Part 7
Asti membuka gerbang halaman rumahnya dan berjalan gontai. Air mata tak henti mengalir di kedua pipinya. Ia masih mendengar deru mobil Tyo yang melesat meninggalkannya. Asti menoleh sesaat dan perlahan menuju kursi teras rumahnya. Ia ingin berlama lama dalam belaian angin malam saat ini, berharap seluruh kegundahan hatinya segera berlalu.
Ia baru saja menceritakan apa yang selama ini ia rahasiakan dari Tyo. Mereka sengaja memilih lokasi pinggir pantai di kawasan Ancol agar jauh dari keramaian. Dalam waktu singkat Asti harus menata hatinya, mempersiapkan batinnya untuk bisa menerima apapun sikap yang akan ditunjukkan Tyo.
Asti menceritakan segalanya dengan lancar. Tentang pertemuannya dengan Damar, tentang alasan ia melakukan segalanya sampai dengan saat ini. Dan seperti apa yang telah diperkirakan Asti, Tyo sangat murka. Ia memang tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya berteriak sekuat tenaga kearah laut lepas setelah Asti menyelesaikan ceritanya. Wajah Tyo memerah, rahangnya terkatup rapat dan mengeras sepanjang perjalanan pulang kerumah Asti. Tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari bibir mereka berdua. Asti sangat ingin menanyakan apa yang dirasa Tyo. Apakah ia membenci Asti dan ingin meninggalkannya? Tapi urung Asti lakukan karena ia menyadari, diam adalah yang terbaik dilakukan saat ini.
Asti menangis sejadi jadinya. Sekuat apapun ia merelakan Tyo pergi, namun tetap ada luka yang kini tergores dalam hatinya. Apa yang akan ia katakan pada Kanaya bila ia menanyakan Tyo? Apa yg harus ia jawab bila Bu De Lilik juga menanyakan hal yang sama.
Dering HP dalam tasnya menyadarkan lamunan Asti. Asti meraih HP dan membaca nama Damar pada layarnya. Asti menarik nafas dalam, berusaha menghentikan tangisnya saat menjawab telepon dari Damar.
"As .." suara berat Damar terdengar diujung sana. Asti berniat untuk tidak memberitahu Damar soal Tyo
"Kamu baik baik saja? Kenapa suaramu terdengar tak bersemangat begini?"
"Aku lelah mas ..." jawab Asti berusaha tenang "Kanaya sakit .. aku harus menjaganya seharian tadi ..."
Damar terdiam. Asti mulai merasa kuatir jika Damar tau atau Tyo datang menemuinya menyampaikan sendiri apa yang telah terjadi
"Ada apa mas?" tanya Asti
"Wisnu ..." ujar Damar ragu. Asti menegakkan duduknya bersiap mendengar berita lebih lanjut dari Damar.
"Mike menghubungiku lagi .. ia bilang Wisnu ingin segera bertemu denganmu ... Ia .. meminta aku mengatur jadwal untuknya ..."
"Kapan ....?" tanya Asti
"Entahlah As ... aku belum memberikan jawaban. Aku belum yakin ..." jawab Damar ragu
"Tapi aku yakin mas ...." potong Asti cepat "Biarkan aku melayaninya kali ini .. aku mohon ..."
Tinggal selangkah lagi, pikir Asti, dan ia akan bisa membawa Kanaya berobat. Sudah terlalu banyak derita yang ia alami. Sudah cukup kehilangan yang harus ia pikul sendiri. Kali ini ia melihat jalan terbuka lebar dihadapannya dan ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Kita bicarakan besok ya As .. kita perlu bertemu agar bisa membahas ini dengan tenang. Aku harus memikirkan setiap detailnya demi keselamatanmu" ujar Damar. "Dan bila nanti aku pikir ini tidak akan berhasil, aku akan menolaknya. Dan kamu tidak boleh membantah itu. Aku tidak ingin kehilanganmu As .. aku menyayangimu ..."
Asti terhenyak. Sesaat hening. Asti tau apa yang Damar rasakan selama ini kepadanya. Tapi baru kali ini ia mendengar kata kata itu terlontar dari mulut Damar.
"Jam berapa besok Mas Damar akan menjemputku ...?" tanya Asti memecah keheningan
"Aku jemput kamu setelah makan siang ya ..." jawab Damar "Pastikan keadaan Kanaya stabil dulu. Kita bicarakan ini di pent house saja seperti biasa"
Asti menutup teleponnya. Melangkah masuk, menatap Kanaya yang tertidur lelap di Sofa. Bu De Lilik pun terkulai terduduk disamping Kanaya. Mata Asti berkaca kaca. Segera Sayang, bisik Asti dalam hati, kamu akan bisa bermain dan bersekolah seperti teman teman lainnya .. Asti membelai rambut Kanaya penuh cinta.
Asti mengeluarkan satu persatu menu makan siang dari dalam kantung plastik ke atas piring-piring yang telah disiapkan Damar. Siang ini mereka sengaja memilih bersantap siang di Pent House dengan menu cepat saji yang telah mereka beli sebelumnya.
"Kenapa kamu memesan makanan banyak sekali mas .." gumam Asti sambil menatap menu masakan yang berjejer di hadapannya "Siapa yang mau menghabiskan makanan sebanyak ini? Atau kamu .. mengundang orang lain untuk makan bersama kita?"
Damar menatap Asti sejenak seraya mengunyah sepotong Filet ikan gurame dalam mulutnya
"As ..." ujar Damar, menelan sisa makanan dan melanjutkan "Apa yang akan kita bicarakan ini memerlukan pemikiran serius. Tidak hanya pemikiran kita, tapi aku juga perlu pertimbangan dari orang-orang terkait yang aku percayai."
"Maksudmu ....?" tanya Asti
"Aku .. aku perlu bicara dengan Mike, sebagai orang yang cukup mengenal Wisnu Anggara" ucap Damar lagi. Asti mengangkat kedua alis matanya tinggi-tinggi.
"Yaa .. aku sudah lama tidak mengikuti sepak terjang Wisnu .. walau dulu aku sangat memahami kepribadiannya, aku perlu tau seperti apa ia sekarang" lanjut Damar.
"Jadi Mike akan kesini siang ini dan makan siang bersama kita sebelum membahas ini semua?" tanya Asti memastikan
"Ada satu orang lagi ...." Damar berdehem, terlihat sedikit gugup. Asti memandangnya dalam dalam. Seketika ia merasa sedikit tidak nyaman dengan begitu banyaknya orang yang akan ikut campur dalam rencana mereka
"Asti ... kamu pasti tahu bahwa ...." ucapan Damar terpotong oleh bunyi bel pintu dan ketukan yang cukup keras di pintu Pent House mereka. Damar hendak membukakan pintu saat ia mendapati Asti telah berjalan mendahuluinya ke arah pintu.
"Biar aku saja mas ...." ujar Asti sambil sedikit berlari. Damar menyusul tergopoh dibelakang Asti, mencoba menahannya untuk membuka pintu. Namun Asti telah terlebih dahulu membuka Pintu lebar lebar dan mendapati seseorang berdiri disana
"Mas Tyo????" seru Asti dengan mimik sangat terkejut. Seketika ia tidak dapat berkata apa apa. Wajah Asti pucat pasi, namun Tyo terlihat santai dan tersenyum sinis.
"Kenapa As ....?" tanya Tyo melewati Asti yang masih berdiri mematung dimuka pintu. Tyo melangkah masuk mendekati Damar dibelakang Asti yang juga memandang mereka dengan tatapan bingung.
"Kalian ... sudah saling kenal?" tanya Damar dengan nada ragu. Asti berbalik memandang Damar juga dengan tatapan tak mengerti
"Ada apa sebetulnya ini mas?" tanya Asti dengan suara bergetar "Jadi ini tamu kita yang mas maksud?"
"Iya As ..."jawab Damar masih dengan nada bingung "Ini Tyo, partner kerjaku di kepolisian"
"Partner?" tanya Asti dengan nada curiga "Partner apa ....? Kenapa mas Damar sampai bekerjasama dengan Mas Tyo? Ada urusan apa? Apa sangkut pautnya dengan aku mas?"
"Dia tidak menceritakannya padamu As?" tanya Tyo seraya tertawa kecil "Jadi Damar ini yang kau maksud sebagai teman yang menolongmu mengumpulkan rupiah dari pekerjaan tidak halal itu?"
Mata Asti mulai berkaca2. Ia tidak melihat perubahan air muka Damar yang mulai menegang dan memerah menahan emosi mendengar perkataan yang dilontarkan Tyo. Tyo berjalan perlahan mendekati Asti
"Kamu .. adalah umpan pancingan As ..." desis Tyo dengan nada yang tetap terdengar jelas "Damar adalah informan rahasia yang bekerja sama dengan ku untuk memancing sang Mafia target kami menampakkan diri. Dan kelihatannya .. ini berhasil ..."
Asti melirik Damar. "Benar begitu mas?" tanya Asti "Jadi kamu memang sudah tau semua ini akan berakhir seperti ini??"
"Tentu saja " Tyo menjawab "Ini sudah terpola dengan sangat baik.. dan semua terjadi sesuai rencana. Kamu ternyata sangat lihai memainkan peranmu sebagai seorang Pelacur yang menarik Wisnu Anggara keluar dari persembunyiannya".
Asti tersengal menahan nafasnya, mencoba menguasai perasaan yang berkecamuk di dadanya
Tyo kembali mendekatkan Bibirnya pada telinga Asti
"Berapa harus aku bayar untuk bisa mencicipi layananmu, As?" bisik Tyo "Berapa...?Aku bayar dan layani aku seperti kamu melayani ratusan pria bejat yang menjadi pelangganmu ..."
"Cukuuupp!!" jerit Asti menutup telinganya, berbarengan dengan gerakan tiba tiba Damar menarik mundur Tyo dan memukulnya tepat diwajahnya.
"Jaga Mulutmu!!!" Damar berteriak sekuat tenaga memandang Tyo yang terpuruk di lantai. Tubuh Damar jauh lebih besar dari Tyo. Asti melihat bibir Tyo sedikit mengeluarkan darah namun ia tetap menyeringai. Tyo bangkit, Asti menahan Damar yang terlihat masih emosi dan bersiap memukul kembali Tyo.
"Ayo pukul lagi..." tantang Tyo "Apa ada yang lebih sakit dari hatiku yang mengetahui bahwa umpan yang kamu sodorkan adalah calon isteriku sendiri!!!"
Damar terkesiap. Tubuhnya mematung mendengar kata kata Tyo. Ia melihat mata Tyo berkilat menahan emosi dan air mata yang siap mengalir di pipinya.
"Kaget??" seringai Tyo "Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu jadi aku??? Apa??"
Damar memandang Asti yang menunduk disisinya
"Aku .. selama ini aku tidak tahu kalau ..." Damar tidak meneruskan kata katanya.
Keheningan sesaat terpecah saat ketukan di pintu Pent House yang masih terbuka tersengar, disusul suara seorang pria menyapa
"Selamat siang ...." Asti menoleh dan melihat Mike berdiri di pintu seraya memamerkan senyum khasnya kearah mereka.
Asti membuka gerbang halaman rumahnya dan berjalan gontai. Air mata tak henti mengalir di kedua pipinya. Ia masih mendengar deru mobil Tyo yang melesat meninggalkannya. Asti menoleh sesaat dan perlahan menuju kursi teras rumahnya. Ia ingin berlama lama dalam belaian angin malam saat ini, berharap seluruh kegundahan hatinya segera berlalu.
Ia baru saja menceritakan apa yang selama ini ia rahasiakan dari Tyo. Mereka sengaja memilih lokasi pinggir pantai di kawasan Ancol agar jauh dari keramaian. Dalam waktu singkat Asti harus menata hatinya, mempersiapkan batinnya untuk bisa menerima apapun sikap yang akan ditunjukkan Tyo.
Asti menceritakan segalanya dengan lancar. Tentang pertemuannya dengan Damar, tentang alasan ia melakukan segalanya sampai dengan saat ini. Dan seperti apa yang telah diperkirakan Asti, Tyo sangat murka. Ia memang tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya berteriak sekuat tenaga kearah laut lepas setelah Asti menyelesaikan ceritanya. Wajah Tyo memerah, rahangnya terkatup rapat dan mengeras sepanjang perjalanan pulang kerumah Asti. Tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari bibir mereka berdua. Asti sangat ingin menanyakan apa yang dirasa Tyo. Apakah ia membenci Asti dan ingin meninggalkannya? Tapi urung Asti lakukan karena ia menyadari, diam adalah yang terbaik dilakukan saat ini.
Asti menangis sejadi jadinya. Sekuat apapun ia merelakan Tyo pergi, namun tetap ada luka yang kini tergores dalam hatinya. Apa yang akan ia katakan pada Kanaya bila ia menanyakan Tyo? Apa yg harus ia jawab bila Bu De Lilik juga menanyakan hal yang sama.
Dering HP dalam tasnya menyadarkan lamunan Asti. Asti meraih HP dan membaca nama Damar pada layarnya. Asti menarik nafas dalam, berusaha menghentikan tangisnya saat menjawab telepon dari Damar.
"As .." suara berat Damar terdengar diujung sana. Asti berniat untuk tidak memberitahu Damar soal Tyo
"Kamu baik baik saja? Kenapa suaramu terdengar tak bersemangat begini?"
"Aku lelah mas ..." jawab Asti berusaha tenang "Kanaya sakit .. aku harus menjaganya seharian tadi ..."
Damar terdiam. Asti mulai merasa kuatir jika Damar tau atau Tyo datang menemuinya menyampaikan sendiri apa yang telah terjadi
"Ada apa mas?" tanya Asti
"Wisnu ..." ujar Damar ragu. Asti menegakkan duduknya bersiap mendengar berita lebih lanjut dari Damar.
"Mike menghubungiku lagi .. ia bilang Wisnu ingin segera bertemu denganmu ... Ia .. meminta aku mengatur jadwal untuknya ..."
"Kapan ....?" tanya Asti
"Entahlah As ... aku belum memberikan jawaban. Aku belum yakin ..." jawab Damar ragu
"Tapi aku yakin mas ...." potong Asti cepat "Biarkan aku melayaninya kali ini .. aku mohon ..."
Tinggal selangkah lagi, pikir Asti, dan ia akan bisa membawa Kanaya berobat. Sudah terlalu banyak derita yang ia alami. Sudah cukup kehilangan yang harus ia pikul sendiri. Kali ini ia melihat jalan terbuka lebar dihadapannya dan ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Kita bicarakan besok ya As .. kita perlu bertemu agar bisa membahas ini dengan tenang. Aku harus memikirkan setiap detailnya demi keselamatanmu" ujar Damar. "Dan bila nanti aku pikir ini tidak akan berhasil, aku akan menolaknya. Dan kamu tidak boleh membantah itu. Aku tidak ingin kehilanganmu As .. aku menyayangimu ..."
Asti terhenyak. Sesaat hening. Asti tau apa yang Damar rasakan selama ini kepadanya. Tapi baru kali ini ia mendengar kata kata itu terlontar dari mulut Damar.
"Jam berapa besok Mas Damar akan menjemputku ...?" tanya Asti memecah keheningan
"Aku jemput kamu setelah makan siang ya ..." jawab Damar "Pastikan keadaan Kanaya stabil dulu. Kita bicarakan ini di pent house saja seperti biasa"
Asti menutup teleponnya. Melangkah masuk, menatap Kanaya yang tertidur lelap di Sofa. Bu De Lilik pun terkulai terduduk disamping Kanaya. Mata Asti berkaca kaca. Segera Sayang, bisik Asti dalam hati, kamu akan bisa bermain dan bersekolah seperti teman teman lainnya .. Asti membelai rambut Kanaya penuh cinta.
Asti mengeluarkan satu persatu menu makan siang dari dalam kantung plastik ke atas piring-piring yang telah disiapkan Damar. Siang ini mereka sengaja memilih bersantap siang di Pent House dengan menu cepat saji yang telah mereka beli sebelumnya.
"Kenapa kamu memesan makanan banyak sekali mas .." gumam Asti sambil menatap menu masakan yang berjejer di hadapannya "Siapa yang mau menghabiskan makanan sebanyak ini? Atau kamu .. mengundang orang lain untuk makan bersama kita?"
Damar menatap Asti sejenak seraya mengunyah sepotong Filet ikan gurame dalam mulutnya
"As ..." ujar Damar, menelan sisa makanan dan melanjutkan "Apa yang akan kita bicarakan ini memerlukan pemikiran serius. Tidak hanya pemikiran kita, tapi aku juga perlu pertimbangan dari orang-orang terkait yang aku percayai."
"Maksudmu ....?" tanya Asti
"Aku .. aku perlu bicara dengan Mike, sebagai orang yang cukup mengenal Wisnu Anggara" ucap Damar lagi. Asti mengangkat kedua alis matanya tinggi-tinggi.
"Yaa .. aku sudah lama tidak mengikuti sepak terjang Wisnu .. walau dulu aku sangat memahami kepribadiannya, aku perlu tau seperti apa ia sekarang" lanjut Damar.
"Jadi Mike akan kesini siang ini dan makan siang bersama kita sebelum membahas ini semua?" tanya Asti memastikan
"Ada satu orang lagi ...." Damar berdehem, terlihat sedikit gugup. Asti memandangnya dalam dalam. Seketika ia merasa sedikit tidak nyaman dengan begitu banyaknya orang yang akan ikut campur dalam rencana mereka
"Asti ... kamu pasti tahu bahwa ...." ucapan Damar terpotong oleh bunyi bel pintu dan ketukan yang cukup keras di pintu Pent House mereka. Damar hendak membukakan pintu saat ia mendapati Asti telah berjalan mendahuluinya ke arah pintu.
"Biar aku saja mas ...." ujar Asti sambil sedikit berlari. Damar menyusul tergopoh dibelakang Asti, mencoba menahannya untuk membuka pintu. Namun Asti telah terlebih dahulu membuka Pintu lebar lebar dan mendapati seseorang berdiri disana
"Mas Tyo????" seru Asti dengan mimik sangat terkejut. Seketika ia tidak dapat berkata apa apa. Wajah Asti pucat pasi, namun Tyo terlihat santai dan tersenyum sinis.
"Kenapa As ....?" tanya Tyo melewati Asti yang masih berdiri mematung dimuka pintu. Tyo melangkah masuk mendekati Damar dibelakang Asti yang juga memandang mereka dengan tatapan bingung.
"Kalian ... sudah saling kenal?" tanya Damar dengan nada ragu. Asti berbalik memandang Damar juga dengan tatapan tak mengerti
"Ada apa sebetulnya ini mas?" tanya Asti dengan suara bergetar "Jadi ini tamu kita yang mas maksud?"
"Iya As ..."jawab Damar masih dengan nada bingung "Ini Tyo, partner kerjaku di kepolisian"
"Partner?" tanya Asti dengan nada curiga "Partner apa ....? Kenapa mas Damar sampai bekerjasama dengan Mas Tyo? Ada urusan apa? Apa sangkut pautnya dengan aku mas?"
"Dia tidak menceritakannya padamu As?" tanya Tyo seraya tertawa kecil "Jadi Damar ini yang kau maksud sebagai teman yang menolongmu mengumpulkan rupiah dari pekerjaan tidak halal itu?"
Mata Asti mulai berkaca2. Ia tidak melihat perubahan air muka Damar yang mulai menegang dan memerah menahan emosi mendengar perkataan yang dilontarkan Tyo. Tyo berjalan perlahan mendekati Asti
"Kamu .. adalah umpan pancingan As ..." desis Tyo dengan nada yang tetap terdengar jelas "Damar adalah informan rahasia yang bekerja sama dengan ku untuk memancing sang Mafia target kami menampakkan diri. Dan kelihatannya .. ini berhasil ..."
Asti melirik Damar. "Benar begitu mas?" tanya Asti "Jadi kamu memang sudah tau semua ini akan berakhir seperti ini??"
"Tentu saja " Tyo menjawab "Ini sudah terpola dengan sangat baik.. dan semua terjadi sesuai rencana. Kamu ternyata sangat lihai memainkan peranmu sebagai seorang Pelacur yang menarik Wisnu Anggara keluar dari persembunyiannya".
Asti tersengal menahan nafasnya, mencoba menguasai perasaan yang berkecamuk di dadanya
Tyo kembali mendekatkan Bibirnya pada telinga Asti
"Berapa harus aku bayar untuk bisa mencicipi layananmu, As?" bisik Tyo "Berapa...?Aku bayar dan layani aku seperti kamu melayani ratusan pria bejat yang menjadi pelangganmu ..."
"Cukuuupp!!" jerit Asti menutup telinganya, berbarengan dengan gerakan tiba tiba Damar menarik mundur Tyo dan memukulnya tepat diwajahnya.
"Jaga Mulutmu!!!" Damar berteriak sekuat tenaga memandang Tyo yang terpuruk di lantai. Tubuh Damar jauh lebih besar dari Tyo. Asti melihat bibir Tyo sedikit mengeluarkan darah namun ia tetap menyeringai. Tyo bangkit, Asti menahan Damar yang terlihat masih emosi dan bersiap memukul kembali Tyo.
"Ayo pukul lagi..." tantang Tyo "Apa ada yang lebih sakit dari hatiku yang mengetahui bahwa umpan yang kamu sodorkan adalah calon isteriku sendiri!!!"
Damar terkesiap. Tubuhnya mematung mendengar kata kata Tyo. Ia melihat mata Tyo berkilat menahan emosi dan air mata yang siap mengalir di pipinya.
"Kaget??" seringai Tyo "Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu jadi aku??? Apa??"
Damar memandang Asti yang menunduk disisinya
"Aku .. selama ini aku tidak tahu kalau ..." Damar tidak meneruskan kata katanya.
Keheningan sesaat terpecah saat ketukan di pintu Pent House yang masih terbuka tersengar, disusul suara seorang pria menyapa
"Selamat siang ...." Asti menoleh dan melihat Mike berdiri di pintu seraya memamerkan senyum khasnya kearah mereka.