Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cinta Yang Tak Biasa

Bimabet
Sebuah Tawaran

Hari-hari berikutnya yang kujalani terasa begitu bergunga-bunga. Seperti bebungaan yang dulu pernah menghiasi taman depan rumah lamaku ketika masih bersama suami. Walaupun sekarang di rumah kecil kami tak ada bunga, tapi peningkatan pada kondisi mental Fadil kurasakan lebih baik dari seluruh bunga di dunia kalau dikumpulkan jadi satu di rumahku.

Walaupun demikian, ada sedikit hal yang mengganggu fikiranku terkait dengan usahaku menyembuhkan Fadil. Terbersit rasa bersalah pada Sang Kuasa karena walau bagaimanapun aku telah melakukan sesuatu yang tabu. Bukankah berhubungan badan dengan anak sendiri adalah suatu dosa besar ?

Siapa bilang begitu ?

Ya ampun, suara di kepalaku muncul lagi.

Siapa bilang kamu berhubungan badan ?

Suara itu mendesakku, memojokkanku.

Kamu tidak berhubungan badan, hanya membiarkan dirimu dipeluk.

Tapi.... tapi.... waktu itu kamu melarangku kan ?

Ya... aku melarangmu menikmatinya. Disitu bedanya, Sri. Secara teknis, kamu tidak berhubungan badan, cuma saling menempel saja, lagian masih terhalang kain. Salahmu adalah menikmatinya.

Duh.... betul juga ya.... aku cuma berusaha menyembuhkan Fadil dengan caraku. Hanya saja keadaan membuat aku tidak bisa mengontrol hawa nafsuku.

Cobalah untuk tidak menikmatinya.

Jadi.... boleh menyembuhkan Fadil dengan cara itu ?

Tak ada jawaban lagi. Aku angga jawabannya adalah "Boleh".

*****

Hari itu aku kedatangan seorang tamu, yaitu sepupuku dari kampung. Ada rasa senang dikunjungi saudara, tapi ada juga rasa curiga. Setelah sekian lama saudara dan teman hilang satu per satu menjauhi dari kehidupanku yang penuh kesulitan, pada diriku terbangun rasa curiga pada semua orang. Tapi aku coba untuk berbaik sangka padanya.

"Teteh..... udah lama ya kita ngga ketemu" Ujarnya ketika kami duduk di ruang tamuku yang tak berkursi, hanya sebuah karpet tipis yang tergelar di lantai. Lilis, sepupuku duduk 'emok' di hadapanku sambil merapikan gamis hitamnya yang panjang menjuntai. Buat yang tidak tahu, duduk 'emok' itu seperti duduk bersimpuh mirip bagian akhir ibadah di agamaku.

"Iya Lis, tapi teteh memang sibuk ngurus si Fadil"

"Maaf ya teh baru kali ini bisa berkunjung"

"Iya ga apa-apa kok".

Dan berikutnya Lilis bercerita bahwa Pak Ardasim yang merupakan tetangga di kampung saat ini sudah jadi kepala desa. Hanya saja salah satu kekurangan Pak Ardasim adalah dia masih berstatus duda sehingga beberapa orang tetua di kampung menyarankannya untuk mengambil istri. Kebetulan katanya Pak Ardasim teringat akan diriku lalu meminta bantuan pada keluarga besarku untuk menanyakan apakah aku bersedia menjadi istrinya. Dan Lilis diutus oleh keluargaku untuk membicarakan hal ini.

Sedikit tentang Pak Ardasim yang aku ingat adalah bahwa rumah dia hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahku. Dulu dia itu jadi semacam kontraktor yang mengerjakan jalan dan jembatan serta bangunan-bangunan dari pemerintah setempat. Usianya memang sudah cukup, artinya sudah cukup tua. Perkiraanku saat ini mungkin dia berusia 65 tahun. Dia tidak pernah menikah lagi sejak istrinya meninggal sekitar 10 tahun lalu. Perawakannya sedang, agak-agak gemuk, dengan rambut yang mulai menipis di bagian tengah. Tapi itu bahasa halusku saja, jujurnya adalah dia sudah botak.

"Aduh Lis.... teteh rasanya belum kepikiran cari suami lagi. Soalnya belum tentu ada lelaki yang mau menerima keadaan Fadil." aku menolak dengan halus.

"Kenapa nggak sama kamu aja Lis ?" tanyaku bercanda.

"Ih si teteh.... itu Kang Dani mau aku kemanain coba ? hahaha"

Kang Dani adalah suaminya.

Dan Lilis bercerita berbagai hal demi untuk membujukku. Tetapi salah satu point penting yang kusetujui pendapatnya adalah bahwa harus ada yang menghidupi kami. Aku saat ini belum sampai pada tahap kekurangan uang, walaupun memang tabunganku setiap bulannya berkurang sedikit demi sedikit. Suatu saat nanti pasti akan habis juga.

Akhirnya Lilis tidak memaksaku untuk mengambil keputusan segera, hanya saja dia tidak segera pulang kembali ke kampung. Dia tinggal di rumahku selama beberapa waktu. Kemungkinan ini hanya alasan bagi dia untuk dapat terus membujukku sampai aku mau menerima menjadi istrinya Pak Ardasim.

Waktu berjalan terus, dan tak terasa Lilis sudah sebulan di rumahku sambil bantu-bantu membersihkan rumah, merawat dan mengasuh Fadil, kadang memasak juga. Lama kelamaan, aku cukup stres dengan kehadiran Lilis. Sehari dua hari memang tidak berasa, tapi kalau sebulan...... dan setiap hari obrolannya hanya seputar Pak Ardasim tentu akan membuat aku stress.

Ditambah lagi, karena kehadiran Lilis di rumah sempit kami maka membuat aku tidak dapat melanjutkan rencana terapi menyembuhkan Fadil. Kami sekarang ini tidur bertiga di kamar. Aku dan Fadil diatas ranjang yang cukup sempit, tak akan cukup dipakai tidur bertiga. Berdua saja sudah berdesakan, apalagi bertiga. Karena itu Lilis tidur menggelar karpet di kamar, di dekat ranjangku.

Untung saja pada akhirnya Lilis bosan juga setiap hari di rumah kami yang sempit. Akhirnya setelah lebih dari sebulan ia pamit juga untuk pulang. Ia hanya berpesan untuk memikirkan secara serius tawaran dari Pak Ardasim. Aku hanya mengangguk saja.

Malam itu, seperti biasa Fadil sudah tidur sejak jam 10 malam. Selepas Fadil tidur adalah waktuku untuk berbenah rumah, dimana kalau siang hari nyaris tak mungkin kulakukan karena Fadil butuh perhatian yang teramat seksama. Nyapu, ngepel, nyuci baju, menyetrika, semua selalu kulakukan di malam hari biar dapat kulakukan dengan tenang.

Selesai itu, waktu sudah menunjukkan jam 2 malam. Aku melanjutkan dengan ibadah malam yang selalu kulakukan untuk memohon kesembuhan Fadil.

Karena malas, aku tak menyempatkan diri untuk membuka mukenah dan berganti dengan baju lain untuk tidur setelah aku selesai beribadah. Langsung saja aku naik ke ranjang dengan mukenah masih melekat di tubuh.

Hmm..... aku berfikir.

Lilis sudah tidak ada kan.

Mungkin sebaiknya kulakukan sekarang.

Mudah-mudahan ini terapi yang terakhir untuk Fadil, sehingga aku tidak perlu melakukannya lagi setelah ini.

Kupandang Fadil yang tidur terlentang disebelahku. Wajahnya terlihat tentram, bibirnya sedikit terbuka. Aku bangkit dari posisi tidurku untuk duduk di sisi ranjang, dekat di bagian kaki Fadil.

Perlahan tanganku merayap, memerosotkan celana pendek Fadil dan juga celana dalamnya.

Bagian tubuh Fadil yang berada di selangkangan kulihat terkulai. Baru kali ini aku memperhatikan dengan cukup seksama. Biasanya aku selalu menghindari untuk memandang langsung bagian ini.

Tidak terlalu besar, sedang saja ukurannya.

Sedikit gemetar, tanganku menjulur dan meraih benda itu.

Tap.... ujung jemariku menyentuhnya.

Aku menguatkan hati, bertekad melakukan hal ini sepenuh hati untuk kesembuhan anakku.

Temaram lampu LED 7 watt di kamar, suara kipas angin berputar, udara yang sedikit gerah, perlahan sirna dari panca indraku. Perhatianku terpusat pada Fadil.

Kuusap burung Fadil dengan telunjukku dari bagian ujungnya, merayap perlahan ke bawah, bagian zakar nya yang berkerut-kerut.

Kuulangi sekali lagi usapanku, kali ini dengan telunjuk dan jari tengah.

Perlahan burung kecil itu menggeliat, bangkit. Aku menarik nafas. Jantungku berdetak kencang seakan bisa kudengar oleh telingaku seluruh detakannya.

Deg... deg...deg... deg

Beberapa usapan lagi.... burung itu sekarang berdiri tegak. Ujungnya yang berbentuk topi baja tentara terlihat mengkilap, suatu pertanda bahwa burung Fadil tegang secara full.

Mataku beralih, menatap wajah Fadil yang masih nyenyak tak terganggu tidurnya. Namun matanya berkedutan, tanda ia sedang bermimpi.

Mimpi apa sekarang kamu, nak ?

Tanyaku dalam hati.

Perlahan sekali kurentangkan kedua kaki Fadil agar terbuka mengangkang.

Setelah itu, aku duduk bersimpuh diantara kedua kakinya.

Tangan kiriku meraih batang Fadil. Kugenggam dengan ringan agar tidak mengganggu tidurnya.

Lingkar telunjuk dan jempolku bertemu, dan membentuk lingkaran yang semakin mengecil.

Ah... tidak terlalu besar burungmu, nak.

Bahkan ujung burung Fadil yang mengkilap itu tidak sampai melewati genggaman tanganku yang halus. Aku menekan genggamanku ke pangkalnya, hingga kepala burung itu sekarang muncul diantara genggam tanganku. Mengkilap, tegang maksimal.

Kali ini tangan kananku mendekat, lalu....

Tap.... telunjukku menyentuh topi baja itu.

Dengan sedikit gemetar, aku menyentuhkan telunjukku mengitari pinggiran bagian topi baja itu.

Fadil tersentak.

Aku lebih tersentak lagi.

Segera kuhentikan semua gerakanku sampai Fadil tidur dengan tenang lagi.

Aduh, gimana ya biar dia ngga bangun ?

Coba mungkin harus lebih perlahan.

Dan telunjukku sekarang bergerak lagi, berputar mengitari pinggiran topi baja itu dengan sangat hati hati.

Fadil diam, tidurnya masih tenang.

Tiba-tiba kulihat dari lubang pipis Fadil keluar suatu cairan bening. Mula-mula hanya setitik, tapi makin lama makin banyak dan mulai meleleh.

Aku tak tahan, telunjukku mengusapnya pada bagian lubang pipisnya.

Ahh..... cairan bening itu licin.

Kutekan sedikit lubang pipis itu.

Dan disitulah kesalahanku.

Fadil kembali tersentak, dan kali ini matanya terbuka.

"Bunda......." bisiknya.

Ya ampun.... aku panik luar biasa.

Harus bagaimana ini ?

Tanpa pikir panjang, ditengah kepanikan kuputuskan untuk pura-pura menidurkannya kembali.

Aku rebah diatas tubuhnya dengan sikut kiri bertelekan pada kasur. Wajah kami berhadapan dekat sekali. Kaki Fadil masih mengangkang, pinggul dan kakiku diantara kedua kakinya. Berhimpitan.

Sebuah benda keras terasa mengganjal di perutku.

"Fadil tidur lagi ya......" bisikku.

"Bunda lagi apa....." dia bertanya setengah sadar.

"Bunda lagi kelonin Fadil biar tidur...."

"Adil mimpi bun....."

"Hmm..... mimpi apa sayang ?" tanyaku sambil tangan kananku mengelus rambutnya.

"Adil mimpi mau pipis...." katanya

"Ah itu cuman mimpi aja sayang....." bisikku lagi.

"Sekarang Fadil harus tidur lagi ya... sini bunda peluk" aku membujuknya

Fadil kemudian memejamkan matanya lagi, dan tak berselang lama nafasnya mulai teratur lagi pertanda dia mulai tidur.

Aku terus diam, tapi dalam diam itu kurasakan burung Fadil tetap keras dan menekan perutku.

Hangat.

Kok hangatnya beda yah ?

Karena kamu tidak pakai celana dalam, Sri.

Aku sedikit kaget dengan kehadiran suara itu di kepalaku.

Tapi aku jadi ingat, bahwa dibalik mukenah yang masih kukenakan ini aku tidak bercelana dalam.

Dan sekarang bagian selangkanganku terasa gatal, lalu perlahan menjadi lembab dan ... ahh.... basah.

Oh tuhan..... ini demi kesembuhan anakku.... jeritku dalam hati

Alasan saja kamu ini Sri.

Suara itu kembali berkata didalam kepalaku.



Aku beringsut, mengatur posisi.

Dengan tangan kanan, aku menaikkan bagian bawah mukenahku sehingga selangkangan kami bertemu tanpa terhalang lagi oleh selembar kainpun.

Burung Fadil yang tegang sekarang bertemu dengan gundukan selangkanganku. Kehangatan terasa merayap. Suatu bagian di bawahku terasa gatal sekali.

Aku beringsut lagi perlahan, hingga batang keras itu sekarang tepat berada di tengah selangkanganku yang kian banjir.

Getaran-getaran seakan arus listrik lemah mulai terasa menjalari bagian itu. Makin gatal.

Aku sedikit menekan sambil beringsut.

OOOOOHH.......

Nyaman sekaliiiiiii.

Sri...... bukannya kamu berjanji untuk tidak akan menikmati ini ?

Tapiiiiii.... ya tuhan.... gatal sekaliiii

Sekarang bagian bawahku bergerak-gerak, bukannya berusaha menyembuhkan Fadil, aku malah berusaha menyembuhkan rasa gatal itu.

Ketika aku bergerak, pada suatu saat dan posisi yang tepat, bagian topi baja yang keras itu tiba-tiba tak sengaja menyentuh klitorisku yang teramat sensitif.

Hhhhkkkk............. aku terdiam.

Perasaanku melayang.

Itu tepat di bagian yang terasa gatal sekali, dan seperti bentol karena gigitan nyamuk maka satu garukan saja tidak akan terasa cukup, ingin digaruk lagi, lagi, lagi dan lagi hingga gatal itu hilang.

Dan aku menekan makin kuat, serta bergerak makin cepat berusaha menggesekkan topi baja itu di klitorisku.

Ya tuhaaaaan..... gatal ini malah menjadi jadi.......

Aku gereget sekali, sehingga tanpa terasa aku memeluk tubuh Fadil dengan erat sambil kutindih dengan seluruh tubuhku.

Tubuh Fadil terguncang-guncang.

Salahku lagi jika tidur Fadil terganggu lagi.

Matanya terbuka

Kami saling tatap.

Fadil kebingungan.

"Bun.........." bisiknya dengan pandangan penuh tanya.

Aku tak perduli lagi. Aku memeluknya kian erat.

Selangkangan kami bertemu dan menekan dengan erat.

Aku terus menggosoknya tepat di klitorisku yang terasa makin gatal... makin gataaaaal.... dan makin gataaaaaaaaal...

"Fadiiiiilllll......." malu aku dipandang oleh anakku dalam keadaan seperti ini.

Kututup matanya dengan telapak tangan kananku.

Lalu dengan kuat aku menekan clitorisku sehingga rasanya seperti balon berisi air yang hampir pecah karena ditekan terlalu kuat.

Dan itulah yang terjadi.

Klitorisku meledak pecah.

Tubuhku terlonjak-lonjak dengan luar biasa.

Hantaman demi hantaman kenikmatan itu mendera klitorisku yang berkelojotan.

Hkkkk..... hkkk.... hkkkk......

Mataku terasa berbalik...... pandanganku gelap...... bagian hitam mataku mendelik keatas seakan ditarik oleh suatu kekuatan.

Beberapa detik berlalu, tubuhku terasa hangat dan melayang-layang.

Hingga akhirnya kekuatan orgasme itu menguras seluruh kekuatanku. Dan aku terjatuh dari awang-awang. Ambruk tanpa kekuatan lagi diatas tubuh Fadil.

Rasa gatal itu hilang, berganti bersilih dengan rasa nikmat yang luar biasa.

Dan rasa nikmat itupun akhirnya perlahan hilang, digantikan oleh rasa ngilu.

Sedikit gerakan saja di klitorisku, ngilu nya ampun-ampunan. Membuat aku merintih.

Aaaaakkkkkkh..........

Aku segera menjauhkan clitorisku dari benda keras itu.

"Bunda...... " tubuh Fadil terasa berontak.

Aku tak mampu mengangkat tubuhku.

"Bundaaaa..... Fadil engap....." anakku berusaha mendorong tubuhku kesamping.

Aku terjatuh di sisi tubuh Fadil. Tergeletak tak berdaya.

"Bunda nakal....... kan Fadil ngga bisa napas " anakku protes sambil bersungut-sungut.

Aduh nak...... maafkan bunda......

Aku memang seorang ibu yang bejat........ ternyata sekarang kuakui, ini semua sepertinya alasanku saja untuk membenarkan kelakuanku. Aku cuma beralasan bahwa semua kulakukan demi kesembuhan Fadil... padahal sekarang terbukti, aku cuma ingin menuntaskan nafsu syahwatku yang terpendam.

Perlahan air mataku menitik, dan mengalir di pipiku. Tubuhku tak mampu bergerak, dan otakku tak mampu berfikir. Gelap semua..... aku nyenak tertidur.

Ya, aku ibu yang bejat......



(bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd