Manusia pada kodratnya adalah makhluk hidup. Oleh karena itu manusia juga mempunyai ciri-ciri berkembang biak. Pelajaran biologi SMP, maupun SMA mengajarkan bahwa perkembangbiakan dibedakan menjadi perkembangbiakan vegetatif maupun generatif. Ketika tumbuhan dan hewan sederhana, mampu mengembang biakkan secara vegetatif, maka struktur yang lebih kompleks, harus berkembang biak secara generatif jika tidak ingin spesiesnya punah.
Selain itu, manusia juga makhluk sosial, punya akal, punya rasa, dan punya karsa. Itulah yang menjadi mendasari adanya budaya. Untuk melaksanakan "kewajibannya" mengembangbiakan spesiesnya, manusia memiliki tata cara tersendiri. Ya agak mirip-mirip dengan beberapa hewan terentu sih, sayang dengan sombongnya manusia tidak mau disamakan dengan hewan. Padahal polanya itu mirip banget. Perempuan pasti memilih laki-laki yang paling sesuai dengan dia kehendaki. Entah itu yang paling kuat, atau paling tampan, atau paling pintar, atau dompetnya tebal (hewan punya dompet gak ya?). Itulah yang menjadikan stigma "Laki-laki menang memilih, perempuan menang menolak".
Atas dasar stigma tersebut banyak laki-laki (atau pria, cowok, lanang, gent, atau dengan sebutan lain) saling berebut mendapatkan perhatian dari perempuan (atau wanita, cewek, wedok, lady, atau dengan sebutan lain). Dan parahnya walaupun perbandingan laki-laki dengan perempuan hampir seimbang, banyak laki-laki yang tidak beruntung mendapatkan perempuan yang diincarnya. Yup, mau disangkal atau tidak, aku adalah salah satu dari golongan itu. Bahkan sampai sekarangpun aku masih berstatus seperti itu. Bukannya aku tidak mau, atau sok jual mahal. Hanya saja dengan modal yang sudah kusebutkan dulu, aku belum pernah memberanikan diri untuk mendekati perempuan. Jadi sampai saat ini diriku masih memegang rekor yang bisa kubanggakan: "Belum pernah ditolak cewek manapun!". Walaupun itu hanya kamuflase bahwa aku belum pernah nembak cewek manapun.
Akibat ketidakberanianku membuat request seorang kekasih, aku jadi tidak mempunyai pengalaman di dunia persilatan. Jangankan menyentuh, "mendekatipun" aku tidak berani. Oke, katakanlah teman wanitaku banyak, tetapi hanya sebatas teman, tanpa embel-embel. Sampai saat ini hanya Ibuku yang pernah menetekiku. Itupun pada saat aku bayi. Di era remajaku, untuk pertama kalinya aku bisa berboncengan dengan perempuan yang lebih "dekat", maaf, "lebih dekat" denganku. Inilah perempuan pertama yang mau kupegang tangannya. Inilah kali pertama aku berbuat lebih jauh dengan seorang wanita. Inilah pengalaman pertamaku...
Chapter 4a : Pengalaman pertama
Tak butuh waktu terlalu lama, sampailah kami di sebuah hotel. Lumayan kecil sih. Deg-degan juga pas mau masuk ke lobby. Jujur ini pertama kalinya aku masuk ke hotel, ngadep resepsionis sendiri pula. Jadi pas tanya ke resepsionis juga rasanya berat-berat gimanaaa gitu. Emang layanannya ramah sih, hanya pas lihat menu yang ditawarkan : "Standard roon Rp.180.000,00".
Uang saku 2 minggu itu!
Itung-itung daripada ada yang berubah pikiran, ambil aja lah. Resiko tanggung belakangan. Yang penting hepi dulu. Sekilas kulihat Dhea pasrah melihatku sambil duduk di sofa. Kuperkirakan dia sama tegangnya denganku. Teringat ada perlakuan berbeda darinya waktu berboncengan sebelum dan sesudah dari payung. Jika sebelum ke payung, Dhea lebih menjaga jarak denganku, entah karena kedingingan, atau karena lebih nyaman, sepanjang perjalanan menuju hotel dia memeluk erat diriku. Kenyal dadanya begitu hangat terasa di punggungku. Entah karena dinginnya udara malam ini, atau dia merasa lebih nyaman. Atau dua-duanya hehehe.
"Kami antar ke kamar anda mas" begitu kata belboy
Dhea pun mengikuti di belakang, agak jauh. Mungkin malu.
"Silahkan ini kamar anda mas" kata belboy begitu sampai ruangan.
Lumayan. satu kasur ukuran sedang, lebih besar dari kasur di kostku, satu meja panjang dengan televisi diatasnya dan rak-rak kecil di bawahnya, satu lemari pakaian ukuran kecil. Kamar mandi dalam, dan....selesai. Aku melepaskan jaket yang kukenakan, kutaruh di gantungan yang tersedia, begitu pula Dhea.
"Dhea bubuk aja kalo ngantuk" kataku sambil menghidupkan tivi
"Takut ah"
"Takut apa?"
"Ada maling ngintipin daleman orang"
"Huuuh maunya" sahutku sambil duduk di kursi rias.... satu-satunya kursi di kamar
"Hehehe..."
"Hehehe..."
Kami tertawa bersama, lalu diam....
Lamunanku menerawang jauh. Jantungku sudah berdetak tak karuan. Kakiku dingin luar biasa. Rasanya kalau bisa aku akan kembali ke masa lalu dan menolak melakukan hal ini. Tapi sudahlah, terlanjur. Daripada dibatalkan lebih parah lagi akibatnya hehehe.
"Katanya mau manjain Dhea... mana?" rajuknya
"Iya bentar ah"
"pilemnya lagi bagus nih"
"Iiih....mau pilem apa Dhea sih?"
"Iya iya"
Segera aku berpindah ke kasur. Kupeluk Dhea, kukecup keningnya, dia diam.
"Gimana? udah?" tanyaku, Dhea terdiam
Sebentar kemudian Dhea pergi ke kamar mandi...
"Pipis dulu, dingin"
Kulanjutkan menonton tivinya....
Sebenarnya dari tadi mau masuk ke hotel jantungku sudah berdetak tak karuan. Sekarang malah tambah parah. Sekarang aku malah gak tahu harus melakukan apa. Menonton tivi hanyalah pelarian saja dari bayangan-bayangan "masa depan" yang berkelbat di otakku. Sungguh pikiranku sudah tidak bisa fokus lagi. Perasaanku tak tenang. Antara senang, takut, ciut nyali, ya, dan tidak campur aduk jadi satu.
5 menit kemudian Dhea keluar langsung ambruk di sampingku, memeluk lenganku.
"Kakaaaak...muachhh"
"Hei, geli tau"
"Biarin weeek"
Aku merasa ada gelagat aneh dari Dhea. Seperti nanggung banget gerakannya, tidak seperti biasa. Akhirnya kaku juga melanda hatiku. Ragu yang semakin menjadi. Antara terus atau berhenti. Apakah ini rasanya jadi yang pertama? Entahlah.
"Dhe"
"Ya"
"Aku baru belum pernah seperti ini sebelumnya"
"......."
"Agak takut juga sih"
"Trus kita pulang?"
"Emmm...gimana ya?"
"Rugi dong dengan usaha kakak yang sejauh ini"
"Iya juga sih"
"Jadi?"
Meskipun ragu, kukecup pelan keningnya, dia terdiam. Menikmati. Kupegang lembut kepalanya, kecupanku mulai turun ke mata kanan, kemudian ke kiri, hidung, terus ke pipi..... Dhea mulai menggeliat. Tangannya merangkul leherku. Ditariknya kepalaku hingga bibirku bertemu dengan bibirnya. Dihisapnya bibirku, aku gak tahu harus berbuat apa, sehingga kulakukan hal yang sama. Lidahnya menyapu bibirku, kubalas hingga lidah kami saling menyapu. Lembut sekali.
Selama beberapa saat mulut kami saling menghisap, dan lidah kami saling menyapu, memberikan kesan aneh dalam pikiranku. Inikah rasanya berciuman?
Akhirnya aku dapat jawaban awal atas sebuah pertanyaan, kenapa orang begitu menikmati yang begituan. Ciuman rasanya ajib. Mak nyus! Padahal itu baru ciuman, belum yang lain. Jantungku terasa berdetak lebih kencang. Jauh lebih kencang daripada sebelumnya.
"Dhe" ucapku setelah bibir kami terlepas
"Ya kak?"
"Jujur baru pertama ini kakak berciuman"
"Wah....asik dong, Dhea dapet ciuman pertamanya kakak" sahut Dhea centil
"Emang Dhea udah pernah?"
"Kasih tau gak ya..."
"Ayolah.... pliiis" kupererat pelukanku ke Dhea
"Emmmm udah sih, dulu" jawabnya sedikit mengejutkanku
"Wah berarti aku bukan yang pertama dong"
"Hehehehe"
"Emang sama siapa dulu ciumannya?"
"Pacar Dhea...waktu sma dulu"
"Udah ah kak, jangan ungkit-ungkit masa lalu, sakiit"
"Ya udah kalo gak mau. Aku gak maksa kok"
Aku tersenyum, Dhea tersenyum. Manis...
Pelan-pelan didekatkan wajahnya. Sekarang sudah sangat dekat, kalau aku mau bisa saja aku sosor bibir itu.
Sejenak kami saling memagut mesra. Dhea memejamkan matanya yang sembab. Aku membelai rambutnya. Saat bibir kami terlepas, pipinya menempel di wajahku. Kusapukan hidungku ke pipinya, ke kiri-ke kanan-kiri-kanan-kiri-kanan. Gemas.
Aku begitu menikmati perlakuanku kepadanya. Inilah pengalaman pertamaku menjelajah kenikmatan purba. Kenikmatan yang mampu mewarnai dunia. Kenikmatan yang dicari oleh semua orang, bahkan dari jaman manusia ada. Namun jauh dalam dasar hatiku, aku berpikir,
is it a right thing?