Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CINTA RUMIT ANTARA STW, BINOR, MAMAH MUDA, JANDA DAN ABG by SUMANDONO

Status
Please reply by conversation.
Hahahaha.. Dari dulu cerita suhu emang out of the box... Dari judul aja udah kayak baca koran lampu merah... Langsung merangkum isinya dalam sebuah imajinasi yg sering beda sama alur cerita yg dibuat.... Mantab suhu....
 
Sembilan
Bumil yang harus dihindari Bu Camat pun Jadi pengganti








Ceu Engkar mengenakan daster terusan yang pendek. Ditambah perutnya yang buncit karena sedang hamil 5 bulan membuat ujung dasternya semakin pendek. Ceu Engkar memiliki perawakan yang sama dengan Bibi, bedanya kulitnya lebih putih dan rambutnya lurus. Dia duduk dengan sedikit mengangkang dan membuka beberapa kancing dasternya. Dia menutupkan ujung dasternya ke selangkangannya dengan tangannya.
“Duh, gerah sekali.” Katanya sambil menatap Gagan yang sedang menunduk mempermainkan smartphonenya. Lalu dia menggaruk-garuk pahanya dengan tangan yang satunya lagi.
“Di sini banyak nyamuk.” Kata Ceu Engkar tanpa ditanya oleh siapa pun.


Gagan menoleh ke arah Ceu Engkar bukan karena kalimatnya. Tapi oleh bau aneh yang agak anyir tapi sangat merangsang. Pada saat menoleh itulah dia menemukan Ceu Engkar sedang tersenyum nakal sambil mengusap-usap belahan memeknya di luar dasternya yang tipis.
“Gatel sih.” Kata Ceu Engkar lagi tanpa ditanya siapa pun, “enaknya sih dijos daripada di garuk.” Katanya dengan nada tak acuh.

Kontol Gagan yang sejak tadi sudah ngaceng bertambah mengeras melihat cara Ceu Engkar duduk dan tentang sesuatu yang diucapkannya. Tapi Gagan tak peduli. Dia beringsut menjauh ketika Ceu Engkar mencoba mendekatinya. Entah mengapa perasaan Gagan demikian resah dan tak nyaman jika Ceu Engkar mendekatinya. Padahal, andai Gagan mau, dia bisa langsung membawa Ceu Engkar ke dalam kamar, menarik celana dalamnya dan melebarkan kedua pahanya lalu menggenjotnya tanpa ampun. Konon menurut cerita orang, mengewe memek hamil itu enaknya luar biasa.

Tapi Gagan menahan diri. Sejak dia mengolesi batang kontolnya dengan minyak menjangan, dia tahu, pertumbuhan batang kontolnya itu memang di atas rata-rata bagian tubuh lainnya. Dia juga tahu, panjang dan besar batang kontolnya dua kali lipat rata-rata orang Indonesia pada umumnya. Setelah pertumbuhan tubuhnya melambat di atas usia 20, minyak menjangan itu kemudian berfungsi memperkuat jaringan sel-sel kulit batang kontolnya sehingga ketika dia ereksi, sel-sel kulitnya itu memiliki kelenturan dan ketahanan10 kali lipat karet latex terbaik. Itu artinya anti robek. Tapi masalahnya, apabila dia membelah liang memek bumil itu, dia akan mendapat masalah besar. Sebab itu adalah pantangan. Bila dia melakukannya, sengaja atau tidak, dampaknya adalah: batang kontolnya akan mengecil dan dia tidak akan bisa ereksi selama 10 tahun. Hal itu diingatkan Eyang Olot pada suatu malam, saat Eyang secara tiba-tiba menyatroninya di kamar kostnya.

Malam itu, dia baru saja pulang bimbingan skripsi saat sebuah bayangan putih melesat memasuki jendela kamar kostnya. Gagan merasa lelah. Tapi matanya masih awas untuk melihat bayangan itu. Dia mempersiapkan otot-otot dan syaraf-syaraf tubuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Saat membuka pintu, ternyata bayangan putih itu adalah Eyang Olot, kakek moyangnya. Dia sedang duduk di atas ranjang berkasur busa yang sudah lepet.

“Aku tidak akan menyalahkanmu atas apa yang telah kamu lakukan barusan kepada gurumu.” Lelaki tua itu berkata dengan suara datar dan nyaris tanpa ekspresi, “itu kamu lakukan demi menyelesaikan secepatnya urusan sekolahmu. Tapi ingat, setelah semua sekolah ini selesai, kamu harus menyelesaikan tugasmu sebagai anak yang berbakti kepada orangtua. Ingat, ayah, ibu dan adikmu mati bukan karena kebetulan. Kecelakaan itu terjadi karena direncanakan oleh seseorang atau sekelompok orang, Eyang tidak tahu siapa mereka, tapi kamu harus tahu. Apa yang eyang tahu ketiganya meninggal secara penasaran. Eyang bisa merasakan keluh kesah mereka, nun di sana, di balik tabir alam yang berbeda.”
“Ma… maafkan saya eyang. Saya terpaksa.”
“Eyang tahu, gurumu itu sejak awal memang menginginkanmu menidurinya. Dia haus akan belaian. Lain kali, jika kau akan meniduri seorang perempuan, kau harus lihat dulu. Jangan sampai dia sedang hamil. Karena itu sangat berbahaya. Kontolmu akan mengecil dan kamu tidak akan bisa ngaceng selama 10 tahun. Kekuatanmu juga akan hilang. Kau boleh meniduri siapa pun kecuali perempuan yang sedang hamil, paham?”
“I ya, Eyang.”
“Eyang menyarankan agar kamu bisa meniduri 7 perawan sebelum menikah. Dan kau harus mendapatkannya tanpa paksaan. Kalau kamu melakukannya dengan paksaan, maka tubuhmu akan sakit-sakitan selama 7 tahun. Dan ingat, tidak setiap perawan itu berusia muda. Bahkan ada nenek-nenek yang masih perawan, jika kamu menemukannya, lakukanlah jika ia rela. Tapi yang paling baik memang yang masih muda. Jika kamu menemukan perawan yang masih muda dan ia rela menyerahkannya kepadamu, lakukanlah di bawah bulan purnama. Niscaya akan memberimu tambahan kekuatan dan awet muda. Waktu eyang sangat sempit, ingatlah pesan eyang, sekarang eyang akan pergi.”

Gagan melangkah mendekati Eyang Olot. Melakukan sungkem. Eyang Olot mengusap rambutnya dengan lembut.
“Eyang tak sabar menunggu kamu di pesanggrahan Eyang di Gunung Guntur, tapi itu nanti. Sekarang eyang permisi, kamu diam di sini dan terus menunduk, jangan menoleh. Jika anjing herder pemilik rumah sewaan ini melolong, barulah engkau berdiri. Dan tutupkan pintu, paham?”

Gagan ingat betul dengan pesan Eyangnya itu. Namun matanya masih juga melirik ke arah selangkangan Ceu Engkar yang kini terbuka. Tampak celana dalamnya basah oleh cairan lendir yang kental, yang merongrong kontolnya semakin mengeras dan ingin menerjang ke dalam liangnya yang menganga minta disumbat.
“Kenapa kamu enggak mau Kang Gagan… ceuceu tahu koq, Ceu Tinah itu pasti mendapatkan kepuasan dari akang.” Kata Engkar dengan wajah kecewa. Gagan tersenyum getir dan dengan tubuh gemetar karena menahan sahwat yang menggelegak, Gagan berdiri.
“Saya mau mengecek sinyal di luar.” Kata Gagan dengan suara ditekan ke dalam tenggorokannya. Langkahnya kemudian dengan tergesa meninggalkan Ceu Engkar yang mengerang sendirian mencoloki liang memeknya sendiri.

Tiba di luar, ternyata ada sebuah mobil dinas berplat merah yang terparkir di luar halaman dan sopirnya yang berperut gendut baru saja ke luar dari pintu yang terbuka. Sopir itu celingukan sebentar dan merasa gembira ketika melihat Gagan.
“Sampurasun, punten kang permisi, kalau kampung Ciloa yang terkena musibah longsor arahnya ke mana ya?”
“Rampes, Kang.” Jawab Gagan, “sudah deket koq. Dari sini lurus, terus belok ke kanan, dari situ paling sekitar satu kilo-an lagi.”

Pada saat mereka berbincang, jendela mobil di bagian tengah, turun secara pelahan. Kemudian seraut wajah penumpangnya tampak pelahan-lahan. Wajah itu cukup menarik. Mengingatkan Gagan kepada dosen pembimbingnya ketika kuliah dulu. Wajah yang bersih terawat tanpa make up berlebihan sedang memamerkan senyum yang ramah. Sepasang mata pemiliknya tampak lelah. Gagan bisa melihat kelelahan itu.

“Usianya mungkin sekitar 35-an.” Kata Gagan dalam hatinya, “tapi apa yang disembunyikan di balik senyumnya itu? Hm, pasti rasa dahaga yang tak pernah terpuaskan.” Kata Gagan lagi dalam hatinya.

“Terimakasih, Kang.” Kata penumpang itu dengan simpatik.
“Sama-sama, Bu.” Jawab Gagan. Jendela mobil perlahan naik kembali, menyembunyikan wajah yang menarik itu dari pandangan Gagan.

Mendadak dari arah belakang mobil dinas itu, dari ujung jalan, terdengar deru motor ojeg yang berisik. Motor itu mendekat dengan kecepatan tinggi dan berhenti di dekat pintu sopir mobil yang masih terbuka. Ternyata ojeg itu membawa penumpang orang nomor satu di desa Karasak ini, yaitu Bu Kades Maharani.

Bu Kades turun dengan setengah meloncat dari jok motor, membayar ongkos dan mengusir tukang ojek itu untuk kembali ke pangkalan.

“mBak Sri.” Kata Bu Kades dengan gembira setelah sebelumnya dia memberikan tatapan mesra dan senyum manis kepada Gagan. Dia melangkah mengitari mobil dan mendekati pintu mobil yang dibuka dari dalam. Saat pintu terbuka, kedua perempuan berseragam itu saling berpelukan dengan gembira. Cipika (cium pipi kanan) cipiki (cium pipi kiri) sejenak lalu Bu Kades menarik tangan perempuan yang berada di dalam mobil itu untuk turun.
“Aku tadi ke ke ujung jalan desa untuk menjemput, tapi mbak Sri katanya sudah lewat.” Kata Bu Kades dengan gembira.
“Tadi salah jalan, Ran.” Kata perempuan itu sambil mencoba berdiri tegak, “pak sopir masuk lewat jalan samping, jadi kita enggak ketemu. Aku enggak bisa lama, hari ini rapat musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) masih sedang berlangsung. Aku harus kembali ke kabupaten. Gimana perkembangan korban longsor?”
“Mereka sedang melakukan perbaikan secara swadaya, seminggu lagi mungkin mereka sudah bisa kembali ke rumahnya masing-masing.”
“Bagus sekali. Dari dulu kamu memang selalu bisa diandalkan.”
“Itu karena bantuan dari mbak Sri yang gercep dalam menanggapi bencana. Eh, ngomong-ngomong, mBak, ini kenalkan, warga saya yang semalam ikut membantu mengangkuti bantuan logistik. Namanya Sugandi.” Berkata demikian, Bu Kades melambaikan tangannya kepada Gagan yang berdiri agak jauh.

Gagan melangkah mendekat, mengangsurkan tangan untuk menjabat sebuah tangan yang halus, mulus dan terawat.
“Saya Sri Mulyani.” Katanya.
“Sugandi.” Kata Gagan sambil menjabat erat tangan yang putih kecil itu, “kedengarannya seperti nama seorang mentri.”

Sebuah tawa kecil pecah di ujung bibir tanpa lipstik itu.
“Bukan, saya cuma Camat koq. Pohon-pohon jati ini, sudah berumur berapa tahun ya? Kelihatannya sudah tua.”
“Camat itu jabatan tinggi loh, Bu. Dan saya cuma rakyat jelata biasa. Soal pohon jati ini, kakek menanamnya tahun 80-an.”
“Oh, jadi pohon jati milik Pak Gandi ya bukan milik Perhutani.”
“Panggil Gagan aja, Bu, jangan pake pak segala.” Kata Gagan sambil menatap mata Bu Camat yang juga tengah mencoba menatapnya, “I ya, Bu. Ini ditanam kakek sesuai izin.”
“Hm, tapi kenapa saya baru tahu ya kita memiliki pohon jati di sini. Semuanya ada berapa pohon Pak Gandi, eh, Kang Gagan.”
“Sekitar seratus pohon.”
“Coba nanti saya cek ke dinas kehutanan dan perhutani izin penanaman pohon jati ini… soalnya nilai pajaknya cukup besar jika nanti ditebang kemudian dijual.” Kata Bu Camat dengan nada khas seorang pejabat yang berkuasa, “kita harus membicarakan hal ini kang Gagan.” Katanya sambil menoleh ke arah Bu Kades, “Ran, kamu punya datanya mengenai pohon jati ini?”
“Tidak, mBak. Soalnya itu kan milik warga. Dan cuma Kang Gagan inilah satu-satunya yang menanam pohon jati di sini.” Kata Bu Kades.
“Ya, tapi untuk urusan pohon jati, pemerintah Kabupaten telah mengeluarkan kebijakan tersendiri. Walau pun pohon jati itu milik warga, tapi ada ketentuan-ketentuan tersendiri yang mengaturnya. Saya khawatir pohon jati ini adalah pohon jati langka yang berharga mahal… hm, kalau orang yang mengerti tahu, mungkin mereka akan berbondong-bondong ke sini untuk membelinya.”
“Saya kurang tahu soal itu, mbak. Eh, ngomong-ngomong, mbak mau langsung ke Ciloa untuk melihat perkembangan atau mampir dulu ke rumah?” kata Bu Kades sambil melirik ke arah Gagan yang tengah memperbaiki celana pendeknya yang agak turun dari pinggangnya.
“Saya pengen istirahat sebentar di sini… tadinya saya ingin ke sana untuk melihat langsung, tapi kaki saya agak pegel. Saya ingin duduk selonjoran… di teras itu kalau boleh.” Berkata demikian Bu Camat menoleh ke arah Gagan.
“Tentu saja boleh, Bu. Bahkan ini merupakan suatu kehormatan bagi saya dikunjungi ibu.”

Mereka bertiga kemudian melangkah bersama. Bu Camat berada di tengah-tengah diapit oleh Bu Kades dan Gagan. Saat tiba di teras, tahu-tahu Bibi muncul di pintu rumah dengan ekspresi kaget campur gembira. Sedikit gugup Bibi menawari minuman kepada Bu Camat dan Bu Kades. Keduanya sepakat menginginkan secangkir kopi tubruk.

Pada saat duduk menunggu, Maharani merasakan suatu hal yang agak ganjil. Perasaannya seperti tak rela melihat bagaimana sikap mbak Sri terhadap kang Gagan. Intuisi kewanitaannya mengatakan bahwa mbak Sri menyukai Gagan. Semacam perasaan cemburu mengalir dalam darahnya dan membuat dadanya sedikit sesak. Apalagi saat perbincangan berlangsung, Maharani bisa melihat tatapan Bu Camat itu demikian lembut ke arah Gagan. Tapi Maharani berpikir, sahabat kuliahnya ini tak mungkin menyimpan perasaan kepada Gagan. Soalnya, sejauh yang Maharani tahu, Sri memiliki pernikahan yang bahagia. Setidaknya begitulah yang dilihat oleh Maharani selama ini. Lagi pula Sri ini adalah seorang wanita cerdas yang konon memiliki trah keturunan ningrat Solo. Setelah lulus S1, Sri melanjutkan studinya dan dalam waktu 3 semester dia meraih gelar S2. Dia kemudian diterima menjadi PNS di Depdagri dengan golongan IIIb. Empat tahun kemudian dia diangkat menjadi Kasubag di kementrian itu atas usaha dan lobby suaminya yang merupakan anggota DPR. Sri kemudian dimutasi ke Pemkab Bandung setelah suaminya disebut-sebut oleh media sebagai salah seorang anggota dewan yang tersangkut kasus E-KTP. Tapi Sri dimutasi dengan promosi, dia diangkat menjadi Kepala Bagian di Sekda Kabupaten. Setahun yang lalu, Sri promosi menjadi Camat.

Di mata Maharani, Sri adalah orang hebat, lungguh dan pekerja keras. Rasanya mustahil Sri menginginkan pemuda itu lebih dari sekedar pertemanan biasa.

“Tapi kang Gagan memiliki sesuatu kharisma yang aneh dan sangat menawan. Jika seorang perempuan tahu bagaimana rasanya dicangkuli dari belakang sampai muncrat-muncrat… rasanya takkan ada seorang pun yang akan melepaskannya begitu saja.” Pikir Bu Kades dalam hati. Dia tahu, semalam, pemuda itu masih belum puas dan menginginkan lebih. Tapi Maharani tak ingin ayahnya yang belum tidur mendengar dia mengerang-erang di Gazebo. “Bisa bahaya kalau beliau tahu. Dia bisa marah.” Katanya lagi dalam hati.

Pada saat 2 cangkir kopi tubruk datang, telpon di saku Bu Camat berdering. Dia menerimanya dan berbicara sesuatu sebentar. Kemudian dia menutup telpon.
“Barusan Kepala BPBD menelpon, katanya dia sudah ada di lokasi. Ran, aku entah mengapa tiba-tiba kakiku sangat pegel. Kamu bisa ke lokasi menemui beliau. Biar Pak Sopir yang nganter sementara aku istirahat dulu di sini sebentar ditemani Kang Gagan. Kalau ketemu dengan Pak Hendra, bilang saja aku kecapean. Soalnya semalam aku jadi tim perumus di musrenbang, aku begadang sampai pagi. Aku butuh istirahat sebentar.”
“Baiklah, mBak.” Kata Maharani sambil menyesap kopinya dengan agak tergesa. Setelah itu, tanpa mengatakan apa pun, dia berdiri dan melangkah menuju mobil dinas untuk pergi ke Ciloa.

Bu Camat menyesap kopinya.
“Ini kopi enak.” Katanya, “seharusnya tanpa gula.” Katanya lagi. Dia menatap Gagan yang sedang asyik berkutat dengan smartphonenya.
“Bibi pasti lupa untuk tidak membubuhkan gula.” Kata Gagan tanpa mengangkat kepalanya.
“Lagi ngapain sih, koq asyik banget.”
“Enggak, ini cuma cek sinyal internet doang.”
“Emang di sini ketangkep? Barusan Pa Kaban BPBD menelpon dengan jaringan seluler, bukan dengan telpon internet.”

Gagan tersenyum. Dia mengetik sesuatu pada smartphonenya kemudian tersenyum.

“Wah, ternyata Bu Sri ada dalam wikipedia… hm, luar biasa. Bu Sri memang hebat.” Kata Gagan sambil menyorongkan smartphonenya untuk memperlihatkan hasil pencariannya kepada Bu Camat, yang dibalas dengan lirikan tak acuh. “Ibu memiliki karir cemerlang, suami yang gagah, terpandang, memiliki kedudukan tinggi dan kekayaan keluarga yang melimpah.”
“Itu tidak penting.”
“Ibu memiliki rumah dan kendaraan mewah pribadi, tapi datang ke sini diantar Mobil dinas yang jauh tidak nyaman… dan sudah tua. Ibu juga bekerja keras sebagai PNS yang gajinya sangat kecil jika dibandingkan dengan kekayaan ibu… wah… ini sungguh…”
“Jangan panggil aku ibu, panggil aja mbak atau teteh.” Katanya dengan ekspresi tak terpengaruh dengan kekaguman Gagan. “Akang sudah punya istri?” tanya Bu Camat mendadak mengalihkan pembicaraan.
“Belum.”
“Pacar? Pasti sudah. Ya Kan?”
“Itu pernyataan. Bukan pertanyaan. Tentu saja.”
“Pernah melakukannya dengan pacar?”
“Apa?”
“Pasti sudah. Ya kan?”

Gagan terdiam. Dia nyengir.
“Belum.” Kata Gagan dengan senyum dikulum.
“Kamu belum nyobain dengan pacarmu, kamu berani jamin jika pacarmu masih perawan?”
“Dia masih 16, mbak. Dia juga tinggal di sini, tidak pernah ngelayap ke mana-mana.”
“Oh, begitu ya.” Bu Camat berkata dengan sedikit merasa janggal yang terpancar pada paras wajahnya. Hal tersebut menimbulkan suatu raut ekspresi yang sangat menarik di mata Gagan. Walau Sri bukanlah type wanita yang sering dikategorikan cantik yang sangat subyektif, tapi Sri memiliki kulit seputih kertas HVS yang terawat dengan baik. Matanya sipit seperti mata keturunan tionghoa namun bentuk rahang dan hidungnya sangat khas tipikal perempuan-perempuan jawa. Dengan kata lain, Sri mungkin terlihat seperti umumnya gadis kebanyakan namun entah bagaimana, pada raut wajahnya itu seakan menyembunyikan kategori kecantikan lain.

Sementara itu Sri juga merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa pembicaraan mendadak berubah ke arah hal yang sangat pribadi dan sensitif. Pemuda itu memiliki aura yang aneh dan bau badan seperti wangi kayu yang segar dan nyaman. Seakan-akan aroma itu mengundang Sri untuk terus mendekat dan menyesap misteri di balik tubuh pemuda itu. Seumur hidupnya, baru kali ini Sri merasakan hal seperti ini. Padahal jika dia menghadapi kaum adam, dia selalu memunculkan sikap dingin dan serius. Bahkan terkadang hal tersebut dilakukan kepada suaminya, Anjar Arnowo.

Dia dan Anjar sudah menikah selama hampir 13 tahun. Mereka hidup rukun dan tak pernah sekalipun cek cok. Mereka memiliki harta yang boleh dikata berlebih, kedudukan tinggi di masyarakat dan kehidupan sosial kalangan atas yang tanpa cela. Dari kehidupan sosial kelas atas inilah mereka memiliki banyak relasi, baik di kalangan top pimpinan pemerintah pusat, para pengusaha kaya dan artis-artis papan atas yang sering muncul di layar kaca. Dilihat dari segi apa pun, kehidupan mereka boleh dikata bahagia. Satu hal saja yang tidak mereka miliki yaitu seorang anak. Soal ini, mereka telah memeriksakan diri secara bersama-sama ke beberapa dokter ternama, semuanya mengatakan hal yang sama: mereka adalah pasangan yang subur dan bisa memiliki banyak anak. Namun takdir menghendaki mereka agar terus bersabar dan berusaha.

Soal usaha memiliki anak, mereka memiliki hubungan sex yang baik. Ketika mereka masih tinggal bersama di Jakarta, sedikitnya mereka melakukan hubungan sex seminggu 2 kali. Setelah Sri dimutasi ke Bandung, Anjar secara rutin datang minimal seminggu sekali bukan untuk sekedar untuk mengentot memeknya yang kadang merasa runyam ingin ditusuk-tusuk kontol suami tercinta, tapi juga untuk berbicara dan berbagi rasa. Bulan yang lalu, suaminya mengatakan bahwa dia menghubungi beberapa orang penting dan cepat atau lambat, Sri akan dimutasi kembali ke Jakarta. Sebuah kabar yang menggembirakan mengingat dia juga merasa kesepian di Bandung.

Saat teringat kepada Anjar, saat itu juga Sri melihat Gagan. Mereka, Gagan dan Anjar adalah dua karakter lelaki yang berbeda. Perbedaan pertama tentu saja umur, Anjar sudah 40 dan Gagan, pemuda itu, mungkin sekitar 24 atau 25. Kedua, Anjar memiliki kedewasaan dan kematangan seorang lelaki yang cukup lama bergelut di bidang politik. Anjar hati-hati dan memiliki selera humor yang baik. Sedangkan Gagan, dia terkesan polos dan sederhana namun sikapnya spontan. Sikapnya tidak dibuat-buat dan jujur. Kelihatannya pemuda ini mudah disiasati karena karakternya yang seperti itu. Ketiga, Anjar memiliki bentuk tubuh kebanyakan orang Indonesia. Batang kontolnya ketika ngaceng tidak terlalu panjang. Semua posisi hubungan sex bisa dilakukan Anjar kecuali posisi berdiri dengan Anjar memasukinya dari belakang. Kepala kontolnya sering lepas dan apabila didorong kembali sering salah menubruk liang pantatnya. Sedangkan Gagan, dia memiliki tubuh yang terkesan kurus. Padahal tidak juga. Gagan memiliki tinggi di atas rata-rata, mungkin sekitar 175 atau 178. Perutnya rata. Entah berapa panjang kontolnya dan seberapa kuat dan berpengalaman dia di ranjang. Sri tidak tahu. Satu hal saja yang Sri tahu, Gagan memiliki postur sempurna dan tulang-tulang yang kuat yang menyangga tubuhnya.

Selama hidupnya Sri tidak pernah selingkuh. Namun kali ini, saat dia melirik ke arah tonjolan pada celana pendek pemuda itu, ada suatu rasa penasaran yang merayap di hati perempuan itu. Sebuah rasa di mana misteri bau tubuh pemuda itu bisa dipecahkan. Dia ingin merasakan pria lain selain suaminya. Ya, dia ingin merasakan tubuh pemuda itu. Sedangkan Sri juga tahu, bahwa dia menginginkan hal itu bukan karena dendam kepada Anjar yang pernah berselingkuh dengan sekertarisnya dan dengan mantan kekasihnya yang sudah bersuami. Tidak. Dia mencintai Anjar dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kesalahan dan kehilafan yang telah dilakukannya. Sementara pemuda itu, dia seperti es krim yang agak sayang untuk tidak dicicipi walau sekali jilat.

Gagan sendiri merasakan hal yang berbeda. Dia menatap mbak Sri dan menemukan sebuah kekosongan dan kesepian pada sorot matanya. Walau mbak Sri memiliki segalanya, namun di mata Gagan, belum tentu wanita itu merasa bahagia. Apalagi ketika mereka secara tiba-tiba saling bertatapan selama 5 detik. Saling menerka isi hati. Saat mereka saling tersenyum. Sri membiarkan tangannya digenggam oleh pemuda itu, yang kemudian menariknya dan membawanya berdiri untuk melangkah menuruni tangga teras.
“Mau ke mana?” suara Sri gemetar. Dia tahu dia takkan menolak dibawa ke mana pun oleh pemuda itu.

Tetapi pemuda itu tidak menjawab. Dia membimbing tangan Sri dengan genggaman yang kuat dan hangat, melangkah memasuki dan menyisir jalan setapak di antara batang-batang pohon jati. Tiga menit kemudian, Sri menemukan dirinya berdiri di atas tebing dan melihat batang-batang pohon jati tumbuh lebih rendah, lalu Gagan mengajaknya menuruni sebuah undakan tanah merah yang dipenuhi rumput dan di kiri kanannya ditumbuhi pepohonan kopi yang pendek. Sri tidak akan bisa melihat undakan itu jika Gagan tidak membawanya ke sana.

Dengan hati-hati Sri menuruni undakan yang melingkar itu dan menemukan sebuah jalan datar selebar setengah meter yang juga dipenuhi rumput. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil itu seakan-akan mereka menembus kerumunan batang-batang pohon kopi. Lalu seperti tiba-tiba, Sri menemukan sebuah sebuah lubang yang menjorok ke dalam tebing. Itu bukan gua. Itu hanya sebuah lubang tersembunyi sedalam satu meter dengan tinggi 1,5 meter dan lebar sekitar 2 meter. Berbentuk setengah lingkaran yang tak teratur. Di sekelilingnya ditumbuhi pepohonan merambat dan di atas tanahnya yang datar, terhampar sebuah tikar yang terbuat dari karet campuran.
“Kang Gagan ini tempat apaan? Ada ularnya enggak?”
“Ular? Tidak akan ada. Aku biasa duduk di sini. Tempatnya adem dan teduh, tapi bisa melihat langit di antara batang-batang pohon jati yang menjulang.” Sambil berkata Gagan menunduk memasuki tempat itu lalu duduk dan menyandar pada dinding tanah liat yang mengeras karena terlalu lama terpapar cahaya matahari.

Sri mengikuti apa yang dilakukan Gagan. Dia melepaskan sepatu pantofelnya dan duduk dengan sepasang kaki menelonjor. Betisnya yang putih berkilauan diterpa cahaya matahari pagi jam 10. Dia menoleh ke arah Gagan yang setengah menunduk ke arahnya. Wajah mereka berdekatan. Tahu-tahu Sri sudah lagi menyorongkan mulutnya ke arah pemuda itu untuk mendapatkan sebuah ciuman yang lama dan memabukan. Sejak awal ketika Sri melihat pemuda itu dari balik jendela kaca mobil, beberapa menit yang lalu, ada sesuatu di dalam diri pemuda itu yang ingin dirasakan dan dimilikinya. Kini dia tahu apa yang diinginkannya.

Sri merasakan betapa lembut dan manisnya bibir pemuda itu. Sangat berbeda dengan bibir Anjar yang kering dan bernafas bau. Dia terus mengemut bibir Gagan dengan gairah yang tak tertahankan. Pelahan putting susunya mulai mengeras walau belum disentuh dan memeknya mulai mekar walau belum basah. Kedua tangan Sri meraih belakang kepala Gagan dan menahannya agar tidak pergi menjauh. Sri tidak akan bosan mengemut bibir pemuda itu. Dia tak mungkin bosan karena sensasinya yang nikmat. Nafas pemuda itu terasa ringan dan hangat. Sangat nyaman.

Sri mungkin takkan bisa menjelaskan secara masuk akal dan logis bagaimana pemuda yang baru dikenalnya 17 menit yang lalu itu kini tengah mengembangkan tangannya dan merayap meraba pahanya. Lebih-lebih lagi Sri mustahil menjelaskan bagaimana dia menginginkan telapak tangan yang lebar dan lembut itu bukan sekedar meraba-raba pahanya saja. Oleh sebab itulah dia membuka kakinya lebar-lebar sehingga rok span seragam khakinya naik 20 centimeter dari atas dengkulnya. Terlihat celana dalam merah muda merk terkenal itu membungkus segunduk daging tebal berbentuk seperti huruf “U”. Sri menginginkan jari-jari tangan itu meraba permukaan memeknya, mengelusnya dan memiit-mijit kelentitnya yang kini mulai tegak.

Biasanya, bila dia bercinta dengan Anjar suaminya, pada saat dia menciumi bibir dan telinganya, pada saat itu juga jari jemari Anjar langsung menggosok belahan memeknya dan mencolok-coloknya liang memeknya. Sebuah sensasi yang cukup enak akan dirasakan Sri jika Anjar melakukan hal tersebut.

Tapi pemuda ini tidak melakukannya. Bahkan meraba memeknya pun tidak.
“Mungkin dia belum berpengalaman.” Pikir Sri dalam hatinya, “mungkin aku adalah yang pertama baginya dan mungkin dia masih perjaka.”

Tangan pemuda itu malah menyusup masuk ke dalam baju lewat ujung baju bagian bawah, mengelus perutnya dan merayap pelahan-lahan untuk menemukan sebuah bukit lembutnya yang mulai mengencang mekar karena rangsangan dari ciuman bibir. Namun saat ke lima jari Gagan mulai meraup payudaranya, Sri merasa sangat aneh sekali bagaimana tehnik remasan yang dilakukan pemuda itu demikian tepat dan nikmat. Biasanya dia tidak menyukai jika Anjar meremas susunya, seringkali bukan rasa enak dan nyaman, malah yang terasa adalah rasa sakit yang tidak enak.
“Bagaimana dia bisa melakukannya?” pikir Sri keheranan. Pahanya mengejang menahan rangsangan dan kini dia mulai melepaskan keinginannya untuk bersikap agresif. Tidak. Sri pelahan melepaskan tangannya dari belakang kepala Gagan dan bersiap menerima apa pun yang akan dilakukan oleh pemuda itu terhadap bagian-bagian tubuhnya yang sensitif dan menuntut banyak. Punggungnya merosot ke tikar karet yang empuk. Ya, sangat empuk karena di bawah tikar tersebut tumbuh rerumputan yang cukup tebal. Selain itu, tikar juga memiliki kelenturan yang empuk dan nyaman. Sri setengah menyesal melepaskan bibir pemuda itu dari pagutan bibirnya. Tapi dia tak berdaya dengan memeknya yang mulai berdenyar merindukan sentuhan.

Biasanya, bila dia bercinta dengan Anjar, suaminya itu akan segera menindihnya bila berbaring dan mengangkang, suaminya lalu akan memasukan kontolnya ke dalam liang memeknya. Menggenjotnya dengan sabar dan pelahan sehingga Sri bisa merasakan gesekan-gesekan nikmat itu. Tapi pemuda ini tidak.

Dia tidak menindih Sri tapi duduk dengan betisnya di pinggir tubuh Sri yang sudah berbaring dan menatap pemuda itu yang tengah melepaskan kancing seragam Sri satu demi satu.
“Kamu yakin, Kang?” tanya Sri sambil tangannya menyelinap ke bawah bokongnya dan melepaskan kancing pengait yang terletak di belakang.
“Mbak menginginkannya kan?”
“Yakin akang tidak akan menyesal?”
“Mbak sendiri bagaimana? Kalau ragu kita berhenti di sini.”
“Bagi kamu, Ini bukan yang pertama kan?” tanya Sri, sepasang matanya mulai meredup saat Gagan menunduk setelah berhasil melepaskan kaitan BH-nya. Mulutnya mencucup puting yang mengeras, yang dikelilingi areola kecoklatan sebesar emping.
“Bukan mbak.”
“Akhh… Kang, jilat terus putingnya…”
“Mbak suka?”
“Suka banget.” Jawab Sri sambil menyeringa kecil saat tangannya meraba celana pendek Gagan. “Boleh liat dulu enggak?”
“Apanya?”
“Ininya.”
“Ininya apanya?”
“Kontolnya, Kang. Mbak pengen lihat dulu kontol akang.”
“Boleh. Tapi jangan takut ya?” kata Gagan sambil berdiri dengan lututnya dan melepaskan celana pendeknya sekaligus dengan celana dalamnya.

Sepasang mata Sri terbelalak.
“A… akang… kontolnya gede banget…”
“Takut enggak?”
“Sedikit.” Kata Sri. Dia tersenyum manis kepada Gagan yang menatapnya. Senyum yang riang tanda hatinya senang. “Sudah kuduga, cowok ini pasti memiliki sesuatu yang sangat istimewa.” Kata Sri dalam hatinya. Mendadak jantungnya berdebar membayangkan kontol seperti kontol kuda itu akan menembus liang memeknya dan melinggisnya dengan ganas dan buas. Pasti lezat.

Srrrr… baru saja Sri membayangkan kontol itu mengewenya, memeknya langsung meneteskan lendir yang meleleh membasahi celana dalam merk terkenalnya yang mahal. “Sejak awal ketika aku melihatnya, aku langsung tertarik. Ini dia keistimewaan dia yang terpendam.” Kata Sri dalam hatinya, “pantes saja. Memang, firasatku tak pernah salah mengenai laki-laki.”
“Sekarang gantian saya yang pengen melihat memek mbak.” Kata pemuda itu dengan suara yang tenang dan kalem.
“Tapi kamu jangan kecewa ya…” kata Sri. Bersamaan dengan itu kedua tangan Gagan sudah berada di pinggangnya, mencengkram pinggiran rok dan celana dalamnya lalu menariknya dengan lembut namun kuat. Rok seragam khaki dan celana dalam merah mudanya pun meluncur melintasi paha dan betisnya lalu terlepas melewati kakinya yang telanjang.

Gagan terpana menatap seonggok memek yang sangat cantik dan teramat jelita yang terpampang di depan matanya. Dia hampir tidak mempercayai apa yang tengah dilihatnya. Sungguh! Bu Camat memiliki bentuk memek yang sangat indah dan langka yang biasa dimiliki umumnya perempuan Indonesia dari berbagai daerah dan wilayah. Ya. Bu Camat memiliki memek yang indah dan langka.
“Ini memek yang sangat langka yang belum pernah aku rasakan.” Kata Gagan dalam hatinya.

Bentuk daging kenikmatan yang menggunduk ini seperti huruf “U”, tepatnya seperti bentuk tapal kuda. Bibir luarnya melengkung tebal dan menangkup ke arah bawah sehingga betul-betul mirip seperti tapal kuda, “cocok dengan kontol yang besar dan panjang ini.” Pikir Gagan. “Tanpa mengangkang pun sudah kelihatan liang memeknya yang lebar, pasti bagian dalamnya sempit dan legit sementara bibir memek bagian dalamnya yang melebar keluar itu seakan-akan kelopak bunga yang sedang merekah.” Pikir Gagan lagi. “Aku sungguh beruntung bisa menemukan memek indah milik Bu Camat ini.”
“Kenapa diam?” Bu Camat mendadak bertanya dengan sedikit jengah karena memeknya ditatap tanpa kedip oleh Gagan.
“Memek mBak sangat cantik sekali.” Kata Gagan dengan nada polos yang jujur.

Seumur hidup, belum pernah Sri dipuji memiliki memek yang cantik. Kontan saja dia jadi merasa jengah sekaligus senang.
“Ah masa?” kata Bu Camat pura-pura tidak percaya. Dia membuka dan merenggangkan sedikit pahanya. Terasa oleh Sri lipatan-lipatan pahanya sesuatu yang sejuk, kiranya angin gunung yang dingin mengendus ujung pucuk memeknya.

Pada saat merenggangkan pahanya itu, pada saat itu pula liang memek yang merah muda agak kecolatan merekah. Seperti merekahnya bunga tulip di musim semi. Bibir-bibir memeknya yang bagian dalam ikut pula merekah, seperti jengger ayam yang terlipat.

Gagan tak ingin langsung melinggis liang memek itu dengan kontolnya. Tidak. Dia ingin menikmati semua keindahan itu dengan matanya lebih lama. Esok atau lusa, belum tentu dia bisa menemukan memek yang indah seperti yang dimiliki Bu Camat.

Bagaimana pun bagi Gagan, Bu Camat yang turunan ningrat ini, yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu, bukanlah sekedar wanita yang memiliki sebentuk memek yang indah dan sangat cantik. Tapi juga adalah seorang wanita yang memiliki hasrat dan nafsu birahi yang sangat tinggi walau pun bukan seorang maniak. Bahkan, type wanita seperti Bu Camat ini terkesan dingin dan nerimo dalam kehidupan sehari-hari. Tak memiliki banyak keluhan akan kenikmatan sex yang diterimanya dari suaminya.

Oleh karena itu, Gagan ingin mempersembahkan suatu pengentotan yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Bu Camat seumur hidupnya.
“Ya, aku akan mempersembahkan kenikmatan ewean yang tidak akan pernah bisa dia rasakan dengan pria mana pun di dunia ini.” Tekad Gagan dalam hatinya.

Gagan kemudian beringsut ke tengah-tengah kaki Bu Camat yang direnggangkan lebih lebar. Bukan sekedar bermaksud agar dia bisa duduk di atas betisnya yang terlipat dengan leluasa, tetapi juga agar dia bisa melihat bagaimana liang memek Bu Camat mekar merekah. Kedua lututnya menyentuh paha Bu Camat sementara telapak kakinya dengan tumit menyentuh bagian belakang pantatnya, menghadap ke atas.

Sambil duduk bersimpuh seperti itu, Gagan merapatkan kedua telapak tangannya dengan sangat khidmat. Tubuhnya condong sedikit ke depan. Kepalanya menunduk. Lalu dia mengucapkan mantra:

Wahai dewi kesuburan dan kenikmatan
Terimalah persembahan ini
Liang memek yang terbuka
Dan batang kontolku yang ngaceng

Terimalah lendir kenikmatan yang akan mengucur dari liang memek
Terimalah pejuh yang akan memancur dari mulut kontolku
Aku akan melinggis memek ini sedalam-dalamnya
Seperti petani mencangkuli ladangnya
Aku aku akan membucatkan pejuhku di dalam liang memeknya
Seperti pancuran memuntahkan airnya ke telaga

Wahai dewi kesuburan dan kenikmatan
Saksikanlah persenggamaan ini dengan mata terbuka…



(bersambung)​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd