Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CINTA RUMIT ANTARA STW, BINOR, MAMAH MUDA, JANDA DAN ABG by SUMANDONO

Status
Please reply by conversation.
DUA BELAS
Sedikit Kerjaan di Hari Sabtu





Kafe itu terletak di tengah kota, sekitar 1 kilometer dari alun-alun Bandung. Saat turun dari mobil, lutut Erin gemetar karena memeknya yang basah dan rasa malunya karena mengenakan pakaian ala kadarnya. Saat memasuki pintu kafe yang gemerlap dan estetik, Erin benar-benar merasa seperti gadis kampung yang kampungan. Dia membandingkan dirinya dengan sejumlah pelanggan kafe perempuan yang masuk dan ke luar. Mereka cantik-cantik dan berpakaian modis. Tanpa sadar Erin memegangi lengan Gagan untuk menemukan kepercayaan dirinya.

Erin dengan cepat belajar menggunakan pisau dan garpu untuk menyantap beefstick yang sangat lezat, dan mahal tentunya. Pelahan kesedihan di hati Erin hilang berganti dengan rasa riang dan bahagia. Apalagi ketika Gagan menuntunnya ke sebuah distro khusus pakaian wanita, yang letak hanya 15 meter dari kafe, dan membimbing Erin untuk memilih baju yang tepat untuk berbagai situasi, event dan kesempatan. Gagan juga membelikan sebuah sepatu selop yang sangat nyaman untuk menggantikan sandal jepitnya yang butut dan hampir putus.

Saat ke luar dari ruang ganti, Erin merasa sangat bahagia ketika Gagan menatapnya tanpa kedip.
“Tuh kan, kamu jadi cantik.” Kata Gagan dengan senyum yang lebar. Pipi Erin menjadi merah seperti tomat karena pujian yang tulus itu.

Saat berada di dalam mobil, Erin memeluk Gagan dan mengucapkan terimakasih. Gagan mencium bibir Erin sebentar dan membiarkan abg perawan itu meresapi kenikmatan ciumannya. Mereka kemudian melaju ke sebuah bangunan kantor 3 lantai yang tampaknya sangat sibuk walau pun hari itu adalah hari Sabtu, yang merupakan hari libur untuk umumnya perusahaan kantoran.

Turun dari mobil, Erin menjajari langkah Gagan dengan kepercayaan diri yang lebih baik. Langkahnya mantap menjejak bumi walau memeknya meneteskan lendir kenikmatan akibat dicium tadi oleh Gagan. Mereka disambut oleh satpam yang bersikap sangat hormat dan mengantarnya ke lantai 3 menggunakan lift. Satpam itu berjalan mendahului mereka menuju sebuah meja lobby kecil di mana seorang gadis cantik yang mengenakan baju kasual warna pink tengah duduk menghadapi layar monitor. Setelah berbicara sebentar dengan Satpam, si gadis cantik itu berdiri dan melangkah mendekati Gagan.
“Pak Gandi? Saya Vina, sekretarisnya Pak Hendrik. Mohon maaf, bapak masih ada meeting. Mungkin sebentar lagi selesai. Silakan duduk. Mau minum apa?”
“Tidak usah, terimakasih.” Kata Gagan.
“Kalau ibu?” kata gadis cantik itu dengan sangat sopan kepada Erin.
“Tidak usah, terimakasih.” Jawab Erin mengikuti persis apa yang diucapkan Gagan. Namun dalam hatinya, dia merasa geli sekaligus juga bangga dipanggil “ibu” oleh gadis cantik kantoran itu.
“Baik, permisi sebentar.” Kata si gadis cantik sekertaris itu sambil berbalik ke arah pintu coklat yang tertutup rapat. Sementara itu, sang Satpam sudah lagi menghilang entah ke mana.

Saat Gagan akan melangkah menuju sofa ruang tunggu, mendadak pintu coklat itu terbuka. Seorang lelaki berkepala botak kelimis dan berkacamata tebal muncul dengan senyum lebar. Dia mengembangkan tangannya dengan gembira.
“Pak Gandi, apa kabar?” katanya. Dia kemudian merangkul Gagan dengan hangat dan penuh persahabatan. Mereka berpelukan dan saling menepuk punggung.
“Mari, mari…” kata lelaki botak itu sambil melambaikan tangan ke arah pintu. “Ibu juga, silakan.” Katanya lagi kepada Erin yang sedikit terpana dan geli dengan cara mereka berangkulan.

Erin memasuki sebuah ruangan besar dengan meja rapat lonjong yang besar. Di kiri kanan meja itu ada beberapa orang lelaki dan perempuan mengenakan pakaian kemeja resmi. Wajah-wajah itu demikian kaku dan serius. Saat Erin melangkah di belakang Gagan, orang-orang itu berdiri. Dua orang di antaranya menyorongkan kursi kepada mereka. Erin duduk di pinggir Gagan. Ada semacam perasaan bangga menggeluguhi hati Erin saat itu. Seumur hidupnya dia dihina dan dilecehkan oleh ayah dan saudara-saudara ayahnya, mendapat cibiran dari tetangganya dan tak pernah mendapatkan dukungan untuk mengecap pendidikan yang lebih tinggi, kini dia mendapatkan perlakuan hormat semata-mata karena berada di sisi Gagan.

“Pak Hendrik, saya langsung saja ke bisnis ya. Soalnya waktu saya tidak banyak, sore ini juga saya di tunggu di Grand Hotel Lembang untuk memberikan paparan mengenai seluk beluk peraturan ekspor import.”
“Baik, silakan Pak.”
“Jadi begini, kami dari PT. Jasa Utama Exim Indonesia, sungguh sangat menyayangkan adanya perbedaan kesepahaman antara importir kopi dari Belanda yang kelihatannya seolah-olah menahan ekspor kopi kita ke Norwegia dan ke sejumlah negara skandinavia utara. Apa yang mereka inginkan adalah bahwa kopi kita diekspor ke Belanda dan dari sana, mereka akan menyebarkannya ke benua eropa. Ini sebenarnya tidak begitu merugikan. Tapi secara brand dan citra kopi, Indonesia kehilangan yang sangat berharga ini. Untuk itu, kami didukung oleh kementrian perdagangan, mencoba mencari jalan ke luar agar produksi kopi Pak Hendrik yang memiliki cita rasa khas unik dan sangat digemari di Norwegia, bisa masuk ke negara itu dengan membawa brand dan nama Indonesia. Selain itu, dari harga pun bisa lebih murah sekitar 5 dolar. Ini artinya akan meringankan harga kopi di konsumen pengguna langsung.”

Erin mendengarkan kata-kata Gagan dengan seksama, walau dia tidak mengerti sama sekali apa maksudnya.

“Untuk mencapai tujuan itu, selain sejumlah dokumen yang telah bapak kirim minggu kemarin, ada beberapa dokumen lain yang harus diisi sebagai kelengkapan tambahan. Di antaranya adalah sertifikasi uji mutu kopi yang dilakukan oleh departemen perdagangan dan Balai Peneltian kopi Huissenmayer di Jerman. Contoh sample kopi sudah saya kirim dua minggu yang lalu, diperkirakan besok senin sudah selesai dan dokumennya akan dikirim ke sini langsung dari Jerman atas tanggungan biaya perusahaan kami. Apabila semua dokumen sudah selesai, maka kopi yang akan bapak ekspor sebanyak 60 ton selama satu tahun, sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan yang pernah kita bicarakan sebulan yang lalu, siap diberangkatkan dari Terminal Peti Kemas Gedebage ke pelabuhan Tanjung Priuk. Biasanya, beberapa perusahan jasa eksim akan mengirim barang melalui pelabuhan Roterdam atau Antwerp, tapi kami bersama rekan kami di Jerman telah sepakat untuk dikirim ke pelabuhan Hamburg. Dari situlah kopi-kopi itu akan disebarkan ke sejumlah negara tujuan.”
“Oh, ini sungguh suatu kabar yang melegakan.” Kata Pak Hendrik sambil memperbaiki kacamatanya. “Dan bagaimana soal fee serta biaya-biaya lainnya?”
“Bapak jangan khawatir, kami hanya meminta 6 persen dari total jumlah ekspor.” Kata Gagan dengan nada datar.
“Apa tidak bisa 4 persen saja, Pak Gandi.” Kata Pak Hendrik dengan mulut datar terkatup.
“Tentu bisa, Pak. Asal bapak melakukannya sendiri tanpa bantuan kami. Saya jauh-jauh datang ke sini dari Jakarta bukan ingin nego soal harga, Pak. Urusan ekspor kopi kadang sangat njelimet karena kita punya saingan kuat dari Vietnam dan Brazil. Jangan sampai para pejuang ekspor terjegal oleh aturan dan mekanisme yang tidak mereka pahami. Ini sangat disayangkan. Perusahaan kami sebetulnya tidak begitu suka dengan mekanisme yang akan kita tempuh ini karena memang agak njelimet. Tapi saya dengan senang hati menguruskannya semata-mata karena kopi dari kampung saya, Desa Karasak, menjadi bagian dari jenis kopi yang bapak ekspor. Inilah sebetulnya tujuan saya, Pak. Tapi kalau bapak keberatan dengan persentase harga jasa yang kami ajukan, silahkan bapak mencari perusahaan lain. Dan kerjasama kita tentu saja akan berakhir sampai di sini.”

Pak Hendrik terbatuk sebentar.
“Oh tentu saja saya tidak keberatan.” Kata Hendrik sambil menyeringai, “saya cuma orang Indonesia yang punya kebiasaan menawar.”
“Oke, baiklah. Jadi kita deal atau tidak?”
“Deal!” kata Hendrik dengan suara tegas. Dia kemudian berdiri dan mengangsurkan tangannya untuk berjabat tangan. Gagan pun berdiri menyambut jabat tangan erat itu. Erin juga ikut melakukan jabatan tangan. Bagi Erin hal itu rasanya sangat aneh. Selama hidupnya di kampung itu, dia tidak pernah berjabatan tangan dengan siapa pun.

Merasa urusan sudah selesai, Gagan mengucapkan kata-kata permisi untuk pamitan. Dia menjelaskan bahwa hari itu ada beberapa hal lain yang harus dikerjakan, jadi dia tidak bisa berlama-lama untuk sekedar ngobrol atau ngopi. Gagan hanya mewanti-wanti agar hari Senin lusa, perwakilan dari perusahaan eksportir kopi ini secepatnya menyelesaikan semua persyaratan dokumen yang diperlukan.

Tepat pukul 13 lebih 10 menit, Gagan dan Erin meninggalkan gedung 3 lantai itu. Mereka meluncur ke sebuah toko kue di kawasan Tubagus Ismail yang dikenal oleh kalangan kelas atas sebagai toko yang menjual kue khas Bandung orisinil. Membeli beberapa pak dan mengirimkannya ke Jakarta melalui jasa delivery online express, sehingga diperkirakan akan tiba di tempat tujuan sekitar pukul delapan atau pukul sembilan malam hari itu juga.
“Kang, kue-kue itu pesenan kantor juga buat diekspor?” tanya Erin polos. Gagan tertawa kecil.
“Bukan Erin, itu pesenan Bu Direktur di mana akang kerja. Suami Bu Direktur sangat menyukai kue-kue itu.”
“Sudah dari sini kita ke Lembang kang?”
“Belum, sudah dari sini kita akan ke distro khusus kain jeans.”
“Jadi kerjaan akang cuma beli-beli ya? Koq gampang banget.”

Gagan tertawa lagi. Dia mencubit pipi Erin yang bagai buah tomat segar dengan gemas.
“Yuk kita berangkat lagi.”

Erin tidak menjawab, dia hanya menggamit lengan Gagan dan memeluknya ke dadanya yang kencang dan bulat. Kontol Gagan berdesir saat merasakan kehangatan dan kelembutan buah dada abg itu.
“Ah, kenapa aku ingin mengentotnya?” pikir Gagan dalam hati. Dia melepaskan gamitan tangan Erin dan membuka pintu mobil, lalu duduk di belakang stir. Erin sendiri berjalan mengitari hidung mobil dan akan masuk melalui pintu sebelah. Namun, persis di depan hidung mobil, entah kenapa sepatu selop yang baru dibeli itu lepas dari kakinya. Erin membungkuk di depan hidung mobil dan menghilang dari tatapan Gagan. Pada saat itu, mendadak saja Gagan merasakan sebuah bayangan putih di belakangnya. Dia menoleh, ternyata Eyang Olot sedang tersenyum.

Eyang Olot memang selalu datang dan pergi sesukanya. Terkadang membikin Gagan sedikit kaget juga.
“Aku tidak bermaksud mengejutkanmu cucuku.” Katanya dengan gaya khasnya yang tenang dan bijak.
“Ah, eyang.” Kata Gagan, merasa lega. “Ada apa eyang? Ada sesuatu yang eyang inginkan?”
“Begini, malam ini, menurut perhitungan kalender Jawa yang eyang pahami, adalah tanggal 15. Kamu tahu apa itu artinya?”
“Apa eyang?”
“Malam ini berarti bulan purnama penuh akan muncul di langit malam. Carilah tujuh rupa bunga dan mandikanlah gadis yang masih perawan itu dengannya. Setelah itu, bawa dia ke puncak Pasir Gantung, di sebelah timur Bukit Tunggul, baringkan dia di atas rumput persis pada jam 12 malam. Ambillah keperawanannya. Lakukan ritual ini dengan kerelaan hati si gadis. Kamu sanggup?”
“Mencari bunga tujuh rupa sangatlah mudah jika boleh mendapatkannya di tukang bunga. Itu pasti bisa cucu lakukan. Tapi Pasir Gantung? Cucu kurang tahu tempatnya Eyang. Dari lembang cucu bisa menyusuri jalan desa Cibodas, lalu ke Bukit Tunggul. Tapi dari situ kan arahnya hanya menuju ke Palintang eyang?”
“Nanti pas di perbatasan desa Palintang, setelah ke luar dari kawasaan Bukit Tunggul, eyang akan menunggu di situ. Kamu tenang saja, Eyang akan menuntunmu. Soal bunga, kamu membeli atau mencari di pinggir jalan, tidak jadi masalah. Yang penting 7 rupa bunga yang berbeda.”
“Baik eyang.”
“Gadis itu sendiri bagaimana? Eh, I ya, siapa namanya?” Tanya Eyang.
“Namanya Erin eyang. Cucu yakin dia mau.”
“Kalau Erin mau melakukan ritual denganmu dengan kerelaan, jalan hidupnya mungkin akan berubah. Dia tidak akan menjadi istrimu. Tapi mungkin dia akan menjadi pembantumu yang setia.”
“Oh I ya eyang, cucu berencana akan bertunangan dengan seorang gadis bernama Nabila, apakah dia cocok menjadi calon istri cucu?” tanya Gagan.

Eyang Olot hanya tersenyum.

“Kita lihat saja nanti.” Kata Eyang Olot sambil beringsut ke belakang. Lalu mendadak saja pintu belakang mobil terbuka dan Eyang Olot dengan gerakan ringan meninggalkan mobil. Setelah Eyang Olot pergi, Erin muncul di jendela.
“Maafin agak lama tadi selopnya lepas.” Kata Erin.
“Gapapa, eh, tolong kunciin pintu belakang.” Kata Gagan.

Erin kemudian masuk ke dalam mobil melalui pintu samping dan menunggingi Gagan untuk menjangkau slot kunci pintu belakang yang membuka. Gagan menatap pantat Erin yang bulat dan bahenol. Gagan tersenyum senang saat melihat kain celana kulot di area memek Erin terlihat basah.

Membayangkan bisa meremas pantat Erin, kontol Gagan berdenyut.
“Ah, semoga aku bisa merasakan memek perawan malam ini.” Kata Gagan dalam hatinya.

(Bersambung)





 
Terakhir diubah:
TIGA BELAS
Ritual Perawan di bawah cahaya Purnama





Gagan melajukan mobilnya dengan pelahan. Sepanjang jalan di dalam kawasan salah satu perumahan elit kota Bandung itu, suasananya sejuk dan tenang. Jalannya lebar walau berkelak-kelok dan kendaraan yang lalu lalang tidak begitu banyak. Saat memasuki jalanan yang sepi karena merupakan kawasan hijau, Gagan menepikan sebentar kendaraannya. Dia menyusupkan tangan kirinya ke punggung Erin, meremas lembut payudaya montoknya dari pinggir dan mengecup bibir abg itu.

Seperti dugaannya, Erin membalas kecupannya dengan gairah yang menyala. Saat Gagan menempelkan jari tengahnya ke selangkangan Erin, abg itu mengerang nikmat. Pipinya yang coklat itu menjadi kemerahan karena Gagan menggesek kelentitnya dengan jarinya dari luar celananya.

Erin belum punya pengalaman apa-apa dalam bercinta. Dia tidak pernah punya pacar. Walau banyak pemuda kampung yang menyukainya, tapi Erin tidak pernah menggubris mereka. Walau Erin pendidikannya cuma sampai SMP tapi bukan berarti cita-citanya serendah pendidikannya. Andai dia punya biaya, dia pasti akan melanjutkan ke SMA.

Setelah merasa cukup menggoda Erin, Gagan melajukan kendaraannya kembali. Gadis itu menggigit bibir karena menginginkan lebih. Cara duduknya menjadi agak gelisah.

Tiba di tempat yang dituju, di sebuah bangunan besar yang asri dan memiliki halaman depan dengan pavling blok yang sangat luas, Gagan menghentikan kendaraannya dan memarkirkannya tidak jauh dari pintu dobel yang terbuka lebar. Gagan turun lebih dahulu dan menunggu Erin yang turunnya sangat lelet. Setelah ke luar dari mobil, Erin berjalan dengan langkah seperti ada paku di atas sandalnya.
“Kamu kenapa?” tanya Gagan. Erin tidak menjawab. Dia hanya memeluk lengan Gagan dan menyeret langkahnya menahan laju langkah Gagan yang lebar. “Kamu sakit?” tanya Gagan lagi.

Erin, sekali lagi tidak menjawab. Dia menggigit bibir sambil tersenyum dengan sepasang matanya bercahaya memancarkan kegembiraan dan malu khas seorang abg perempuan.
“Kang Gagan tidak perlu tahu kalau memekku berdenyut-denyut.” Kata Erin dalam hatinya. “Mulai detik ini aku akan mencintai kang Gagan apa adanya. Aku akan memberi apa saja yang dia minta, asalkan aku diberi kesempatan bisa berduaan dengannya tanpa ada gangguan siapa pun termasuk Nabila.”

Ketika memasuki pintu dobel itu, kontol Gagan ngaceng karena pelukan Erin dan karena tingkahnya sendiri tadi menggoda Erin. Dia menyuruh Erin duduk di ruang tunggu sementara dia sendiri disambut sahabatnya ketika kuliah, Aswin.
“Bro, lu udah ditungguin nyokap di atas.” Kata Aswin dengan wajah gembira.
“Kan aku udah bilang datengnya agak siangan.” Kata Gagan sambil menerima uluran tangan Aswin untuk berjabat tangan. “Gimana kabar kamu, Win?”
“Baik. Bulan depan kayaknya aku akan nikah, tapi tanggalnya masih akan ditentukan oleh keluarga Eva.”
“Maksud kamu Eva Rena Sundari? Anak akutansi yang terkenal dingin? Kamu serius?”

Aswin tertawa.
“Serius. Elu orang pertama yang akan gua undang ke pernikahan gua. Eh, cewek itu siapa? Gebetan elu?”
“Dia tetangga aku, ikut bantu-bantu ngurusin kerjaan.”
“Dia kelihatan manis dan culun.” Kata Aswin, “ke atas cepet noh, bokap juga ada koq.”
“Win, kalau aku agak lama-an, kamu tolong bantuin dia nyariin baju atau celana.”
“Beres dah.”

Persis ketika Gagan meninggalkan Aswin dan akan melangkah menuju tangga, Tante Irma sudah berdiri di atas undakan tangga dan berkata dengan suara lantang, “ini dia yang ditunggu udah datang.”
“Selamat siang tante.”
“Siang, Gan. Eh, cewek imut itu pacar kamu?” tanya Tante Irma yang merupakan ibu dari Aswin. Dia melangkah mendekati Gagan dengan gemulai.
“Tetangga, tante.”
“Win, suruh dia memilih baju kesukaannya. Tante pikir anak itu bukan sekedar tetangganya Gagan, pasti ada kaitan saudara. Semua yang dia suka kasih aja.”
“I ya Mih.” Jawab Aswin.

Gagan menatap Tante Irma dengan tatapan penuh arti. Tante Irma adalah pengusaha konveksi yang terbilang cukup sukses. Dia membuat desain bajunya sendiri dengan jumlah terbatas dengan sasaran pembeli kelas menengah ke atas. Ketika kuliah, Aswin beberapa kali mengajaknya main ke rumah besar ini.
“Terimakasih tante.”
“Anggap aja itu bonus buat kamu ngurusin ekspor produk tante. Ayo sini.”

Gagan mengikuti langkah tante Irma yang memasuki sebuah ruangan yang sangat besar dan luas, di dalamnya ada sekitar 20 orang sedang sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada yang sedang memotong, menjahit atau mengukur kain. Setelah melewati ruangan besar itu, mereka memasuki sebuah ruangan kecil di mana seorang lelaki setengah baya sedang meneliti sebuah produk celana jeans yang sudah jadi.
“Eh, Gagan!” kata lelaki itu dengan gembira, “apa kabar?”
“Baik, Om.”
“Mih, papih masih sibuk meneliti beberapa produk kita ini, kayaknya ada sedikit kejanggalan. Bisa tunggu dulu sebentar?” kata lelaki itu kepada istrinya sementara matanya masih tertuju kepada jahitan yang tidak mencocoki seleranya.
“Lama enggak, Pih? Soalnya kita harus secepatnya menyelesaikan dokumen ekspor kita.”
“Sebentar, paling juga lima belas menit. Tunggu aja di ruang atas, semua dokumennya ada di sana.”
“Awas kalau lama.” Kata Tante Irma dengan wajah cerah. Dia sepertinya tidak keberatan walau harus menunggu satu jam juga.

Tante Irma adalah seorang wanita berusia sekitar 50 tahun. Dia adalah pemilik sekaligus pendiri konveksi distro khusus jeans ini yang sudah ditekuninya jauh sebelum dia menikah. Suaminya, Kartiko, adalah desainer tidak terkenal yang sekali waktu pernah masuk acara gossip. Pada acara gossip itu Kartiko habis-habisan diledek oleh seorang desainer terkenal yang sering muncul di TV, bahwa hasil desain Kartiko tidak berseni dan kampungan. Tak ada perlawanan dari Kartiko menanggapi ledekan itu. Dia malah semakin fokus membantu istrinya mengembangkan distro.
“Sebelah sini.” Kata tante Irma dengan langkah riang. Dia membawa Gagan ke sebuah tangga kecil yang curam. Tante Irma naik duluan. Gagan tengadah. Jelas sekali bahwa tante Irma yang mengenakan rok lebar itu tidak memakai celana dalam.

Tiba di lantai atas, mereka melewati sebuah koridor kecil yang dipenuhi pot-pot bunga gantung dan dengan dinding terbuka yang memperlihatkan langit Bandung yang biru tanpa awan. Melihat Tante Irma tidak mengenakan celana dalam, Gagan tersenyum.
“Asyik, ngentot lagi dah.” Katanya sambil dengan cepat mendekati Tante Irma yang sedang membuka pintu.
“Cepet.” Kata Tante Irma setengah berbisik. Begitu masuk kamar, tante Irma mengelus kontol Gagan dari luar celana pendeknya. Dia mengikik. “Kontol kamu udah ngaceng lagi.”
“Habis tante menggoda sih.” Gagan berkata sambil memeluk Tante Irma, jemari tangannya langsung masuk ke dalam rok dan mengobel memek STW itu.
“Enggak usah lama-lama, langsung aja masukin.” Kata Tante Irma. Dia melepaskan diri dari pelukan gagan, lalu berbalik untuk bersandar pada dinding dan mengangkat roknya. Gagan dengan cepat menurunkan celana pendeknya hingga setengah paha. Kontolnya yang gaceng itu sudah lagi menuding-nuding. Gagan langsung menancapkannya ke liang memek Tante Irma.
“Aaagkhhhh… udah lama banget sejak terakhir kamu mengentot tante… Gagan… akhhh…” Kata Tante Irma dengan sedikit mendesah.

Sambil berdiri Gagan menusuk-nusuk memek Tante Mira dengan kecepatan stabil. Tadi pagi dia baru saja merasakan nikmatnya memek Bu Camat sekarang dia sedang menikmati memek ibu temannya yang emoy dan longgar.
“Memek tante enak.” Kata Gagan sambil mempercepat genjotannya.
“Akhggghh… shhhh… Gagan… kontol kamu gede dan panjang…. Tante suka diewe sama kamu… akhhh… ewe terus… terussssshhh…. Ssssshhhh… aghhhh….ougkh! Tante ke luar Gagan… akhhh…. Ssshhh… keluar lagiiiihhh… sudah dulu… lepasin… tante pengen diewe di kursi…”

Gagan melepaskan kontolnya yang basah dengan lendir kenikmatan tante Irma. Dia menatap tante Irma dengan senyum dikulum saat STW itu duduk di kursi sopa dan mengangkat kakinya ke atas serta melebarkan ke dua kakinya. Dari liang memek tante Irma yang mulai keriput dan berbulu jarang, Gagan melihat setetes cairan kenikmatan meleleh.
“Masukin lagi.” Pinta Tante Irma.

Gagan tidak menunggu diperintah dua kali, langsung menancapkan kontolnya dan menggenjotnya tanpa henti dengan kecepatan tinggi dan stabil. Akhirnya, setelah 12 menit peristiwa ewean itu berlangsung, Tante Irma menjerit kecil dan menyemprotkan lendir dari G-Spotnya. Bersamaan dengan itu, Gagan pun minta izin untuk ngecrot di dalam memek tante Irma.
“Heup!” Gagan menarik nafas, lalu dia mencecabkan seluruh batang kontolnya hingga padat seluruhnya memenuhi liang memek tante Irma.

Srrrr…..Crot. Srrrr…..Crot. Srrrr…..Crot. Srrrr…..Crot.
“Arrgkhhhh… segerrrrr.” Kata Gagan sambil menyeringai senang. Dia menahan sebentar sampai pejuhnya seluruhnya ke luar hingga tetes penghabisan.

Tante Irma tersenyum manis.
“Makasih ya Gan udah ngewe tante sampai ke luar banyak kayak gini.” Kata Tante Irma sambil melihat bagaimana kontol Gagan perlahan-lahan ditarik dari liang memeknya.
“Sama-sama tante, memek tante enak dan legit.”
“Bukan memek peot ini yang bikin enak, tapi kontol kamu yang gede dan panjang ini yang bikin memek tante terasa legit.”

Gagan menaikkan celananya dan tante Irma memperbaiki posisi duduknya dengan “normal”. 60 detik kemudian Kartiko muncul dan mereka pun membahas soal dokumen ekspor dengan serius. Setelah urusan bisnis selesai, Gagan pun turun dan menemukan Erin sudah bersiap dengan membawa setumpuk baju dan celana yang cukup banyak, produk dari distro itu yang sudah dipilihkan Aswin.
“Saya permisi Om, tante, Win.” Kata Gagan sambil melangkah ke luar lalu memasuki mobil.
“Sering-sering ke sini ya.” Kata Kartiko sambil melambaikan tangan.
“I ya Om.” Jawab Gagan dengan senyum tulus yang lega. Dalam hatinya Gagan juga berkata, “makasih juga Om atas memek Tante Irma yang masih lumayan enak. Entar kalau ada waktu, aku genjot lagi deh memek peot yang bebas crot di dalem tanpa rasa khawatir bikin anak.”

Gagan lalu menyalakan mesin dan melajukan mobilnya ke arah Cihideung, yang merupakan salah satu sentra petani bunga dan kawasan agrowisata. Sepanjang perjalanan Erin ternyata tertidur bahka ketika sampai di salah satu perkebunan bunga, Erin masih tertidur. Gagan kemudian membeli tujuh jenis bunga dengan jumlah sangat banyak. Dari Cihideung, Gagan melajukan kendaraan ke Grand Hotel Lembang yang jaraknya sekitar 3 atau 4 kilometer lagi.

Tiba di hotel, Gagan menghubungi panitia acara sosialisasi peraturan ekspor yang diselenggarakan oleh Kanwil Deperindag Jawa Barat. Panitia memberikan kunci kamar hotel dan memberitahu Gagan bahwa dia akan memberikan ceramah mengenai masalah ekspor ke negara-negara Eropa, bagaimana cara mengatasinya serta berbagai tips untuk para eksportir Jawa Barat, kurang lebih satu jam lagi.

“Acara bapak yang pertama berlangsung satu jam, dari jam 4 sampai jam 5 sore. Setelah itu acara bapak dilanjutkan pada pukul 7 hingga pukul 8.” Kata Ketua Panitia yang berpakaian batik dengan kumis tebal itu, “mohon bapak mengenakan pakaian batik.”
“Baik.” Jawab Gagan sambil mengambil kunci kamar, kembali ke mobil dan melajukan mobil ke tempat parkir tak jauh dari kamar hotelnya. Saat itu Erin sudah terbangun.
“Ini di mana, kang?” tanya Erin, sedikit bingung.
“Di hotel.”
“Hotel?”

Gagan mengangguk. Dia mengambil baju batik dan celana pantalon yang disampirkan di atas sandaran kursi.
“Kita mau apa kang ke sini?”
“Kamu tadi beli baju yang bermotif batik kan?”
“I ya kang, buat kondangan kalau ada yang ngundang.”
“Kamu pake ya, akang mau ceramah di depan para pejabat dan pengusaha. Bungkusan bunga itu tolong bawain.”
“I ya kang.”
“Yuk masuk ke kamar dulu.”

Gagan melangkah menuju kamar sesuai dengan nomor yang tertera di kunci, Erin mengikuti dengan kepala sedikit pusing dan mata masih mengantuk. Selama perjalanan dari distro ke hotel lembang ini, dia tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Mimpinya sangat aneh. Dia berbaring di tengah-tengah puncak bukit yang rata, yang luasnya takkan melebihi luas lapangan volley.

Erin berbaring di atas rumput yang ditaburi ratusan kuntum bunga aneka warna dan jenis, dalam keadaan telanjang bulat. Seorang lelaki tua berpakaian putih mendatanginya dan mengatakan kepada Erin tentang sebuah ritual yang harus dijalaninya.

“Kamu harus bersenggama dengan seorang lelaki secara suka rela di bawah cahaya purnama. Apabila ritual ini berhasil, kamu akan berubah menjadi orang kaya. Mungkin menjadi orang terkaya di desa Karasak. Apabila dari hasil persenggamaan itu kamu hamil, maka bila anak yang dikandungmu itu laki-laki, dia akan mati dalam usia kandungan kurang dari 3 bulan. Tapi bila perempuan, dia akan lahir dengan sehat dan selamat. Berilah anak kamu itu nama, Roro Wulan. Tapi sebelum melakukan persenggamaan, kamu harus mandi kembang lebih dahulu.”
“Tapi siapa lelaki itu wahai orangtua yang baik.” Tanya Erin.
“Oh, kamu sudah tahu orangnya.”
“Kang Gagan?”

Orangtua itu tersenyum lalu menghilang. Erin pun terbangun dari tidurnya.

Ketika memasuki kamar hotel itu, Erin duduk merenung di atas ranjang. Dia menatap Gagan yang tengah sibuk mengisi air di bathtube dan menaburinya dengan puluhan kuntum bunga.
“Akang sedang apa?” tanya Erin. Dia lalu bangkit dan mendekati Gagan.
“Sedang mengisi bathtube dengan air dan bunga.”
“Buat apa?”
“Buat kamu mandi.”

Erin merasa aneh. Apakah Kang Gagan bisa membaca pikirannya yang tengah merenungkan mimpi anehnya?
“Kenapa Erin harus mandi air bunga?” tanya Erin, dia sungguh sangat penasaran.
“Biar tubuhmu harum.”
“Kang… apakah ini untuk ritual?” Erin bertanya dengan ragu-ragu.

Gagan menoleh ke arah Erin dan tersenyum.
“Kamu tahu apa maksudnya ritual?” tanya Gagan. Wajahnya serius.
“Enggak, kang. Erin kan cuma tamatan eS eM Pe.”
“Ritual adalah serangkaian tindakan atau kegiatan upacara tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu tertentu, yang memiliki makna, tujuan, atau simbolisme tertentu. Ritual yang akan kita lakukan nanti adalah ritual kuno yang dilakukan nenek moyang kita untuk menyerap kekuatan alam semesta. Paham?”

Erin menggelengkan kepala.
“Kamu tahu apa yang akan kita lakukan dalam ritual nanti?” Gagan menatap mata Erin yang juga sedang menatapnya. “Kita akan melakukan… kita akan bersenggama.” Tambah Gagan dengan suara setengah berbisik.
“Maksud akang ewean?” tanya Erin dengan berbisik pula.
“I ya. Kamu mau?”
“Enggak ritual juga Erin mau.” Erin memasuki kamar mandi dan memeluk Gagan dari belakang. Gagan membalikkan badan, membalas pelukan Erin dan menciumi abg itu sambil meremas pantatnya. Gagan kemudian melucuti baju Erin satu demi satu sehingga abg menjadi telanjang bulat.

Gagan mundur selangkah untuk menatap tubuh abg perawan yang masih suci itu. Sementara Erin dengan agak malu menutup buah dadanya dengan satu tangan sedangkan tangan yang satu lagi menutupi memeknya.
“Jangan ditutupi, akang pengen lihat.”

Tapi Erin menutupi buah dada dan memeknya dengan tangannya. Gagan kemudian membungkuk dan mengenyahkan tangan yang menghalangi buah dada itu dengan dengan pipinya. Setelah itu mulut Gagan menyosor puting Erin dan mengemutnya. Erin merintih karena nikmat. Saat tangan Gagan mengelus belahan memeknya, kedua tangan Erin berpindah ke kepala Gagan dan menjambak pelahan rambut pemuda itu.
“Mmmmhhhh… shhhh…”

Gagan kemudian berjongkok untuk menyosor udel Erin dan kemudian menemukan sebuah pubis yang gemuk dan gundul. Di bawah pubis ada segurat belahan memek yang masih rapat. Gagan mencium puncak guratan untuk menghirup aroma memek perawan dengan kelembaban yang manis. Ujung lidah Gagan menutul guratan itu agar merekah. Tapi yang dia dapatkan adalah sebuah erangan dan jambakan yang keras di rambutnya.
“Akhhh… kaaannnggghhh… shhhhh…. Shhhhh….”

Erin memiliki memek tembem berbentuk seperti biji kerang kewuk. Guratannya tidak mulus dan agak bergerigi. Saat Gagan tidak berhasil membuat guratan itu mekar dan membuka celahnya, dia lalu menyusuri belahan memek Erin dengan lidahnya. Menggosoknya dengan lembut dan membuat lutut Erin gemetaran.
“Bagaimana pun, memek perawan memang beda.” Kata Gagan dalam hatinya, “aromanya pun sangat harum dan lezat.”


Pada saat berpikir seperti itu, Gagan merasakan sebuah kedutan yang keras.

Srrrr…. Crot…. Crot… srrrr…. Mendadak saja Erin menyemprotkan cairan lendirnya seperti semprotan mulut ompong meludah. Lututnya lunglai dan dia hampir saja terjatuh andai Gagan tidak memeluk pantatnya.
“Aaa…kaaaangg… huk huk huk… aduuuhhh…” Erin mengguman dengan nada seperti menangis.
“Kenapa sayang?”
“Enak.” Kata Erin sambil terisak.
“Enak koq nangis.”
“Kang ewean yuk sekarang.”
“Jangan, nanti saja. Sekarang kamu mandi dulu ya.”

Gagan kemudian dengan ringan mengangkat tubuh Erin dan memasukkannya ke dalam bathtube yang airnya mulai penuh dengan puluhan kuntum-kuntum bunga mengambang di atasnya.
“Airnya terlalu panas.” Keluh Erin.
“Tidak, tidak terlalu panas.”
“Panas.”
“Sebentar lagi juga nanti kamu akan terbiasa.”

Gagan memandikan Erin dengan lembut. Menggosok seluruh tubuh abg itu dengan bunga 7 rupa termasuk juga rambut abg itu. Erin memejamkan mata dan menikmatinya. Mula-mula air bathtube itu sepertinya terlalu panas untuknya, namun lama kelamaan dia menjadi terbiasa. Bahkan ketika merasa sudah selesai memandikan Erin, abg itu malah diam terus karena keenakan berendam.

Gagan kemudian melucuti pakaiannya sendiri dan masuk ke dalam bathtube. Udara lembang yang sejuk membuat air dalam bathtube dengan cepat menjadi hangat. Kontol Gagan agak ngaceng dan bekas lendir kenikmatan Tante Irma sudah mengering di seluruh batang kontolnya. Gagan merasa lucu jika teringat kepada Tante Irma. Dia adalah seorang yang sangat judes pada awalnya. Bahkan pernah melarang Aswin bergaul dengan Gagan karena Gagan dianggap berasal dari kalangan orang biasa yang tidak kaya. Namun sekali saja memek peot itu kena linggis kontolnya, Tante Irma langsung ketagihan.

Erin menatap kontol Gagan dengan mata terbelalak.
“Kang boleh pegang?”
“Tentu.”
“Ini nanti yang akan dimasukan ke memek Erin?”
“I ya.”
“Apa enggak kegedean, kang? Memek Erin kan kecil.”
“Memeknya boleh aja kecil tapi kian liangnya bisa aja besar.”
“Masa?”
“Mungkin, ini juga.”
“Erin gak sabar pengen cepet-cepet ngerasain kontol akang, ritualnya kapan kang?”
“Nanti malam.”
“Di mana?”
“Di Pasir Gantung.”
“Pasir Gantung? Itu kan kampungnya nenek Erin, ibunya mamah.”
“Kalau begitu kita sekalian mampir. Kamu beliin nenek kamu oleh-oleh.”
“Tapi Erin enggak punya uang kang.”
“Soal uang kamu jangan pusing, akang punya banyak. Kamu mau berapa?”
“Ga tau. Terserah akang aja.”
“500 ribu cukup?”
“Lebih dari cukup.”
“Ya udah, entar akang kasih. Eh, airnya udah dingin, handukan yuk?”
“Yuk.”

***
(bersambung)​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd