Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CINTA RUMIT ANTARA STW, BINOR, MAMAH MUDA, JANDA DAN ABG by SUMANDONO

Status
Please reply by conversation.
Delapan
RUANG RAHASIA PENYIMPANAN UANG





Selesai membaluri seluruh tubuhnya dengan minyak kayu jati, Gagan mengenakan pakaian. Dia kemudian kembali ke lemari kayu jati dan menyeret dua tas ransel yang diletakan Bibi di bagian paling bawah lemari ke dekat kabinet kayu jati. Lemari kabinet itu memiliki 5 laci. Ukuran lebar 45 cm dan panjang 60 cm, sementara tingginya 150 cm. Gagan kemudian menarik laci paling bawah yang merupakan laci paling berat karena berisi dokumen-dokumen kertas yang padat. Dia menarik laci itu hingga ke luar dari lemari dan meletakkannya di pinggir lemari kabinet. Di luar depan paling bawah lemari itu Gagan menarik hiasan kayu yang berbentuk tanda +, itu adalah kunci rahasia untuk membuka sebuah kotak bujur sangkar berukuran 25 cm X 25 cm dan tebal 5 cm, yang menyatu dengan alas lemari kabinet. Setelah menarik hiasan kayu hingga besi baja setebal 6mm itu ikut tertarik, dia kemudian membuka selembar kotak itu untuk menemukan sebuah ruang penyimpanan kecil di bawahnya.

Gagan kemudian membuka tas ranselnya dan mengeluarkan isinya yang berupa kantung-kantung plastik tebal warna hitam. Dia merobek salah satu kantung plastik itu hingga ketahuan isinya apa.

Isinya adalah gepokan uang pecahan 100 ribu.

Gagan menyeringai. Dia menghitung setiap ikat gepok uang berisi 100 lembar uang pecahan 100 ribu, tebalnya tidak mencapai 1/2 centi. Gagan belum tahu ada berapa ratus gepok uang dalam kantung-kantung plastik itu sebab dia belum menghitungnya dan takkan menghitungnya karena dia harus cepat memasukan uang itu ke dalam ruang penyimpanan rahasianya.

Dengan cepat dan teliti, dia memindahkan semua uang itu ke dalam penyimpanan rahasianya dan menyusunnya dengan rapi. Agar semua gepokan uang itu bisa masuk karena di dalam tas ransel yang kedua, isinya lebih banyak. Tapi dia tidak tahu berapa banyak lebihnya. Dia tidak peduli. Yang harus dia pedulikan adalah bagaimana caranya dia bisa memindahkan semua uang itu ke dalam rekeningnya tanpa menimbulkan kecurigaan dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Dia hanya menyisihkan 5 gepok uang yang akan dia pergunakan secara hati-hati. Setelah selesai, dia mengembalikan laci kabinet ke tempat semula. Dia membawa kedua tas ransel dan plastik hitam tebal yang besar itu ke luar kamar. Tas ransel dia letakkan di ruang tamu dan dua buah plastik tebal hitam itu dia bawa ke tempat biasa Bibi membakar sampah. Gagan bersyukur masih ada sisa api di dalam tumpukan pembakaran sampah itu. Dia merobek-robek plastik itu dan memastikan terbakar habis. Setelah semuanya selesai, Gagan baru merasakan perutnya perih karena belum sarapan.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya dalam hati. Pada saat itu, Bila si cantik mancung muncul dari pintu depan dan mendekati Gagan.
“Kang, sarapan dulu kata Mamah.” Katanya.
“Loh, Bibi ke mana?” tanya Gagan.
“Bibi pergi ke rumah kakek.”
“Ada apa?”
“Mana Bila tau, yang jelas tadi Bibi bilang, kalau Akang bangun sediain sarapan.” Kata Bila dengan sepasang mata besarnya mengerjap-ngerjap, “kang, kenapa beli smartphone dua buah?”
“Ah, aku lupa unboxing smartphone baru.”
“Tapi beli dua buat siapa? Kan satu juga cukup. Bulan kemarin-kemarin Bibi udah dibeliin smartphone yang bagus…”
“Akang mau sarapan dulu, laper nih enggak kuat.” Berkata demikian Gagan membalikkan badan dan hendak melangkah. Bila dengan gesit meraih lengan Gagan dan mencekalnya dengan kedua tangannya, “yang satu lagi buat siapa?” tanyanya dengan nada pertanyaan memaksa.
“Pertanyaannya salah.” Kata Gagan sambil melepaskan diri cekalan tangan Bila. ABG cantik berrambt ikal yang sejak kecil sering bermain di rumah Gagan dan selalu dimanjakan itu mengikuti langkah Gagan dengan langkah kaki dihentak-hentakkan.
“Masa pertanyaannya salah.” Kata Bila sambil memberengut.

Tiba di ruang tengah, Erin tengah menyiapkan sarapan buat Gagan. Dua buah telor mata sapi, empat lembar roti panggang dan secangkir kopi. Erin menunduk ketika Gagan duduk di meja makan. Sementara Shinta dan Shanti yang tadi duduk lesehan sambil membuat nagasari di depan TV sudah pindah ke dapur.
“Silakan Om sarapannya.”
“Makasih. Eh, nama kamu siapa? Aku koq belum kenal.” Kata Gagan sambil menatap Erin dengan tatapan lembut.
“Saya Erin, Om. Cucunya Kakek Ompong.”
“Oh, I ya saya tahu, kamu anaknya Ceu Lilis ya?”
“I ya, Om.”
“Erin, saya boleh minta sesuatu ga sama kamu?”
“Minta apa Om? Erin ga punya apa-apa.”
“Saya minta kamu jangan panggil saya Om, akang aja. Biar lebih kerasa deket.”
“I ya Om.”
“Erin.” Protes Gagan, “panggil akang.”
“I ya Kang.”
“Nah, gitu kan ga susah. Sekarang akang mau tanya sama kamu, jawab yang jujur ya… kamu udah punya HP belum?”

Erin mendongak. Dia menatap Sugandi dengan tatapan mata polosnya yang coklat. Tatapannya kemudian berpaling ke arah Nabila yang wajahnya mendadak merah padam.
“Belum Om, eh, kang.”
“Kamu kalau salah tingkah begitu imutnya jadi enggak ketulungan. Kenapa sih kamu koq manis banget? Eh, kamu pengen HP enggak?” Gagan melontarkan pertanyaan itu sambil menumpuk telor mata sapinya di atas lembaran roti panggang. Pada saat itu, entah mengapa, Nabila tiba-tiba menendang kaki meja dengan keras dan pergi ke dapur dengan langkah terpincang-pincang karena kesakitan.

Gagan tidak peduli dengan tingkah Nabila yang kolokan seperti itu. Ekspresi wajahnya datar datar saja. Sedangkan Erin mendadak seperti merasa bersalah. Dia terdiam.
“Kamu mau HP apa enggak?” tanya Gagan sambil menyuap roti telor itu ke dalam mulutnya. Menggigitnya dan kemudian mengunyahnya.

Sejujurnya saja, ketika Erin disuruh Bibi Sutinah untuk menyiapkan sarapan buat Gagan, dia sudah merasa agak deg-degan. Takut salah juga takut mengecewakan. Tapi karena Bibi yang menyuruh, maka mau tidak mau Erin harus mau.

Namun setelah beberapa menit berbincang kecil dengan Om, eh, Kang Gagan, ternyata pemuda ganteng itu sangat ramah. Bahkan Kang Gagan mengatakan dirinya imut enggak ketulungan. Itu sungguh membuat hidungnya seperti balon, rasanya ingin terbang ke langit. Kini pemuda ganteng itu ingin memberinya HP. Ini namanya sudah panen kopi ditambah panen mangga eh dibeli mahal lagi sama orang kota. Sudah untung dapat bonus. Sudah tiga kali panen buah kopi Erin mengumpulkan uang untuk membeli HP, tapi uangnya selalu kepake lagi kepake lagi. Bapak tidak pernah memberi mamah uang belanja, malah mengambilnya. Erin sedih sekali. Mengapa bapaknya sangat mencandu judi. Tiap pulang marah-marah dan memukuli mamah karena judinya kalah.

Memang sih kebun kopi itu milik bapak. Tapi uang dari hasil panen buah mangga, mengapa diambil juga? Akhirnya uang tabungan Erin diambil untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak, Mamah dan dia tidak akan makan.

Sekarang, tiba-tiba saja dia ditawari HP. Jangan-jangan ini cuma mimpi. Pikir Erin dalam hatinya.

“Kenapa diam?” Tanya Gagan dengan senyum dikulum. Erin merasa gamang. Dari arah dapur terdengar suara isak tangis Nabila. Akhirnya dengan berat hati Erin menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau mencari permusuhan dengan Nabila. Sebab itu akan berdampak pada kehidupan ekonominya. Selama ini, selain dia sering membantu ibunya memetik kopi di kebun milik bapak tapi dia juga sering membantu memetik kopi milik orang lain, di antaranya adalah kebun milik Bi Nengsih dan upahnya juga tidak jelek.

Nabila sendiri selama ini sering cerita mengenai Kang Gagan. Bagaimana kang Gagan setiap kali pulang dari Jakarta selalu membawa hadiah kecil untuk Nabila. Dari bando yang lucu, bros yang cantik dan barang-barang lainnya yang sering dipamerkan kepada semua orang. Nabila menyangka Kang Gagan memanjakannya bukan sekedar karena menyukainya sebagaimana umumnya cowok-cowok di seluruh desa menyukai Nabila karena kecantikannya. Tapi Kang Gagan menyayangi Bila lebih dari sekedar keponakan Bibi, yang merupakan nenek tiri Gagan.

Bila sering bercerita sama Erin bahwa tatapan mata Kang Gagan sangat lembut dan penuh kasih. Kadang-kadang Kang Gagan mencium pipinya dengan sayang, membuat Nabila merinding dan ingin lebih dari sekedar cium di pipi.

Ketika Nabila tahu kang Gagan membeli dua buah smartphone, dia merasa yakin akan diberi satu, menggantikan HP androidnya yang menurut Nabila sudah ketinggalan jaman.
“Sedangkan aku ini apa? Saudara bukan tetangga juga bukan. Kalau pun tetangga, tapi kan jauh. Beda RW beda kampung. Ketemu juga jarang bahkan boleh dikata tidak pernah. Lalu sekarang Kang Gagan akan memberi HP? Ini apa maksudnya kalau bukan untuk menyakiti hati Nabila?” kata Erin di dalam hatinya.
“Kamu enggak mau akang kasih HP? Serius?”

Erin mengangguk. Gagan menatap gadis manis nan imut itu sambil mengunyah roti telornya.
“Kalau kamu enggak mau, ya udah, akang enggak bisa maksa.” Kata Gagan sambil menyuap potongan roti terakhirnya. “Tapi kenapa? Kamu kan belum punya HP. Sedangkan hampir semua orang di kampung ini sudah pada punya. Masa kamu enggak pengen punya HP sih?”

Erin terdiam. Dia menunduk sambil mempermainkan ujung bajunya. Tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah. Tahu-tahu, entah mengapa, tiba-tiba dua butir tetes air mata jatuh begitu saja di pipinya.

Erin memalingkan muka dan juga badannya, kemudian dengan setengah berlari dia pergi ke luar rumah lewat pintu depan, menyusul Ceu Lilis, ibunya, yang sedang berjalan membawa bakul besar berisi nasi yang cukup berat bersama Mira yang membawa lauk pauk nasi dan Nengsih yang membawa kue-kue cemilan khas masyarakat Desa Karasak. Mereka akan membawa makanan tersebut ke kampung Ciloa sebagai konsumsi untuk sanak saudara mereka yang tengah bekerja memperbaiki rumah.

Gagan tersenyum kecil melihat kelakuan Erin. Sekarang di rumahnya kini tidak ada siapa pun selain Ceu Engkar yang berada di dapur sedang menanak nasi lagi untuk makan siang untuk dia sendiri, Gagan dan Ceu Tinah alias Bibi.

Gagan sendiri pergi ke ruang tamu untuk membongkar barang-barangnya yang dia sengaja bawa dari Jakarta. Saat itu Bibi dan Bila secara bergegas datang mendekati dirinya dari arah pintu depan. Bila memakai celana pendek katun yang tipis lalu duduk bersila di depan Gagan. Betis dan kakinya putih mulus. Sangat cocok untuk dielus-elus. Walau dia baru berumur 16, tapi seluruh organ tubuhnya telah terbentuk sempurna. Gagan bisa melihat sepasang bukit kembar yang tercetak di kaos ketat yang dikenakan Nabila. Dijamin ranum apabila bisa melihatnya tanpa penghalang apa pun. Nabila memiliki bulu mata yang panjang dan lentik, bibir yang tipis dan sepasang mata boneka yang apabila mengerjap-ngerjap membuat Gagan terpaku menatapnya.

Bibi ikut duduk di depan Gagan.
“Jadi smartphone yang satu lagi ini akan kamu berikan kepada Erin?” tanya Bibi tiba-tiba.
“Siapa yang bilang?” Tanya Gagan.
“Bila, barusan ke Bibi.”
“Kamu tahu dari mana akang akan ngasiin smartphone ini ke Erin.” Gagan menoleh ke arah Nabila
“Tadi akang Bilang sendiri, Erin yang imutnya enggak ketulangan mau HP tidak? Padahal Bila udah nanya berkali-kali smartphonenya buat siapa, tahunya buat orang lain.” Kata Bila dengan memberengut.
“Itu smartphone mahal Gan, masa dikasiin ke orang yang jauh, yang deket dulu. Ke bibi kek, ke Bila kek…”
“Ke aku juga boleh.” Ceu Engkar datang dari arah dapur, “kang Gagan lagi bongkar apa? Wow, smartphone baru!” katanya dengan nada riang, “untuk makan siang kali ini, Ceuceu akan masak ayam bakar. Kamu suka kan ayam bakar?”
“Dengernya aja bikin ngiler.” Kata Gagan kepada Ceu Engkar, lalu dia menoleh ke arah Nabila dengan ekspresi sebal. “Smartphone ini enggak akan aku kasiin sama siapa-siapa.” Katanya sambl meng-unboxing smartphone yang masih baru itu.
“Terus smartphonenya buat apa dong?” tanya Nabila, kini wajahnya yang muram mulai kembali cerah.
“Nah, itu baru pertanyaan tepat. Smartphone ini bukan buat siapa, tapi buat apa. Paham?”
“Jadi smartphonenya ini buat apa, kang?” tanya Ceu Engkar.
“Nanti juga kalian akan tahu, sekarang tolong di-cas-in dulu.” Kata Gagan sambil menyerahkan smartphone baru itu kepada Ceu Engkar. Dia kemudian membuka kemasan smartphone yang satu lagi dan menyuruh Nabila untuk mengecasnya.

Kemudian Gagan membongkar bungkusan lain.

“Kang ini apaan sih?” tanya Nabila sambil mendekati Gagan ke sebelah sisi. Sementara itu Bibi berdiri, dia menatap Nabila sebentar kemudian pergi ke dapur bersama Ceu Engkar.

Gagan diam.
“Kang ini apaan?” Sepasang matanya menatap mata Gagan dengan penuh selidik.
“Aku enggak senang kamu bersikap kolokan dan suka mengadu.” Kata Gagan dengan getas, “sebagai cewek, seharusnya kamu belajar dewasa dari sekarang. Jangan biasakan bersikap manja. Siapa pun cowoknya, pasti merasa kesal dengan sikap seperti itu.”

Nabila cemberut. Dia sepertinya akan menangis.
“Ayo sekarang kamu nangis lagi, yang keras sekalian berguling-guling di luar sana.” Kata Gagan dengan nada yang lebih getas lagi.
“Akang jahat.” Kata Bila sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“Aku emang jahat, sudah kamu pergi sana yang jauh.”
“Akang jahat. Akang jahat. Huk huk huk….” Nabila menangis tersengguk-sengguk tapi dia tidak pergi dari sisi Gagan, “akang lebih sayang sama Erin daripada sama Bila.” Sengguknya lagi.
“Tuh kan, gitu lagi. Yang bilang akang lebih sayang sama Erin daripada kamu itu siapa?”
“Buktinya tadi akang mau ngasih HP, sedangkan Bila cuma dikasih kaos doang.”
“Kamu mau akang kasih smartphone terbaru? Baik, akang akan belikan sekarang juga. Tapi syaratnya satu, kamu enggak usah kenal akang lagi. Mau?”

Nabila menatap Gagan, matanya basah dengan airmata.
“Maksud akang apa?”
“Kamu pilih smartphone atau akang?”
“Pilih dua-duanya.”
“Tidak bisa, kamu harus pilih salah satu.”
“Tapi kan android Bila udah jelek, udah ketinggalan jaman.”
“Tapi masih bisa dipakai kan?”
“I ya tapi kan…”
“Tapi kan apa? Erin itu enggak punya apa-apa. Mau akang kasih HP bekas yang dulu mau kamu buang.”
“Maksud akang, Erin mau dikasih HP bekas yang warna item itu? Yang merk-nya enggak terkenal dan baterenya udah lemah?”
“I ya, kamu keberatan?”

Nabila menyeringai gembira meski sepasang matanya masih basah dengan air mata.
“Terus ini apaan?”
“Ini namanya rumah burung.” Kata Gagan sambil memasang plat-plat aluminum system knockdown, “di atasnya ini, atapnya, dipasang panel surya, yang akan menghasilkan listrik DC 6 volt. Nah, nanti smartphone itu, kita masukin ke dalamnya dan langsung dihubungkan USB-nya menggunakan kabel OTG ke colokan panel surya. Nah, ini artinya, jika kita pasang rumah burung ini di atap rumah, si smartphone ini akan senantiasa terisi daya yang berasal dari panel surya, jadi bisa dinyalakan terus sepanjang hari.”
“Terus itu buat apaan?”
“Buat internetan, paham?”
“Internetan?” Nabila mengerutkan kening, “maksudnya?”
“Di sini kan sinyalnya susah, akang udah coba beberapa kali, bisa nangkep internet tapi harus naik ke atas genting. Nah, si rumah burung ini kita letakkan di atas pohon jati lalu smartphone ini nanti kita aktifkan paket internetnya lalu nyalakan hotspotnya. Jadi kita enggak usah naik ke genting buat internetan, ngerti?”

Tiba-tiba Nabila tertawa gembira. Dia meloncat dan memeluk Gagan dari belakang sambil menciumi pipi pemuda itu.
“Akang pinter, akang pinter. Mmuachh… mmuacchhh… Jadi Bila enggak usah pergi ke warnet kalau bikin tugas… asyiikkk…”

Dipeluk dari belakang dengan sepasang toket kenyal mempermainkan punggungnya, tak urung membuat kontol Gagan jadi ngaceng keras. Bagaimana pun Nabila bukan saja cantik dan memiliki body aduhai, tapi juga dia memiliki memek tembem yang bisa dirasakan Gagan dengan punggugnya.
“Jika waktunya tiba nanti, aku akan memetik keperawanan Nabila dalam suatu mahligai pernikahan. Aku akan menghamili dia dan punya banyak anak. Kami akan bahagia jika nanti dia bertambah dewasa.” Gagan berkata dalam hatinya.
“Cuma kamu aja yang akan akang beritahu apa password-nya. Kalau Bibi pengen internetan bisa bilang ke kamu. Setuju?” kata Gagan sambil menikmati bibir lembut yang mendarat di pipinya.
“Setuju banget.” Kata Nabila sambil terus memeluk leher Gagan dan menciumi pipinya. Nabila menggesek-gesekkan buah dadanya dan memeknya ke punggung Gagan dengan keras, sampai suatu saat Nabila memeluk Gagan dengan sangat erat selama beberapa detik. Gagan merasakan denyutan memek Nabila di punggungnya.

Crit crit crit.
“Hi hi hi enak banget.” Kata Nabila berkata dalam hatinya, “dari belakang aja udah enak apalagi dari depan… pokoknya Kang Gagan akan jadi milik Bila selamanya.” Kata Bila dalam hatinya.
“Jadi kalau Bila kangen sama akang, Bila bisa VCS-an I ya kan Kang?”
“I ya sayang.”
“Sekali lagi bilang…”
“Bilang apa?”
“Yang tadi.”
“I ya Bila sayang.”
“Akang serius sayang sama Bila?”
“Ya serius, masa bohong. Kalau kamu sudah selesai sekolah, kita nikah. Mau?” Gagan berkata dengan cara sambil lalu, tapi hatinya merasa deg degan juga. Kalau Nabila menjawab tidak, maka Gagan akan pura-pura bercanda. Tapi kalau Nabila mau, ah, itulah yang ditunggu.

Bila terdiam sejenak. Lalu mendadak dia mencium bibir Gagan dengan sangat bersemangat, lalu berbisik di telinga Gagan, “mau kang.”
“Tapi dari sekarang kamu harus belajar dewasa. Jangan mudah cemburu. Apalagi berburuk sangka. Akang banting tulang kerja di Jakarta untuk masa depan kita. Nanti, kalau akang ada waktu luang, akang akan pulang hari kamis atau Jum’at, kita pergi ke Bank untuk bikin rekening baru buat kamu. Setiap akang punya uang lebih, akang akan transfer ke rekening kamu, hitung-hitung akang nabung.” Berkata demikian hati Gagan merasa senang. Dan lega. Perasaannya plong karena sudah mengungkapkan hal yang ingin diungkapkannya kepada Nabila.
“Sekarang aja Kang, yuk.”
“Sekarang enggak bisa. Pertama, hari Sabtu Bank tutup. Kedua, kamu masih 16, belum punya KTP. Kamu sabar ya.”
“Akang mau enggak kalau kita tunangan dulu?”
“Mau. Emang kenapa?”
“Kalau tunangan kan berarti akang harus beliin Bila cincin, sebagai tanda ikatan.”
“Tinggal beli aja apa susahnya. Uang ada, tuh di kamar. Tapi kan akang harus bilang dulu sama Ceu Nengsih… eh, maksud akang, sama mamah kamu. Beliau setuju apa enggak.”
“Pasti setuju.”
“Kalau enggak?”
“Kalau enggak Bila akan bunuh diri.”
“Ha? Apa?”
“Kalau mamah enggak setuju kita tunangan, Bila mau bunuh diri.”
“Kamu jangan bunuh diri, kita kawin lari aja.”
“Eh, I ya ya. Mati bunuh diri kan sakit ya kang?”
“Kata siapa?”
“Kata orang.”
“Emang pernah ada orang yang mati bunuh diri terus bilang sama kamu… mati bunuh diri itu sakit loh, jangan mati ya… ha ha ha… kamu aneh. Tapi cantik dan lucu. Akang sayang banget sama kamu.”

Nabila cemberut. Tapi hatinya bahagia dipanggil sayang. Dia juga sudah memendam rasa kepada Kang Gagan sejak lama. Sejak SMP. Selama ini Nabila sudah mengenal banyak cowok. Mereka berduyun-duyun antri untuk menjadi pacarnya. Tapi tidak ada yang sebaik dan seganteng Kang Gagan. Pokoknya Kang Gagan milik Bila dan dia tak ingin Setiap kali dia beradu argumen dengan Kang Gang selalu saja berakhir menyebalkan.
“Kapan akang mau bilang sama mamah?”
“Secepatnya. Tapi mungkin enggak sekarang, mamah kamu kan lagi sibuk juga ikut memperbaiki rumah. Nah, ini sudah selesai. Tinggal kita pasang di luar… tolong ke siniin smartphonenya.”
“Yang mana Kang?”
“Yang mana aja, sama aja koq. Akang beli dua yang spec dan merknya sama persis.”
“Yang warna silver aja ya Kang.”
“Oke.”

Setelah memasukkan SIM Card yang baru dan mengaktifkan paket internet unlimited, mengaktifkan hotspot, membuat password: tahundepankitanikah. Nabila kemudian berlari ke kamar di mana dia tidur semalam dan mengambil HP androidnya, lalu memasukkan password hotspot. Tralala… dia bisa internetan. Dia memeluk Gagan dan menciuminya.

“Tunggu, kamu jangan senang dulu.” Kata Gagan sambil memasukkan SIM Card baru ke smartphone yang satu lagi, yang baru saja diambilnya. Setelah mengaktifkan kartu dan lain sebagainya, dia juga mengetes hotspot.
“Sekarang tolong buka kardus yang coklat itu. Kamu buka sendiri isinya apa.”

Nabila dengan gerakan tidak sabar membuka kardus yang di dalamnya dibungkus dengan plastik bergelembung. Setelah membuka plastik gelembungnya, Nabila tahu ternyata di dalamnya adalah laptop. Sepasang mata besar itu melotot.

“Nah, itu baru buat kamu.”

Nabila terdiam. Dia meletakan laptop tersebut lalu dengan ganas menerkam Gagan sambil meciumi pemuda itu yang tak sanggup menahan betapa mengerasnya batang kontolnya.
“Udah, udah. Nanti akang enggak tahan.”
“Bila juga sama.” Kata abg cantik itu sambil melepaskan pelukannya, “makasih ya Kang.”
“Enggak perlu berterimakasih, tapi kamu harus berjanji dari sekarang. Tidak manja, tidak cemburuan, bersikap dewasa dan yang paling penting… kamu harus belajar dengan tekun. Biar kamu tambah pinter.”
“Bila janji Kang.”
“Awas kalau tidak ditepati.” Kata Gagan sambil mencolek hidung Nabila yang mancung.
“Nanti yang dicolek jangan hidung ya kang.” Bisik Nabila.
“Ssssttt… enggak boleh. Itu spesial untuk malam pengantin kita.”

Nabila tersenyum bahagia.

Mereka kemudian pergi ke belakang rumah untuk menemukan pohon jati terdekat. Dengan mempergunakan tangga bambu, Gagan memanjat pohon jati dan meletakkan “rumah burung” itu di tempat yang cukup tinggi. Gagan kemudian memakunya dengan kuat.

Saat Gagan turun dari tangga, Bibi berkata akan pergi ke Ciloa untuk mengantarkan Pisang dan Ubi Goreng bersama Nabila, yang juga ingin pergi ke Ciloa untuk bertemu dengan mamahnya. Gagan mengiyakan dan dia kemudian duduk lesehan di ruang tengah sambil memainkan smartphonenya untuk mengecek sejauh mana kemampuan wifi yang dipancarkan oleh smartphone pemancar. Pada saat itulah Ceu Engkar datang. Ikut duduk lesehan sambil menyandar pada dinding tembok. Menatap Gagan tanpa kedip.

(bersambung)​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd