Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cinta Yang Tak Biasa

Bimabet
Layangan Putus Benang

"Mbak Sri.. ini pesanan baksonya", kata Dudun sambil meletakkan semangkok bakso di meja kerjaku.

Untuk menghilangkan sakit kepala, dari tadi sore aku sudah membayangkan makan semangkuk bakso panas dan pedas. Maka dari itu menjelang sholat Isya aku minta Dudun, office boy di toko pak Hamid untuk membelikan aku Bakso Wonogiri yang ada di seberang jalan. Wiih langsung ngiler aku.

Tapi...
"Lah, kok pakai mie kuning ? kan tadi mbak udah bilang pakai mie putih aja Dun. Tadi ngga dengerin mbak ngomong atau gimana sih ? makanya punya kuping itu pake yang bener Dun, jangan cuman jadi penghias muka doang," aku kesal karena bayangan makan bakso yang enak ternyata tidak sesuai dengan permintaan. Ngeselin banget si Dudun.

Ih hari ini semua serba ngeselin. Menambah sakit kepalaku. Dari tadi aku sudah ngomel berkali-kali sama beberapa orang. Kenapa ya ? apa aku lagi sensi ? sensi kenapa ? Aduuuuh sakitnya kepala ini. Tapi kasian juga ya si Dudun.

"Astagfirullah........" kataku sambil mengusap wajah. Berharap segala amarah dan rasa kesal ini hilang. Dosa aku kalau marah-marah terus. Dudun serba salah kelihatannya.

"Maafin mbak ya Dun... mbak lagi spanneng nih, sakit kepala" kataku sambil menatap dudun yang berdiri di hadapanku.

"Iya mbak, ngga apa-apa kok. Mungkin mbak lagi banyak masalah kali..... mangkanya cepetan cari suami mbak.... masa cantik-semok gini ngga ada yang mau... hehe." Si Dudun malah merayu.

"Yaudah nih baksonya buat kamu, mbak udah ilang lapernya. Mbak mau sholat dulu yah".


*********

Mengingat ucapan si Dudun aku merasa sedih. Ibarat motor, aku ini seperti motor yang sudah menjelang tua. Bodi masih kencang dengan cat mulus tanpa dempulan karena ditutup terus. Tapi tak ada yang akan mau serius karena motor-nya tanpa BPKB. Iya, aku janda bodong tanpa surat.

Aku mencoba untuk konsentrasi memohon petunjuk padaNya, tapi apa daya fikiranku melayang-layang kesana kemari. Apalagi didalam kepalaku, tepat di balik mata sebelah kiri rasanya seperti ditusuk paku. Nyutttt.

Belum lagi payudaraku terasa berat, seperti berisi air susu saja padahal aku tidak sedang menyusui. Rasanya tegang dan kencang, dan aku cuma bisa menarik nafas dalam-dalam untuk menahan rasa ingin memeras dan mengeluarkan air susu yang sebetulnya tidak ada. Ya Tuhan, ngilu sekali.

Kuputuskan menyudahi do'a yang dari tadi serasa tidak selesai-selesai karena salah terus dalam bacaan sampai mungkin tiga kali bolak balik muter-muter.
Kubuka mukenah putih yang melekat, dan ku gantung di capstock yang ada di dinding tripleks pembatas musolah kecil di bagian belakang gudang stok pakaian.

Jam yang ada diatas capstock menunjukkan pukul 21:45. Semua karyawan pasti tadi jam 21:00 sudah pulang dan menutup toko. Aku membiasakan diri sholat Isya sebelum pulang supaya kalau sampai di rumah bisa langsung istirahat.

Perlahan kurapikan rambutku yang tergerai ikal sepunggung dengan menggunakan jari. Tak ada cermin disini, jadi hanya bisa kukira-kira saja kerapihan rambut ini, toh nanti kukenakan hijab yang tergerai menutupi seluruh dada sampai pantatku.

Dari sudut mata kulihat sesosok bayangan hitam besar memasuki musolah.
"Astagfirullah..... Pak Hamid... sebentar pak... tunggu diluar... aku belum pakai hijab," sosok itu ternyata Pak Hamid. Apakah dia mau sholat disini ? biasanya dia sholat di ruangannya sendiri. Aku panik mencari-cari hijabku yang tergantung lalu berusaha mengenakannya.

"Ah... Sri... ente belom balik ? Ane fikir sudah ngga ada orang, ane mau ngukur karpet buat ganti karpet musola yang udah belel." katanya. Pak Hamid yang keturunan timur tengah itu main ente-entean melulu dengan siapapun, termasuk denganku.

Mau ganti karpet tapi kok menatap kearah dadaku terus ya, padahal dadaku ini tidak besar dan sekarang sudah tertutup hijab panjang. Jantungku tiba-tiba saja berdenyut cepat. Kulindungi dadaku dengan kedua lengan.

"Iya pak, aku baru mau balik." jawabku sambil melipir melewati tubuh besarnya yang berdiri tegak di pintu mushola. Tubuh kami bergesekan tipis tipis.

"Eh Sri, bantu ane dulu sebentar." pintanya.

"Bantu apa pak ?" tanyaku.

"Tolong karpetnya digulung terus ditaro di rak yang kosong aja."

Aduuuh, Pak Hamid ada-ada saja. Aku sudah ingin cepat-cepat kabur darinya karena selama ini dia selalu mencoba mencari-cari kesempatan denganku. Yasudah, kuturuti saja cepat-cepat biar cepat pulang juga.

Musola ini kecil, hanya cukup untuk dua orang saja. Karpetpun paling hanya berukuran 2m x 2m saja. Tapi jangan ditanya, ketika telah kugulung lalu kuangkat..... ya salam.... berat. Tebal sekali karpetnya.

"Nah taro disana Sri." bukannya dia angkat sendiri, malah cuma nunjuk-nunjuk saja kerjanya Pak Hamid. Padahal badan segede itu pasti gampang saja mengangkat karpet berat ini.
Dibanding tubuhku yang kecil langsing ini, apalah arti tenagaku. Tapi pak Hamid tak menggubris, dan hanya menunjuk ke arah rak di gudang.

Terengah-engah aku memangku gulungan karpet yang sudah mulai lembab dan bau apek. Seketika aku sampai di rak yang dimaksud, nafasku tak kuat lagi. Kuletakkan dengan sekaligus di rak sampai besi-besinya berderit-derit. Malang, karpet berat itu malah ikut menarikku kearah rak. Posisi tubuhku jadi merunduk karena kedua tanganku terbawa dan terjepit gulungan karpet di rak.

"Aduh...." jeritku mengaduh.

Tiba-tiba sepasang lengan kekar berbulu melintas di kanan dan kiri tubuhku yang tengah merunduk. Kedua tangan itu mengangkat karpet dan membebaskan aku dari jepitan.
"Hati-hati Sri....." suara serak dan berat terdengan di belakangku, dekat. Saking dekatnya hembusan nafas hangat terasa di tengkuk walaupun aku mengenakan hijab panjang.

"Eh......" hanya itu yang bisa aku ucapkan di tengah kekagetan.

Lengan itu tak beranjak dari kiri kanan tubuhku walaupun aku sudah terbebas dari himpitan karpet. Malah lengan itu sekarang merapat, lalu merengkuh tubuh ini. Aku gemetar, dan aku bingung harus bagaimana, karena kagetku tadi belum pulih sehingga tenagaku pun belum kembali.

Mungkin Pak Hamid menyangka bahwa diamku adalah suatu penerimaan atau penyerahan diri. Kedua lengan itu akhirnya memelukku. Posisi pak Hamid rapat di punggungku.

"Lain kali hati-hati Sri." Katanya dengan suara serak tertahan. Nafasnya memburu.

Jantungku berdegup keras, tenagaku serasa hilang entah kemana. Aku lemas karena rasa takut.
Apalagi saat itu kedua telapak tangan Pak Hamid merayap ke dadaku.

"Kamu jangan pulang dulu Sri....... bantu ane dulu ya...." pintanya dekat sekali dengan telingaku.

"Ba....bantu..a...apa.. Pakkk ?" kuberanikan mengeluarkan suara.

Pak Hamid tak menjawab pertanyaanku, melainkan kedua telapak tangannya yang telah sampai di dadaku mulai meremas perlahan kedua payudara yang terlindung berlapis-lapis kain yang kukenakan.
Merasakan bahwa payudaraku terlindung banyak lapisan, dia sedikit mengencangkan remasannya.

"Akhhhhhhh" suara desis yang tertahan di tenggorokanku tak sengaja keluar.

Dari tadi siang, payudaraku terasa ngilu dan bengkak. Tapi remasan kedua tangan Pak Hamid ternyata tidak terasa sakit, malah seperti melegakan.

"Ngggh....." diluar sadar, aku merintih.

Kedua payudaraku merasa tanggung dengan remasan itu, rasanya seperti ingin diremas lebih keras. Tak disangka-sangka, memang begitulah yang dilakukan Pak Hamid terhadap kedua payudaraku. Meremas cukup kuat.

"Ngggggggghhhhh...." rintihanku makin panjang.

Puting payudaraku terasa mengencang, dan nagih untuk diremas lebih keras. Tapi otakku berkata lain.

"Sri... ini masalah", suara di otakku berkata.

Aaaaakh... nikmat sekali remasan Pak Hamid, ngilu-ngilu-sakit di kedua payudaraku serasa hilang, digantikan dengan ngilu-ngilu-gatal.

"Sri....inget sri.... ini akan jadi masalah baru nanti," Suara di kepalaku kembali mengingatkan.

Aku sedikit tersadar.
Astagfirullah......
Apa-apaan ini ? kenapa aku jadi menikmati ?

"Cepat sri.... lari." Suara kepala itu memerintah dengan nada tegas.

Aku berontak, berusaha lepas dari pelukan.
Pak Hamid bertahan dan mendekap makin kuat. Kedua tangannya malahan sekarang merogoh ke balik hijab yang kukenakan.

"Pak..... jangan pak......" aku memelas padanya.

"Tolong Sri.... sekali saja.... Ana sudah lama ngga dapet.... kan kamu tau, istri ana sakit sudah setahun." Pak Hamid tak kalah memelasnya.

Memang, selama aku bekerja beberapa bulan disini belum pernah sekalipun aku melihat istri Pak Hamid. Katanya sakit jantung dan sudah operasi pasang ring di Singapura, sehingga beliau hanya diam saja di rumah.

"Jangan pak.... tolong lepas saya," suaraku sekarang lebih kencang. Aku berontak lebih kuat. Dan akhirnya dekapan Pak Hamid mengendur.

"Ayo cepat sri, lari sekarang." suara di kepalaku memberi semangat untuk memanfaatkan kesempatan ini. Pelukan Pak Hamid sekarang bukan hanya mengendur, tetapi telah lepas.

Alhamdulillah.... aku bersyukur. Kucoba menggerakkan kedua kaki untuk berlari menjauh.

Ah... kedua kakiku diam.

"Sri... nunggu apa lagi kamu ?" suara di kepalaku seakan tak percaya.

Kedua kakiku macet tak mau gerak. Rasa ngilu di payudaraku kembali menyeruak berdenyut denyut. Putingku yang tegang terasa gatal setengah mati.

Sesaat aku tertegun, bingung dengan tubuhku yang tak mau nurut dengan perintah kepalaku.

Pak Hamid bergerak kembali di belakangku. Lampu gudang yang temaram membuat bayangan Pak Hamid bergerak-gerak. Satu tangannya menyentuh pundakku, dan mendorong.

"Jangan....." desisku, tetapi tubuhku mengikuti dorongan tangan Pak Hamid.

Posisi tubuhku berdiri menungging, seperti rukuk. Satu tangan lain milik Pak Hamid memegang tangan kiriku.

Sretttt.....
Tangan Pak Hamid yang lain menyingkap gamis panjangku yang menjurai, hingga ke pinggang.

Srettt......
Kali ini legging yang aku kenakan melorot sebatas lutut, beserta celana dalam berenda warna putih.

"Sri..... LARI !" suara didalam kepalaku berdengung keras. Tapi tubuhku tak mau bergerak.

Pak Hamid mendekat.
Sreeet...sreeet.. terdengan ritzluiting celananya dibuka.

Tak lama kemudian sebentuk benda tumpul seukuran pergelangan tanganku terasa keras menempel di pantatku yang sedang nungging.

"Dasar kamu Sri..... ingat akibatnya nanti." suara di kepalaku mengancam.
Tubuhku tak berdaya, entah kenapa.

Benda besar dan hangat itu menggelisir, ke selangkanganku yang ngilu. Pantat pak Hamid terasa mendorong.

"Mmmmmmmmhhhhh...." bibirku mendesis otomatis ketika ujung benda keras yang hangat itu menggelisir menyentuh klitorisku yang kini terasa gatal.

"Naah, gitu Sri....." Itu suara Pak Hamid, terdengar berat dan serak.

Pantat Pak Hamid bergerak-gerak. Kejantanan Pak Hamid yang keras terasa menyelip di sela-sela kedua pahaku, tepat di selangkangan. Bibir vagina dan klitorisku bergesekan dengannya.

Tuhan.... kenapa aku malah menikmati gesekan ini?

Kalau diingat, memang sejak tadi berangkat kerja aku merasa kentang akibat menyadari bahwa Fadil telah menggerayangiku waktu aku dipijatnya.

Kewanitaanku menjadi lembab akibat bergesekan dengan kejantanan Pak Hamid.

Sekarang Pak Hamid ikut merunduk, lalu meraih kedua payudaraku dengan genggamannya yang kuat meremas.

Buat para lelaki, kuberi suatu rahasia.
Untuk menaklukkan wanita, cukuplah berusaha menguasai payudaranya dulu dengan lembut. Itu adalah pintu akses menuju ruang utama.

Jika wanita diam ketika diremas perlahan payudaranya, tandanya dia sedang bingung antara melawan dan menikmati. Biarkan seperti itu beberapa saat, lalu berikan kejutan dengan remasan yang lebih berisi sambil sedikit memainkan putingnya dengan jari. Dia akan terbang melayang dan tak akan menyadari kalau tanganmu yang lain menggerayang kemana mana.

Itulah yang aku rasakan saat itu ketika kedua tangah Pak Hamid memeras manja dan memainkan putingku di balik gamis yang tengah tersingkap. Fikiranku melayang ke awan, getaran-getaran aneh yang melenakan berkelenyar di seluruh ujung safarku. Perlahan tapi pasti, kewanitaanku bertambah lembab dan akhirnya cairan bening yang licin mengalir deras membasahi. Beberapa titik cairan kewanitaanku bahkan mengalir ke kedua paha.

Samar di sudut kesadaranku terdengar suara berbisik.
"Tenang ya Sri....." tanpa kupahami apa maksudnya.

Hingga tiba-tiba.
Sleppp !

Sebuah benda tumpul sebesar pergelangan tanganku melesak, menyeruak sedalam 3cm. Bibir kewanitaanku terkuak merekah maksimal hingga urat-urat saraf yang gatal itu seakan putus tercabik.... pret pret pret pret.

"Hhhkkkkkkk." Nafasku tercekat dan berhenti di tenggorokan.

Tuhan....
Sanggupkah aku menerimanya ? aku mulai panik. Tak terbayangkan jika benda itu masuk seluruhnya ke tubuhku dibawah sana. Aku berontak.

"Aaaaaah......hmmm.... " Pak Hamid menggeram, hingga aku diam.

"Tenang....Sri...." sambungnya.

Gerakan memberontakku melemah ketika Pak Hamid menarik benda itu.

"Plep." Bibir kewanitaanku meletup ketika benda itu keluar. Aku menarik nafas lega.

Tapi tak lama, karena pantat Pak Hamid bergerak maju lagi dengan bertenaga.

"SLEPPPP !!!" dia menghunjamkan dengan cepat.

"AAAaaaaaaahhhhhh", teriakanku dibarengi dengan berontaknya aku, berusaha lepas dari benda itu. Tetapi lututku begitu lemah dan bergemetaran. Aku berpegangan pada besi-besi di rak gudang.

Pret pret pret pret pret pret.....

Entah itu bulu kewanitaanku yang tercerabut, ataukah urat-urat sarafku yang putus makin banyak dan terkoyak.

Kejantanan Pak Hamid melesak sedikit lebih dalam. Kewanitaanku tak mampu menampungnya, dan aku merasakan beberapa keperihan disamping kenikmatan yang berkelenyar.

"Barangmu legit banget Sri." desis Pak Hamid.


Seakan tersadar dari mimpi indah, ucapan Pak Hamid barusan telah membangunkanku.

Aku hanya dianggap barang olehnya !

Rasanya direndahkan sekali martabatku.
Aku yang tadi dipaksanya, dirayunya, hingga aku menumbalkan rasa maluku sebagai seorang akhwat ternyata tak dihargainya sedikitpun. Aku hanya barang semata olehnya. Barang, benda mati, yang digunakan hanya untuk kebutuhan tertentu. Jika barang itu rusak, pasti dibuang.

Bagaimana jika kewanitaanku rusak oleh kejantanan Pak Hamid ?

Aku berontak hebat.

"D... d... diam Sri..." desisnya lagi sambil dengan kuat melesakkan kejantanannya lebih dalam.

"Tolong pak..... lepasin.... lepasin... lepasiiiiin"

"Sri.... jangan gerak..... ah...ah..ah...".

Sepertinya gerakan memberontakku malah membuat kejantanannya merasa dipijit-pijit dan bertambah keenakan.

"Aduh.... Sri... Stop.... stopp..."

Lucunya, kami sama-sama menghendaki hal ini berhenti.
Aku ingin Pak Hamid berhenti melampiaskan nafsu syahwatnya pada 'barangku'.
Dan Pak Hamid ingin aku berhenti bergerak karena membuat kejantanannya merasa terlalu nikmat.

"Oh...oh... oh.............. Yyyyyaaaaaaaa", ada teriakan penyesalan dari mulut Pak Hamid ketika dia mendekap erat tubuhku dari belakang dan berusaha menekan ujung kejantanannya lebih dalam untuk meraih kenikmatan. Tetapi Pak Hamid tak mampu bertahan. Mungkin karena telah bertahun-tahun dia tak mendapatkan jatah dari istrinya... atau siapapun.

Tubuhnya menghentak hentak, berkelojotan di belakangku.

CROTTTTT !
CROtttt !
Crottttt !
crot... !
crt !

Gumpalan cairan kental demi cairan kental yang panas menyemprot dengan keras di celah kewanitaanku yang tak mampu ditembusnya semua. Cairan itu panas mengalir menelusuri celah vaginaku yang belum berhasil dimasuki sepenuhnya. Mengalir menuju rahimku.

Pak Hamid terus memuncratkan semua cadangan benihnya.
Ia melolong lolong tak karuan, mungkin dia sedang menyesali kenapa kenikmatan yang luar biasa itu begitu cepat datang.

Pak Hamid mendapatkan kenikmatan surgawi dari 'barangku'.
Dan aku mendapatkan perih, sakit, kesal, malu, marah, dan penyesalan.
Kepalaku makin sakit.

Tanpa berfikir lebih panjang aku segera lepas dari pelukannya.

"Plep" kewanitaanku bunyi lagi seperti botol yang baru dilepas tutupnya.

Segera benih benih yang dikeluarkan Pak Hamid mengalir deras keluar merambati kedua paha dan kakiku, tumpah ke lantai gudang.

Aku menaikkan celana dalam dan legging yang merosot sampai di lutut.
Kurapikan gamis warna peach yang kukenakan hari ini, dan lari pontang panting keluar.

"Sri...... Sri !" panggil Pak Hamid yang tengah terduduk di lantai tanpa mampu mengejarku.


*********

Jam menunjukkan waktu 22:30 ketika aku sampai di kontrakan.
Kamar mandi adalah tujuanku.

Kubuka seluruh pakaian lalu mandi berlama-lama dan menggosok seluruh tubuh dan berusaha mengeluarkan seluruh benih yang tadi disemprotkan Pak Hamid kedalam kewanitaanku yang perih. Air mata bercucuran di sela-sela guyuran air di kepala.

Entah, apa arti air mataku saat itu.
Penyesalankah ?
Rasa marahkah ?
Kecewakah ?

Aku tak mengerti.
Tapi saat ini, aku mengerti apa yang sebetulnya kurasakan saat itu hingga membuat aku menangis. Tubuhku merasa tak terpuaskan dan kecewa serta marah karena Pak Hamid tiba-tiba saja kelojotan sebelum aku merasakan kenikmatan.

Namun, otakku berfikir bahwa itu seharusnya tak dilakukan oleh Pak Hamid. Dia memaksaku, memperk*saku, walaupun hanya beberapa detik.

Dan Hatiku kecewa dengan bentroknya tubuh dan otakku. Aku diperk*sa tapi aku sempat menginginkannya dan menikmati beberapa detik itu. Akhwat macam apa aku ?

Apakah semua wanita pada dasarnya menikmati ketika diperk*sa?
Paradoks yang tak berujung, otak menolak, tubuh menginginkan.

"Bunda......" suara Fadil memanggil.

Ketukan lemah terdengar di pintu kamar mandi.

"Bunda kenapa....." suara Fadil terdengar khawatir.

"Sudah aku bilang sejak tadi kan? seharusnya kamu lari darinya, malah kamu menyerah dan menikmati." Suara di dalam kepalaku menyalahkan.

"Bunda.... " Suara Fadil terdengar tambah khawatir.

"Tuh kan... anak semata wayang yang katanya kamu sayangi sekarang merasa khawatir." Kata suara kepala itu lagi.

Aku tambah sedih.
Baru kusadari, begitu perhatian dan sayangnya Fadil padaku. Untuk apa aku menyerah pada rayuan lelaki ?
Cukup Fadil yang harus kupikirkan saat ini sampai aku mati nanti.
Aku tak butuh lelaki !

"Ah masa.... tapi tubuhmu pengen begituan juga kan" suara di kepalaku seperti ngeyel dan menertawai kelemahanku sebagai manusia.

"PERGIIIIIIII !!!!!" Teriakku pada suara kepala yang kuanggap syetan pengganggu itu.

"Bun.... jangan marah sama Adil..... kenapa bunda marah dan nyuruh Adil pergi ?" Fadil bertanya dibalik pintu.

Aduh.... aku bukan bermaksud marah sama kamu sayang..
Hatiku menyesal telah berteriak.

Dengan berlilitkan handuk di dada, aku keluar dari kamar mandi dengan mata basah.
Fadil berdiri disana, kebingungan.

"Aduh nak.... bunda ngga marah sama kamu" dan kami bertatapan. Aku kasihan sekali melihat dia kebingungan.

Aku memeluknya erat. Dia, Fadil, satu-satunya yang berharga buatku. Akan kuberikan seluruh harta, tenaga, fikiran, dan segalanya dalam hidupku untuknya.

"Bunda kenapa nangis ?" tanya Fadil sambil kami berjalan berpegangan tangan menuju kamar tidur.

"Bunda punya pengalaman buruk di tempat kerja." jawabku tanpa memerinci apa kejadiannya.

"Bunda dimarahin bos ?"

"Ya semacam itulah." jawabku sekilas.

Fadil duduk di kasurnya yang digelar di lantai sebelah kanan.
Aku membuka lemari plastik dan mengambil celana dalam, beha, dan daster tidur yang panjangnya sepaha.

"Bunda mau ganti baju dulu, Dil" tubuhku berbalik padanya sambil secara tak langsung memintanya keluar kamar.

"Adil balik ke belakang aja munggungin bunda, sambil bunda cerita kenapa tadi di toko." Tubuh Fadil memunggungiku.

Agak risih, tapi akhirnya kukenakan celana dalam longgar yang nyaman untuk kemudian kulepas handuk yang melilit di tubuh. Payudaraku yang segenggaman tangan mulai kelihatan tidak sesegar dulu waktu remaja, tapi masih menarik. Segera kukenakan beha yang tak terlalu ketat. Katanya celana dalam dan beha yang ketat tidak baik untuk dipakai tidur.

"Bunda tadi mau diperk*sa pemilik toko...." aku mulai bercerita ketika mengaitkan kancing beha di punggung.

"HAH ??? " Fadil terkaget, dan dia berbalik ke arahku yang sedang berdiri hanya mengenakan celana dalam dan beha.

Mata Fadil langsung tertuju ke dadaku, tatapannya nanar, lalu turun perlahan ke selangkanganku. Dia terlihat menelan ludah.

"Iya, tadi bunda hampir aja...." ucapanku belum lagi selesai, Fadil langsung bangkit dari duduknya dan menuju ke arahku serta memelukku.

"Sabar ya bun.... sekarang bunda keluar kerja aja, ngga usah kerja disitu lagi." katanya sambil memeluk dan mengelus rambutku yang basah.

"Iya Adil... bunda juga ngga mau kerja lagi disitu... tapi bunda sekarang mau pakai daster dulu ya" aku mendorong sedikit tubuhnya.

"Ah ngga pakai daster juga ngga apa-apa kalo buat Adil mah." katanya sambil tersenyum.

"Ih.... anak bunda genit." kataku mencubit perutnya.

"Ih... kan Adil diajarin genit sama siapa hayo ?"

Ah iya..... aku yang salah. Tapi aku tak berkomentar.

Kukenakan dasterku perlahan dihadapan Fadil yang terus menatap lekat. Aku sedikit risih, tapi kubiarkan saja ia menatapku.

"Sini bun, ngobrol yuk." Tangan Fadil menarikku ke kasurnya yang sebetulnya hanya cukup buat seorang.

"Kita ngobrol sambil tiduran, bun. Udah tengah malem nih." katanya lagi.

Aku nurut. Lalu kami rebahan bersisian di kasur sempit.

"Bunda tidur miring kaya Adil aja biar ngga sempit."

Kami rebah bersisian, berhadapan.

"Adil mau tanya.... tapi bunda jangan marah." dan aku mengangguk, mengiyakan.
"Kenapa dulu kita melakukan itu bun ? tapi sekarang nggak ?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Dan akupun bercerita tentang alasan-alasanku kenapa dulu melakukan itu, dan sekarang tidak . Kujelaskan bahwa aku ingin dia hidup normal kembali setelah dia hilang ingatan, dan setelah dia sembuh aku juga ingin dia normal dalam menjalani hidup. Bahwa bagi agama, adat, aturan, hubungan seksual ibu-anak itu terlarang. Tujuanku hanya ingin dia normal.

"Normal itu apa sih bun ? kalau kita saling menyayangi, kenapa peduli sama pendapat orang lain ? toh mereka tidak pernah membantu kita."

Benar juga ya.

"Tapi bunda nggak mau kamu rusak moral, Dil"

"Tapi bunda juga butuh kan ?" pertanyaan Fadil menusuk. Aku tak menjawab.

Setengah berbisik aku bertanya perlahan.
"Adil pengen ya ?"

Fadil diam lama.
Lalu mengangguk.
Aku berfikir sebentar.

"Adil kan anak bunda...." aku mulai beralasan.
"Dan dulu Adil bunda susui waktu masih bayi" aku meneruskan.
"Dan... kalau Adil mau menyusu sekarang, ngga ada salahnya" ucapanku yang barusan membuat Fadil tersenyum.
"Tapi cukup itu aja ya... ngga ada yang lain-lain" Wajahnya memberengut kecewa.
"Adil boleh sambil eeeeh.... itu.... eeeh.... ngocok." Sambungku, membuat dia sedikit berfikir, lalu mengangguk.

Satu tangan Fadil menahan kepalanya, tangan yang lain memegang lenganku.
Wajah Fadil mendekat ke wajahku.

"Loh kok mau nyium bibir bunda ?" aku protes. Dia menghentikan niat menciumku, tapi tangannya merayap ke punggungku.

"Yaudah, Adil nyium dada bunda aja ya." katanya pasrah.

Tangannya naik ke bahuku, melorotkan sebelah tali dasterku.
Perlahan sebelah dadaku yang putih terbuka dari lindungan kain daster.
Adil mendekatkan wajahnya ke dadaku. Nafasnya terasa hangat.

Cup....
Dia mencium gumpalan dada bagian atas yang kenyal.
Aku merinding.

Fadil terus melorotkan sebelah tali dasterku tapi tertahan karena talinya tidak cukup panjang.

"Ngga bisa bun." Katanya.

Sejenak aku berfikir.
Akhirnya aku terlentang, dan kutarik ujung dasterku dari bawah.
Mata Fadil melotot memandangiku yang perlahan terbuka dari paha, selangkangan, perut, dan akhirnya dadaku yang berbeha.

Dia menelan ludah berkali-kali.
Aku menarik behaku keatas dada.
Dua daging kenyal terbebas.

Dan di rumah kontrakan sederhana itu, seorang ibu tengah dilahap tubuhnya oleh mata sang anak dengan penuh nafsu. Pandangannya nanar kesana kemari merajalela.
Sebentar memandang ke gumpalan kenyal di dada.
Sebentar memandang ke gundukan indah terbungkus celana dalam dibawah sana.

"Katanya mau nete ?" tanyaku.

Tubuh Fadil mendekat, rapat.
Satu tangannya gemetaran menyentuh buah dadaku yang bebas.
Kurasakan gemetarnya jemari Fadil, merayap, menekan-nekan kenyalnya buah dadaku yang bening berhias urat hijau samar.

Fadil menggenggamnya.
Aaah.... aku merinding.

Fadil meremasnya lembut.
Kudiamkan dia menikmatinya.

Fadil memilin puting payudaraku.
Aku memejamkan mata, menahan rasa gatal dan ngilu.

Slurp.....
"Aaaah....." tak terasa aku merintih ketika mulut fadil merapat ke buah dadaku yang lain. Geliiiiiii.

Sebelah payudaraku diremas-remasnya, dan yang lain diemutnya seperti bayi kehausan.
Aku menggelinjang geli, berusaha bertahan.
Lama-lama geli itu hilang dan getar-getar nikmat menyeruak.

Fadil begitu bernafsu melahap putingku yang sekarang tegang.
Tahu tidak, bahwa banyak wanita mengalami orgasme saat menyusui bayinya.
Tidak tahu kan ? iya, itu rahasia kami para wanita.

Aku terlentang, berusaha diam, mempersilahkan Fadil menyusu sepuasnya.
Fadil mulai merogoh celana pendeknya dan tangannya bergerak gerak. Masturbasi.
Hisapan-hisapan Fadil yang rakus, membuat aku mengingat ketika dia masih bayi.
Kuusap rambut di kepalanya penuh sayang.

Fadil terus menyusu bergantian. Kiri, kanan, duadua payudaraku dihisapnya.
Kocokan Fadil di dalam celana pendeknya terlihat makin cepat.
Kupejamkan mata, menunggu saat dia mencapai puncak.
Tapi Fadil berhenti menghisap dan berhenti mengocok, aku membuka mata.

"Bunda, aku boleh buka baju sama celanaku ?". Aku jawab dengan anggukan. Dia bergerak cepat, seperti tak sabar, membuka semua pakaiannya.
Telanjang.
Bulat.

Kejantanan Fadil mencuat. Tidak sebesar Pak Hamid, tetapi terlihat begitu keras dan kokoh. Ujungnya mengkilat berwarna keunguan, pertanda nafsunya sudah begitu memuncak.

Sambil mengocok kejantanannya, Fadil kembali rebah di sisiku, mulutnya kembali menyusu dengan rakus.

"aaah......" mau tak mau aku juga mengerang nikmat. Gatal sekali selangkanganku. Kewanitaanku yang tadi sempat diterobos kejantanan Pak Hamid yang sebesar pergelangan tangan sudah tidak merasakan perih.

Tubuh Fadil makin rapat ke tubuhku. Dia menghentikan kocokan di kejantanannya dan menempelkannya ke pahaku.
Panas.
Keras.

Remasan demi remasan, baik perlahan maupun bertenaga, menerpa daging kenyal di dada ini. Aku merintih-rintih didalam hati. Tak ingin terlalu menunjukkan bahwa aku juga bernafsu.

Suatu ketika Kurasakan nafasku engap.
Kulihat Fadil menindih tubuhku saat kubuka mata untuk mengetahui kenapa nafasku engap.
Kubiarkan saja begitu, tapi aku memejamkan mata lagi sambil diam, pura-pura tak ada rasa.
Malu dan gengsi.

Perlahan kehangatan tubuh Fadil menjalari seluruh kulitku yang bersentuhan dengannya. Dan ini menimbulkan sensasi lain. Sensasi pertemuan dua kulit yang tak mudah dilukiskan dengan kata-kata.

Entah sudah ada berapa belas cupangan di dadaku. Fadil seperti kesurupan.
Meremas, menghisap, membuat cupang, mendekap, menatap.

Sesuatu yang keras menempel erat di selangkanganku.
Bergesekan.

Ooooooh.... aku merintih dalam hati, sambil menikmati.
Pinggul Fadil bergoyang-goyang dan menekan.
Selangkangan kami menempel erat.
Aku basah dibawah sana.

"Bun..... boleh Adil buka celananya ?"
"Eh.... jangan Dil..... begini aja ya."
"Ok bun..."

Tak pernah terpikirkan, bahwa Adil akan menyibak celana dalamku dari samping.
Memang tak membuka celana dalamku sih, jadi aku agak bingung untuk melarangnya.
Sekarang dia sedang menatap selangkanganku yang celana dalamnya tersibak.

"Basah.... bun...." bisiknya, aku tak menjawab. Malu lah.

"Ngggggggggh..........." aku merintih panjang saat satu jarinya mengelus belahan kewanitaanku yang tersibak dari celana dalam.

"Asin.... gurih.... bun...." katanya.
"Husss.... ngapain jari km dijilat ?" sergahku.
"Penasaran sama rasanya... hehehe".

"Udah ah....."
"Eh.... udah gimana ?"
"Udahan aja ya.... Adil main-main sih, jadi lama". Aku protes, tapi protes pura-pura.
"Iyaa.. iyaa bun... bentar lagi...." katanya. Aku diam menunggu sambil memejamkan mata.

Kakiku disibakkan Fadil sampai ngangkang.
Celana dalamku makin lebar disibaknya.

"AAaaaaaaah......ad.... adil... jangan...." cegahku ketika dia menjilati kewanitaanku yang sedang banjir.

Tapi sepertinya Fadil tak perduli, dia terus menjulurkan lidahnya, menyapu-nyapu seluruh permukaan kewanitaanku, mencuwil cuwil ke balik celah.
Laksana tersengat listrik 100 volt, aku terlonjak ketika Fadil menyedot-nyedot klitorisku.

"AAAaaaaaaddddiiil...... udah." Biar gimanapun aku malu.

Adil terus menyedot-nyedot klitorisku.
Aku paling sensitif disana. Kalau dibiarkan seperti ini, aku tak akan bertahan lama. Padahal aku saat ini tidak mau terlihat orgasme menikmati perlakuan Adil. Kuremas seprei di kasur untuk bisa bertahan.

Aku bertahan sekuat tenaga.
Untungnya Adil berhenti dengan sedotannya di klitorisku yang tegang mengencang.
Kutarik nafas lega sambil kembali memejamkan mata.

Tak kusangka, sesuatu yang keras kenyal dan hangat menyentuh klitorisku.
Terpaksa aku membuka mata lagi, dan melihat apa yang sedang dilakukan Fadil di kewanitaanku.

Fadil berlutut diantara kedua kakiku yang mengangkang.
Satu tangannya memegang kain celana dalam yang tersibak, berusaha menahannya tetap terbuka.
Dan satu lagi, memegangi kejantanannya sambil mengusap-usapkan helmnya di klitorisku yang juga tegang mengeras.

"Oh noooo... jangan Dil.... ah... ah... tadi bunda bilang ngga begini.... ah...ahh.." aku susah payah protes.

Bayangkan betapa susahnya aku protes. Aku saat itu didera rasa nikmat yang ngilu, ketika klitorisku digesek dengan cepat oleh helm kejantanan Fadil dengan gerakan kiri kanan kiri kanan, cepat sekali, sangat cepat. Ini membuat pantatku mengempot, menahan rasa yang kian menguat.

"Jangan... ja.. ja.... jangan dil... jangan dimasu...kin..."

"Nggak kok...."jawabnya tenang dengan sesungging senyuman yang aneh.

Ketika gerakan Fadil makin cepat, aku sampai.
Tubuhku mengejang menahan ngilu dan nikmat yang sudah sangat di ujung.
Pertahananku jebol.

Serrrr........
Aku merintih-rintih berkelojotan.
Dari sana, dari kewanitaanku, muncratlah air bening seperti air mancur. Menyemprot ke wajah Fadil yang terpana melihatnya.

Aku mengerang-ngerang menahan deraan kenikmatan.
Dulu, ketika ayah Fadil masih ada, dia seringkali melakukan ini.
Mungkin karena naluri turunan dari ayahnya, Fadil menemukan cara yang sama untuk memuaskanku.

Aku keok, dan terseok-seok menarik nafas yang sulit kuatur.
Ketika seorang wanita orgasme sambil squirt, itu adalah hal paling nikmat tetapi paling menguras tenaga. Seluruh sendiku lemas, seluruh tubuh bergetar merasakan kenikmatan.

Saat Fadil menghentikan gesekan helm kejantanannya, aku masih terus merasakan penderitaan kenikmatan yang tak berkesudahan. Mataku tinggal yang putihnya saja katanya kalau sedang begini.

Akhirnya perlahan penderitaan itu berakhir. Tubuh Fadil basah oleh muncratan demi muncratan squirt yang kukeluarkan. Dan aku tergolek lemah tak berdaya.

Fadil seperti anak keil yang menemukan mainan baru. Dia tak ingin berhenti.
Ditengah ketakberdayaanku, dia kembali menggesekkan helm kejantanannya di klitorisku yang sekarang berasa luar biasa ngilu.

"Udah Diil... udaaah... bunda capeek... " aku memohon sambil tergolek tak berdaya.

Fadil tak menggubrisku, dia malah mempercepat gesekannya.
"Aaaaaaah..... udaaah.... bunda lemeees...." aku merengek rengek di hadapan Fadil yang tengah terpana menyaksikan tubuhku gemetaran didera rasa ngilu.

"Lagi ya bun ?" tanya Fadil. Aku tak mampu menjawab, hanya mampu menatap dan menggelengkan kepala.

Gerakan Fadil dipercepat.
Mataku terbelalak dengan mulut menganga.
Dibawah sana... entah darimana.... kenikmatan itu kembali memuncak dan memuncak.
Aku tersengal-sengal menarik nafas sambil berusaha menahan agar aku tidak orgasme lagi.
Tapi..... Srooot.....
Aku kembali squirt sambil berkelojotan tanpa mampu kutahan. Aku capek luar biasa dan tanpa tenaga, tetapi klitorisku terus merespon rangsangan gesekan helm kejantanan Fadil.

"Aaaaah..... owuowjflksdfru" desisku tak jelas.
Mataku kembali berwarna putih. Tubuh gemetaran didera kenikmatan yang luar biasa. Aku tersiksa dalam kenikmatan.

"Lagi ya bun...." kata Fadil.
Hanya bisa mendengar suaranya, tanpa mampu bisa menjawab, bahkan menggelengkan kepala sekalipun aku tak mampu.

Fadil memerosotkan celana dalamku tanpa perlawanan.
Saat helm kejantanannya kembali menyerang klitorisku, tanpa mampu menolak dan menahan, klitorisku merespon dengan menyambut kenikmatan demi kenikmatan.
Seluruh kasur Fadil kurasa telah basah.
Aku mungkin kehilangan cairan begitu banyak.
Capek, lemah.

"Bun..... " kudengar panggilannya, tapi aku tak mampu apa-apa lagi. Bahkan tak mampu kubuka mata.
"Bun..... " pangil Fadil lagi.

Dan gilanya, Fadil kembali melakukan gesekan di klitorisku. Herannya, klitorisku tetap merespons dan vaginaku menyemprotkan squirt.

"Am...." aku memaksa bersuara.
"Kenapa bun ?"
"Am..... pun..."
"Yaudah, sekali lagi aja ya."

Oh Tuhan, kenapa tubuh ini tak mau bekerja sama dengan otakku ? Klitorisku terus menerus menikmati rangsangan Fadil, vaginaku terus menerus memuncratkan squirt. Sudah berapa kali ? . Aku tergolek lemas, menarik nafaspun nyaris tak mampu.

"Bunda... yang berikutnya buat Adil ya." pintanya. Aku jelas tak mampu menjawab. Seperti pingsan tapi masih sadar.

Aku hanya bisa merasakan kedua kakiku dikangkangkan lebih lebar. Kemudian Fadil menindihku. Sesuatu yang keras menyelinap dengan gampang ke celah kewanitaanku. Basah, banjir, licin, gombyor akibat orgasme berulang-ulang tadi, kejantanan Fadil masuk tanpa perlawanan.

"Bunda..... Adil sayang bunda". Bisiknya di telingaku. Tega banget kamu Fadil, sudah memberikan kenikmatan berulangkali sama bunda tanpa bisa bunda tolak. Bunda tersiksa oleh kamu, bunda tersiksa kenikmatan yang luar biasa. Aku menggerutu dalam hati.

Kejantanan Fadil amblas. Dia membiarkannya diam mengendap lama didalam kewanitaanku, menikmati kehangatan vagina wanita yang dulu melahirkannya. Aku diam tak sedikitpun memiliki tenaga.

Fadil mengusap-usap rambutku dengan penuh sayang, lalu mengecup bibirku.
"Ngh...." hanya itu yang sanggup kuucapkan.

Perlahan tapi pasti, Fadil mulai menggenjot vaginaku.

"Bunda..... Fadil suka vagina longgar bunda..." katanya membuat aku jengah.

Jadi, ternyata vaginaku longgar ? Ya ampun......
Mungkin ini gara-gara tadi Pak Hamid ?
Tapi kejantanan Pak Hamid yang jumbo itu hanya masuk sedikit saja, tidak bisa sampai dalam.

"Enak sekali, jadi lembut otot vagina bunda....." ucapnya.

Fadil bergerak-gerak maju mundur.

"Ah... ah.... ah.... Bun...." katanya sambil terus menggenjot.

"Adil ngga kuat...... " dan genjotannya makin kencang, klitorisku kembali cenut-cenut tanpa dapat kutahan.

"Vagina bunda terlalu enakkkk...." katanya lagi sambil mempercepat dan memperkeras hunjaman.

"Adil.... mau... keluarrrrr".

Aku membuka mata, berusaha memberitahu agar jangan keluar didalam.
Tapi tubuhku tak bertenaga, hanya erangan-erangan tak jelas yang keluar dari mulutku.

"hhh....a...ngan.. ha..lem.." (maksudnya jangan didalem)

Fadil menggecak dengan bengis vaginaku yang sekarang bleweran.
Klitorisku menyambut, dan di suatu titik didalam saluran kewanitaanku, sesuatu tersentuh oleh kejantanan Fadil.
Sesuatu yang menimbulkan kenikmatan orgasme tersendiri.
G-spot.

Saat Fadil memuncratkan cairan benih-benihnya... akupun kembali diantarkan melayang di alam kenikmatan.
Kenikmatan yang diantar oleh kejantanan anak yang dulu kulahirkan dari lubang yang sama dengan yang sekarang sedang dinikmatinya.

Itulah kenikmatan yang terakhir dapat kurasakan dengan sadar, karena setelah tubuhku terlonjak lonjak dan vaginaku empot-empotan tanpa henti dengan memuncratkan squirt, aku pingsan.

Konon menurut cerita Fadil, setelah aku pingsan dia masih dua kali lagi menyetubuhiku. Malah katanya sanggup bertahan cukup lama dibanding tadi yang cuma sebentar.
Sepertinya aku telah membangunkan macan yang tengah tidur.

Aku tak mampu beranjak dari tempat tidur saat subuh tiba.
Seluruh tubuhku sakit.
Kewanitaanku perih.



************

Fadil setiap hari menyetubuhiku dengan memaksa membuatku squirt berkali-kali sampai mau pingsan.
Sejujurnya aku juga merasa Nikmat, tetapi aku tak sanggup dibuat seperti ini terus menerus, walaupun aku sudah berjanji mau memberikan semuanya untuk Fadil agar dia hidup normal.

Menurut kalian, ini normal tidak ?
Ini tidak normal kan ?
Apakah semua anak lelaki seperti ini ?
Kalau kalian punya bunda seperti aku, apa akan terus menerus menggasak kewanitaanku sampai longgar dan lobeh kaya gini ?
Ngga kan ?
Jawab dong.

Sepertinya Fadil memiliki gangguan psikologis yang berat.
Dua minggu setelah malam itu, aku mengirimkan Whatsapp message kepada psikiater yang dulu menangani Fadil. Meminta bantuan yang langsung disanggupinya asalkan aku mau membantunya dalam tesis penelitian.


Bersambung.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd