Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Birahi Lelaki

Siapa yang akan menjadi Istri dari Arman


  • Total voters
    379
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Bab 6: Mengulang Kenangan

(Malam sabtu – sebuah kafe)

Malam ini, gw menghadiri sebuah acara bazaar karena menerima ajakan dari Toni. Katanya sih ini acara temennya dia. Maklum, Toni memang anak organisasi yang aktif. Makanya kami jarang bersama. Meski ketika bersama, Toni rasanya cuma bisa ngebahas tentang Yasmin dengan gw. Ah, Yasmin. Itu anak kemarin malam nangisnya ngga berhenti-berhenti waktu gw berusaha tenangin dia di kost gw. Toni sih katanya pengen masuk, tapi dia malu ama Yasmin. Emang ngga ada bakat buat modus tuh anak. Saking lamanya gw mendengar sesi curhat tanpa arahnya Yasmin, dia hampir nginep di kost gw dengan alasan kostnya udah tutup. Gw tetep maksa dia buat nginep di kostannya yang ketat banget. Tapi dia nolak dan akhirnya mengalah dengan memintaku mengantarkannya ke kost milik teman perempuannya.

Di dalam grup angkatan, aku melihat beberapa temanku mulai menyinggung tentang pembekalan KKN. Gw sendiri tidak begitu peduli sekarang. Ya, walau kata Yasmin, gw termasuk orang yang banyakan tidak pedulinya ketimbang pedulinya. Tapi, gw ngga peduli dengan itu. Haha. Daaaaan, seperti biasa, Toni ninggalin gw sendiri ketika dia dipanggil ama temennya dari himpunan lain. Emang brengsek itu anak. Ngga bisa dia nemenin temen yang dia bawa ke acara temennya. Malah ngga ada kenalan lagi. Ketimbang bete terus, akhirnya gw memesan seporsi roti bakar dengan minuman green tea.

Di tengah penantian gw, seorang perempuan yang mengenakan jilbab panjang berwarna biru lewat di depanku. Ketika ia berbalik melihatku, aku sadar itu bukan jilbab panjang. Itu hanyalah jilbab biasanya yang panjangnya nutupin dada. Soalnya kan umumnya jilbab panjang itu sampai nutupin daerah perut.
Putri-Kaneshia-reistaputrii-10.jpg

Putri Kaneshia

“Sendirian aja Kak Put?”, tanyaku pada Kak Putri yang nampak mencari tempat duduk. Ia berbalik dan tersenyum melihatku.

Kak Putri adalah salah satu idola di fakultasku. Dia memiliki badan yang proporsional, wajah yang cantik, pintar, dan punya kepercayaan diri yang baik. Ia seringkali dipercaya menjadi pembaca acara di berbagai macam kegiatan. Baik oleh pihak fakultas, kampus, atau dari perusahaan yang mengundangnya menjadi MC di acara yang diselenggarakan. Meski demikian, ia termasuk salah satu anggota pengajian yang dibimbing oleh kak Hafzah. Ia bergabung bersama dengan Nurmala, Yasmin, dan beberapa cewek lainnya. Yang aku bingungkan adalah, di grup pengajian itu, semuanya cantik-cantik dan seger-seger kalau dipandang mata.

“Gw ambil duduk di sini boleh kan man?”, tanya Kak Putri padaku. Memang kondisi bazaar sedang ramai-ramainya.

“Ngga papa kok kak. Silakan aja”, ia lalu duduk di depanku.

“Eh, aku minta maaf ya buat yang kemarin”, Kak Putri membuka obrolan malam itu.

“Buat apa kak? Kan emang udah ngga terelakkan lagi”,

“Tapi kan kamu posisinya waktu itu sedang terfitnah”, balas Kak Putri.

“Ngga masalah sih kak. Soalnya aku ama yasmin emang ngga ngelakuin hal itu. Jadi ngga ada masalah sih. Toh pada akhirnya, bukan kami berdua pelakunya”,

“Tapi kan ngga begitu juga Arman”, Kak Putri nampak membolak balikkan daftar menu bazaar yang diberikan kepada kami.

“Kemarin itu gw sempat ngebela kalian. Tapi Kak Nay malah marah balik ke gw. Katanya sih gw ngebela pezina gitu. Meski aku sih percaya aja kalau Yasmin ngga mungkin ngelakuin itu di kampus”, jelas Kak Putri.

Obrolan kami terpotong karena pesananku tiba. Dan, alangkah terkejutnya aku ketika orang yang membawa pesananku adalah orang yang sama yang aku lihat kemarin dengan Nurmala.
“Nadila….”, gw terpana ngelihat sosok perempuan cantik yang dulu selalu kukagumi sekarang berada di balik balutan busana muslimah yang besar dan longgar. Ia nampak mengenakan jilbab panjang yang berwarna hitam.

“Eh. Kak Arman. Lama ngga ketemu..”, ia nampak tersenyum malu sembari menundukkan kepalanya karena melihat Kak Putri.

Aku sendiri juga sedikit canggung. Maklum, aku selalu berusaha membatasi diri dengan mereka yang memakai busana muslimah. Aku berusaha untuk menghormati mereka. Meski di beberapa kasus, aku bisa sedikit menurunkan hal tersebut karena tergantung dengan perempuan tersebut. Seperti halnya dengan Yasmin yang memang aku sudah cukup akrab sedari semester 2. Atau Kak Putri yang memang orangnya supel dan mudah bergaul serta punya banyak teman karena kegiatannya yang segudang. Sedangkan untuk kasus Riana, aku butuh penyesuaian dengannya sehingga aku kesulita menentukan sikap ketika bertemu dengannya.

“Aku pergi dulu ya kak. Soalnya lagi banyak pesanan”, Nadila pamit undur diri.

“Lo kenal ama Nadila?”, tanya Kak Putri. Aku sedikit kaget ketika tahu ia malah mengenal nadila yang baru gw temui lagi setelah 3 tahun. Aku mengangguk.

“Lah, dia itu juga ikutan pengajian Kak hafzah lo”, jelas Kak Putri.

Melihat penampilan Nadila sekarang, gw tidak kaget kalau dia sampai ikut pengajian yang dibawakan oleh Kak Hafzah. Entah kenapa aku merasa sedikit canggung untuk sekadar menyapanya ketika melihat pakaiannya. Meski kami punya cerita masa lalu yang begitu indah. Ah, itu semua sekarang hanya kenangan. Ketimbang terus melayang membayangkan Nadila, aku kembali melanjutkan obrolan gw dengan Kak Putri. Cukup lama kami mengobrol hingga Toni kembali lagi ke meja tempatku dan Kak Putri pamit.

“Eh. Lo tadi ngomong apa ama Kak Putri?”, tanya Arman penasaran.

“Ngga ada apa-apa kok. Cuma ngobrol biasa aja soal kehidupan kita”,

“Lo kok enak banget ya. Bisa ngomong santai bareng cewek-cewek cantik. Bangsat lo man”, keluh Arman dengan wajahnya mengusut.

“Hahaha. Lagian juga gw ngga bisa akrab ke semua cewe Ton. Ini aja Kak Putrinya aja yang orangnya supel. Tapi dia itu taat agamanya lo”,

“Masa?”, Toni penasaran dengan pernyataanku.

“Dia ikut liqa’nya Kak Hafzah lo. Itu tuh, dosen baru yang make niqab”, jelasku pada Toni yang malah membuat Toni memasang wajah aneh.

“Ude’eh. Gw skip Kak Putri deh. Aliran begituaan. Ih”,

“Kalau begitu lo skip Yasmin juga. Soalnya dia juga ikut liqa’nya Kak Hafzah”, aku hanya cengengesan.

“Eh? Serius lo man? Anjir, ngga jadi skip deh kalau begitu. Pasti Yasmin masuk karena mau nelusurin soal aliran begituan”,

“Apaan sih lo Ton. Kalau begitu, langsung ubah standar aja”, temen gw ini emang suka labil dan masang standar ganda kalau terkait dengan Yasmin.

“Udah ah, balik yuk. Udah jam berapa juga sekarang”, ajakku pada Toni. Ia mengiyakan.

Aku dan Toni pun berboncengan kembali ke kost kami. Sepanjang jalan gw ama dia bercanda. Sampai di kost, dia langsung masuk kamar, Sedangkan gw lanjut searching cerita-cerita yang asyik buat dibaca di forum semprot. Untung aja gw hapal ama ID addresnya, soalnya kalau pake VPN, jaringan kadang brengsek. Hehe. Keesokan harinya, gw ngga ada kegiatan, begitu juga Toni. Dia baru ngajakin gw keluar buat makan ketika jam 11 siang. Maklum, kalau hari sabtu begini kami memang lebih milih buat bermalas-malasan di kamar kami masing-masing saja. Selesai makan, gw kembali tidur dan baru bangun lagi ketika menjelang sore. Itu pun karena Riana nelpon gw.

“Man, entar jadi kan?”, tanya Riana pada gw.

“Eh. Iya. Hampir lupa lo gw Na”,

“Emang cowo ngga bisa diandelin ya lo man”, keluh Riana padaku. Aku hanya membalasnya dengan tertawa saja.

“Ya udah. Entar gw jemput di depan kostan lo ya”, dia menutup telepon.

Ya, memang ketika aku dan Riana jalan, kami biasanya memakai mobil milik Riana. Kudengar-dengar, Riana sudah menjadi wanita panggilan semenjak SMA. Hanya saja, baru ketika kuliah lah dia benar-benar mendalami profesinya ini. Gw sebagai teman sih ngga pernah mempermasalahkan hal tersebut karena Riana pintar dalam mengendalikan diri. Meski setiap kali ia kena tegur oleh pemiik kost tempat tinggalnya, ia akan segera pergi dari kost tersebut.
meiraniap-Bpw-UEAMBNu-P.jpg

Riana Arlinda
Menjelang shalat isya, Riana udah ada di depan kost. Dengan memakai celana jeans biasa dan kemeja biasa, gw pun pergi dengannya. Gw emang ngga terlalu suka dengan gaya pakaian yang terlalu bergaya. Bukan gaya gw rasanya. Soalnya sedari SMA, gw lebih mengutamakn kecepatan gw dalam hal berpakaian. Kan kasihan kalau cewek canti nunggunya lama. Hehe. Setelah sempat berdebat kecil tentang siapa yang menyetir mobil, akhirnya gw yang bawa mobil menuju sebuah mall di kota Alpa ini. Walau sebenarnya di kota ini cuma ada tiga mall sih.

Ketika sampai di parkiran mall tersebut, Riana memberi kode ama gw untuk ke jok belakang mobil. Gw langsung ke belakang mobilnya, sedangkan ia keluar dari mobil lalu masuk ke bagian jok belakang mobil. Tahu dengan maksud Riana tersebut, gw udah mengerti maksud Riana. Kami berpelukan dengan mesra. Tangan kanan gw langsung menyergap toketnya yang menantang. Dengan mata sayu, Riana seperti membujuk bibirku untuk menyerang mulutnya, kami pun berciuman dengan mesra.

“Semalam Hemi kamu apain sih beb?”, tanyaku pada Riana sembari dia menikmati sentuhan yang kuberikan.

“Kamu ya. Udah ama cewek lain juga, masih aja nanyain soaaaaaaah. Pelan-pelan man. Oooooh. Lo itu ya, masih aja nanyain soal Hemi. Dia tuh udah gw jual jadi lonte”, Aku tidak kaget dengan ucapannya tersebut. Gw juga emang ngga ampe jatuh cinta ama Hemi. Gw hanya melihat dia sebagai objek pelampiasan syahwat gw.

“Dasar kamu emang lonte ya Na”, umpatku.

“Ahhh. Tapi lo sukanya juga ama lonte kan. Ooouuhhhhh. Enak man”, ia melenguh tiap kali aku memainkan toketnya yang sekal. Kancing kemejanya telah aku tanggalkan.

Setelah beberapa menit bercumbu di dalam mobil, kami pun keluar. Meski pakaiannya sedikit kusut, Riana tidak menunjukkan tanda-tanda sudah puas dengan percintaan kami. Dengan berpegangan tangan, aku dan Riana hendak menonton film di lantai 3 gedung mall ini. Kami seperti orang pacaran saja, padahal kami biasa-biasa saja. Kami tidak lebih dari teman yang senang bercinta.
Arisa-Salsa-Lestina-6.jpg

Nadila Aria S.
Nayla-Arisma-Sienna-12.jpg

Nayla Arisma Sienna
Memasuki kawasan bioskop, gw menyapu pandangan ke sekitar. Mataku berhenti di sebuah meja. Aku seperti melihat bayangan lama masa laluku. Astaga, itu adalah Nadila yang memakai jilbab panjang berwarna coklat seperti tempo hari ketika aku melihatnya bersama dengan Nurmala. Lalu, astaga, ternyata dia bareng dengan Kak Nayla yang mengenakan jilbab berwarna merah muda. Bentar, dia ada hubungan apa ya dengan kak Nay? Ah, masa bodo. Gw buang muka dan langsung mengantri tiket bersama Riana. Setelahnya, gw segera saja ngeloyor ke depan teater kami, teater 3.

“eh, gw pengen pipis dulu nih na. gw ke wc dulu ya”, aku mengangkat kepala Riana yang sedang kupangku. Memang tiap kami sedang menunggu di lobi bioskop, ia akan berbaring di pangkuanku.

Setelah selesai buang air kecil, aku keluar. Namun, di depan, aku terkejut karena aku dicegat oleh seorang perempuan dengan jilbab besar berwarna coklat. Astaga, benar-benar astaga. Nadila tepat ada di depanku.

“Kenapa kakak ngga pernah nyoba nyapa aku?”, protesnya padaku. Gw kehilangan kata-kata.

“Kenapa kak? Emang aku ada salah ya ama kak Arman?”, aduh bisa berabe nih kalau kami dilihatin orang. Aku memutuskan menghindarinya dan mempercepat langkahku di lobi. Namun ia berlari mendahuluiku dan kembali mencegatku di daerah lobi dekat teater 2. Nampak ia mulai menitikkan air mata.

“Kak, jawab dila kak. Kenapa kak?”, aku benar-benar mati langkah sekarang.

“Kakak ngehargain kamu Dil”,

“Ngehargain gimana kak? Dengan mengabaikan Dila gitu? Kakak belum pernah ngucapin kalau kita putus lo. Tapi kakak sekarang ngagandeng cewek lain di depan Dila? Tega banget”, aku tercekat. Dia masih menyimpan perasaan ke gw. Tapi gw sendiri? Ah, kampret. Gw bingung sekarang.

“Liat diri kamu Dil. Kamu sekarang akhwat. Kamu akhwat shalehah idaman lelaki. Aku mah masih ngga berubah. Kamu tuh udah jaga penampilan. kamu udah rajin ikut pengajian”

“Emang dengan itu berarti aku nolak perasaanku ke kak Arman? Ngga kak. Emang aku harus buka nih khimar dan telanjang di depan kak Arman biar Kak Arman percaya?”, astaga, dia menggila.

“eh. Jangan Dil”, Nadila terlihat memegang bagian kepala dari jilbabnya. Ia nampak benar-benar serius untuk membuka jilbab besarnya. Tapi gw menahan aksinya itu dengan menarik turun jilbab besar yang ia gunakan.

“Kak. Aku masih sayang ama Kak Arman”, Nadila berbicara dengan nada lirih. Aku makin tidak tahu harus berbuat apa. Di celanaku, aku merasakan getaran dari HPku. Nampaknya Riana terus menelponku. Aku tidak tahu harus ngapain sekarang.

PERHATIAN. PERHATIAN. BIOSKOP TEATER 3 AKAN SEGERA DIBUKA. KEPADA PENONTON YANG MEMEGANG KARCIS, HARAP SEGERA MASUK.

TING!


“Dil, kakak harus pergi. Pacar kakak udah nunggu”, aku segera menghindarinya dan mempercepat langkah pergi meninggalkan Nadila yang berdiri mematung.

Ketika gw berbalik untuk sekadar melihat Nadila, ia masih berdiri sedikit tertunduk. Aduh, gw merasa bersalah sama anak itu. Maafin gw Dil. Tapi emang lo udah hijrah, lo harus bertahan di jalan itu. Kamu harus kuat. Gw percaya ama lo. Lo pasti bisa ngelewatin semua ini. Lo kuat kok.

“Dari mana aja sih? Ditelpon-telpon ngga direspon”, protes Riana ketika aku menghampirinya.

Tanpa basa basi, aku menarik tangan Riana dan menuntunnya masuk ke dalam bioskop (bersambung ke bab 7: malam yang panjang)
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya suhu...
Sekalian izin bangun tenda dimari hehe...
 
Oke. Untuk maraton awal ceritanya aneh udahin ya. Barangkali berikutnya ane up ceritanya bergantung mood dan kesempatan aja. Tapi tetep ane usahain agar bisa apdet seenggaknya seminggu sekali. Terima kasih yang ngedukung cerita. Silakan dikeluarkan teori liarnya. Jika keberatan dengan mulustrasi silakan PM ane aja, biar entar saya bisa ganti dengan mulustrasi yang lain.
Semangat kakakkkk
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd