Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI CINTA DUA DUNIA

Status
Please reply by conversation.
4


Hampir selama 10 menit Putri mematung di balkon.

Wiguna tersenyum kecil menyaksikannya. Dia memasukkan tas sport berisi pakaian ganti Kak Iput ke dalam lemari. Dia ingin merokok sambil minum kopi, tapi dia ingat mereka belum makan malam. Menurut penjelasan bellboy, makan malam akan siap setengah jam lagi. Sedangkan baju ganti yang tadi dimintanya kepada Manajer sekaligus pemilik hotel, Pak Seno Roto Soekardjo Nitisastro, akan segera dikirimkan dalam beberapa menit mendatang.

Gugun memberi tip kepada bellboy itu 100 ribu rupiah.

Dia lalu memasuki kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan shower air panas. Sungguh Wiguna tidak menyangka jika perjalanannya yang mendadak dan tanpa direncanakan itu demikian sangat menguras tenaganya. Dia merasa tubuhnya lengket dengan keringat yng mengucur di ketiak, punggung dan pantatnya.

Tadinya Wiguna ingin langsung meloncat ke tempat tidur dan melepas lelah dengan tidur selama satu atau dua jam. Tapi Pak Seno melarangnya. Dia meminta Wiguna untuk mandi terlebih dahulu dengan sabun kayu cendana yang secara khusus telah disediakan untuknya.

Sudah hampir 400 tahun sejak terakhir digunakan oleh Pangeran Piningit yang hilang di hutan Saba, sabun Kayu Cendana itu tetiba muncul secara mendadak di kamar semadhi Pak Seno yang terletak di ruang bawah tanah hotel. Bersamaan dengan itu muncul pula wajah sang Pangeran yang berambut perak dan bermata biru dalam pandangan bathinnya, yang meminta Pak Seno untuk memberikan sabun itu kepada cucu keturunannya yang akan tiba ke hotel itu.

Wajib hukumnya bagi Pak Seno untuk melayani cucu keturunan Pangeran Piningit itu dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Benar saja, orang dengan ciri-ciri yang digambarkan datang dengan mengendarai “delman besi” berwarna merah marun.

Wiguna sebenarnya ragu-ragu saat memasuki hotel yang sangat sederhana itu. Dia bertanya-tanya apakah Putri mau menginap di sana atau tidak. Soalnya, dia juga baru pertama kali mengunjungi hotel itu.

Saat menemukan Pak Seno di lobby, sebenarnya Wiguna tidak menyangka dia akan mendapat sambutan yang sangat baik dan pelayanan yang luar biasa. Lelaki setengah baya berkumis tipis itu seperti sedang menunggu kedatangannya. Ada dua kamar VIP yang terletak di sebelah barat yang akan dipesannya, namun Pak Seno tak membiarkan hal itu terjadi. Pak Seno seperti tak mempedulikan permintaan Wiguna untuk menginap di 2 kamar yang terpisah, dia hanya mengizinkan Wiguna tinggal di kamar super VIP itu. Uang muka yang diberikannya kepada Pak Seno ditepis dengan halus. Pak Seno tidak membutuhkan uang Wiguna. Dia hanya meminta waktu barang satu atau dua jam di ruang semedhinya apabila telah merasa tenang. Bisa besok pagi atau kapan pun waktu sebelum Wiguna berangkat lagi.

Sesungguhnya, saat Wiguna tiba di hotel itu, dia lupa pada apa yang telah diucapkan Eyang Jagala bahwa dia nanti akan tiba di Pesanggrahan Dharma Raja dan akan dilayani oleh Ki Seno Roto. Hotel itulah yang dimaksudkan oleh Eyang Jagala sebagai pesanggrahan Dharma Raja.

Wiguna menggosok seluruh badannya dengan menggunakan sabun Kayu Cendana yang pada awalnya keras namun setelah terkena air berubah lunak seperti kanebo. Sabun berbentuk seperti ujung dahan yang patah itu tiba-tiba saja berubah kenyal dan mengeluarkan busa tipis. Sesuai petunjuk Pak Seno, dia juga diwajibkan mencuci rambutnya dengan sabun itu. Saat digosokkan ke rambutnya, sabun itu seperti mengeluarkan minyak yang membuat rambutnya terasa lemas dan kulit kepalanya terasa hangat seperti ada yang memijit-mijit. Sedangkan di kulit badan, sabun itu terasa hangat dan mencubit-cubit enak. Seketika sebagian rasa letihnya hilang dan debu-debu kotoran di pori-pori kulitnya seperti tersedot oleh busa sabun itu.

Sementara itu, ketika dia menggosokkannya ke bagian pelir dan batang kontolnya, sabun itu mendadak berubah menjadi semacam silinder pipa paralon, yang membungkus seluruh batang kontolnya dari kepala hingga pangkalnya yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang merambat pendek hingga ke udel. Kemudian sabun itu seperti menarik-nariknya hingga Wiguna seakan-akan merasa tengah dipijit dengan tehnik pijat tingkat tinggi yang aneh. Wiguna bahkan mencengirkan mulutnya menikmati sensasi yang aneh tapi nikmat dan nyaris saja dia meningkatkan level rasa sensasinya dengan gosokan yang lebih intens sambil berpikir untuk melakukan coli. Namun dia mengurungkan niatnya karena merasa tidak pas dengan situasi dan kondisi saat itu.

Usai mandi dan mengeringkan badan, Wiguna merasa segar seakan-akan baru terbangun dari tidur nyenyak selama 10 jam. Hanya dengan dililit handuk saja, dia ke luar kamar mandi dan mengintip ke arah balkon di mana Kak Iput ternyata sudah tidak berada di sana. Wiguna kemudian melirik ke arah meja sofa tempat setumpuk pakaian ganti pesanannya diletakkan. Meski pun agak heran pakaiannya sudah ada di sana namun Wiguna tidak begitu ambil peduli. Dia melepaskan lilitan handuk di pinggangnya lalu memungut celana dalam yang ditumpuk terpisah. Sebelum mengenakan celana dalam baru itu, Wiguna mengamat-amatinya karena merasa celana dalam itu kekecilan. Batang kontolnya yang masih kuncup itu nampak lurus dengan glandulanya yang mirip helm Jerman, menodong ke arah dinding kamar yang penuh berbagai ornamen dan asesoris interior. Bagi siapa pun laki-laki normal yang melihat batang kontolnya, pasti akan segera membuang muka ke langit-langit kamar sambil mengangkat tangan rapat terbuka, menghormat! Sementara dalam hatinya akan timbul rasa kagum serta iri sekaligus. Itu bukanlah pentungan tumpul yang terbuat dari balon berisi air, yang memble jatuh ke bawah. Tapi itu adalah batang meriam yang sangat gagah dan tebal serta lurus, yang menempel kokoh pada pubis dengan rambut halus pendek yang merembet sampai ke udel. Di bawah batang meriam yang gagah, tergantung dua kantung amunisi yang mirip salak dempet berwarna kecoklatan. Batang meriamnya itu sendiri berwarna coklat pastel yang lembut namun menjanjikan kekuatan pentungan yang tak terduga. Kekuatan daya tikam pentungan itu tidak diketahui oleh siapa pun kecuali segelintir perempuan istimewa saja yang pernah merasakannya.

Benar saja, walau pun celana dalam itu tidak kekecilan namun terasa agak ketat ketika Wiguna mengenakannya. Dia kemudian mengenakan pantalon katun dan kemeja krem yang disediakan untuk persiapan makan malam lalu pergi ke kamar mandi untuk menggantungkan handuk dan mengambil baju yang baru saja dipakainya. Melipat kaos polos, celana pendek dan celana dalamnya dalam satu gulungan, lalu Wiguna pergi ke luar kamar untuk menemukan binatu hotel sambil berharap keesokan pagi pakaian tersebut sudah bisa dipergunakannya lagi.

Namun sayang Wiguna tidak tahu, sepasang mata yang bening dengan tatapan mencorong serta membelalak mengawasi setiap detil gerak-geriknya tanpa satu kali pun berkedip. Setengah detik setelah Wiguna ke luar kamar, pemilik sepasang mata itu ke luar dari balik jambangan pohon palm yang besar, rimbun dan tinggi. Dia ke luar dengan nafas terengah-engah seperti habis lari karena dikejar anjing edan.

Padahal dia hanya melangkah dari balkon, masuk ke dalam ruangan dan mengintip apa isi bungkusan kulit aneh itu yang diletakan di atas nakas. Dia penasaran. Akhirnya dia membuka bungkusan itu yang ternyata isinya adalah puluhan intan yang masih buram (intan yang sudah digosok dan dibentuk namanya berlian -Sumandono-) yang bila sudah digosok dan dibentuk tentu akan menjadi berlian yang nilainya milyaran. Putri tahu persis batu-batu putih buram sebesar kerikil akuarium itu adalah intan, ya dia tahu persis. Karena mamanya almarhum adalah seorang pedagang perhiasan batu mulia dan telah mengajari Putri berbagai hal tentang batu mulia. Seandainya Mama masih hidup, mungkin dia akan terkena serangan jantung saking gembiranya melihat intan sebanyak itu.

Putri sebenarnya masih penasaran dengan intan-intan itu namun dia lebih penasaran dengan lelaki itu ketika ke luar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililit seenaknya di pinggangnya. Putri tak ingin mengintip, dia hanya penasaran. Lalu dia berdiri di belakang sebuah jambangan yang besar dengan pohon yang rimbun yang terletak persis di pinggir nakas. Seandainya dia konangan mengintip, dia hanya akan tertawa kecil dan menantang Gugun untuk gantian melihat tubuhnya.

Pada saat itulah dia melihat tubuh cowok itu seutuhnya, mencium bau badannya yang merangsang serta mendengarkan dentam jantungnya sendiri yang bergelontangan tidak karuan. Mirip seperti bergelontangannya sekumpulan kaleng kosong yang diikat ke bemper mobil yang melaju cepat. Begitulah suara dentam jantung Putri.

Begitu Gugun ke luar kamar, kepalanya terasa panas dan pusing. Otaknya sudah setengah sinting ketika akhirnya Putri berlari ke kamar mandi dan langsung menelanjangi diri. Secepatnya dia memutar kran shower air dingin sampai putaran maksimal. Melulu dengan melihat tubuh atletis si pegawai baru itu, Putri langsung merasa demam. Apalagi ketika melihat kontolnya yang aduhai itu. Sungguh, seandainya dia sudah tidak waras, dia ingin berlari ke ranjang, melepaskan celananya dan mengangkang sambil membeliakan bibir-bibir memeknya agar liangnya yang merah menganga terbuka selebar-lebarnya sambil beteriak, “Gugun! Cepat masukkan kontolmu itu ke dalam liang memek Kakak. Ewelah Kakak sampai sedalam-dalamnya. Cepatlah Gugun. Cepat Eweeeeeeeee!”

Sayangnya Putri masih waras. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah menyiram tubuhnya dengan air dingin, agar tubuh dan memeknya yang sudah panas itu bisa kembali normal seperti sedia kala.





5





Putri memang menyesal tidak membawa gaun malam yang berwarna merah marun, yang jika dikenakannya, gaun itu akan mengekspose pinggulnya yang indah, kulitnya yang putih dan tubuhnya yang tinggi langsing.

165 cm untuk ukuran rata-rata wanita Indonesia itu tinggi, ditambah sepatu stilleto 10 cm akan menjadikannya semampai sebagai pasangan yang sempurna untuk Wiguna. Mereka akan terlihat serasi saat dia menggenggam lengan lelaki itu dengan kedua tangannya. Melangkah tenang dan mantap. Semua mata akan tertuju kepadanya. Dadanya yang kecil takkan dilihat oleh mereka. Tapi kulitnya yang putih yang kontras dengan gaun malam merah marunnya dan tubuh dengan body sempurna yang tinggi menawan yang akan mereka lihat. Mereka akan lupa dengan hidungnya yang tak semancung Ningrum atau Dewi. Mereka hanya akan melihat dirinya sebagai Putri. Putri yang benar-benar seorang putri.

Tapi Gaun malam itu tidak dia bawa demikian juga dengan stilleto-nya. It’s oke. Dia masih membawa kemeja kasualnya dan sepatu pantofel dengan hak 3 cm. Itu tak perlu disesali. Dia bisa sepadan menemani Gugun makan malam.

Yang paling disesalinya adalah mengapa dia tak menjejalkan gaun tidur sutra warna merah mawar kesukaannya ke dalam tas pakaian gantinya. Padahal gaun tidur itu tipis dan tak memakan banyak tempat. Sebab, itu adalah gaun terusan sepanjang lutut yang cantik dan sexy, yang seharusnya dia pakai malam ini. Sebab, dia takkan memakai singlet dan (mungkin) celana dalam jika memakai gaun tidur itu.

“Semuanya berjalan spontan dan tanpa direncanakan.” Desis Putri kepada dirinya sendiri sambil mengoleskan lisptik tipis-tipis pada bibirnya agar tak terlihat pucat, “aku harus tenang dan berdandan sekedarnya saja. Aku sudah melihat dia apa adanya, dia juga harus melihat aku apa adanya.” Pikirnya.

Setelah mematut-matut di depan cermin beberapa kali, Putri merasa bahwa tampilan kasualnya cukup memperlihatkan tubuhnya yang ramping serta gambaran dirinya sebagai seorang profesional yang tampil santai.

Akhirnya Putri ke luar kamar menuju resto yang tak seberapa luas. Hanya ada selusin meja di resto itu dan hanya 2 meja saja yang terisi. Putri menarik nafas lega. Pelayan resto yang berjaga di lobby resto menyapa Putri dan menanyakan dari kamar nomor berapa, Putri menjawab dari kamar di lantai 2.

Di hotel kecil itu hanya ada satu kamar di lantai 2, yaitu kamar super VIP. Pelayan itu seperti terkejut, dia cepat memberi isyarat dengan cara yang sangat hormat agar Putri mengikutinya. Mereka menuju lorong yang sepi seperti tidak ada manusia, lalu menemukan sebuah pintu di mana sebuah pantai yang tenang seperti dihamparkan begitu saja. Di situ ternyata Wiguna sedang menunggu. Duduk menghadapi meja bundar yang di tengah-tengahnya terdapat lampu led berwarna kuning redup.

Angin menyisir rambut Putri yang sebahu.

Pelayan resto itu pergi, datang 2 orang pelayan lain yang mengenakan topi kain tinggi warna putih dengan celemek bersih terikat di pinggangnya. Masing-masing memanggul baki keperakan berbentuk bundar sebesar payung. Mendekati Putri dan Gugun yang mendadak saling menatap dengan rasa canggung.

Satu-satu piring hidangan diturunkan ke atas meja. Putri merasa senang tidak ada nasi di sana diganti dengan kentang rebus yang ditumbuk. Sepiring lobster yang sudah dikupas diberi saus bumbu tiram kesukaannya mengundang selera, ditambah capcay sirip ikan hiu yang lezat dan bergizi.

“Kakak tidak yakin kamu bawa uang yang cukup untuk semua ini, Gun. Pasti mahal.” Kata Putri sambil menarik piring berisi 3 buah lobster sebesar paha balita, memotongnya dengan pisau dan menusuknya dengan garpu, “wow, ini lezat. Luarbiasa.”
“Memang. Hotel yang kelihatannya sederhana ini adalah salah satu hotel termahal di kawasan Jabar Selatan.”
“Tapi uangnya cukup tidak?”
“Kakak tidak yakin?” Tanya Gunawan sambil menyeringai.
“Berapa sih gajimu sebagai pegawai perusahaan? Maaf, Kakak yakin tidak akan melampaui 15 juta.”
“Terus?”
“Hotel ini per malamnya berapa, Gun? Kamu enggak takut bangkrut?”
“Kalau kemarin sih mungkin Gugun akan berpikir seperti itu, tapi sekarang tidak. Soalnya Kakak bawa kartu kredit kan?”
“Bukannya kamu tadi siang marah Kakak bayarin belanjaannya?”
“Marah, Gugun enggak marah.” Kata Wiguna dengan nada datar. “Kakak ingat waktu tadi sore Gugun bertemu dengan orangtua itu?”
“Ya. Siapa dia? Kalian berbicara dengan bahasa Sunda yang tak bisa dipahami. Kedengarannya sangat lucu.”
“Gugun kira, Kakak enggak perlu tahu siapa kakek itu, tapi Kakak harus tahu, dari dialah Gugun mendapat barang-barang berharga.”
“Barang berharga? Apa itu? Masa kakek tua seperti itu punya barang berharga?”
“Nanti akan Gugun tunjukkan.”
“Gak perlu. Kakak udah tahu koq.” Kata Putri dengan senyum menyeringai, “yang di dalam bungkusan kulit itu kan?”
“Kakak tahu itu apa? Itu intan. Nilainya bisa milyaran.”
“Bukan, bukan milyaran.” Kata Putri dengan ekspresi datar, “tapi ratusan, Gun.”
“Ratusan?” Wiguna bertanya seperti tidak percaya.
“I ya, ratusan milyar.”
“Gugun kira ratusan apa.”
“Kakak bisa minta tambah lobsternya enggak ya? Enak banget soalnya. Terus rencana kamu dengan batu-batu itu gimana?”
“Bisa, panggil aja pelayan yang lagi nunggu di sudut sana.” Kata Wiguna sambil menyuap kentang tumbuknya, “entahlah Kak, saat ini Gugun belum ada ide.”

Putri bertepuk tangan lalu menggapaikan tangannya memanggil pelayan. Pelayan itu mendekat dengan setengah berlari dan mengangguk ketika Putri meminta tambahan lobster.
“Apa bapak juga mau pesan lagi.” Tanya sang pelayan kepada Wiguna.
“Mm, boleh. Kalau ada sih kuda laut bakar.”
“Ada, Pak. Sekalian sama gurita muda-nya?”
“Ya, itu juga.”
“Baik, Pak.” Pelayan itu kemudian pergi dengan langkah gesit.

Putri mengibaskan rambutnya. Kini dia benar-benar menguasai dirinya. Menatap lelaki di depannya dengan cara dan pola pikir yang sama sekali berbeda dengan beberapa jam sebelumnya. Sebab lelaki polos di hadapannya kini bukan lagi seorang lelaki biasa, tapi seorang milyarder tulen. Kekayaan akan mengubah segalanya dan lelaki itu belum mengetahuinya.

“Kakak memiliki pengalaman yang cukup mumpuni dengan batu-batu mulia. Mama almarhum memiliki toko perhiasan di Jakarta Pusat…”
“Oh, mamah kak Iput sudah meninggal ya?”
“Ya, 5 tahun lalu. Radang otak.” Kata Putri sambil menyuap capcay sirip ikan hiunya, “ini juga lezat. Gak nyangka hotel sekecil ini memiliki kuliner yang ajib.”
“Gugun juga enggak nyangka.”
“Sebelumnya kamu pernah ke sini?”
“Belum.” Kata Wiguna, sepasang matanya menatap Putri dengan rasa penasaran yang tak disembunyikan, “terus sekarang tokonya gimana?”
“Masih jalan. Kakak kadang ngelongoknya sesekali.”
“Sebetulnya kerjaan Kakak apa sih?” Tanya Wiguna sambil menyuap capcay terakhir di piringnya.
“Kamu makannya cepet sekali.” Seru Putri dengan nada pura-pura kaget, “kakak belum habis, piring kamu sudah bersih.”
“Gugun makannya pelan-pelan koq.”
“I ya, tapi suapan kamu besar.” Kata Putri, tersenyum. “Sebetulnya ya Gun, kalau dari bisnis jual beli perhiasan, itu untungnya walau lumayan tapi bisa dikatakan tidak banyak. Dan seringkali tidak menentu karena tergantung pembeli. Tapi bisnis perhiasan, terutama emas dan berlian, itu sebetulnya adalah bisnis investasi. Mirip dengan bisnis property namun dengan gejolak harga yang berbeda.”
“Begitu ya Kak?”
“I ya, Gun. Sebetulnya ketika Mama membeli perhiasan, dia sama sekali tidak berniat untuk memperdagangkannya. Dia ingin menyimpannya. Dia hanya menjualnya jika menurut dia harganya sedang bagus.”
“Owh.”
“Jika Papa butuh uang untuk modal, perhiasan itu bisa digunakan untuk jaminan pinjaman.”
“Papa kamu kerja apa?”
“Beliau… mmm, seorang pengusaha.”
“Berarti Kakak juga seorang pengusaha dong.”
“Begitulah.”
“Kakak udah nikah belum?”

Sejenak wajah Putri memerah, ada semacam perasaan malu di dalam hatinya dan perasaan lainnya yang sulit dijelaskan.

“Menurut kamu, Kakak udah nikah belum?” Putri balik bertanya. Wiguna terdiam. Sepasang matanya menyilet wanita yang lebih tua 8 tahun itu tanpa kedip. Putri menunduk, pura-pura menekuni capcay sirip hiu dan kentang rebusnya. Dia tak berani melawan tatapan itu.

Mereka mendadak saling membisu. Pelayan yang datang membawakan pesanan ternyata tak sanggup memecahkan kebisuan tersebut. Mereka meneruskan makan malam tanpa bicara. Di dalam hatinya, Putri berperang untuk mengatakan semua secara sejujurnya atau tetap menyembunyikannya. Dia tak ingin Gugun mengetahui statusnya. Tapi bagaimana pun juga Putri tahu, semanis apa pun kebohongan itu takkan pernah lebih baik dari sepahit apa pun kejujuran.

Jujur, walau pun pahit akan berbuah manis. Bohong, walau pun manis, akhirnya akan berbuah pahit juga. Diam-diam, Putri berniat untuk membuka dirinya dan mengatakan siapa dia sebenarnya.
“Gun.”
“I ya, Kak?”
“Menurut kamu, apakah… apakah Kakak terlihat seperti perempuan murahan?”
“Wow wow… tunggu. Itu pertanyaan macam apa, Kak?”
“Jawablah, Gun.” Suara Putri terdengar memelas.
“Tidak, Kak. Sama sekali tidak.”
“Tapi…”
“Tapi apa, Kak?”
“Gun, Kakak ini….”
“Tidak, tidak.” Kata Wiguna sambil menggoyangkan tangannya, “tidak, jangan katakan apa pun.” Wiguna berkata dengan suara agak gemetar. Sama gemetarnya dengan ombak yang tiba-tiba datang berdebur. “Gugun tahu, Kakak mungkin sedang kebingungan oleh sesuatu masalah. Lupakan saja dulu semua masalah Kakak, Kita nikmati saja makanan ini dan debur ombak yang ramah dan lembut ini, setuju?”

Putri tersenyum kecil seperti terpaksa.

“Tak semudah itu,Gun. Tapi Kakak setuju.” Putri berkata dengan nada yang agak melankolis, sepasang matanya yang lembut menatap kepala Wiguna yang agak menunduk karena sedang bertekun dengan makanannya, “menurutmu, bagaimana jika batu-batu itu kakak yang urus?”
“Maksud kakak?” Wiguna mendongak sambil mengunyah gurita bakar yang bentuknya mirip somay.
“Kakak akan mengurus pembuatan sertifikatnya ke laboratorium gemology, mencari pengrajin cutting terbaik dan membuat merk untuk batu-batu itu, semuanya akan berskala internasional dengan nilai jual internasional. Kakak memiliki perangkat infrastruktur baik kelembagaan berupa perusahaan mau pun jaringan perdagangan, asuransi, para kolektor permata tingkat nasional dan internasional, legal drafter dan perlindungan hukum untuk semua batu-batu itu… Kakak bisa mengelolanya dengan baik dan akan menghasilkan nilai dan keuntungan terbaik.”
“Kedengarannya hebat.”
“Kamu bisa mempercayai Kakak.”
“Sungguh?”
“Ya. Percayalah. Setelah makan, kita akan ke kamar, menghitung jumlah intan dan membuat draft kontrak.” Putri berkata dengan sepasang matanya berkilauan memancarkan cahaya yang aneh.
“Baik.” Kata Wiguna, pendek. Tiba-tiba sepasang matanya melotot, “hah? awas ada ombak!”

Mendadak saja segulung ombak datang menerjang dan menyiram mereka hingga basah kuyup.





6




Pulang ke rumah Dayang Utusan di dekat Balai Kuta Sancang, Sri Kandhi menemukan Sri Asih dan Sri Mahi tengah berkemas sedangkan Sri Kunthi menatapnya dengan curiga.
“Angin dari utara sebentar lagi menjelang, waktunya berkemas. Kalau tidak kita harus menunggu 3 kali surya tenggelam lagi. Di sini membosankan.” Ujar Sri Asih sambil melipat catatan laporan ke dalam selendangnya dan mengikatnya dengan sehelai rambutnya yang berwarna coklat. Dia mengikatnya dengan kuat agar nanti ketika terbang, catatan itu tidak lepas dan jatuh di lautan atau di daratan Ustaralia yang akan mereka lewati dalam perjalanan pulang ke Palantis.
“Aku juga.” Kata Sri Mahi sambil membenahi selendangnya untuk bersiap-siap melakukan penerbangan yang cukup jauh. Dia adalah sopir Bulu Angsa terbaik.
“Kalian pada buru-buru begini ada apa sih?” Tanya Sri Kandhi, sedikitnya dia merasa kecewa karena waktu luang yang sedianya akan dia gunakan untuk jalan-jalan mengintip kehidupan manusia atas, malah tak bisa dia gunakan, “Kunthi, kamu juga pengen cepat-cepat pulang ya?”
“Aku? Biasa saja.” Jawab Sri Kunthi dengan wajah misterius.
“Tapi kamu udah berkemas.”
“Aku udah berkemas sejak kamu pergi ke rumah Pangeran Sancang, ada apa sih? Memek kamu udah gatel ya pengen diewe sama kontol tua itu?”
“Aku enggak gatel. Aku enggak ngentot.” Jawab Kandhi.
“Ah, jangan bohong. Kemarin aku lihat kamu colmek di atas pohon cangkring.”
“Kamu apaan sih Kunthi ngurusin kesenangan orang. Memangnya kamu enggak suka colmek?”
“Siapa sih yang enggak suka colmek? Semua dayang di istana Putri Roro melakukannya.” Jawab Kunthi dengan wajah enggak mau kalah, “masalahnya bukan colmek, tapi siapa yang kamu bayangin waktu colmek.”
“Itu tidak melanggar hukum, kita bebas membayangkan siapa saja waktu colmek.”
“Tapi kalau membayangkan manusia atas, itu melanggar hukum undang-undang sexual negeri Palantis.” Kata Kunthi sengit, “apalagi sambil melihat gambarnya. Semua dokter penyembuh di Palantis setuju, hal itu akan membuat otak kita rusak karena ketagihan.”

Sri Kandhi terdiam. Kunthi walau pun jahil dan menyebalkan, memang selalu ada benarnya.
“Kalian selalu berdebat soal colmek!” kata Sri Mahi kesal, “ayo siap-siap terbang.”

Mereka bersiap-siap terbang. Kunthi mendekati Kandhi dan berbisik, “pokoknya kalau kamu pinjemin gambar Pangeran Wiguna barang sehari dua hari, aku akan tutup mulut.”

Sri Kandhi melotot, “kamu memang menyebalkan.” Katanya dengan nada kesal, “kalau kamu mau pinjem kamu harus bayar.”

“Cepet naik!” Seru Sri Mahi, dia sudah lagi duduk di atas bulu angsa pelangi, disusul Sri Asih dan Sri Kandhi. Sri Kunthi duduk paling belakang dan menggoda Kandhi dengan menggelitik sayapnya. Bulu Angsa Pelangi adalah kendaraan terbang yang biasa digunakan oleh warga negri Palantis untuk berpergian jauh.
“Diam, reseh amat sih.” Gerutu Kandhi.
“Pinjem ya.”
“Bayar!”
“Kalian berisik!” Sentak Sri Asih yang jarang memperlihatkan emosinya, “kita udah mulai naik, kalian semua konsentrasi biar Mahi bisa mengendalikan bulu dengan baik. Kalau kalian masih berisik sebaiknya kalian terbang sendiri-sendiri!”
“Oke, siap bos.” Jawab Kunthi dengan nada bercanda, lalu dia berbisik ke arah Kandhi, “kalau boleh aku pinjem, nanti aku bantuin. Kamu disuruh apa sih sama Pangeran Jagala?”
“Nanti aku kasih tahu… eh, Kunthi coba cium, ini bau cendana kan?”
“I ya, benar. Kandhi, lihat di bawah, itu pangeranmu lagi berduaan sama orang jelek manusia atas…”
“Aku cium bau memek orang jelek itu mengeras, dia sengaja makan lobster biar perutnya memproduksi cairan memek yang banyak…”
“Pasti orang jelek itu lagi ngerayu Pangeran kita.” Kata Kunthi.
“Godain yuk? Kita pancing lidah ombak biar naik sedikit, aku akan lempar ujung selendang terus langsung kamu tarik, siap Kunthi?”
“Hi hi hi, oke. Satu, dua, tiga… ayo Kandhi lempar!”

Sri Kandhi melempar selendang birunya, pada saat selendang itu jatuh mendekati permukaan air laut, Kunthi langsung menariknya dan memasangnya kembali ke leher Kandhi. Terlihat oleh mereka, mendadak permukaan air laut yang tenang langsung melonjak seakan ingin melahap selendang Kandhi, hal tersebut membuat air laut naik dan membuat segulung ombak setinggi 5 meter. Segulung ombak itu berlari mendorong air laut di depannya hingga melaju ke pantai dan membuat semburan yang besar, yang menyiram dua orang yang sedang duduk berhadapan di pinggir pantai itu hingga menjadi basah kuyup.

Kandhi dan Kunthi cekikikan senang.

Sementara itu, Sri Mahi mengendalikan bulu angsa pelangi dengan baik. Dia menaikan bulu hingga melewati awan dan meloncat dari satu jalur jalan angin ke jalur jalan angin yang lain. Dengan mudah mereka menyalip benda lonjong-lancip buatan manusia atas yang bertuliskan US Air Force (angkatan udara Amerika Serikat). Sri Mahi menyeringai saat benda lonjong-lancip itu mengejarnya dan memuntahkan besi berisi api yang ditujukan untuk merusak bulu tunggangan mereka. Kelakuan si benda lonjong-lancip itu sangat tolol, lebih tolol dari naga terbang yang biasa mengejar mereka dan menyemburkan sengatan api.

Sri Mahi terlihat seperti melecehkan. Sekali hentakkan kakinya, bulu angsa pelangi menengadah ke langit dan melenting memasuki jalur jalan angin yang sempit dan berputar seperti kitiran. Itu adalah jalur jalan yang liar yang jika tak mengenal karakternya, bulu angsa pelangi akan mudah dibawa ke lapisan terluar bumi dan melemparkan penumpangnya ke ruang angkasa. Tapi Sri Mahi memang tidak malu menjadi lulusan terbaik Institut Tehnik Bulu-terbang negeri Palantis. Ia mengendalikan bulu mengikuti arah kitiran lalu dengan cekatan dia menerobos celah di antara kitiran yang berputar cepat dan lolos dengan sangat indah.

Sri Kunthi sejenak terlena oleh gaya menyetir Sri Mahi yang bagaimana pun, skillnya di atas rata-rata dari mereka semua. Sadar dari lenanya, sifat iseng Kunthi muncul saat melihat benda lonjong-lancip itu melayang di bawahnya. Dia melepas selendang dari lehernya dan menaburkannya di atas benda bikininan manusia atas itu. Lalu menariknya dan memasang kembali di lehernya. Tampak benda lonjong itu berputar-putar limbung, lalu mendadak jatuh ditarik oleh daya hisap (gravitasi) bumi.
“Mata pemindainya pasti kelilipan.” Kata Kunthi dengan suara yang penuh keyakinan.

Ke 4 remaja nakal manusia bawah itu cekikikan senang. Lalu melanjutkan perjalanan melewati udara hangat 20 km di atas dataran Ustaralia, mereka terus menuju selatan hingga akhirnya dari kejauhan terlihat pulau Batu Dingin yang diselimuti Cibodas (air putih) padat yang berkilau oleh cahaya surya abadi. Dari situ, mereka menukik ke arah lingkaran ungu, yang merupakan pintu gerbang untuk memasuki ibukota Negeri Palantis. Para penjaga yang duduk di atas punggung Biruang Putih seperti tak peduli akan kehadiran bulu angsa pelangi yang melesat memasuki gerbang. Mereka asik saja bermain angin dan lempengan air beku tanpa menghiraukan ke 4 dayang Istana Putri Roro Ayu yang mengepak-ngepak sayap dengan gaya meledek. Bulu angsa pelangi itu kemudian menghilang ditelan pantulan cahaya yang berkilau seperti pijaran kembang api.




***


Sementara itu, di dunia manusia, media-media di seluruh dunia mengabarkan berita yang dirilis oleh NASA, bahwa pesawat jet tempur mereka yang tengah berpatroli di atas Samudra Indonesia (samudra India), di serang oleh UFO (Unidentified Flying Objek) yang diperkirakan berasal dari luar Planet Bumi. Dari rekaman selama 1,5 detik yang berhasil mereka selamatkan dari reruntuhan pesawat, UFO tersebut bentuknya mirip seperti piring terbang. Namun pipih memanjang.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd