Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI CINTA DUA DUNIA

Status
Please reply by conversation.
7


Usai mandi dan berganti pakaian, Wiguna termenung beberapa saat di kamarnya. Dia mustahil melupakan tubuh telanjang yang sempurna itu walau terasa masih pentil. Dia menduga-duga, kemungkinan gadis kecil itu adalah orang yang selama ini dicari-cari nenek untuk menemani dan membantu merawatnya. Tapi Wiguna ragu. Soalnya abg cantik itu tidak terlihat seperti pembantu.

Akhirnya, setelah beberapa lama termenung, dia pergi ke ruang makan dan menemukan neneknya sudah menyiapkan sarapan pagi.

Wiguna merasa ikut bahagia saat melihat pancaran wajah sang nenek yang sumringah. Sambil melayani sang cucu sarapan pagi, sang nenek kemudian bercerita bahwa dia sudah menemukan orang yang tepat, yang akan menemani dan merawatnya selama Wiguna berada di Jakarta untuk bekerja. Seperti biasa neneknya bercerita dengan cara yang tidak runut dan meloncat-loncat. Wiguna sudah lama tahu neneknya mengalami gejala parkinson dan karena itu dia hanya tersenyum saja meng-i ya-kan. Baginya, neneknya bisa tersenyum bahagia seperti itu, itu sudah lebih dari segalanya.

Sementara itu si abg itu selalu menunduk setiap kali lewat membawakan sesuatu makanan atau minuman. Meski pun agak ganjil, tapi Wiguna merasa itu bukan masalah.

Si abg itu sangat rajin dan cekatan. Kakinya yang panjang itu seperti bergerak ke sana ke mari tanpa bisa dihentikan. Tanpa disuruh, si abg itu mencuci mobilnya dengan sangat giat. Padahal baru kemarin mobil itu dicuci oleh Mang Usep. Tapi Wiguna tidak ambil peduli, soalnya si abg itu sepertinya mengetahui secara persis letak tempat-tempat yang paling kotor di beberapa bagian mobilnya. Abg itu seperti tak canggung dengan mobilnya. Hasil cuciannya, bahkan sepuluh kali lipat lebih bersih dan lebih baik dari Mang Usep, yang dibayar 25 ribu rupiah sekali nyuci. Terutama pembersihan di bagian dalam interior mobil.

Tapi sampai siang menjelang, dia belum secara “resmi” berkenalan dengan abg itu. Bahkan namanya pun Wiguna belum tahu.




8



Siang agak mendung ketika Anastasia Endang Putri memasuki jalan raya Malangbong, Garut. Sepanjang jalan itu dia tidak menemukan hotel atau resort yang memenuhi seleranya. Berkali-kali dia membatalkan keinginannya menelpon pegawai baru itu. Walau di smartphone-nya dia sudah memperoleh nomor telepon dan alamat rumah pria itu dari Ida Mariana, sekertaris perusahaan yang serba tahu, tapi Putri masih merasa ragu.

Dia tak menemukan satu pun alasan yang tepat mengapa dia berkunjung ke rumah pegawai baru itu tanpa menimbulkan salah sangka atau menghasilkan pertemuan yang tidak alamiah. Dari cerita Dewi dan Ningrum, jelas sekali kalau pria yang satu ini berbeda dengan semua jenis type pria yang diketahuinya.

Sungguh dia merasa sangat bodoh dengan semua yang dilakukannya saat ini. Dia hanya melihat satu kali saja pria itu, itu pun sekilas dan dari kejauhan, mengapa dia kesengsem untuk mengenalnya dan menemuinya di luar wacana perusahaan? Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, ada apa dengan dirinya?

Pertemuan singkat dengan Papanya sore itu sebetulnya boleh dikata pertemuan bisnis yang menjemukan. Bahwa Papanya meminta dia untuk menjajagi kemungkinan membangun perusahaan baru di bidang pemanfaatan sumberdaya alam gas yang ada di Jawa Barat. Saat itu, Putri merasa tidak antusias karena sebenarnya mereka sudah memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang distribusi gas LPG. Putri tidak menyukai bisnis ini karena mafianya sudah terlampau banyak. Terutama mafia yang bercokol di parta-partai pemerintah. Sangat sulit untuk menembusnya. Bahkan seandainya Bang Juli menjadi anggota DPR pun belum tentu dia kebagian jatah pengelolaannya. Mereka hanya bisa memunguti remah-remah bisnis hilirnya saja berupa kuota pendistribusian tabung 3 kg. Itu pun cuma dapat 3000 kg/bulan, hasil ngemis-ngemis lagi.

Walau keuntungannya tetap menetes seperti kran bocor, namun jumlahnya sangat kecil sekali. 600 ribu rupiah per bulan bersih untuk sekaliber anak perusahaan PT. Cahaya Bintang Timur Group, sungguh merupakan lelucon. Tapi Papa memliki insting bisnis sendiri yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus diimplementasikan secara teknis oleh Putri sebagai Direktur Perencanaan, Keuangan dan Pengembangan Bisnis.

Bagi Putri, keuntungan bisnis mereka di bidang retail, tidak selayaknya dikembangkan untuk bisnis pengelolaan sumber daya alam, resikonya terlalu berat dan para pemainnya adalah raksasa-raksasa konglomerat dan para politisi kelas kakap nasional. Lagi pula, dia tak begitu paham soal sumber daya alam ini. Alangkah baiknya jika Papa mau mendengarkan usulannya untuk mengembangkan dan menginvestasikan keuntungan bisnis retail mereka ke bisnis property yang lebih aman.

Tetapi Papanya malah mengatakan bahwa bisnis property itu lebih “haram jadah” ketimbang bisnis lainnya.

Dia ke luar dari ruangan Papa dengan wajah murung. Dalam waktu dekat, dia diharuskan meninjau dan mengamati dari dekat potensi pengembangan Gas Alam di Kawah Kamojang yang terletak di Kabupaten Garut. Apalagi ketika dia disuruh pergi dengan direktur operasional, Andreas Sutono Hadi. Sungguh dia merasa muak dengan penjilat seribu muka itu, yang selalu menatapnya dengan tatapan mesum.

Cuih! Meskipun memeknya gatal tak karuan juga tak sudi dia disentuh lelaki itu. Jijik. Lelaki itu memang tampan dan kulitnya putih bersih, tapi entah mengapa bau badannya bikin dia seperti ingin muntah. Walau sudah disiram satu ember minyak wangi dari Paris sekali pun, bau badannya yang asli nyinyir itu, mustahil hilang.

Satu hal saja yang membuat Putri merasa sedikit terobati sore itu ketika ke luar dari ruangan Papa, Bu Ida memberinya dua nama yang bisa membantunya untuk melakukan pra-peninjauan ke Garut. Yakni, seorang pegawai senior yang tinggal di Bandung dan satu lagi, pegawai baru itu yang rumahnya ternyata memang berada di Garut.

Putri kemudian meminta Bu Ida mengontak pegawai baru itu untuk menghubungi Putri. Beberapa menit kemudian Bu Ida memberinya laporan bahwa pegawai baru bernama Gugun itu mematikan telponnya.
“Mungkin karena dia sedang di jalan, Bu. Biar nanti saya chat dia, agar menghubungi Ibu, sekalian saya izin, Bu, apakah boleh saya mengirim nomor Ibu ke pegawai itu?”

Putri sebenarnya sangat senang dengan hal itu. Tapi dia pura-pura berpikir agak lama.
“Emm, ya sudahlah. Kirim aja. Sekalian nomor kontak dia dan alamat jelasnya di Garut kirim ke saya.”
“Baik, Bu.”

Sesore suntuk itu, ketika Putri berada di ruang kerjanya, kepalanya tak habis-habis memikirkan satu kalimat untuk mengirimkan chat WhatApps kepada pegawai baru itu. Puluhan kali dia mengetikkan kata, puluhan kali itu dia menghapusnya. Bahkan ketika Putri pulang ke rumah, pikiran itu tak hilang-hilang juga.

Akhirnya, pagi itu, ketika dia terbangun dan merasa kesepian, dia meloncat dari ranjang mewahnya dan mandi kilat. Tanpa perlu berdandan terlebih dahulu, dia mengenakan kaos polos dan celana pendek katun yang nyaman dan praktis, seperti tanpa sadar tahu-tahu dia sudah duduk di belakang stir Chevy D-Cabnya dan berlari dengan kecepatan 100km/jam di jalan tol menuju Bandung tanpa memusingkan apa yang akan dan harus dilakukannya.

Dia hanya merasa dadanya sesak oleh beban kehidupan yang sunyi tanpa arti. Dia hanya tak tahu bagaimana cara memuntahkan semuanya itu.





9



Putri berhenti di sebuah rumah makan yang agak besar dengan halaman yang bersih.
“Ini dia daerah Malangbong.” Pikir Putri. Dari share lokasi yang dikirim Bu Ida, rumah si pegawai baru itu letak sekitar 2 atau 3 kilometer dari rumah makan itu.

Dia turun dari mobil dengan memakai sendal jepit tua yang sudah terlalu lama tak dipakainya, rambutnya sedikit kusut dan wajahnya yang putih itu bersih dari make up, bahkan bibirnya yang tipis itu tampak agak pucat tanpa polesan lisptik apa pun. Meski pun demikian, pesona kecantikan wanita 33 tahun itu sedikit pun tidak pudar. Bahkan boleh dikata, tanpa make up dan riasan lainnya, Putri justru tampak tampil alami.

Itulah yang menyebabkan sejumlah pria yang ada di dalam rumah makan itu menoleh ke arahnya.

Putri tak perlu merasa tidak percaya diri. Dia tahu, dia tidak akan bertemu siapa pun kolega Papa atau rekan yang setara di dalam perusahaan. Andai pun bertemu, dia tak perlu malu karena dia sedang berlibur. Perasaannya saat itu setenang lautan Pasifik, sampai dia menemukan pegawai baru itu sedang berbincang dengan seorang lelaki setengah baya sambil menunggu pesanan makanan.

Jantung Putri seperti berdentam dengan keras!

Dia setengah panik untuk pergi kembali ke mobilnya dan merias wajahnya dengan beberapa polesan agar tampil lebih baik dan agar menimbulkan kesan positif di mata si pegawai baru itu. Tapi segalanya berlangsung dengan cepat dan Putri terlambat untuk melakukan penyelamatan penampilannya. Seorang pelayan mendekatinya dan lelaki itu pun menoleh ke arahnya karena lawan bicaranya, lelaki setengah baya itu, menatap ke arah Putri seperti tak berkesip.

“Si-sial!” Keluh Putri dalam hati.

Lelaki itu menyilet Putri dengan tatapannya yang lembut dan tajam. Dia bahkan tersenyum dengan sangat simpatik. Putri merasa panik. Dia merasa jelek dan polos. Apa maksudnya pegawai baru itu tersenyum kepadanya? Jangan-jangan dia sedang mencari muka.

Dia merasa rikuh ketika pelayan itu membawanya ke sebuah meja kosong yang terletak di samping meja si pegawai baru itu. Si pelayan kemudian menawarkan menu makanan yang tersedia di rumah makan itu. Sumpah demi Tuhan, Putri tak ingin menu makanan itu. Dia hanya ingin si pegawai baru itu mendekatinya dan memohon kepadanya untuk bergabung menemaninya makan siang.

Tetapi tentu saja Putri tak sanggup mengatakan apa pun. Dia hanya merasa sangat bodoh.

Seandainya perutnya tidak benar-benar lapar, Putri mungkin tidak akan sanggup menelan nasi dan ayam bakar pesanannya. Jantungnya terus berdentam-dentum dan ujung matanya tak bisa dihentikan mencuri-curi pandang pegawai baru itu. Kebetulan letak duduknya di samping meja si pegawai baru itu, sehingga Putri bisa cukup bebas melihat wajah gantengnya yang simpatik.

Sekilas terlintas dalam kepala Putri untuk memperkenalkan diri kepada pegawai baru itu dan menjelaskan bahwa dia adalah Direktur Perencanaan, Keuangan dan Pengembangan Bisnis PT. Cahaya Bintang Timur Group di mana si pegawai baru itu bekerja mencari uang.

Tapi entah mengapa dia merasa sangat konyol jika melakukan hal tersebut.

Dia malah diam-diam ikut mendengarkan pembicaraan si pegawai baru tersebut dengan si lelaki setengah baya itu. Dari pembicaraan yang didengarnya secara diam-diam itu, Putri mengetahui jika si pegawai baru itu mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada si lelaki setengah baya yang telah menolong Neneknya yang jatuh di kamar mandi. Si pegawai baru itu menjelaskan bahwa ke depan hal itu takkan terjadi lagi karena kini Neneknya sudah ada pembantu yang akan merawat dan menjaganya.

Putri ingat bahwa Dewi mengizinkan si pegawai baru itu pulang lebih cepat untuk urusan keluarga ini, rupa-rupanya karena Neneknya sakit dan dia mencarikan perawat untuk menjaga Neneknya.
“Kalau tidak ada insiden neneknya jatuh, dia pasti akan bekerja seperti biasa. Hm, berarti nenek si pegawai baru itu tentulah satu-satunya keluarga dia, kalau tidak, bagaimana mungkin dia begitu khawatir? Selain itu, pastilah si pegawai baru itu belum punya istri atau pacar di kotanya ini, sehingga dia tak perlu repot-repot mencari perawat.” Pikir Putri menduga-duga.

Selama makan, Putri berpikir keras, bagaimana caranya dia bisa berkenalan dengan si pegawai baru itu secara alami, tanpa membawa embel-embel direktur dan nama perusahaan. Tapi sampai habis makanannya, otaknya yang biasanya jenius menemukan berbagai macam solusi permasalahan, entah bagaimana, siang itu rasanya seperti buntu. Tak ada ide apa pun.

“Sial!” makinya dalam hati.





10



Siang itu memang agak mendung, Wiguna sengaja ke luar rumah berjalan kaki, dia bermaksud menuju rumah Pak Mantri Soma. Kebetulan di jalan desa itu mereka berpapasan. Pak Mantri Soma baru pulang dari Puskesmas Desa. Setiap Sabtu, Puskesmas hanya buka setengah hari oleh karena itu mereka bisa berpapasan di jalan desa.

Wiguna menggapai-gapaikan tangan untuk menghentikan laju kendaraan Honda Win Pak Mantri dan langsung mengajaknya ke rumah makan yang terletak di pertigaan jalan raya Malangbong dan jalan desa. Jaraknya pun hanya 500 meter saja dari titik di mana mereka berpapasan.

Semula Pak Mantri menolak karena merasa rikuh dan sedikit malu. Wiguna memaksanya sehingga akhirnya pergi juga ke rumah makan milik Pak Iwan Kurniawan itu. Sambil menunggu pesanan makanan datang, mereka berbincang ringan.

Saat sepasang mata Pak Mantri Soma melotot tajam ke arah pintu masuk rumah makan, Wiguna merasa penasaran. Dia pun menoleh dan menemukan wanita cantik itu seperti kebingungan. Wajahnya polos tanpa riasan. Wiguna tersenyum kepada wanita cantik itu dan berharap ada anggukan ramah atau apa pun bahasa tubuh yang bisa membuatnya memiliki alasan untuk menyapa wanita itu.

Usianya lebih tua beberapa tahun dari dirinya. Wiguna menduga usia wanita itu sekitar 30 atau lebih sedikit, mungkin 32 atau 33.

Selama setengah detik tatapan mereka bertemu. Wanita itu berpaling dan memesan makanan. Tetapi bagi Wiguna, cukup dengan setengah detik saja, ya cukup hanya dengan setengah detik saja, dia sanggup merasakan bagaimana wanita cantik yang anggun dan tampaknya keras hati itu sedang mengalami penderitaan yang tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata. Dia mungkin seorang wanita yang kaya raya, seorang istri pengusaha atau istri pejabat tinggi pemerintahan. Atau mungkin wanita itu adalah pengusaha sukses yang mandiri. Semuanya mungkin.

Tapi satu hal yang pasti, wanita itu kesepian!

Wiguna ingin berkenalan dengan wanita itu tapi dia yakin wanita itu tidak ingin berkenalan dengannya. Sebab wanita itu memiliki keangkuhan hati setinggi langit. Dari cara makannya yang sendirian itu, jelas sekali di mata Wiguna bahwa wanita itu tidak mau diganggu.

Harapan Wiguna satu-satunya untuk mengenal wanita itu adalah dengan dugaannya bahwa wanita itu kemungkinan besar tidak membawa uang cash.

Wiguna tersenyum kepada dirinya sendiri. Melihat dompet kecil, kunci mobil dan smartphone yang diletakan Wanita itu di meja, Wiguna yakin itu cuma berisi kartu kredit dan kartu ATM serta kartu-kartu lainnya, tapi bukan uang cash.

Oleh sebab itu ketika HP jadul Pak Mantri Soma berdering kemudian dia minta maaf harus pergi, Wiguna dengan senang hati membiarkannya pergi. Dia sendiri meneruskan makannya dengan santai sambil menunggu wanita itu selesai makan.

Tepat seperti dugaannya, ketika wanita itu selesai makan dan dia hendak membayar, dia menyerahkan kartu kreditnya dan pelayan rumah makan pun kebingungan. Pelayan itu kemudian memanggil Pak Iwan, pemilik rumah makan, yang kemudian ke luar dan menjelaskan kepada wanita itu bahwa rumah makan mereka walau cukup besar tapi tidak menerapkan sistem pembayaran dengan kartu kredit.

Mereka terlibat semacam perselisihan kecil saat Wiguna mendekat dan mengatakan pada Pak Iwan, “sudah, Pak, biar saya bayarin. Selesai kan urusan?”
Pak Iwan tersenyum, “kalau Cep Gugun sudah turun tangan, ya sudah, semua urusan pasti selesai.”

Wiguna tertawa kecil, “Pak Iwan terlalu berlebihan.” Katanya. Wiguna kemudian membayar harga makanan yang dia makan bersama Pak Mantri Soma dan wanita itu.

Sebetulnya, dalam hati, Wiguna ingin sekali menoleh ke arah wanita itu, tersenyum kepadanya sambil berkata, “mana dong terimakasihnya?”

Tapi tidak. Wiguna tahu tidak ada gunanya meminta ucapan terimakasih dari wanita tinggi hati yang kaya raya itu. Apalagi untuk 35 ribu rupiah yang kemungkinan besar di mata wanita itu hanyalah receh yang tak berarti.

Oleh sebab itulah, setelah membayar, Wiguna langsung ngeloyor pergi tanpa mempedulikan wanita itu berkata, “tunggu.” Katanya dengan suara gemetar. Kemudian wanita itu mengulangi kalimatnya dalam jeda waktu setengah detik, kali dengan berteriak, “tunggu sebentar!”

Wiguna merandek, menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan badan. Tapi apa yang terjadi kemudian?

Sekonyong-konyong wanita itu seperti berlari ke arah dirinya dan tanpa basa-basi langsung menyeruduknya. Wiguna terpaksa memeluknya.
“Oh, Tuhan! Lembut dan harumnya tubuh wanita cantik ini.” Keluh Wiguna dalam hati.

Saat memeluk wanita itu, tampak sepasang matanya terpejam. Bibirnya yang tanpa lipstik itu membuat otak Wiguna setengah sinting. Andai saja dia tak sanggup menahan akal warasnya, sudah dikecup dan dilumatnya bibir yang merangsang itu.






11



Putri merasa sebal ketika pelayan itu kebingungan menerima kartu kreditnya. Pelayan itu kemudian memanggil pemilik rumah makan dan akhirnya mereka terlibat perselisihan kecil yang tidak lucu. Putri merasa malu seakan-akan dia datang ke rumah makan itu, dia tak sanggup membayar dan ingin makan gratisan. Apalah artinya uang 35 ribu rupiah dibandingkan dengan uang milyaran dalam rekeningnya yang terus bertambah beberapa puluh juta setiap bulan dari berbagai keuntungan perusahaan?

Putri ingin mendamprat pemilik rumah makan itu yang hanya menerapkan sistem pembayaran cash sebagai kampungan, kuno, jadul dan segala jenis abrakadabra keterbelakangan teknologi. Tapi jika dia melakukan hal itu, dia yakin si pegawai baru tentu akan memandang dirinya sebagai perempuan pemarah, cerewet dan mau menang sendiri. Putri tidak mau itu terjadi. Dia ingin si pegawai baru itu melihatnya sebagai wanita biasa, yang memiliki perasaan lembut, yang ingin disayang, yang ingin didampingi dengan kasih sayang, yang ingin…

Tiba-tiba saja si pegawai baru itu datang mendekat. Jantung Putri seperti meledak oleh agitasi pesona kejantanannya yang menyengat. Bau tubuhnya adalah bau kayu cendana yang menenangkan dan memabukan. Putri merasa dirinya menjadi srigala betina yang menggeram tanpa suara dan ingin menerkam pria itu tanpa basa-basi lagi.

“Sudah Pak, biar saya bayarin.” Kata si pegawai baru itu dengan suara bassnya yang bikin telinga Putri merinding. Si pegawai baru itu kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari saku celana pendek cargonya dan membayar harga makanan, “Selesai kan semua urusan?”

Pemilik rumah makan itu tersenyum senang.
“Kalau Cep Gugun sudah turun tangan, ya sudah, semua urusan pasti selesai.” Katanya dengan nada gembira.

Si pegawai baru itu tertawa kecil, “Pak Iwan terlalu berlebihan.” Katanya sambil menyerahkan uang sepuluhan ribu terakhir. Dia kemudian membalikkan badan dan melangkahkan kakinya menuju pintu ke luar rumah makan itu.

Putri sejenak terkesima.

Dia merasa marah dan tersinggung karena kehadiran dirinya seolah-olah tidak dianggap. Namun di sisi lain dia juga merasakan suatu perasaan senang yang aneh, yang merayap muncul dalam hatinya secara diam-diam. Bahwasannya, ternyata si pegawai baru itu sama sekali tidak mengenal dirinya. Si pegawai baru itu tidak mengenal boss-nya sendiri!

“Si-sial, ini kebetulan sekali.” Pikirnya.

Padahal divisi IT berada di bawah arahannya langsung. Soalnya, di bawah direktur Perencanaan, Keuangan dan Pengembangan Bisnis terdapat beberapa divisi, di antaranya divisi IT yang menangani Pelaporan, Pengawasan dan Pemeliharaan System Informasi Manajemen serta Pengawasan Database Produk.

Selama 3 bulan terakhir ini, Putri akui dia belum sempat “turun ke bawah” untuk memberikan suntikan motivasi kepada para bawahannya walau rapat dengan para manajernya selalu rutin dilaksanakan setiap minggu pada hari Senin.

Dalam hitungan sepersepuluh detik, dia menghilangkan seluruh keterkesimaannya dan berkata dengan suara agak gemetar, “tunggu!” katanya, “tunggu sebentar!” kali yang kedua ini setengah berteriak.

Si pegawai baru itu sudah mengeloyor dalam jarak 5 langkah, Putri dengan cekatan segera mengejarnya. Langkahnya setengah berlari dan terburu-buru, namun ada satu hal yang tidak diperhitungkan Putri, yaitu sandal jepitnya.

Putri lupa kapan dia membeli sandal jepit itu, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu. Tapi dia ingat membelinya di Ancol, dari seorang pedagang asongan. Putri juga lupa secara persis kegiatan apa waktu itu yang diikutinya, dia hanya ingat sepatu pantofelnya tidak nyaman dipakai di pasir, jadi dia membeli sandal jepit itu dari pedagang asongan yang datang menghampirinya.

Sandal jepit itu sudah cukup uzur untuk ukuran sebuah sandal, wajar saja jika pada bagian ujung plastik di mana jempol dan telunjuk kaki menjepit, sudah robek sedikit.

Tadi pagi dia sembarangan saja mengenakan sandal jepit itu, sebab dia pikir di dalam mobil ada beberapa sepatu dan sandal lain yang tergeletak di lantai mobil di kursi belakang, yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menggantikan sandal jepit itu jika perlu.

Tapi pada saat dia memburu si pegawai baru itu, faktanya bahwa dia memakai sandal jepit tua itu. Pada langkah pertama yang cepat dan menyentak, robekan ujung plastik itu melebar, pada langkah ke dua, ujung plastik itu putus, pada langkah ke tiga, Putri kehilangan keseimbangan, pada langkah ke empat Putri terhuyung-huyung siap-siap jatuh, pada langkah ke lima dia menyelonong dan menyeruduk si pegawai baru itu.

Putri menabrak si pegawai baru dengan tangan menggapai-gapai untuk mencari keseimbangan. Sayangnya bukan keseimbangan yang Putri dapat, tapi sepasang pundak yang kokoh dan leher yang kuat. Lalu mendadak saja sepasang lengan yang hangat melingkar di pinggangnya, mencekalnya ketat seakan-akan memeluknya dengan erat. Keningnya menyundul hidung si pegawai baru itu, sedangkan hidungnya sendiri menanduk dagu lelaki itu.

Sementara itu, sepasang payudaranya yang hanya dilindungi singlet tipis (Putri jarang memakai Breast House alias BH karena merasa toketnya kecil) dan selembar kaos polos yang juga tipis, secara bersamaan menusuk dada bagian bawah si pegawai baru itu.

Tetapi yang paling mengejutkan dan membuat Putri merasa “shock” nan sangat nikmat adalah ketika paha si pegawai baru itu tahu-tahu berada di antara dua kaki Putri yang entah bagaimana bisa terbuka. Kedua paha Putri seakan-akan menjepit paha si pegawai baru itu. Sehingga secara otomatis “putri kecilnya yang cantik dan pemalu” yang terletak di tengah-tengah selangkangannya, sedemikian persisnya mencium paha kokoh yang berbulu tipis namun lembut itu. Sedangkan “kacang mungil”nya yang berada di balik celana pendek katunnya, yang sedang kuncup tertidur, tiba-tiba saja mekar terbangun karena gesekan dan sentuhan itu.

Hidung Putri menyesap keringat lelaki itu yang memiliki aroma kayu cendana.

Dalam keadaan terbuai di dalam pelukan hangat disertai bau aroma kejantanan yang menyengat, Putri sadar bahwa dia telah terjerumus ke dalam rasa nikmat yang tak tertahankan.

Crit. Crit.

Dua buah cipratan aneh menjepret seperti tali busur tanpa anak panah, yang dipentang dan dilepaskan dengan seketika oleh gendewa berbentuk elips di tengah-tengah selangkangannya.
“Ya Tuhan.” Keluh Putri dalam hatinya. “Enak banget!”

Selama dua detik Putri seperti merasa pingsan. Melayang. Matanya terpejam sejenak. Ini adalah dua detik terindah sepanjang hidupnya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd