Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA coaster : putaran dua [BABAK DUA UPDATED]

Waah ada sequelnya ternyata, barusan juga selesai baca my only sunshine. Ijin baca sama ijin nenda dulu suhu btw sehat selalu suhu ditunggu update berikutnya :Peace::o
 
halo semua, terimakasih yang sudah berkunjung dan nunggu updatenya ya~

mohon maap nih, saya emang lagi beneran sibuk di rl, karena kuliah lagi setelah 4 tahun kuliah itu ternyata cukup berat😂

terimakasih yang sudah menunggu, selamat berpuasa dan lebaran bagi teman-teman yang menjalankan~
 
[6 – ending?]

1 bulan sejak aku sadar.

“Oke, temen-temen. Materi hari ini saya cukupkan sekian. Mungkin ada yang mau bertanya?” aku menutup kelas hari itu setelah presentasiku mencapai slide terakhir. Seseorang mengangkat tangannya.
“Emm, perkenalan dulu pak. Dari awal kita belum kenalan sama bapak.”
Dasar maba, batinku.
Aku berjalan ke depan kelas setelah menampilkan wallpaper laptopku.
“Nama saya Tama Arnes Andhika, panggil saya Mas Tama aja, umur saya paling beda 3 atau 4 tahun dari kalian. Saya bukan dosen tetap disini, hanya sebagai asisten dosen saja, bergantian setiap minggunya bersama pak Yogi. Saya alumni sini, jurusan ini juga.”

Ya, setelah kejadian itu, aku diminta untuk menjadi asisten dosen oleh dosen pembimbingku dulu yang kebetulan memegang kelas di semester 1 dan 2. Daripada kehidupanku berakhir gabut, aku memilih mengiyakan tawaran itu.

30 menit sisa kelas tadi aku gunakan untuk berkenalan. Beberapa ada yang bertanya tentang kehidupanku, tentu saja kujawab sekenannya.
Setelah kelas selesai, aku berjalan menuju kantin yang terletak dibelakang. Sesekali aku bertemu teman-temanku yang masih berusaha untuk menuntaskan studi mereka, atau bertemu adik tingkat yang mengenaliku. Seperti sekarang ini, seseorang tiba-tiba membawa nampan berisi semangkuk soto ayam dan sepiring nasi putih, beserta segelas besar es jeruk.
“Wah, dipastikan kantin FIB penuh kalo kamu sampe kesini.” Aku yang melihatnya duduk tertawa. Ia hanya mendengus kesal.
“Makanya kak. Udah gaya gitu punya kantin fakultas, tetep aja kita makannya di kantin kampus.” Gadis itu menyeruput es jeruknya, lalu menatapku yang asik memperhatikannya.
“Dijemput kak Chae apa gimana?”
“Oh, enggak kok. Lagi laper aja, habis ini ada satu kelas lagi soalnya.” Aku menggulung asal lengan kemeja ku, lalu mengambil gawai di saku celana.
“Gila ya, seorang kak Tama yang dulu jadi primadona karena lulusan terbaik, sekarang jadi asisten dosen disini.” Gadis itu meniup-niup sotonya yang masih mengepul itu. Aku tertawa.
“Gaya apanya, masih asdos juga posisinya, kamu juga bisa ngelamar kali jadi asdos hahaha.”
Kami terdiam setelah itu. Aku membiarkan gadis itu melahap makanannya terlebih dahulu.
“Emang boleh pake tindik ya kak waktu ngajar?” ia yang baru selesai dengan makan siangnya itu bertanya.
“Kan aku bilang, aku cuman asdos bukan dosen tetap. Ya meski sebagai pengajar juga harusnya penampilannya di jaga, cuman ya gimana hahaha.”
Kami asik mengobrol ngalor-ngidul setelahnya, sampai seseorang menghampiri kami.
“Kak Jinan gue cariin kemana aja, Gita capek panas-panasan disini.” Seorang gadis berambut pendek itu menghampiri kami dan langsung meluapkan emosinya ke Jinan. Aku hanya terdiam. Mata Jinan menatap gadis itu, lalu kembali menatapku. Sontak, gadis tadi menoleh.
“Eh, m-mas T-Tama. Kirain pacarnya kak Jinan.” Gadis itu sedikit salting begitu melihatku. Gita namanya, mahasiswi yang kelasnya baru saja aku ajar tadi.
“Loh, adik kamu, Nan?” aku bertanya kearah Jinan setelah bergeser, membiarkan Gita duduk.
“Iya, dia doyan maen komputer makanya masuk ke Informatika.” Jinan menyeruput habis es jeruknya, sementara Gita masih menunduk. Mungkin malu.
“Santai aja, Gita. Kalo diluar bisa panggil kak, kok. Saya juga berteman baik sama kakak kamu.” Gita akhirnya sedikit mengangkat kepalanya, lalu tersenyum kecil.
Aku melirik jam tangan, 10 menit lagi kelasku di mulai. Aku bangkit dari kursiku.
“Nan, Gita, duluan yak. Masih harus ngajar lagi nih.”
“Oh, iya kak, selamat ngajar, inget ya jari manis nya udah ada cincin tuh, jangan asal ya hahaha.” Jinan tertawa, Gita hanya tersenyum kecil. Aku berlalu pergi, dan sedikit tertawa mendengar bisikan Gita ke Jinan.
“Loh, kak Tama udah punya istri?”

=============

Aku membuka pintu apartemenku, dan tidak mendapati ada Chaeyoung di dalam. Mungkin ia harus lembur hari ini. Oh iya, saat ini ia menjadi seorang barista di salah satu kedai kopi kenamaan. Ia memilih meninggalkan bisnis keluarga yang sudah di urus oleh kakaknya dan memulai kehidupan baru bersamaku.

Aku melepas sepatu asal, lalu segera menghempaskan diri ke atas kasur. Kepalaku terasa pusing setelah melalui sedikit gerimis saat perjalanan pulang tadi. Mataku perlahan terpejam, namun keanehan terjadi. Aku tidak mendapati kegelapan yang biasanya, melainkan sebuah cahaya putih terang. Semakin aku terpejam cahaya itu semakin terang sehingga membuat jantungku berpacu.

Sontak, aku membuka mata.
Dan pemandangan pertama yang aku dapati :
Azizi.

“Lah bangun dia.” Zee akhirnya menjauhi tubuhku. Aku bingung setengah mati.
“Zee? Ini dimana?” aku segera bangkit dari tidurku lalu duduk di atas kasur, berusaha meraih gawaiku untuk melihat hari dan tanggal.
“Apartemen abang lah, semalem kak Pucchi nelfon aku katanya habis berantem sama abang.”
Kebingunganku semakin menjadi-jadi.
“Bentar-bentar, semalem?” Zee menghela nafas, lalu menarik kursi komputerku, dan duduk di hadapanku.
“Semalem kan kalian berantem tuh, kak Pucchi minta udahan, terus abang iya in, nah dijalan, kak Pucchi nelfon aku sambil nangis nangis gitu. Aku kesini dari semalem tapi abang tidur nyenyak banget jadi gak berani bangunin. Terus tadi jam 7 Azizi bangunin abang tapi gak bangun-bangung, eh bangunnya jam 11.”
Aku semakin bingung dengan semua yang terjadi.


Jadi....
Chae....
Semua itu....



“Wait. Abang gak koma kan?” Zee melotot.
“NGOMONG TUH DIJAGA YA, KOMA DARI MANA. LU SEMALEM HABIS NENGGAK OBAT APA HAH?!” Zee melempar sendok yang baru saja ia ambil ke arahku.
“Zee, duduk sini bentar dah.” Zee menurut, lalu duduk di hadapanku. Aku mulai menceritakan semua yang terjadi di dalam “mimpi” ku kepada Zee.

Respon Zee?

“HAHAHAHAHAHAHA, tandanya gaboleh galau galau tuh bang. Balikan sana sama Pucchi lah.”
Zee melangkah menuju dapur, kembali mengambil sendok dan dua piring nasi goreng yang sudah ia siapkan untuk sarapan kami. Aku masih ternganga dengan tatapan heran.

Aku masih tidak menyangka bahwa aku dapat bermimpi sebanyak itu.
Jadi...
Semua...
Tidak nyata?





Coaster. End,

(?)
 
Jauh-jauh "mimpi" dengan Korea, baliknya ke gadis Sudirman juga hmm~
Semoga cepet clear deh ini "mimpi" yang macam gimana.
 
[Epilogue – Overture]

6 Bulan kemudian

Aku menghela nafas seraya melepas earphone yang sedang aku kenakan. Deretan huruf dalam bahasa ‘aneh’ menjadi pemandangan di laptopku. Kulepas kacamata yang sedang ku kenakan. Seorang gadis di depanku mengangkat kepalanya, menatap ke arahku.

“Gausah dipaksain, dikit dikit aja.” Iya tersenyum, seraya mengulurkan tangannya mengelus kepalaku. Aku tersenyum.
“Udah pabji nya?” pertanyaanku itu sukses membuatnya tertawa. Ia meletakan smartphonenya di atas meja, lalu menyeruput minuman yang sedari tadi ia pesan.

“Eh, hari ini gak theateran emang?” tanyaku, ia bangkit dari kursinya lalu berpindah ke sampingku.
“Gaada jadwal, lagi libur juga, ini kan senen.” Ia menyandarkan kepalanya di pundak kananku, sembari menggenggam minumannya. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

Aku kembali melanjutkan pekerjaanku sementara ia masih asik bersandar di pundakku.

“Asik banget yang berduaan.” Seorang gadis menghampiri kami, terlihat ia menggenggam sebuah binder berwarna pink. Kami menoleh kearahnya, lalu sama-sama tertawa.
“Lama banget kek cewek aja lo.” Gadis di sampingku melempar gulungan struk kearah gadis yang baru saja datang tadi. Ia tertawa.
“Emang cewek mon maap ya.” balasnya sembari duduk di depan kami.
“Lu juga sama aja lamanya.” Aku memukul lengan seorang pria yang datang bersama gadis tadi.
“Ye jangan salahin gue dong, Tam. Tuh embul yang kelamaan.” Pria itu, Dimas, duduk di hadapanku.

Ya, akhirnya kami bisa saling memaafkan satu sama lain setelah kejadian saat itu. Sebenarnya aku masih bingung aku berada di waktu yang mana, karena setelah tau semua ceritaku dengan Chaeng hanya sebuah mimpi, aku sedikit terbawa ‘bego’. Tapi, yasudahlah, bagaimanapun setidaknya kami sudah berbaikan.

“Cinhap emang gitu kak kalo dandan.” Gadis di sebelahku menyaut. Aku hanya tertawa mendengarnya.

Sore itu kami memang berencana untung menghabiskan waktu bersama, double date istilahnya. Kami menghabiskan waktu mengobrol banyak hal, mulai dari kuliah, kampus, kehidupan pribadi, sampai rencana kedepannya.

Malam menyambut, aku dan gadisku berpamitan kepada Dimas dan Cinhap, berbalik menuju apartemenku di daerah Kuningan. Hari ini, gadisku yang membawaku berkeliling, aku hanya menjadi penumpang yang setia di sampingnya. Mau nge lancarin bawa mobil, katanya. Aku hanya tertawa mendengar alasannya.
Kami tiba di apartemen kami. Setelah membersihkan diri dan berganti baju, kami berbaring di kasur. Ia sedang asik menggulung layar twit**ter, sementara aku sedang asik menikmati serial yang sedang ku tonton dilaptopku.

“Ehiya, kemarin waktu aku ulang tahun aku foto sama Cinhap lho.” Ia menekan spasi di laptopku, membuat serial yang sedang ku tonton berhenti sejenak. Aku menatapnya yang sedang mencari sebuah foto di gallerynya.
“Nih,” katanya, sembari menyodorkan smartphonenya ke arahku.

gtSN5X4.jpg

“Ya terus? Pamer gitu?” aku memeletkan lidahku, lalu kembali melanjutkan menonton. Ia hanya tertawa, lalu ikut menonton bersamaku.
“Maaf, ya.” katanya tiba-tiba.
“Kita udah janji buat memulai semua dari awal lagi kan?” aku menimpalinya tanpa menolehkan wajahku. Kurasakan pundakku di tumpangi kepalanya.
“Tetap seperti ini. Jangan berubah, ya?” katanya. Aku tersenyum.



Dan sebuah ciuman mendarat di pipi kiriku.


-end.
 
Cuap-Cuap

Hai, haloo~ Terimakasi sudah mengikuti cerita saya ya, maaf sempat tertunda karena memang sedang sibuk di RL (halah alesan aja).
Buat yang heran kok Dimas sama Embul masih jalan bareng, anggap aja timeline cerita ini sebelum season barunya cerita kak Dimas ya hehe~
Terimakasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca dan berkomentar, mohon doanya agar studi lanjutan saya dapat segera selesai ya.


Terimakasih.
Tamakussaurus.
 
Suhu panutan, udah tamat lagi aja ane satu aja gak tamat-tamat.
Semangat buat RL nya katama, semoga Puccho nya ngga KEMANA-MANA lagi wkwk
 
[PUTARAN KEDUA]

Putaran / Chapter 2 dari Coaster akan saya buat dengan sedikit perbedaan gaya menulis, mohon bantuannya. Terimakasih.

========================================




babak satu : hujan, nadhira, fitriana.
bagian : 1.



Setiap orang bilang, selalu menyukai hujan. Tapi, kenapa mereka masih terus-terusan berlindung ketika hujan – sesuatu yang mereka cintai – datang?

Namaku Tama Andhika, dan aku suka hujan – pun dengan kekasihku yang saat ini berjalan di sampingku, Puti Nadhira. Kalian bisa memanggilnya Pucchi.

60869877_2081177168646233_6127413140612929316_n.jpg


“Dari sini kita kemana, kak?” Pucchi sedikit berteriak dibawah riuhnya suara hujan yang turun, membuat beberapa pasang mata melirik dirinya.

“Nyari coklat mau?” lenganku meraih jemarinya, membuatnya mendekat padaku. Ia mengangguk seraya menyunggingkan senyuman yang bisa membuat siapa jatuh cinta itu.

Kami kembali berjalan, menuju sebuah toko coklat di tepi jalan, tempat favoritnya setelah selesai kegiatan.


Kling~


Bel berbunyi saat sebuah pintu kaca kami dorong, membuat seorang yang tengah menjaga etalase berisi beberapa kudapan berbahan dasar coklat itu menoleh.

“Waduh, pasangan kita nih, seperti biasa ya? Hahahaha.” Pria penjaga toko itu menoleh, dengan sebuah apron berwarna coklat, dan sebuah papan nama.

Ben, namanya.
Tidak, bukan Ben-yang-itu, Ben ini seorang Ben yang baik-baik, kok.

“Halo, Kak Ben.” Pucchi sedikit berlari menghampiri pria itu, lalu memeluknya sebentar. Ben tidak menolak meski pelukan itu membuat apron nya sedikit basah.

Aku menyalaminya setelah selesai dengan pelukan Pucchi.

“Baju lo kemarin udah kering tuh, ada 2 kalo gasalah, bisa lah dipake sama Pucchi.” Telunjuknya menunjuk sebuah lemari kaca kecil, berisi beberapa perlengkapan pribadi miliknya, dan juga milikku.
Aku menumpang disini setiap habis hujan, lebih tepatnya. Bukan untuk apa, tetapi Ben lebih dulu menawarkan tempat untuk seseorang yang memang mencintai hujan dengan sungguh-sungguh seperti aku dan Pucchi.

“Thanks, yak. Ntar deh habis ini.” Aku berjalan ke taman belakang, melihat Pucchi berjongkok mengelus seekor kucing yang sepertinya juga sama seperti kami.

“Kak! Lucu kucingnya basah kuyup gini!” Ia menyodorkan gumpalan berbulu itu tepat ke depan wajahku. Aku sedikit terkejut, sejurus kemudian ikut mengelusnya.

“Kakak hari ini gaada urusan?” Suara lembut Pucchi menggema di telingaku, membuat reflek kepalaku menoleh.
“Emm, gaada sih, hari ini paling bantuin Ben doang habis mandi, kenapa?” mata kami bertemu. Bibirnya yang agak tebal itu menyunggingkan senyum.
“Tunggu sampe ada matahari, yuk!” Ia berlari kearah rerumputan, lalu duduk diatasnya. Wajahnya ceria sekali. Aku terkejut menatapnya, lalu tertawa.
“Iya ayok!”

------

Beberapa helai rambut yang masih basah sedang berusaha aku keringkan, sementara Pucchi disana masih asik duduk di atas ayunan, menggoyangkan kakinya, membuat ayunan itu bergerak sedikit.

Swing-Couple-Metal-Cutting-Dies-Stencils-For-Scrapbooking-Valentine-Cards-Crafts-DIY-2019-New.jpg_q50.jpg


“Matahari udah muncul, gak mau mandi?” sebuah ayunan di sebelahnya menjadi tempatku duduk. Handuk yang baru saja kugunakan, masih mengalung di leherku.

“Suka bingung gak sih kak?” Pucchi bersuara. Pandangan mata yang dilapisi sebuah kacamata hitam itu mengarah kebawah.
“Semua ini? Nggak tuh.” Tanganku memegang rantai, tempat ayunan ini menggantung.
“Jujur, dalam hati aku masih ngerasa bersalah soal hari itu.”

Aku hanya diam mendengar Pucchi memulai cerita.

“Kayak, gimana ya, ketika kakak tulus banget sama aku, aku malah main-main sendiri.” Jemarinya yang berada di atas pahanya mulai gelisah, saling menautkan satu sama lain.
“Hei, kita udah janji buat gak bahas masalah ini lagi kan?” tubuhku berjongkok di hadapannya, menggenggam tangannya yang sedikit bergetar itu.

Pucchi mengangguk pelan.

“Yang udah, biarin aja udah ya? Sekarang, apapun kedepannya, kita tetaplah kita.” Aku memegang dagu Pucchi, menarik wajahnya sedikit, lalu mencium bibirnya yang agak tebal itu.

Sebuah suara mengagetkanku tepat setelah ciuman kami terlepas.

“Udah, Tam? Yuk kerja.” Ben bersandar kepada pintu pembatas antara bagian dalam toko dengan taman kecil ini.
Aku mengambil apronku, memakainya lalu mengikatnya agar tidak jatuh.
“Semangat!” Pucchi berdiri di belakangku, membuatku harus menoleh lalu tersenyum lebar ke arahnya. Tanganku kuangkat sedikit, seraya berkata : “Semangat!” .

---

“Padahal gak rusuh rusuh banget, tapi kok capek banget ya rasanya.” Tubuh 63 kg dengan tinggi 170cm ini aku hempaskan ke atas kasur.

Hari ini tidak ada yang aneh setelah aku pulang bekerja dan mengatar Pucchi. Katanya, ia menginap di kos-kosan milik temannya, Brielle kalau tidak salah namanya.

Sehingga disinilah aku, sendiri.
Karena bingung akan melakukan apa, langkahku kuarahkan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dan berganti pakaian menjadi sebuah kaus berwarna hitam polos dan celana pendek hitam, aku duduk di depan komputerku ditemani sekaleng bir.
Beberapa pekerjaan sampingan yang belum sempat selesai, berusaha aku selesaikan atau setidaknya agar terlihat memiliki kemajuan.


Tok Tok Tok


Mendadak pintu kamarku di ketuk. Aku yang kaget segera melangkah perlahan kesana.


Tok tok tok
“Kak Tam, Kak Pucchi, ada orang kaahh?”
Suara pengetuk terdengar, aku segera membuka pintu.

53930304_412995652601415_7854378367493734380_n.jpg

“Eh, Kak Tam.” Pengetuk itu sedikit terkejut begitu kepalaku berada di luar.
“Hai, La. Kenapa?” Ya, kalian ingat Nabila Fitriana? Gadis yang tidak sengaja satu apartemen denganku. Lala yang mengetuk kamarku di 30 menit menuju jam 11 malam ini.

Ia terlihat membawa sebuah binder, laptop beserta chargernya, kotak pensil, dan earphone.

“Emm, internetku mati kak, tapi aku ada tugas yang harus di kumpulin besok, mau tethering dari hape, eh kuotanya pas banget abis. Aku nebeng di sini boleh ya?” rambutnya yang ia ikat asal itu sedikit bergoyang, membuatnya terlihat lucu.

Aku tersenyum sembari mengangguk, lalu membukakan pintu untuknya.

“Makasih kak Taam.” Ia memelukku sebentar sebelum melangkah ke dalam. Pintu kembali ku tutup.

Kulihat Lala sudah duduk di sofa, membuka laptop dan bindernya, lalu terlihat sibuk mengetik. Aku kembali ke kursiku, melanjutkan pekerjaanku. Terjadi keheningan antara kami berdua. Aku yang sedikit canggung dengan situasi ini, memutuskan untuk memutar lagu melalui speaker.

Hey cantik coba kau catat
Keretaku datang pukul empat sore
Tak usah kau tanya aku ceritakan nanti


Aku berdiri mengambil cemilan yang ada di dapur lalu membawanya di meja yang Lala gunakan. Ia menoleh kearahku, lalu tersenyum sebentar.

Hey cantik kemana saja?
Tak ada berita, sedikit cerita
Tak kubaca lagi pesan di ujung malam


Aku memperhatikan layar komputer jinjing 4 huruf milik Lala itu. Terlihat, sebuah surat elektronik baru saja ia kirim. Ia mengangkat tangannya keudara, lalu membanting punggungnya ke sandaran sofa milikku.

Dan Jakarta muram kehilanganmu
Terang lampu kota tak lagi sama
Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal
Sampai kapan akan selalu berlari?
Hingga kini masih selalu ku nanti-nanti

Aku yang masih berkonsentrasi pada handphoneku terkejut ketika Lala menaruh kepalanya diatas pahaku. Ia melirikku sejenak, tersenyum kecil. Aku membalas senyumannya.
“Ganteng amat sih pacar orang.” Lengannya memegang pipiku. Aku terkejut, tapi segera mengembangkan senyuman.
“Lucu amat sih anak orang.” Aku balas menggodanya sembari mencubit pipinya. gemash.
Ia tertawa kecil.

Terbawa lagi langkahku ke sana
Mantra apa entah yang istimewa
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja


“...sesuatu di Jogja..” Lala menggumam.
“Ada apa di Jogja?” Telunjukku menyentil hidungnya.
“Aw! Nyanyi iiihh.”
Kami berdua tertawa.

Dengar lagu lama ini katanya
Izinkan aku pulang ke kotamu
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja

Kami berdua bernyanyi. Kepala Lala bergoyang-goyang sedikit di pahaku. Mendadak, lengan Lala memegang pipiku lagi.
“Hng? Kenapa, La?” Aku menatap matanya yang sedikit sipit itu. Ia tidak menjawab, melainkan menatapku dalam. Tatapannya sedikit sendu.
“Ganteng amat pacar orang.” Ia berucap, pelan sekali. Kurasakan ia sedikit menarik kepalaku kebawah. Sejurus, bibirnya menyambar bibirku.

Tidak, tidak ada nafsu, namun sedikit lama dan, bagaimana aku mengatakannya.

Tulus.

Hey cantik, bawa aku jalan
Jalan kaki saja menyusuri kota
Ceritakan semua ceritamu padaku



--------------

Sesuatu di Jogja by Adhitia Sofyan
 
Asek asek asek udah move on dari chae sekarang pindah ke kalala, ntar diomelin ajiji loh wkwkwk

Tulusnya sama lala, nafsunya sama puci. Tuman
 
Berarti,... Ben yang itu... Gak baik?
Gitu maksudnya
aku gak bilang, aku gak bilang~

Wah Ben yg mana tuh?
gatau juga ya kak~

Emang Ben yang itu masih idup ya ??? :bingung:
astagaaa

Masang dulu ah
selamat datang kak~

Tulus belah mananya bangsaaat
senpai marah marah :(

Asek asek asek udah move on dari chae sekarang pindah ke kalala, ntar diomelin ajiji loh wkwkwk

Tulusnya sama lala, nafsunya sama puci. Tuman
AJIJI ASADEELL~
 
Bimabet
Bentar, emang ada Ben yang baik? Saya ragu 100% :marah:


Ini kiss sama La2, gak digrebek Puco? :tkp:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd