah dhuhur mas. Shhh” Nia menjawab sambil mendesah.

Sementara tangan mas Doni yang satunya lagi menarik bagian bawah daster Nia sampai ke atas paha. Tangannya mencoba menyusup ke dalam daster Nia. Dia bisa merasakan memek Nia. Terasa panas dan basah.

“mPempeknya sudah hangat dek. Mas mau mencicip mpempek di kamar. Boleh ya dek? Nanti mas kasih pisang Raja”

Istriku hanya mengangguk. Sejak ia membiarkan putingnya disentuh tadi ia tahu tidak ada jalan untuk kembali.

Mas Doni bangkit berdiri, menarik tangan istriku. Mengajaknya masuk ke kamar tidur.

Sesampainya di kamar mereka saling berciuman dengan ganas. Tangan mereka saling menjelajah tubuh masing-masing. Tangan mas Doni meremas payudara, bokong Nia. Tangan Nia juga meremas-remas kemaluan mas Doni. Sambil bercumbu mereka melucuti baju masing-masing.

Begitu terlepas semua kain yang menutupi tubuh mereka, mereka bergeser ke tempat tidur. Istriku berbaring terlentang bersiap menerima ‘pisang raja’ milik mas Doni. Mas Doni berada di bawah istriku. Penisnya sudah mengacung tegang.

Tidak seperti fantasi kami. Ukuran penis mas Doni biasa saja. Lebih kecil dari dildo yang kami miliki. Tapi tetap lebih besar dari ukuranku.

Mas Doni mengarahkan penisnya ke kemaluan istriku. Bless.. dengan mudah mas Doni mendorongnya masuk hingga seluruh penisnya tenggelam di vagina istriku.

Mas Doni kembali mengajak istriku berciuman. Berbeda dengan pengalaman Nia sebelumnya. Dengan Rino istriku merasakan permainan yang lembut mengalir. Sementara permainan mas Doni cenderung liar dan direct.

Mereka kembali berciuman dengan ganas. Lidah mereka masuk ke dalam di dalam mulut lawannya. Terkadang bibir mereka bahkan tidak benar-benar saling bersentuhan, hanya lidah mereka yang beradu di luar.

Setelah kejadian ini aku bertanya ke istriku mana yang lebih ia sukai. Permainan Rino atau mas Doni. Istriku menjawab ‘Sensasinya berbeda. Sama-sama enak. Jika ingin malam yang romantis dengan Rino. Jika murni ingin memuaskan birahi, aku pilih mas Doni.’

Mas Doni mulai menggerakkan pinggulnya. Tubuhnya seperti piston yang mulai bergerak naik RPMnya. Ia melepas ciumannya. Kini berfokus menggenjot istriku dengan RPM tinggi. Istriku semakin mendesah tidak karuan.

“ah.. ah.. ah” mulutnya bersuara setiap penis mas Doni menyodok vaginanya.

“Enak banget dek…..” komentarnya. Entah sudah berapa lama mas Doni tidak merasakan kehangatan wanita.

Mulutnya kembali menghisapi payudara Nia. Ia buka mulutnya lebar-lebar, dimasukkanya bulatan penuh buah dada Nia. Di dalam mulut, lidahnya bergerak-gerak menggesek-gesek putting Nia.

Sudah sekitar 6 menit mas Doni menggenjot istriku dengan RPM tinggi. Kecepatannya tidak menurun. Nia menerima hujaman-hujaman penis itu dengan desahan. Kedua kakinya terangkat seolah mengikat tubuh mas Doni.

Nafas mas Doni mulai tersengal-sengal. Badannya menindih istriku.

“Mas sering onani membayangkan dek Nia. Mas tidak menyangka bisa merasakannya langsung” bisiknya di telinga istriku.

“Nia juga sering membayangkan mas Doni waktu bercinta dengan mas Andre” balas istriku. Mas Doni tidak tahu bahwa fantasi itu dalam sepengetahuanku dan aku juga terlibat di dalamnya. Ia mengira istriku murni mendambakannya.

Mendengar pengakuan istriku, mas Doni makin semangat menggenjot istriku. Tangan istriku mencengkeram punggung mas Doni. Istriku bisa merasakan sebentar lagi ia akan orgasme.

“Aaargghh… “ ia mengerang.

Tanpa peringatan apapun, mas Doni menyemprotnya cairannya. Penisnya berkedut-kedut di dalam vagina istriku.

“hhhhngggghhhhh…” istriku menikmati denyutan penis mas Doni.

“Maaf dek, mas keluarin di dalam” mas Doni berkata setelah penisnya sudah berhenti bergerak-gerak.

Deg. . Istriku baru sadar. Akal sehat mulai kembali ke pikirannya. Ketika bercinta tadi akal sehatnya sudah takluk dengan nafsunya. Kini otaknya berpikir, menghitung-hitung.

“Gpp mas, aman. Nia lagi g subur”

Berdasarkan perhitungannya beberapa hari lagi dia akan datang. Ia pun sudah merasakan tanda-tanda di tubuhnya.

Ploop.. Penis mas Doni terlepas dari istriku. Cairan putih kental mengalir keluar dari vagina Nia.

“Banyak banget mas” Nia melihat tissue di meja kecil sebelah ranjang. Ia meraihnya mengambil beberapa lembar.

“Sudah lama g dikeluarin mas”

“Ada sebulan dek”

Mas Doni bangkit beranjak dari tempat tidur. Ia mengenakan kembali pakaiannya. Istriku melihatnya.

“Udahan mas?” Permainan berakhir dalam waktu 7 menit 20 detik. Istriku berharap masih ada 1 ronde lagi. Ia sudah hampir mencapai orgasmenya tadi.

“Iya dek. Dek Nia nanti ditunggu mas Andre. Ini saya juga lagi nunggu orang ekspedisi. Takut tiba-tiba datang.”

Istriku menggigit bibirnya, tidak bisa berkata-kata. Ia terlalu malu untuk meminta lagi. Lagipula ia tahu laki-laki setelah keluar (orgasme) gairahnya benar-benar turun dan membutuhkan waktu untuk menaikkannya lagi.

Ia pun mengenakan kembali dasternya, mengikuti mas Doni kembali ke ruang tamu. Di pintu depan, Mas Doni memberikan kresek berisi pempek beku.

“Ini kekurangan iuran tadi.” mas Doni memberikan uang sebanyak 300 ribu kekurangan iuran tadi.

“Makasih ya dek Nia”

Istriku merasa seperti wanita yang dibayar setelah melayani klien laki-lakinya.

Begitu membuka pintu istriku celingak-celinguk melihat kondisi di luar. Sepi, tidak ada orang. Istriku lalu pamit.

Pulang dari rumah mas Doni, istriku berjalan dengan cepat. Ia tidak ingin berpapasan dengan orang di jalan. Ia merasakan cairan mengalir hingga ke betisnya. Sesekali ia berhenti, saling menggesek betisnya menyeka aliran putih itu.

Sampai di rumah Nia merebahkan dirinya di kasur. Melamunkan kejadian tadi. Ia baru saja ia bersetubuh dengan tetangganya. Ada penyesalan, namun kadang muncul kembali nafsunya saat mengingat kejadian di rumah mas Doni.

Aku baru sampai di rumah 1 jam kemudian.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd