Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Jangan lama lama yaa suhu... penasaran banget sama nenek nya
 

Dia​

Nenek mengenakan jilbab panjang dan gamis hitam yang menutupi lengan dan kaki. Tubuhnya lebih tinggi dari gue, di atas rata-rata wanita Indonesia. Aura tegas nenek serasa kuat menekan. Bayangkan kalian sedang berjalan di hutan, tiba-tiba seekor macan berbadan besar lewat, dan melihat ke arah kalian. Ia mengaum, memamerkan gigi-giginya yang tajam, lalu mulai berjalan ke arahmu. Ya, itulah rasa aura nenek.

"Tidak… tidak.. hukuman atas kesalahan apa?"

Muka nenek berubah merah. Giginya gemertak. Sosoknya seakan bertambah besar di hadapan gue. "Masih berani kau bertanya!? Kamu pikir nenek tidak tahu tentang hubungan haram kalian?" bentaknya dengan mata melotot, "Abimu sudah menceritakan semuanya!"

"I…itu semua salah Doni. Hukum saja Doni. Doni akan tanggung semuanya."

Umi bergerak. Tangannya menggapai-gapai gue. Sekonyong-konyong dia mendorong gue, hingga gue terjengkang ke belakang. "Pulanglah Doni! Biarkan umi menjalani semua ini," ucapnya dengan suara lemah. "U…umi…," ucap gue tak percaya dia berkata itu. "Pulanglah!" bentaknya dengan suara serak. Umi bangkit berdiri dengan susah payah. Tubuhnya tak tegak. "Lanjutkan umi," kata umi kepada nenek. Nenek mengangkat tangannya dan melayangkan kembali cambuk rotan itu.

"Ctar!" begitu rotan itu mengenai punggung umi, ia langsung jatuh lagi, berlutut dengan satu kaki.

Nenek mengangkat tangannya lagi. Rotan itu terayun kembali.

Tak mungkin gue akan biarkan umi tersakiti seperti ini.

"Nenek hentikan!"

"Ctar!" kali ini rotan itu mengenai punggung gue. Akh! Gue langsung menggeliat. Perih. Perih rasanya. Mata gue membelalak begitu melihat punggung umi. Kali ini kain di belakang punggungnya sudah sobek. Dan gue melihat banyak sekali bekas garis merah lalang-melintang Bahkan ada bercak darah yang menempel di kainnya. Jika rasanya kena sekali sesakit ini, bagaimana umi?

"Minggir!" perintah nenek.

Umi menyabet badan gue berkali-kali agar gue beranjak. Namun gue terus bertahan, menahan sakit. Gue takkan membiarkan umi menderita.

Ctar! Ctar! Ctar!

"Kalau kamu sayang dengan umimu, minggir!" kata nenek dengan suara keras.

Melihat gue dihajar nenek habis-habisan, umi memeluk gue dan melindungi gue. "Jangan sakiti anakku, umi," mohon umi. "Sudah diam, jangan melawan," bisik umi. Tapi gue gak izinkan dia untuk melindungi gue. Gue yang memeluknya dan memberikan punggung gue. Gue berbisik "Doni yang akan melindungi umi. Doni sayang umi…"

"Doni," bisik umi. Cambuk terus mendera. Dia menatap gue. Dalam hujan sabetan rotan, kami melepas rindu dengan tatapan kami. Akhirnya umi pun mencium gue. Orang-orang di sekitar kami terperanjat kaget.

"Astagafirullah!!!!!" teriak nenek, "Sungguh keterlaluan! Sungguh tak tahu malu! Sudah hampir seminggu kamu menjalani hukuman cambuk, tidak urung juga sifat binalmu!!!!!"

Nenek makin marah, dia mencambuki gue dan umi. Gue berusaha menahan dera rotan itu dengan tangan. Pas kena jari, rasanya sakit bukan kepalang. Lebih sakit daripada Kemoceng Pembunuh Naga.

Tiba-tiba kakek datang. "Sudah cukup! Hentikan dulu hukum cambuk ini hari ini. Kamu seharusnya menghukum anak kita bukan dengan amarah," tegur kakek ke nenek, "Lagipula Doni, cucu kita sudah datang. Sebaiknya kita rehat, aku akan bicara dengan dia dulu."

Kakek menepuk tangan, semua orang di sekitar segera berdiri dan meninggalkan kami.

Kakek menghampiri nenek. "Sayang, rawatlah anak kita dulu," ucap kakek.

Nenek mengangguk, lalu ia membantu umi berdiri, kemudian memapahnya pergi.

"Ayo, Doni kita bicara di dalam rumah."

Gue dan kakek duduk di ruang tamu. Ruangan itu memiliki langit-langit yang tinggi. Udaranya terasa sejuk.

"Doni… kami sedang berusaha meluruskan akhlak ibumu. Kami ingin dia kembali normal." kakek menghela nafas dan memijit-mijit jidatnya. Dia menghela nafas panjang. "Dulu kami sudah berhasil mendidik dia, mengarahkan dia menjadi anak yang sholeha dan bahkan menjadi ustadzah. Namun sekarang dia kembali menjadi seperti dulu. Abimu seharusnya menjaga umimu, kami telah menitipkan dia."

"Memangnya umi seperti apa dulu?"

"Dia… hypersexual. Sesuatu memantiknya menjadi seperti itu. Anakku yang manis dan polos Tiba-tiba menjadi seperti binatang yang haus seks. Seakan kemaluannya selalu gatal dan butuh penyaluran. Ia selalu ingin menggesekkan alat kelaminnya kemanapun. Bahkan kami pernah terpaksa mengikatnya tangannya, karena dia tak bisa berhenti masturbasi. Keadaannya bisa menjadi mirip orang pengguna narkoba yang sakau. Dia goda siapa pun demi bisa mendapatkan kepuasan itu. Kakek bahkan harus memecat beberapa karyawan, karena berhubungan badan dengannya. Kacau ibumu. Butuh proses panjang, sampai akhirnya ia bisa berfungsi normal lagi sebagai manusia. Tapi kini…..," kakek menatap gue. Lalu menggeleng. "Kalau kamu sayang ibumu, jangan lanjutkan hubungan kalian, jangan biarkan ia jatuh dalam lubang yang sama. Tolong dia."

Gue menunduk. Apakah cinta kami harus berakhir di sini? Apakah gue ini pengaruh yang buruk untuk umi?

"Doni, ingin menemui umi."

Kakek menggeleng. "Sebaiknya kamu pulang. Keberadaanmu hanya akan memperburuk keadaan dia. Tiga hari lagi, pulanglah. Dalam tiga hari ini kamu dapat menemui ibumu secara terbatas, gunakan waktu itu sebaiknya."

"Tapi……"

Kakek berdiri, "Mari kakek tunjukkan kamarmu, kamu pasti lelah, kamu dapat beristirahat di sana."

Gue tak lagi membantah. Hati gue terbelah oleh konfliks. Satu sisi menginginkan kebaikan untuk umi, di satu sisi ingin terus melanjutkan hubungan terlarang kami.

Menjelang malam, gue ingin melepaskan penat. Di belakang area perumahan ini ada kolam air panas. Sumbernya berasal dari pegunungan. Jalan menuju ke sana menanjak berkelok. Jalan setapak sudah dibentuk menjadi anak tangga, diperkuat dengan bebatuan yang ditanam ke tanah. Di pinggirnya terpancang lampu-lampu penerangan. Di kiri-kanan hutan bambu mengerubungi jalan menuju ke atas. Untungnya tempatnya tidak terlalu jauh. Saat mulai dekat, jalannya mulai berasap. Berasal dari uap air yang turun dari kolam. Kolam itu lumayan luas bisa 20 orang masuk, kalau mau.

Gue melepaskan pakaian gue, menyisakan kolor. Jaga-jaga kalau ada yang lewat. Meskipun dulu waktu masih perjaka ting ting gue selalu mandi bertelanjang bebas. Saat gue melangkah masuk, terasa bebatuan di dasar kolam, semakin lama semakin dalam. Paling dalam hanya sampai sedada. Suhu airnya hangat dan menenangkan. Gue dapat menghirup aroma yang khas dan menyegarkan. Aroma yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di sekitar kolam. Gue duduk di bawah pancuran yang menyembur. Suara air dan jatuhnya air memijit-mijit punggung, aahhh… begitu menyegarkan mandi di sini di malam hari. Selama mental kalian bukan penakut.

Sedang asyik-asyiknya mandi. Tiba-tiba ada yang memanggil, "Don…"

Siapa?

Ternyata nenek.

Gue buru-buru berdiri dari kolam dan menutup diri dengan handuk, lalu memberi sungkem kepada beliau.

"Sudah lanjutkan mandimu, nenek hanya mampir sebentar, mau bicara denganmu."

"Umi, bagaimana nek?" tanya gue khawatir.

"Kamu tak perlu risau. Ada dokter ahli yang merawat luka-lukanya dan mengontrol kesehatan umimu. Kami selalu memperhatikan kesehatannya. Walau… hukumannya masih akan berlangsung."

Gue menunduk sedih. Lalu masuk lagi ke dalam kolam tanpa membuka handuk.

Nenek duduk di pinggir kolam dan mencelupkan kakinya ke air dan membiarkan sebagian kain bajunya basah

"Don, kamu tahu kan, hubungan antara kamu dan umimu itu tidak boleh."

Gue diam, tidak mau memvalidasi."

Nenek menghela nafas, "Hmmfff… kamu masih muda, kami bisa menemukan perempuan lain. Bahkan nenek bisa bantu carikan, jika kamu mau."

Gue tetap diam. Gue cuma mau umi, ucap gue dalam hati.

"Nenek sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menolong umimu. Namun nenek tak sangka… dia terjerumus oleh keturunannya sendiri." Nenek tampak murung. "Namun di sisi lain… nenek tak dapat menyalahkan ibumu sepenuhnya. Nenek mohon lepaskan dia Doni… lepaskan umimu dari jeratmu. Dia sudah seperti serangga terperangkap di jaring laba-laba yang kamu buat. setiap malam dia selalu memanggil-manggil namamu dalam tidurnya."

Sungguh? Sungguhkah umi memanggil nama gue dalam tidurnya?

"Cinta Doni ke umi tulus. Doni tidak pernah seserius ini…."

"Tidak Doni, yang kamu anggap cinta, itu tidak lebih dari sekedar nafsu belaka! Nenek paham betul!"

Alis gue mengernyit. "Nenek tidak tahu, apa yang Doni rasakan."

"Kamu salah, nenek sangat paham yang kamu rasakan….," kata nenek juga mengernyitkan dahi.

"Bagaimana mungkin?" bantah gue.

Nenek menggigit bibir bawahnya, lalu dia masuk ke dalam kolam. Gue kaget. Wah..wah… bakal kena hajar lagi nih. Buru-buru gue bangun, mau keluar dari kolam. Tapi nenek menggaet lengan gue. "Mau kemana?"

"Doni sudah selesai mandinya, nek, mau turun."

"Nenek belum selesai bicara."

"Doni sudah selesai, nek."

Air kolam bergolak dengan adegan tarik-tarikan antara gue dan nenek. Nenek gue tubuhnya terbilang lebih tinggi dari gue. Jadi tidak mudah juga melepaskan diri.

Gue mencoba lari di air. Nenek menarik handuk gue. Srek! Handuk gue lepas. "Jangan pergi!"

Gue berlari dengan melompat-lompat di air, supaya lebih cepat bisa keluar. Nenek merengut celana dalam gue dari belakang. "Jangan pergi, Doni!" perintah nenek. Gue megangin kolor gue dari depan, jangan sampai melorot. Tapi apa daya, pada akhirnya copot jua. Gue sampai tersengkat dan jatuh ke dalam air. Byuur!

Gue berdiri, nenek sudah ada di depan gue. Nenek berjalan mendekat, gue berjalan mundur, sampai terpojok ke sudut kolam. Pasrah deh, mau digampar kali.

"Kamu sudah semakin dewasa, nenek tidak menyangka kamu semakin…"

Kurang ajar? Ya..ya… umi juga berkata begitu. Kurang ajar sudah menjadi brand gue. Nenek dan umi punya sifat yang sama. Tidak mau dibantah.

Nenek terdiam dan menatap ke bawah. "Doni…," panggil nenek. Tiba-tiba gue merasa batang gue kena genggam. Astaga, ada apa nih.

Nenek memejamkan matanya. "Sejak kecil tabiatmu sudah nakal. Sukar dikasih tahu. Maunya bertindak semaumu. Dulu kamu suka ngintipin nenek mandi. Sekarang kamu gituin ibumu. Kini daya tarikmu makin jadi. Daya tarik yang mulai membuat nenek….. Dia mulai mengurut batang gue.

Mata nenek sayu. "Memang keparat orang itu. Pasti dia macam-macam dengan putriku…," ucap nenek dengan suara hampir tak terdengar. "Kamu pasti anaknya dia."

Dia? Lagi-lagi dia. Dia siapa?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd