Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cinta Yang Tak Biasa

Suatu Keputusan

"Assalamu'alaikum, apa kabar neng ?" suatu pagi di hp ku muncul sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

"Wa'alaikum salam, dengan siapa ini ?" kubalas pesan itu.

"Saya Pak Ar" katanya

"Pak Ar mana ya ?" fikiranku melayang berusaha menebak-nebak siapa gerangan Pak Ar.

"Pak Ardasim, tetanggamu di kampung neng" jawabnya.

Duh.... ini pasti nomorku dikasih ke Pak Ardasim oleh Lilis.

"Saya baik pak, semoga bapak juga dalam keadaan baik".

Begitulah pesan itu berawal, dan setiap hari ia selalu mengirimiku pesan di hp.

Pada intinya, Pak Ardasim berusaha meyakinkan aku untuk mau menjadi istrinya.

Aku menjelaskan dengan sopan pada Pak Ardasim bahwa aku ada suatu beban yang masih sulit untuk aku tinggalkan yaitu anakku si Fadil yang butuh perhatian khusus. Tetapi ia menyatakan bahwa hal tersebut tidak akan menjadi masalah buat dirinya.

Aku berulangkali meminta waktu untuk berfikir, dan dia selalu bilang bahwa aku bebas untuk berfikir dan mengambil waktu semauku untuk memutuskan. Bilangnya sih begitu, tetapi hampir setiap hari dia selalu bertanya apakah aku sudah mau atau belum.

Jika difikir logis, aku memang butuh seorang pendamping. Bukan hanya karena urusan biaya hidup, tetapi yang tak kalah penting juga bahwa aku memiliki kebutuhan biologis yang seringkali membuat aku sakit kepala. Dan aku sudah tak berani lagi untuk memberikan "terapi" pada Fadil karena ternyata nafsuku tak dapat kutahan. Aku takut kebablasan seperti saat terakhir aku melakukan "terapi". Aku sebaiknya mencari jalan lain untuk kesembuhan Fadil.

Akhirnya, aku memantapkan tekadku untuk menerima pinangan Pak Ardasim. Keputusan ini kudasarkan pada pertimbangan berikut :

1. Aku menyadari bahwa aku butuh kebahagiaan batin.

2. Aku butuh pendamping hidup untuk saling berbagi dan berdiskusi.

3. Anakku butuh biaya yang mungkin tidak mampu kucari sendiri

4. Aku kenal Pak Ardasim sejak masih kecil, dan ia cukup terpandang di desa

Bukan main senangnya dia sampai mengucapkan puji syukur berulang-ulang.

Sebulan kemudian kami menikah di suatu mesjid di kampung kami. Tidak ada acara pesta meriah, hanya upacara pernikahan sederhana yang dihadiri oleh tiga orang anak-anak Pak Ardasim yang semua sudah berusia diatasku. Datang juga saudara-saudara dan beberapa kerabat dekat. Kami merasa malu untuk melakukan pesta meriah, secara usia kami tidak lagi muda. Kang Ar (sekarang aku memanggilnya Kang Ar, bukan 'bapak' lagi) berusia 64 tahun, dan aku 37. Di usiaku ini, aku belum kelihatan terlalu tua, bahkan banyak orang memuji kecantikanku. Apalagi tubuhku masih tetap langsing, tidak kelihatan gemuk atau gombyor.

Tidak ada juga acara bulan madu setelah pernikahan itu. Di kampungku, mana ada istilah bulan madu dihabiskan untuk berjalan-jalan ke Bali atau menginap sekian malam di hotel berbintang. Akupun tidak mengharapkan hal-hal seperti itu. Buat aku, pernikahan ini jujur saja bukan karena rasa cinta. Apalah arti cinta di usiaku ini ? Cinta bagi seorang perempuan di usiaku ini hanyalah cinta dan kasih sayang pada anak semata.

Malam pertama kami habiskan untuk berbenah rumah lalu tidur karena kecapaian. Selama ini Kang Ardasim hanya tinggal sendiri di rumahnya sehingga rumahnya jauh dari kesan bersih. Segala hal berantakan di rumahnya. Anaknya yang nomor dua adalah seorang perempuan berusia 41 tahun yang kadang-kadang datang ke rumahnya untuk bersih-bersih. Namanya Wati, dan aku memanggilnya Ceu Wati. Buat yang belum tau, "Ceu" itu singkatan dari Ceuceu yang artinya sama dengan Cici dalam bahasa Cina atau mbak dalam bahasa Jawa.

Ceu Wati ini rumahnya masih satu kampung, tetapi jaraknya tidak cukup dekat. Dia punya seorang suami yang menjadi pedagang kain di pasar. Anaknya ada lima, dan itulah yang membuat Ceu Wati tidak bisa sering-sering datang ke rumah Kang Ar untuk membantu bersih-bersih. Dia bilang bahwa dia sangat bersyukur bapaknya akhirnya memiliki istri lagi sehingga dia bisa lepas dari kewajibannya merawat Kang Ar.

Anak Kang Ar yang nomor satu dan nomor tiga itu laki-laki dan tinggal di Jakarta dengan keluarga mereka masing-masing.

Jadi sekarang yang tinggal di rumah Kang Ar hanya tiga orang yaitu Kang Ar, aku, dan Fadil.



*****



Hari kedua pernikahan aku dengan Kang Ar, aku bangun subuh. Suara detak jam dinding yang membosankan terdengar begitu keras dan mengganggu.

Menoleh ke samping kanan, kulihat Kang Ar masih tidur nyenyak dengan posisi telentang dan mulut menganga lebar. Rambutnya yang sebagian besar telah memutih membuat Kang Ar bukan terlihat tua tetapi bagiku malah terlihat sangat berwibawa.

Menoleh ke samping kiri, kulihat Fadil juga masih tidur dengan posisi yang kurang lebih sama dengan Kang Ar, yaitu telentang dengan mulut menganga.

Ya, kami tidur bertiga.

Fadil tadi malam tidak mau tidur di kamar yang telah disediakan khusus untuknya. Katanya takut dan dia memaksa tidur denganku. Untung saja Kang Ar memaklumi kondisi Fadil yang walaupun sudah berusia 18 tahun namun mental dan tingkah lakunya masih seperti anak kecil akibat kecelakaan dan koma yang cukup lama.

Jam yang suara detiknya sangat mengganggu itu menunjukkan pukul 5:00 pagi. Aku harus menunaikan kewajibanku beribadah pagi. Aku turun lewat mana ? kalau lewat kanan aku harus melangkahi Kang Ar dan aku belum berani untuk berbuat seperti itu, kan takutnya Kang Ar terbangun dan marah.

Kalau lewat kiri, harus melewati Fadil yang juga tengah terlelap. Kalau Fadil terbangun jam segini, nanti malah menyulitkan aku.

Sekali lagi kutimbang-timbang, kulirik ke kiri dan ke kanan.

Akhirnya kuputuskan turun dari tempat tidur ke arah kanan, melewati Kang Ar.

Kusingkirkan selimut dari tubuhku dan Kang Ar. Pelan-pelan bangkut duduk dan beringsut, untuk selanjutnya merunduk diatas tubuh Kang Ar sambil turun ke bagian kanan tempat tidur.

Goyangan kasur dan tubuhku memang membangunkan Kang Ar.

Matanya terbuka.

"Mau kemana bun ?" tanya Kang Ar. Sedikit kejutan buatku bahwa dia sudan mem"bunda"kan aku di hari kedua ini. Sampai dengan tadi malam dia masih memanggilku dengan "Neng".

"Mau sholat subuh dulu, yah" demikian jawabku meng"ayah"kan dia.

"Yaudah bunda duluan aja sholatnya" katanya sambil menarik selimut lagi.

Untuk selanjutnya aku ke kamar mandi dan bersuci. Kubuka baju tidur dan pakaian dalamku di depan lemari kaca. Sekilas kulihat dari cermin Kang Ar membuka matanya memperhatikan tubuh telanjang aku. Malu rasanya, karena tubuhku tidak seperti tubuh seorang perawan lagi. Beberapa bagian sudah sedikit berlemak.

Segera kukenakan mukenah yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian "rok" yang panjang sampai menjuntai di lantai, dan bagian "atasan" yang menutupi kepala dan kedua lengan. Memperlihatkan hanya wajah dan telapak tanganku saja.

Kegelar sebuah sejadah yang indah, yang kemarin menjadi bagian dari mas kawinku.

Sejenak aku memusatkan seluruh fikiranku padaNya. MengingatNya dalam keheningan fikiran.

Setelah itu kuangkat kedua tangan dan kulipat di dadaku, memulai ritual pagi.

Sepasang mata terus menatapku, memperhatikanku dari sejak awal hingga akhir.

Posisiku masih bersimpuh dengan kedua tangan masih terangkat. Masih kuucapkan serangkaian do'a padaNya ketika sepasang tangan menyentuh kedua pundakku.

Mataku terbuka, segera kuselesaikan do'a lalu menurunkan telapak tangan ke pangkuanku.

Kedua tangan Kang Ar menyusuri pundak dan turun kebawah, melalui dadaku yang berdegup.

Telapak tangannya bertemu dengan telapak tanganku, saling remas.

Tubuhnya merapat, memelukku, dan aku ditariknya jatuh bersamaan dengan tubuhnya ke lantai.

Pelukannya erat, berhimpitan denganku.

Kang Ar mulai menciumi bibirku. Memagutku penuh nafsu. Aku diam saja, pura-pura polos.

Tangan Kang Ar mulai menelusup ke balik mukenah, meraba perut dan pinggang.

Jemarinya merayap keatas, menuju dada.

Ngggh...... aku mengerang dan membuka bibir pada saat jemari itu sampai di pucuk payudaraku.

Geli sekali, menimbulkan getar-getar hangat di seluruh tubuh.

Mendapati bibirku terbuka, lidah Kang Ar menyelinap dan menggapai-gapai lidahku.

Aku menyambutnya. Kami berlilitan lidah sambil sekali-kali saling memagut dan menggigit bibir.

Tak mampu berpura-pura lagi, aku mengerang hebat tatkala telapak tangan Kang Ar meremas payudara kiriku perlahan. Pucuk dadaku terjepit di sela-sela jari kanan dan jari tengahnya. Atasan mukenahku tersingkap hingga ke dada, memamerkan kedua bukit putihku yang masih segar di usia 37.

Kang Ar meloloskan atasan mukenahku. Aku memejamkan mata, tak bergerak, pasif menunggu.

Dan aku kembali merintih ketika lidah hangat Kang Ar sampai di pucuk dada kananku yang tegang. Dia menyedotnya dengan penuh nafsu, menggetarkan seluruh saraf-saraf yang ada di tubuhku, terutama di bagian bawah yang sekarang terasa menjadi lembab.

Tangan kanan Kang Ar tiba-tiba menghentikan remasannya di payudara kiriku, tetapi lidahnya masih terus menyedot-nyedot pucuk payudara kananku yang kian gatal.

Ternyata tangan kanan itu merayap turun kebawah, meloloskan rok mukenah.

Aku membantunya dengan mengangkat pantat, agar rok itu bisa terlepas.

Tubuhku telanjang bulat. Putih berkilat.

Terangnya lampu kamar menimpa seluruh permukaan kulit mulusku.

Kang Ar melotot, matanya nanar penuh nafsu ketika melihat bagian bawah tubuhku.

Kepalanya sekarang turun menuju kesana. Aku menanti dengan cemas, sedikit malu.

Berikutnya kurasakan lidah Kang Ar bersarang di selangkangan.

Rintihan demi rintihan terlontar dari tenggorokanku yang rasanya seperti tercekat. Kepala ini tak bisa kutahan membalik ke kiri dan ke kanan.

Permukaan lidahnya yang kasar menjilati klitorisku yang kian membengkak. Kehangatan menyeruak.

Ketika kurasakan sebuah jemari menyelinap ke celah selangkanganku, aku tertegun lalu menahan tangannya.

"Ayah, jangan" larangku.

Sudah lebih dari setahun celah itu tak dimasuki apapun, dan aku tidak ingin dimasuki oleh jari. Aku ingin agar yang pertama memasuki celah itu adalah yang seharusnya berada disitu yaitu kejantanan seorang lelaki. Bukan sebuah jari.

"Kenapa bun ?" Kang Ar heran.

"Jangan" ujarku tanpa memberikan jawaban atas pertanyaannya.

Rupanya Kang Ar nurut, dia tidak jadi memasukan jari kesana.

Sebagai gantinya, lidahnya menjulur lalu.......

Aaaaakh...... lidah kasar itu mengorek-ngorek celah kenikmatanku yang telah basah.

"Hmmmm.... mmmm mmmm mmmm" Kang Ar menggumam tak jelas.

"Aduh ayah..... jangan...."

"Hmmmm mmm mmm mmmmm" lidahnya terus merangsek makin dalam.

"Pakai punya ayah ajaaaaaa......" pintaku ditengah nafas yang terengah.

"Hmmm... enak bun..... banyak airnya....."

Tapi Kang Ar nurut, dia mengeluarkan lidahnya dari celah kenikmatan aku. Dan sekarang yang dia lakukan hanya menyedot-nyedot klitorisku yang sensitif dengan lidahnya yang hangat.

Aku makin terangsang. Kenikmatan makin menyeruak.

Jiwaku seakan tercerabut dari tubuh, melayang layang menikmati rangsangan lidah Kang Ar.

Bibir dan lidah itu lihay sekali menari-nari.

Terkadang jilatannya seperti kuas mengoleskan cat, menyapu-nyapu keatas kebawah.

Sesekali jilatan itu menyamping kekiri dan kekanan.

Tetapi yang paling nikmat adalah ketika lidah ini membentuk huruf O lalu menyelimuti klitorisku dan menyedotnya. Urat-uratku seakan tercerabut, tersedot oleh lidahnya.

Apalagi ketika kedua bibirnya menjepit.

Aku makin gemetar, tak kuat oleh deraan nafsu.

"Enak bun ?" tanya Kang Ar ketika menyudahi rangsangannya.

Dengan mata sayu aku menatapnya, lalu memberikan anggukan sebagai jawaban. Tak sedikitpun suaraku bisa keluar.

Dia tersenyum puas, lalu bangkit berdiri. Mataku mengikuti.

Kang Ar membuka celananya, dan sebuah benda yang kehitaman teronggok di selangkangannya. Belum berdiri kejantanannya. Masih terkulai lemas. Aku agak heran juga sih, padahal tadi kami sudah bercumbu dengan hot. Kenapa dia tidak terangsang ?

Dia duduk di sisi ranjang, dengan kedua kaki mengangkan dan menjuntai ke lantai.

"Giliranku diservice, sayang" ujarnya sambil matanya memberikan tanda ke kejantanannya yang masih terkulai.

Aku menggelengkan kepala.

Dia berbisik "Kenapa ?"

Mulutku monyong ke arah Fadil.

Maksudku, jangan disitu dong kan ada Fadil.

"Gak apa-apa.... masih tidur" bisiknya pelan.

Sejenak aku berfikir.

Tapi ya sudah, Fadil memang sedang tertidur.

Beringsut dari dudukku di lantai, kuhampiri Kang Ar.

Aku bersimpuh di sela kakinya, kang Ar menatap tubuh telanjangku penuh nafsu.

Kejantanan Kang Ar yang terkulai mulai kuraih dengan jemariku. Menggenggamnya, dan jempolku mengusap-usap kepalanya.

"Nggggggghhhh......" Kang Ar mengeluh.

Usapan demi usapan jempolku di kepala kejantanannya perlahan membangunkan kejantanannya yang sedang tidur.

Kejantanan hitam itu menggeliat seperti kucing malas yang baru bangun dari tidurnya.

Tangan kang Ar meraih kepalaku, menariknya.

Aku mengerti. Paham.

Kepalaku menghampiri.

Hap......

Kejantanan yang sedang menggeliat itu kulahap.

Tangan kang Ar terus membelai rambutku, menyatakan rasa terima kasihnya atas kenikmatan yang sedang dirasakannya.

Jurus jurus yang pernah terlupakan, berusaha kupraktekkan lagi demi membahagiakannya.

Mengulum batang kejantanannya sambil meremas perlahan buah zakar Kang Ar yang menggelayut.

Lidahku menari-nari, menyelomoti.

Tapi herannya, batang kejantanan Kang Ar tidak bisa sepenuhnya tegang.

Istilah bapak-bapak, katanya ini setengah tiang.

Memangnya sedang berkabung nasional ya ?

Aku mencurahkan seluruh kemampuanku.

Tapi tetap saja, Kang Ar masih merayakan hari berkabung nasional.

Entah kenapa.

Aku masih terus berusaha lagi, dan ingin terus berusaha lagi supaya kejantanan itu lebih tegang.

Kang Ar memberikan tanda supaya aku naik ke tempat tidur.

Mataku melirik Fadil.

Kang Ar paham.

"Masih tidur" bisiknya.

Aku bergeming, menatap kang Ar.

"Gak apa-apa" katanya meyakinkan. Tangannya menarik tanganku, membimbingku untuk naik ke tempat tidur.

Terpaksa kuikuti.

Tubuhku rebah di samping Fadil yang terlelap.

Kang Ar naik ke tempat tidur, lalu mengangkangkan kedua kakiku membentuk huruf M.

Mataku terpejam, menunggu.

Menunggu saat dimana celah vaginaku yang berdenyut dan telah basah untuk diterobos kejantanan.

Satu tahun setengah bukan waktu yang sebentar, mengingat dahulu setidaknya dua hari sekali kudapat jatah dari suami pertama.

Mataku masih terpejam, menunggu, berharap dengan cemas.

Dan .......

Kang Ar mengoles-oleskan kejantanannya di permukaan celahku.

Mau tidak mau, mata ini terbuka dan berusaha melihat apa yang terjadi.

Kepalaku terangkat, demi untuk bisa melihat ke bagian bawah tubuhku.

Rupanya Kang Ar sedang memegangi kejantanannya yang kembali terkulai, dan ia sedang berusaha memasukkan kejantanan yg lemas itu ke sela celah selangkanganku.

Terus keperhatikan usahanya.

Sepertinya Kang Ar terlihat panik.

Kami beradu tatap. Dia tersenyum grogi.

Aku menunggu.

Tetapi kejantanan itu tak mau tegang lagi.

Kang Ar terus berusaha dengan berbagai cara.

Ya Tuhanku..........

Kenapa Sri ?

Aaaah, suara menyebalkan itu kembali berbicara didalam kepalaku.

Salah kamu lah Sri, memilih suami yang sudah tua

Suara itu terasa mengejek, membut aku tambah kesal

Setetes keringat terlihat mengalir di wajah Kang Ar.

Hahahaha......

Suara itu begitu mengejek. Aku sebal sekali.

Wajah Kang Ar terlihat panik, dari pandangan matanya ia seperti memohon maaf.

"Aku kayanya masih kecapean, bunda" dia beralasan.

Sekarang rambut putih itu tak nampak lagi berwibawa.

Rambut putihnya saat ini hanya menguatkan kesannya bahwa Kang Ar memang sudah tua.

Bukankan usia 64 seorang lelaki masih mampu melakukan ? bahkan katanya laki-laki tidak ada matinya dalam urusan ranjang walaupun usianya telah 70 bahkan 80 tahun ?

Kamu kena hoax, Sri

Suara itu ngeyel lagi. Kepalaku sekarang berdenyut, seperti celah vaginaku yang sampai sekarang masih berdenyut gatal meminta untuk dituntaskan.



Akhirnya Kang Ar menyerah.

"Maaf sayang, aku mungkin masih kecapean"

Kang Ar menggeser tubuh telanjangku ke tengah tempat tidur, dia ingin rebahan.

Aku beringsut ke tengah, terlentang diantara Fadil dan Kang Ar.

"Sekali lagi maaf bunda..... nanti kita coba lagi ya"

Aku hanya bisa diam dengan rasa kesal dipendam di hati. Saat ini tidak ingin kulihat lagi wajah Kang Ar yang sedang memelas-melas. Nafsuku tengah naik ke ubun-ubun setelah dirangsang tadi. Kalau perempuan sudah nafsu, tahu sendiri kan bakalan lama hilangnya.

Dengan rasa kesal, aku beringsut lebih merapat ke Fadil, dengan gerakan yang lebih keras seperti anak kecil sedang ngambek menjauhi kang Ar

Rupanya gerakanku membuat tempat tidur bergoyang keras.

Fadil bangun.

Tanganku serabutan mencari selimut untuk menutup tubuh telanjangku.

Tapi entah dimana selimut sialan itu.

Kang Ar hanya terduduk diam, bukannya membantu mencari selimut.

"Bunda......" ujar Fadil.

Karena tak kutemukan selimut itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Fadil yang sedang memandang tubuhku.

Kupegang kepalanya dengan posisi tubuhku menyamping menghadap ke tubuhnya.

Aku berusaha menundukkan kepalanya agar tidak melihat ke tubuhku.

Kupaksa kepalanya menghadap wajahku, lalu kuajak dia bicara.

"Fadil bobo lagi yuk...." bujukku.

Kang Ar duduk saja diam memperhatikan.

Kepala Fadil mau terangkat lagi, dia mungkin masih penasaran dengan apa yang dilihatnya.

"Eeeh.... Fadil, sini lihat bunda..... mau bunda ceritain ?"

"Mau bun......" perhatiannya mulai bisa teralihkan. Fadil memang suka sekali diceritakan dongeng.

"Yaudah.... sini .... matanya merem.... bobo lagi yaaa.... Bunda mau cerita"

Fadil sekarang malah memelukku yang telanjang, kepalanya menelusup ke dadaku.

Matanya terpejam, tapi tubuh Fadil rapat di tubuhku. Wajahku memerah, jengah.



"Pada jaman dahulu kala ada seekor kelinci..........."

Aku mulai bercerita, berusaha membuat Fadil tidur lagi. Aku dan Fadil berhadap-hadapan, dan punggungku membelakangi Kang Ar. Tau rasa deh tuh aku cuekin dia. Aku masih kesal karena dia tidak mampu melakukan tugas negara.

Tak lama kemudian Kang Ar berbaring di tempat tidur, tepat di sebelah punggungku yang menghadap ke arahnya.

"Sang kelinci ingin menyeberangi sebuah sungai yang penuh buaya......."

Fadil mendekapku lebih erat. Telapak tangannya di punggungku, mengelus kulit telanjangku.

Kang Ar sekarang menghadap tubuhku, seluruh tubuhnya rapat ke tubuhku.

"Kelinci terus kebingungan bagaimana caranya menyebrangi sungai itu" aku terus saja bercerita untuk membuat Fadil tertidur. Memang saat itu juga Fadil mulai terpejam matanya, menikmati cerita yang aku bacakan.

Kaki Fadil bergerak, naik ke sisi pahaku sehingga posisi aku yang saling berhadapan dengan Fadil seakan-akan dihimpit oleh kakinya yg sekarang menjepitku. Tak lama kemudian suara Fadil terdengar turun naik teratur. Dia mulai tidur.

Kang Ar saat itu lebih merapat ke tubuhku, dan kurasakan sesuatu yang sangat keras menempel di pantatku. Loh loh loh.... kok sekarang kejantanan Kang Ar menjadi tegang sekali seperti tongkat kayu ? padahal aku tidak melakukan apa-apa.

Satu tangan Kang Ar sekarang ikut memelukku, telapaknya hinggap di payudaraku yang masih gatal. Begitu ia melakukan remasan, aku rasakan getaran nikmat sampai aku mengerang.

"Nggggggghhhhhhh"

Sekarang satu kaki Kang Ar naik pula ke pahaku, dan menghimpit.

Bayangkan, aku saat itu dihimpit oleh dua orang lelaki.

Yang satu Fadil, menghimpit dan memelukku dalam lelap tidurnya.

Yang satu Kang Ar, suamiku yang menghimpit dan memelukku dalam nafsunya.

Aku risih.

Kuangkat kaki Fadil dan menyingkirkannya dari tubuhku sampai akhirnya terlentang dan pelukannya terlepas dari tubuh telanjangku yang sedang didekap Kang Ar.

"Biarin sayang.... ngga apa-apa..... nanti dia kebangun kalau ngga dipeluk" Kang Ar berbisik di telingaku. Aku jelas saja mengernyit, maksudnya gimana coba ?

"Ayah gimana sih..... masa sambil dipeluk Fadil....."

"Iya ngga apa-apa...." jawabnya singkat.

Nggak mau lah aku, jadi aku tidak menurut.

Dalam posisi tubuh menyamping, Kang Ar menaikkan sebelah kakiku hingga aku mengangkang.

Kurasakan sesuatu yang keras dan tumpul mencari-cari celah hangat di selangkanganku yang basah.

Tap...

Ujung kejantanannya menemukan celah hangat yang tengah berdenyut itu.

"uhhhhhh......" aku terangsang luar biasa.

Kutunggu dan kutunggu..... hingga akhirnya sesuatu yang keras itu perlahan menyeruak menembus celah basahku yang tengah gatal.

"Ngggggggggggggghhhhhhhhh" nikmat sekali.

Sepertinya urat-urat di vaginaku yang tengah tegang mendapatkan sodokan yang membuatnya bret-bret-bret terputus. Urat-urat itu kini hanya merasakan nikmat.

Masih dala posisi menyamping, Kang Ar mulai bergerak maju mundur perlahan.

Dulu aku sering juga disodok dari belakang dalam posisi menyamping seperti ini. Ini posisi ketiga favoritku setelah posisi aku diatas, dan posisi dogi. Soalnya posisi ini santai sehingga tidak membuat capek.



"Oooh bunda..... memek kamu ...... enak banget....." rintih Kang Ar. Perkataan 'memek' itu terdengar jorok sekali di telingaku dan rasanya kasar sekali. Sepertinya ucapan 'memek' itu hanya cocok untuk pelacur, bukan untuk wanita solehah seperti aku.

Aku diam saja, tak menanggapi ucapannya. Hanya menikmati sodokan demi sodokan di celah basahku.

Kang Ar terus menyodokku dari belakang sambil mulutnya menceracau mengucapkan kata-kata kotor dan jorok.

"Shhhh bunda..... lembut sekali..... memek bunda....." jengah sekali aku dibuatnya. Ingin kuhentikan semua ucapan joroknya.

"Memek bunda udah disodok berapa kontol siiiih....?" tanya nya.

Ingin aku marah, tapi selangkanganku berkata lain...... dan nafaskupun tak mampu kuatur sehingga suara yang keluar dari mulutku hanya "Hik.. .hik...hik...hik...."

Kang Ar terus bergerak maju mundur, dan aku menikmatinya. Tapi kenikmatan itu kenapa lama kelamaan berkurang intensitasnya ? Dan semakin lama kok rasanya genjotannya semakin pelan.

Plop...

Benda itu terlepas.

Kang Ar berusaha memasukkan lagi.

Tapi kusadari dia kesulitan.

Rupanya makin lama kejantanan Kang Ar makin lemas, hingga sekarang posisi kejantanannya sudah setengah tiang lagi.

Loh kok ?

Apa aku kurang menarik ?

Kang Ar berusaha lagi.

Tapi sia-sia.

Kejantanannya terkulai lemas.

Ya ampuuun......

Aku kembali merasa kesal setengah mati, Jadi aku berusaha menghentikan semua usaha Kang Ar. Tanganku mendorongnya.

"Udahlah yah" ujarku.

"Aku masih mau bunda" bisiknya.

"Iya tapi letoy begitu......." aku bersungut-sungut.

Kang Ar diam.

Akupun diam.

Beberapa detik kami saling bungkam dan diam.

"Coba ganti posisi, bun" pintanya.

"Ah udahlah" aku masih kesal.

"Pliiis..... ganti posisi yah ?"

Aku diam, dan Kang Ar bangkit dari tidur menyampingnya. Sekarang ia berlutut disela pahaku.

"Telungkup, sayang" pintanya sambil menarik salah satu kakiku, lalu tubuhku ditelungkupkan.

Tahu tidak, setelah ditelungkupkannya tubuhku, dia turun dari tempat tidur dan berdiri disamping Fadil sambil menyeret kedua kakiku. Aku kaget karena posisiku sekarang ini telungkup diatas tubuh Fadil dengan posisi menyilang seperti tanda plus + terhadap tubuh fadil. Jadi bagian selangkanganku menindih selangkangan Fadil. Sementara kepalaku di samping ranjang bagian kiri, dan Kang Ar berdiri di samping ranjang bagian kanan.

Aku sedikit meronta.

"Diam sayang.... pliiiis" kata kang Ar menenangkanku.

Beberapa saat kemudian kurasakan di selangkangan Fadil yang bercelana pendek itu sesuatu mengeras karena tertindih oleh selangkanganku.

Kepalaku menoleh ke belakang, menatap Kang Ar. Dia tersenyum. Kulihat kejantanannya tegang lagi dengan amat sangat.

Oooh.... ya ampun.... aku paham sekarang.

Posisi seperti ini membuat kang Ar terangsang.

Dia menyukai kalau aku dan Fadil saling tindih.

Aaaaaaah.

Kakiku direntangkan lalu ia menghampiri dan.... bless.. kejantanan yg keras itu menerobos celah basahku.

"Oooooooh........ aaaaaah" aku mengerang nikmat.

"Bundaaaaa..... enak bangeeeet rasanyaaaaa" Kang Ar kembali meracau tidak jelas.

Aku hanya "Hik hik hik hik hik" setiap kali kejantanan itu melesak sampai dalam.

Kurasakan suatu benda menjadi sangat keras juga dibalik celana Fadil yang sedang terhimpit. Bukit selangkanganku menekan-nekan benda itu, sementara celah selangkanganku tengah dicoblos coblos dengan kasar oleh Kang Ar.

"Aduh.... ayah......"

"Kenapa bunda..... enaak ?" kami berbicara terengah-engah.

Aku belm sempat menjawab pertanyaannya ketika kemudian Kang Ar berhenti menyodok, lalu menurunkan kedua kakiku ke lantai. Mungkin dia capek juga mengangkat kedua kakiku sambil menyodokkan kejantanannya.

Aku menahan dengan kedua kakiku di lantai, sementara tubuhku masih berada diatas kasur, melintang diatas tubuh Fadil.

Dan aku kaget ketika tiba-tiba Kang Ar memerosotkan celana pendek fadil hingga ke lututnya.

Sebelum aku sadar akan perbuatannya, aku yang tengah nungging diatas tubuh Fadil tiba-tiba digenjotnya lagi. Sekarang genjotannya makin kasar, makin bernafsu.

"Bundaaaa...... enak banget ngentoti memek bundaaaa" dia terengah engah. Keringatnya mengucur deras. Aku sampai terlonjak lonjak kedepan dengan keras.

Setiap kali dia menyodok, tubuhku melonjak kedepan, dan bukit selangkanganku yang berbulu halus itu menekan kejantanan fadil yang sekarang tegang.

Aku tak kuat memikirkannya.

Nafsuku sampai ke ubun-ubun.

Genjotan Kang Ar makin cepat, makin keras, dan makin dalam.

Tekanan bukit selangkanganku ke kejantanan fadil juga makin cepat dan kuat.

Dan tanpa bisa kutahan, aku sampai.

Mataku mendelik keatas, menahan semua rasa yang terlalu nikmat.

Kang Ar makin cepat menggenjot.

Dan.....

Aku kelojotan.

Kenikmatan itu datang bergulung gulung menghangatkan seluruh tubuhku.

Membuaiku dalam puncak nafsu.

"Aaaaaaaaaaaarrrrrrrghhhhhhhh" erangan demi erangan keluar dari mulutku.

Lalu dengan satu genjotan keras terakhir, kejantanan Kang Ar bersarang di vaginaku begitu dalam, terasa membesar.... membesar.... membesar.... lalu

Crat..... cratt... crattt..... sesuatu muncrat menghangatkan rahimku.

Kami menikmati denyutan demi denyutan yang nikmat itu sampai ke titik penghabisan.

Celah vaginaku terasa sangat lengket dan hangat dilumuri muncratan air mani Kang Ar yang luar biasa banyak. Sudah berapa lama Kang Ar tidak keluar ?

Lalu dengan sisa tenaganya, Kang Ar menggelosoh di lantai. Kejantanannya berlumuran air mani dan cairan vaginaku yang bercampur menjadi satu.

Akupun mengikuti Kang Ar, ngelumbruk tanpa daya di lantai.

Cairan hangat terasa mengalir keluar dari celah basahku yang masih saja berdenyut nikmat perlahan.

Kami kehabisan tenaga hingga akhirnya tertidur berdua di lantai dengan posisi saling peluk.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd