Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG G I W A N G

BAB 3


Sebulan sudah aku bekerja disini, semenjak keberadaanku tak ada lagi keluhan sakit pinggang bagi teman-temanku. Padahal itu sebelumnya merupakan momok yang menakutkan bagi para pekerja kuli panggul.

Mau tetap masuk badan pada remuk, gak masuk ya gak dapat upah. Serba salah memang, tapi ya beginilah hidup. Tak ada yang mudah, semuanya butuh perjuangan.

"Sebat dulu bro!" Udin menawarkan rokok di kala aku sedang melamun.

Aku mengambil sebatang lalu menyalakannya.

"Lagi ngelamunin apa sih lu?" Tanya Udin membuka perbincangan.

"Pasti lagi ngelamunin si Darsih, kan?" Lanjut Udin.

"Sotoy lu!" Ucapku.

"Jangan bilang, kalau elu udah nolak cintanya Darsih, kan?" Terka Udin sambil jarinya menunjuk tepat di depan wajahku.

"Ngawur!!" Balasku kesal yang mulai terpancing.

"Kalau gitu, kenapa si Darsih gak masuk kerja hari ini?"

"Meneketehe!!" jawabku dengan mengedikkan bahu.

Di saat perbincangan kami berdua, Gento dan Tapleh ikutan nimbrung setelah mereka selesai makan.

"Eh bro.. elu udah denger kabar si Darsih belum?" kata Gento.

Merasa tertarik, Udin lantas bertanya "Emangnya kenapa dengan janda bahenol itu?"

"Gue denger dari Surti, katanya dia tadi pagi kesurupan! Makanya hari ini dia gak masuk" Gento menceritakan.

"Yailaaaah… Perkataan Surti elu percayain, To… To…!! Pan elu tau kalau si Surti ama Darsih itu udah kayak Air dan Minyak, nggak pernah akur" Ucap Udin.

"Iya juga ya…" Gento menggaruk rambutnya.

"Kali aja perkataannya kali ini bener Din, soalnya si Surti bilangnya begitu ama si Koko" ucap Tapleh yang ikut bicara.

"Oh ya Din, si Koko bilang kalau elu disuruh ke rumah Darsih buat ngecek kebenarannya" Lanjut Tapleh.

"Ke rumah Darsih?" Udin mengulang.

"Kagak! Kagak! Gue gak mau kena gaplok bapaknya yang sinting itu! Palingan elu yang disuruh! Buaya mau dikadalin, setan luh!!" Sungut Udin.

"Suer Din!! Gue mah selow, sekedar nyampein doang ke elu. Palingan bulan ini gaji elu kena potong!" Ucap Tapleh.

Ku lihat Udin sangat kesal, dia memites rokok di asbak hingga hancur, padahal baru setengah batang dihisapnya.

"Elu temenin gue ke rumah Darsih!" Udin berkata sambil menyikut lenganku.

"Oke!" Jawabku dengan singkat.

Setelah pekerjaan kami selesai, kami pun pulang. Di sepanjang perjalanan, kuperhatikan Udin seperti tak biasanya, kali ini mengendarai motornya dengan begitu lambat.

"Pelan amat kayak keong!" Ujarku sambil menggeplak bahu Udin.

"Gue bingung Az! Kalau ke rumah Darsih, gue bakal dikalungi golok ama bapaknya. Kalau nggak ke rumahnya, gue bakal kena potong gaji sama si Koko peot itu!"

"Gue mesti gimana nih bro?" Lanjutnya.

"Kalau elu takut ama bapaknya, biar gue yang datang bertamu, elu nunggu ajah di motor" kataku memberi saran.

Udin menepuk kepalanya, seolah dia mendapatkan pencerahan. Lalu menggeber laju motornya.

PLAK! Kutepuk helm yang dikenakan si Udin. Kelakuannya hampir saja membuatku terjungkal dari atas motor yang tiba-tiba ngebut.

Tak butuh lama, kita berdua pun sampai. Udin mematikan mesin motornya.

"Yang ini rumahnya?" Tanyaku dengan menunjuk sebuah rumah berpagar besi.

"Bukan! Tapi yang itu!" Tunjuk Udin pada sebuah rumah bambu dengan pekarangan yang sangat luas, berdiri kokoh sebuah pohon beringin yang sangat besar.

Dari kejauhan, aku merasakan keangkeran dari rumah tersebut. Bulu kudukku langsung meremang dibuatnya.

"Jadi elu mau disini ajah, kagak ikut gue masuk?"

"Mending gue di sini aja deh, tapi gue gak tanggung jawab ya, kalau kalau elu di bacok bapaknya" Ucap Udin.

Kenapa dah, ama bapaknya? Emang se sinting itu yang dibilang Udin? Ah palingan si Udin pernah bikin perkara kali ama Darsih, makanya bapaknya ngamuk. Aku tak percaya yang dikatakan Udin.

Dengan langkah mantap, aku menuju rumah Darsih. Meninggalkan Udin sendirian di motor.

"Hati-hati bro! Langsung kabur, kalau ada apa-apa!" Pekik Udin dari kejauhan.

NGES!

Aku merasakan perubahan hawa saat melintasi pohon beringin, mataku sejenak menatap pohon tersebut. Kali aja ada penunggunya, soalnya aku sudah terbiasa melihat makhluk halus.

Mataku memicing pada satu titik, lalu perutku terasa mual seperti dikocok.

"Ueeekk! Ueeeekk!" Aku muntah mengeluarkan isi dalam perutku.

Karena kesal makananku keluar dengan sia-sia, kulempar dengan sandal ke arah hantu tersebut yang sedang memakan ari-ari bayi. Mulutnya penuh darah dan lendir kuning. Bau busuknya tercium meski jaraknya lumayan jauh denganku.

Hantu itu mendelik ke arah ku, menatapnya dengan tajam. Lalu berpindah ke ranting yang lebih tinggi.

"Kuyang sialan! Gue nyeker jadinya!!" Umpatku kesal lalu berjalan tanpa sandal menuju rumah Darsih.

Tiba di rumahnya, aku merasakan kesunyian, bahkan sekedar kicauan burung dan hembusan angin saja tak terdengar.

"Samlekom!" Kuketok pintu dan ku ucapkan salam.

Ku ulangi beberapa kali, tetap saja tak mendengar adanya sahutan dari dalam.

"Apa lagi pada keluar semua, ya?" Pikirku.

Karena tak mau pulang dengan sia-sia, kucoba untuk mengitari rumahnya, kali aja penghuninya lagi ada di belakang sedang memasak, bisa saja bukan?

Dinding rumahnya beranyam bambu, jadi aku bisa mengintipnya melalui celah berlubang yang dimakan rayap.

Kukucek berulang kali mataku, berharap apa yang tadi aku intip itu salah.

Siapa pria itu? Pacarnya kah?

Kulihat seorang pria sedang merokok di atas dipan, dan juga melihat Darsih yang sedang terlentang bugil, matanya tertutup atau terbuka, aku tak melihatnya dengan jelas. Yang pasti, pakaian dari mereka berserakan di lantai semen.

Meski berulang kali aku menolak cintanya. Tapi melihatnya telanjang dengan pria lain membuat hatiku panas.

"Darsih… Darsih… daripada dengan tua bangka, mending sama gue. Kalau elu butuh kehangatan, gue juga gak bakalan nolak pastinya, tapi elu mintanya nikah ajah, ya entar dulu lah… Gue kan masih muda, masih ingin bebas" Pikirku mengingat ucapan Darsih kala itu.

Setelah apa yang kulihat, tak ada niatan lagi untuk bertamu dengannya. Aku melangkah mundur, tapi sial… Tak sengaja aku menyenggol beberapa gentong hingga pecah. Rupanya gentong itu sengaja diletakkan diluar sebagai penampung air hujan.

PRAK PRAK

Rupanya, suara gentong pecah telah membuat penghuni dalam rumah penasaran.

Kulihat sebuah kepala nongol dari balik jendela yang dipaksa terbuka. Itu adalah pria yang sama dengan yang aku intip tadi.

"Woy!! Jangan pergi kamu!" Bentaknya, melihat aku yang berdiri di sisi gentong yang pecah.

Tak ada setengah menit, pria itu meloncat dari jendela dengan mengacungkan sebilah celurit. Langsung ditebasnya kearahku.

Kesal serangannya tak mengenaiku, dia menebasnya lagi beberapa kali, membuatku terpaksa menghindar dan melompat. Begitu ada celah, kuangkat dengkulku untuk meninju perutnya.

Membuat tubuhnya membungkuk dan sedikit terangkat, celurit di tangannya pun terlepas. Pria itu mengaduh, memegangi perutnya yang tampak kesakitan.

"Pak! Bapak kenapa?" Teriak seorang wanita menyembul dari jendela.

Setelah tahu siapa yang berteriak, aku shock dibuatnya. Jadi pria ini adalah bapaknya?

"Bang Azka! Bang azka sedang apa di sini? Itu bapak aku kenapa?" Pekik Darsih.

Tubuhku oleng dan kakiku terasa lemas. Sambil bergerak mundur menjauhi pria yang ku lumpuhkan barusan. Aku berlari semakin jauh, tak peduli dengan Darsih yang bertanya.

"Cabut!" Kataku pada Udin yang sedari tadi menungguku dari kejauhan.

"Gue juga apa, gak percaya sih, lu!!" Kata Udin sambil mengengkol motornya dan melaju pergi.

Disepanjang perjalanan menuju kosan, aku berulang kali menggelengkan kepala. Kejadian barusan, membuatku tak habis pikir.

"Kita mampir di wartegnya mpok leha dulu ya, bungkus nasi buat ntar sore" ucap Udin sembari menengok ke arah belakang.

Setibanya di warteg mpok leha, Udin bergegas memesan. Sedangkan aku menuju warung sembako di seberang jalan.

"Dari mana sih, Lu? Mau pesan makan gak? Biar sekalian dibungkusin juga" kata Udin melihat aku kembali.

"Beli sendal, tadi sendal gue ketinggalan!"

Mendengar itu, Udin tertawa terbahak-bahak, aku berpikir apa yang membuatnya tertawa?

"Emang elu, diapain ama bapaknya Darsih, Hah?" Tanya Udin.

"Diacungi celurit!" Jawabku.

"Buahaha… mampus Luh!" Udin kembali tergelak tawa.

Mpok Leha yang sedang membuat pesanan kami, ikutan bicara, "Bapaknya Darsih? Yang depan rumahnya ada pohon beringinnya itu?".

Udin terkejut, "Mpok Leha kenal?"

Bukannya menjawab, mpok leha malah menatapku dan berkata, "Beneran, elu tadi diacungi celurit ama Manto?"

Ditatap seperti itu, aku selalu mengingat kejadian sebulan yang lalu ketika bersetubuh dengannya. Sering kudapati, mpok leha mencuri pandang.

"Jadi namanya pak manto, mpok?" Kata Udin.

"Iya namanya pak manto, kata orang-orang sih dia itu dukun!" Kata Mpok leha menjelaskan.

Mendengar itu, membuat aku dan udin saling menatap. Pikiran kami tertuju pada satu hal. Entah apa yang dipikirkan udin.

Aku justru mengaitkan keberadaan hantu kunyang dengan pak manto. Ada apa sebenarnya ini?

"Elu naksir ama Darsih ya, janda bohay anaknya pak manto?" Tanya mpok leha pada Udin.

"Gak usah cari perkara deh, mantan suami anaknya aja mati misterius. Apa elu mau nyobain santetnya?" Lanjut mpok Leha.

"Kagak mpok!" Udin mengusap tengkuknya mendengar hal itu.

"Justru si Darsih yang naksir sama Azka. Pan kita satu kerjaan di tokonya ko ahong yang dipasar itu loh mpok!" Tunjuk Udin ke arahku, membuat gelagat mpok leha terlihat cemburu di pandangan mataku.

Kampret nih Udin! Cari gara-gara! Umpatku kesal.

"Makasih ya mpok, yuk Az kita balik" kata Udin namun segera dibantah oleh mpok leha.

"Tiga puluh rebu!" Kata Mpok leha terdengar sengit.

"Lah… pan bilangnya di awal boleh ngutang dulu, gimana ceritanya suruh bayar sih, mpok? Tau gini mah, gak jadi pesen tadi" gerutu Udin.

Aku yang mengerti perubahan mpok leha, langsung menengahi.

"Pakai uangku aja, Din. Kalau tiga puluh ribu mah, gue juga ada."

"Nih mpok, uangnya" kusodorkan uangnya pada mpok leha tapi tak kunjung diambil.

Wajahnya terlihat ketus dengan tangannya yang disilangkan di dada.

"Yang pesan kan elu, kenapa Azka yang bayar?" kata mpok leha.

Melihat gelagat udin yang tak biasa, membuatku mengambil langkah cepat. Jangan sampai udin berpikiran yang aneh-aneh.

"Dah buruan balik, dah mau hujan nih!" Kataku dengan menaruh uangnya di meja dan menarik paksa lengan Udin.

Sambil melajukan motornya, udin terus saja nyerocos perihal mpok leha.

PLAK! Ku getak helmnya agar tak lagi mengungkit.

"Geber lah, Din! Dah turun gerimis nih!"


Bersambung...


 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd