Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI CINTA DUA DUNIA

Status
Please reply by conversation.
Malam2 sambil ronda ... Bukain cerita CINTA DUA DUNIA ... semakin malam komentarnya semakin nggilani hahaha
Kaya orang2 baru sembuh corona UEDIAAAN 🤣🤣🤣🤣🤣
 
7





Putri terpelanting dari duduknya oleh hantaman ombak yang datang secara tiba-tiba. Tubuhnya jatuh ke atas pasir dengan punggung terlebih dahulu. Dia menggapai-gapaikan tangannya ketika arus balik ombak menyeretnya menjauhi pantai sejauh hampir 10 meter dan terus menjauh menuju ke tengah laut. Dia kelelap dan panik. Wiguna yang sempat melihat ombak datang secara mendadak itu, sedikit banyak sudah mempersiapkan diri sehingga dia tak terseret ombak. Namun ketika melihat Putri terseret ombak dia merasa khawatir dan langsung terjun mengikuti arus balik ombak. Apabila dibiarkan, Putri bisa terbawa arus hingga berjarak 50 meter dari pantai. Sekilas Wiguna melihat sepatu pantofel Putri naik ke atas permukaan dan Wiguna segera berenang untuk mendapatkannya.

Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu tidak lantas panik walau mereka sedikit merasa aneh dengan kedatangan ombak yang tiba-tiba itu. Salah seorang di antara pelayan itu segera berlari mengambil pelampung yang berbentuk seperti ban dalam mobil. Lalu berlari mendekati pantai dan melemparkannya ke arah Wiguna yang sudah berhasil mencengkram ujung celana panjang Putri. Wiguna menangkap pelampung itu dengan satu tangannya dan menarik tubuh Putri untuk dijejali pelampung. Dia berenang sambil menarik pelampung hingga kakinya menemukan pasir pantai dan menjejaknya untuk berjalan ke pinggir pantai.

“Kakak enggak apa-apa?” Tanya Wiguna saat mereka sudah duduk di pasir. Putri tak menjawab karena dia bersin dua kali. Rupanya hidungnya kemasukan air. Dia gemetar oleh rasa kejut sambaran ombak dan dingin angin laut yang menghembus tubuhnya yang basah kuyup.

Hidung Putri memerah seperti terkena pilek. Seorang pelayan datang membawakan handuk yang diterima oleh Wiguna. Dia menggosok kepala Putri dengan handuk secara lembut. Putri diam saja menerima gosokan itu tanpa rewel. Kedua tangan Wiguna yang lebar sepertinya memenuhi seluruh kepala dan wajah Putri dari luar handuk. Mata Putri terpejam membiarkan handuk itu bolak-balik menggosok kepala dan wajahnya hingga terasa kering.

“Aku harus ganti baju.” Putri berkata pelahan seperti menahan dorongan dari tenggorokannya yang seakan-akan hendak tersedak. Wajahnya yang putih tampak pucat seperti tak mengalirkan darah.

Dia terhuyung-huyung ketika melangkah menuju pintu lobby samping hotel dengan kepala pusing dan berat. Entah mengapa mendadak saja tubuhnya merasa panas dingin. Tangannya mencengkram kemeja Wiguna seakan memaksa lelaki itu untuk mengikuti langkahnya. Padahal Putri hanya coba bertahan. Kepalanya benar-benar berat dan dia merasa lantai yang dipijaknya seperti berputar. Begitu tiba di kamar, Putri tidak memikirkan apa pun selain melucuti seluruh tubuhnya sendiri dan dengan tergesa-gesa dia mengeringkan badannya itu dengan handuk. Lalu dia membantingkan dirinya sendiri ke atas ranjang yang masih rapi dan belum terusik.

Dia jatuh menelentang di atas ranjang hotel yang nyaman. Sepasang tangan dan kakinya terbentang lebar. Tubuhnya telanjang seperti membuat huruf “X” namun dengan sepasang betis menjuntai di tubir tepi ranjang. Sepasang matanya terpejam. Sepasang bibir tipisnya rapat membentuk garis lurus. Sebelum dia jatuh tertidur, hatinya sempat berkata, “lihatlah memek aku, Gun, lihatlah baik-baik. Bukankah engkau ingin memasukkan kontolmu yang besar itu ke dalam liang memekku ini? Ayolah, Gun, perkosalah aku. Aku takkan melawan.”

Putri tak berani membuka matanya. Dia hanya menunggu dan berharap Gugun terangsang melihat tubuh telanjangnya. Namun, menit-menit berlalu tanpa terjadi apa-apa. Putri merasakan bayangan tubuh lelaki itu menutupi wajahnya. Dia sengaja mendesah seperti menahan demam, membuka pahanya lebih lebar agar liang memeknya menganga.

“Ewelah aku, Gun.” Katanya dalam hati penuh harap.

Tapi tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Putri pun lelah menunggu. Hingga akhirnya dia tertidur lelap.

Zzzz… zzzz… zzzz….








8





Wiguna tersenyum mesem melihat kelakuan Kak Iput. Dia menelanjangi dirinya sendiri dan mengeringkan badannya dengan handuk yang sama yang dipakai Kak Iput sebelumnya. Setelah kering, dia berdiri di sisi ranjang, persis di antara dua kaki Kak Iput yang terbuka lebar. Kedua tangannya bertolak pinggang. Kepalanya menunduk, melihat ke arah batang kontolnya yang memanjang pelahan. Lalu menegang. Lurus dan kuat. Seperti pentungan gada.

Sekilas dilihatnya “mulut” pada kepala kontolnya seperti mendesis, mengepulkan uap nafsu mengewe yang beringas. Mirip seperti uap yang ditimbulkan hidung banteng yang siap-siap menerjang musuh. Beberapa kali batang kontolnya bergerak-gerak naik turun, tanda bahwa dia sudah tidak sabar untuk menusuk liang memek yang menganga itu tanpa ampun!

Tapi Wiguna tahu, dia tidak boleh melakukannya. Sebab Kak Iput, seperti yang dikatakan oleh Jagala Sancang, dia ternyata masih perawan.

Wiguna merasa sangat beruntung ketika sore kemarin dia tiba-tiba teringat akan nasihat ayahnya untuk sekali-sekali mampir ke Hutan Larangan Sancang, menjenguk nenek moyangnya.

“Tak perlu khawatir dengan kecemasan dan ketakutan yang bisa muncul sewaktu-waktu ketika melintasi hutan, asalkan kendaraannya bagus dan bertenaga, kamu bisa sampai di sana dengan selamat karena kamu akan mengetahui jalannya secara otomatis ketika berada di dalam perjalanan. Jika kamu pergi ke sana ditemani perempuan, jangan biarkan dia ke luar dari kendaraan. Suruh diam. Kamu nanti akan diberitahu bahwa temanmu itu masih perawan atau tidak. Dengar Gun, ini hanya antara kita, ayah dan anak lelakinya, kamu jangan kasih tahu ibumu atau adikmu. Nanti kita akan kerepotan. Kalau kamu berhubungan dengan perempuan yang tidak perawan, sampai kapan pun kamu tidak akan punya anak. Paham? Tapi jika kamu berhubungan dengan seorang perawan, jangan biarkan kamu yang menaikinya. Biarkan dia yang mendaki di atas tubuhmu. Mengerti?”

Waktu itu Wiguna hanya tertegun dan melongo.

“Jika dia di atasmu, pejuhmu akan memancar dan membuahi rahimnya. Ayah berharap itu akan menjadi cucu lelaki. Dengar ini yang paling penting, kamu perlu 7 perawan yang harus dengan suka rela mendaki tubuhmu, agar 7 titik aura di tubuhmu bisa terbuka.”

Wiguna ingat, mereka berbicara di belakang rumah ketika mereka masih tinggal di Bandung, persis di hari ulang tahunnya yang ke 17.

“Ayah hanya akan mengatakan ini satu kali saja, ya, satu kali. Dan takkan pernah mengulanginya, maka ingat baik-baik, jika 7 auramu terbuka kau bisa bebas pergi ke mana saja. Dan mungkin akan bertemu dengan pasangan hidupmu yang sebenarnya.”

“Apakah aura ayah sudah terbuka?” Tanya Wiguna saat itu.
“Tidak, ayah hanya berhubungan dengan ibumu saja.”
“Kalau kakek?”
“Kakek juga tidak, menurut cerita Kakek kamu, Eyang Kertosono Sudi Broto, sudah 11 turunan tidak ada yang sanggup membuka 7 aura. Kita sudahi pembicaraan ini, jika suatu saat kamu punya anak lelaki, sampaikan juga amanat ini. Sampaikan satu kali saja, sebab kalau lebih, kamu akan celaka seperti yang dialami Kakek Ayah, Eyang Elang Rogo Broto.”

Selama beberapa menit itu, Wiguna berdiri mematung di depan tubuh Kak Iput yang terkapar telanjang bulat. Dia membalikkan badan lalu mengenakan pakaian dan mengantongi 10 biji kerikil pemberian Eyang Jagala Sancang, untuk pergi meninggalkan kamar dan melupakan sejenak memek yang cantik itu dari ingatan kepalanya.

Dia ingin menemui Pak Seno, untuk merokok dan minum kopi sambil berbincang ringan.








9





Ki Seno Roto merasa sangat girang sekaligus sedikit terkejut ketika tahu anak muda itu sedang mencarinya di lobby. Lelaki setengah baya itu tidak menyangka jika pertemuan yang diharapkan dengan anak muda itu datang tanpa diduga dan dalam waktu yang relatif cepat. Dia langsung saja menggamit tangan Wiguna saat dia bertanya pada petugas lobby yang sedang tiduran karena memang pengunjung yang datang ke hotel ini jumlahnya sedikit. Lalu membawanya ke ruang pribadinya yang terletak di bawah tanah.

Wiguna agak terheran-heran juga melihat ruangan seluas 7 X 7 meter itu. Soalnya, seluruh dinding, langit-langit dan lantainya melulu merupakan batu karang saja. Kecuali kotak ventilasi yang bentuknya mirip AC yang menempel di dinding dan sebuah meja batu warna kuning berukuran 30 cm (tinggi) X 50 cm (lebar) X 80 cm (panjang) yang diletakan di atas hamparan permadani warna hijau ukuran 1,5 X 2 meter; di ruangan itu tak ada barang apa pun lagi.

Sebuah lilin besar berdiameter 5 cm berdiri tegak di tengah-tengah meja batu. Lilin itu sudah menyala terang ketika mereka masuk ke dalam ruangan, tingginya tinggal sepanjang jempol tangan. Meski pun hanya diterangi sebatang lilin, namun ruangan itu terang benderang karena batu kuning itu memantulkan cahaya lilin ke seluruh ruangan.

Sekejap Wiguna mencermati batu kuning itu.

“Ini namanya batu Giok Kuning.” Kata Ki Seno Roto sambil tersenyum melihat keheranan anak muda itu, “ditemukan 25 tahun lalu ketika saya pertama kali ke sini dan mendapatkan kepercayaan dari Eyang Jagala untuk menjaga tempat ini. Ditemukan di bawah pohon sengon laut yang sudah tua dan terpaksa harus dibongkar yang terletak di sebelah wetan bangunan. Asalnya berbentuk bongkahan besar, kemudian dipotong oleh seorang pengrajin batu akik Garut hingga membentuk meja seperti ini. Waktu itu, sisa potongannya dibentuk ratusan cincin dan langsung habis terjual. Para pembeli cincin giok kuning ini umumnya adalah kolektor batu dari Singapura, China, Malaysia dan Jepang. Hasilnya cukup lumayan untuk biaya ini itu.”

Wiguna hanya mengangguk-angguk.

Mereka kemudian duduk bersebrangan di depan meja, menyalakan rokok dan masing-masing mendapatkan secangkir kopi hitam yang diantarkan oleh pelayan hotel.

“Banyak sekali hal yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan yang berbahagia ini Panger… nak Gugun. Mungkin waktu semalaman juga tidak akan cukup. Tetapi saya diizinkan oleh Eyang Jagala untuk mengeluhkan kondisi ekonomi yang akhir-akhir ini semakin memburuk. Pengunjung hotel semakin sedikit dan kami agak kesulitan untuk bertahan. Harga-harga bahan makanan di luar hasil laut, semakin meningkat tajam. Saya sudah mendapatkan wangsit bahwa tahun-tahun ke depan kehidupan ekonomi akan semakin sulit, ditambah suatu wabah penyakit jahat akan datang dengan cara menggemparkan. Ini satu hal. Masih banyak hal lain yang ingin saya sampaikan. Tetapi satu hal ini sangat mengganggu Panger… nak Gugun. Soalnya ini berkaitan dengan amanat leluhur yang tak boleh diabaikan. Saya sangat membutuhkan dukungan dan petunjuk dari Panger… nak Gugun.

Jangan sampai tragedi yang paling menyedihkan seperti yang menimpa Loji Karang Tentrem di Tanjung sari, Gunung Kidul, menimpa Pesanggrahan ini.

Lebih dari 50 tahun yang lalu, Ki Keweng Abimanyu tak sanggup mempertahankan tempat singgah para leluhur kita itu. Loji Karang Tentrem tak terurus karena Ki Keweng bangkrut dan kemudian Loji dijadikan markas oleh manusia-manusia pengacau yang tak menghargai ajaran kepercayaan nenek moyang. Bahkan beberapa Eyang kita yang dulu pernah menjabat sebagai panutan penting di Dewan Kesejahteraan Majapahit, yang kebetulan mampir ke Loji Karang Tentrem untuk menuju hutan Saba, ketiwasan oleh ulah mereka.

Para pengacau itu diakui memiliki ilmu penglihatan tajam yang mereka pelajari dari sebuah Kitab Kuno yang ditemukan tak sengaja di bawah reruntuhan Candi Sirep di Solo oleh seorang pemuda lanang berhati busuk yang bernama Jarwo Kenthul. Setelah menemukan Kitab Kuno yang sampai saat ini masih ditelusuri namanya oleh para Tetua yang bermukim di Gunung Kunci (Kerinci, Sumatra Barat/Jambi) dan Gunung Candi Halu (Kinabalu, Kalimantan Utara), Jarwo Kenthul merubah namanya menjadi Subranta Suditaraga. Mengubah Candi Sirep menjadi rumah sekaligus sebagai tempat usahanya.

Dengan bekal ilmu yang dimilikinya, Jarwo Kenthul berhasil melihat bayangan para Eyang kita yang sedang berlayar dari laut selatan menuju daratan Tanah Jawa dan mengikutinya hingga ke Loji Karang Tentrem untuk beristirahat. Mereka merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh dari hidup pengelanaan di berbagai negri. Para Eyang itu berencana akan menuju Hutan Saba, untuk melakukan pencatatan Perimbuhan (Primbon) tentang Peradaban yang pernah ada di dunia atas.

Jarwo Kenthul bersama para begundalnya yang tak berhati dan tak mempercayai adanya Tuhan, berhasil menangkap sedikitnya selusin Eyang-eyang kita dan menyembelihnya lalu memasaknya sebagai obat panjang umur.

Para Eyang kita yang mengetahui kejadian tersebut langsung berkumpul di Hutan Bago di negeri Sawaden (Swedia) dan memutuskan membuat tempat baru untuk pesanggrahan yang nyaman dan terlindung. Eyang Tetua dari Nordiko (Nordic) dan Eyang Tetua Tobit (Tibet) serta Eyang-eyang Tetua yang berasal Sabariah (Siberia), Oyasan (Hoa San, Shanxi, Tiongkok), Andong (Shandong, Tiongkok), Pujirama (Fujiyama, Jepang) mengusulkan untuk membuat Pesanggrahan di Hutan Dayak Arawak (Peru, Amerika Selatan).

Musyawarah berlangsung alot dan tak menemukan kata sepakat.

Akhirnya Eyang Tetua nKulu-kulu dari negeri Zulu, mengusulkan lokasi pasangrahan tetap di Tanah Jawa hanya bergeser ke arah barat sedikit. Lokasi yang diusulkan itu dulunya adalah sebuah gunung karang yang datar. Lokasi itu memiliki nilai historis karena lokasi itu dulu pernah dijadikan arena duel dua pakar pedang terbaik sejagat yang mewakili aliran ilmu Pedang Utara dan Ilmu Pedang Selatan.

Pendekar Ilmu Pedang Utara bernama Shang Chang Hong yang merupakan anak ke tiga dari Kaisar Shang (Dinasty Shang, Tiongkok, 2000 SM). Dijuluki si Dewa Pedang, Shang Chang Hong tak menemukan lawan setimpal di seluruh China daratan dan Jepang. Meski pun tak ada satu jago pedang pun yang bisa mengalahkannya, namun Shang Chang Hong merasa ilmu pedangnya masih belum sempurna dan memiliki beberapa lubang kekurangan. Namun tak ada satu pun yang bisa menunjukkannya. Sampai suatu ketika dia mendengar di wilayah selatan yang jauh ada sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Sunda Raya, yang wilayah kekuasaannya membentang dari Gangga (India) hingga Maya Pada (Amerika). Konon, Raja Sunda yang bernama Hariang Brama memiliki 11 anak. Anaknya ke 11 alias yang bungsu, tidak mau hidup di istana, tapi menjadi pengelana. Menurut informasi yang didengar Shang Chang Hong, anak ke-11 itu adalah seorang Pendekar Pedang tiada tanding di kolong langit. Senjata pedangnya berbentuk seperti tanduk Menjangan yang disebut Kuris. Pendekar itu hanya memiliki 5 jurus.

Pendek cerita, akhirnya Shang Chang Hong berhasil menemui anak ke-11 tersebut dan mengajaknya berduel. Mereka pun bertempur di atas batu karang. Tidak menunggu lewat 100 jurus, Shang Chang Hong dibikin malu dengan 5 lubang luka sedalam 5 mm di dadanya. Jelas sekali lawannya tidak berniat membunuhnya, hanya mempermainkannya saja. Sebelum pergi meninggalkannya, anak ke-11 itu memberikan petunjuk ilmu pedang tanpa tanding untuk dipelajari. Tapi sampai akhir hayatnya, Shang Chang Hong tidak pernah berhasil memperlajari ilmu pedang itu.

Selama ratusan tahun, gunung karang itu kemudian secara lambat laun berubah menjadi hutan lebat. Dan kemudian diberi nama sebagai Hutan Shang Chang. Namun lama kelamaan, lidah orang lokal merubahnya menjadi Hutan Sancang.

Anak ke-11 itu tidak diketahui namanya. Tapi dia lah yang berperan besar mendamaikan peperangan manusia bawah yang terjadi selama ribuan tahun antara Kerajaan Artika di Utara dan Kerajaan Palantis di Selatan.

Akhirnya mereka pun setuju dan sepakat membangun sebuah pesanggrahan di Hutan Sancang. Mereka lalu membisikkan sebuah ilapat kepada seorang Jendral Tentara Nasional Indonesia yang berhati baik dan lembut agar membuat bangunan Pesanggrahan ini.

Sekira tahun 1972, pesanggrahan ini berhasil dibangun atas biaya pribadi sang Jendral dan menunjuk Ki Gandrung Seloka, untuk mengelola tempat ini. Namun, pada tahun 1981, Ki Gandrung Seloka mati dibunuh. Entah siapa yang membunuhnya, sampai dengan saat ini masih misterius.

Selama bertahun-tahun para pengelola hotel atau pesanggrahan ini datang silih berganti. Tak ada satu pun yang bertahan lebih dari setahun. Akhirnya, pada tahun 1991 saya diberi tugas mengelola tempat ini dan mendapat restu dari Eyang Jagala.

Namun sayangnya, sejak sang Jendral wafat, tamu-tamu menjadi jarang berdatangan dan bantuan finansial dukungan operasional pun tidak ada.

Entah sampai kapan kami bisa bertahan di sini. Beberapa pegawai sudah banyak yang ke luar karena tak sanggup kami beri gaji.”

Wiguna mendengarkan dengan cermat penuturan Ki Seno Roto yang panjang lebar itu. Dia tersenyum dan merogoh saku celana pendeknya. Dia meraup 10 biji kerikil intan itu dan memberikannya kepada Pak Seno.
“Saya kira ini cukup untuk pembiayaan selama 10 tahun ke depan, Pak.” Kata Wiguna dengan suara lembutt.

Ki Seno Roto terpana. Dia tahu itu adalah intan yang masih belum dipotong dan memiliki nilai bukan ratusan juta tapi miliaran rupiah. Mendadak saja Ki Seno Roto sungkem kepada Wiguna.
“Terimakasih Pangeran.” Katanya dengan suara tersekat oleh rasa haru dan gembira yang tak terkira.
“Saya lebih senang dipanggil Gugun, Pak.” Kata Wiguna dengan suara tenang dan kalem.








10





Pulau Batu Dingin terletak di bagian paling selatan Bumi, dia memiliki matahari abadi yang memicing seperti segaris mata kucing yang sedang tidur. Sinarnya yang merah dadu seperti bunga sepatu itu dipantulkan dataran berlapis es ke langit yang selalu berwarna ungu.

Saat itu, sebuah Helikopter dengan 2 baling-baling melayang 500 kaki (150 m) di atas dataran ungu dengan seorang kameramen bergelantungan terikat tali pengaman di ambang pintu yang terbuka.
“Slow down buddy.” Teriak si kameramen kepada pilot yang matanya terasa sangat pedih oleh pantulan sinar ungu yang sangat aneh.
“Amazing.” Desis si kameramen sambil meng-close up seekor binatang berbentuk seperti beruang tetapi ramping seperti monyet. Lapisan es itu berwarna putih di layar kamera tetapi matanya sendiri tak bisa menolak bahwa dataran itu berwarna ungu.
“Itu beruang putih bunglon.” Kata seorang gadis berkulit putih pucat dengan hidung runcing yang sangat mancung. “Binatang yang sangat langka.” Dia duduk di sebelah kameramen dengan tali pengikat melingkar di pinggang.
“Apakah dia sekeluarga dengan Beruang Kutub?” tanya si kameramen.
“Tidak sama sekali,” jawab si Gadis sambil menuliskan sesuatu di laptop tabletnya. “Dia termasuk keluarga primata.”
“Waktu habis.” Kata si pilot sambil menarik tuas kemudi untuk naik beberapa puluh kaki dan menambah kecepatan. Dia memaki langit ungu karena matanya seperti menjadi buta. “Kita pergi dari neraka ini.” Teriaknya.

Para penjaga Negeri Palantis mencemooh burung besi berbaling-baling dan bersuara berisik itu yang lewat di atas kepala mereka. Salah seorang di antara mereka menjewer ke dua telinga beruang putih bunglon itu sehingga menguik mengeluarkan suara nyaring melengking yang panjang.

Tampak sekilas helikopter itu bergetar. Namun tetap terbang meninggal pusat selatan bumi itu menuju markas penelitian mereka di Cafe Horn, sebuah pulau di Selatan New Zealand.

Turun di helipad, pilot John Frederick Grisham melangkah terhuyung-huyung dan langsung menuju kantor pribadinya di sudut gedung. Terkekeh-kekeh menemukan Vodka yang disembunyikannya di laci meja, dia langsung menenggaknya untuk menghilangkan rasa pedih di mata yang sangat ngilu.

Sementara sang kameramen yang langsung memeriksa hasil gambarnya, terheran-heran jika ternyata dia berhasil meng-close sebuah foto bergambar wajah seorang lelaki asia. Selembar foto itu seperti tersaruk-saruk di dataran es itu, mirip seperti daun yang dipermainkan angin di musim gugur.

Madeline McBright memelototkan sepasang mata coklatnya melihat foto itu di monitor.
“I knew him.” Bisik gadis itu dalam hatinya. Tapi dia tak mengatakan apa pun kepada si kameramen.

Maddy ingat, foto itu adalah milik seorang lelaki yang dikenalnya di Ubud. Maddy juga ingat, dia memiliki kenangan yang sangat indah dengan lelaki itu.

Lelaki itu tak mungkin dilupakannya karena memiliki keringat yang sangat harum dengan aroma kayu cendana yang sangat nikmat.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd