Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CINTA RUMIT ANTARA STW, BINOR, MAMAH MUDA, JANDA DAN ABG by SUMANDONO

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Ah... karya Suhu @Kardiman_Lee a k.a Sumandono kita satu ini memang susah dicarikan lawannya
Alurnya ngalir, penokohannya kuat, penggambaran tokohnya juga jelas. Dan muara ceritanya jelas banget selalu sukses bikin crotttt hehehe
Sok atuh lajengkeun Hu
Sampe saat ini SS ama Bu Camat ini yg paling membagongkan. Ngacengable, coliable dan pasti crotable wkwkwk
Ceu Lilis tos ngantosan Gagan tuh.
Sok lah Gan, da nu teu boleh ku Eyang mah ngewe istri nu hamil, ari bikin istri hamil mah teu nanaon cenah, meski eta istri orang hohoho
Monggo dilanjut Hu
 
SEBELAS
Erin





Sri terbangun oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Dia tertidur mungkin sekitar 15 atau 20 menit, tapi rasanya seperti seharian. Tubuhnya merasa segar dan memeknya merasa kenyang. Dia membuka matanya, yang pertama kali dilihatnya adalah punggung pemuda itu yang tengah duduk mencakung, menatap langit siang yang biru jernih bagai lukisan sambil merokok. Sri bangkit. Dia lebih dulu memeluk tubuh Gagan ketimbang mengenakan pakaiannya. Menciumi pipi pemuda itu dari belakang sambil menggesek-gesekan buah dadanya.

Gagan tersenyum. Kontolnya ngaceng lagi.
“Mbak masih pengen?”
“Emang masih kuat?” kata Sri balik bertanya.
“Boleh coba. Ronde kedua biasanya aku lebih kuat.” Jawab Gagan.

Sri mengikik.
“Sebetulnya sih pengen, tapi kayaknya mbak harus kembali ke kabupaten. Kita tukeran nomor HP ya.”
“Boleh mbak.” Kata Gagan sambil berpaling dan membalas kecupan bibir Sri.
“Kalau nanti malem suamiku enggak datang, kamu mau kan ke hotel temenin aku?”
“Malam sekarang? Wah, mbak, saya juga kan punya kerjaan.”
“Ya udah gapapa, lagian aku masih kenyang koq… hi hi hi…” kata Bu Camat sambil melepaskan pelukan dan mengenakan pakaiannya. Setelah rapi dan mengenakan sepatunya kembali, Bu Camat merogoh HP-nya dan menemukan 21 panggilan tak terjawab.
“mBak harus segera pergi.” Kata Sri sambil menatap HP-nya lalu memijit-mijit screen entah menuliskan apa. “Eh, nomor kamu berapa?”

Gagan menyebutkan nomor HP dan Sri dengan kegembiraan yang tak terlukisakan di wajahnya, menulisnya dan menyimpan nomor itu pada memori teleponnya dan diberitanda khusus agar tidak terdelete secara tidak sengaja. Mereka kemudian berjalan mendaki meninggalkan cekungan itu dan melangkah tenang di antara pohon-pohon jati sambil mengobrol ringan. Dari belakang rumah, Bu Kades berseru gembira di kejauhan, dia menggapaikan tangan. Di samping Bu Kades, berdiri sopir Bu Camat yang berperut gendut sambil memainkan serencengan kunci.
“Bu, sebaiknya kita secepatnya ke kantor kabupaten.” Kata sopir itu.
“Aku tahu.” Kata Bu Camat datar, “kang Gagan, makasih ya sudah dianter lihat-lihat kebun pohon jatinya.”
“Sama-sama, Bu.”
“Ran, gimana? Semua sudah selesai kan?”
“Sudah, mbak.” Jawab Bu Kades Maharani sambil menjajari langkah Bu Camat, “pak Kaban BPBD memuji-muji terus mbak.”
“Begitu ya?”
“Katanya, Bu Sri memang hebat dan cekatan, wajar kalau sebentar lagi akan ditarik kembali ke pusat.” Jawab Bu Kades dengan semangat tinggi.

Mereka terus berjalan menuju mobil dinas yang sedang menunggu di luar halaman, sementara Gagan malah masuk ke dalam rumah dan menemukan Bibi, Ceu Nengsih dan Nabila. Ketiga orang itu menatap Gagan dengan tatapan masing-masing yang mengandung arti. Terutama Bibi, tatapannya seperti kesal.
“Gan…” seru Bibi, suaranya tercekat sebentar. “Apa benar kamu mau meminang Bila?”
“Benar, tapi enggak sekarang.” Kata Gagan, dia kemudian duduk di kursi jati ruang tamu yang sudah dirapikan setelah semalam disisihkan untuk tempat tidur sementara.
“Tuh kan Bila enggak bohong.” Bila mendadak berkata dengan ekspresi antara senang sekaligus setengah menantang.
“Kamu serius apa cuma main-main?” tanya Ceu Nengsih dengan suara bergetar karena diliputi oleh suatu emosi yang Gagan tidak tahu emosi apa.
“Serius, Ceu. Saya ingin Nabila menjadi istri saya.” Kata Gagan dengan nada mantap.
“Kapan?” tanya Bibi, suaranya juga ternyata gemetar.
“Kalau dia sudah lulus sekolah.”
“Kalau… kalau kamu menikah sama Bila berarti… berarti… berarti Bila akan tinggal di sini… Nengsih juga…” kata Bibi, kali ini suaranya seperti ingin menangis.
“Ya I yalah, masa saya tinggal di rumah Pak Otong.” Kata Gagan.
“Terus… nasib Bibi gimana?” tanya Bibi.
“Maksudnya?” tanya Gagan dengan kening berkerut.
“Apa bibi masih boleh tinggal di sini, soalnya… soalnya…”
“Ya boleh. Masa enggak boleh? Bibi boleh tinggal di sini selama bibi mau.” Kata Gagan dengan nada datar yang biasa. “Terus masalahnya apa?”
“Masalahnya… Bila sama Nengsih mau pindah ke rumah ini.” Kata Bibi.
“Ya enggak apa-apa, toh cepat atau lambat juga mereka akan pindah ke sini, lagian kan saya lebih banyak tinggal di Jakarta, pulangnya juga enggak tentu.”
“Terus… apa bibi masih boleh ngurus rumah ini… maksud bibi, tadi Bila bilang, katanya Gagan mau secara rutin transfer uang ke Bila… jadi Bibi… bibi… gimana bibi belanja untuk sehari-hari… kan selama ini bibi menggantungkan hidup sama kamu… walau kamu cucu tiri bibi tapi kamu…”
“Oh, soal itu, bibi enggak usah kuatir. Bibi masih dalam tanggungan saya koq.”

Selesai Gagan mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Bibi mendekati Gagan dan bersimpuh di depan pemuda itu sambil memeluk kaki Gagan, “terimakasih Gan… terimakasih…bibi sungguh tak tahu apa yang harus bibi ucapkan…”
“Sudah, Bi. Enggak usah berlebihan.”
“Terus pengaturan kamarnya gimana Kang Gagan…” kata Nengsih dengan kegembiraan yang ditahan.
“Mamah jangan panggil akang sama Kang Gagan.” Kata Bila sambil mengerling ke arah Gagan. “Kang Gagan juga jangan panggil euceu sama mamah.”

Gagan nyengir.
“Ya udah, mulai sekarang saya manggil Ceu Nengsih, Mamah. Setuju, Mah?”

Nengsih tersenyum lebar dan mengangguk. Bila melonjak gembira dan hampir saja dia berlari memeluk Gagan.
“Soal pembagian kamar, mmm, mau tidak mau Bibi harus mengalah. Bibi terpaksa pindah ke kamar saya yang dulu, dan kamar bekas kakek yang bibi tempati, buat mamah.”
“Terus Bila kamarnya mana?”
“Kamu, yang, di kamar akang. Kalau akang pulang, kamu tidur dulu sama mamah. Setuju kan?”

Bila tersenyum lebar. Tanda setuju.
“Boleh mamah meminta satu permintaan ke kang ga… eh, ke kamu Gan.” Kata Nengsih.
“Tentu, Mah.”
“Mulai saat ini, hanya Mamah dan Bila yang boleh mencucikan baju kang… eh kamu Gan. Soalnya itu kan kewajiban Bila kalau nanti jadi istri kamu.”
“Oh ya itu, baik. Tentu, tentu. Diatur aja. Kalian bicara baik-baik ya, jangan sampai ribut.”

Semuanya mengangguk mengiyakan. Pada saat mereka berbicara, mendadak dari pintu yang terbuka muncul Bu Kades.
“Maaf mengganggu… Kang Gagan, barusan Bu Camat kirim salam, katanya mohon maaf enggak sempat pamitan.” Kata Bu Kades sambil berdiri di ambang pintu. “Sekalian saya minta izin untuk mendata jumlah pohon jati punya akang, ini atas permintaan Bu Camat.”
“Oh I ya, Ceu. Silakan.”
“Mungkin sore ini, Kang, didatanya. Kalau bisa akang juga menemani saya.”
“Oh, tentu saja, Ceu.”
“Sekarang saya masih ada kerjaan, sebetulnya tinggal sedikit lagi. Saya permisi…”

Bersamaan dengan ujung kalimat Bu Kades, terdengar sebuah jeritan minta tolong. Gan segera meloncat dari duduknya dan mengikuti Bu Kades yang sudah lebih dulu berlari ke arah suara jeritan.
“Hey, hentikan!” kata Bu Kades ke arah seorang lelaki tinggi besar yang sedang menarik tangan seorang perempuan dengan cara paksa.
“Diam kamu Rani, jangan turut campur. Ini masalah suami istri.” Kata lelaki itu.
“Tolong Bu Kades, suami saya akan memukuli saya.” Kata perempuan itu.
“Ceu Lilis tenang… tenang… jangan panik.”

Gagan mendekati suami istri itu dan dengan wajah garang dia berkata, “lepaskan dia kang.” Kata Gagan, suaranya tegas.
“Hey bocah ingusan, ngapain kamu turut campur, aku tempeleng baru tahu rasa kamu.”
“Silahkan tempeleng kalau bisa, tapi lepaskan ceu Lilis, dia kesakitan kamu seret begitu.”
“Anjing siah, berani kamu ya.”
“Kenapa harus takut sama banci yang bisanya berbuat kasar pada perempuan yang lemah.” Kata Gagan tanpa sedikit pun merasa takut.

Lelaki itu melotot murka. Dia menebah tangan Ceu Lilis dengan dorongan yang sangat keras sehingga perempuan berkulit hitam manis itu terjengkang ke tanah. Lalu lelaki tinggi besar yang memang terkenal berangasan dan merupakan pembuat ulah di desa Karasak itu, dengan gerakan yang sangat cepat mendekati Gagan sambil melayangkan sebuah pukulan jab yang kelihatannya tak mungkin bisa dihindari oleh Gagan.

Lelaki itu bernama Dudung. Tingginya hampir 180 cm dengan berat badan mencapai lebih dari 1 kuintal. Seluruh desa mengenal Dudung sebagai si tukang mabuk dan tukang judi. Semasa mudanya Dudung pernah menjadi atlit tinju dan memenangkan medali perak pada Porda tingkat Kabupaten. Setelah gagal bersinar sebagai atlit, Dudung kemudian bekerja sebagai debt collector dan bermasalah dengan hukum karena caranya menagih yang kasar. Walau Dudung tidak pernah merasakan mendekam di balik jeruji besi, tapi tingkahnya sudah dianggap sebagai sampah masyarakat. Secara umum, melihat tubuhnya yang tinggi besar, warga banyak yang takut kepada Dudung.

Saat Dudung melakukan serangan kilat itu, baik Bu Kades, Bibi, Nengsih dan Bila semuanya menjerit kaget. Mereka takut sekaligus khawatir Gagan akan terluka oleh pukulan Dudung. Bahkan Bila sedikit histeris sambil menutup wajahnya. Hatinya bertekad, andai Dudung berhasil melukai Gagan yang sangat disayangnya, maka Bila tidak akan ragu mengambil cangkul yang bersandar di pinggir teras, dan akan langsung menyerang Dudung menggunakan cangkul itu.

Namun aneh bin ajaib. Gagan hanya mengegos sedikit dan membiarkan kepalan tangan itu meluncur deras melewati pipinya. Dengan satu gerakan yang sangat minimalis, yakni dengan hanya menggeser kaki kanannya 15 cm ke belakang kaki kirinya, Gagan kemudian menggerakkan tangannya mendorong punggung Dudung. Tahu-tahu lelaki tinggi besar itu sempoyongan dan tersungkur mencium aspal jalanan yang tidak rata karena sudah lama tidak dirawat oleh Dinas Bina Marga Kabupaten.

Kontan saja Dudung pun mencium permukaan aspal dengan keras. Akibatnya, hidungnya yang pesek itu mengucurkan darah.
“Anjing goblog, ku aing dipaehan (aku bunuh kau) siah!” Kata Dudung sambil bangkit dari aspal. Dia segera menerkam Gagan dengan kedua tangan mencengkram mengarah ke arah leher Gagan dengan tujuan mencekik.

Gagan hanya tersenyum sinis. Kedua tangan Dudung sudah sampai di pundak dengan jempol serta telunjuknya melingkar di leher Gagan. Siap melakukan cekikan. Pemuda yang kelihatannya lemah itu hanya merangkapkan kedua tangan, lalu secara bersama-sama bergerak ke atas di antara dua lengan Dudung. Lalu dengan gerakan yang sangat indah dan terlihat gampang, kedua tangan Gagan menebah kedua tangan Dudung sehingga lepas dari pundaknya.
“Sudahlah, saya tidak mau urusan jadi panjang.” Kata Gagan sambil tangannya mendorong dada Dudung sementara kakinya mengait tumit belakang lelaki berangsan itu.

Apa akibatnya? Kontan saja Dudung jatuh terjengkang dengan bagian belakang kepala lebih dahulu menyentuh aspal. Blug! Dudung pun jatuh terlentang dan tak sadarkan diri. Dia pingsan karena benturan keras bagian belakang kepala dengan aspal.

Para perempuan bertepuk tangan gembira. Tapi Gagan segera membungkuk untuk memeriksa Dudung.
“Hm, benturan yang keras!” kata Gagan, “ada kemungkinan dia gegar otak ringan. Dia harus dibawa ke puskesmas.”
“Tidak usah, biar mampus sekalian.” Kata Ceu Lilis dengan geram. Dia bahkan akan menendang suaminya jika tidak ditahan oleh Gagan.
“Ya, dia pingsan.” Kata Bu Kades sambil mendekati tubuh yang sedang terkapar itu dan mencermatinya dengan seksama, “salahnya sendiri cari gara-gara di tempat umum, pake melakukan Ka De eR Te lagi.” Tambah Bu Kaes lagi.
“Bila, tolong ambilkan tas kecil akang di kamar, sekalian HP dan Kunci Mobil, akang mau bawa dia ke puskesmas.” Kata Gagan kepada Nabila, yang tidak menunggu diperintah 2 kali, langsung berlari ke dalam rumah.

Beberapa warga yang berdatangan karena melihat keributan itu tidak begitu setuju dengan sikap Gagan.
“Biarin aja molor di situ, mati saja sekalian malah bagus.” Kata salah seorang warga. Namun di antara kerumunan warga, muncul seorang gadis imut yang hitam manis mendekati Dudung. Dialah Erin.
“Bapak, bangun.” Kata Erin.
“Udah biarin aja, Erin, bapak kamu itu pantas menerima hajaran.” Kata Ceu Lilis dengan wajah masih marah dan takut.

Gagan segera menuju mobil kijang tuanya di tempat parkir dan mendapatkan sebuah pelukan serta ciuman dari Nabila sebelum membuka pintu mobil.
“Akang pergi dulu, kamu atur aja rumah sama mamah ya.”
“I ya kang.” Kata Nabila sambil menggesek-gesekan memeknya ke lengan Gagan, “lama enggak kang?”
“Mungkin agak lama, akang sekalian ada urusan ke kota.”
“Bila ikut.” Kata Nabila dengan manja.
“Hayo manja lagi… aleman lagi…sudah dibilang akang enggak suka kalau kamu bersikap seperti itu.”
“I ya Kang, maaf.”
“Udah, akang pergi dulu.”

Mobil ke luar dari garasi dengan pelahan kemudian berhenti di luar pagar halaman. Warga bergotong royong memasukan tubuh Dudung yang tinggi besar ke dalam mobil melalui pintu belakang. Gagan meminta Ceu Lilis dan Erin untuk ikut ke puskesmas. Keduanya tidak menolak.

Erin duduk di kursi depan, di pinggir Gagan. Seumur hidup, Erin belum pernah duduk di kursi depan di dalam mobil yang sedang melaju. Berkali-kali Erin mencuri pandang ke arah Gagan yang sedang fokus menyetir.
“Dia memang ganteng.” Bathin Erin dalam hatinya, “badannya harum dan orangnya baik, di desa ini mustahil ada gadis yang menolak pria ini. Dia juga kaya dan berpendidikan. Sungguh seorang calon suami yang sempurna. Dan Nabila adalah gadis yang beruntung.”

Tak lama kemudian mereka tiba di puskesmas. Dokter yang kebetulan giliran berjaga di hari Sabtu itu adalah dokter Angelina Tan. Usianya sekitar 25 tahun. Memiliki sepasang mata sipit khas keturunan. Dia sudah bertunangan dengan Rudi Sukmajaya yang juga berprofesi sebagai dokter.
“Ini kenapa?” tanya Dokter Angelina dengan suara yang lembut dan merdu.
“Jatuh dok.” Kata Gagan sambil menatap wajah putih yang mulus itu. Bibirnya yang tipis bagai kelopak mawar, membuat Gagan gemas ingin mengemutnya.
“Posisi jatuhnya telentang ya… hm, kelihatannya mengalami gegar otak… mana keluarganya?”
“Saya Bu Dokter.” Kata Ceu Lilis sambil mendekati roda dorong di mana suaminya dibaringkan.
“Kemungkinan suami ibu harus dioprasi… ada pecahan batu masuk cukup dalam ke dalam tengkorak kepalanya dan harus dikeluarkan.”
“Aduh dok…biarin ajalah…”
“Loh ibu ini gimana, masa enggak sayang suami sendiri.”
“Mahal enggak dok biayanya?” mendadak Erin mendekat dan bertanya.
“Enggak, enggak mahal.”
“Tapi kita engak punya uang untuk biayanya Bu Dokter.” Kata Ceu Lilis lagi.
“Sudah dok, ambil tindakan terbaik menurut dokter aja, soal biaya enggak usah khawatir.” Kata Gagan dengan nada datar.
“Bapak saudaranya?” tanya Dokter Angelina sambil mengerling ke arah Gagan seperti tidak acuh, padahal sejak awal pemuda itu masuk ke dalam puskesmas ini, dia sudah agak bergetar juga dengan pesona dan kharisma kelelakiannya yang sangat kuat. Bahkan bau badan pemuda itu, sungguh membuat Angelina terangsang.
“Bukan, saya tetangganya. Tapi gapapa dok, biar saya yang bayar.”
“Baik kalau begitu, suster tolong sebentar ke sini…” kata Dokter Angelina.
“I ya Bu?” Seorang suster berseragam putih-putih datang mendekat.
“Tolong disiapkan ya, kita akan mengadakan bedah kecil dengan rawat inap 3 hari paska bedah untuk perawatan pasien.”
“Baik, Bu.”
“Silakan Pak ikuti suster itu untuk menyelesaikan administrasinya.”

Gagan mengikuti sang Suster yang memerintahkan kepada rekan kerjanya untuk mempersiapkan ruang bedah serta berbagai obat-obatan yang diperlukan. Suster itu kemudian mengeluarkan sejumlah formulir dan menuliskan sesuatu di mejanya.
“Ini surat-surat yang harus ditandatangani oleh keluarganya dan ini biayanya, enam juta tujuh ratus dua puluh lima ribu rupiah.”

Ceu Lilis yang juga mengikuti ke ruangan mana langkah Gagan dan Suster itu menuju, terperanjat. Uang sejumlah itu bagi Ceu Lilis sangatlah besar.
“Udah ceu enggak usah cemas, tanda tangan saja surat-surat itu.” Kata Gagan sambil merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sejumlah uang yang diminta. Suster pun tersenyum menerimanya.

Setelah urusan administrasi selesai, Gagan merasa ingin kencing dan melangkah ke arah toilet. Namun dia malah bertabrakan dengan Dokter Angelina yang justru baru ke luar dari toilet.

Dar!

Angelina terkejut setengah mati saat tangannya tanpa sengaja meraba kemaluan pemuda itu dari luar celana pendeknya yang tipis dan gombor.
“Aih, gede amat!” kata Angelina dalam hatinya.
“Aduh, dok, maaf, saya kebelet mau pipis.” Kata Gagan sambil terus melangkah menuju toilet.
“Oh gapapa.” Kata Dokter Angelina dengan senyum yang dibuat semanis mungkin, “padahal pipis pejuh di memek aku juga boleh koq.” Kata dokter itu dalam hatinya. Dia tidak menyangka, di kampung pinggiran ini, ada juga cowok ganteng yang bikin jatungnya dag dig dug.

Selesai dengan urusan toilet, Gagan menemukan Ceu Lilis dan Erin tengah duduk di teras puskesmas. Mereka ingin secepatnya pulang.
“Saya ada sedikit urusan ke Bandung, kalau kalian mau pulang, biar naik ojeg aja.” Kata Gagan sambil mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya kepada Ceu Lilis. “Ini buat ongkos ojeg.” Tambah Gagan.
“Tapi Om, Erin pengen ikut jalan-jalan lihat-lihat pemandangan kota.” Kata Erin sambil menunduk.
“Kamu ini apa sih?” bentak Ceu Lilis kepada Erin, “sudah tahu kang Gagan sudah ada yang punya, nanti Bu Nengsih dan Nabila marah, ngerti!” kata Ceu Lilis dengan kesal. Dalam hatinya dia juga ingin sekedar berduaan dengan Gagan dan menggoda pemuda itu kalau bisa. Bagaimana pun, Ceu Lilis tak mungkin melupakan bagaimana memek Bu Camat diganyang sampai terbeliak-beliak oleh kontol pemuda itu. Dia juga menginginkannya tapi itu hanyalah sebatas impian dan fantasi.
“Gapapa Ceu kalau Erin pengen ikut jalan-jalan saya enggak keberatan.”
“Tapi kan nanti Nabila marah kalau tahu.” Kata Ceu Lilis lagi.
“Tapi kalau enggak tahu kan enggak ada yang marah, lagian kalau Erin ikut, mungkin dia bisa bantu-bantu.”
“Bantu-bantu apa Om? Emang Om ada urusan apa?” tanya Erin sambil menoleh dan menatap Gagan yang memiliki senyum simpatik.
“Urusannya masih terkait dengan pekerjaan saya di Jakarta. Kalau dijelaskan terlalu panjang dan berbelit-belit. Yang jelas, saya tidak keberatan jika Erin ikut, ceuceu juga kalau mau ikut boleh.”
“Di rumah banyak kerjaan kang.” Jawab Ceu Lilis, dia melirik ke arah Erin yang menatap dengan penuh harap. Dalam hatinya, Ceu Lilis mengkhayalkan betapa bahagianya jika Erin yang jadi pilihan Gagan, “aku bisa minta jatah secelup dua celup… aahhh, tak mungkin.” Kata Ceu Lilis dalam hatinya.
“Ya udah, mamah ijinin kamu ikut, tapi awas, jangan bikin repot Om Gagan.” Kata Ceu Lilis. “Tapi gimana kalau ada yang nanya ke mana Erin? Masa harus dibilangin ikut Kang Gagan, bisa rame Bu Nengsih sama Nabila.” Kata Ceu Lilis dengan nada khawatir.
“Ah, itu kan gampang. Bilang saja lagi nungguin bapaknya yang akan dioperasi di puskesmas.” Kata Gagan dengan nada ringan.

Ceu Lilis dan Erin tersenyum. Itu alasan yang sangat tepat.

Setelah memanggil tukang ojeg yang mangkal di depan puskesmas dan memandang punggung Ceu Lilis yang bergerak di atas jok motor lalu menghilang di tikungan jalan desa, Gagan dan Erin masuk ke dalam mobil. Sungguh betapa berbunga-bunganya hati Erin saat duduk di samping pemuda idamannya. Jantungnya berdebar dan memeknya yang masih perawan berdenyut-denyut. Saat melaju meninggalkan jalan desa dan memasuki jalan kabupaten yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, Gagan berkata, “kamu masih ingat permintaan akang tadi pagi?”
“Inget Om.”
“Apa?”
“Om minta dipanggil akang.”
“Lalu kenapa kamu masih memanggil akang dengan panggilan Om?”

Erin terdiam. Gagan merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah HP beserta chargernya.
“Ini buat kamu, dengan catatan kamu jangan panggil Om sama akang ya?”
“Tapi kalau Bila tahu nanti dia marah. Mamah juga bilang jangan panggil Om dengan panggilan akang, katanya, akang buat apa-apanya Erin. Nanti disangkanya Erin menyukai akang.”
“Padahal bener kan?” kata Gagan sambil tersenyum.
“Bener apanya?”
“Kamu suka sama akang. Akang juga suka sama kamu koq, kamu imut dan manis.”

Disebut imut dan manis, hidung Erin seperti berubah menjadi balon udara. Rasanya pengen terbang ke angkasa.
“Tapi kan akang sudah jadi tunangan Nabila, semua orang kampung sudah tahu.”
“Walau belum secara resmi, I ya, memang. Tapi itu bukan berarti ada larangan akang menyukai kamu kan?”

Erin terdiam. Dia hanya bisa terdiam. Kedua puting susunya mengencang. Memeknya basah. Tapi airmatanya mendadak jatuh menetes di pipi.
“Kenapa kamu nangis?” tanya Gagan.
“Entahlah.” Kata Erin, “tiba-tiba saja saya merasa sedih.”

Gagan merasa terenyuh. Dia menurunkan kecepatan mobil dan mencolek tangkai lampu sein ke arah kiri. Lalu berhenti di pinggir jalan. Gagan memiringkan tubuhnya ke arah Erin dan menghapus air mata yang meleleh di pipi abg yang imut dengan jempolnya sambil merengkuh pipinya yang halus.
“Jangan nangis Erin sayang.” Kata Gagan dengan suara lembut. Dia kemudian mengecup kening Erin serta sepasang kelopak matanya yang basah dengan air mata. Airmata itu terasa asin di bibir Gagan.
“Kita mampir ke kafe dulu ya, kamu belum makan siang kan?”

Erin hanya menunduk dan diam. Dia tahu, dia merasa bahagia diperlakukan seperti itu oleh Gagan. Tapi dia juga merasa pedih. Soalnya, dia tak mungkin memiliki cinta Gagan. Mustahil. Dia hanya gadis kampung yang miskin dan cuma lulusan SMP. Sedangkan Gagan adalah pemuda kaya dan berpendidikan.

Bagi Erin, Cintanya kepada Kang Gagan seperti ilusi terindah yang hanya ada di dalam mimpi.

(bersambung)
 
Mantaaapppp
Doble update Kang @Kardiman_Lee
Parawan pamuka... Erin
Berikutnya... Angelina Tan. Da sigana mah masih perawan juga uhhuyyy hehehe
Sbg selingan bolehlan memek baseuh Ceu Lilis si Binor hitam manis. Eh... Ibu dan anak donk di sikat nih wahhhh.... hehehe...
Mantap Hu
Sok lah
Triple update ge teu nanaon Hu hahahaa...
Monggo dilanjut
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd