Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI CINTA DUA DUNIA

Status
Please reply by conversation.
Bagian Dua


1





Mereka terjebak oleh rasa kaget yang aneh dan sangat canggung. Selama 5 detik saling berpelukan, menikmati gelenyar darah yang mengalir cepat, detak jantung yang berdentam dan sensasi rasa yang menyenangkan.

Kemudian mereka saling melepaskan diri, masing-masing dengan wajah merah.

Beberapa pengunjung rumah makan ada yang tersenyum geli ada juga yang bersuit-suit. Sebagian ada juga yang meledek.
“Cie cie… pelukan ni yee.”

Cuma satu orang saja yang merasa kesal, jengkel sekaligus marah. Namanya Neneng Rosa Kurniawan, anak perempuan semata wayang pemilik rumah makan. Dia baru pulang sekolah, masuk lewat pintu samping dan melihat kejadian itu secara tak sengaja.

Dia kemudian melangkah masuk ke dapur dan menendang panci yang tak bersalah. Setelah melewati dapur, dia melintasi petak-petak kolam ikan mas yang tertata rapi di halaman belakang rumah makan itu yang sangat luas. Di ujung kolam ikan itu ada sebuah rumah minimalis yang kokoh. Itulah rumah kediaman Pak Iwan.

Ibunya heran melihat Neneng datang-datang terus saja uring-uringan.
“Kamu teh kenapa atuh Neneng?” tanya Ibunya dengan keheranan.

Neneng tak bisa menjawab. Soalnya bingung. Kang Gugun, cucu Nenek Banon sangat terkenal di kalangan gadis-gadis di desa Sukarasa ini. Sejak kepindahanya dari Bandung, dia jadi buah bibir dan bahan gosip yang tak pernah habis. Sebulan yang lalu, Neneng berkenalan dengan Kang Gugun ketika dia membeli ikan mas hidup di kolamnya.

Kang Gugun sangat baik dan memiliki senyum yang bikin hati gadis mana saja langsung meleleh. Neneng suka sama dia. Neneng ingin jadi pacar kang Gugun. Kalau Neneng sudah selesai sekolah, Neneng ingin menikah dengan Kang Gugun.

Tapi ternyata Kang Gugun sudah punya pacar. Neneng sedih sekali.

Neneng masuk ke dalam kamarnya dan menangis sesenggukan.





2



“Ma-maaf.” Kata Wiguna, canggung dan kikuk
Putri menatap si pegawai baru itu dengan tatapan lembut, “aku yang harusnya minta maaf. Lihat ini, sandal jepit ini putus. Ini gara-garanya.”

Wiguna melihat sandal jepit itu dan tersenyum. Putri senang sekali dengan senyum itu.

“Namanya Cep Gugun ya? Nama saya Iput.” Kata Putri, dia memanfaatkan situasi itu untuk berkenalan dengan si pegawai baru itu. Tadi dia mendengar pemilik rumah makan itu memanggil si pegawai baru itu “cep Gugun”, dia sengaja mengulanginya untuk menekankan bahwa dia tidak mengenal si pegawai baru itu sebelumnya. Tetapi itu memang fakta bahwa dia tidak mengenal cowok itu sebelumnya. Kemarin, usai meeting dengan Papa, dia sempat nanya-nanya kepada sejumlah karyawan perempuan tentang pegawai baru yang bernama Gugun itu. Mereka menjawab dengan sangat antusias, terutama yang masih lajang, bahwa Gugun orangnya baik. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Dewi dan Ningrum secara diam-diam berkompetisi memperebutkan hati si pegawai baru itu.

Sayangnya, si pegawai baru itu seperti tak tertarik. Ada yang menduga, jangan-jangan dia adalah seorang homo alias gay.

Senyum di wajah Wiguna berubah menjadi tawa kecil.
“Panggil Gugun saja Kak Iput.” Kata Wiguna dengan suara bassnya yang lembut, “pak Iwan memanggil saya ‘cep’ itu pantes karena beliau sudah cukup umur. Panggilan ‘cep’ biasanya merupakan panggilan sayang orang tua kepada anaknya. Tetapi apabila yang memanggil ‘cep’ itu orangtua yang bukan ayah atau ibunya, itu biasanya merupakan panggilan hormat.”
“Berarti cep Gugun orang terhormat ya?”
“Ha ha… bukan, bukan. Saya orang biasa saja koq. Pak Iwan memanggil saya begitu untuk menghormati pelanggan.”
“Oh.”

Mereka berjalan ke luar dari pintu rumah makan dengan sangat pelahan. Wiguna secara otomatis melangkah lurus menuju jalan desa, sedangkan Putri melangkah agak ke samping, menuju mobilnya yang diparkir di ujung sisi rumah makan itu. Mendadak saja mereka sadar bahwa mereka tak ingin berpisah.

“Eh, cep Gugun…” Suara Putri seperti tercekat.
“Panggil aja Gugun kak.”
“Gun, makasih ya…”
“Ga pa pa. Ga perlu di-inget-inget.”
“Tapi saya pasti keingetan terus.” Kata Putri dengan suara sedikit gemetar. Bagaimana pun mereka baru saja bertemu dan Putri tidak mungkin meminta si pegawai baru itu agar jangan pergi meninggalkannya begitu saja.
“Apalah artinya 35 ribu? Kakak pasti akan melupakannya.”
“Bukan uangnya.” Putri berkata seperti berbisik.

Wiguna mengernyitan kening.

Dia menoleh ke arah wanita itu yang sedang tengadah ke arahnya. Wiguna merasa berdebar. Dia tahu dirinya memiliki tampang cukup lumayan tapi dia juga tahu, perempuan-perempuan cantik yang kaya dan memiliki kekuasaan, umumnya mengidap sedikit penyakit jiwa. Itulah yang dipelajarinya selama beberapa tahun berkelana di Jakarta.

“Saya paham.” Kata Wiguna dengan hati-hati, “untuk menghilangkan rasa hutang budi, kakak ingin saya menemani jalan-jalan keliling Garut dan mentraktir saya. Bukankah begitu?”

Putri tersenyum, dia senang dengan gagasan menemani jalan-jalan dan mentraktir pria itu. Ya, dia senang. Dia ingin melakukannya.
“Betul, tapi gak persis juga seperti itu.” Kata Putri dengan bibir melengkung memperlihatkan suasana hatinya yang mendadak riang.
“Tidak persis ya?”
“Ini pertama kalinya kakak ke Garut.” Kata Putri dengan suara lebih tenang. Kali ini Putri sudah berhasil menguasai dirinya walau secara jujur dia harus akui dampak dua kali “crit” itu belum hilang sepenuhnya. “Kakak berrencana pergi ke kawah Kamojang untuk melihat secara langsung potensi bisnis yang ada di sana.”
“Oh.” Seru Wiguna pelahan, “rupanya kakak ke sini untuk bisnis.”
“Boleh dikata begitu, Gun. Tapi juga gak persis begitu.”
“Wow, kakak mengatakannya dua kali.”
“Apa?”
“Gak persis begitu, kakak mengatakannya dua kali.”
“Benarkah?”

Wiguna tertawa samar.
“Ya, benar.” Kata Wiguna.
“Terus?”
“Itu artinya kakak sedang bingung, maaf, jangan tersinggung.”
“Saya tidak tersinggung.” Kata Putri dengan nada datar. “Haruskah?”
“Begini Kak, kalau boleh saya jujur, saya…”
“Boleh, boleh. Jujur adalah hal terbaik dalam kehidupan ini.”
“Saya setuju, Kak.” Komentar Wiguna terhadap ucapan wanita itu, “sejujurnya saya biasanya tidak nyaman berdekatan dengan perempuan…”
“Oh, Tuhan! Ka-kamu… g-a-y?” Putri memotong lagi kalimat si pegawai baru itu sekali lagi. Putri tidak sadar sikapnya itu merupakan penjelmaan rasa egonya bahwa dia lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Wiguna. Tidak bisa tidak, bagaimana pun dalam kepala Putri, lelaki muda yang ganteng dan menawan ini adalah tetap merupakan anak buahnya. Hanya saja si pegawai baru itu tidak mengetahuinya. “Apakah dia harus tahu kalau aku adalah boss-nya?” Pertanyaan ini terus saja mengganggunya sejak detik pertama dia melihat si pegawai baru itu.

Putri mendengar lelaki itu tertawa.
“Tidak, tidak. Aku bukan gay. Aku lelaki normal.”
“Kamu menikah?”
“Tidak, maksudku, belum.”
“Pacar?”

Wiguna menarik nafas berat.
“Belum juga.”
“Kamu kerja atau wiraswasta?” Putri mendesak pria itu seakan-akan dia sangat kepo. Padahal tentu saja dia tahu cowok itu bekerja di perusahaannya.
“Kerja.”
“Kamu pasti sudah punya pacar!” Tuduh Putri dengan nada seperti cemburu, “rekan-rekan kerjamu yang perempuan pasti banyak yang suka sama kamu. Kamu kelihatan seperti cowok yang baik. Kamu juga cukup menarik.”
“Gak persis begitu juga, Kak.”
“Kamu mengutip kalimat kakak.” Kata Putri seperti meledek tapi juga seperti sinis, “akui saja, kamu pasti punya banyak pacar.”
“Saat ini satu pun tidak punya.”
“Kalau begitu, kamu pasti punya banyak mantan.”
“Tidak. Seumur hidup saya, saya hanya punya pacar satu orang.”
“Terus?”
“Terus apa?” tanya Wiguna.
“Terus kenapa kamu putus?” desak Putri.
“Kami tidak putus. Tidak akan pernah. Saya tetap mencintai dia sampai dengan saat ini.” Wiguna berkata dengan ekspresi wajah sungguh-sungguh.
“Hm, begitu ya.” Wajah Putri memberengut, “mantan kamu itu menikah sama orang lain ya?”
“Tidak.”
“Tidak?” Putri mengerutkan kening, “berarti kamu masih berhubungan dengan dia?”
“Masih.” Jawab Wiguna, “salahkah?”

Putri tercenung agak lama. Seribu satu pikiran dan berbagai macam gejolak perasaan bergemuruh di dadanya, sementara si pegawai baru itu menatapnya dengan lembut.
“Kamu masih suka bertemu dengan mantan kamu?” Putri bertanya dengan nada sedikit gemetar.
“Kadang-kadang, itu pun secara kebetulan.”
“Secara kebetulan?” tanya Putri.
“Ya, secara kebetulan.” Jawab Wiguna dengan senyum yang hangat. Putri merasakan senyum itu seperti pisau yang menusuk jantungnya.

Putri terdiam.

“Kadang, kalau lagi kangeeennn banget, saya biasanya memutar lagu-lagu kesayangannya, lalu membayangkan berjalan berpegangan tangan bersamanya… biasanya dia kemudian suka datang dalam mimpi. Walau hanya sekejap, cukuplah itu mengobati kerinduan yang tak mungkin sampai.”

Sepasang mata Putri mengembang.
“Sebegitunya ya kamu mencintai mantanmu?”
“Ya. Setiap saat jika ada waktu luang saya selalu mendoakan dia, semoga baik-baik saja di alam sana. Begitulah cara saya berhubungan dengannya.”
“D-i… a-l-a-m sana?” kata Putri dengan sedikit terbata, “maksudmu, mantanmu… dia, sudah meninggal?”

Wiguna diam, tidak mengangguk tidak juga menggeleng.
“Dan kamu masih tetap mencintai dia?”
“Ya. Salahkah?”

Putri tidak menjawab pertanyaan itu.
“Kita terlalu lama berdiri di sini. Orang-orang banyak yang ngeliatin.”
“Kakak malu diliatin orang?” tanya Wiguna.
“Haruskah?”
“Entahlah.”
“Aku seneng kita bisa bicara…”
“Tapi?” Potong Wiguna.
“Di sini kurang nyaman.”
“Kakak mau kita… jalan?”
“Boleh. Ke mana?”
“Kakak pengen ke mana? Ke kawah Kamojang?”
“Itu… tidak, jangan ke sana. Nanti otak aku jadi mikir bisnis.”
“Mau mampir ke rumah?”
“Ke rumah?”
“Ya, rumah saya.”
“Jangan, entar ketemu sama ibu kamu.”
“Mamah sudah meninggal. Di rumah cuma ada nenek dan perawatnya.”
“Nenek kamu pasti judes.” Kata Putri, hatinya merasa lega kembali.
“Sedikit.”
“Ke tempat lain, Gun, yang nyaman tapi.” Dalam hati Putri menginginkan lelaki itu mengajaknya ke hotel. “Oh, tidak.” Keluh Putri dalam hati, “tidak secepat ini.”

Wiguna terdiam.

“Kamu jangan khawatir gak bawa uang…” Kata Putri seperti berbisik.
“Bukan soal uang, Kak. Saya…”
“Kamu bisa nyetir?” tanya Putri tiba-tiba.
“Ya, tentu.”
“Nih kunci, bawa saya ke mana aja.” Kata Putri sambil menyerahkan kunci mobilnya.
“Kakak tidak takut?”
“Takut apa?”
“Kita baru kenal beberapa menit, kakak tidak tahu siapa saya yang sebenarnya. Bisa saja saya adalah maniak pembunuh dan perampok.”

Putri tidak mempedulikan perkataan Wiguna. Dia melangkah lebih dulu dan menarik lengan lelaki itu menuju ke tempat di mana mobil Chevy D-Cabnya diparkir. Kakinya yang telanjang itu sedikit berjingkat menghindari kerikil dan kotoran tanah di atas pelataran parkir yang dipelur semen itu.

Mereka tiba di dekat mobil Putri.

“Kakak…” Kata Wiguna dengan nada setengah ragu saat berdiri di samping mobil yang gagah berwarna merah marun itu.
“Bukain pintunya.” Kata Putri sambil berjalan memutar menuju pintu mobil di sebrang Wiguna.

Tut! – tut!
Speaker yang terletak di bawah kap depan dekat mesin itu berbunyi keras sekali saat Wiguna memencet tombol “on” pada panel kunci digital.

Putri membuka pintu dan memanjat masuk. Sementara Wiguna masih terpaku di pinggir mobil.
“Cepet.” Kata Putri seperti tak sabar.

Mobil itu tinggi dan gagah. Lebih pendek 3 cm dari ubun-ubun Wiguna yang memiliki tinggi tubuh 178 cm.

Ragu Wiguna membuka pintu, menatap Putri yang tersenyum sumringah.
“Kakak… ini mobil mahal.”
“Gak juga. Kamu bisa mengendarainya kan?”
“Tentu. Saya biasa dengan transmisi manual.”
“C-e-p-e-t.” Kata Putri lagi, nada suaranya seperti orang menahan kencing.

Wiguna memanjat masuk. Duduk di belakang stir, menyapukan pandangan sejenak ke arah panel digital yang terletak di dashboard.
“Wow.” Desis Wiguna merasa kagum.
“Ayo jalan.”
“Sebentar, Kak.” Kata Wiguna dengan bola mata bergerak-gerak ke kiri ke kanan, dia demikian fokus memperhatikan beberapa tombol dan indikator yang terdapat dalam panel, “saya pelajari dulu, biar enggak canggung.”

Putri menatap tanpa kedip tingkah pria itu.

Sekarang dia tahu persis apa yang diinginkannya. Pria ini polos, baik dan lembut hati. Sejak mereka berbincang di depan pintu rumah makan, yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu, sejak itu pula seribu satu rencana berloncatan dalam kepalanya. Putri yakin, saat ini, Gugun tidak tahu siapa dirinya. Ini harus dipertahankan selama mungkin. Dia harus secepatnya menelpon Ida Mariana untuk menyempurnakan rencananya. Walau pada awalnya Putri menduga penampilannya tidak menimbulkan kesan positif di mata pria itu namun kini Putri yakin dengan seyakin-yakinnya jika pria itu menyukainya secara fisik. Ya, suka dalam arti yang sebenarnya. Putri bisa merasakan dari tatapan matanya yang lembut. Sorot yang penuh kasih dan kekaguman yang diperlihatkan pria itu, sungguh sangat jauh berbeda dengan tatapan penuh nafsu dari Andreas Hadi Pitono.

Tatapan Andreas adalah tatapan buas yang sangat mesum. Sebuah tatapan yang ingin menelanjangi tubuh Putri, mengentot dirinya dengan kekuatan kontol lelaki 40 tahun yang bersemangat tinggi lalu muncratkan pejuh diiringi rasa percaya diri yang berlebihan bahwa dia telah memuaskan pasangannya.

Andreas cuma type lelaki umum yang kebetulan memiliki jabatan dan kekayaan. Bagi kebanyakan perempuan, Andreas yang mirip artis korea ini mungkin type lelaki ideal. Tapi bagi Putri tidak. Dia mungkin tampan, tapi ketampanan itu relatif. Pada awalnya seorang perempuan mungkin tertarik dengan ketampanan seorang lelaki, tetapi perempuan juga memiliki hidung dan telinga yang lebih tajam dan lebih intuitif dari sekedar tatapan mata. Hidung Putri bisa mencium tubuh Andreas yang sebenarnya dari balik parfum mahalnya. Suatu bau yang entah bagaimana bisa membuat Putri muntah.

Anehnya, Putri juga tahu kalau kedua adiknya, Ningrum dan Dewi, sama-sama tidak menyukai Andreas. Bahkan Dewi yang agak maniak seks, akan berpikir 100 kali sebelum mau ngewe dengan Andreas. Bukan karena Andreas sudah punya istri atau takut ketahuan Papa tapi Dewi juga ternyata tidak menyukai bau lelaki itu.

Sedangkan tatapan sepasang mata Gugun adalah tatapan antusias dan kekaguman. Tatapan yang muncul dari lubuk hatinya yang indah, yang menghargai dan mengagungkan wanita bukan sebagai objek sex, tetapi justru sebagai subjek. Setiap perempuan yang pernah mengenal sorot mata lelaki itu pasti akan merasa tersipu dan tersanjung. Senyum dan tawa kecilnya juga memikat, sama memikatnya dengan bau tubuhnya yang mirip bau kayu cendana.

Pendek kata, Putri menginginkan pria itu. Tapi masalahnya, apakah pria itu juga menginginkan dirinya?

Putri harus menemukan cara untuk mengetahuinya.




3





Angin yang menyerbu dari sela jendela mobil yang sengaja dibuka sedikit, menyibak rambut lurus Putri yang sebahu. Helai-helai rambutnya berderai bertebaran di wajahnya yang polos tanpa riasan. Bibirnya agak pucat dan hidung mungilnya kemerahan.

“Kita mau ke mana?”
“Ke sebuah tempat yang nyaman dan tenang.” Jawab Wiguna sambil menoleh dan tersenyum ke arah Putri. “Tapi sebelumnya kita harus berhenti dulu di mini market itu, kita akan membeli beberapa cemilan.”
“Aku enggak suka ngemil, entar gemuk.”
“Tapi di sana nanti, Kakak ngemil segerobak pun tidak akan gemuk. Dijamin.”
“Kamu bohong.”

Wiguna hanya perlu beberapa menit untuk menyesuaikan diri dengan kemudi mobil itu sebelum akhirnya dia benar-benar menguasainya dan menikmati sensasi berkendara mobil pabrikan amerika itu. Dia menginjak gas dan melajukan mobil dengan kecepatan 80 km/jam selama beberapa menit, seperti mendadak dia membelokkan mobil ke arah halaman suatu mini market, lalu dengan timing yang pas, dia menghentikan kendaraan “gede” itu persis 25 cm dari palang besi pembatas yang terletak di mini market itu.
“Mau ikut turun?”

Putri melotot. Cara menyetir Wiguna terasa sedikit ugal-ugalan namun Putri harus mengakui, cowok itu memiliki skill menyetir yang sangat baik.

Tanpa mempedulikan Putri, Wiguna meloncat turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam mini market. Putri pura-pura diam tak bergerak. Sepasang matanya berputar-putar dan bibirnya melengkung menyunggingkan senyum. Setelah diam kira-kira 5 menit, Putri turun dan masuk secara diam-diam ke dalam mini market, menguntit Wiguna.

Putri tersenyum melihat di kasir ada mesin untuk kartu kredit.

Selama menguntit, Putri merasa tidak habis mengerti dengan apa yang dilakukan Wiguna. Dia tidak sedang membeli cemilan, tapi sedang memborong belanjaan hingga trollinya penuh dan membukit. Dia membeli minyak goreng, gula, beras, kecap, saus, garam, segala jenis bumbu-bumbu penyedap masakan, dan berbagai makanan dan minuman lainnya yang agak mustahil disebut cemilan. Satu-satunya yang menurut putri termasuk cemilan adalah biskuit gandum. Itu pun cuma sebungkus. Aneh.

Tapi Putri tidak peduli, semakin banyak belanjaan semakin bagus. Kartu kreditnya itu unlimited. Jangankan untuk membayar se-trolli belanjaan, seandainya mini market itu dijual beserta isinya, kartu kreditnya takkan ditolak.

Saat Wiguna mendorong trolli belanjaan dan berdiri di depan kasir, dia menunggu sampai kasir menghitung berapa jumlah harga total seluruhnya, Putri mendekatinya secara diam-diam dari belakang. Saat Wiguna memasukkan jemari tangannya ke saku belakang celana pendek cargonya untuk mengambil dompet, Putri sudah siap-siap. Saat dompet itu ditarik, mendadak Putri menampar tangan Wiguna hingga dompet itu terjatuh.

Wiguna menoleh, heran bercampur kaget dan sedikit emosi.

“Kakak apaan sih?” Kata Wiguna, wajahnya terlihat kesal. Dia kemudian membungkuk untuk mengambil dompet, pada saat itu Putri langsung menyelinap ke depan kasir dan menyerahkan kartunya.

Saat Wiguna berdiri, Kartu Kredit itu sudah digesek dan semua barang belanjaan sudah dibayar.
“Udah dibayar, wew!” Kata Putri sambil mengambil kartu kredit yang diserahkan kasir kepadanya, lalu ngacir. Dia berlari ke luar mini market seperti gadis kecil yang berhasil merebut boneka teman sepermainannya.

Wiguna terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya jelas sekali memperlihatkan bahwa dia tersinggung.





4





Putri menunggu di mobil dengan perasaan seorang juara sedang mengangkat trophy kemenangan. Dia tak sabar menunggu bagaimana reaksi lelaki itu. Sambil menunggu, dia menelpon Ida Mariana.
“I ya Bu Putri, ada apa?”
“Kemarin Bu Ida udah nge-chat dia belum?”
“Sudah, Bu.”
“Dibalas?”
“Dibaca juga tidak. Kelihatannya Gugun belum menyalakan HP-nya.”
“Bagus kalau begitu. Dihapus aja Bu chat-nya, bisa kan?”
“Kenapa?”
“Ga pa pa, sebaiknya hal-hal seperti itu dibicarakan langsung.”
“Baik, Bu.”
“Terimakasih ya Bu Ida, maaf mengganggu.”
“Gapapa Bu, ga masalah.”

Klik, telpon ditutup. Putri pun tersenyum. Satu rencananya berhasil dilaksanakan.
“Tapi mengapa dia lama sekali?” Bisik Putri dalam hati. Dia menyangka Gugun akan ke luar dari mini market itu dalam hitungan menit.

Setelah agak lama, barulah Wiguna ke luar dengan 4 buah plastik keresek besar yang penuh dijejali berbagai barang belanjaan. Wajahnya tampak muram.

Putri merasa aneh. “Kenapa dia?” tanya Putri dalam hati. Dia melihat Gugun berdiri saja di depan pintu mini market seperti orang linglung.
“Gugun, cepetan. Belanjaannya masukin aja ke bagasi.” Putri berkata dengan suara lembut.

Wiguna terdiam sejenak sebelum dia melangkah ke arah Putri tanpa membawa barang belanjaannya.
“Maksud Kakak apa sih?” Tanya Gugun dengan nada ketus. Wajahnya memperlihatkan ekspresi serius. Garis-garis wajahnya tegas, tapi bukan garis wajah yang marah. Itu adalah garis wajah yang menuntut.
“Kamu kenapa?” Tanya Putri, tidak mengerti.
“Maksud kakak ngebayarin itu apa maksudnya?” Tanya Gugun dengan nada yang serius.
“Emang enggak boleh?”
“Ga boleh.”
“Kenapa?”
“Pokoknya ga boleh. Aku enggak suka.”
“Kenapa?”
“Aku enggak suka dibayarin perempuan.”
“I ya, kenapa?”
“Pokoknya aku enggak suka.”
“Kalau enggak suka ya udah.” Putri berkata dengan nada yang sama ketusnya.

Gugun menghela nafas berat dengan cepat seperti sesak. Kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih lembut.
“Ya udah.” Kata Gugun dengan suara pelahan dan lemah. Dia kemudian menyerahkan kunci dan uang 977 ribu rupiah. Itu adalah jumlah uang dari total seluruh belanjaan yang dibelinya.

Putri melongo.

Dia menggeser punggungnya menjauh dari jendela mobil yang terbuka, sebagai pertanda dia tak mau menerima kunci dan uang itu.
“Maafkan Gugun, Kak.” Kata Gugun sambil mengangsurkan tangan masuk ke dalam jendela mobil, lalu meletakan kunci dan uang di atas pangkuan Putri. “Tadinya saya kira Kak Iput orang baik-baik, ternyata saya salah. Sekali lagi maafkan.”

Wiguna membalikkan badan menuju kantong kresek belanjaannya, merengkuhnya dan menjinjingnya. Lalu melangkah menyusuri selasar minimarket, menjauhi Putri yang mulutnya “ngangap” saking melongonya.

Putri berani sumpah, dia tak memahami apa pun yang sedang terjadi saat ini. Isi kepalanya berputar mencari jawaban, mengapa Gugun mendadak berubah menjadi seperti orang aneh. Tapi Putri tak menemukan jawaban.

Sesaat Putri mematung bagaikan arca.

Tiba-tiba saja Putri melonjak kaget. “Tidak bisa, dia tidak boleh pergi!” Jeritnya dalam hati. Seketika dia membuka pintu dan berlari mengejar Wiguna yang sudah berada di ujung sisi mini market itu.
“Gugun, tunggu! Maafin kakak! Maafin kakak!”

Putri berhasil mendekati Wiguna yang berjalan tanpa menoleh sambil menjinjing kantung kresek besar yang berat itu.
“Maafin kakak.” Kata Putri sambil memeluk tubuh Wiguna dari belakang, “kakak tidak bermaksud apa-apa. Cuma becanda.”
“Kakak bohong.”
“Sumpah Gun, demi Tuhan. Kakak tidak bermaksud menyakiti hati kamu.”
“Gugun gak sakit hati koq.”
“Maafin kakak, Gun. Maafin. Jangan ngambek gitu.”
“Gugun ga ngambek.”
“Jangan pergi.”
“Sudah Kak, lupain aja. Gugun bukan orang yang seperti kakak inginkan… Gugun bukan orang bayaran…”

Putri tba-tiba menangis.
“Maafin kakak Gun, maafin.”
“Gugun mau pulang.”
“Kakak ikut.”
“Tidak boleh. Lepasin, Kak.”
“Tidak.”
“Malu diliatin orang banyak.”
“Biarin.”
“Kakak… lepasin.”
“Gak mau. Kakak nyaman berada di sisi kamu. Kakak senang meluk kamu.”
“Bohong.”
“Sumpah.”
“Jangan ngawur, kak, kita baru ketemu satu jam lalu.”
“I ya, tapi Kakak seperti telah mengenal kamu seumur hidup. Jangan pergi, kita ulangi lagi semuanya dari awal.”

Wiguna menurunkan barang bawaannya sementara Putri tak juga melepaskan pelukannya.

“Sebenarnya apa yang kakak inginkan dari Gugun?”
“Enggak ada, kakak cuma berharap kita bisa berteman.”
“Berteman?”
“I ya. Kamu mau kan jadi teman kakak?”

Wiguna terdiam sejenak.
“Mau. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Kakak tidak boleh mengeluarkan satu rupiah pun untuk membelikan Gugun sesuatu.”
“Kenapa?”
“Kakak harus janji.”
“I ya tapi kenapa? Kenapa ga boleh?”
“Pokoknya tidak boleh. Kalau kakak gak mau, ya udah, lebih baik kita jangan berteman. Kita kenalan biasa saja, tapi bukan teman. Kakak harus janji dulu, nanti Gugun jelasin semuanya.”
“Ya udah, Kakak janji.”
“Bener ya?”
“I ya!”
“Ya udah, yuk ke mobil.” Kata Wiguna dengan nada yang riang.

Meskipun Putri tidak memahami mengapa perangai Gugun tiba-tiba berubah, tapi dia tidak peduli. Baginya yang penting cowok itu tetap di sampingnya. Dia kemudian mengikuti Gugun berjalan menuju mobil. Langkah Putri terasa agak janggal dan kikuk, soalnya selama memeluk cowok itu, “putri kecilnya” mengalami “crit” lagi dua kali.

“Mengapa memeluk cowok itu sangat enak sekali?” Pikir Putri dalam hatinya dengan tak habis mengerti.





5





Mobil melaju dengan kecepatan 90 km/jam memasuki jalur trans Jabar Selatan, saat melewati jalan yang membelah hutan, Wiguna secara mendadak membelokkan kendaraan memasuki area hutan.

Putri diam saja. Selama 2 jam perjalanan di hitung dari mini market itu, mereka saling berdiam diri. Dia hanya menatap Gugun dari samping dan berharap cowok itu memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi di depan mini market itu dan mengapa dia tak bisa menerima keinginan baiknya untuk membayar semua belanjaannya. Putri secara diam-diam berniat akan membeberkan siapa dirinya selama masa diam itu berlangsung.

Tapi keinginannya itu ditunda dulu, menunggu saat yang tepat.

Ketika mobil membelok masuk ke hutan, Putri sedikit berdebar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Gugun. Dia bahkan tidak bisa menduga. Putri sudah banyak belajar untuk tidak banyak bicara. Dia membiarkan diri terekstasi oleh kelak-kelok mobil menyelinap di antara batang-batang pohon, jalanan miring yang naik turun dan suasana hutan dengan aroma yang nikmat dalam hirupan nafasnya.

Mobil terus melaju menembus hutan semakin dalam. Jalanan yang dilalui adalah jalan tanah yang ditumbuhi semak-semak dan rumput liar yang dipagari batang-batang pohon yang tumbuh tak teratur.

Jalan di depan yang akan dilewati, penuh dengan pepohonan. Jalan di belakang yang telah dilalui, meninggalkan batang-batang pohon yang asalnya renggang menjadi merapat.
“Gun, kita akan ke mana?” tanya Putri akhirnya. Ada rasa kekhawatiran yang tiba-tiba merayap dalam hatinya kalau-kalau Gugun kesasar jalan.

Pria itu tak menjawab. Sepasang bola matanya berputar-putar liar sementara tangan dan kakinya bergerak-gerak memainkan tongkat persneling, stir, pedal gas dan rem.
“Gun, kita akan ke mana?” Tanya Putri lagi, kali ini dengan nada agak keras.
“Nanti Kakak akan tahu.”
“I ya, tapi ke mana?”
“Ke tempat yang nyaman. Kakak pasti suka.”

Pada saat Putri akan buka suara untuk memprotes, tiba-tiba saja batang-batang pepohonan yang rapat yang berada di hadapan mobil seperti membuka. Lalu mereka menemukan sebuah dataran rumput yang melengkung yang dipenuhi tebaran bebatuan sebesar kepalan tangan. Dari kejauhan, lengkungan dataran rumput itu terlihat seperti bukit. Mobil pun melaju miring dengan hidung mobil menanjak.
“Guuunnn…” Putri tercekat agak ketakutan.
“Tenang Kak, jangan takut. Sebentar lagi kita sampai.”

Putri menoleh ke belakang, dia melihat sebarisan pepohonan yang sangat rapat dan lebat baru saja ditinggalkan.

Sebelum Putri melakukan protes sekali lagi, mendadak saja mobil sudah berada di atas bukit. Mata Putri terbelalak ketika dia melihat sebuah bangunan batu yang bentuknya mirip seperti candi. Di belakang bangunan itu, terdapat beberapa rumah tradisional Sunda dengan atap terbuat dari daun rumbia.

Permukaan puncak bukit datar saja. Gugun melajukan kendaraannya pelahan dan berhenti di depan bangunan batu yang mirip candi tersebut.

“Kakak tunggu sebentar di sini.” Kata Gugun sambil membuka pintu dan mengeluarkan satu kakinya melalui pintu yang terbuka. “Jangan sekali-sekali ke luar dari mobil.”
“Kamu mau ke mana?”
“Ke depan, tuh ke situ. Kakak bisa ngeliatin dari sini.”
“Kamu mau ngapain?”
“Nanti juga kakak bisa lihat sendiri.”
“I ya tapi mau ngapain?”
“Pokoknya kalau urusan di sini sudah selesai, Kakak pasti senang.”

Wiguna turun dari mobil dan berdiri di depan pelataran bangunan yang mirip candi itu. Putri melihat, Gugun berdiri di atas lantai batu yang lebar tanpa alas kaki.

“Sampurasun!” Teriak Wiguna, lantang.
“Rampes!” Terdengar suara jawaban serentak dari sedikitnya 3 orang lebih. Tapi Putri tidak bisa melihat dari mana suara itu berasal sebab dia tidak melihat seorang pun manusia.

“Andika ngahaja datang mawa balad ngalanggar aturan! Naon sabab? Teu sieun dipencit kukula?” Kata sebuah suara yang berat dan berwibawa yang entah berasal dari mana. Sepertinya berasal dari belakang bangunan batu itu.
(Kamu datang sengaja membawa teman, melanggar aturan! Apa sebabnya? Tidak takut disembelih olehku?”)

Wiguna merapatkan kedua telapak tangannya, meletakan kedua tangannya yang rapat itu di tengah-tengah dahi, membungkuk sebentar kemudian berdiri tegak kembali dengan tangan yang rapat itu pindah ke tengah dada.

“Aturan kukula disembah, Jagala Sancang Eyang nu dipihormat. Lain balad anu jarambah, tapi hate aya pasini. Katitik ati sugan aya wenang na Gusti, batur hirup nalungtik pati.”
(“Aturan yang kupatuhi, Jagala Sancang adalah Eyang yang kuhormati. Bukan sembarang teman, tapi hatiku tertarik untuk berjanji. Hatiku telah terpikat asmara semoga mendapat izin Tuhan, sebagai teman hidup sampai mati.”)

“Lakadalah, lakadalah! Jalu nandang kahayang, tangtu dina kawenang Gusti! Kanjut Kunang geus dikeureutan, Heunceut beureum can karopea. Mun diojoskeun tangtu getihan. Kudu dilamotan heula sangkan lehoan. Sedepna matak teu eling. Teu kengeng bucat di luar, kedah nanceb di lebet bumi, sangkan asih jadi ngahiji.”
(“Lakadalah, lakadalah! –Ini adalah ungkapan rasa terkejut yang gembira– Lelaki bertekad dengan keinginan baiknya, tentu saja akan mendapat izin Tuhan. Kontol besar sudah dibuang kulupnya, memek merah belum terpakai seutuhnya. Kalau (kontol itu) ditusukkan (ke dalam memek) tentu akan berdarah. Harus dijilati dulu biar mengeluarkan cairan seperti ingus. Enaknya akan menyebabkan tidak sadar. Tidak boleh pecah (menyemprotkan sperma) di luar, harus menancap di dalam rumah (maksudnya di dalam memek), agar kasih sayang menjadi satu.”)

“Jagala Sancang Eyang seukeut socana, incu ngiring aturannana.”
(“Eyang Jagala Sancang tajam matanya, cucu mengikuti perintahnya.”) Kata Wiguna dengan nada riang. Sementara hatinya bertanya-tanya seperti tak percaya, “berarti Kak Iput masih perawan dong?”

Ha ha ha…

Terdengar suara kekeh tawa membahana sampai ke langit yang berawan kelabu.

Seperti tak berkedip dan terpesona oleh suasana yang suram-suram terang, Putri terdiam seribu bahasa. Dia sedikit pun tidak memahami Gugun yang sedang berbicara dalam Bahasa Sunda yang tua dan kuno itu. Bagaimana pun, Putri lahir dan besar di Jakarta, tumbuh oleh didikan Ayah yang berasal dari Solo dan Ibu yang peranakan Sunda – Tinghoa, beberapa kosa kata dalam percakapan itu, ada sedikit yang dia tahu walau dia tak paham apa arti dan maksudnya.

Suara kekeh tawa yang membahana itu mengejutkan hatinya. Putri menduga, tentulah pemilik suara itu adalah seorang yang tinggi besar dengan tampang seram. Sebelum dia melihat 4 bayangan hitam seperti terlontar dari belakang bangunan batu yang mirip candi itu, dari ambang bangunan yang terbuka, muncul seorang kakek tua berkulit putih dengan rambut panjang seleher berwarna perak. Hidungnya teramat mancung dan bengkok, sepasang matanya biru. Di atas kepalanya tertanam sebuah kopiah hitam tinggi berwarna merah marun, persis seperti warna mobilnya. Tubuhnya sangat pendek.

Kakek tua itu mengenakan pakaian seperti model baju koko dan terbuat dari bahan seperti beludru, tapi Putri tidak yakin itu beludru karena terlihat lebih halus. Pakaian itu tanpa kancing dan tidak terlihat ada tanda-tanda jahitan atau pun kelim di pinggirannya. Sungguh pakaian yang istimewa. Sedangkan dari pinggang ke bawah, kakek itu seperti memakai rok panjang yang agak ketat. Itu bukan sarung atau kain batik. Warnanya coklat dan kelihatannya elastis dan nyaman.

Saat pertama kali melihat kakek tua itu, entah mengapa tiba-tiba saja pikiran Putri melayang dan teringat kepada tokoh wayang golek yang bernama Dorna. Ya, ya, benar. Kakek tua itu mirip sekali dengan tokoh Dorna.

Saat ke 4 bayangan hitam itu secara bersamaan meluncur jatuh di atas pelataran batu, kakek tua itu sudah berada 1 meter di depan Gugun, yang langsung menjatuhkan diri dan berdiri di atas lututnya dengan kedua telapak tangan yang rapat menempel di pertengahan wajahnya sebagai tanda salam takzim.

Kakek tua itu masih terkekeh-kekeh, dia memiliki gigi geligi yang rata dengan sepasang gigi taringnya yang putih dan tajam, yang lebih panjang beberapa mili dari gigi-giginya yang lain. Saat Gugun melakukan penghormatan berbentuk sembah seperti itu, barulah Putri melihat tubuh kakek tu itu dan Gugun sama tingginya.

Ke 4 bayangan hitam itu tahu-tahu sudah duduk bersila dan berjajar rapi di atas pelataran batu. Mereka mengenakan kerudung hitam yang menutup seluruh tubuh dan kepala. Hanya secelah saja yang terbuka untuk memperlihatkan sepasang mata yang mencorong bersinar terang. Tetapi Putri tidak memperhatikan ke 4 orang.

“Ambuing ambuing incu aing, gagah awakna, ringrang hatena. Bersih atina, hade atikkannana. Kapati-pati kalara-lara ku sagara amarah, deudeuh teuing ucep, ulah kabawa ku gedur nafsu, bisi kaduhung ahirna.”
(“Aduhai cucuku, sempurna proporsi badannya, selalu dipenuhi kekhawatiran hatinya. (Kalau) batin bersih, (maka) taktik akan baik. Terbawa sakit oleh kemarahan yang diam, cucuku sayang, jangan terbawa oleh nafsu yang menggelegak, di akhir nanti akan menyesal.”)

“Nyanggakeun sembah hormat Eyang Jagala Sancang.” Kata Wiguna sambil membungkuk takzim. (nyanggakeun = menghaturkan)
“Yap ditampi ucep, ditampi pisan.” (Yap diterima cucuku, sangat diterima persembahanmu) Kata Eyang Jagala Sancang dengan nada gembira, wajahnya bersinar terang penuh cahaya.


(Percakapan selanjutnya akan langsung saja ditranslate ke dalam Bahasa Indonesia biar semua pembaca bisa paham walau harus mengorbankan rasa bahasa aslinya.-Sumandono-)


“Cucu datang hanya mampir sebentar, izin lewat eyang.”
“Duh, cucuku, kamu inget saja sama Eyang, bahagia sekali hati ini. Apalagi sengaja mampir, sungguh engkau keturunan berbudi.”
“Ampun Eyang, itu terlalu memuji. Cucu tak membawa apa pun selain bawaan kasar tak berharga.”

Kakek itu terkekeh keras.

“Kamu jangan suka menipu Eyang, dari jauh sudah tercium harum tembakau (rokok kretek) dan manisnya gula putih. Di belakang “delman” besimu itu kamu masih banyak sembunyikan semua kesukaan eyang. Santan peras (minyak kelapa), susu padat (mentega) dan susu sapi cair… eyang mencium banyak lagi yang lainnya. Kamu jangan cari gara-gara agar Eyang menari-nari kegirangan. Tidakkah kamu tahu Eyang bisa saja menangis bahagia? Semua yang kamu bawa itu adalah hasil jerih payah tenagamu, dan semuanya diberikan hanya untuk Eyang semata. Mengertikah kamu cucuku jika sesungguhnya eyang berkeinginan menahanmu di sini sehari dua hari?”
“Cucu paham Eyang takkan melanggar aturan negri Sancang.”

He he he… Kakek tua itu terkekeh gembira.

“Tentu saja Eyang tak bisa melakukannya. Temanmu tak boleh tahu Negri Sancang ini. Kalau kamu punya keturunan dari temanmu itu, bakarlah Kemenyan Hitam dan Jahe Merah kering, biar Eyang tahu. Eyang akan datang melongok, seperti dulu Eyang melongokmu di waktu kecil.”

Putri menyaksikan Gugun dan Kakek Tua itu berbincang-bincang dalam bahasa Sunda tua yang kuno, Putri juga mencermati pembicaraan itu dengan seksama dan fokus untuk memahami maksudnya. Namun hal tersebut membuat otaknya bekerja keras dan Putri merasa seperti sangat letih. Samar-samar dia mencium harum bunga melati yang lembut, langit yang suram terasa teduh ditambah semilir angin yang menyentuh bulu matanya yang lentik membuat Putri merasa nyaman. Tanpa menguap, dia pejamkan mata dan tertidur dengan nyenyak. Dalam tidurnya, Putri bermimpi. Dia dan Gugun bercinta di bawah sinar purnama.

“Dia sudah tidur, he he he…” Kekeh Eyang Jagala Sancang sambil tersenyum. Kemudian dia memberi isyarat kepada orang yang berpakaian dan berkerudung hitam-hitam di belakangnya untuk bergerak. Dengan gesit ke 4 orang itu bergerak mendekati “delman besi” warna merah marun itu dan mengerubungi bagasi di bagian belakang “delman” yang terkunci. Salah seorang dari mereka kemudian menjentikkan jarinya lalu “trek” pintu bagasi yang terkunci itu terbuka. Setiap orang kemudian mengambil satu bungkus kantung keresek yang terlihat demikian besar untuk ukuran tubuh orang-orang berpakaian hitam itu, yang rata-rata tingginya satu meter. Meski pun demikian, mereka memanggulnya dengan mudah saja seperti memanggul sekarung kapas.

Terlihat dari gerak-geriknya bahwa orang-orang yang berkerudung hitam yang hampir menutup seluruh tubuh dan wajahnya itu, bukanlah gerak-gerik seperti orang laki-laki. Jelas sekali gerakannya sangat gemulai.

Wiguna melihat hal itu.

Ke 4 orang itu kemudian menyerahkan ke 4 bungkusan itu kepada Eyang Jagala Sancang sambil berjalan dengan betisnya. Satu demi satu Eyang menerima bungkusan kantung keresek itu dan memeriksa isinya. Setiap kali dia memeriksa suatu barang, dia menunjukkan decak kagumnya yang tak disembunyikan sambil menyebutkan nama barang tersebut. Seandainya dia tidak tahu, dia akan menanyakan nama barang itu kepada Wiguna. Seperti ketika dia membuka satu pak korek api. Mata Eyang berputar-putar, “ini apa, cucuku?” tanyanya sambil meneliti satu buah korek api warna hijau.
“Ampun Eyang, sebentar lagi musim hujan. Eyang akan membutuhkan alat ini. Namanya korek api.”
“Gimana cara menggunakannya?”

Wiguna mengambil satu buah korek api dan menjentiknya dengan jempol hingga apinya menyala.
“Paneker Geni!” Kata Eyang gembira, “kalau yang ini apa?”
“Ampun eyang, itu sisir, untuk merapikan rambut.”

Ke 4 orang di belakang Eyang terlihat agak berisik. Mereka terlihat penasaran dan seperti berebut untuk mengintip, hingga secara tak sengaja salah satu kerudung dari orang tersebut terlepas. Maka tampaklah rambutnya yang pirang keemasan dan parasnya yang demikian cantik jelita. Hidung mancung dengan bibir sensual yang menggoda. Sepasang matanya berwarna hijau mencorong dengan bulu-bulu mata yang panjang dan lentik.

“Sri Kunthi, kamu apa-apaan? Mau memikat cucuku ya? Aku laporkan kepada Putri Ratu, tahu rasa kamu!” Kata Eyang Jagapala dengan suara menggelegar. Sepertinya Eyang punya mata di belakang kepalanya sehingga tanpa menoleh dia tahu apa yang terjadi di belakangnya. “Pergi sana, pulang kamu ke Balai Kuta, beres-beres. Jika kamu berbuat baik, kami semua akan tutup mulut.”

Orang yang dipanggil Sri Kunthi itu kemudian berdiri. Sekejap dia melirik ke arah Wiguna dan tersenyum manis. Kemudian dia meloncat mumbul ke atas seperti terbang. Sambil bersalto di udara, dia kemudian menghilang di balik dinding bangunan batu yang mirip candi itu, yang tingginya paling sedikit juga tidak akan kurang dari 5 meter.

“Sri Kandhi, Sri Asih dan Sri Mahi, bawa semua barang persembahan ini ke Balai Kuta, saya akan atur pembagiannya. Sekalian sampaikan kepada seluruh penduduk Kuta untuk membuka jalan. Cucuku akan lewat, kalian wajib mengawalnya sampai perbatasan Negeri Sancang. Paham?”
“Sembah Sendika Pangeran.” Kata ke 3 orang itu serentak.

Mereka kemudian dengan sangat gesit dan cekatan, menerima kantung-kantong kresek itu dan membawanya meloncat terbang untuk menghilang di balik dinding bangunan batu. Salah seorang yang terakhir, yang membawa dua kantung kresek, sempat juga melirik ke arah Wiguna dengan lirikan yang tajam. Sepasang bola matanya yang biru jernih seperti seperti langit yang cerah, mengerjap-ngerjap ke arah Wiguna.
“Sudah, Sri Kandi, jangan kamu main mata dengan cucuku!” Bentak Eyang Jagala Sancang dengan suara tegas. Orang yang dibentak langsung saja meloncat tinggi ke udara seperti melayang, terdengar samar suara cekikikannya yang genit dan nakal.

“Dasar perempuan-perempuan remaja nakal!” Ketus Eyang sambil tersenyum ke arah Wiguna, “cucuku, sebentar lagi tiba waktunya surya akan sare (sore), sebelum gelap datang dan semua jalan akan tertutup, sebaiknya kamu cepat berkemas. Selagi lembayung berwarna merah, terus arahkan “delman besi”mu ke arah timur, lurus terus tanpa menggok kanan menggok kiri, nanti kamu akan tiba di Pasir Karang, itu berarti kamu sudah berada di luar negri Sancang. Di situ ada Pesanggrahan Dharmaraja yang dirawat dan dijaga oleh Ki Seno Roto, dia akan mudah mengenalimu sebagai cucuku karena sudah kukirim ilapat (firasat) ke dalam mata batinnya, dia akan menerima dan melayanimu dengan baik. Ini, hadiah dari Eyang, cuma kerikil yang tak berguna di Negri Sancang ini, tapi di duniamu, kerikil ini cukup lumayan. Terimalah Ucep, semoga Gusti Hyang Widhi senantiasa melindungimu dari segala mara bahaya.” Katanya sambil mengambil sebuah bungkusan terbuat dari kulit bajing dari balik bajunya.
“Bagja teu katara, bingah kagiri-giri, pangasihna dampal Eyang, ditampi kalayan hormat tur sembah. Amit Undur Eyang.”
“Heug! Cucuku, lain waktu kita akan berjumpa lagi.”

Wiguna membungkuk sambil merapatkan tangan, lalu melangkah mundur. Eyang Jagala Sancang berbalik dan menghilang ke dalam ambang terbuka bangunan batu itu. Wiguna segera melangkahkan kaki membelakangi bangunan batu kemudian masuk ke dalam mobil. Meletakan bungkusan di atas dashboard, menyalakan mesin dan melajukan mobil pelahan-lahan. Dia menoleh ke arah Putri yang tertidur lelap dan mencuri cium pipinya yang lembut.

“Enggak nyangka, ternyata Kakak masih perawan.” Kata Wiguna dalam hatinya dengan sepasang sorot mata yang berkilauan. Mulutnya tesenyum simpul membayangkan suatu kenikmatan yang bisa mereka reguk bersama.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd