Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI CINTA DUA DUNIA

Status
Please reply by conversation.

Sumandono

Tukang Semprot
Daftar
7 Nov 2019
Post
1.148
Like diterima
20.099
Lokasi
Bandung
Bimabet

DISCLAIMER & WARNING

DISCLAIMER

Yang anda baca ini adalah karya fiksi.

Semua nama, karakter, bisnis, tempat, peristiwa, ormas, institusi pemerintah/swasta serta berbagai rangkaian kejadian dalam cerita ini sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Kemiripan apa pun dengan orang yang sebenarnya, hidup atau mati, atau dengan peristiwa faktual yang terjadi dalam keseharian, merupakan murni kebetulan.

WARNING
Konten cerita mengandung adegan eksplisit seksual dan kekerasan, tidak ditujukan untuk pembaca di bawah umur.

UPDATE SAMPAI TAMAT
Kali ini tak ada janji untuk update setiap hari, tapi akan diusahakan konsisten minimal seminggu sekali, sampai cerita ini mendapat titel tamat.

KOMENTAR
Komentar bebas, seperti biasanya. Boleh berupa kritik, saran, caci maki atau apa pun. Terserah. Setiap komen yang menarik, akan ane kasih cendol dan ane tanggapi sebagai reward.

Buat beberapa reader di sini yang kenal ane di RL, mohon dengan sangat untuk tidak berisik.

SINOPSIS CERITA
Kisah ini menceritakan sekelumit kehidupan seorang laki-laki bernama Wiguna Mahendra Brata yang penuh lika-liku, misteri dan tragedi.
Dia berusia 25 tahun, lahir di Bandung, tinggal bersama neneknya di Garut dan bekerja di Jakarta. Memiliki tinggi badan 178 cm berat 80 kg, wajah menarik dan sikap yang lembut.
Salah satu keistimewaan Wiguna adalah dia memilik bau badan yang mirip bau kayu cendana yang membawanya ke berbagai petualangan asmara.

SEMONGKO
Selamat membaca!






 
Terakhir diubah:
CINTA DUA DUNIA



Bagian Satu
1


Hari itu Jum’at sore di awal April 2016. Wiguna Mahendra Brata, seorang pria berwajah simpatik berusia sekitar 25 tahun, menyelesaikan pekerjaannya lebih awal dari biasanya. Dia menggeliat di kubikelnya lalu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia menggerak-gerakkan badannya setengah lingkaran ke kiri dan ke kanan seperti sedang melakukan salah satu gerakan senam.

Manajernya, Magdalena Puspa Dewi, yang duduk di balik meja besar dengan furniture kelas satu, di dalam ruangan berpartisi paduan kaca dan alumunium, bisa melihat tingkah lelaki itu. Seketika wanita cantik berkulit putih bagai susu itu berdesir hatinya. Bagaimana pun, salah satu staffnya ini, yang baru bekerja kurang lebih 2 bulan di perusahaan milik Papanya, memiliki kharisma kelelakian yang kuat dan aroma kejantanan yang menyengat. Dewi menggigit bibirnya menahan khayalannya yang liar. Tak terasa, pucuk celana dalamnya mendecit lalu meleleh.

“Gile bener, jadi basah gue.” Keluhnya.

Lelaki itu kemudian ke luar dari kubikelnya. Melangkah tenang menuju ruangan Dewi, yang secepat kilat menundukkan kepalanya menekuni beberapa berkas yang sebetulnya tidak penting.

“Misi, Bu.” Kata lelaki itu di ambang kusen alumunium tak berpintu. Dewi pura-pura tidak mendengarnya. Dia tengah memikirkan sesuatu untuk bahan pembicaraan, sehingga dia bisa menahan lelaki itu lebih lama di ruangannya.

“Permisi, Bu!” kali ini suara basnya ditekan lebih keras.

Dewi mendongak, pura-pura kaget. Sengaja dia membuka setengah mulutnya dan memperlihatkan ujung lidah merahnya yang menggoda, seakan-akan dia merasa terkejut sekaligus bengong.

“Gugun, kamu apaan sih? bikin kaget aja.” Gerutu Dewi dengan nada terdengar kesal.
“Maaf.” Suara lelaki itu terdengar mendengung pelan, merasa bersalah.
“Ada apa sih? Duduk dulu situ.” Bentak Dewi dengan suara sangat lembut.
“Saya cuma sebentar, Bu, mau izin pulang.”
“Ini baru jam 3, sedangkan jam kerja sampai jam 5, kamu juga tahu kan?”
“I ya, Bu. Makanya saya datang mau minta izin.”
“Duduk dulu, aku beresin berkas laporan ini sebentar.”

Dewi membolak-balik berkas tersebut yang sebenarnya sudah selesai ditelitinya sejak tadi. Dia lalu menandatangani dan meraih telpon internal yang terletak di mejanya.

“Mang Usep sini cepet.” Katanya di telpon jadul berwarna merah, dengan nada tidak sabar. Tak berapa lama, dari ujung ruangan, seorang lelaki setengah baya berjalan tergesa.
“I ya, Non.” Katanya setelah tiba di ambang pintu, Mang Usep berdiri di pinggir Wiguna yang biasa dipanggil Gugun.
“Ini anterin ke ruangan Direktur.” Katanya sambil menyodorkan berkas itu, “Gugun, kenapa kamu enggak mau duduk?”
“Saya…” Gugun tak melanjutkan kalimatnya, soalnya mang Usep menyenggolnya dengan keras untuk menjangkau berkas yang diangsurkan oleh Dewi.

Lelaki itu menyengir saat sekali lagi Mang Usep menyenggolnya kembali dan berlalu dengan cepat meninggalkan ruangan itu.

“Kamu ngapain sih mau cepet-cepet pulang? Janjian sama pacar ya? cie cie…” Kata Dewi sambil ke luar dari meja kerjanya, lalu duduk menjatuhkan diri ke sofa tamu yang terletak di depan meja kerjanya. Saat duduk menjatuhkan diri itu, Dewi sengaja membuka sedikit ke dua lututnya untuk pamer paha mulus putihnya yang dia yakini akan menggoda siapa pun lelaki normal yang melihatnya.

Tetapi lelaki yang satu ini seperti memalingkan pandangannya ke arah lain.
“Sa-saya, ada perlu, Bu.” Kata Gugun sambil tetap berdiri. “Tapi bukan janjian sama pacar.”
“Duduklah dulu kenapa sih? Mau dibikinin kopi enggak?”
“Bu…”
“Aku bilang duduk dulu, bandel amat sih!”

Wiguna Mahendra Brata seperti tak berkutik, dia akhirnya duduk di sofa persis berdepan-depan dengan gadis cantik yang menjadi bos-nya itu.

Namun sofa itu agak pendek bagi sepasang kaki Wiguna yang panjang dengan dengkul yang mancung. Dia mengenakan celana jeans ketat yang membuatnya kurang nyaman duduk di sofa, karena bagian tengah selangkangannya jadi tampak menonjol ketat. Sepertinya sesuatu di balik celananya itu memang sangat nakal dan sukar dikekang. Tetapi Dewi menyukai pemandangan itu.

“Nah, gitu dong. Jadi kan enak ngelihatnya. Eh, berarti kamu udah punya pacar ya?”
“Ehm. Sebetulnya belum, Bu. Tapi saya kira itu bukan topik pembahasan.”
“Sorry, Gun, aku enggak bermaksud kepo. Oke, begini, nanti malam ada acara makan malam dengan Gubernur DKI, perusahaan kita diundang dan Direktur menyuruh aku mewakili beliau. Kamu mau kan nemenin aku ke sana?”
“Aduh, Bu, makasih banget. Ibu sangat baik, saya jadi merasa tersanjung. Tapi saya harus pulang, ada urusan keluarga.”
“Emang di tempat kos-an kamu ada acara nikahan apa?”
“Maaf, Bu. Maksud saya, bukan pulang ke tempat kos-an. Tapi pulang ke rumah, ke Garut.”
“Oh, begitu. Ke garut ya? Kamu memangnya asli orang Garut?”
“Saya asli Bandung, Bu. Tapi tinggal di Garut.”
“Kapan kamu mau berangkat?”
“Sekarang juga, Bu.”
“Sekarang juga? Maksudnya?”
“Ya, sekarang. Begitu Ibu mengizinkan, saya langsung pergi ke tempat parkir dan langsung cabut.”
“Aduh, cabut ya? Koq langsung maen cabut aja.” Kata Dewi dengan ekspresi wajah yang sangat-sangat nakal. “Entar penasaran dong.”


“Ya ampun ibu…”


“Kamu pangil ba-bu-ba-bu aja dari tadi, ngeselin tahu dengernya.” Dia tersenyum manis kepada Gugun, “aku izinin kamu pulang, asal selanjutnya kamu jangan panggil aku ibu, panggil Cici aja. Setuju?”
“Setuju Bu, eh, Ci.”
“Ya udah aku izinin kamu pulang, salam ya buat orangtua kamu di Garut.”
“Makasih, Ci. Udah baik, cantik lagi. Tapi salamnya buat nenek aja ya Ci, soalnya orangtua saya udah meninggal dua-duanya.”

Magdalena Puspa Dewi memerah sejenak pipinya, “ya udah, salam buat nenek ya, semoga sehat-sehat.”
“Akan saya sampaikan, Ci.”

Dewi menatap bokong lelaki itu yang padat dan kuat saat meninggalkan ruangan. Tanpa sadar dia mengusap ujung celana dalamnya dengan geregetan.
“Hhhh…” desisnya gemas kepada dirinya sendiri.


2

Anastasia Endang Putri sedang tertegun di jendela ruang kerja Papanya saat melihat seorang lelaki tinggi ramping melangkahkan kaki dengan tenang dan mantap. Dia merasa tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Rambut lelaki itu kelihatan agak gondrong, kurang terurus. Hidungnya mancung tapi agak besar dan lebar. Pundak dan perutnya rata. Mengenakan celana jeans ketat dipadu dengan kemeja flanel yang lengan panjangnya digulung hingga sikut. Sepatu kulit bertalinya yang semata kaki, nampak seperti memperindah gaya berjalannya yang gagah.

Seperti tanpa berkesip, Putri menatap lelaki itu.

Sepanjang hidupnya yang sudah berlangsung selama hampir 33 tahun, dia sudah mengenal banyak jenis lelaki. Dia menyukai lelaki yang suka humor seperti pacar pertamanya ketika di SMU. Dia juga suka dengan lelaki yang cerdas dan memiliki gagasan-gagasan cemerlang mengenai berbagai hal, seperti pacar keduanya ketika kuliah. Tapi salah satu jenis lelaki favoritnya adalah seorang yang ambisius dan memiliki tekad yang kuat untuk mencapai level teratas, baik di bidang bisnis mau pun politik, seperti Anthony Juliardi Bandring, yang menjadi suaminya sekarang. Tapi itu dulu. Ketika Putri masih hidup dalam angan-angan masa remaja dan masa awal dewasa. Dia menginginkan kekayaan dan kekuasaan. Sebagai anak sulung seorang pengusaha papan atas di Jakarta, dia ingin lebih kaya dan lebih berkuasa dari Papa. Dan pada dasarnya dia dibentuk dan dididik seperti itu. Namun ada satu hal yang mustahil dinafikan oleh semua perempuan di seluruh dunia, yakni kebahagiaan untuk dipenuhi kebutuhan batin-nya. Kebutuhan sex-nya.

Kebahagiaan bukanlah hal besar. Itu adalah hal-hal kecil sehari-hari yang remeh namun menyenangkan. Contoh kecil tapi sangat penting dalam kehidupan rumah tangga adalah kehidupan di atas ranjang. Bagi Putri, seharusnya itu menjadi hal sederhana yang bisa terpenuhi dengan mudah. Putri tahu, Bang Juli sangat mencintainya. Mereka telah menikah selama 10 tahun dan di awal-awal pernikahan semuanya berjalan cukup baik dan indah. Dia menikmati pernikahannya. Bahwa penis Bang Juli hanya sebesar jempol ketika dalam puncak tegangnya, itu tak menjadi masalah. Yang penting bukan ukurannya, tapi gocekannya.

Gocekan Bang Juli beberapa kali membuat Putri lumayan orgasme, sayangnya itu hanya berlangsung selama 6 bulan. Bang Juli yang berbeda usia 10 tahun dengan Putri mengalami masalah dengan penisnya setelah terkena stress karena gagal menjadi anggota DPR. Apalagi setelah Bank miliknya diakuisisi pemerintah karena “kalah kliring” dan mengalami “rush” sebagai akibat dari hilangnya kepercayaan nasabah. Para nasabah berbondong-bondong menarik dana simpanan mereka sementara para kreditur yang meminjam uang, macet melakukan pembayaran bahkan sebagian ada pula yang kabur tak membayar serupiah pun.

Perlahan Bang Juli berubah perangainya. Dia sering mabuk-mabukan dan kalau pulang ke rumah selalu dalam keadaan marah-marah. Dia gagal menjadi suami di atas ranjang dan gagal pula menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Walau Bang Juli tidak jatuh bangkrut karena kehilangan Bank yang merupakan sebagian kecil saja dari kekayaannya, namun dari sisi bisnis, Bang Juli adalah pengangguran. Dia berubah jadi petualang politik yang selalu meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain.

Sejak saat itu, kehidupan Putri hancur dari dalam.

Walau dari sisi karir bisnis, Putri melesat tinggi, namun sebagai perempuan dia adalah manusia yang paling kesepian di seluruh dunia.

Pada saat dia melihat lelaki itu, perasaan sepinya sedang memuncak dan entah bagaimana pikiran itu tiba-tiba muncul dalam kepalanya, Putri membayangkan dirinya sedang memeluk lengan kokoh lelaki itu sambil mengikuti langkah kakinya. Dan Putri merasakan sebuah perasaan nyaman mengaliri seluruh tubuhnya.
“Hhh…” dia mendesah sedih. Hal-hal yang kecil dan indah itu tak mungkin lagi dia dapatkan dari Bang Juli.

Ida Mariana, Sekretaris Hendra Adi Putro, Ketua Dewan Komisaris PT. Cahaya Bintang Timur Group, mengawasi Putri secara diam-diam. Dia kemudian berdiri dan mendekati salah satu anak boss-nya itu.
“Maaf, Bu Putri, Pak Hendra Adi Putro rapatnya kelihatannya masih lama. Mau saya bikinkan minuman…” Ida Mariana ikut berdiri di ambang jendela, dia mengikuti arah tatapan Putri.
“Tak perlu, Bu Ida.” Potong Putri pendek dan getas.

Ida Mariana sudah 10 tahun bekerja di PT. Cahaya Bintang Timur ini, boleh dikata dia adalah pegawai paling senior di perusahaan. Dia sudah sering berinteraksi dengan anak-anaknya Pak Hendra yang merupakan salah seorang pendiri perusahaan. Wajar jika Ida Mariana mengenal betul watak anak sulung Pak Hendra ini yang keras, pendiam dan ambisius. Dari jendela itu, dia juga melihat lelaki itu tengah berjalan dengan tenang dan tegap.

“Dia anak IT.” Kata Ida seperti berbisik, “stafnya Bu Dewi.”
“Ehm.” Dehem kecil itu adalah sebuah perintah agar Ida melanjutkan informasi berikutnya dengan lebih lengkap.
“Dia baru bekerja 2 bulan, namanya Wiguna. Wiguna Mahendra Brata, biasa dipanggil Gugun. Usianya 25 tahun pada Agustus mendatang. Sarjana manajemen bisnis Unpad. Sebelumnya dia bekerja di PT. Global Mandiri International, sebelum diberhentikan secara tidak hormat jabatan dia adalah manajer.”
“Kenapa? Apa yang dilakukannya?”
“Maksud ibu?”
“Kelihatannya dia bukan seperti lelaki yang gegabah atau serakah, mustahil dia dipecat jika tidak melakukan kesalahan fatal.”
“Kesalahannya adalah tidak masuk kantor selama 6 bulan. Jadi dia otomatis langsung diberhentikan secara tidak hormat.”
“Alasannya?”
“Ada dalam laporan HRD, Bu. Tapi sifatnya rahasia.”
“Tapi Papa tahu?”
“Ya, pasti tahu, Bu. Soalnya, setelah Bu Ningrum memberikan laporan, Pak Hendra langsung memanggil Gugun dan mewawancarainya secara pribadi. Setelah itu, dia langsung diterima kerja dengan gaji yang cukup besar.”
“Hm, begitu ya?”
“I ya, Bu. Setidaknya itulah yang saya tahu.”

Ida Mariana kembali ke mejanya, sementara Putri melihat lelaki itu mendekati sebuah mobil Kijang lama keluaran tahun 90-an warna biru gelap. Ketika lelaki itu tiba di pinggir mobilnya, mendadak Putri melihat Ningrum memburu lelaki itu. Mereka membicarakan sesuatu dan kelihatannya lelaki itu seperti didesak mundur.

Theresia Indah Ningrum adalah Gentleman Killer, Putri tahu persis karakter adik bungsunya itu. Tak pernah ada ceritanya dia ditolak oleh pria yang diinginkannya. Ningrum adalah penggoda sejati. Dia memiliki kecantikan alami yang anggun, kecerdasan yang mengagumkan dan daya pikat kewanitaan yang tak terbantahkan. Putri merasa yakin, lelaki itu pasti akan terperangkap oleh jebakan pikatnya.

Mereka berbicara hampir 5 menit di sana.

Putri tersenyum aneh ketika lelaki itu merapatkan kedua telapak tangannya dan membungkukkan badannya seperti gerakkan ibadah yang sering dilakukan kakek neneknya dari pihak ibu di tempat suci. Setelah itu, lelaki itu kemudian memasuki mobil jadulnya itu. Saat mobil itu melaju pergi, Ningrum masih berdiri mematung. Putri tak bisa melihat ekspresinya karena posisi Ningrum membelakang.

Satu hal yang sungguh tak disangka Putri adalah ketika Ningrum membalikkan badannya. Barulah sekarang Putri tahu jika si bungsu ternyata meneteskan airmata.

Ay, mustahil dia jatuh cinta kepada lelaki itu.

“Bu Putri, bapak sudah selesai rapat. Silakan masuk ke dalam.” Kata Ida Mariana tiba-tiba, membuyarkan pikiran dan dugaan-dugaan Putri yang aneh tentang lelaki itu.


3


Hari menjelang malam saat Wiguna Mahendra Brata ke luar dari tol Cileunyi. Dia membelokkan arah mobil ke kanan, memasuki jalan raya Rancaekek. Setelah melewati jajaran toko-toko penjual senapan angin yang masih buka, dia menemukan jalanan macet karena ada keributan kecil. Seorang kernet minibus elf tengah mengusir seorang penumpangnya yang berbaju kumal dan kotor dari dalam kendaraan. Penumpang itu rambutnya gondrong ikal panjang dengan wajah kotor, dia ditendang oleh sang kernet hingga terlontar ke bahu jalan. Sebuah teriakan dalam bahasa Sunda mengata-ngatai penumpang tersebut bahwa kalau mau naik bis harus bayar, kalau tidak punya uang, sudah jalan kaki saja.

Kejadian itu ternyata tidak jauh dari halaman luas sebuah rumah makan Sunda. Wiguna sempat melihat wajah penumpang itu yang berurai air mata. Meskipun wajahnya sebagian terhalang oleh topi lusuh yang dikenakannya, tapi Wiguna bisa melihat raut kesedihannya yang pilu.

“Bocah malang.” Pikirnya sambil membelokkan mobil ke arah halaman parkir rumah makan. Sejak satu jam lalu ketika melaju di jalan tol, perutnya sudah berkeruyuk-keruyuk minta diisi. Dia ingat bahwa siang tadi dia tidak sempat makan karena ingin menyelesaikan pekerjaan secepatnya. Sepanjang 3 jam lebih perjalanan dari Jakarta, dia hanya asyik menyetir ditemani berbatang-batang nikotin dan 3 kaleng minuman kopi kemasan.

Pagi tadi, ketika Nenek mengabari melalui SMS bahwa dia jatuh di kamar mandi, hati Wiguna langsung merasa tidak tenang. Dia ingin cepat-cepat pulang untuk mengetahui kondisi Nenek yang sebenarnya.

Wiguna tak sempat memperhatikan penumpang lusuh yang mengenakan sweater dan celana jeans yang berlepotan kotoran tanah dan debu itu sedang mengamatinya dengan tajam. Usia anak itu mungkin 13 atau 14 tahun. Mungkin juga kurang. Penampilan bocah itu mirip seperti pengamen jalanan yang sering dia temukan tak jauh dari kantor tempatnya bekerja. Wiguna bukan tidak merasa simpati kepada bocah itu. Kepalanya sendiri sudah ruwet dan dipenuhi seribu satu masalah dan kekhawatiran. Lagi pula saat itu dia benar-benar kelaparan.

Dia memasuki rumah makan itu untuk ikut kencing dan cuci muka lalu memesan makanan khas sunda kesukaannya. Sejenak sempat juga Wiguna melihat bocah malang itu mengelilingi mobilnya dan mengamat-amatinya seperti mencari sesuatu. Di keremangan lampu-lampu jalanan dan lampu penerangan halaman parkir rumah makan, Wiguna merasa tingkah bocah itu memang agak aneh tapi tidak cukup untuk dikatakan membahayakan. Dia sudah mengunci pintu mobil dengan baik, lagi pula di dalam mobil tak ada barang berharga yang bisa dicuri selain itu ada tukang parkir yang berjaga di sudut kiri rumah makan sambil berjualan rokok. Jadi ketika hati kecil Wiguna menyiratkan suatu kecurigaan, dia segera menafikannya dan mengatakan hal itu terlalu berlebihan.

Maka dia pun makan dengan tenang dan lahap. Selesai makan, untuk berjaga-jaga kalau-kalau di rumah Neneknya belum masak, dia membeli sebungku pepes ayam kesukaan nenek, tempe dan tahu goreng serta nasi satu bungkus.

Jam digital di dashboard menunjukan pukul 19.01 ketika Wiguna duduk di belakang stir dan meletakan kantung kresek berisi makanan di kursi belakang. Pada saat menyimpan makanan di kursi belakang itu, hidung Wiguna seperti mengendus bau langu kain lap yang berbulan-bulan tidak dicuci. Dia merasa aneh karena tidak pernah merasa memiliki kain lap yang kotor dan bau di dalam mobilnya. Namun dia menduga dalam hatinya, mungkin Mang Usep meninggalkan lap kainnya secara tidak sengaja ketika tadi siang disuruh mencuci mobil di halaman parkir samping kantornya.

“Sudahlah.” Pikir Wiguna, “masih dua jam lagi untuk tiba di rumah jika tidak macet.”

Segera dia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan sambil menyalakan musik jazz dan rokok. Pelahan dan pasti, kilometer demi kilometer dilaluinya dengan kecepatan 60 km/jam. Syukurlah jalanan lancar walau cukup padat, setelah melewati Cicalengka dan Nagreg, dia bisa memacu mobilnya dengan kecepatan 80 km/jam, akhirnya Cibatu pun dilewatinya. Memasuki Malangbong, dia mengurangi kecepatan dan meninggalkan jalan raya tersebut untuk memasuki jalan aspal desa yang menuju ke rumahnya.

Jam menunjukkan pukul 21.17 ketika dia berbelok meninggalkan jalan aspal yang cukup bagus dan memasuki jalan aspal kecil dan jelek yang agak menanjak hingga akhirnya dia tiba di jalan yang datar. Setelah melewati serangkaian kebun jagung, dia tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar. Dari luar, rumah tersebut tampaknya seperti rumah kampung biasa yang tampak kokoh dengan fasad minimalis era 90-an. Wiguna menghentikan mobilnya persis di depan pintu pagar teralis tua. Dia sedikit merasa lega karena lampu-lampu di halaman depan dan samping dinyalakan. Lalu turun dari mobil untuk mendorong pintu pagar yang sudah karatan agar terbuka lebar, memasukan mobil, menutup kembali pintu pagar lalu membuka pintu garasi. Hatinya terasa gundah karena sang Nenek yang biasa menyambutnya pulang tak juga muncul. Setelah memasukan mobil ke dalam garasi dan mengunci pintunya, cepat Wiguna memasuki rumah melalui pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah. Dia tak mau memikirkan hal yang aneh-aneh sampai dia melewati ruang tengah dan melihat pintu kamar Nenek tertutup rapat. Tak sabar dia membuka pintu itu sehingga menimbulkan suara yang agak gaduh.

Hatinya benar-benar merasa lega saat melihat Neneknya sedang tidur sambil meringkuk.

“Nek, Gugun pulang.” Bisik Wiguna sambil memperbaiki selimut yang terkulai di bibir ranjang. Dia melihat ada beberapa lebam biru di lengan dan kening sang Nenek bekas jatuh. Tak terasa Wiguna seperti ikut merasa ngilu.

Dia kemudian meninggalkan kamar nenek sambil berjingkat-jingkat. Sesaat akan menutupkan pintu, tiba-tiba neneknya terbangun, “Cu, kamu udah pulang?”

Gugun berpaling, dilihatnya sang Nenek membuka mata. Tapi sepasang matanya seperti bergerak lambat dalam melihat sesuatu.
“I ya, Nek. Gugun udah pulang.”

Begitu mendengar suara sang cucu, si Nenek langsung terbangun.
“Udah, nenek tidur lagi aja. Istirahat. Besok pagi cerita ya nenek kenapa.” Kata Gugun dengan suara lembut.
“Tadi subuh nenek jatuh di kamar mandi, untung Pak Mantri datang pagi-pagi mau ngontrol tekanan darah nenek, dia langsung nolongin dan ngobatin nenek.”
“Syukurlah, Nek. Sekarang perasaannya gimana?” Tanya Wiguna, diam-diam dalam hatinya dia berterimakasih kepada Pak Mantri Soma yang rajin datang ke rumah untuk menge-chek kesehatan neneknya. Padahal dia tak pernah menuntut bayaran tinggi, paling 10 ribu rupiah per sekali kontrol.
“Sudah baikan, Cu. Pak Mantri ngasih obat yang bikin nenek selalu ngantuk dan tidur.”
“Nenek udah makan?”
“Sudah. Tadi sore Nenek bikin pepes ayam, sekarang pasti udah dingin. Mau Nenek angetin pepesnya, Cu?”
“Enggak usah, Gugun udah makan. Nek, Gugun mau mandi dulu ya? Soalnya badan ini terasa lengket nyetir dari sore.”
“Pake air anget ya Cu.”
“I ya, Nek.” Kata Gugun sambil pergi meninggalkan kamar neneknya menuju kamar mandi.

Wiguna menyalakan saklar shower air panas. Sambil menunggu pemanas air bekerja, dia menelanjangi dirinya sendiri. Terlihat badannya yang ramping tinggi dengan perut yang rata walau tidak berbentuk seperti dataran roti sobek. Dia memiliki pinggul bulat yang padat dengan segantung belalai tumpul yang tebal dan panjang di tengah-tengah selangkangannya. Benda gagah itu seperti terkantuk-kantuk sambil memicingkan mata ketika badan pemiliknya bergoyang-goyang.

Usai mandi, dia melemparkan baju kotornya ke dalam mesin cuci setelah mengeringkan badan dengan handuk yang selalu disediakan neneknya di gantungan kamar mandi. Masuk kamar, berganti pakaian dengan seragam tidur berupa kaos dan celana pendek katun yang nyaman, lalu meloncat ke atas ranjang yang sunyi dan rapi.

5 menit kemudian dia terlelap ke dalam mimpi.


4


Banondari Junjunan tak bisa melanjutkan tidurnya. Nenek berusia 67 tahun itu masih merasakan ngilu di beberapa bagian tubuhnya karena jatuh di kamar mandi. Sejak terjaga oleh kedatangan cucunya, dia tak bisa mendapatkan tidur nyenyaknya kembali. Sepasang matanya berkedip-kedip pelahan dan pikirannya berputar-putar ke masa lalu.

Ingatan tuanya sangat lemah menjangkau kenangan. Peristiwa tabrakan itu terasa aneh dalam kepalanya. Padahal, kejadiannya belum lama, hanya beberapa bulan yang lalu, dia melihat sopir truk itu tertawa seperti iblis saat melindas mobil sedan milik menantunya yang tengah parkir di depan sebuah mini market.

Mereka belum lama pindah ke Garut. Jadi mereka masih sering bolak-balik Bandung-Garut. Mereka tengah melaju di jalan raya Rancaekek dari Bandung menuju Garut. Saat itu, suaminya kehabisan rokok dan cucunya menginginkan mie instan merk tertentu dan dia sendiri sudah tak kuat ingin buang air kecil. Anaknya sedang tidur karena cape melakukan pemberesan barang-barang dari rumah mereka di Bandung. Itu adalah pemberesan terakhir dan dua buah mobil angkutan barang telah membawanya lebih dahulu ke rumah baru mereka di Garut. Semuanya menyenangkan dan berjalan sempurna.

Mobil berhenti di pinggir jalan di depan minimarket itu dan dia turun sendiri, melangkah memasuki mini market dan berjanji hanya lima menit saja. Setelah kencing dan membeli barang sesuai permintaan suami dan cucu perempuannya, dia kemudian ke luar dan berdiri sejenak di depan pintu mini market.

Dia bisa melihat dengan jelas.

Truk itu melaju dengan kecepatan tinggi. Lalu entah bagaimana caranya, roda-roda ban depan truk itu mengangkat dan kemudian melindas mobil sedan menantunya. Sopirnya tertawa seperti iblis. Dia ingat truk itu kemudian terguling dan si sopir iblis itu ke luar dengan selamat, lalu berlari menyebrangi jalan.

Banondari ingat, sopir itu kulitnya coklat kehitaman, rambutnya pendek rapi, lengan kirinya bertato gambar naga warna merah, sangat mencolok. Lelaki itu tinggi besar, berkumis tebal. Di sebrang jalan, lelaki itu berlari dengan sangat cepat ke arah yang menuju Bandung dan sebuah mobil sedan warna putih mengejarnya, hampir menabrak sopir iblis itu. Sebelum pingsan karena rasa kaget yang luarbiasa, Banondari tahu lelaki itu masuk ke dalam sedan putih itu dan menghilang entah ke mana.

Ketika terjaga dari pingsannya, mulutnya kelu. Manajer mini market itu adalah seorang gadis yang sangat cantik, dia menolong Banondari dan membawanya ke dalam ruangan manajer. Banondari tak sanggup mengingat semua kejadiannya secara rinci, saat ke luar dari mini market, truk dan mobil sedan milik menantunya sudah tidak ada. Kata manajer cantik itu, polisi sudah membereskan semuanya dengan baik. Dia pun pingsan lagi. Ketika sadar, dia ada di ada di kamar rumah sakit dan cucunya, Gugun duduk tak jauh ranjangnya. Saat itu, dia hanya bisa menangis sesenggukan. Tak bisa mengatakan apa pun bahkan sampai dengan saat ini.

Banondari mendengar detak jam dinding dan mencium bau pepes ayam, tempe dan tahu goreng. Tapi arahnya bukan dari dapur, tapi dari garasi mobil. Dia merasa heran. Dia kemudian duduk dan bangkit, lalu berjalan tertatih-tatih menuju kamar cucunya.

Gugun sedang tidur dengan sangat lelap.

Dia kemudian pergi ke dapur dan menemukan kesunyian yang diam. Tapi hidungnya tak pernah berdusta. Dia kemudian melangkah menuju garasi mobil dan bau pepes ayam, tempe dan tahu goreng itu semakin tajam. Dia memijit saklar lampu garasi sehingga lampu menyala terang. Dia melihat bayangan aneh di dalam mobil cucunya. Sebuah bayangan kepala dengan rambut ikal berombak tampak berwarna gelap. Sepasang mata bayangan itu cemerlang mencorong dari balik jendela kaca mobil.

Banondari tidak pernah takut pada apa pun. Di masa remajanya, dia adalah atlet pencak silat yang tak terkalahkan. 7 kali juara PON. 3 kali juara dunia silat yang diselenggarakan di Kualalumpur, Singapura dan Filipina. Dia bahkan pernah mengalahkan atlet juara Muaythai di Bangkok, dalam sebuah pertarungan eksibisi selama 3 ronde.

Sepasang mata tuanya yang lamur melawan tatapan mencorong itu dengan keheranan. Dia lalu mendekati mobil itu dan membuka pintunya. Dia kemudian mencium bau busuk pakaian yang sudah lama tidak diganti, bau pepes ayam, nasi, tempe dan tahu goreng. Bocah itu menghentikan suapannya di kursi belakang itu dan menatapnya dengan sepasang mata yang mencorong tajam. Tapi itu bukan tatapan mata yang jahat. Itu adalah tatapan mata yang ketakutan sekaligus kelaparan.

Mereka saling menatap bengong.
“Kamu siapa?” Tanya Banondari akhirnya dengan nada penasaran.
“Saya Nabilla Bilqis.” Jawab bocah itu dengan suara gemetar, “maafkan jika pepes ini saya makan, saya sudah 2 hari belum makan.”
“Badan kamu bau sekali.” Kata Banondari lembut.
“I ya Nek, soalnya sudah seminggu saya tidak mandi. Saya kabur dari rumah.”
“Kenapa kamu kabur dari rumah?”
“Soalnya Papa tiri saya mau memperkosa saya, Nek. Lagian saya nyari Mamah.”
“Memangnya Mamah kamu ke mana?”
“Andai saya tahu, saya tidak akan berada di sini.”

Banondari terdiam. Bocah itu kotor sekali dan bau. Tapi matanya yang lamur tidak mungkin bisa ditipu, bocah itu adalah bocah paling cantik yang pernah dilihatnya. Dia memiliki sepasang mata yang sangat indah, hidungnya mancung dan bibirnya tipis seperti kelopak bunga mawar. Banondari yakin bocah itu bukan gadis nakal apalagi jahat. Dia bisa merasakan kebaikan bocah itu melulu dari tatapan matanya.

“Ya sudah, kamu makannya jangan di sini, di dapur ya. Setelah itu, kamu mandi, nanti nenek sediakan baju ganti yang bersih.”
“I ya, Nek, Makasih, Nek. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan nenek.” Kata bocah itu sambil beringsut ke luar dari mobil.



5


Usai makan, mandi dan berganti baju yang disediakan Nenek, Nabilla Bilqis menemukan wanita tua yang baik hati itu membelalakkan matanya. Nabilla tahu, semua orang mengagumi kecantikannya. Banyak lelaki yang ingin menyentuhnya, termasuk papa tirinya. Entah berapa kali Enggar Sujarwo mengintipnya ketika mandi dan selalu menatap payudaranya yang baru tumbuh dan bagian tengah selangkangannya dengan tatapan penuh nafsu. Beberapa kali tangannya yang jahil itu mencuri-curi untuk mengelus payudaranya dan kemaluannya. Nabilla tahu, elusan itu enak tapi dia merasa jijik pada lelaki berkumis tebal yang tinggi besar itu. Mamahnya selalu marah jika tahu papa tirinya itu melakukan pelecehan itu. Mereka sering bertengkar karenanya.

Suatu malam, dia terjaga dari tidurnya dan mencari mamah di kamarnya, tapi tidak ada. Tiba-tiba papa tirinya itu datang dan langsung mencengkramnya. Menarik dengan paksa piyamanya dan celana dalamnya.

“He he he… memek enak… memek gadis 14 tahun yang masih perawan… ha ha ha… aku akan mengewemu… ha ha ha…”

Nabilla mencium bau minuman keras dari mulut papa tirinya itu. Dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Enggar dan berhasil, karena papa tirinya sedang setengah mabuk. Jadi tenaganya walau kuat tapi tidak terarah dan beraturan. Dia kemudian meloncat dari jendela. Kabur. Dalam keadaan telanjang dari perut ke bawah, dia berlari memasuki rumah tetangga dan menemukan pakaian yang sedang dijemur di halaman belakang. Dia mencari pakaian yang sudah kering secara asal dan mengenakannya. Lalu pergi ke pabrik konveksi di mana mamahnya bekerja. Menurut penjelasan rekan-rekan kerjanya, Mamahnya sudah dua hari tidak masuk kerja.

Akhirnya Nabilla pergi ke rumah beberapa saudara mamahnya, tapi mereka juga tidak tahu di mana mamahnya berada. Dalam keadaan ketakutan itu, ternyata Papah tirinya itu sedang mencari-carinya bersama serombongan polisi. Rupanya Papahnya sudah melapor ke pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Nabilla kabur dari rumah.

Selama berhari-hari dia luntang lantung dalam keadaan sedih, pilu dan marah, tanpa arah tujuan. Hingga akhirnya dia tiba di terminal Cicaheum dan menemukan papah tirinya berada di sana sedang menanyai orang-orang. Tanpa pikir panjang dia berlari menaiki sebuah minibus elf yang sedang berjalan pelahan. Minibus itu pun melaju meninggalkan terminal.

Sesaat Nabilla merasa tenang. Namun ketika kernet itu menagih ongkos, Nabilla tidak punya uang dan dia ditendang dari minibus itu.

Dia sudah merasa putus asa dan akan bunuh diri saja saat melihat mobil kijang itu berhenti tak jauh darinya. Dia ingat, dulu mamah juga punya mobil kijang berwarna biru gelap seperti itu sebelum dijual sama papa tirinya. Setelah diselidiki, ternyata mobil itu persis sama dengan milik mamahnya dulu. Mobil kijang itu memiliki masalah, kunci pintu bagian belakang mobilnya agak rusak. Untuk membukanya harus dilakukan dari dalam, atau kalau dari luar, lubang kuncinya harus ditusuk menggunakan obeng atau paku. Pada saat yang bersamaan, dia melihat papanya turun dari minibus lainnya yang datang belakangan. Cepat saja Nabilla mencari dan menemukan sebuah paku bekas, mencolok lubang kunci pintu belakang itu dan membukanya sedikit lalu masuk secara diam-diam ke dalam mobil. Dia meringkuk di bagian belakang mobil itu untuk menghindari kejaran papa tirinya dan juga sekaligus menghindar dari pemilik mobil yang kelihatannya seperti pria yang baik itu, agar tidak memergokinya bersembunyi di bagian belakang mobil itu.

Nabilla menceritakan semua kejadian itu dengan sejujur-jujurnya hingga malam jauh larut.

Nenek yang baik hati itu menatapnya dengan lembut. Entah apa yang menyebabkan Nabilla merasa demikian nyaman di hadapan nenek tua itu dan entah apa pula sebabnya dia tiba-tiba menangis sesenggukan di dalam pelukannya. Dia menangis terus tanpa bisa dihentikan sampai akhirnya dia tertidur lelap dalam pangkuan nenek tua itu.



6



Pagi itu, Wiguna terbangun dengan perasaan tertekan yang sangat dalam. Kematian ayah, kakek, ibu dan adiknya selalu datang menghantui dalam mimpi-mimpi buruknya yang mencekam di setiap tidurnya. Walau polisi sudah menemukan sopir truk yang kurus kering dan cacingan itu, yang menjadi biang keladi kecelakaan maut itu, dan pengadilan pun sudah menghukumnya dengan hukuman penjara seumur hidup, tapi entah mengapa hatinya masih merasa tidak puas dan janggal. Wiguna tidak tahu mengapa hatinya merasa seperti itu.

Dia terhuyung-huyung ke luar kamar dengan kepala atas dan bawah terasa berat. Kepala bawahnya benar-benar berat karena menampung air seni yang harus segera disemprotkan ke luar. Tanpa pikir panjang karena sudah menjadi kebiasaan, dia langsung masuk ke dalam kamar mandinya yang luas. Matanya masih mengantuk dan dia segera saja menurunkan celana pendeknya dan mengokang laras tank bajanya yang tumpul itu untuk menembakkan air kencingnya.

Currrrrrr…. Sebuah air mancur berbentuk kurva setengah lingkaran memancur menuju lubang kloset.

Dua detik kemudian Wiguna baru tahu bahwa di kamar mandi itu dia tidak sendirian. Seorang gadis ABG (anak baru gede) yang sedang telanjang bulat, menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya.

Posisi gadis kecil itu berada di dekat gantungan handuk di pinggir sebelah kiri. Ketika memasuki kamar mandi seluas 2 X 3 meter itu, Wiguna tidak melihat ke kiri atau ke kanan. Dia juga berani bersumpah bahwa dia sama sekali tidak menduga ada orang di dalam, lagi pula matanya masih mengantuk dan dia benar-benar sudah tidak tahan menahan beban urine di dalam kantung kemihnya.

ABG itu tidak menjerit. Hanya sepasang matanya saja yang membelalak. Seakan-akan sepasang matanya yang melotot itu hendak meloncat ke luar dari kelopak matanya.

Ketika Wiguna menoleh ke arah ABG itu, dia melihat sepasang payudaranya yang baru tumbuh itu demikian mancung seperti pensil. Kulitnya putih kekuningan. Mata Wiguna tak bisa menolak untuk tidak turun dan melihat bagian tengah selangkangan abg itu yang menggunduk indah dengan sebuah guratan merah kecoklatan di tengah-tengahnya. Di pubisnya nampak bulu-bulu hitam yang halus mulai merambat tumbuh.

Mereka sama-sama terkejut dan terkesima. Lalu saling menatap dengan perasaan aneh tumbuh di hati masing-masing insan yang beda jenis kelamin dan beda usia yang cukup jauh itu. Tiba-tiba saja abg itu berlari ke luar dari kamar mandi. Dia masuk ke dalam kamar yang semalam dia tidur nyenyak di sana. Kamar itu bekas kamar cucu perempuan nenek tua yang baik hati itu.

Di kamar itu, dia menggigit ke sepuluh jarinya. Dia takjub dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dia merasa takut sekaligus senang. Dia merasa penasaran sekaligus malu. Berbagai perasaan campur aduk di dalam dirinya.

Dia merasa, entahlah. Pucuk kemaluannya tahu-tahu sudah basah oleh sesuatu yang bukan air kencing. Sesuatu cairan lengket yang aneh yang belum pernah diketahuinya dan dirasanya seumur hidupnya.
 
Terakhir diubah:
Waahhh ... ada yg baru nih ... Ky nya menjanjikan nih ....
tapi ... Judulnya itu lho ??? setahu aku tuh yaa .. LUKANYA BIAR DIBASUH DG BETADINE ... ya tho? .. ya tho? ... 😱
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd